Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Manufacturing Resources Planning (MRP II)

Manufacturing Resources Planning (MRP II) menurut Fogarty (1991) merupakan


sistem perencanaan dan pengendalian yang paling banyak diterapkan pada proses
job shop dan flow shop dan juga diterapkan pada assemble to order dan make to
stock. MRP II biasa juga dikenal dengan MRP dan CRP, sebab manajemen bahan
baku dan kapasitas merupakan inti dari MRP II. Sistem MRP II akan lebih cocok
untuk merencanakan dan mengendalikan job shop manufacturing dan memang
telah terbukti lebih baik dibandingkan dengan sistem perencanaan dan
pengendalian yang lain. Konsep-konsep seperti push system dan complex
scheduling dapat diterapkan dalam job shop manufacturing. MRP II merupakan
suatu sistem informasi terintegrasi yang menyediakan data di antara berbagai
aktivitas produksi dan area fungsional lainnya dari bisnis secara keseluruhan.
Sistem MRP II merupakan sistem yang mengintegrasikan pemasaran, finansial dan
operasi yang merupakan semua aspek dari perusahaan manufaktur, dari bussines
planning pada level eksekutif hingga perencanaan dan pengendalian yang sangat
rinci pada level manajerial seperti eksekusi lantai pabrik dan purchasing.

Proses dimulai dengan agregasi permintaan dari semua sumber. Bagian produksi
dan pemasaran bekerja mendukung pengembangan rencana produksi (production
planning) dan membuat Master Production Schedule (MPS) yang akan memuaskan
semua permintaan dan telah disesuaikan dengan kapasitas yang ada. Tim harus
mempertimbangkan dukungan pemasaran dan finansial sebaik mempertimbangkan
aspek manufacturing ketika membuat production planning dan MPS Bagan
aktivitas perencanaan disajikan pada Gambar 2.1.

7
8

Gambar 2.1 Bagan Aktivitas Perencanaan


(Sumber: Fogarty, 1991)

a. Aktivitas perencanaan dalam MRP II


Modul-modul MRP II yang berperan dalam aktivitas perencanaan adalah
sebagai berikut:
1. Business Forecasting
Business forecasting mengevaluasi faktor politis, ekonomi, demografi,
teknologi dan kompetitif yang akan mempengaruhi permintaan produk
perusahaan. Manajemen puncak merespon semua aktivitas ini.
2. Product and Sales Planning
Product and sales planning mengacu pada keputusan yang berhubungan
dengan lini produk dan layanan pasar (meliputi target daerah demografi dan
geografi), yang sulit dilakukan pada jangka pendek, karena keputusan
marketing sangat mempengaruhi pertumbuhan perusahaan.
9

3. Production Planning
Production planning menggunakan hasil peramalan dan product and sales
planning untuk membuat rencana produksi agregat. Output dalam satuan
agregat dalam rencana produksi agregat, diantaranya ton, barel, yard, dollar
atau standar jam kerja. Rencana produksi agregat juga memutuskan tingkat
pelayanan konsumen, target persediaan, tingkat produksi, ukuran kapasitas
kerja, serta rencana overtime dan sub kontrak. Rencana produksi dibuat
dengan mempertimbangkan keterbatasan kapasitas produksi.
4. Resources Requirement Planning
Rencana jangka panjang merupakan masalah yang kompleks. Jenis produk,
penjualan dan rencana produksi seharusnya berkaitan dengan rencana
kebutuhan sumber. Keputusan yang berhubungan dengan jenis produk,
penjualan dan tingkat output seharusnya konsisten dengan kapasitas fasilitas,
perlengkapan dan tenaga kerjanya.
5. Financial Planning
Produk, penjualan dan rencana produksi membutuhkan sumber lain berupa
keuangan. Operasi yang normal akan membutuhkan modal kerja sekaligus
menghasilkan pendapatan dari penjualan. Kemampuan keuangan perusahaan
harus diperhatikan untuk rencana jangka panjang.
6. Distribution Requirement Planning (DRP)
Distribution Requirement Planning merupakan kebutuhan dari pihak
warehousing yang muncul karena adanya perbedaan antara permintaan
konsumen dengan tingkat persediaan yang ada. Distribution Requirement
Planning dibuat dengan harapan terdapat keterkaitan yang baik antara pihak
warehousing dengan manufacturing dalam hal jumlah dan waktu pemenuhan
pemesanan.
7. Permintaan Manajemen
Fungsi permintaan manajemen adalah menentukan permintaan agregat.
Penentuan ini merupakan refleksi dari hasil peramalan dan pemesanan
konsumen yang diterima, pemesanan dari warehouse, pemesanan pabrik
lain, promosi khusus dan kebutuhan safety stock.
10

