Dosen Pengampuh : Jumaidi Mori Salam Tuasikal S.Pd, M. Pd
Nama : Anggriyanti Amune
Nim : 111421046 Kelas : 2D No Wa : 089676791638 Instagram : 08rahasia02 Alamat : Desa Iloheluma, Kec. Tilongkabila. Kab. Bone Bolango
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2022 PETA KONSEP
Konseling Client-Centered
Teori Konsep dan Pada langkah- Pada peranan
Pada langkah ini Dalam teknik- konselor ini Client- tujuan teori perkembangan konseli lebih teknik ini adalah yaitu Centered Client- tingkah laku aktif dibanding pengungkapan membantu menekanka Centered “client- dengan dan klien n pada yaitu centered” ia konselor. pengomunikasik menyadar kecakapan mendasari memusatkan Karena an penerimaan, kekuatan- klien untuk hal-hal yang pada tanggung kepercayaan respek, dan kekuatan menekanka menyangkut jawab klien dilerakkan pengertian,serta yang n isu yang dengan terhadap pada berbagai upaya dimiliki, penting bagi mengenai perkembangan kesanggupan dengan klien sehingga ia dirinya dan diri (self), dirinya sendiri klien untuk dalam sanggup pemecahan aktualisasi dan pada mengarahkan mengembangka mengambil masalah diri dan perhatian dirinya sendiri n kerangka keputusan- dirinya. hakekat tertuju pda dan untuk acuan internal keputusan kecemasan. segi menjadi sadar dengan yang tepat pemanusiaan atas masalah- memikirkan, bagi diri pada klien masalahnya merasakan, dan klien. dalam proses serta cara-cara mengeksplorasi. konselng. mengatasinya. I. Sejarah Munculnya Konseling Person Centered. Teori Person-Centered dikembangkan oleh Dr.Carl Rogers pada tahun 1940-an. Pada awal perkembangannya Carl Roger menamakan non-directive counseling sebagai reaksi kontra terhadap teori psikoanalisis yang bersifat direktif tradisional. Karena luasnya area aplikasi dan pengaruh teori ini terutama pada isu-isu kekuasaan dan politik, yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan, memiliki, membagi atau menyarahkan kekuasaan dan control atas orang lain dan atas dirinya, maka teori ini lebih dikenal sebagai teori yang berpusat pada manusia atau klien (Client-Cntered). II. Konsep-konsep Pokok Teori dan Tujuan Konseling Person Centered. Menurut Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Tujuan dasar client-centered adalah menciptakan suasana koneling yang kondusif untuk membantu klien menjadi pribadi yang dapat berfungsi secara utuh dan positif. Titik berat dari tujuan client-centered adalah menjadikan tingkah laku klien kongruen atau autentik (klien tidak lagi berpura-pura dalam kehidupannya). Klien yang tingkah lakunya bermasalah cenderung mengembangkan kepura-puraan yang digunakan sebagai pertahanan terhadap hal- hal yang dirasakannya mengancam. Kepura-puraan ini akan menghambatnya tampil secara utuh di hadapan orang lain sehingga ia menjadi asing terhadap dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, konselor dan klien diharuskan untuk dapat membangun kerja sama yang baik. Sikap dan keterampilan konselor adalah yang utama untuk menciptakan peran serta klien secara aktif terlibat dalam konseling secara keseluruhan. Faktor intelegensi klien juga memengaruhi apakah tujuan konseling dapat tercapai atau tidak. Hal ini disebabkan karena klienlah yang bertindak paling banyak dalam menentukan pilihan atau keputusan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Pemahaman dan penalaran yang baik dari klien akan mempermudah pemecahan masalah sekaligus proses aktualisasi dirinya. III. Perkembangan Tingkah Laku Menurut Konseling Person Centered. Menurut Ivey (Adi : 2013), perkembangan teori Rogers dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : 1) Tahap I : Tahap “nondirective”. Pada tahap ini menitikberatkan penerimaan pada klien, pembentukan suasan positif yang netral, percaya kepada kebijaksanaan klien, sikap membolehkan dan mempergunakan penjelasan-penjelasan dari dunia klien sebagai teknik utama. 