Anda di halaman 1dari 63

PERBANDINGAN MASA LATENSI ABSOLUT GELOMBANG

V PADA PEMERIKSAAN BRAINSTEM EVOKED RESPONSE


AUDIOMETRY CLICK
Dengan Pemasangan Elektroda Di Mastoid Dan Lobulus Daun
Telinga Pada Orang Dewasa Dengan Pendengaran Normal

DIAJUKAN OLEH:
NAMA : ADIMAS BENTAR GAUTAMA
NPM : 19005
PROGRAM STUDI : AUDIOLOGI

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT


UNTUK MENEMPUH UJIAN AKHIR DIPLOMA TIGA (D-III)

PROGRAM STUDI AUDIOLOGI


AKADEMI AUDIOLOGI INDONESIA
JAKARTA
2022
PROGRAM STUDI AUDIOLOGI

AKADEMI AUDIOLOGI INDONESIA

JAKARTA

LEMBAR PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH

NAMA : ADIMAS BENTAR GAUTAMA

NOMOR POKOK MAHASISWA : 19005

PROGRAM STUDI : AUDIOLOGI

JUDUL KARYA TULIS ILMIAH : PERBANDINGAN MASA LATENSI


ABSOLUT GELOMBANG V PADA
PEMERIKSAAN BRAINSTEM
EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY
CLICK Dengan Pemasangan Elektroda Di
Mastoid Dan Lobulus Daun Telinga Pada
Orang Dewasa Dengan Pendengaran
Normal

Telah disetujui untuk dihadapkan pada ujian komprehensif Ahli Madya


Kesehatan (A.Md.Kes) Akademi Audiologi Indonesia Program Studi Audiologi.

Jakarta, 17 Oktober 2022


Pembimbing

Dr. dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL(K)

i
PROGRAM STUDI AUDIOLOGI

AKADEMI AUDIOLOGI INDONESIA

JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH

NAMA : ADIMAS BENTAR GAUTAMA


NOMOR POKOK MAHASISWA : 19005
PROGRAM STUDI : AUDIOLOGI
JUDUL KARYA TULIS ILMIAH : PERBANDINGAN MASA LATENSI
ABSOLUT GELOMBANG V PADA
PEMERIKSAAN BRAINSTEM
EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY
CLICK Dengan Pemasangan Elektroda Di
Mastoid Dan Lobulus Daun Telinga Pada
Orang Dewasa Dengan Pendengaran
Normal

Telah disetujui dan disyahkan untuk diterima guna memenuhi sebagian


persyaratan dalam memperoleh gelar Ahli Madya Kesehatan (A.Md.Kes)
Akademi Audiologi Indonesia Program Studi Audiologi.

Jakarta,17 Oktober 2022


Tanda Tangan
Penguji I
(Prof. dr. Zainul A. Djaafar, Sp. T.H.T.K.L(K)) ……………………………

Penguji II
(Dr. dr. Semiramis Zizlavsky, Sp. T.H.T.K.L(K)) ……………………………

Penguji III
(dr. Widayat Alviandi, Sp. T.H.T.K.L(K)) ……………………………

Mengesahkan,
Direktur

dr. Soekirman Soekin, Sp. T.H.T.K.L(K). M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah

menganugrahkan kelapangan, kelancaran, kemudahan serta atas limpahan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Taklupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi besar Rasulullah

Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Karya tulis yang berjudul “PERBANDINGAN MASA LATENSI

ABSOLUT GELOMBANG V PADA PEMERIKSAAN BRAINSTEM

EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY CLICK Dengan Pemasangan

Elektroda Di Mastoid Dan Lobulus Daun Telinga Pada Orang Dewasa

Dengan Pendengaran Normal”. Ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu

syarat untuk mencapai gelar Ahli Madya Kesehatan.

Penulis menyadari bahwa, terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini tidak

terlepas dari bimbingan, dorongan, bantuan dan doa tulus dari banyak pihak.

Tanpa ini semua sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan Karya Tulis

Ilmiah ini. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis ingin menyampaikan ucapan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Direktur Akademi Audiologi Indonseia, plt. dr. Soekirman Soekin, Sp.T.H.T

K.L (K).M.Kes

2. Pudir I Akademi Audiologi Indonesia, Prof. dr. Zainul A Djaafar, Sp.T.H.T

K.L (K)

3. Pudir II Akademi Audiologi Indonesia, Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin,

Sp.T.H.T K.L (K)

iii
4. Pudir III Akademi Audiologi Indonesia, dr. Soekirman Soekin, Sp.T.H.T K.L

(K).M.Kes

5. Dr. dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL(K) sebagai dosen pembimbing Karya

Tulis Ilmiah ini, telah berkenan membimbing dalam segala hal, baik dalam

ilmu pengetahuan, maupun nasihat hidup, serta segala fasilitas yang telah

diberikan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Seluruh staff Akademi Audiologi Indonesia yang telah memberi dorongan,

saran, serta dukungan selama menuntut ilmu di kampus ini.

7. Terima kasih kepada Ibu Minshe yang telah memberikan saya peluang untuk

kuliah di Akademi Audiologi Indonesia.

8. Terima kasih untuk kedua orang tua (Bapak dan Ibu) saya, atas doa, motivasi,

dan semuanya yang sudah mereka berikan kepada saya.

9. Keluarga Besar yang selalu memberikan doa dan dukungannya.

10. Dokter THT Divisi Komunitas, Divisi Neurotologi, Dokter PPDS dan seluruh

staff Poli THT RSCM FKUI yang membantu saya melakukan praktek kerja

lapangan guna mengumpulkan data penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

11. Rekan-rekan seperjuangan selama perkuliahan di Akademi Audiologi

Indonesia (Bang Jasman, Bang Dika, Zino, Shadam, Wira, Agung, Ando,

Afif, Hendi, Dinda, Oca, Feli, Nanda, Melium) yang telah memberikan masa

yang indah selama 3 tahun ini.

12. Keluarga Akademi Audiologi Indonesia lintas angkatan, yang telah berkenan

berbagi ilmu sehingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini.

iv
13. Terima Kasih khusus untuk Mama yang ada di surga dan Salsa Bila Maulika

yang menemani dan mensuport saya dalam menyelesaikan Karya Tulis

Ilmiah.

14. Warkamp Family (Mas Ari, Mas Muji, Mas Deny, Mas Dimas, Bang Den,

Bang Eky, Bang Obi, Bang Rahman, Bang Dimas ATW, Bang Ganang,

Diana, Pandu yang telah memberi dukungan dan membantu hingga

terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini.

15. Sentiong Pride yang telah memberikan kesan dukungan serta semangat

selama penulis melakukan Pendidikan selama 3 tahun ini.

16. Garparo dan HERO yang telah memberikan saya suasana baru ketika saya

mengerjakan KTI.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Oleh sebab itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam upaya perbaikan

Karya Tulis Ilmiah ini. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat berguna bagi

kepentingan keilmuan, serta dapat dikembangkan agar lebih bermanfaat untuk

kepentingan semua pihak.

Jakarta, 17 Oktober 2022

Penulis

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH......................................i

LEMBAR PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH......................................ii

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................vi

ABSTRAK...........................................................................................................viii

ABSTRACT...........................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG.............................................................................1

1.2 RUMUSAN MASALAH.........................................................................3

1.3 TUJUAN PENELITIAN.........................................................................3

1.4 MANFAAT PENULISAN......................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5

2.1 ANATOMI TELINGA DAN FISIOLOGI PENDENGARAN............5

2.1.1 Telinga Luar.........................................................................................5

2.1.2 Telinga Tengah.....................................................................................7

2.1.3 Telinga Dalam......................................................................................8

2.1.4 Fisiologi...............................................................................................11

2.2 GANGGUAN PENDENGARAN.........................................................12

2.2.1 Derajat Gangguan Pendengaran......................................................12

2.2.2 Jenis Gangguan Pendengaran..........................................................13

2.3 PEMERIKSAAN BRAINSTEM EVOKED RESPONSE

AUDIOMETRY................................................................................................14

vi
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................38

3.1 Desain Penelitian...................................................................................38

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian.............................................................38

3.3 Populasi Dan Subjek Penelitian...........................................................38

3.4 Kriteria Penerimaan Dan Penolakan Subjek Penelitian...................38

3.5 Banyaknya Sampel................................................................................39

3.6 Metode Pengambilan Subjek................................................................39

3.7 Pengumpulan Data................................................................................39

3.8 Alur Kerja..............................................................................................40

3.9 Persiapan Pasien....................................................................................40

3.10 Definisi Operasional.................................................................................40

3.11 Cara Kerja................................................................................................41

BAB IV HASIL PENELITIAN...........................................................................42

4.1 Karakteristik subjek berdasarkan usia dan jenis kelamin...............42

4.2 Hasil Pemeriksaan BERA Click...........................................................43

BAB V PEMBAHASAN......................................................................................45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................47