8. Master Production Schedule (MPS)


Master Production Schedule (MPS) adalah rencana berbasis waktu berupa
jumlah yang akan diproduksi per item, yang mempertimbangkan permintaan
dan kapasitas yang dimiliki, biasanya dalam periode 1 sampai 18 bulan atau
lebih, dalam jangka pendek, menengah atau panjang.
9. Rough Cut Capacity Planning (RCCP)
Rough Cut Capacity Planning (RCCP) meliputi penentuan kapasitas kerja
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan, pengevaluasian rencana
produksi agregat dengan kapasitas yang layak, penentuan vendor utama yang
memenuhi kapasitas, apabila kapasitas tidak mencukupi maka MPS harus
direvisi sesuai dengan keterbatasan kapasitas.
10. Material Requirement Planning (MRP)
Material Requirement Planning (MRP) dapat diartikan sebagai suatu metode
perencanaan dan pengendalian (bahan baku, komponen atau sub komponen)
yang terikat pada unit produksi yang akan dihasilkan, dengan menggunakan
suatu sistem yang sudah terintegrasi.
11. Final Assembly Schedule (FAS)
Final Assembly Schedule (FAS) merupakan pernyataan mengenai end item
yang akan dirakit. Final Assembly Schedule (FAS) pada lingkungan
assemble to order, dibuat sesuai dengan pemesanan konsumen.
12. Production Activity Control (PAC)
Production Activity Control (PAC) merupakan pengendalian input atau
output, urutan pemesanan, penjadwalan pemesanan, laporan performansi dan
menentukan tindakan perbaikan apabila terdapat gangguan.
b. Tahapan Perencanaan dalam MRP II
Sistem MRP II merupakan suatu sistem informasi manufacturing formal dan
eksplisit yang mengintegrasikan fungsi-fungsi utama dalam industri manufaktur,
seperti keuangan, pemasaran dan produksi. Sistem MRP II mencakup dan
mengintegrasikan semua aspek bisnis dari perusahaan industri manufaktur, sejak
perencanaan strategi bisnis pada tingkat manajemen puncak sampai perencanaan
dan pengendalian terperinci pada tingkat manajemen menengah dan supervisor,
kemudian memberikan umpan balik kepada tingkat manajerial di atasnya.
11

Gambar 2.2 Tahapan Perencanaan dalam MRP II


(Sumber: Fogarty, 1991)

Berdasarkan Gambar 2.2, menurut Fogarty (1991) sistem MRP II berawal dari
perencanaan strategi bisnis yang terkait dengan peramalan permintaan,
perencanaan keuangan dan pemasaran, selanjutnya bagian pemasaran, keuangan
dan produksi, melalui suatu tim kerja sama (team work) akan mengembangkan
rencana produksi dan MPS yang memenuhi permintaan pasar dengan
menggunakan semua sumber daya yang tersedia dalam perusahaan itu. Tim kerja
sama ini harus mempertimbangkan sumber-sumber daya keuangan, pemasaran
dan manufacturing, ketika mengembangkan rencana produksi dan MPS
Berikutnya dilakukan MRP, kemudian CRP dilakukan untuk membandingkan
pesanan-pesanan produksi yang direncanakan, untuk mengetahui apakah
kapasitas yang tersedia itu menjadi kelebihan beban (overloads) atau
kekurangan (underloads). Rencana kapasitas yang diterima, membuat output
dari MRP menjadi basis bagi pesanan produksi (production orders) untuk
diteruskan ke lantai produksi (shop floor) dan basis bagi pesanan pembelian
12

(purchase orders) untuk diteruskan ke pemasok eksternal (outside suppliers).


Proses ini akan berlanjut terus dengan selalu memperbaharui MPS berdasarkan
sumber-sumber daya yang tersedia untuk mencapai sasaran strategik bisnis itu.

2.2 Persediaan

Keberadaan persediaan dalam suatu unit usaha perlu diatur sedemikian rupa
sehingga kelancaran pemenuhan kebutuhan pemakai dapat dijamin dan timbulnya
sumber daya menganggur (idle resources) yang keberadaannya menunggu proses
lebih lanjut tetap membuat biaya yang ditimbulkan efisien. Menurut Sofjan Assauri
(1993), persediaan merupakan sejumlah bahan-bahan, parts yang disediakan dan
bahan-bahan dalam proses yang terdapat dalam perusahaan untuk proses produksi,
serta barang-barang jadi atau produk jadi yang disediakan untuk memenuhi
permintaan dari komponen atau konsumen setiap waktu.

Fungsi-fungsi persediaan penting artinya dalam upaya meningkatkan operasi


perusahaan, baik yang berupa operasi internal maupun operasi eksternal sehingga
perusahaan seolah-olah dalam posisi bebas. Menurut Asdjudiredja (1999)
persediaan pada dasarnya terdiri dari tiga fungsi, yaitu:
a. Fungsi decoupling
Fungsi ini memungkinkan bahwa perusahaan akan dapat memenuhi
kebutuhannya atas permintaan konsumen tanpa tergantung pada supplier barang.
Cara-cara yang dilakukan untuk memenuhi fungsi ini adalah sebagai berikut:
1. Persediaan bahan mentah disiapkan dengan tujuan agar perusahaan tidak
sepenuhnya tergantung penyediaannya pada supplier dalam hal jumlah dan
pengiriman.
2. Persediaan barang dalam proses ditujukan agar tiap bagian yang terlibat
dapat lebih leluasa dalam berbuat.
3. Persediaan produk jadi disiapkan pula dengan tujuan untuk memenuhi
permintaan yang bersifat tidak pasti dari konsumen.
b. Fungsi economic lot sizing
Fungsi ini bertujuan untuk mengumpulkan persediaan agar perusahaan dapat
berproduksi serta menggunakan seluruh sumber daya yang ada dalam jumlah
13

yang cukup dengan tujuan agar dapat menguranginya biaya perunit produk.
Pertimbangan yang dilakukan dalam persediaan ini adalah penghematan yang
dapat terjadi pembelian dalam jumlah banyak yang dapat memberikan potongan
harga, serta biaya pengangkutan yang lebih murah dibandingkan dengan biaya-
biaya yang akan terjadi, karena banyaknya persediaan yang dipunyai.
c. Fungsi antisipasi
Perusahaan sering mengalami suatu ketidakpastian dalam jangka waktu
pengiriman barang dari perusahaan lain, sehingga memerlukan persediaan
pengamanan (safety stock), atau perusahaan mengalami fluktuasi permintaan
yang dapat diperkirakan sebeumnya yang didasarkan pengalaman masa lalu
akibat pengaruh musim, sehubungan dengan hal tersebut perusahaan sebaiknya
mengadakan seaseonal inventory (persediaan musiman).
Menurut Herjanto (1997), selain fungsi-fungsi di atas terdapat enam fungsi penting
yang dikandung oleh persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, yaitu:
a. Menghilangkan risiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang
dibutuhkan perusahaan.
b. Menghilangkan risiko jika bahan baku yang dipesan tidak baik sehingga harus
dikembalikan.
c. Menghilangkan risiko terhadap kenaikan harga barang atau inflasi.
d. Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga
perusahaan tidak akan sulit bila bahan baku tersebut tidak tersedia dipasaran.
e. Mendapatkan keuntungan dari pembelian berdasarkan potongan jumlah
(quantity discount).
f. Memberikan pelayanan kepada konsumen dengan tersedianya barang yang
diperlukan.

Jenis-jenis persediaan yang terdapat dalam perusahaan dapat dibedakan menurut


beberapa cara. Persediaan yang dibedakan menurut fungsinya, yaitu:
a. Batch stock atau lot size inventory yaitu persediaan yang diadakan karena kita
membeli atau membuat bahan-bahan atau barang-barang dalam jumlah yang
lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan pada saat itu.
b. Fluctuation stock adalah persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi
permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan.
14

c. Anticipation stock yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi


permintaan yang dapat diramalkan, berdasarkan pola musiman yang terdapat
dalam satu tahun dan untuk menghadapi penggunaan atau penjualan permintaan
yang meningkat.

Persediaan dapat pula dibedakan menurut jenis dan posisi barang tersebut di dalam
urutan pengerjaan produk, yaitu:
a. Persediaan bahan baku (raw materials stock) yaitu persediaan dari barang-
barang berwujud yanng digunakan dalam proses produksi, barang dapat
diperoleh dari sumber-sumber alam ataupun dibeli dari supplier atau perusahaan
yang menghasilkan bahan baku bagi perusahaan pabrik yang menggunakannya.
b. Persediaan bagian produk atau parts yang dibeli (purchased parts) yaitu
persediaan barang-barang yang terdiri dari parts yang diterima dari perusahaan
lain, yang dapat secara langsung dirakit dengan parts lain, tanpa melalui proses
produksi sebelumnya.
c. Persediaan bahan-bahan pembantu atau barang-barang perlengkapan (supplies
stock) yaitu persediaan barang-barang atau bahan-bahan yang diperlukan dalam
proses produksi untuk membantu berhasilnya produksi atau yang dipergunakan
dalam bekerjanya suatu perusahaan, tetapi tidak merupakan bagian atau
komponen dari barang jadi.
d. Persediaan barang setengah jadi atau barang dalam proses (work in process)
yaitu persediaan barang-barang yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam satu
pabrik atau bahan-bahan yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi lebih
perlu diproses kembali untuk kemudian menjadi barang jadi.
e. Persediaan produk jadi (finished good stock) yaitu persediaan barang-barang
yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual kepada
konsumen atau perusahaan lain.