2) Tahap II : Tahap “client-centered”. Pada tahap ini memutuskan pada memantulkan kembali perasaan-perasaan klien, menyatukan perbedaan-perbedaan antara dirinya dan ideal (“ideal self”) dan dirinya yang sesungguhnya (“real self”), menghindari situasi yang mengancam klien secara pribadi. Keterampilan tidak di titik beratkan, sebaliknya sedikit demi sedikit titik berat lebih banyak diarahkan pada konselor sebagai pribadi. 3) Tahap III : Pada tahap ini keterlibatan pribadi meningkat. Sementara mempertahankan konsistensi dari apa yang telah dikerjakan, Rogers berangsur-angsur menekankan pengalaman masa kini, konselor berperan lebih aktif dan lebih membukakan diri, baik dari konseling perorangan maupun kelompok dan mempertimbangkan pengaruh dari gejala-gejala yang ada dalam masyarakat seperti perbedaan nilai budaya dan penggunaan kekuasaan. Keterampilan pada konselor tetap kurang perhatikan karena Rogers lebih menitik beratkan sikap konselor dari pada keterampilan berwawancara. Tekanan diberikan pada pengalaman diri sendiri sebagai pribadi dalam hubungan dengan orang lain. IV. Langkah-langkah Konseling Person Centered. 1. Konselor menjadi pendengar yang aktif 2. Memberikan respek kepada klien 3. Memperhitungkan kerangka acuan internal klien dan menjalin kebersamaan dengan klien dengan berbagai penafsiran 4. Para terapis client-centered secara khas mengrefleksikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, dan membantu para klien. V. Teknik-teknik dalam konseling Person-Centered. Rogers (Lesmana,2005) mengemukakan beberapa sifat konselor yang dijadikan sebagai teknik dalam client-centered sebagai berikut : a) Empathy adalah kemampuan untuk sama-sama merasakan kondisi klien dan menyampaikan kembali perasaan tersebut. b) Positive regard (acceptance) adalah menerima keadaan klien apa adanya secara netral. c) Congruence. Konselor menjadi pribadi yang terintegrasi antara apa yang dikatakan dan yang dilakukannya. VI. Peranan Konselor Dalam Proses Konseling Person-Centered. Tugas konselor adalah memanfaatkan potensi-potensi tersebut sehingga dapat mendorong konseli untuk mengembangkan potensi dirinya agar lebih berfungsi sebagaimana seharusnya. Tanggung jawab diletakkan pada konseli untuk secara sadar, ia dapat mengambil keputusan-keputusan secara mandiri. Pertumbuhan konseli berasal dari keterlibatan secara aktif dalam proes konseling. Peranan konseli lebih besar dari pada peranan konselor yang berupa pemberian arahan. Karena itu konselor harus menahan diri agar tidak memasuki otonomi konseli. Rogers sendiri menolak peranan konselor sebagai penasehat, sebab dengan demikian konselor menunjukan sikap kurang hormat terhadap subyektifitas konseli. Konselor hanya berperan sebagai pendorong yang menolong konseli mengungkapkan dan memahami perasaan-perasaannya. Konselor harus menunjukan sikap kehangatan (warmth), pengertian, empati yang akurat, perhatian dan penghargaan terhadap konseli. DAFTAR PUSTAKA
Adi, K. J. (2013). Esensial Konseling. Yogyakarta: Garudhawaca.
Lubis, N. L. (2014). Memahami Dasar-dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik. Jakarta: Kencana. Nainupu, M. (2016). Peduli Terhadap Sesama Melalui Konseling Pastoral. Malang: Media Nusa Creative. Rukaya. (2019). Aku Bimbingan dan Konseling. Gupedia. Sujarwanto. (2021). Bimbingan dan Konseling Anak Berkebutuhan Khusus. Surabaya: CV. Jakad Media Publishing.
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik