Anda di halaman 1dari 27

1

MAKALAH PENANGANANA BENCANA KONFLIK SOSIAL

DOSEN PENGAMPU:

ARDIAN ADHIWIJAYA, S.Kep.,Ns.,M.Kep

ILHAMSYAH, S.Kep.,Ns.,M.Kep

OLEH:

KELOMPOK 5A

RABIYATUL AWALIYAH 70300119010

MUHAMMAD RAYNALDI 70300119013

NURFADILLAH 70300119018

JUNIARTI LISA 70300119020

DINI AMINARTI 70300119021

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2022/2023

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas terkait “ Makalah
Penanganan Bencana Konflik Sosial “. Shalawat serta salam tak lupa pula
kita kirimkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang
seperti yang kita rasakan saat ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi


tugas pada mata kuliah Keperawatan Bencana. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami menyadari makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap, apa yang kami
kerjakan ini dapat bermanfaat, terutama untuk mahasiswa-mahasiswi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 01 November 2022

Kelompok 5A

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
HALAMAN KELOMPOK 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB I PENDAHULUAN 5
A. Konsep Dasar Bencana 5
BAB II TINJAUAN UMUM BENCANA 7
A. Konsep Dasar Bencana 7
B. Analisis Risiko Bencana 12
C. Pra Bencana 14
D. Intra Bencana 15
E. Pasca Bencana 16
BAB III MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA 17
A. Pra Bencana 18
B. Intra Bencana 19
C. Pasca Bencana 20
D. Analisis Dan Rekomendasi 21
BAB IV PENUTUP 24
A. Kesimpulan 24
B. Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 26

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Bencana


Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. (Kurnianto et al., 2022)
Macam-macam bencana yaitu gempa bumi, letusan gunung berapi,
tsunami, tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran, angin putih beliung,
abrasi, kecelakaan transportasi, kecelakaan industry, konflik sosial, aksi terror,
dan sabotase. (Kusumawardani, 2020)
Konflik merupakan suatu fenomena sosial yang sering terjadi dalam
masyarakat. Pada dasarnya, manusia merupakan mahluk sosial yang
mempunyai tujuan dan kepentingan yang berbeda dimana dari perbedaan
itulah ada kalanya memunculkan suatu pertentangan atau konflik.
Sebagaimana konflik didefinisikan sebagai kondisi yang ditimbulakan oleh
adanya kekuatan yang saling.
Konflik bisa terjadi dalam jenis masyarakat atau stuktur sosial manapun.
Hal ini disebabkan adanya tuntutan individu-individu atau kelompok-
kelompok yang bertentangan dari waktu-kewaktu. Konflik tentang cita-cita,
nilai atau kepentingan untuk berlawanan dengan anggapan dasar tentang
hubungan sosial. Konflik seperti ini dapat menyesuaikan kembali norma-
norma, hubungan sosial, hubungan kekuasaan dalam kelompok tertentu
menurut keperluan individu dalam kelompok.
Konflik sosial yang pernah terjadi di Indonesia yaitu konflik sosial suku
sampit, konflik sosial Lampung dan Bali, konflik sosial Aceh, konflik sosial
Jawa Barat, konflik sosial pengusiran mahasiswa di Yogyakarta, konflik

5
sosial di Jakarta 1998, konflik sosial suku Lampung dan suku Jawa, konflik
sosial Nusa Tenggara Barat, konflik sosial Ambon, konflik sosial Situbondo.
Konflik sosial yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan yaitu konflik sosial
atau kerusuhan sosial di Kota Makassar dan konflik pada Kawasan taman
nasional Bantimurung. (Wijayanti, 2020)

6
BAB II
TINJAUAN UMUM BENCANA
A. Konsep Dasar Konflik Sosial
1. Defenisi konflik sosial
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa konflik sosial itu sendiri
suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk
memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan dengan disertai
ancaman dan kekerasan. (Sugandi, 2019)
Lewis A. Coser mengatakan bahwa konflik sosial adalah
perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan
status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas.
Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk
memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga memojokkan,
merugikan atau menghancurkan lawan mereka.
Menurut Leopold Von Wiese konflik sosial adalah suatu proses
sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk
memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain
disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.
Menurut Duane Ruth-Heffelbower konflik sosial adalah kondisi
yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan
„posisi‟ yang tidak selaras, tidak cukup sumber, dan/atau tindakan salah
satu pihak menghalangi, mencampuri atau dalam beberapa hal membuat
tujuan pihak lain kurang berhasil.
Jadi dari pengertian di atas bisa disimpukan bahwa pengertian
konflik adalah sebuah perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka
seperti: nilai, status, kekuasaan,kekuatan sosial, dan proses sosial dimana
orang perorangan atau kelompok. (Delima et al., 2021)

