Anda di halaman 1dari 20

Kepada Yth :

Tinjauan Pustaka Makalah akan dibacakan pada


Hari/Tanggal : Rabu/ 28 Desember 2022
Tempat : Ruang Konfrens Poli Mata/
Via Aplikasi Zoom Meeting
Pukul : 08.00 WIB

FAKOEMULSIFIKASI PADA
KATARAK POLARIS POSTERIOR

DWI LESTARI POHAN


M. HIDAYAT
ARDIZAL RAHMAN

TAHAP III
SUBBAGIAN KATARAK DAN BEDAH REFRAKTIF
PROGRAM STUDI OPHTHALMOLOGY PROGRAM SPESIALIS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

Katarak polaris posterior merupakan subset klinis katarak kongenital yang


ditandai dengan opasitas sentral di polus posterior lensa. Manajemen surgikal
katarak polaris posterior memiliki tantangan tersendiri bagi dokter mata. Katarak
polaris posterior diketahui berhubungan dengan adhesi abnormal kapsul posterior
dengan opasitas di polus posterior lensa yang mungkin disertai dengan kelemahan
kapsul akibat tipisnya lapisan kapsul posterior yang terbentuk hingga adanya
dehisensi kapsul posterior, kondisi tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
ruptur kapsul posterior atau perluasan defek yang sudah ada sebelumnya dan
komplikasi lanjutan yang dapat terjadi akibat ruptur kapsul posterior seperti
dropped nucleus intraoperatif.1,2

Katarak polaris posterior merupakan jenis katarak kongenital yang jarang


ditemui dengan insidensi berkisar antara 3 – 5 per 1000 kasus. Katarak polaris
posterior terjadi akibat mutasi genetik pada gen CTPP1, CTPP2, CTPP3, CTPP4,
dan CTPP5 yang mengatur pembentukan dan perkembangan lensa. Katarak polaris
posterior dapat terjadi secara familial atau sporadik. Katarak polaris posterior
familial umumnya terjadi bilateral dan diwariskan secara autosomal dominan,
sedangkan katarak polaris posterior sporadik lebih sering terjadi unilateral. Secara
keseluruhan, katarak polaris posterior umumnya bilateral (65% – 80% kasus) tanpa
adanya predileksi gender.3,4,5

Pemeriksaan preoperatif yang teliti diperlukan untuk mengidentifikasi


katarak polaris posterior, stratifikasi risiko tindakan surgikal, dan perencanaan
teknik ekstraksi katarak. Katarak polaris posterior umumnya adalah soft cataract
sehingga prosedur fakoemulsifikasi menjadi pilihan utama tindakan ekstraksi lensa
pada katarak polaris posterior. Tujuan utama fakoemulsifikasi pada katarak polaris
posterior adalah untuk mengangkat lensa katarak dengan mempertahankan irido-
zonular-capsular diaphragm yang menjadi barrier antara segmen anterior dan
posterior serta implantasi lensa intraokuler in the bag. Berbagai strategi yang
bertujuan untuk mengurangi tekanan pada kapsul posterior saat tindakan
fakoemulsifikasi; seperti modifikasi hydroprocedures, tidak melakukan rotasi

1
nukleus, modifikasi teknik nukleotomi, dan menggunakan low parameters pada
mesin fakoemulsifikasi, dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya ruptur
kapsul posterior intraoperatif. Strategi ini terbukti menurunkan insidensi ruptur
kapsul posterior pada ekstraksi katarak polaris posterior dari sebelumnya sebanyak
26% – 36% menjadi sekitar 6% – 7% kasus.2,6,7

Pada makalah ini akan dibahas mengenai presentasi klinis dan klasifikasi
katarak polaris posterior serta prinsip modifikasi langkah-langkah fakoemulsifikasi
pada katarak polaris posterior untuk menurunkan risiko terjadinya ruptur kapsul
posterior intraoperatif.

2
BAB II

PRESENTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI

2.1 Presentasi Klinis Katarak Polaris Posterior

Katarak polaris posterior merupakan kekeruhan lensa yang sudah ada pada
saat lahir berupa opasitas sentral berbentuk seperti cakram (discoid) pada polus
posterior lensa, terdiri dari lapisan konsentris multipel yang mengelilingi plak
sentral sehingga menyerupai bull’s eye (gambar 1) atau sering juga disebut onion
ring appearance, dengan atau tanpa defek pada kapsul posterior lensa. Katarak
polaris posterior tersusun atas serat-serat lensa displastik yang bermigrasi dari
ekuator ke polus posterior lensa disertai dengan deposisi matriks ekstraseluler
akibat vacuole-like changes di sekitarnya. Pada sebagian kasus, serat-serat lensa
yang mengalami displasia ini melekat erat pada kapsul posterior lensa sehingga
terjadi penipisan atau bahkan dehisensi kapsul. Meskipun sudah ada pada saat lahir,
akan tetapi katarak polaris posterior biasanya menimbulkan gejala pada usia 20 –
30 tahun dan kebanyakan pasien memeriksakan kondisi penglihatannya pada usia
30 – 50 tahun. Gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah rasa silau
(glare) terutama pada kondisi pencahayaan fotopik. Penglihatan kabur pada katarak
polaris posterior lebih dirasakan saat melihat dekat dibandingkan saat melihat jauh.
Kondisi ini akan diperberat dengan pertambahan usia akibat miosis senilis dan
peningkatan densitas katarak.2,3,4

