Anda di halaman 1dari 16

Departemen Keperawatan Gerontik

MAKALAH

SINDROM GERIATRIK INSOMNIA (GANGGUAN TIDUR)

DOSEN PENGAMPU:

ENY SUTRIA, S.KEP.NS., M.KES

AIDAH FITRIANI, S.KEP., NS.,M.KEP

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2A

RABIYATUL AWALIYAH 70300119010

ANDI AINAYAH KHUSWATUN K. 70300119014

INDRWATY AGUS 70300119029

KARMELIA FITRI 70300119034

RISTA WARDANI 70300119035

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas terkait “ Makalah
Sindrom Geriatrik Insomnia (Gangguan Tidur) “. Shalawat serta salam tak
lupa pula kita kirimkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang
benderang seperti yang kita rasakan saat ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi


tugas pada mata kuliah Keperawatan Bencana. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami menyadari makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap, apa yang kami
kerjakan ini dapat bermanfaat, terutama untuk mahasiswa-mahasiswi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 08 November 2022

Kelompok 2A
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh
semua orang. Tidur yang normal melibatkan dua fase yaitu gerakan bola mata
cepat atau rapid eye movement (REM) dan tidur dengan gerakan bola mata
lambat atau non-rapid eye movement (NREM). Selama NREM seseorang
mengalami 4 tahapan selama siklus tidur Tahap 1 dan 2 merupakan
karateristik dari tidur dangkal dan seseorang lebih mudah bangun. Tahap 3
dan 4 merupakan tidur dalam dan sulit untuk dibangunkan. (Nugroho, 2020)
Setelah orang memasuki masa lanjut usia (lansia) umumnya mulai
dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple
pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput,
gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara umum
kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami
penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan
gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang
selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada
oranglain. (Fauziah, 2017)
Terdapat perbedaan pola tidur pada usia lanjut dibandingkan dengan usia
muda. Kebutuhan tidur akan berkurang dengan semakin berlanjutnya usia
seseorang. Pada usia 12 tahun kebutuhan untuk tidur adalah sembilanjam,
berkurang menjadi delapan jam pada usia 20 tahun, tujuh jam pada usia 40
tahun, enam setengah jam pada usia 60 tahun, dan enam jam pada usia 80
tahun. Sebagian besar kelompok lansia mempunyai risiko mengalami
gangguan pola tidur sebagai akibat pensiun, perubahan lingkungan sosial,
penggunaan obat-obatan yang meningkat, penyakit-penyakit dan perubahan
irama sirkadian. (Sumirta & Laraswati, 2015)
Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara populasi lansia sebesar 8%
atau sekitar 142 juta jiwa. Ada tahun 2050 diperkirakan populasi lansia
meningkat 3 kali lipat. Pada tahun 2000 jumlah lansia sekitar 5.300.000
(7,4%) dari total populasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah lansia
24.000.000 (9,77%) dari total populasi dan tahun 2020 diperkirakanjumlah
lansia mencapai 28.800.000 (11,34%) dari total populasi. Di Indonesia
sendiri pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000.
(Nugroho, 2020)
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep perubahan fisiologis istirahat tidur yang terjadi
pada lansia
2. Untuk mengetahui tanda dan gejala yang di alami oleh lansia sesuai
dengan sistem terkait serta mengarah pada sindrom geriatrik
3. Untuk mengetahui konsep umum sindrom geriatrik terkait.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Perubahan Fisiologis Istirahat Dan Tidur Pada Lansia
1. Defenisi
Istirahat merupakan suatu keadaan relaks dan tenang secara fisik
maupun mental. Aktivitas selama periode istirahat bisa merupakan sebuah
rentang mulai dari berbaring di tempat tidur lalu membaca buku sampai
jalan-jalan ringan.
Tidur adalah keadaan perilaku ritmik dan siklik yang terjadi dalam
lima tahap. Tidur adalah keadaan saat terjadinya proses pemulihan bagi
tubuh dan otak serta sangat penting terhadap pencapaian kesehatan yang
optimal. (Nugroho, 2020)
2. Fungsi tidur
Menurut Hosgon, 1991 yang dikutip dari Perry dan Potter, 2017
menyatakan bahwa fungsi tidur adalah
a. Pemulihan fisiologis
Pada sistem saraf diperkirakan dapat memulihkan kepekaaan
normal dankeseimbangan diantara berbagai susunan. Selama tidur
gelombang yang rendah dan dalam (NREM tahap 4), tubuh melepas
hormon pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan memperbaharui
sel epitel dan khususnya sel. Selama tidur laju denyut jantung turun
sampai 60 denyut jantung 10 hingga 20 kali lebih sedikit dalam setiap
menit selama tidur atau 60 hingga 120 kali lebih sedikit setiap jam.
Secara jelas, tidur yang nyenyak bermanfaat dalam memelihara fungsi
jantung.
Sintesis protein dan pembagian sel untuk pembaruan jaringan
seperti padakulit, sumsum tulang, mukosa lambung terjadi selama
istirahat dan tidur. Tubuh menyimpan energi selama tidur. Otot skelet
berelaksasi secaraprogresif dan tidak adanya kontraksi otot
menyimpan energy kimia untukproses seluler. Penunurunan laju
metabolik basal lebih jauh menyimpanpersediaan energi tubuh.
b. Pemulihan psikologis
Tidur diyakini dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan
mental dan emosional. Tidur REM dihubungkan dengan perubahan
dalam aliran darah serebral, peningkatan kortikal, peningkatan
konsumsioksigen dan pelepasana epineprin, ini dapat membantu
penyimpananmemori dan menyaring informasi yang disimpan tentang
aktifitas hari tersebut.
(Potter, 2017)

Artinya : Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah tidurmu pada


waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian
dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.
(QS Ar-Rum ayat 23)
Dalam persektif islam kata “tidur” disebutkan lebih dari 10 kali dalam
Al-Qur’an. Hal ini mencerminkan bahwa aktivitas tidur yang baik dan
benar dalam islam dan memiliki fungsi tertentu dalam kehidupan
manusia. Fenomena tidur telah membuat manusia menyadari bahwa
mereka mempunyai kelemahan di banding Allah SWT yang seau
terjaga, kekal dan tanpa peru tidur dan istirahat.
Menurut ajaran islam, aktivitas tidur menandakan kekuasaan Allah
SWT yang mana Allah menciptakan malam untuk istirahat dan siang
untuk beraktivitas. Bahkan pada saat tertentu tidur adalah ibadah maka
sebagai seorang umat islam untuk selalu bersyukur atas nikmat yang
diberikan oleh Allah SWT. Bentuk dari kesyukurankita atas nikmat
aktivitas tidur bisa kita praktekkan dengan cara memperhatikan pola
tidur yang baik. Efek pola yang baik diharapkan dapat memberikan
manfaat langsung baik pada fisik maupun psikis.
3. Perubahan fisiologis istirahat tidur pada lansia
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur yang
menghubungkan mekanisme serebral secara bergantian agar mengaktifkan
dan menekan pusat otak untuk dapat tidur dan bangun. Salah satu aktivitas
tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis. Sistem pengaktivasi
retikularis mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat,
termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur. (Fauziah, 2017)
Waktu istirahat atau tidur lansia cenderung lebih sedikit dan jarang
bermimpi dibandingkan usia sebelumnya. Lansia cenderung lebih mudah
terbangun ketika tidur karena kendala fisik dan juga lebih sensitive
terhadap pemaparan cahaya. Gangguan pola tidur yang biasa dialami
lansia seperti insomnia.
Penurunan aliran darah dan perubahan dalam mekanisme
neurotransmitter dan sinapsis memainkan peran penting dalam perubahan
tidur dan terjaga yang dikaitkan dengan faktor pertambahan usia. Faktor
ekstrinsik seperti pensiun juga dapat menyebabkan perubahan yang tiba-
tiba pada kebutuhan untuk beraktivitas dan kebutuhan energi sehari-hari
serta mengarah perubahan pola tidur. Keadaan sosial dan psikologis yang
terkait dengan faktor predisposisi terjadinya depresi pada lansia, kemudian
mempengaruhi pola tidur lansia. Pola tidur dapat dipengaruhi oleh
lingkungan, dan bukan sepenuhnya dipengaruhi oleh penuaan. (Nugroho,
2020)
4. Gangguan tidur pada lansia
Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologis karena faktor
usia dan ada pula gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada
lansia. Ada beberapa gangguan tidur yang sering ditemukan pada lansia,
yaitu :
a. Insomnia primer
Insomnia primer tidak terjadi secara eksklusif selama ada
gangguan mental lainnya. Tidak disebabkan oleh faktor fisiologis
langsung kondisi medis umum. Ditandai dengan keluhan sulit untuk
memulai tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit selama 1 bulan.
Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur
dan terbangun berkali-kali. Bentuk keluhannya bervariasi dari waktu
ke waktu.
b. Insomnia kronis
Insomnia kronis biasanya disebut juga insomnia psikofisiologis
persisten. Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan, dapat juga
terjadi akibat kebiasaan perilaku maladaptive di tempat tidur. Adanya
kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan
seseorang berusaha keras untuk tidur tapi ia semakin tidak bisa tidur.
Ketika berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik
dan keluhan somatik lain sehingga menyebabkan tidak bisa tidur
c. Insomnia idiopatik
Insomnia idiopatik merupakan insomnia yang telah terjadi sejak
dini. Terkadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan dapat
berlanjut selama hidup. Penyebabnya pun tidak jelas, ada dugaan
disebabkan oleh ketidakseimbangan neurokimia otak di
formasioretikularis batang otak atau disfungsi forebrain. Lansia yang
tinggal sendiri atau ada rasa takut pada malam hari dapat menyebabkan
kesulitan tidur. Insomnia kronis dapat menyebabkan penurunan mood
(risiko depresi dan ansietas), menurunkan motivasi, energy dan
konsentrasi serta menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang
menyebabkan lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas
kesehatan.
(Juniati Sahar &, 2021)
B. Tanda Dan Gejala Perubahan Istirahat Dan Tidur Pada Lansia
1. Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
2. Sering terbangun tengah malam atau bangun sangat pagi
3. Bangun tidur dengan tubuh yang lelah
4. Kerap mengantuk dan kelelahan pada siang hari
5. Lekas marah, depresi, atau cemas/gugup
6. Sulit untuk fokus dan berkonsentrasi
7. Sakit kepala dan kepala terasa tegang
8. Rasa tertekan pada perut dan usus
9. Kekhawatiran tentang tidur
10. Tidur yang tidak memulihkan
11. Merasa tidak pernah mendapat tidur yang cukup
12. Muncul kemerahan pada mata.
(Sumirta & Laraswati, 2015)
Berdasarkan tanda dan gejala yang terjadi oleh lansia, maka dapat
disimpulkan bahwa lansia terkena sindrom geriatric insomnia (gangguan
tidur).
C. Konsep Umum Sindrom Geriatrik Insomnia (Gangguan Tidur)
1. Defenisi
Insomnia adalah salah satu gangguan tidur yang paling umum
terjadi. Insomnia mencakup kesulitan tidur di awal periode tidur,
terbangun di malam hari dan mengalami kesulitan untuk tidur kembali,
serta bangun lebih awal atau tidak bisa tidur kembali. Seseorang yang
mengalami gangguan kesulitan tidur (insomnia) akan berkurang kuantitas
dan kualitas tidurnya. Gangguan tidur menjadi hal yang sering dikeluhkan
karena dapat mempengaruhi pekerjaan, aktivitas sosial dan status
kesehatan. (Kamagi & Junaiti, 2021)
Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu
mengalami suatu perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola
istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya
hidup yang di inginkan.Gangguan tidur pada lansia jika tidak segera
ditangani akan berdampak serius dan akan menjadi gangguan tidur yang
kronis. Secara fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang
cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-efek
seperti pelupa, konfusi dan disorientas. Berbagai keluhan gangguan tidur
yang sering dilaporkan oleh lansia yaitu sulit untuk masuk kedalam
proses tidur, tidurnya tidak dalam dan mudah terbangun, jika terbangun
sulit untuk tidur kembali, terbangun dini hari, lesu setelah bangun di pagi
hari. (Sumirta & Laraswati, 2015)
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan etiologi
1) Primary insomnia (Insomnia disorder) merupakan insomnia yang
penyebabnya tidak diketahui dengan jelas/ idiopatik. Pada pasien
tidak ditemukan gangguan medis, gangguan psikiatri atau karena
faktor lingkungan
2) Secondary insomnia (Comorbid Insomnia) umumnya disebabkan
karena kondisi mental dan medis yang buruk sehingga berpengaruh
pada kualitas dan kuantitas tidur. Gangguan tidur lain atau
konsumsi obat-obatan juga menjadi penyebab munculnya Insomnia
sekunder.
(Astuti, 2019)
b. Berdasarkan durasi
1) Insomnia akut yang terjadi secara cepat dan sementara (1 bulan
atau kurang), biasanya dipicu oleh stres, suasana ramai atau
berisik, perbedaan suhu udara, perubahan lingkungan sekitar,
masalah jadwal tidur dan bangun yang tidak teratur dan efek
samping pengobatan
2) Insomnia kronis berlangsung lama dan seumur hidup (6 bulan atau
lebih), disebabkan karena faktor mental-psikologis, kelainan tidur
(seperti tidur apnea), diabetes, sakit ginjal, atritis atau penyakit
yang mendadak seringkali menyebabkan kesulitan tidur, insomnia
kronis biasanya memerlukan intervensi psikiatri atau medis.
(Leni, 2022)

3. Penanganan insomnia pada lansia


Penanganan insomnia pada usia lanjut terdiri dari terapi
nonfarmakologi dan farmakologi. Tujuan terapi adalah menghilangkan
gejala, meningkatkan produktivitas dan fungsi kognitif sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pada pasien usia lanjut.
a. Terapi nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi khususnya behavioral therapies efektif
sebagai farmakoterapi dan diharapkan menjadi pilihan pertama untuk
insomnia kronis pada pasien usia lanjut. Behavioral therapies terdiri
dari beberapa metode yang dapat diterapakan baik secara tunggal
maupun kombinasi yaitu :
1) Stimulus control
Melalui metode ini pasien diedukasi untuk mengunakan
tempat tidur hanya untuk tidur dan menghindari aktivitas lain
seperti membaca dan menonton tv di tempat tidur. Ketika
mengantuk pasien datang ke tempat tidur, akan tetapi jika selama
15- 20 menit berada disana pasien tidak bisa tidur maka pasien
harus bangun dan melakukan aktivitas lain sampai merasa
mengantuk baru kembali ke tempat tidur.
Metode ini juga harus didukung oleh suasana kamar yang
tenang sehingga mempercepat pasien untuk tertidur. Dengan
metode terapi ini, pasien mengalami peningkatan durasi tidur
sekitar 30-40 menit. Terapi ini tidak hanya bermanfaat untuk
insomnia primer tapi juga untuk insomnia sekunder jika
dikombinasi dengan sleep hygiene dan terapi relaksasi.
2) Sleep restriction
Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur
dan meningkatkan sleep efficiency. Pasien diedukasi agar tidak
tidur terlalu lama dengan mengurangi frekuensi berada di tempat
tidur. Terlalu lama di tempat tidur akan menyebabkan pola tidur
jadi terpecah- pecah. Pada usia lanjut yang sudah tidak beraktivitas
lebih senang menghabiskan waktunya di tempat tidur namun,
berdampak buruk karena pola tidur menjadi tidak teratur. Melalui
Sleep Restriction ini diharapkan dapat menentukan waktu dan
lamanya tidur yang disesuaikan dengan kebutuhan.
3) Sleep higiene
Sleep Higiene bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien
dan lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur.
Hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan Sleep
Higiene yaitu: olahraga secara teratur pada pagi hari, tidur secara
teratur, melakukan aktivitas yang merupakan hobi dari usia lanjut,
mengurangi konsumsi kafein, mengatur waktu bangun pagi,
menghindari merokok dan minum alkohol 2 jam sebelum tidur dan
tidak makan daging terlalu banyak sekitar 2 jam sebelum tidur.
4) Terapi relaksasi
Tujuan terapi ini adalah mengatasi kebiasaan usia lanjut
yang mudah terjaga di malam hari saat tidur. Pada beberapa usia
lanjut mengalami kesulitan untuk tertidur kembali setelah terjaga.
Metode terapi relaksasi meliputi: melakukan relaksasi otot, guided
imagery, latihan pernapasan dengan diafragma, yoga atau meditasi.
Pada pasien usia lanjut sangat sulit melakukan metode ini karena
tingkat kepatuhannya sangat rendah.
5) Cognitive behavioral therapy
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan
psikoterapi kombinasi yang terdiri dari: stimulus control, sleep
retriction, terapi kognitif dengan atau tanpa terapi relaksasi. Terapi
ini bertujuan untuk mengubah maladaftive sleep belief menjadi
adaftive sleep belief. Sebagai contoh: pasien memiliki kepercayaan
harus tidur selama 8 jam setiap malam, jika pasien tidur kurang
dari 8 jam maka pasien merasa kualitas tidurnya menurun. Hal ini
harus dirubah mengingat yang menentukan kualitas tidur tidak
hanya durasi tetapi kedalaman tidur.
(National & Pillars, 2020)

b. Terapi farmakologi
Seperti pada terapi nonfarmakologi, tujuan terapi
farmakologi adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut.1 Ada lima
prinsip dalam terapi farmakologi yaitu: 2 menggunakan dosis yang
rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat intermiten (3-4
kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (3-4 mimggu),
penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala
insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Selain kelima prinsip
diatas, dalam memberikan obat harus memperhatikan perubahan
farmakokinetik dan farmokodinamik pada usia lanjut. (Prasetyo &
Hasyim, 2022)
Dengan pertambahan umur akan terjadi perubahan dalam
distribusi, metabolisme dan eliminasi obat yang berkaitan erat
dengan timbulnya efek samping obat. Terapi farmakologi yang
paling efektif untuk insomnia adalah golongan Benzodiazepine
(BZDs) atau non-Benzodiazepine. Obat golongan lain yang
digunakan dalam terapi insomnia adalah golongan sedating
antidepressant, antihistamin, antipsikotik.1 Menurut The NIH
state-of-the-Science Conference obat hipnotik baru seperti
eszopiclone, ramelteon, zaleplon, zolpidem dan zolpidem MR lebih
efektif dan aman untuk usia lanjut. (Juniati Sahar &, 2021)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh
semua orang. Tidur yang normal melibatkan dua fase yaitu gerakan bola mata
cepat atau rapid eye movement (REM) dan tidur dengan gerakan bola mata
lambat atau non-rapid eye movement (NREM). Selama NREM seseorang
mengalami 4 tahapan selama siklus tidur Tahap 1 dan 2 merupakan
karateristik dari tidur dangkal dan seseorang lebih mudah bangun. Tahap 3
dan 4 merupakan tidur dalam dan sulit untuk dibangunkan.
Terdapat perbedaan pola tidur pada usia lanjut dibandingkan dengan usia
muda. Kebutuhan tidur akan berkurang dengan semakin berlanjutnya usia
seseorang. Pada usia 12 tahun kebutuhan untuk tidur adalah sembilanjam,
berkurang menjadi delapan jam pada usia 20 tahun, tujuh jam pada usia 40
tahun, enam setengah jam pada usia 60 tahun, dan enam jam pada usia 80
tahun. Sebagian besar kelompok lansia mempunyai risiko mengalami
gangguan pola tidur sebagai akibat pensiun, perubahan lingkungan sosial,
penggunaan obat-obatan yang meningkat, penyakit-penyakit dan perubahan
irama sirkadian.
Lansia yang mengalami gangguan instrahat tidur menandakan bahwa
lansia terkena sindrom geriatric insomnia. Insomnia pada lansia merupakan
keadaan dimana individu mengalami suatu perubahan dalam kuantitas dan
kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau
mengganggu gaya hidup yang di inginkan.Gangguan tidur pada lansia jika
tidak segera ditangani akan berdampak serius dan akan menjadi gangguan
tidur yang kronis.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, N. M. (2019). Penatalaksanaan Insomnia pada Usia Lanjut. Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana, 1–14.

Fauziah. (2017). Gambaran Kualitas Tidur Pada Wanita Lanjut Usia (Lansia) di
Panti Sosial Tresna Werha Budi Pertiwi Bandung.

Juniati Sahar &, R. H. K. (2021). Terapi Musik Pada Gangguan Tidur Insomnia.
Journal Of Telenursing, 3(2), 797–809.

Kamagi, R. H., & Junaiti, S. (2021). Terapi Musik Pada Gangguan Tidur
Insomnia. 3, 797–809.

Leni, N. &. (2022). Tingkat Kemandirian Lansia Dalam Activities Daily Life
Pada Masa Pandemi Di Wilayah Posyandu Lansia Melati Arum Kentingan
Surakarta. Physio Journal, 1(2), 10–14.

National & Pillars. (2020). Upaya Keluarga dalam Mengatasi Insomnia pada
Lansia. 60, 5–23. https://eprints.umm.ac.id/63450/1/Pendahuluan.pdf

Nugroho, C. (2020). Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur Pada


Lansia. Journal Kesehatan, 1, 7–37.

Potter, P. &. (2017). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,Proses dan


Praktik. EGC.

Prasetyo, M. H., & Hasyim. (2022). Hubungan Antara Sleep Hygiene Dengan
Tingkat Insomnia Pada Lansia Di Kecamatanjebres Kelurahan Gandekan Rw
05 Surakarta. Nusantara Hasana Journal, 1(11), 22–32.
http://nusantarahasanajournal.com/index.php/nhj/article/view/279

Sumirta, I. N., & Laraswati, A. I. (2015). Faktor Yang Menyebabkan Gangguan


Tidur (Insomnia) Pada Lansia. Jurnal Gema Keperawatan, 13(3), 1576–
1580.

Anda mungkin juga menyukai