Anda di halaman 1dari 6

Puisi S.

Arimba

KITAB-19

Bersama pasukannya, gelembung raksasa itu terbang


dari seberang sana
hinggap di setiap penjuru meneror hari-harimu
orang-orang berlari kian kemari, orang-orang mencoba bersembunyi
tapi maut tak mau pergi
maut bernyanyi lalu merubah diri
menjadi angka-angka membungkam kata-kata

Orang-orang terkena gelembung menjelma ribuan gelembung


memburu mereka tak terjaga
dalam tidur dalam dengkur
orang saling curiga tak lagi saling sapa
mengunci rapat pintu, lalu mimpi
tentang Tuhan yang sedang ambil cuti

Yogya, 2020
SETELAH KURUKASETRA

Darah tak juga reda dari bekas luka menganga meski panah-tombak
telah kembali ke warangka
hujan menyapu debu, tapak kuda, jejak kereta, dan mendung di atas kepala
rumput-rumput telah berbunga, daun berkaca-kaca dalam cahaya

Sisa manusia berebut masa, unjuk kata, nama-nama susah eja,


pengetahuan hilang kebajikan dan kebijakan
Ketakutan menjadi senjata
menggilas, menindas, melibas segala tak terjaga
ganas, beringas kodrat angkara

Kurukasetra belum lagi penghujung bencana, ia mula


dari segala tata baru dunia
membentang jarak sudra waisya
manusia memangsa manusia

Yogya, 2020
BATU RINDU

Telah mengeras di ruang itu, sejak awal waktu sejak mula bertemu,
kata tak terucap di dadamu, di dadaku

Bukan sebab tak sabar menunggu, tapi jarak menguatkan rindu


dan hari-hari menjelma doa, dalam sepiku dalam sunyimu

Akankah kita bicara, sebelum senja tiba, setelah engkau


menggenggam kata dan takdir menyapa

2020
SIMULAKRA BENCANA

Beginilah ujung siasat mata, bagi pemenatap buta


terang terlihat gelap, pagi berupa senja
Benar menjadi salah, salah menjadi latah
surga sebenar neraka, neraka memenjara kesadaran jiwa.
Lidah hanya mendengarkan telinga, melupakan akal menjelma bebal
lalu ketakutan menjadi panglima dan dusta sebagai tentara.

Bencana hanya senjata mendulang harta di balik regang nyawa


bencana bukanlah bencana bagi para perencana
Bencana adalah kesadaran manusia memangsa manusia
bencana hanya menjadi bencana bagi pengaminnya.

Yogya, 2020
MENYANGKAL CORONA

Seorang mahasiswa yang belum sarapan sedari pagi sebab kiriman terlambat karena lockdown di
kampung, mengganjal perut dengan kacang goreng setengah basi, oleh-oleh pacarnya sebulan
lalu ketika menyambangi, tiba-tiba batuk sedemikian rupa.
Ibu kost mendengar suara batuk meminta segera periksa karena takut menderita gejala, maka
berangkatlah ia menuju rumah sakit yang berada di dekat kampusnya, tapi dalam perjalanan
sebuah sedan menyambar tubuhnya dan membuatnya meregang nyawa.
Sorenya dalam sebuah peti, mayat mahasiswa tersebut telah terbungkus rapi. Di sebuah
angkringan seorang dosen bertanya, “Apa penyebab kematiannya?”
Seorang filsuf yang biasa ngopi menjawabnya, “Itu tergantung diagnosa dokternya”
“lho kog bisa?”
“ada seratus tigapuluh juta alasan menjawabnya.”

Yogyakarta, 2020
Tentang Penulis:

S. Arimba, Penyair dan aktivis sastra di Yogyakarta. Lahir di Pagar Alam,


Sumatera Selatan, 20 Januari 1983. Sejak 2001 menetap di Yogyakarta. Lulusan
S2 Ilmu Sastra UGM dan saat ini sedang menyelesaikan Program Doktor Ilmu
Sastra di UGM. Karya puisinya dimuat dalam antologi bersama: Kabar Sang
Angin (2006), Syair Angin (2010), Taman Mimpi Nawawarsa (2010), Wajah
(2011), Satu Kata Istimewa (2012), Di Pangkuan Yogya (2013), Lintang Panjer
Wengi (2013), Parangtritis (2014). Kumpulan puisi tunggalnya: Obituari Rindu
(2013) dan Onrust, Ziarah Cinta (2015). Selain menulis puisi juga menulis
cerpen, esai, naskah drama, dan skenario film.
Cerpennya dimuat dalam antologi Kata yang Paling Sepi (2013), Esai dalam Tigabelas, Catatan
Perjalanan Studio Pertunjukan Sastra (2013) dan Dialog, Setahun Diskusi Puisi PKKH UGM (2013).
Naskah drama adaptasinya Kelembak Menyan di pentaskan oleh Teater Jaringan Anak Bahasa dalam
Festival Teater Yogyakarta 2009 memenangkan Diponegoro Award. Naskah drama lain yang sudah
dipentaskan Onde-onde Loemoet (2010), Bahagia Meraih Mimpi (Drama Musikal, 2018), dan Mengejar
Matahari Meraih Mimpi (Drama Musikal, 2018). Skenarionya yang sudah difilmkan adalah Rantang
(Suryakanta, 2015) dan Incang-inceng (Hompympaa, 2017).
Terlibat aktif di Studio Pertunjukan Sastra, Puisi Pro RRI Pro 2 Yogya, Sastra Kampung Halaman,
dan Diskusi Sastra PKKH UGM. Selain sastra juga menekuni teater dan jurnalistik. Pernah bekerja
sebagai editor di Jurnal Bulak Pusat Studi Kebudayaan UGM dan Jurnal Poetika S2 Ilmu Sastra UGM.
Tahun 2013 menjadi reporter di Majalah Sastra Sabana. Pernah menjabat Ketua I Himpunan Sastrawan
DIY, Produser Pentas Drama Kolosal Njemparing Rasa (2014), Produser Pentas Teater Kolosal Cupu
Manik Hasthagina (2015) dan Ketua Mimbar Pertunjukan Sastra Nusantara (2016), Ketua Mimbar
Seniman Muda (2017), Produser produksi Sandiwara Radio Bahasa Indonesia (2018). Tahun 2019 dipilih
sebagai Ketua Panitia Festival Sastra Yogyakarta (Joglitfest). Saat ini bekerja sebagai dosen di
Universitas Ahmad Dahlan dan Akademi Film Yogyakarta. Selain mengajar juga mengelola penebitan
Gress Publishing dan Oceania Press. Tinggal di Jln. Imogiri Barat Km 5 Bantul. Dapat dihubungi via
email/fb: tiyangmardika@gmail.com HP.081232972949

Anda mungkin juga menyukai