Gambar 1. Bull’s eye appearance pada katarak polaris posterior1,4

Sekitar 20% katarak polaris posterior disertai dengan defek pada kapsul
posterior lensa. Sehingga pada pemeriksaan, selain identifikasi katarak polaris
posterior, juga harus dilakukan penilaian kapsul posterior lensa. Dengan

3
pemeriksaan slit lamp, terdapat beberapa tanda sugestif keterlibatan kapsul
posterior lensa, yaitu:

1. Daljit Singh’s sign


Adanya bercak-bercak putih seperti satelit yang terletak di sekitar
opasitas utama yang berbentuk bull’s eye akibat penipisan atau dehisensi
kapsul posterior lensa (gambar 2).3,8

Gambar 2. A. Daljit Singh’s sign; B. Penipisan kapsul posterior lensa


dengan retroiluminasi (pada pasien yang sama)8

2. Tear drop’s sign


Bagian polus posterior pada plak bull’s eye tampak menonjol (bulging)
kearah vitreus akibat defek kapsul posterior di bagian sentral
(gambar 3).8,9

Gambar 3. Tear drop’s sign8


Untuk mendapatkan visualisasi kapsul posterior lensa yang lebih jelas, dapat
dilakukan pemeriksaan tambahan seperti Anterior Segment Optical Coherence
Tomography (AS-OCT). Pada pemeriksaan AS-OCT, dapat terlihat morfologi
opasitas di polus posterior, morfologi kapsul posterior lensa, dan pola defek yang
terdapat pada kapsul posterior. Kapsul posterior yang intak memberi gambaran
kontur konveks yang reguler, sedangkan defek pada kapsul posterior dapat berupa
protrusio terlokalisir material lensa yang berhubungan dengan kekeruhan di polus

4
posterior (conical sign) seperti gambar 4A, iregularitas kapsul berupa ekskavasi
yang berhubungan dengan kekeruhan di polus posterior yang dikenal dengan
konfigurasi moth-eaten (gambar 4B), dan elevasi nodular yang mengarah ke vitreus
(konfigurasi ectatic). Pemeriksaan ini membantu perencanaan tindakan ekstraksi
lensa dan alternatif tindakan apabila terjadi komplikasi serta dapat digunakan untuk
memperkirakan outcome tindakan surgikal.10,11

A B

Gambar 4. AS-OCT pada katarak polaris posterior: A. defisiensi kapsul posterior


dengan herniasi material lensa ke vitreus anterior (conical sign),
B. defisiensi kapsul posterior dengan konfigurasi moth-eaten11
2.2 Klasifikasi Katarak Polaris Posterior
Terdapat berbagai sistem klasifikasi katarak polaris posterior yang ada saat
ini. Morfologi katarak polaris posterior, perjalanan klinis penyakit, dan adanya
kekeruhan lensa selain di polus posterior merupakan beberapa hal yang menjadi
dasar sistem klasifikasi tersebut. Berikut akan dijelaskan beberapa sistem
klasifikasi katarak polaris posterior yang umum digunakan, yaitu:1,2,3
1. Klasifikasi Duke – Elder
Berdasarkan klasifikasi ini, katarak polaris posterior dibedakan menjadi
tipe stasioner dan progresif. Tipe stasioner ditandai dengan kekeruhan
sentral klasik (bull’s eye appearance) dengan batas yang tegas dan dapat
dijumpai lesi satelit disekitar kekeruhan sentral. Sedangkan tipe progresif
ditandai dengan opasitas sentral dengan tepi berbatas tidak tegas seperti
berbulu ((feathery edges) dan bergerigi yang mengalami perluasan secara
radial.2,3
2. Klasifikasi Daljit Singh
Pada klasifikasi Daljit Singh, katarak polaris posterior dibedakan
berdasarkan keterlibatan kekeruhan bagian lensa lainnya, yaitu:

5
- Tipe 1: katarak polaris posterior yang disertai dengan adanya katarak
subkapsul posterior
- Tipe 2: opasitas bulat atau oval berbatas tegas dengan cincin
konsentris yang mengelilinginya tanpa opasitas satelit
- Tipe 3: opasitas bulat atau oval berbatas tegas dengan cincin
konsentris yang mengelilinginya disertai opasitas padat menyerupai
satelit pada tepinya
- Tipe 4: Kombinasi dari salah satu dari tipe tersebut dengan sklerosis
nuklear.3
3. Klasifikasi Vasavada
Pada klasifikasi Vasavada, katarak polaris posterior dibedakan
berdasarkan derajat keterlibatan kapsul posterior, yaitu:
- Grade 1: katarak polaris posterior dengan kapsul posterior yang
sangat tipis akibat perluasan opasitas berbentuk plak dari polus
posterior lensa sehingga sangat rentan mengalami dehisensi
(imminent/ impending posterior capsular dehiscence)
- Grade 2: katarak polaris posterior dengan dehisensi kapsul posterior
(preexisting posterior capsule dehiscence)
- Grade 3: katarak polaris posterior dengan dislokasi spontan
4. Klasifikasi Schroeder
Klasifikasi Schroeder membagi katarak polaris posterior menjadi 4 grade
berdasarkan besarnya obstruksi red reflex pada pupil.
- Grade 1: terdapat opasitas sentral berukuran kecil yang tidak
menyebabkan obstruksi red reflex
- Grade 2: terdapat opasitas sentral yang menyebabkan obstruksi red
reflex pada 2/3 pupil
- Grade 3: terdapat opasitas sentral yang menyebabkan obstruksi red
reflex dengan area disekitarnya mengalami penurunan red reflex, dan
area dengan red reflex normal yang mengelilinginya hanya dapat
dilihat dengan melebarkan pupil
- Grade 4: obstruksi total red reflex, tidak didapatkan area dengan red
reflex yang cukup terang meskipun pupil sudah dilebarkan.3

6
BAB III
PRINSIP DAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI
KATARAK POLARIS POSTERIOR
Pada tindakan ekstraksi katarak standar dengan fakoemulsifikasi, teknik
surgikal yang dilakukan mengasumsikan bahwa kapsul posterior intak dan
hidrodiseksi akan memisahkan korteks posterior dari kapsul posterior dengan
mudah dan aman. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku untuk ekstraksi katarak polaris
posterior karena umumnya terdapat kelemahan pada kapsul posterior dan terdapat
adhesi yang kuat antara kapsul posterior dengan korteks. Modifikasi teknik surgikal
diperlukan untuk mengatasi kondisi tersebut. Terdapat berbagai modifikasi teknik
fakoemulsifikasi pada katarak polaris posterior, akan tetapi pada prinsipnya, semua
pendekatan tersebut bertujuan untuk mengurangi tekanan (stress) pada kapsul
posterior, termasuk stress torsional dan traksional selama tindakan
fakoemulsifikasi. Berikut akan dijelaskan pertimbangan-pertimbangan dan
modifikasi langkah-langkah fakoemulsifikasi pada katarak polaris posterior. 6,12
3.1 Anestesia dan Konstruksi Insisi
Tindakan fakoemulsifikasi pada katarak polaris posterior umumnya
memerlukan waktu yang lebih lama karena dilakukan dengan low parameters dan
memerlukan penanganan material lensa yang lebih ekstensif secara lebih berhati-
hati sehingga dibutuhkan anestesi dengan durasi yang lebih panjang seperti injeksi
peribulbar atau blok retrobulbar untuk meningkatkan kenyamanan pasien dan
operator selama tindakan.5,6
Seperti halnya tindakan fakoemulsifikasi secara umum, lokasi insisi di clear
cornea atau near clear cornea menjadi pilihan pada ekstraksi katarak polaris
posterior. Main incision yang dibuat harus sesuai dengan ukuran phaco tip/ sleeve
yang digunakan agar tidak terjadi kebocoran luka selama tindakan. Arsitektur insisi
yang self-sealing sangat penting untuk mempertahankan kedalaman anterior
chamber selama operasi. Insisi untuk second instrument dibuat dengan jarak 90º
dari main incision. Insisi ini merupakan side port sebagai akses untuk memasukkan
ophthalmic viscosurgical devices (OVDs) pada berbagai tahapan fakoemulsifikasi
ataupun second instrument untuk manuver nukleus. Pada fakoemulsifikasi katarak
polaris posterior, disarankan untuk membuat side port terlebih dahulu diikuti

