Nim : 20210310200021 Matkul: Teori Organisasi Tugas 2 ( Transformasi Digital )
Lika – liku Digital Transformation
Digitalisasi itu adalah sesuatu hal yang kompleks, bahkan sering dibilang bahwa Digitalisasi itu adalah Necessery Eil. Apa itu Necessary Eil? Necessary Eil itu adalah andaikata kita punya dua pilihan, kalau kita pilih yang pertama kita rugi kalau kita pilih yang kedua kita rugi juga, tapi ternyata kalau kita pilih yang pertama rugi nya lebih sedikit daripada kalau kita pilih yang kedua, sehingga kita lebih memilih mendingan yang pertama saja karena lebih sedikit ruginya, itulah yang disebut sebagai Necessary Eil. Kita harus memilih dan kita akan memilih yang paling tidak painfull untuk kita paling tidak merugikan kita, itulah analogi dari Digitalisasi. Digitalization is Necessary Eil. Dan saya ingin menunjukan beberapa contoh di berbagai industry yang saya amati yang menunjukan persis kenapa Digitalization ini adalah Necessary Eil. Dan ini sejalan dengan berbagai riset yang sudah dilakukan, misalnya di cap gemini dilakukan riset kepada berbagai perusahaan yang melakukan Digital Transformation, ternyata betul memang di satu dua tahun pertama di perusahaan-perusahaan yang menjalankan Digital Transformation malah Profitability nya atau keuntungan dari perusahaan itu semakin rendah justru turun Profitability nya. Kenapa bisa begitu? Mari kita simak berbagai lanskap bisnis industry yang juga menunjukan karakter yang sama, pertama saya ingin membahas industry ritel dan FMGG seperti di episode satu saya menyampaikan bahwa E-Commerce di Indonesia itu Cuma berkontribusi antara 5 – 10 persen dari total penjualan ritel di Indonesia, berbeda sekali potret nya atau sedikit tertinggal di bandingkan berbagai negara-negara yang lebih maju seperti misalnya di US sudah berkisar antara 15-20 persen penjualannya itu dari E- commerce atau bahkan di China yang sudah antara 20-25 persen dari total penjualan ritel nya dating dari E-commerce, tetapi seringkali E-commerce terutama di Indonesia itu karakteristik nya sangat berbeda dengan E-commerce di negara lain, E-commerce di Indonesia sering kali Cuma dianggap sebagai sarang diskon jadi saya hanya berbelanja d E-Commerce kalau sedang promo atau sedang Free ongkir dan sering kali kalau kita lihat riiew-riiew di E-commerce itu meriiew seller nya atau meriiew siapa yang menjual apakah pengirimannya cepat, apakah packaging nya bagus dan sebagainya tapi tidak meriiew produk, berbeda sekali seperti kalau kita lihat di Amazon.com bagaimana produk riiew dari pada riiew terhadap seller nya sendiri. Selain itu E-commerce ini masih sangat rendah di industry ritel dan FMCG secara sprending itu Cuma antar 5-10 persen dari total budget pemasaran di ritel dan FMCG yang ditujukan ke kanal digital jadi masih sangat terbatas sekali jangkauan dari digital marketing di industry ritel dan FMCG dan kita juga bisa memahami kenapa itu bisa terjadi karena kalau kita tanya kepada konsumen apa iklan yang mereka tonton di kanal digital misalnya di Youtube maka Sebagian besar iklan yang mereka ingat adalah iklan-iklan dari pemain-pemain teknologi misalnya mereka ingat iklan Shopee atau mereka ingat iklan Gojek dan sebagainya jarang sekali yang bisa me-recall iklan dari sebuah perusahaan FMCG atau Consumer Foods sehingga kita bisa memahami bahwa banyak pemain FMCG lebih enggan untuk mengeluarkan budget lebih di kanal digital marketing, ini adalah contoh bagaimana pemain ritel dan FMGG sudah mulai masuk menggunakan kanal digital tetapi mereka belum dengan sepenuh hati memaksimalkan kanal ini di bandingkan dengan biaya atau resources yang mereka keluarkan untuk mengelola kanal-kanal Tradisional sepeti saluran distribusi yang memang konensional melalui Distributor, melalui grosir sampai dengan ke tingkat ritel kita juga bisa melihat kisah yang sama di industry telco. Digitalisasi di industry telco justru menekan pendapatan dari industry telco itu sendiri. Di masa-masa keemasan nya di industry telekomunikasi Indonesia dimana bisnis modalnya masih bergantung pada yang mereka sebut sebagai legacy serices yaitu dari menjual paket oice dan sms. Nilai profitability atau EBITDA margin dari perusahaan telco sangat-sangat tebal, tetapi Ketika mereka memiliki keharusan untuk beralih dari legacy serices menuju data serices dimana mereka harus lebih banyak menjual paket data yang menjadi demand besar di pasar maka profitabilitas dari perusahaan-peusahaan telekomunikasi langsung anjok. Kita juga bisa melihat bahwa pandemic ini membuat demand dari internet semakin tinggi tapi kenapa kalau kita lihat laporan keuangan perusahaan telekomunikasi tidak naik setajam kenaikan kapasitas yang mereka gunakan untuk menyediakan internet sehingga seringkali ada yang bilang bahwa semakin banyak paket data yang dijual maka perusahaan telekomunikasi justru semakin di rugikan karena sampai sekarang belum ditemukan model yang menguntungkan untuk perusahaan telekomunikasi memberikan paket data yang tetap dianggap affordable atau terjangkau oleh pasarnya selain itu kita selalu tahu Indonesia ini negara kepulauan yang sangat luas jadi tidak sama atau tidak merata ketersediaan internet dikota besar dengan di kota-kota yang lebih terpencil, tetapi perusahaan telekomunikasi karena sedang struggling juga dengan profitabilitas yang mereka miliki tidak memiliki kapasitas untuk berinestasi meluaskan jangkauan mereka ketempat-tempat yang terpencil sehingga tetap saja tidak terlalu merata akses internet di Indonesia, sekali lagi ini adalah potret digitalisasi itu seringkali bukannya mempermudah bisnis kita tapi seringkali ada menimbulkan kesulitan dari sisi keuangan. Ini menunjukan bahwa tidak hanya industry-industri konensional seperti telekomunikasi atau FMCG bahkan teknologi yang sebetulnya sangat digital itu juga mengalami tantangan di era digital transformation saat ini tetapi betul sekali memang tidak ada pilihan lain karena digitalisasi itu Necessary Eil, meskipun painful digital transformation itu kita mau tidak mau harus mengarah kesana, mengapa selalu begitu? Karena alasan utama nya adalah omni, end game dari pemasaran itu adalah kombinasi antara pemasaran offline dengan pemasaran online atau pemasaran konensional dengan pemasaran digital end game nya akan menuju kesana.