Biaya-biaya yang timbul dari adanya persediaan menurut Herjanto (1997)


digolongkan menjadi empat golongan, yaitu:
a. Biaya pemesanan (ordering cost)
b. Biaya penyimpanan (carrying cost)
c. Biaya kehabisan persediaan (stockout cost)
d. Biaya penyiapan (set up cost)
15

2.3 Perencanaan Persediaan

Perencanaan persediaan dapat diartikan sebagai suatu aktivitas untuk menetapkan


besarnya persediaan dengan memperhatikan keseimbangan antara besarnya
persediaan yang disimpan dengan biaya-biaya yang ditimbulkan. Sistem dan teknik
perencaan persediaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
a. Persediaan diciptakan dari pembelian bahan baku dan tambahan biaya pekerja
serta overhead untuk mengolah bahan baku menjadi barang jadi.
b. Persediaan berkurang melalui penjualan dan kerusakan.
c. Perkiraan yang tepat atas jadwal penjualan dan produksi merupakan hal esensial
bagi pembelian, penanganan dan investasi bahan baku yang efisien.
d. Kebijakan manajemen yang berupaya menciptakan keseimbangan antara
keragaman dan jumlah persediaan bagi operasi yang efisien dengan biaya
pemilikan persediaan tersebut merupakan faktor yang paling utama dalam
menentukan investasi persediaan.
e. Pemesanan bahan baku merupakan tanggapan terhadap perkiraan dan
penyusunan rencana pengendalian produksi.
f. Pencatatan persediaan saja tidak akan mencapai perencanaan atas persediaan.

Adapun perencanaan persediaan menurut jenis dan posisi barang tersebut di dalam
urutan pengerjaan produk, yaitu:
a. Perencanaan persediaan bahan baku (raw materials stock).
b. Perencanaan persediaan bagian produk atau parts yang dibeli (purchased parts).
c. Perencanaan persediaan bahan-bahan pembantu atau barang-barang
perlengkapan (supplies stock).
d. Perencanaan persediaan barang setengah jadi (work in process).
e. Perencanaan persediaan produk jadi (finished good stock).

Menurut Riyanti Wiranata (2002), metode pengendalian persediaan terdiri atas:


a. Metode pengendalian persediaan tradisional (pengendalian persediaan statistik)
Metode pengendalian persediaan tradisional ini menggunakan ilmu matematika
dan statistik sebagai alat bantu utama dalam memecahkan masalah kuantitatif
dalam sistem persediaan.
16

Metode ini berusaha mencari jawaban optimal dalam menentukan:


1. Jumlah ukuran pemesanan dinamis.
2. Titik pemesanan kembali (reorder point).
3. Jumlah cadangan pengaman (safety stock) yang diperlukan.

Metode ini disebut sebagai metode pengendalian tradisional karena di dalamnya


memberi dasar terjadinya metode baru yang lebih modern, seperti MRP di
Amerika dan Kanban di Jepang. Metode pengendalian persediaan secara statistik
biasanya digunakan untuk mengendalikan barang yang permintaannya bersifat
bebas (independent) dan dikelola saling tidak bergantung. Bebas dalam hal ini
berarti permintaan yang hanya oleh mekanisme pasar sehingga bebas dari fungsi
operasi produk.
b. Material Requirement Planning (MRP)
Material Requirement Planning (MRP) merupakan suatu sistem informasi yang
dirancang untuk mengendalikan barang yang permintaannya bersifat tidak bebas
(dependent). Tidak bebas dalam hal ini berarti permintaan yang tergantung
kepada kebutuhan suatu komponen atau bahan baku dengan komponen atau
bahan baku lainnya, atau kebutuhan tidak bebas adalah kebutuhan yang tunduk
pada fungsi operasi produksi, yang berperan penting dalam keputusan bahan
baku apa yang dibutuhkan, berapa banyak kebutuhannya dan kapan waktu
dibutuhkannya.
c. Metode just in time (tepat waktu)
Metode just in time merupakan suatu proses produksi yang hanya akan
memproduksi sesuai permintaan atau order saja, sehingga pemborosan dapat
dihilangkan dalam skala besar, yaitu berupa perbaikan kualitas dan biaya
produksi yang minimum. Kedua hal tersebut menjadikan perusahaan lebih bisa
kompetitif. Tujuan utama metode just in time pada dasarnya adalah untuk
meningkatkan laba dan posisi persaingan perusahaan yang dicapai melalui usaha
pengendalian biaya, peningkatan kualitas, serta perbaikan kinerja dalam proses
pengiriman.
17

2.4 Material Requirement Planning (MRP)

Menurut Stevenson dan Chuong (2014), Material Requirement Planning (MRP)


merupakan sebuah sistem informasi berbasis komputer yang menerjemahkan
kebutuhan produk jadi dari jadwal induk produksi ke dalam kebutuhan per waktu,
berjalan terbalik dari tanggal akhir dengan menggunakan waktu tunggu dan
informasi lainnya untuk menentukan kapan dan berapa banyak yang harus dipesan.
Berdasarkan hal tersebut, kebutuhan untuk produk jadi menghasilkan kebutuhan
untuk komponen tingkat bawah yang dipecah berdasarkan periode perencanaan,
sehingga pemesanan, pembuatan dan perakitan dapat direncanakan sesuai dengan
penyelesaian produk jadi sementara tingkat persediaan dapat dijaga cukup rendah.

MRP juga merupakan sebuah pendekatan terhadap perencanaan dan pengendalian


persediaan. MRP dimulai dengan jadwal untuk barang jadi yang diubah menjadi
jadwal kebutuhan untuk memproduksi barang jadi dalam kerangka waktu yang
telah ditentukan. MRP dirancang untuk menjawab tiga pertanyaan, yaitu apa yang
dibutuhkan, berapa yang dibutuhkan dan kapan barang tersebut dibutuhkan.

Masukan primer untuk MRP adalah sebuah bill of material, yang menjelaskan
komposisi dari sebuah produk jadi, sebuah Master Schedule (MS), yang
menjelaskan berapa banyak dan kapan produk jadi yang diinginkan dan sebuah
catatan persediaan, yang menjelaskan berapa banyak persediaan yang ada di tangan
dan yang dipesan. Perencana memproses informasi ini untuk menentukan
kebutuhan bersih (net requirement) untuk setiap periode cakrawala perencanaan.
Hasil dari proses tersebut meliputi jadwal pemesanan terencana, rilis pemesanan,
perubahan, laporan kendali kinerja, laporan perencanaan dan laporan pengecualian.

Menurut Yamit (2003), MRP memiliki karakteristik tertentu, yaitu:


a. Perhatian terhadap kapan dibutuhkan. Integrasi pemikiran antara fungsi
pengawasan produksi dan manajemen persediaan mengakibatkan terjadinya
pergeseran perhatian terhadap kapan dibutuhkan daripada perhatian secara
langsung terhadap kapan sebaiknya melakukan pemesanan, hal ini dapat saja
terjadi jika manajer operasi memiliki informasi tanggal permintaan sehingga
pemesanan dan penjadwalan komponen untuk merakit atau membentuk sebuah
produk hanya merupakan masalah kapan produk tersebut kiranya dibutuhkan.
18

b. Perhatian terhadap prioritas pemesanan. Kesadaran bahwa semua pesanan yang


dilakukan oleh konsumen tentu saja tidak mempunyai skala prioritas yang sama
sehingga terkadang produk yang satu dianggap lebih penting jika dibandingkan
dengan produk yang lain, sehingga memungkinkan dilakukannya proses
penjadwalan untuk memenuhi prioritas pesanan.
c. Penundaan pengiriman. Konsekuensi logis dari timbulnya prioritas pesanan akan
menghasilkan konsep penundaan pengiriman yaitu dengan menunda produksi
atau pemesanan terhadap item yang telah terjadwal untuk memaksimumkan
keseluruhan proses operasi.
d. Fungsi integrasi. Pengawasan produksi dan manajemen persediaan dipandang
sebagai fungsi yang terintegrasi.

Menurut Yamit (2003), MRP dapat dioperasikan secara aktif jika memperhatikan
asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Waktu tenggang (lead time) untuk seluruh item yang diketahui atau dapat
diperkirakan.
b. Setiap persediaan selalu dalam kontrol.
c. Semua komponen untuk suatu perakitan harus tersedia pada saat suatu pesanan
untuk perakitan tersebut dilakukan, sehingga jumlah dan waktu kebutuhan kotor
dari suatu perakitan dapat ditentukan.
d. Pengadaan dan pemakaian terhadap persediaan bersifat diskrit.
e. Proses pembuatan suatu item dengan item yang lain bersifat independen.