7
dengan injeksi OVDs untuk membentuk anterior chamber sebelum membuat main
incision. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pergeseran dan protrusi
iris – lens diaphragm ke anterior karena perubahan tekanan di anterior chamber
yang dapat menyebabkan tarikan pada kapsul posterior akibat adhesi yang erat dari
opasitas di polus posterior lensa dengan kapsul posterior. Akan tetapi, injeksi OVDs
yang berlebihan harus dihindari karena peningkatan tekanan anterior chamber yang
drastis dan cepat dapat menyebabkan blow-out kapsul posterior.1,2,13, 14
3.2 Kapsuloreksis
Ukuran, sentrasi, dan integritas kapsuloreksis sangat penting pada ekstraksi
katarak polaris posterior. Apabila terjadi ruptur kapsul posterior yang tidak
memungkinkan implantasi IOL in the bag, implantasi IOL di sulkus dengan
posterior optic capture dapat dilakukan pada kapsuloreksis yang baik. Ukuran
kapsuloreksis yang optimal adalah sekitar 5 mm. Kapsuloreksis yang lebih besar
daripada 5mm tidak adekuat untuk mempertahankan posterior optic capture pada
fiksasi IOL di sulkus. Selain itu, dengan kapsuloreksis yang besar terdapat kesulitan
untuk menahan fragmen lensa tetap berada in the bag pada saat emulsifikasi
fragmen lensa yang lain sehingga rentan berkontak dengan endotel kornea.
Sebaliknya, kapsuloreksis yang terlalu kecil (≤ 4mm) akan menyebabkan traksi
yang berlebihan pada kapsul saat dilakukan posterior optic capture sehingga
berisiko terjadi ruptur. Selain itu, kapsuloreksis yang terlalu kecil menyebabkan
kesulitan saat melakukan lens disassembly dan nukleotomi serta berisiko terjadi
capsular phimosis post operatif.1,2,6
Selain kapsuloreksis sirkuler, dapat juga dilakukan kapsuloreksis berbentuk
oval seperti yang pertama sekali direkomendasikan oleh Singh pada tahun 2011.
Kapsuloreksis oval terutama dilakukan pada katarak polaris posterior dengan defek
kapsul posterior yang sudah ada sebelumnya. Kapsuloreksis berbentuk oval
dilakukan tegak lurus terhadap arah defek kapsul posterior untuk meminimalkan
stress pada bagian tepi defek (gambar 5). Kapsuloreksis berbentuk oval memiliki
meridian panjang dan pendek dengan luas area yang lebih besar dibanding
kapsuloreksis sirkuler. Meridian kapsuloreksis yang panjang memberi keuntungan
berupa akses yang lebih mudah untuk hydroprocedures, manuver lensa, dan
implantasi IOL in the bag serta turbulensi yang lebih rendah saat emulsifikasi

8
fragmen lensa. Adanya meridian yang pendek pada kapsuloreksis oval memberi
keuntungan, yaitu dapat mempertahankan posterior optic capture apabila dilakukan
implantasi IOL di sulkus, mempertahankan fragmen lensa tetap berada in the bag
saat emulsifikasi, dan membatasi pergerakan vitreus ke anterior pada ruptur kapsul
posterior dibandingkan kapsuloreksis yang berbentuk sirkuler.15,16,17

Gambar 5. A. Defek kapsul posterior pada pemeriksaan preoperatif


dengan retroiluminasi (panah putih); B. Kapsuloreksis oval (panah hitam)
pada pasien yang sama setelah implantasi IOL 16

3.3 Hydroprocedures
Hydroprocedures terdiri dari hidrodiseksi dan hidrodelineasi. Hidrodiseksi
dilakukan untuk memisahkan kapsul posterior lensa dengan korteks posterior.
Sedangkan hidrodelineasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk memisahkan
epinukleus dengan endonukleus (bagian nukleus lensa yang lebih padat) dengan
menginjeksikan cairan balance salt solution (BSS) ke dalam massa nukleus. Pada
katarak polaris posterior, tindakan hidrodiseksi dapat menyebabkan peningkatan
tekanan hidraulik terutama pada bagian kapsul posterior yang mengalami
perlekatan erat dengan kekeruhan di polus posterior lensa sehingga sangat rentan
terjadi ruptur. Oleh karena itu, tindakan hidrodiseksi tidak disarankan pada
fakoemulsifikasi katarak polaris posterior. Beberapa ahli masih ada yang
melakukan tindakan hidrodiseksi pada katarak polaris posterior tetapi dengan
prinsip very gentle, slow, low volume, short small pulse, dan dilakukan dari
berbagai meridian tetapi tindakan ini hanya direkomendasikan untuk dilakukan oleh
operator yang sudah berpengalaman menangani katarak polaris posterior.1,2,13
Prosedur hidrodelineasi merupakan suatu keharusan pada fakoemulsifikasi
katarak polaris posterior karena dengan hidrodelineasi terdapat bantalan mekanik
dari epinukleus yang melindungi kapsul posterior saat dilakukan fragmentasi
nukleus. Berbeda dengan prosedur hidrodelineasi standar dimana cairan BSS akan

9
mengalir dari arah luar kedalam, maka pada fakoemulsifikasi katarak polaris
posterior dilakukan delineasi dari dalam ke luar (inside-out delineation). Setelah
dilakukan kapsuloreksis, dibuat central trench dengan teknik slow motion untuk
menghindari terjadinya mechanical rocking pada lensa. Sebelum mengeluarkan
phaco probe, dilakukan injeksi OVD dispersif dari side port untuk mencegah
pergerakan iris – lens diaphragm ke anterior. Kanula irigasi dimasukkan melalui
main incision kemudian ujung kanula diletakkan pada dinding sebelah kanan trench
kemudian diteruskan hingga mencapai bagian sentral nukleus (gambar 6A). Cairan
irigasi kemudian diinjeksikan kedalam sentral nukleus. Delineasi terjadi akibat
aliran cairan dari dalam lensa ke arah luar. Tampilan golden ring pada lensa
menandakan keberhasilan prosedur delineasi (gambar 6B).1,2,13,18

A B

Gambar 6. Prosedur hidrodelineasi: A. injeksi cairan kedalam sentral nukleus


melalui trench, B. golden ring sign1

Dibandingkan dengan prosedur delineasi standar, pada inside out delineation


tekanan pada zonule dan capsular bag dapat diminimalkan dan visualisasi cairan
yang diinjeksikan kedalam sentral nukleus menghindari terjadinya hidrodiseksi
secara tidak sengaja akibat masuknya cairan irigasi kedalam subcapsular plane.1,2
3.4 Rotasi
Secara umum, teknik fakoemulsifikasi akan lebih mudah dilakukan apabila
nukleus dapat berotasi dengan bebas. Akan tetapi, pada fakoemulsifikasi katarak
polaris posterior tidak boleh dilakukan rotasi karena akan menyebabkan ruptur
kapsul posterior atau perluasan defek yang sudah ada di kapsul posterior. 1,6,18
3.5 Parameter Mesin Fakoemulsifikasi
Pada katarak polaris posterior, dilakukan slow motion phacoemulsification
dengan low parameters. Parameter mesin fakoemulsifikasi yang banyak digunakan
yaitu: power 60%, tinggi botol (bottle height) 55 – 70 cm, aspiration flow rate 15-
25 mL/menit, dan vakum (vacuum) 30 – 100 mmHg. Vakum dan aspiration flow

10
rate yang rendah akan mempertahankan stabilitas anterior chamber dan
meminimalkan stress pada kapsul posterior lensa. 2,3,8
3.6 Nukleotomi
Pada prinsipnya, pemilihan dan modifikasi teknik nukleotomi pada katarak
polaris posterior dilakukan untuk meminimalkan regangan dan gaya geser pada
kapsul posterior untuk menghindari terjadinya ruptur. Berikut beberapa teknik
nukleotomi yang dapat dilakukan pada katarak polaris posterior:1,2,3
3.6.1 Phaco chop
Teknik horizontal chopping menjadi pilihan karena menyebabkan lebih
sedikit stress pada kapsul posterior dibandingkan dengan vertical chopping yang
mengaplikasikan gaya dari anterior ke posterior lensa sehingga menyebabkan
regangan yang cukup besar pada kapsul posterior. Pada horizontal chopping,
chopper diposisikan di bawah kapsul anterior di daerah ekuator lensa kemudian
digerakkan secara sentripetal kearah sentral sementara phaco tip yang di impaled
pada bagian lain nukleus berada pada posisi tetap (gambar 7). Dengan manuver ini,
gaya dari anterior ke posterior lensa sangat minimal karena vektor hanya bekerja
pada satu arah horizontal.2,17

Gambar 7. Horizontal chopping17

Pada nukleus yang lebih soft, kuadran dimana phaco tip di impaled dapat
ditarik dengan vakum kearah sentral untuk memfragmentasi nukleus. Pada nukleus
yang lebih keras, diperlukan sculpting di daerah sentral untuk membuat ruang
sehingga tidak ada tahanan saat menarik fragmen atau kuadran nukleus kearah
sentral. Jika digunakan vakum untuk membawa fragmen kearah sentral, sudut bevel
pada phaco tip dibuat lebih planar terhadap permukaan fragmen sehingga
memaksimalkan oklusi dan menghasilkan holding power yang lebih besar seperti
terlihat pada gambar 8.2

11
Gambar 8. A. Bevel phaco tip berada pada posisi nonplanar terhadap
fragmen nukleus, B. bevel phaco tip lebih planar terhadap fragmen nukleus2

Ketika salah satu segmen atau kuadran sudah berhasil diemulsifikasi, operator
sebaiknya tidak melakukan rotasi endonukleus yang tersisa karena dapat
memberikan gaya torsional yang tidak dapat diprediksi terhadap plak dan kapsul
posterior. Second instrument digunakan untuk menarik sisa endonukleus ke arah
sentral tanpa melakukan rotasi pada segmen tersebut. Apabila terdapat kesulitan
untuk mengakses nukleus subinsisional, dapat dibuat insisi baru dengan arah yang
berlawanan dari insisi yang akan diakses sebagai upaya untuk meminimalkan
gerakan nukleus yang tersisa dan menghindari gaya torsional pada kapsul. 7,12,18
3.6.2 Divide and conquer
Untuk meminimalkan regangan kapsul posterior saat melakukan nukleotomi
dengan teknik divide and conquer, beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah:
(1). membuat groove yang lebih dalam untuk mengurangi gaya mekanik saat
cracking nukleus dan (2). melakukan cracking kuadran nukleus ke arah sentral
(sentripetal). Prosedur standar dengan cracking secara sentrifugal akan
menyebabkan stress yang besar terhadap kapsul posterior (gambar 9). Teknik divide
and conquer memerlukan rotasi nukleus untuk membuat groove yang bersilangan,
meskipun dilakukan injeksi OVDs untuk membantu mobilisasi nukleus, teknik ini
memiliki risiko terjadinya ruptur kapsul posterior sehingga hanya
direkomendasikan pada fakoemulsifikasi katarak polaris posterior oleh operator
yang berpengalaman.2,6,17

Gambar 9. Cracking kuadran nukleus pada teknik divide and conquer standar17

12
3.6.3 Teknik modifikasi lain
Selain teknik yang sudah dikenal luas seperti horizontal chop dan trench
divide and conquer, terdapat banyak teknik modifikasi nukleotomi yang
dikembangkan oleh para ahli fakoemulsifikasi. Akan tetapi, teknik modifikasi ini
bersifat sangat individual dan tingkat keberhasilannya sangat tergantung pada
keahlian operator. Beberapa teknik modifikasi nukleotomi pada katarak polaris
posterior, antara lain:1,2,3
1. Teknik lambda (λ)
Teknik lambda diperkenalkan oleh Lee pada tahun 2003. Pada teknik ini,
dilakukan sculpting dengan bentuk alfabet Yunani λ dilanjutkan dengan
cracking pada kedua sisi kemudian dilakukan removal dan emulsifikasi
bagian sentral terlebih dahulu. Keuntungan dari teknik ini adalah tidak
perlu melakukan rotasi lensa sehingga tidak menyebabkan regangan pada
kapsul posterior ketika melakukan removal kuadran nukleus yang telah
dilakukan cracking.1,3,19
2. Teknik inverse horseshoe
Teknik inverse horseshoe diperkenalkan oleh Salahuddin pada tahun
2010. Pada teknik ini dilakukan central oblique sculpting, kemudian
dilakukan cracking pada bagian distal nukleus sehingga konfigurasi
nukleus menyerupai inverse horse-shoe. Selanjutnya dilakukan injeksi
OVDs untuk mengangkat kedua heminukleus dan membentuk viscoshell.
Viscoshell yang terbentuk disekitar nukleus memungkinkan manipulasi
lebih lanjut pada heminukleus (chopping dan emulsifikasi) tanpa
menyebabkan regangan pada kapsul posterior.3,20
3. Teknik peripheral crack
Teknik peripheral crack diperkenalkan oleh Chee pada tahun 2007 pada
katarak polaris posterior dengan dense nucleus. Pada teknik ini dilakukan
sculpting di sentral dengan kedalaman sebelum mencapai opasitas di
polus posterior, kemudian dilakukan chopping dengan Nagahara phaco
chopper dilanjutkan cracking nukleus secara parsial di bagian perifer
sehingga nukleus terbagi menjadi 4 bagian tanpa melakukan rotasi
(gambar 10). Selanjutnya dilakukan emulsifikasi dengan meninggalkan

13
nuclear shell sehingga opasitas polaris dan kapsul posterior yang melekat
erat pada opasitas tersebut tidak terganggu hingga tahap akhir prosedur.
Opasitas polaris yang intak kemudian diemulsifikasi setelah terlebih
dahulu dilakukan viskodiseksi untuk memisahkan opasitas polaris dengan
kapsul posterior. Dengan teknik ini, risiko drop fragmen nukleus ke
kavum vitreus dapat diminimalkan.1,3,21

Gambar 10. Gambaran skematik teknik peripheral crack21

3.7 Pengangkatan Epinukleus


Pengangkatan epinukleus yang berfungsi sebagai bantalan mekanik di
posterior dilakukan dengan melakukan stripping epinukleus dari perifer ke sentral
di keempat kuadran dan berhenti sebelum mencapai area plak discoid sentral
katarak polaris posterior, kemudian dilanjutkan dengan viskodiseksi untuk
memisahkan epinukleus dengan kapsul posterior. Langkah selanjutnya adalah
aspirasi substansi epinukleus yang dapat dilakukan dengan teknik ko-aksial standar
atau bimanual.1,13
3.8 Pengangkatan Korteks
Pengangkatan korteks dilakukan dengan cara yang sama dengan epinukleus.
Korteks dilepaskan dari perifer ke sentral, selanjutnya dilakukan viskodiseksi untuk
melepaskan korteks posterior dari kapsul sekaligus melepaskan plak sentral katarak
polaris posterior untuk kemudian dilakukan aspirasi. Pada kebanyakan kasus, plak
sentral katarak polaris posterior dapat terlepas dari kapsul tetapi pada sebagian
lainnya melekat sangat erat pada kapsul posterior sehingga diperlukan tindakan
lebih lanjut untuk mengangkat plak tersebut.12,13
3.9 Polishing Kapsul Posterior
Jika plak berhasil dilepaskan dan diaspirasi namun terdapat debris korteks di
kapsul posterior, prosedur polishing kapsul posterior tidak direkomendasikan.
Polishing kapsul posterior bahkan hanya pada daerah perifer kapsul akan

14
memberikan tekanan pada daerah sentral yang sudah mengalami penipisan (area
yang sebelumnya terdapat plak) sehingga sangat rentan terjadi ruptur kapsul
posterior.2,6,7
3.10 Implantasi IOL
Implantasi IOL dilakukan setelah injeksi OVDs pada capsular bag. Tekanan
leading haptic pada kapsul posterior harus dihindari karena dapat menyebabkan
ruptur kapsul posterior atau perluasan defek yang sudah ada. Pada ruptur kapsul
posterior masih dapat dilakukan implantasi IOL single piece kedalam capsular bag
apabila terdapat support perifer yang cukup dari kapsul yang normal dan konversi
ruptur kapsul posterior menjadi kapsuloreksis posterior berhasil. Apabila support
kapsul posterior meragukan atau konversi ruptur menjadi kapsuloreksis posterior
tidak berhasil maka dilakukan implantasi IOL di sulkus siliaris dengan atau tanpa
posterior optic capture bila terdapat support kapsul anterior yang cukup.6,12,17
3.11 Hidrasi Insisi dan OVDs Removal
Pada fakoemulsifikasi katarak polaris posterior, disarankan untuk melakukan
hidrasi insisi terlebih dahulu sebelum melakukan OVDs removal dari posterior dan
anterior optik IOL. Selain itu, untuk mempertahankan tekanan pada anterior
chamber, dilakukan injeksi BSS melalui side port sebelum mengeluarkan I/A tip
dari main incision.2,6,18

15
BAB IV
KESIMPULAN
1. Tata laksana surgikal katarak polaris posterior merupakan tantangan bagi
dokter mata karena kapsul posterior di bagian sentral sangat tipis dan fragile
atau bahkan sudah terjadi defek sehingga sangat rentan terjadi ruptur kapsul
posterior atau perluasan defek.
2. Strategi yang dilakukan pada prosedur fakoemulsifikasi katarak polaris
posterior memiliki prinsip dasar sebagai berikut: menghindari terjadinya
peningkatan tekanan hidraulik yang cepat pada capsular bag, memberikan
perlindungan mekanik (mechanical cushion) terhadap opasitas polar selama
fakoemulsifikasi, dan mencegah terjadinya pendangkalan anterior chamber
secara mendadak yang akan menyebabkan pergeseran iris – capsular bag
diaphragm ke anterior.
3. Rekomendasi langkah-langkah fakoemulsifikasi pada katarak polaris
posterior yang bertujuan untuk mencegah terjadinya ruptur kapsul posterior,
antara lain sebagai berikut: sebaiknya tidak melakukan hidrodiseksi,
melakukan hidrodelineasi untuk membuat bantalan mekanik bagi opasitas
polaris, tidak melakukan rotasi nukleus, melakukan nukleotomi dengan
teknik yang dimodifikasi, melakukan viskodiseksi untuk memisahkan
opasitas polaris posterior dari kapsul, sangat tidak direkomendasikan untuk
melakukan polishing, serta melakukan hidrasi insisi sebelum OVDs
removal.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Vasavada AR, Vasavada VA. Managing The Posterior Polar Cataract: An
Update. Indian J Ophthalmol 2017;65:1350-8. DOI:
10.4103/ijo.IJO_707_17.
2. Foster GJL, et al. Phacoemulsification of Posterior Polar Cataracts. J
Cataract Refract Surg 2019; 45:228–235. DOI: 10.1016/j.jcrs.2018.09.029.
3. Anand S, Rani N. Posterior Polar Cataract and Its Management. Surgical
Science, 2015; 6: 304-310. DOI: 10.4236/ss.2015.67046.
4. Pitta R, et al. Characteristic of Postoperative Visual Acuity and
Complications of Surgical Procedure on Posterior Polar Cataract Patients at
Cicendo Eye Hospital National Eye Center. Ophthalmol Ina 2021;47(1):73-
78. DOI: 10.35749/journal.v47i2.
5. Rapuano CJ, Stout JT, McCannel CA. Lens and Cataract: Basic and Clinical
Science Course 11: 2021-2022. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology. 2021. pp 40-43, 157-160, 169-173, 228-229.
6. Osher RH. The Posterior Polar Cataract In Cataract Surgery: Advanced
Techniques for Complex and Complicated Cases. Switzerland: Springer
International Publishing AG. 2022. pp 143-146.
7. Spandau U, Scharioth GB. Phacoemulsification of a Difficult Cataract In
Complications During and After Cataract Surgery: From
Phacoemulsification Over Secondary IOL Implantation to Dropped
Nucleus, 2nd edition. Switzerland: Springer International Publishing AG.
2022. pp 54-78.
8. Aswin PR, et al. Morphological Variations Influencing The Outcomes in
Posterior Polar Cataract. Indian J Ophthalmol 2022;70:2426-31. DOI:
10.4103/ijo.IJO_2764_21.
9. Damani T, et al. Posterior Polar Cataract With an Occult Posterior Capsular
Rent: A Rare Catch. Indian J Ophthalmol Case Rep 2022;2:267-8. DOI:
10.4103/ijo.IJO_804_21.
10. Pujari A, et al. Study 1: Evaluation of The Signs of Deficient Posterior
Capsule in Posterior Polar Cataracts Using Anterior Segment Optical

17
Coherence Tomography. J Cataract Refract Surg 2020 Sep; 46(9): 1260-
1265. DOI:10.1097/j.jcrs.0000000000000246.
11. Pujari A, Sharma N. The Emerging Role of Anterior Segment Optical
Coherence Tomography in Cataract Surgery: Current Role and Future
Perspectives. Clinical Ophthalmology 2021; 15: 389–401. DOI:
10.2147/OPTH.S286996.
12. Chakrabarti A, Nazm N. Posterior Capsular Rent: Prevention and
Management. Indian J Ophthalmol 2017;65:1359-69. DOI:
10.4103/ijo.IJO_1057_17.
13. Hua X, et al. Phacoemulsification with Hydrodelineation and OVD-assisted
Hydrodissection in Posterior Polar Cataract. BMC Ophthalmology
2018;18:165. DOI: 10.1186/s12886-018-0845-8.
14. Malhotra C, et al. Phacoemulsification in Posterior Polar Cataract:
Experience from a Tertiary Eye Care Centre in North India. Indian J
Ophthalmol 2020;68:589-94. DOI: 10.4103/ijo.IJO_932_19.
15. Gupta R. Phacoemulsification Cataract Surgery. Switzerland: Springer
International Publishing AG. 2017. pp 45-55, 139-149.
16. Singh K, Mittal V, Kaur H. Oval Capsulorhexis for Phacoemulsification in
Posterior Polar Cataract with Preexisting Posterior Capsule Rupture. J
Cataract Refract Surg 2011; 37(7): 1183–1188. DOI:
10.1016/j.jcrs.2011.04.017.
17. Fishkind WJ. Phacoemulsification and Intraocular Lens Implantation:
Mastering Techniques and Complications in Cataract Surgery, 2 nd edition.
New York: Thieme. 2017. pp 27-33, 61-66, 97-99.
18. Kapoor G, et al. Posterior Polar Cataract: Minimizing Risks. Medical
Journal Armed Forces India 2016; 72(3): 242–246. DOI:
10.1016/j.mjafi.2016.04.004.
19. Lee MW, Lee YC. Phacoemulsification of Posterior Polar Cataracts: A
Surgical Challenge. Br J Ophthalmol 2003;87:1426–1427. DOI:
10.1136/bjo.87.11.1426-a.

18
20. Salahuddin A. Inverse Horse-shoe Technique for The Phacoemulsification
of Posterior Polar Cataract. Can J Ophthalmol 2010;45:154–6
DOI:10.3129/i09-231.
21. Chee SP. Management of The Hard Posterior Polar Cataract. J Cataract
Refract Surg 2007; 33:1509–1514. DOI: 10.1016/j.jcrs.2007.05.027.

19

Anda mungkin juga menyukai