6.1 Kesimpulan............................................................................................47

6.2 Saran.......................................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................49

vii
ABSTRAK

NAMA : ADIMAS BENTAR GAUTAMA


PROGRAM STUDI : AUDIOLOGI
JUDUL : PERBANDINGAN MASA LATENSI
ABSOLUT GELOMBANG V PADA
PEMERIKSAAN BRAINSTEM
EVOKED RESPONSE
AUDIOMETRY CLICK Dengan
Pemasangan Elektroda Di Mastoid Dan
Lobulus Daun Telinga Pada Orang
Dewasa Dengan Pendengaran Normal

Latar Belakang: BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) atau istilah


lainnya: ABR (Auditory Brainstem Response) merupakan pemeriksaan
elektrofisiologi untuk menilai integritas sistim audiotorik, yang bersifat objektif.
Pemeriksaan BERA sangat bermanfaat terutama pada keadaan tidak
memungkinkannya dilakukan pemeriksaan pendengaran pada penderita, misalnya
pada bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku intelegensi rendah, cacat
ganda, kesaadaran menurun. Pada orang dewasa, BERA dilakukan untuk
memeriksa orang yang berpura-pura tuli atau kecurigaan tuli saraf retrokoklea.
Masalah: Pada pemeriksaan BERA umumnya elektroda diletakkan di prosesus
mastoid tetapi pada keadaan tertentu seperti pemeriksaan BERA bone ataupun
pada bayi penempatan elektroda pada mastoid sulit mendapatkan impedansi yang
rendah untuk mengurangi artefak yang timbul. Alasan ini membuat penulis ingin
mengetahui tentang pengaruh perekaman terhadap masa latensi apakah terdapat
perbedaan dengan elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga pada orang
dewasa dengan alat BERA yang sama. Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan
hasil pemeriksaan BERA click dengan elektroda di mastoid dan lobulus daun
telinga pada orang dewasa. Laporan Kasus: Melakukan pemeriksaan BERA click
pada 6 pasien di RSCM Poli THT Komunitas.

Kata Kunci: pemeriksaan brainstem evoked response audiometry pada lobulus


daun telinga dan mastoid.

viii
ABSTRACT

NAME : ADIMAS BENTAR GAUTAMA


STUDY PROGRAM : AUDIOLOGY
TITLE : COMPARISON OF V-WAVE ABSOLUTE LATENCY
IN EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY CLICK
BRAINSTEM EXAMINATION With Electrode
Installation In The Mastoid And Earlobe In Adults With
Normal Hearing

Background: ABR (Brainstem Evoked Response Audiometry) or other terms:


ABR (Auditory Brainstem Response) is an electrophysiological examination to
assess the integrity of the audiotoric system, which is objective. The ABR
examination is very useful, especially in situations where it is not possible to
conduct a hearing examination in patients, for example in infants, children with
low intelligence traits and behavior disorders, multiple disabilities, decreased
consciousness. In adults, ABR is performed to examine people who are pretending
to be deaf or suspected of deafness of the retrocochlear nerve. Problem: In the
ABR examination, the electrode is generally placed on the mastoid process, but in
certain circumstances, such as in the ABR examination for bone or in infants, it is
difficult to place electrodes on the mastoid to get a low impedance to reduce the
artifacts that arise. This reason makes the authors want to know about the effect
of recording on the latency period, whether there is a difference with the
electrodes in the mastoid and auricle lobules in adults with the same ABR.
Objective: To determine the difference in the results of the ABR click examination
with electrodes on the mastoid and auricle lobules in adults. Case Report:
Performed ABR click examination on 6 patients at the Community ENT Poly
Hospital.

Keywords: brainstem evoked response audiometry examination of the earlobe and


mastoid.

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) atau istilah lainnya:

ABR (Auditory Brainstem Response) merupakan pemeriksaan

elektrofisiologi untuk menilai integritas sistim audiotorik, yang bersifat

objektif. Pemeriksaan BERA sangat bermanfaat terutama pada keadaan tidak

memungkinkannya dilakukan pemeriksaan pendengaran pada penderita,

misalnya pada bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku intelegensi

rendah, cacat ganda, kesadaran menurun. Pada orang dewasa, BERA

dilakukan untuk memeriksa orang yang berpura-pura tuli atau kecurigaan

tuli saraf retrokoklea.4

Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai perubahan potensial

listrik di otak setelah memberikan rangsangan sensoris berupa bunyi.

Rangsangan bunyi yang diberikan melalui headphone atau insert phone dan

penilaian dilihat dari morfologi gelombang, masa latensi dan amplitudo

gelombang. Masa latensi dibagi menjadi 3 yaitu masa latensi absolut, masa

latensi antar gelombang dan masa latensi antar telinga. Masa latensi

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor stimulus, perekaman dan

pasien. Letak elektroda permukaan saat dilakukan perekaman merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi masa latensi. 4

Pada umumnya peletakan elektroda pada pemeriksaan BERA click

adalah diletakkan pada prosesus (tonjolan) mastoid dibelakang telinga.

1
Tetapi pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan BERA click dengan

elektroda diletakkan di mastoid dan lobulus daun telinga (Penempatan

elektroda berperan penting dalam perekaman BERA click. untuk mengukur

latensi dan amplitudo gelombang secara akurat dalam menentukan tingkat

pendengaran. Anak kecil biasanya memiliki area mastoid yang terbatas, dan

dalam kondisi tertentu, seringkali sulit untuk menempatkan vibrator dan

elektroda bertepatan dengan mastoid. Oleh karena itu, elektroda lobulus

daun telinga dianggap sebagai alternatif penempatan. Tujuannya untuk

menghubungkan latensi dan amplitudo gelombang V pada elektroda mastoid

dan lobulus daun telinga pada perekaman BERA click. Perbedaan hasil dari

pemeriksaan elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga menunjukkan

bahwa ada korelasi yang kuat antara latensi gelombang V yang diperoleh

dari elektroda mastoid dan lobulus daun telinga. Oleh karena itu,

penempatan elektroda pada area lobulus daun telinga dapat diandalkan,

terutama pada kondisi tertentu ketika penempatan elektroda pada area

mastoid tidak memungkinkan. Hal tersebut menjadi latar belakang

dilakukannya penelitian ini dan bertujuan untuk mengetahui perbedaan masa

latensi absolut gelombang V pada pasien dewasa dengan pendengeran

normal.1,4

2
1.2 RUMUSAN MASALAH

Pada pemeriksaan BERA umumnya elektroda diletakkan di prosesus

mastoid tetapi pada keadaan tertentu seperti pemeriksaan BERA bone

ataupun pada bayi penempatan elektroda pada mastoid sulit mendapatkan

impedansi yang rendah untuk mengurangi artefak yang timbul. Alasan ini

membuat penulis ingin mengetahui tentang pengaruh perekaman terhadap

masa latensi apakah terdapat perbedaan dengan elektroda di mastoid dan

lobulus daun telinga pada orang dewasa dengan alat BERA yang sama.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan hasil pemeriksaan BERA dengan

elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga pada orang dewasa.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui lebih dalam tentang perbedaan penempatan

elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga pada orang dewasa

terhadap masa latensi gelombang V pada pemeriksaan BERA click.

1.4 MANFAAT PENULISAN

3
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan terutama

bagi Audiologis maupun pembaca dalam pemeriksaan BERA click dengan

peletakan elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga pada orang dewasa.

a. Bidang pelayanan dan Kesehatan Masyarakat:

Memberikan informasi kemungkinan melakukan pemeriksaan BERA

click dengan peletakan elektroda pada lobulus daun telinga sebagai

pengganti peletakan elektroda di mastoid.

b. Audiologis:

Meningkatkan wawasan dalam pemeriksaan BERA click jika tidak

memungkinkan elektroda diletakkan di mastoid dan diganti dengan

peletakan elektroda di lobulus daun telinga.

c. Ilmu Pengetahuan:

Dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya dalam pemeriksaan BERA

click dengan peletakan elektroda di lobulus daun telinga.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA DAN FISIOLOGI PENDENGARAN

Anatomi telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, tengah

dan dalam.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Luar, Tengah, Dalam12

2.1.1 Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga

sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan

elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka

tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga

bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. panjangnya kira kira 2 -

3 cm. Di telinga luar juga ada lobulus daun telinga dan mastoid.