2.4.1 Langkah Dasar Material Requirement Planning (MRP)

Material Requirement Planning (MRP) memiliki empat langkah dasar dalam


pengolahannya, menurut Bahagia (2006), yaitu:
a. Netting (perhitungan kebutuhan bersih), langkah ini bertujuan untuk
menentukan jumlah kebutuhan bersih (net requirement) untuk setiap periode
selama horison perencanaan. Perhitungan kebutuhan bersih suatu komponen di
suatu level didasarkan atas jadwal rencana pemesanan komponen atau produk
yang menjadi induknya, yang disesuaikan dengan faktor penggunaan komponen
tersebut dalam membentuk komponen induknya.
19

b. Lotting (penentuan lot sizing), langkah ini bertujuan untuk menentukan besarnya
pesanan individu yang optimal berdasarkan hasil dari perhitungan kebutuhan
bersih. Langkah ini ditentukan berdasarkan teknik lotting atau lot sizing yang
tepat. Parameter yang digunakan biasanya adalah biaya simpan dan biaya pesan.
c. Offsetting (penentuan ukuran pemesanan), langkah ini bertujuan agar kebutuhan
item dapat tersedia tepat pada saat dibutuhkan dengan menghitung lead time
pengadaan komponen tersebut.
d. Exploding (penguraian) langkah ini merupakan proses perhitungan kebutuhan
kotor untuk tingkat item (komponen) pada tingkat yang lebih rendah dari struktur
produk yang tersedia.

Perhitungan yang perlu dilakukan dalam MRP Bahagia (2006), diantaranya:


a. Perhitungan jumlah kebutuhan kotor (gross requirement)
Jumlah kebutuhan kotor (gross requirement) diperoleh berdasarkan data
permintaan.
b. Perhitungan jadwal penerimaan (schedule receipt)
Jadwal penerimaan (schedule receipt) diperoleh berdasarkan data penerimaan
persediaan yang diperkirakan.
c. Perhitungan persediaan awal (projected available balance I)
Persediaan awal (projected available balance I) diperoleh berdasarkan data
persediaan di tangan (untuk periode past due) dan pengurangan persediaan awal
(projected available balance I) periode sebelumnya dengan jumlah kebutuhan
kotor (gross requirement) periode yang bersangkutan (untuk periode berjalan).
d. Perhitungan jumlah kebutuhan bersih (net requirement)
Jumlah kebutuhan bersih (net requirement) diperoleh berdasarkan pengurangan
persediaan awal (projected available balance I) periode sebelumnya dengan
jumlah kebutuhan kotor (gross requirement) periode yang bersangkutan
ditambah jumlah cadangan persediaan (safety stock). Kebutuhan bersih akan
memiliki nilai apabila hasil pengurangan tersebut bernilai negatif dan tidak
memiliki nilai (0) apabila hasil pengurangan tersebut bernilai positif. Kebutuhan
bersih ini merupakan banyaknya bahan baku atau komponen yang harus
diproduksi setiap periode untuk memenuhi pesanan konsumen.
20

e. Perhitungan penerimaan pesanan terencana (planned order receipt)


Penerimaan pesanan terencana (planned order receipt) diperoleh berdasarkan
jumlah kebutuhan bersih (net requirement) yang harus dipenuhi yang
disesuaikan dengan lot size setiap item.
f. Perhitungan rilis pesanan yang direncanakan (planned order release)
Rilis pesanan yang direncanakan (planned order release) diperoleh berdasarkan
penerimaan pesanan terencana (planned order receipt) yang disesuaikan dengan
waktu tunggu (lead time) dari supplier.

2.4.2 Master Schedule (MS)

Master Schedule (MS) menjelaskan produk jadi mana yang harus diproduksi, kapan
barang tersebut dibutuhkan dan dalam jumlah berapa menurut Stevenson dan
Chuong (2014). Kuantitas dalam MS datang dari sejumlah sumber berbeda,
termasuk pesanan pelanggan, ramalan dan pesanan dari gudang untuk membangun
persediaan musiman. MS memisahkan cakrawala perencanaan ke dalam
serangkaian periode waktu. Jangka waktu tidak harus dalam panjang yang sama.
Bahkan, bagian jangka waktu dalam MS bisa saja dalam minggu, tetapi bagian
selanjutnya bisa saja dalam bulan atau kuartal. Rencana untuk periode waktu jangka
panjang biasanya lebih bersifat sementara dibandingkan periode waktu jangka
pendek. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah MS mencakup waktu tunggu
kumulatif (cumulative lead time) yang dibutuhkan untuk memproduksi barang,
sehingga jumlah ini merupakan jumlah waktu tunggu yang dibutuhkan oleh proses
produksi dalam fase berurutan.

2.4.3 Struktur Produk

Struktur produk menurut Stevenson dan Chuong (2014) merupakan salah satu
masukan yang dibutuhkan oleh MRP. Penyusunan struktur produk dapat
memudahkan sistem MRP untuk melakukan proses explotion karena
menggambarkan semua komponen yang ada untuk menyusun suatu produk jadi.
Menurut Bahagia (2006), struktur produk mempunyai arti yaitu kaitan antara
produk dengan komponen-komponen penyusunnya mulai dari bahan baku sampai
produk jadi.
21

Kelengkapan informasi ini meliputi:


a. Jenis komponen
b. Jumlah yang dibutuhkan
c. Tingkat penyusunannya

2.4.4 Bill of Material (BOM)

Bill of Material (BOM) menurut Stevenson dan Chuong (2014) mengandung daftar
semua bahan baku atau komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit
produk jadi, sehingga setiap produk memiliki BOM sendiri. Daftar dalam BOM
bersifat hirarkis. Daftar ini menunjukkan kuantitas dari setiap barang yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan satu unit dari tingkat perakitan berikutnya.

2.4.5 Catatan Persediaan

Catatan persediaan menurut Stevenson dan Chuong (2014) merujuk pada informasi
yang disimpan pada status setiap barang berdasarkan periode waktu. Catatan ini
meliputi kebutuhan kotor, penerimaan terjadwal dan jumlah di tangan (on hand)
yang diperkirakan. Catatan ini juga meliputi perincian untuk setiap barang, setiap
pemasok, waktu tunggu dan kebijakan ukuran lot. Perubahan yang dikarenakan
penerimaan dan penarikan persediaan, pemesanan yang dibatalkan dan kejadian-
kejadian serupa juga dicatat dalam catatan ini. Sama halnya dengan BOM, catatan
persediaan haruslah akurat.

2.4.6 Metode Lot Sizing

Penentuan lot sizing pada MRP bertujuan untuk menentukan besarnya pesanan
yang optimal berdasarkan hasil dari perhitungan kebutuhan bersih. Langkah ini
ditentukan berdasarkan teknik lotting atau lot sizing yang tepat. Parameter yang
digunakan biasanya adalah biaya simpan dan biaya simpan. Penentuan lot sizing
dalam sebuah MRP dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah
dengan menggunakan metode kebijakan persediaan untuk jenis permintaan
deterministik. Permintaan deterministik terdiri atas permintaan deterministik statis
dan permintaan deterministik dinamis.
22

Metode lot sizing untuk permintaan deterministik statis menurut Kumalaningrum


(2011), yaitu:
a. Metode Lot for Lot (LFL)
Metode Lot for Lot (LFL) menetapkan ukuran pesanan atau produksi untuk
setiap periode adalah sama dengan permintaan untuk periode tersebut.
Pemesanan LFL bertujuan untuk meminimalkan investasi dalam persediaan.
Kekurangan utama metode LFL adalah cara ini biasanya melibatkan banyak
ukuran pesanan yang berbeda dan dengan demikian tidak dapat mengambil
keuntungan dari penghematan atas ukuran pesanan tetap (misalnya container
standar dan prosedur terstandarisasi lainnya) dan cara ini membutuhkan biaya
persiapan baru untuk setiap jalan produksi. Metode ini kurang lebih merupakan
lot sizing dengan biaya yang minimum, jika biaya persiapan dapat dikurangi
secara signifikan.
b. Metode Economics Order Quantity (EOQ)
Metode Economics Order Quantity (EOQ) menggunakan ukuran ekonomis
untuk ukuran pesanan atau produksi pada setiap periode dengan melakukan
pembelian secara teratur. Tujuan dari metode ini adalah untuk meminimalkan
biaya persediaan. Biaya persediaan meliputi biaya pemesanan, biaya
penyimpanan dan biaya membawa atau memegang unit persediaan dalam
persediaan. Biaya tersebut tidak berhubungan dengan jumlah yang dipesan
terutama dengan aktivitas fisik yang dibutuhkan untuk memproses pesanan.
Unsur-unsur yang mempengaruhi EOQ diantaranya adalah:
1. Biaya penyimpanan perunit.
2. Biaya pemesanan tiap kali pesan.
3. Kebutuhan untuk suatu periode tertentu.
4. Harga pembelian.

Anggapan-anggapan yang mendasari perhitungan EOQ, antara lain:


1. Selama periode yang bersangkutan tingkat harga konstan, baik harga beli
maupun biaya pemesanan dan penyimpanan.
2. Selama saat akan diadakan pembelian selalu tersedia dana.
3. Pemakaian, baik bahan baku, komponen maupun produk jadi relatif stabil
dari waktu ke waktu selama periode bersangkutan.
23

4. Bahan baku, komponen atau produk jadi yang bersangkutan selalu tersedia
dipasar setiap saat akan dilakukan pembelian.
5. Fasilitas penyimpanan selalu tersedia berapa kalipun pembelian akan
dilakukan.
6. Bahan baku, komponen atau produk jadi yang bersangkutan tidak mudah
rusak dalam penyimpanan.
7. Tidak ada kehendak manajemen untuk berspekulasi.

EOQ yang sudah ditentukan, masih memungkinkan adanya out of stock di dalam
proses produksi. Kemungkinan out of stock itu akan timbul apabila penggunaan
bahan baku atau komponen dalam proses produksi lebih besar dari pada yang
diperkirakan sebelumnya. Hal ini akan berakibat persediaan akan habis
diproduksi sebelum pembelian atau pemesanan yang berikutnya datang,
sehingga terjadilah out of stock. Rumus yang digunakan dalam perhitungan EOQ
adalah:
2𝐴𝐷
𝐸𝑂𝑄 = √ ………………………………………………………………………………..….(2.1)

Dimana:
EOQ = lot ekonomis
A = biaya pemesanan
D = rata-rata permintaan
h = biaya penyimpanan

Metode lot sizing untuk permintaan deterministik dinamis menurut


Kumalaningrum (2011), yaitu:
a. Metode Part Period Balancing (PPB)
Metode Part Period Balancing (PPB) merupakan salah satu pendekatan dalam
menentukan ukuran lot untuk suatu kebutuhan baik bahan baku, komponen
maupun produk jadi yang tidak seragam, yang bertujuan untuk memperkecil
total biaya persediaan, meskipun tidak menjamin diperolehnya total biaya yang
minimum, metode ini memberikan pemecahan yang cukup baik. Metode ini
dapat menggunakan jumlah pesanan yang berbeda untuk setiap pesanan, yang
dikarenakan jumlah permintaan setiap periode tidak sama. Ukuran lot dicari
dengan menggunakan pendekatan periode ekonomis (economic part period),
24

yaitu dengan membagi biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan per unit per
periode. Metode lot sizing ini mengkombinasikan periode-periode kebutuhan
sehingga jumlah part period mendekati periode ekonomis.
b. Metode Algoritma Wagner Whitin (WW)
Metode Wagner Whitin (WW) menggunakan prosedur optimasi yang didasari
program dinamis untuk mendapatkan ukuran pemesanan yang optimal dari
seluruh jadwal kebutuhan dengan total biaya yang minimum. Metode ini
melakukan pengujian untuk semua cara pemesanan yang mungkin dalam
memenuhi jadwal kebutuhan setiap periode. Cara penentuan ukuran lot yang
akan dipesan dan interval pemesanan dilakukan dengan menggunakan
perhitungan algoritma yang dapat mengkombinasikan semua periode guna
memenuhi periode setelahnya dan hasil terbaik memberikan biaya minimum
yang optimal dari semua kombinasi yang ada.

2.4.7 Tujuan dan Manfaat Material Requirement Planning (MRP)

Menurut Eddy Herjanto (1999), MRP memiliki beberapa tujuan dan manfaat.
Tujuan dari MRP, yaitu:
a. Meminimumkan persediaan (inventory).
b. Meningkatkan efisiensi.
c. Mengurangi risiko karena keterlambatan produksi atau pengiriman.

Manfaat dari MRP, yaitu:


a. Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen.
b. Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja.
c. Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik.
d. Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar.
e. Tingkat persediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada konsumen.
25

2.5 Matriks Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya

Berikut adalah tabel yang merupakan matriks perbandingan antara penelitian ini
dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menjadi rujukan penelitian ini.
Matriks ini berfungsi menjelaskan letak persamaan dan perbedaan pada penelitian
sehingga membuat penelitian ini dengan rujukannya memiliki hubungan. Matriks
perbandingan disajikan pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Matriks Perbandingan Penelitian dengan Rujukan Penelitian


Jenis Jumlah
No. Rujukan Penelitian Masalah
Produk Item
Biaya persediaan
yang besar akibat Produk
1 Munir, F. A. (2017). 24 Item
lotting yang tidak Diskrit
sesuai
Keterlambatan
proses produksi Produk
2 Putri, A. S. (2017). 4 Item
akibat penjawalan Diskrit
yang tidak sesuai
Keterlambatan
kedatangan bahan
Produk
3 Pratama, Randhi. (2014). baku akibat 4 Item
Diskrit
pemesanan yang
tidak terjadwal
Proses produksi
terhambat akibat
kekurangan
Produk
4 Penelitian Ini persediaan yang 59 Item
Kontinyu
disebabkan oleh
netting yang tidak
sesuai

Anda mungkin juga menyukai