Mastoid merupakan sel-sel udara berbentuk seperti sarang lebah

yang letaknya dibelakang telinga. Merupakan bagian terbesar dari

tulang temporal di sebelah posterior dan inferior. Mastoid

5
berhubungan dengan bagian-bagian telinga dimana mekanisme

pendengaran dan keseimbangan berada. penyakit-penyakit seperti

infeksi dan kolesteatoma dapat melibatkan mastoid. Lobulus daun

telinga, bagian bawah telinga luar, terdiri dari jaringan ikat areolar

dan adiposa yang keras, tidak memiliki kekencangan dan elastisitas

sisa daun telinga (struktur eksternal telinga). Dalam beberapa kasus

lobus bawah terhubung ke sisi wajah. Lobulus daun telinga tidak

mengandung tulang rawan, tetapi memiliki suplai darah yang besar

dan dapat membantu menghangatkan telinga dan menjaga

keseimbangan.2,3

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak

kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut Kelenjar keringat

terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian

dalam dan hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Membran

timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang

telinga. 2

Bagian atas disebut pars flaksida (membran shrapnel), pars

flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel

kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,

seperti epitel mukosa saluran napas. Pras tensa mempunyai satu lapis

Iagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan

sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan

sirkuler pada bagian dalam. 2

6
2.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah terdiri atas membran timpani, rongga

telinga tengah, tangkaian tulang-tulang pendengatan (Maleus,

Inkus dan Stapes), serta otot-otot penunjang dan Tuba

Eustachius.2

Gambar 2.2 Telinga Tengah16

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat

dari arah tiang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang

telinga. Bagian atas disebut pars flaksida) Shrapnell membrane dan

bagian bawah disebut pars tensa (membran propia), Pada membran

timpani terdapat bayangan penonjolan bagian bawah Maleus yang

disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya

(cone of light) ke arah bawah yaitu pukul 7 unluk membran

timpani telinga kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.

7
Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang

dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat

dua macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang

menyebabkan timbulnya klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya

bila letak reflek cahaya mendatar berarti terdapat gangguan pada

tuba eustachius. 2,3

Membran timpani terbagi menjadi 4 kuadran, dengan

menarik garis searah dengan prosesus longus Maleus dan garis

yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga di dapatkan

bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-

belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani. Bila

melakukan miringotomi atau prasentesis, dibuat insisi di bagian

bawah belakang membran timpani, sesuai dengan arah serabut

membran timpani, di daerah ini tidak terdapat tulang pendengaran.

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang

tersusun dari luar ke dalam, yaitu Maleus, Inkus, dan Stapes.

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan,

Prosesus longus Maleus melekat pada membran timpani, Maleus

melekat pada Inkus, dan Inkus melekat pada Stapes. 2,3

2.1.3 Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa

dua setengah lingkaran dan vestibular yang terdiri dari tiga buah

8
kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut

helicotrema, menghubungkan perilimf skala timpani dengan skala

vestibuli.

Gambar 2.3 Telinga Dalam15

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak

lengkap dan membcntuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan

melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani

sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) di antaranya,

Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan endolimf ion dan

garam yang berada di perilimf berbeda dengan endolimf. Hal ini

penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai

membran vestibuli (Reisner membrane) sedangkan dasar skala

media adalah membran basilaris. Kedua membran ini terletak di

organ Corti. Pada skala media terdapat dibagian yang berbentuk

lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal

9
melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut

luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti. 2,3

Organ Corti mengandung sel-sel reseptor bunyi yaitu sel-

sel rambut dalam (inner hair cell/IHC) dan sel-sel rambut luar

(outer hair cell/OHC) sel-sel seperti sel Deiter, sel liensen dan sel

Claudius, IHC tersusun satu lapis, sedangkan OHC terdiri atas tiga

lapis yang berfungsi untuk memperkuat/memperbesar gerak

membran basilaris pada frekuensi tertentu (cochlear amplifier). 90-

95% neuron yang mempersarafi koklea di OHC (neuron tipe II).

Setiap sel memiliki silia yang menembus lapisan kenyal membran

tektoria. Sel rambut dalam berjumlah 3.500 dan sel rambut luar

berjumlah 12.000 — 20.000, yang berperan mengubah energi

akustik menjadi implus listrik (transduksi). 2,3

Struktur pendengaran sentral adalah struktur saraf

pendengaran setelah nervus koklearis yang mencakup kompleks

nukleus koklearis, kompleks olivarius superior, lemnikus lateralis,

kolikus inferior, korpus genikalatum medial dan korteks

pendengaran. Kompleks nukleus koklearis terdiri dari 3 nukleus,

yaitu nukleus koklearis anteroventral, nukleus koklearis

posteroventral, nukleus koklearis dorsalis nukleus koklearis

menerima serabut saraf asenden dari nervus koklearis ipsilateral

sel-sel pada kompleks.3

10
2.1.4 Fisiologi

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi

bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan

melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan

membran timpani di teruskan ke telinga tengah melalui rangkaian

tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui

daya ungkit tulang pendengaran pada perkalian perbandingan luar

membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah

diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan

tingkap lonjong sehingga) pada skala vestibuli bergerak Getaran

diterukan melalui membran Reissner yang mendorong endolimf

sehingga menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan

membran tektoria. Proses Ini merupakan rangsangan mekanik yang

menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,

sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan

listrik dari badan sel, Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi

sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis

yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu

dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran

(area 39-40) di lobus temporalis. 2

11
2.2 GANGGUAN PENDENGARAN

Gangguan pendengaran adalah penurunan fungsi termasuk

peningkatan ambang pendengaran dan penurunan diskriminasi

percakapan. Terdapat dua pokok bahasan yaitu jenis gangguan

pendengaran dan derajat gangguan pendengaran. 2

2.2.1 Derajat Gangguan Pendengaran

Ambang pendengaran adalah bunyi yang terlemah pada

frekuensi tertentu Yang masih dapat didengar Oleh telinga seseorang.

Terdapat ambang pendengaran konduksi udara (AC) dan konduksi

tulang (BC). Bila ambang pendengaran AC dan BC dihubungkan

dengan garis, maka akan di dapat audiogramnya, dengan

menggunakan pemeriksaan audiometri. Dari hasil audiogram ini

dapat diketahui jenis dan derajat ketuliannya, normal atau tuli. 2,3

Nilai nol audiogram dalam dB HL dan dB SPL, yaitu

intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekusnsi tertentu yang

masih dapat di dengar oleh telinga. Di dalam intensitas kita mengenal

dengan istilah dB HL (hearing level), dB SL (sensation level), dB

SPL (sound pressure level) dB HL dan dB SL dasarnya adalah

subyektif, biasanya digunakan pada audiometer, sedangkan dB SPL

digunakan apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang

sesungguhnya secara fisika.

12
2.2.2 Jenis Gangguan Pendengaran

Adapun jenis gangguan pendengaran yaitu gangguan

pendengaran tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur.

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu

Ambang pendengaran (AD): AD 500 Hz +AD 1000 Hz +AD 2000

Hz Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting

untuk pendengaran sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga

derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang pendengaran

4000 Hz dengan ketiga ambang pendengaran di atas, kemudian di

bagi 4. 2

Ambang pendengaran (AD) AD 500 Hz AD 1000 Hz + AD

2000 + AD 4000 Hz Dapat dihitung ambang pendengaran hantaran

udara (AC) atau hantaran tulang (BC), akan tetapi untuk menentukan

derajat ketulian yang dihitung hanya ambang pendengaran hantaran

udara (AC) saja. Derajat ketulian menurut ISO (Internasional

Standart Organization), yaitu:

0-25 dB Normal

>25-40 dB Tuli ringan

>40-55 dB Tuli sedang

>55-70 dB Tuli sedang berat

>70-90 dB Tuli berat

13
> 90 dB Tuli sangat berat

2.3 PEMERIKSAAN BRAINSTEM EVOKED RESPONSE

AUDIOMETRY

2.3.1 Pengertian BERA

Pemeriksaan BERA merupakan cara pengukuran evoked

potential (aktifitas listrik yang dihasilkan nervus VIII, pusat neural

dan traktus di dalam batang otak sebagai respons terhadap stimulus

audiotorik. Pelaksanaan pemeriksaan ini biasanya dilakukan oleh

audiologis. Berbagai kondisi yang dianjurkan untuk pemeriksaan

BERA antara lain bayi baru lahir untuk mengantisipasi gangguan

perkembangan wicara/bahasa. Jika ada anak yang mengalami

gangguan atau lambat dalam berbicara, mungkin salah satu

sebabnya karena anak tersebut tidak mampu menerima rangsangan

suara karena adanya gangguan pendengaran. Pemeriksaan ini relatif

aman, sehingga bisa juga dimanfaatkan untuk screening medical

checkup. Pemeriksaan BERA mengarah pada bangkitan potensial

yang ditimbulkan dengan suara singkat atau nada khusus yang

ditransmisikan atas transduser akustik dengan menggunakan insert

phone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang

ditimbulkan atas respon tersebut dinilai dengan menempelkan

elektrode permukaan yang biasanya diletakkan pada bagian vertex

kulit kepala dan tulang mastoid telinga di belakang daun telinga.

14
Pencatatan rata-rata grafiknya diambil berdasarkan panjang

gelombang / amplitudo (micro voltage) dalam waktu milidetik.

Puncak atas gelombang yang timbul ditandai dengan I-V. Bentuk

gelombang tersebut normalnya muncul dalam periode waktu 10

milidetik setelah rangsangan suara pada intensitas tinggi (70-90

dB) dB ambang pendengaran normal. Reaksi yang timbul

sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi

berdasarkan waktu yang dibutuhkan mulai atas saat pemberian

stimulus sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang.

Gelombang yang terjadi sebenarnya ada beberapa gelombang,

namun yang penting dicatat adalah gelombang I, III, dan V karena

gelombang ini lebih jelas.5,6,8

Gelombang I : Distal Nervus VIII

Gelombang II : Proksinal Nervus VIII

Gelombang III: Nukleus Koklearis

Gelombang IV: Kompleks Olivarius Superior

Gelombang V : Lemnikus Lateralis & Kolikulus Inferior

15
Gambar 2.4 Neural generator gelombang I-V BERA13

a. Gelombang I

Berasal dari potensial aksi senyawa di bagian distal saraf ke-VIII

yaitu, aktivitas aferen serabut saraf ke-VIII saat meninggalkan

koklea dan memasuki internal auditory canal.4,9

b. Gelombang II

Saraf kranial ke-VIII juga menghasilkan gelombang II.

Gelombang II dapat berasal dari dua tempat yaitu distal N.

Auditory dan batang otak terutama nukleus koklearis dan ujung

proksimal N. Auditory.4,9

c. Gelombang III

Gelombang III diakaitkan dengan aktivitas saraf superior olivary

complex (SOC). Berasal dari caundal pontine tegmentum pada

superior olivary complex dengan kontribusi dari nukleus koklea,

trapezoid body dan superior olivary complex. 4,9

d. Gelombang IV

16
Gelombang IV sering muncul sebagai bahu utama pada

gelombang V. Gelombang IV muncul dari neuron orde ketiga di

pons, berasal predominan dari serabut auditory ascending dengan

dorsal dan rostral pons, caudal dari colliculus inferior. Jadi,

gelombang IV berasal dari superior olivary complex (SOC). 4,9

e. Gelombang V

Di antara komponen ABR, gelombang V paling sering dianalisis

dalam aplikasi klinis ABR. Gelombang V, berasal dari

mensecephalon, yaitu inferior colliculus atau serabut dari bagian

rostal lateral lemnicus sebagai akhir dari inferior colicullus, dan

dapat berasal kontralateral telinga yang diransang. Dengan kata

lain, gelombang V ABR yang dibangkitkan oleh stimulus telinga

kanan dihasilkan dari lemniskus lateral di sisi kiri batang otak dan

sebaliknya. Morfologi bentuk gelombang ABR juga terkait dengan

anatomi, bagian tajam dari puncak V mencerminkan aktifitas di

lemnikus lateral yang tidak terganggu di superior olivary complex

(SOC). Palung yang besar dan lebar setelah gelombang V

dikaitkan dengan potensi dendritic didalam inferior coliculus. 4,9

2.3.2 Fisiologi BERA

Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai perubahan

potensial listrik di otak setelah pemberian rangsangan sensoris

berupa bunyi. Rangsangan bunyi diberikan melalui headphone atau

17
insert phone akan menempuh perjalanan melalui saraf ke VIII di

koklea (gelombang I), Nukleus Koklearis (gelombang II), Nukleus

Olivarius Superior (gelombang III), Lemnikus Lateralis

(gelombang IV), Kolikulus Inferior (gelombang V) kemudian

menuju saraf ke korteks auditoris di temporal otak. Perubahan

potensial listrik di otak akan diterima oleh ketiga elektroda dikulit

kepala, dari gelombang yang timbul disetiap nukleus saraf

sepanjang jalur saraf pendengaran tersebut dapat dinilai bentuk

gelombang dan waktu yang diperlukan dari saat pemberian

rangsangan suara sampai mencapai nukleus saraf tersebut.10

2.3.3 Manfaat Pemeriksaan BERA

Manfaat pemeriksaan BERA antara lain adalah untuk

memprediksi ambang pendengaran, membantu memperkirakan

jenis ketulian, membantu menentukan letak lesi disepanjang jaras

pendengaran sampai batang otak, malingering (pemeriksaan pada

orang yang pura-pura tuli), kecurigaan tuli saraf retrokoklea,

ANSD untuk menentukan respon potensial aksi atas sistem saraf

pusat dan perifer, monitoring pasien yang dirawat.10

2.3.4 Syarat Pemeriksaan BERA

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

pemeriksaan BERA bagi pasien maupun pemeriksa atau tenaga

18
ahli Audiologis sebelum pemeriksaan BERA. Yang harus

diperhatikan untuk pasien sendiri adalah:8,10

2.3.4.1 Syarat Pemeriksaan BERA.

a. Untuk bayi baru lahir:

Daun telinga normal, minimal satu bulan untuk bayi

baru lahir karena didalam liang telinga bayi masih terdapat

kotoran, membran timpani utuh. Untuk bayi baru lahir jika

bisa tenang dapat dilakukan pemeriksaan BERA skrining

dan tidak sedang flu atau batuk pilek.

b. Untuk anak-anak

Daun telinga normal, liang telinga bersih,

membrane timpani utuh, tidak sedang batuk pilek. Anak

dianjurkan untuk tidur lebih malam dan bangun pagi lebih

awal sebelum pemeriksaan BERA. Jika pasien bisa tenang

dan kooperatif atau bisa tidur secara normal tidak

diperlukan sedasi untuk pemeriksaan.

c. Untuk orang dewasa

Daun telinga normal, liang telinga bersih,

membrane timpani utuh. Pasien kooperatif atau bisa tidur

dengan tenang maka bisa dilakukan pemeriksaan BERA

tanpa sedasi.

2.3.4.2 Syarat pemeriksan BERA

a) Ruangan

19
Ruangan harus tenang dan terhindar dari bising,

sebaiknya kedap suara maksimal 40dB. Ruangan BERA

telah dibumikan sehingga tidak menimbulkan artefak yang

berlebihan, juga tidak berdekatan dengan magnet (CT scan

atau MRI). Sebaiknya menggunakan AC agar pasien tidur

lebih tenang dan nyenyak, ruangan yang tidak terlalu

terang, alat terkalibrasi dengan baik, bisa mengoperasikan

computer dan BERA dengan benar, sebelum dilakukan

pemeriksaan pasien telah dibersihkan dengan newprep.

Periksa kabel penghubung elektroda dan transducer dalam

keadaan terhubung dengan baik, siapkan elektroda dengan

daya rekat baik, pilih probe tip untuk transduser yang

sesuai diameter liang telinga dan pastikan transducer dapat

mengeluarkan stimulus bunyi.8,10

2.3.5 Prinsip Dasar Dan Cara Pengukuran Bera

Pemahaman akan prinsip dasar dan terminologi di bidang

ilmu saraf secara umum dan sistem auditorius secara khusus,

merupakan dasar teori yang perlu dipahami dalam mempelajari

"Brainstem Evoked Response Audiometry" (BERA) atau Evoked

Response Audiometry (AEP) Hasil pemeriksaan merupakan

respons dalam bentuk gelombang yang menunjukkan fungsi

elektrofisiologi bagian tertentu di sistem saraf VIII sebagai

respons terhadap stimulus suara Elektroda tidak hanya

20
menangkap aktifitas AEP tetapi juga aktifitas listrik lain yang

tidak dikehendaki dikenal dengan istilah "electrical noise" yang

berasal dari: 1) tubuh pasien sendiri seperti EEG, potensial otot,

jantung, potensial kornea-retina. 2) luar tubuh pasien; radiasi

elektromagnetik, alat-alat listrik, sistem komunikasi, station radio.

Potensial listrik yang berhubungan secara spesifik dengan

stimulus auditoris sangat kecil apabila dibandingkan dengan

aktifitas EEG dan sinyal listrik yang lain. Proses yang utama dari

AEP adalah meningkatkan intensitas sinyal dan mengurangi

suara-suara lain yang tidak diinginkan signal to noise ratio (SNR)

yang dilakukan oleh preamplifier, sehingga mendapatkan respons

yang lebih jelas.5

2.3.6 Stimulus BERA

Stimulus yang banyak digunakan dalam pemeriksaan

BERA adalah stimulus click, tone pip, dan tone burst. Stimulus

yang paling efektif dan banyak digunakan untuk aplikasi

neurologi adalah "click" yang berlangsung dalam waktu pendek

sehingga mampu menimbulkan sinkroni saraf secara serentak.

Stimulus click dengan rentang frekuensi lebar (broadband) bila

ditansduksikan melalui earphone THD-39 jenis supra-aural, akan

memberikan suara maksimum di area frekuensi 2000-4000 Hz.

Dengan demikian stimulus yang berlangsung dalam waktu

pendek tersebut tidak bisa menghasilkan frekuensi spesifik seperti

21
nada murni, karena bunyi click hanya menimbulkan aktivitas

maksimum di area basal koklea sesuai dengan organisasi

tonotopic koklea dibidang fisiologi pendengaran. Untuk

kepentingan diagnostik neurologi hal tersebut tidak masalah,

karena yang penting didapatkan puncak gelombang yang jelas

untuk interpretasi. Demikian halnya untuk diagnosis perkiraan

ambang pendengaran, karena BERA dengan click tidak dapat

memberikan gambaran fungsi pendengaran pada rentang

frekuensi yang lebih luas seperti audiometri konvensional.

Apabila BERA dipakai untuk perkiraan ambang pendengaran

sebaiknya menggunakan stimulus click maupun tone burst dengan

mengubah parameter yang digunakan. 5,8

2.3.7 Polaritas Stimulus

Prinsip polaritas stimulus adalah perubahan posisi membran

akibat tekanan suara yang akan mengubah posisi membran

timpani ke arah dalam: condensation, ke arah luar: rarefaction

dan secara bergantian dalam waktu yang berturut-turut:

alternating. Stimulus yang menyebabkan gerakan membran

timpani ke arah luar akan menggerakkan oval ke arah luar, diikuti

oleh gerakan membran basilaris koklea ke atas yang akan

menimbulkan depolarisasi. Sebaliknya stimulus yang mendorong

membran timpani ke arah dalam, akan menggerakkan membran

oval ke arah dalam, diikuti gerakan membran basilaris ke arah

22
bawah baru kemudian diikuti Gerakan membran basilaris keatas

depolarisasi. Perbedaan polaritas stimulus akan menyebabkan

perbedaan waktu latensi. Polaritas stimulus sangat penting

diketahui apabila menghadapi masalah keraguan apakah respon

yang muncul merupakan respons koklea atau compound action

potensial (CAP), respons koklea akan muncul dalam phase yang

berlawanan dengan polaritas condensation dan rarefaction, yang

menghilang dengan polaritas alternating, sedangkan respons

neural tidak akan berubah phasenya dengan perbedaan polaritas:

rarefaction dan condensation. 6,8

2.3.8 Transduser

Stimulus pada BERA dapat dihantarkan melalui hantaran

udara dan hantaran tulang melalui vibrator "bone conduction"

Keuntungan penggunaan insert phone di bandingkan

menggunakan headphone adalah gelombang I akan terlihat lebih

jelas dengan cara memisahkan artefak stimulus dari onset respons

dengan keterlambatan 0,9 ms. Insert phone dapat mencegah

kolapsnya liang telinga, meningkatkan interaural attenuation, dan

lebih nyaman untuk pemeriksaan yang membutuhkan waktu lebih

lama karena dapat mengurangi artefak akibat gesekan pasien /

gerakan pasien selama prosedur BERA berlangsung, mengurangi

pengaruh suara-suara di lingkungan tempat tes. Perlu diperhatikan

penggunaan earphone jenis supraaural seperti TDH 39 atau

23
sejenisnya yang banyak dipakai dibeberapa klinik dengan

bantalan yang cukup besar sehingga dapat mengakibatkan

kolapsnya liang telinga. 8

2.3.9 Penempatan Elektroda

A. B. C.

Gambar 2.515

a. Penempatan Elektroda 1 channel pada lobulus daun telinga

b. Penempatan Elektroda 2 channel pada lobulus daun telinga

c. Penempatan elektroda di mastoid

BERA direkam dengan meletakkan elektroda dikulit kepala

sebagai far filed karena jauh dari sumber yang memberikan

respons. Untuk memfasilitasi konduksi listrik, elektroda diletakkan

dikepala dengan gel khusus untuk pemeriksaan BERA.

Pemeriksaan BERA sistem 1 channel memerlukan 3 buah

elektroda dan 4 buah elektroda untuk 2 channel. Umumnya respons

BERA digambarkan berupa 7 buah gelombang dengan verteks

positif dalam grafik. Elektroda dengan dua channel menggunakan

4 elektroda masing-masing diletakkan di verteks, mastoid kiri,

mastoid kanan, dahi sebagai ground. Sedangkan Elektroda dengan

satu channel diletakkan di verteks dan yang lain di kedua mastoid

24
atau lobulus daun telinga aurikula. Bila satu telinga ditest, telinga

sisi yang lain berlaku sebagai ground. Dengan demikian apabila

akan melakukan tes disisi telinga yang lain posisinya harus ditukar.

Hal ini penting dalam melakukan tes BERA tipe satu channel,

jangan sampai terjadi salah jalur yang dapat mengakibatkan

kesalahan penilaian hasil pemeriksaan. 6

2.3.9.1 Tujuan Pemasangan Elektroda Di Lobulus Daun Telinga

Penempatan elektroda berperan penting dalam

perekaman Brain Evoked Response Audiometry

(BERA). Penting untuk mengukur latensi dan amplitudo

gelombang secara akurat dalam menentukan tingkat

pendengaran. Anak kecil biasanya memiliki area mastoid

yang terbatas, dan dalam kondisi tertentu, seringkali sulit

untuk menempatkan vibrator dan elektroda bertepatan

dengan mastoid. Oleh karena itu, pemasangan elektroda

pada lobulus daun telinga dianggap sebagai alternatif

penempatan.

2.3.9.2 Keuntungan Elektroda Dipasang Pada Lobulus

Dibandingkan Di Prosesus Mastoid

Keuntungan penempatan elektroda dipasang pada

lobulus daun telinga adalah pada morfologi gelombang 1

lebih baik dan terlihat jelas daripada penempatan

elektroda pada prosesus mastoid. Korelasi tersebut

25
menunjukkan bahwa perekaman gelombang BERA click

dengan penempatan elektroda pada lobulus daun telinga

dapat diandalkan bahkan pada anak-anak. Dan pada

pasien dewasa ditemukan bahwa lobulus daun telinga

dan mastoid cukup dekat dengan generator potensial atau

koklea untuk menghasilkan latensi dalam batas normal.

Hasilnya konsisten, namun latensi gelombang yang

diperoleh dari elektroda lobulus sedikit lebih panjang

dari elektroda mastoid. Hal ini perlu diperhatikan oleh

pemeriksa, tetapi hal ini dapat diabaikan karena

kisarannya masih dalam batas normal. 1,7

2.3.9.3 Gambar hasil pemeriksaan BERA click dengan elektroda di

mastoid dan elektroda lobulus daun telinga.

Gambar 2.6 hasil pemeriksaan BERA click dengan

elektroda di lobulus daun telinga.

26
Gambar 2.7 hasil pemeriksaan BERA click dengan

elektroda di mastoid.

2.3.10 Preamplifier

Elektroda akan menangkap semua aktivitas listrik, baik

yang berhubungan dengan stimulus bunyi maupun yang tidak.

Dengan demikian diperlukan proses meningkatkan sinyal dan

mengurangi noise untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

2.3.11 Karakteristik Penilaian Hasil Pemeriksaan Bera

Menggunakan angka romawi I sampai dengan VII untuk

menandai puncak gelombang yang muncul berturut-turut sebagai

respon terhadap stimulus suara, terhitung mulai dari saat

pemberian stimulus sampai 10 milidetik kemudian. Setiap

gelombang yang muncul menunjukkan integritas saraf di area

tertentu disepanjang jalur saraf pendengaran. Dengan menilai

bentuk gelombang dan waktu yang diperlukan mulai saat stimulus

27
diberikan sampai timbul gelombang, dapat memberikan arti klinis

mengenai kondisi jalur saraf pendengaran atau area di sekitarnya

yang memengaruhi saraf pendengaran. Penilaian respons BERA

yang utama adalah identifikasi gelombang I sampai dengan V.

Gelombang V merupakan gelombang yang paling mudah dinilai

bahkan sampai intensitas rendah mendekati ambang pendengaran.

Kriteria penilaian respons BERA yaitu; 1. masa latensi absolut

masing-masing gelombang, 2. Masa lantensi antar gelombang, 3.

masa latensi antar telinga (kiri dan kanan) 4. perubahan masa

latensi gelombang apabila intensitasnya diturunkan (latency

intensity function), 5. perubahan masa latensi gelombang dengan

perubahan kecepatan stimulus, 6. rasio amplitudo gelombang, 7.

morfologi gelombang.6

2.3.11.1 Masa Latensi Absolut

Masa latensi absolut adalah interval waktu dalam

milidetik antara onset stimulus sampai puncak

gelombang. Dalam keadaan normal, dengan stimulus

click pada intensitas 75 dB gelombang I timbul dalam

waktu 1.6 ms setelah onset stimulus gelombang III

sekitar 3.7 ms dan gelombang V sekitar 5.6 ms. Masa

latensi ini sangat konsisten dan terulang dengan

pengulangan pemeriksaan pada individu normal.6,8

28
2.3.11.2 Masa Latensi Antar Gelombang

Interwave latency Interval (IWI) adalah beda masa

latensi antara masing-masing gelombang. Pada

pemeriksaan BERA interval antara gelombang tidak

menunjukan waktu hantaran yang tepat, karena puncak

gelombang BERA merupakan respon pada area yang

lebih luas, yaitu tingkatan area anatomis tertentu dan area

di sekitarnya. Dalam kondisi normal gelombang I-III dan

III-V: 2 ms sehingga IWI I-V: 4 ms, dengan standar

deviasi antara I-III dan III-V: 0,2 ms Nilai tersebut

dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan ada gangguan

pendengaran perifer. Oleh karena itu gelombang I

merupakan aktifitas bagian lateral atau distal saraf VIII,

maka ini dapat membantu memberikan informasi

mengenai sinkroni dan integritas jalur auditoris dan

nuklei sehingga sangat berharga untuk aplikasi

neurologic. 6

2.3.11.3 Masa Latensi Antar Telinga

Interaural latency difference (ILD) merupakan beda

latensi IWI gelombang I-V kanan dan kiri. Pada

gangguan pendengaran perifer. Gelombang I sering tidak

tampak jelas sehingga menyulitkan penilaian ILD.

Dalam hal ini maka dapat dipakai ILD antara latensi

29
absolut gelombang V kanan dan kiri pada intensitas yang

sama. Pada gangguan pendengaran perifer, ILD tidak

lebih dari 0,4 ms. Hasil penelitian ILD sangat bermanfaat

untuk membedakan diagnostik tumor dan non tumor. 6

Gambar 2.8 Masa Latensi8

2.3.11.4 Beda Masa Latensi Dengan Penurunan Stimulus

“Latency intencity function" menilai hubungan

antara intensitas stimulus dan latensi gelombang.

Penurunan intensitas stimulus akan memperpanjang masa

latensi dan mengurangi amplitude gelombang. Perubahan

masa latensi terjadi secara bertahap pada intensitas 90 dB

sampai dengan 60 dBnHL, kemudian bertambah lebih

cepat pada intensitas dibawah 60 dBnHL. "Latency

intencity function" sangat dipengaruhi oleh jenis

gangguan pendengaran gangguan konduktif, koklear atau

retrokolear. Pada kelainan konduktif dan lesi

retrokloklear, kedua-duanya dapat menyebabkan

pergeseran masa latensi gelombang V, sekalipun

30
pergeseran latensi masing-masing intensitas tidak sama

pada lesi retrokoklear. Untuk kepastian diagnosis

diperlukan data. 6

Gambar 2.9 Stimulus Click dan Tone Burst14

2.3.11.5 Perubahan Kecepatan Stimulus

Semakin tinggi kecepatan stimulus, masa latensi

semakin memanjang. Kenaikan latensi gelombang V

berkisar antara 0.6-0.8 ms dari kecepatan rendah ke

kecepatan tinggi dibandingkan dengan kecepatan yang

normal. Gelombang I jarang terpengaruh oleh kenaikan

kecepatan stimulus dibanding dengan gelombang

berikutnya III, V, sehingga dapat mengakibatkan

kenaikan Interwave latency Interval. 6

2.3.11.6 Amplitudo

Amplitudo gelombang BERA normal berkisar

antara 0.1-1.0 uV. Yang penting dinilai adalah rasio

amplitudo gelombang V dan I. Amplitudo gelombang V

harus lebih besar daripada amplitudo gelombang I dengan

31
rasio V/I > 1. Amplitudo gelombang V tetap sekalipun

kecepatan pemberian stimulus bertambah, tetapi

amplitudo gelombang awal berkurang sehingga

mengakibatkan penurunan rasio amplitudo. 6

Gambar 2.10 Amplitudo8

2.3.11.7 Morfologi

Rekaman BERA yang normal harus ada gelombang

I, III, dan V dengan puncak yang jelas di kedua telinga.

Gelombang IV umumnya menyatu dengan gelombang V

Pada kelainan pendengaran perifer amplitudo puncak

gelombang awal sangat rendah.

Gambar 2.11 Morfologi6

32
2.3.11.8 Clear Respons

Clear respon adalah adalah munculnya gelombang

dengan perbandingan amplitudo respons > 3: 1

dibandingkan jeda antar 2 gelombang (noise), Amplitudo

> 50 nV.11

Gambar 2.12 Clear Respons11

2.3.11.9 Inconclusive

Inconclusive adalah Respons dengan SNR < 3:1, artefak

tinggi. 11

Gambar 2.13 Inconclusive11

33
2.3.11.10 Respons Absent

Respons Absent adalah tidak terdapat gelombang respons

dengan residual noise < 25 nV (flat). 11

Gambar 2.14 Respons Absent11

2.3.12 Kesulitan Mendeteksi Respons/Gelombang Pada Pemeriksaan

BERA

2.3.1 Kesulitan Mendeteksi Respons/Gelombang Pada

Pemeriksaan BERA

Pada pemeriksaan BERA kesulitan-kesulitan yang

dihadapai untuk menentukan berbagai gelombang dapat

diatasi dengan cara sebagai berikut: Teknis: stimulus yang

tidak keluar carannya adalah memeriksa earphone,

earphone bergeser, kesalahan menghubungkan elektroda ke

preamplifier untuk satu channel, menaikkan jumlah

stimulus hingga 2000, melakukan pemeriksaan berulang,

34
menaikkan intensitas, mengganti polaritas stimulus,

mengganti elektroda / memperbaiki elektroda impedans. 6

2.3.13 Penggunaan BERA Dalam Klinik

Penggunaan BERA dibidang diagnostik klinis pada

prinsipnya adalah untuk Mengevaluasi pendengaran yang meliputi:

(a) prediksi ambang pendengaran dengan menilai adanya respons

pada intensitas yang terendah (b) skrining fungsi pendengaran.

Evaluasi fungsi saraf auditorius untuk identifikasi kelainan

neuronal saraf VIII dan area di sekitar jalur pendengaran di batang

otak. Selain itu dapat dipakai untuk memantau kondisi sistem saraf

auditorius selama operasi saraf VIII, seperti pada tindakan

pengangkatan neuroma akustik.

2.3.14 Peranan Pemeriksaan Dalam Bidang Audiologi

2.3.14.1 Evaluasi Fungsi Pendengaran

Peranan pemeriksaan BERA di bidang audiologi

terutama adalah untuk evaluasi fungsi pendengaran secara

obyektif. Respons EP tidak dipengaruhi oleh kondisi

pasien, baik dalam keadaan tidur, pemberian sedatif

maupun dalam keadaan koma. Hal tersebut membuat

pemeriksaan BERA ini sangat bermanfaat guna menilai

fungsi pendengaran pada orang dewasa. Perkiraan

ambang pendengaran dengan cara menilai intensitas

35
stimulus terendah dimana respons EP masih bisa dinilai.

Untuk mendapatkan respons yang lebih baik. Pada orang

dewasa dapat dilakukan dengan cara tidur secara alami,

tanpa obat sedatif. Umumnya dipakai kloralhidrat dengan

dosis 50 mg / kg berat badan atau stesolid supositoria.

Stimulus click atau tone burst dimulai diintensitas yang

dapat memberikan respons berupa puncak gelombang I-V

cukup jelas (sekitar 70 dB), kemudian intensitas

diturunkan sampai respons tidak dapat diidentifikasi lagi.

Semakin mendekati nilai ambang umumnya hanya

gelombang V saja yang masih bisa dideteksi. Intensitas

paling rendah pada pemeriksaan BERA tersebut,

mendekati nilai ambang respons tes secara behavioral.

Dengan stimulus click hanya bisa menunjukkan perkiraan

ambang pendengaran sekitar frekuensi 2000-4000 Hz. 6

Penting untuk selalu diingat bahwa pemeriksaan

BERA merupakan tes dari fungsi sinkroni neural dan

bukan tes pendengaran, sehingga hasil pemeriksaan tidak

bisa menggambarkan fungsi pendengaran seperti halnya

tes audiometri nada murni. Sekalipun demikian

pemeriksaan BERA dapat dipakai untuk perkiraan

kepekaan pendengaran berdasarkan pada masih timbulnya

respons terhadap stimulus pada intensitas yang mendekati

36
nilai ambang pendengaran. Pemeriksaan BERA dapat

dilakukan dengan stimulus click dan tone burst dan

metode transduksi yang berbeda (melalui hantaran udara /

hantaran tulang) seperti halnya metode yang dipakai

dalam pemeriksaan audiometri nada murni atau

audiometri behavioral. Cara tersebut harus diterapkan

juga dalam pemeriksaan BERA apabila akan dipakai

untuk penilaian ambang pendengaran untuk mendapatkan

nilai yang mendekati ambang pendengaran dalam

pemeriksaan audiometri biasa. Dengan stimulus click bisa

diperoleh perkiraan ambang pendengaran pada frekuensi

2000-4000Hz. Sedangkan untuk tone burst bisa

didapatkan frekuensi nada rendah. Click BC dapat

memberikan informant unuk membandingkan respons BC

dan AC seperti halnya pada pemeriksaan audiometri nada

murni.

Untuk menilai perkiraan kepekaan pendengaran

dengan pemeriksaan BERA, klinikus khusus harus

mempertimbangkan bahwa aktifitas listrik dari saraf VII

dan batang otak yang direkam sebagai evoked potensial,

hasil interpretasi tidak dapat memberikan informasi yang

sama dengan hasil tes pendengaran secara subyektif

seperti pemeriksaan audiometri nada murni. 6,8

37
2.3.15 Cara Pemeriksaan BERA

Cara melakukan pemeriksaan BERA adalah dengan

mempersiapkan alat yang akan digunakan, dimulai dari stimulus

head phone atau insert phone yang sudah terkalibrasi dengan

benar, elektroda yang akan digunakan dalam kondisi yang baik,

kabel-kabel elektroda tidak cacat. Persiapan pasien dengan

membersihkan kulit kepala pasien dengan newprep agar elektroda

bisa membaca respons dengan baik. Dilakukan pembersihan kulit

kepala pada vertex, kedua mastoid kanan dan kiri atau lobulus

karena biasanya pada orang dewasa menggunakan bedak atau

cream. Kemudian mengisi data diri pasien yang akan diperiksa.

Memasang elektroda pada verteks, mastoid kanan dan kin atau

lobulus daun telinga kanan dan kiri. Impedansi elektroda tidak

boleh lebih dari 5, semakin kecil nilai impedansi elektroda

semakin baik elektroda akan menangkap respon-respon stimulus

yang nantinya akan diberikan. Perlu diperhatikan saat penilaian

impedansi elektroda antara mastoid atau lobulus kanan dan kiri

tidak boleh lebih dari 2 karena akan mempengaruhi masa latensi

antar telinga nantinya, kemudian elektroda yang telah dipasang

38
tersebut dihubungkan pada preamplifier Pemasangan stimulus

sebaiknya menggunakan insert phone untuk mengurangi noise

dan langsung masuk ke liang telinga. Probe insert phone

sebaiknya disesuaikan dengan liang telinga pasien yang akan

diperiksa. Untuk menilai fungsi batang otak pada umumnya

digunakan bunyi rangsang click, karena dapat mengurangi

artefak. Rangsangan stimulus ini diberikan melalui insert phone

secara unilateral dan rekaman dilakukan pada masing-masing

telinga. Reaksi yang timbul akibat rangsangan suara sepanjang

jalur saraf pendengaran dapat akan diterima oleh elektroda jika

ada respon disetiap nukleus dalam bentuk gelombang. Gelombang

itu yang nantinya akan ditandai dengan gelombang I-V. Karena

BERA click hanya berkisar pada frekuensi 2000-4000 Hz maka

untuk mengetahui frekuensi lebih spesifik digunakan BERA tone

burst. 5,8

39
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskriptif. Ini

dilakukan untuk mengetahui masa latensi gelombang V pada pemeriksaan

BERA click dengan elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga.

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian

Pemeriksaan BERA dilakukan di RSCM Poli THT Komunitas

menggunakan alat yang sama. Pemeriksaan dilakukan sejak 30 September

2022 sampai 7 Oktober 2022.

3.3 Populasi Dan Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi Target

Mahasiswa Akademi Audiologi Indonesia

3.3.2 Populasi Penelitian

Mahasiswa Akademi Audiologi Indonesia Angkatan 2019-2022

3.3.3 Subjek Penelitian

Mahasiswa Akademi Audiologi Indonesia yang memenuhi kriteria

penelitian

3.4 Kriteria Penerimaan Dan Penolakan Subjek Penelitian

3.4.1 Kriteria Penerimaan Subjek Penelitian

40
 Usia 19-21 Tahun (Dewasa)

 Hasil pemeriksaan Audiometri ambang pendengaran normal

 Pemeriksaan BERA dilakukan sampai selesai

 Bersedia ikut serta dalam penelitian

3.4.2 Kriteria Penolakan Subjek Penelitian

 Riwayat infeksi telinga tengah dengan supurasi (Otitis Media

Akut, Otitis Media Supuratif Kronik)

 Adanya Serumen

3.5 Banyaknya Sampel

Jumlah sampel yaitu 6 orang (12 Telinga)

3.6 Metode Pengambilan Subjek

Subjek diambil secara berurutan (consecutive sampling) yang

memenuhi kriteria penerimaan hingga besar subjek terpenuhi.

3.7 Pengumpulan Data

3.7.1 Persiapan

 Mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan

 Menyusun Proposal dan status penelitian

 Persiapan alat dan perlengkapan penelitian

3.7.2 Perlengkapan penelitian

 Catatan medik penelitian

 Alat tulis

 Laptop

 Nuprep

41
 Otoskopi

 BERA Diagnostik (Natus Biologic)

3.8 Alur Kerja

Mahasiswa AAI

Bersedia ikut serta


dalam penelitian

Otoskopi dan Audiometri

Memenuhi kriteria Tidak memenuhi kriteria


penelitian pemeriksaan

Pemeriksaan BERA Tidak melanjutkan menjadi


subjek penelitian

Pengumpulan data

3.9 Persiapan Pasien

Pasien dalam keadaan sehat, tidak sedang batuk pilek. Pasien

diperiksa dengan otoskopi untuk menilai telinga luar dan telinga tengah.

3.10 Definisi Operasional

1. Stimulus click, bunyi click yang berlangsung dalam waktu singkat

sehingga menimbulkan sinkron saraf secara serentak yang mempunyai

rentang frekuensi 2000-4000 Hz dengan respon stimulus transien.

42
2. Ambang dengar, suara yang paling lemah yang dapat didengar oleh

telinga manusia, ambang dengar dinyatakan normal jika tidak lebih dari

25dB

3. Masa laten absolut, waktu dalam ms (mili second) yang dibutuhkan pada

saat stimulus mulai diberikan sampai terbentuknya gelombang tertentu.

4. Polaritas rarefaction merupakan sinyal elektrik negatif yang dihasilkan

oleh pergerakan diafragma transducer berupa insert phone maupun

earphone yang menjauhi membrane timpani sehingga dihasilkan sinyal

click yang bertekanan negatif.

5. Pemasangan elektroda di mastoid, bersihkan area tulang mastoid kanan

dan kiri dengan nuprep lalu usap menggunakan tisu, setelah itu

tempelkan elektroda pada tulang mastoid.

6. Pemasangan elektroda di lobulus daun telinga bersihkan area lobulus

daun telinga kanan dan kiri dengan nuprep lalu usap menggunakan tisu,

setelah itu tempelkan elektroda pada lobulus daun telinga.

3.11 Cara Kerja

1. Pemeriksaan dilakukan diruangan yang tenang dan subjek penelitian

tidur alami serta berbaring dengan posisi terlentang.

2. Pembersihan kulit kepala pasien pada area vertex (dahi) kedua mastoid

dan kedua lobulus daun telinga dengan menggunakan nuprep.

3. Pemasangan elektroda dengan penambahan Conductive paste pada

bagian vertex, mastoid kanan dan mastoid kiri, lobulus kanan dan lobulus

kiri dengan impedans < 5 Ohm.

43
4. Pemeriksaan menggunakan stimulus click, polaritas rarefaction, stimulus

rate 27,7/sec dan intensitas yang diperiksa 60dB dan 80dB pada masing-

masing pemeriksaan.

5. Menentukan gelombang V pada masing-masing intensitas yang

diperiksa.

6. Perekaman dilakukan bergantian antara telinga kanan dan telinga kiri.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama periode 30 September 2022 sampai 7

Oktober 2022 di RSCM Poli THT Komunitas. Penelitian ini adalah untuk

membandingkan pemeriksaan BERA dengan elektroda di mastoid dan lobulus

daun telinga pada orang dewasa dengan pendengaran normal.

4.1 Karakteristik subjek berdasarkan usia dan jenis kelamin

Tabel 4.1. Jumlah subjek berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Pada Usia Jenis Kelamin Jumlah


tabel (Tahun) Laki-laki Perempuan subjek
4.1.
19 2 - 2

20 1 - 1

21 1 2 3

memperlihatkan jumlah subjek perempuan terbanyak pada usia 21 tahun


sedangkan laki-laki pada usia 19 tahun, masing-masing berjumlah 2 orang.

44
4.2 Hasil Pemeriksaan BERA Click

Tabel 2. Hasil nilai masa latensi gelombang V pemeriksaan BERA

click pada mastoid dan lobulus daun telinga.

Gelombang V Gelombang V
Intensita
Pasien L/P Usia Mastoid Mastoid Lobulus Lobulus
s
Kanan Kiri Kanan Kiri

60 5.62 5.53 5.61 5.74


SLS P 21
80 5.12 5.45 5.20 5.57

60 5.82 5.78 5.95 5.74


ATA P 21
80 5.53 5.65 5.61 5.65

60 6.24 6.03 6.28 6.03


FDP L 20
80 5.86 5.53 5.78 5.70

60 6.15 6.28 6.20 6.28


YLT L 21
80 5.82 5.82 5.86 5.86

60 5.90 6.15 5.99 6.03


ZW L 19
80 5.36 5.65 5.45 5.70

IF L 19 60 6.24 6.11 6.07 6.11

45
80 5.49 5.24 5.57 5.53

Tabel 4.2. Menunjukkan masa latensi absolut gelombang V pada intensitas 60


dB dan 80 dB dengan elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga kanan dan
kiri.

46
Tabel 3. Rata-rata masa latensi absolut gelombang V pada intensitas 60 dB

dengan penempatan elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga.

Letak Masa latensi absolut gelombang V pada 60 dB

Elektroda Telinga kanan (ms) Telinga kiri (ms)

Mastoid 5,99 5,98

Lobulus 6,01 5,99

Tabel 4. Rata-rata masa latensi absolut gelombang V pada intensitas 80 dB

dengan penempatan elektroda di mastoid dan lobulus daun telinga.

Letak Masa latensi absolut gelombang V pada 80 dB

Elektroda Telinga kanan (ms) Telinga kiri (ms)

Mastoid 5,53 5,55

Lobulus 5,57 5,66

47
BAB V

PEMBAHASAN

Untuk mengetahui pengaruh letak elektroda antara di mastoid dan lobulus

daun telinga terhadap masa laten absolut gelombang V pada pemeriksaan BERA

dengan stimulus click, penulis telah melakukan pemeriksaan pada 12 telinga dari

6 orang di antaranya 4 laki-laki dan 2 perempuan dengan rentang usia 19-22

tahun. Pemeriksaan menggunakan intensitas 60 dB dan 80 dB karena gambaran

gelombang terlihat jelas di intensitas tersebut. Menurut kepustakaan pada

intensitas yang lebih rendah munculnya gelombang menjadi lebih cepat. Namun,

gelombang I, III, dan V lebih mudah diindentifikasi pada intensitas yang lebih

tinggi (80 dB pada subjek normal). Penggunaan intensitas 60 dB untuk

mengetahui adakah perbedaan masa laten absolut gelombang V antara

pemeriksaan BERA dengan elektroda di mastoid dan elektroda di lobulus daun

telinga terlihat pada kedua intensitas, semakin tinggi intensitasnya maka akan

semakin kecil masa laten absolutnya. Masa laten absolut adalah interval waktu

yang dibutuhkan dalam milidetik antara onset stimulus sampai terjadinya puncak

gelombang. Sesuai dengan kepustakaan dalam keadaan normal, dengan stimulus

click pada intensitas 75 dB gelombang I timbul dalam waktu 1,6 ms setelah itu

onset stimulus gelombang III sekitar 3,7 ms dan gelombang V sekitar 5,6 ms

dengan standar deviasi pada orang dewasa gelombang I sekitar 0.10 gelombang

III 0.13 dan gelombang V 0.17. Masa laten ini sangat konsisten dan berulang pada

perekaman pemeriksaan berikutnya pada individu normal. Pada 6 orang yang

diperiksa nilai rata-rata masa latensi gelombang V pada 80 dB dengan

48
penempatan elektroda pada mastoid telinga kanan adalah 5,53 ms dan pada telinga

kiri adalah 5,55 ms. Masa latensi antar telinga kanan dan kiri pada penempatan

elektroda di mastoid masih dalam batas normal karena selisih masa latensi antar

telinga adalah 0,2 ms sedangkan masa latensi gelombang V pada 80 dB dengan

penempatan elektroda di lobulus daun telinga kanan adalah 5,57 ms dan pada

telinga kiri adalah 5,66 ms. Selisih masa latensi antar telinga adalah 0,09 ms. Pada

intensitas 60 dB dengan penempatan elektroda pada mastoid telinga kanan adalah

5,99 ms dan pada telinga kiri adalah 5,98 ms. Masa latensi antar telinga kanan dan

kiri pada penempatan elektroda di mastoid masih dalam batas normal karena

selisih masa latensi antar telinga adalah 0,01 ms sedangkan masa latensi

gelombang V pada 60 dB dengan penempatan elektroda di lobulus daun telinga

kanan adalah 6,01 ms dan pada telinga kiri adalah 5,98. Selisih masa latensi antar

telinga adalah 0,03 ms.

49
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Masa laten antar telinga (inter aural latency) pada intensitas 60 dB

antara telinga kanan dan kiri dengan penempatan elektroda di mastoid

dan lobulus daun telinga tidak ada perbedaan masa laten absolut yang

melebihi 0,4 ms.

2. Masa laten antar telinga (inter aural latency) pada intensitas 80 dB

antara telinga kanan dan kiri dengan penempatan elektroda di mastoid

dan lobulus daun telinga tidak ada perbedaan masa laten absolut yang

melebihi 0,4 ms.

3. Masa laten absolut gelombang V pada intensitas 60 dB dengan

penempatan elektroda di lobulus daun di telinga kanan dan kiri lebih

Panjang masa latensinya dibandingkan dengan penempatan elektroda di

mastoid. Ini terjadi karena letak generator yang lebih jauh dari

penempatan elektroda di mastoid.

4. Masa laten absolut gelombang V pada intensitas 80 dB dengan

penempatan elektroda di lobulus daun di telinga kanan dan kiri lebih

Panjang masa latensinya dibandingkan dengan penempatan elektroda di

mastoid. Ini terjadi karena letak generator yang lebih jauh dari

penempatan elektroda di mastoid.

50
5. Pada Intensitas 60 dB masa laten absolut gelombang V dengan

penempatan elektroda di mastoid maupun di lobulus daun telinga pada

laki-laki lebih memanjang dari perempuan.

6. Pada Intensitas 80 dB masa laten absolut gelombang V dengan

penempatan elektroda di mastoid maupun di lobulus daun telinga pada

laki-laki lebih memanjang dari perempuan.

6.2 Saran

1. Peletakan elektroda pada lobulus daun telinga bisa saja dilakukan atau

bisa menjadi pilihan jika tidak memungkinkan dilakukannya

pemeriksaan BERA dengan elektroda dimastoid karena dilihat dari hasil

penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang jauh pada masa latensi

absolutnya.

2. Perlu diperhatikan tentang letak elektroda di lobulus daun telinga

terutama pada pasien perempuan yang memakai perhiasan anting agar

dilepas saat dilakukannya pemeriksaan.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Semiramis Zizlavsky, PhD, Ayu Astria Sriyana, MD, Tri Juda Airlangga,

PhD, Ratna Dwi Restuti, PhD, Brain evoked response audiometry recording

from the mastoid and earlobe electrodes in normal-hearing children.

Department of ENT and Head and Neck Surgery. RSCM, FKUI. Jakarta:

2022. Hal: 320-323

2. Soetirto I, Hendarmin H, Bashirudin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan

Telinga. Editor: Soepardi Efiaty A, Iskandar Nurbaiti, Bashirudin Jenny,

Restuti Ratna D, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2007. Hal: 10-24

3. Nugroho, Puguh S, HMS Wiyadi. 2009. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran

Perifer. Jurnal THT-KL 2.2 Hal: 76-83

4. Wijana, Auditory Brainstem Response. Jawa Barat: Penerbit paramedia

komunikatama: 2018. Hal: 6-54

5. Suwento R, Zizlavsky S, Hendarmin H Gangguan Pendengaran Pada Bayi

dan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala

& Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2007. Hal: 31-42

6. Ginsberg I. A, White T. P. Laboratory Exercises and Auditory Evoked

Potensials Handbook of Clinical Audiology Third Edition. USA: Williams &

Wilkins 2015: Hal: 10-36.

7. Samuel R. Atcherson 1 ,1 Timothy J. Lim ,1 Halaman C. Moore ,2 Charles P.

Minaya, Comparison of Auditory Brainstem Response Peak Measures Using

Ear Lobe, Mastoid, and Custom Ear Canal Reference Electrodes. USA: 2012

52
8. Suwento R, Persiapan Bahan Ajar Kuliah Pediatrik, Jakarta.

9. Hall J.W 2015. eHandbook of Auditory Evoked Response. Boston: Pears

Education, Inc. Hal: 14-203

10. Sjarifuddin, Jenny Bashiruddin, Widayat Alviandi Tuli Koklea dan Tuli Retro

Koklea. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &

Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2007. Hal: 31-42

11. Fikri Mirza, Bahan Ajar Teknik dan Interpertasi Pemeriksaan BERA dan ASSR

pada anak, Jakarta.

12. Gambar Anatomi Telinga: https://aqm-hearingcenter.com/anatomi-telinga-

dan-bagian-bagiannya/

13. Gambar Gelombang I-V: Inhouse%20NO%20ABR%@).pdf

14. Gambar Hasil Pemeriksaan BERA Click Dan Tone Burst Pada Lobulus Daun

Telinga dan Mastoid: https://scholar.ui.ac.id/en/publications/brain-evoked-

response-audiometry-recording-from-the-mastoid-and-e

15. Gambar penempatan elektroda 1 channel dan 2 channel pada lobulus daun

telinga dan mastoid: https://www.audiologyonline.com/articles/evoked-

potentials-part-1-good-23607

16. https://pusatalatpendengaran.com/bagian-bagian-telinga-tengah-yang-belum-

pernah-anda-ketahui.html

53

Anda mungkin juga menyukai