7
2. Bentuk-bentuk konflik sosial
Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat
diklasifikasikan kedalam beberapa bentuk konflik yaitu:

a. Berdasarkan sifatnya
Berdasarkan sipatnya konflik dapat dibedakan menjadi konflik
destruktif dan konflik konstruktif
1) Konflik destruktif
Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan
tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun
kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-
bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta
benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain
sebagainya
2) Konflik konstruktif
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini
muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-
kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini
akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat
tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan
pendapat dalam sebuah organisasi.
b. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik
1) Konflik vertikal
Merupakan konflik antarkomponen masyarakat di dalam
satu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang
terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor
2) Konflik horizontal
Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau
kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama.
Contohnya konflik yang terjadi antarorganisasi massa
3) Konflik diagonal

8
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya
ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga
menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik
yang terjadi di Aceh.
c. Berdasarkan sifat pelaku yang berkonflik
1) Konflik terbuka
Merupakan konflik yang diketahui oleh semua pihak.
Contohnya konflik Palestina dengan Israel
2) Konflik tertutup
Merupakan konflik yang hanya diketahui oleh orang-orang
atau kelompok yang terlibat konflik.

d. Berdasarkan Konsentrasi Aktivitas Manusia di Dalam Masyarakat


1) Konflik sosial
Merupakan konflik yang terjadi akibat adanya perbedaan
kepentingan sosial dari pihak yang berkonflik. Konflik sosial ini
dapat dibedakan menjadi konflik sosial vertikal dan konflik
sosial horizontal. Konflik ini seringkali Terjadi karena adanya
provokasi dari orang-orang yang tidakbertanggungjawab.
2) Konflik Sosial vertikal
Yaitu konflik yang terjadi antara masyarakat dan negara.
3) Konflik Sosial Horizontal
Yaitu konflik yang terjadi antaretnis, suku, golongan, atau
antarkelompok masyarakat.

4) Konflik politik
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan yang berkaitan dengan kekuasaan.
antarpendukung suatu parpol.
5) Konflik ekonomi
Merupakan konflik akibat adanya perebutan sumber daya
ekonomi dari pihak yang berkonflik.

9
6) Konflik budaya.
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan budaya dari pihak yang berkonflik. Contohnya
adanya perbedaan pendapat antarkelompok dalam menafsirkan
RUU antipornografi dan pornoaksi.
e. Berdasarkan ciri pengelolaannya
1) Konflik interindividu
Merupakan tipe yang paling erat kaitannya dengan emosi
individu hingga tingkat keresahan yang paling tinggi. Konflik
dapat muncul dari dua penyebab, yaitu karena kelebihan beban
atau karena ketidaksesuaian seseorang dalam melaksanakan
peranan. Dalam kondisi pertama seseorang mendapat beban
berlebihan akibat status yang dimiliki, sedang dalam kondisi
yang kedua seseorang memang tidak memiliki kesesuaian yang
cukup untuk melaksanakan peranan sesuai dengan statusnya.
Perspektif konflik interindividu mencakup tiga macam
situasi alternatif berikut :
a) Konflik pendekatan-pendekatan; seseorang harus memilih
diantara dua buah alternatif behavoir yang sama-sama
atraktif.
b) Konflik ,menghindari-menghindari; seseorang dipaksa
untuk memilih antara tujuan-tujuan yang sama-sama tidak
atraktif dan tidak diinginkan.
c) Konflik pendekatan-menghindari multipel; seseorang
menghadapi kemungkinan pilihan kombinasi multipel.
2) Konflik antarindividu
Merupakan konflik yang terjadi anatr seseorang dengan
satu orang atau lebih, sifatnya kadang-kadang substantif,
menyangkut perbedaan gagasan, pendapat, kepentingan, atau
bersifat emosional, menyangkut perbedaan selera, dan perasaan
like/ dislike. Setiap orang pernah mengalami situasi konflik

10
semacam ini, ia bnayak mewarnai tipe-tipe konflik kelompok
maupun konflik organisasi. Karena konflik tipe ini berbentuk
konfrontasi dengan seseorang atau lebih, maka konflik antar
individu ini juga merupakan target yang perlu dikelola secara
baik.
3) Konflik Antarkelompok
Merupakan konflik yang banyak dijumpai dalam kenyataan
hidup manusia sebagai makhluk sosial, karena mereka hidup
dalam kelompok-kelompok. contohnya, konflik antar kampung.
(Wijayanti, 2020)
3. Solusi konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam
mencapai kestabilan dinamakan akomodasi. Pihak-pihak yang berkonflik
kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara
bekerja sama. Bentukbentuk akomodasi :
a. Gencatansenjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu
tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh
diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka,
mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian,
merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
b. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak
ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh
kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan
berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan
informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya
menunjuk pengadilan.
c. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak
diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu
menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
d. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak
yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya :

11
Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen
Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja,
kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
e. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan
memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak
saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak
mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adusenjata
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

a. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di


dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami
mengalah, kami keluar, dan sebagainya.
b. Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai
kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain
menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan
yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
c. Majorityrule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting
untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.
d. Minorityconsent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang
diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok
minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk
melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.
e. Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang
terlibat di dalam konflik.
f. Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan
kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang
memaksa semua pihak.
(Kusumawardani, 2020)
B. Analisis Risiko Bencana
Dalam penjelasan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial menjelasakan secara umum bahwa Keanekaragaman suku, agama, ras,

12
dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada
satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung ataupun
tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat
membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat
ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan
ekonomi, serta ketidakterkendalian dinamika kehidupan politik
Tiga Tahap Penanganan Konflik dalam UU 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial:
1. Pencegahan konflik terdiri dari

a. Upaya memelihara kondisi damai dalam masyarakat


b. Mengembangkan penyelesaian perselisihan secara damai
c. Meredam potensi konflik
d. Membangun sistem peringatan dini
2. Penanganan konflik pada saat terjadi konflik terdiri dari

a. Penghentian kekerasan fisik


b. Penetapan status keadaan konflik
c. Tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban
d. Dan/atau pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI
e. Status keadaan konflik berada pada keadaan tertib sipil sampai dengan
darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 23
prp tahun 1959.
3. Penanganan konflik pada pascakonflik

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya


Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan
terukur melalui upaya:

c. Rekonsiliasi

d. Rehabilitasi

13
e. Rekonstruksi.

(Sugandi, 2019)

C. Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :

1. Situasi tidak terjadi bencana

Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang
berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak
menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :

a. Perencanaan penanggulangan bencana

b. Pengurangan risiko bencana

c. Pencegahan

d. Pemaduan dalam perencanaan pembangunan

e. Persyaratan analisis risiko bencana

f. Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang

g. Pendidikan dan pelatihan

h. Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

2. Situasi terdapat potensi bencana

Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan,


peringatan dini dan mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana.

a. Kesiapsiagaan

14
b. Peringatan dini

c. Mitigasi bencana

Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector


dan multi stakeholder,oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi
koordinasi. Pada tahap Prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana,
dilakukan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster
Management Plan), yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang
meliputi seluruh tahapan / bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk
upaya pencegahan dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang
disebut rencana mitigasi misalnya Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI
Jakarta. (Delima et al., 2021)

Pada tahap Prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana


dilakukan penyusunan Rencana Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan
darurat yang didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu
(single hazard) maka disusun satu rencana yang disebut Rencana
Kontinjensi (Contingency Plan).

D. Intra Bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat


meliputi:

1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber
daya

2. Penentuan status keadaan darurat bencana

3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana

4. Pemenuhan kebutuhan dasar

15
5. Perlindungan terhadap kelompok rentan

6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational Plan)


yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau
Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya. (Delima et al., 2021)

E. Pasca Bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana


meliputi:

1. Rehabilitasi

2. Rekonstruksi.

Pada Tahap Pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan


(Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang
dilakukan pada pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka
untuk mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan
penyusunan petunjuk /pedoman mekanisme penanggulangan pasca bencana.
(Wijayanti, 2020)

16
BAB III
MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA

Konflik di Papua merupakan salah satu ancaman serius bagi keutuhan suatu
bangsa, termasuk Indonesia. Papua memiliki kekayaan sumber sosial, budaya dan
sumber alam yang berlimpah namun bertolak belakang dengan tingkat keamanan
di kawasan tersebut. Papua terus-menerus mengalami pertikaian yang timbul dari
perbedaan persepsi tentang sejarah integrasinya ke dalam negara Indonesia,
pemiskinan yang terus berlanjut dan kompleks inferioritas yang diwarnai oleh
pelanggaran hak asasi manusia yang merendahkan martabat orang Papua. Selain
itu, ketidakpuasan secara ekonomis juga memunculkan semangat bagi orang-
orang asli Papua untuk berusaha memerdekakan diri yang berujung gerakan
separatisme dan terorisme.

Menilik sejarah, konflik di Papua sudah berlangsung sejak tahun 1945, yakni
pada awal kemerdekaan, perebutan atas wilayah Papua mulai mencuat dengan
melibatkan pemerintah Indonesia yang baru saja merdeka dengan pihak Kerajaan
Belanda. Selanjutnya pada tahun 1965, terbentuklah Organisasi Papua Merdeka
(OPM) atau Free Papua Movement yang merupakan organisasi perlawanan
terhadap pemerintah Indonesia. Menurut Tebay (Hadi, 2016), tujuan organisasi ini

17
adalah untuk memerdekakan Papua dari kekuasaan Indonesia. Hingga kemudian
pada tahun 2002, dilakukan konferensi di Papua yang dipelopori oleh
aktivitasaktivitas kemanusiaan melalui Peace Conference in West Papua guna
membicarakan masalah di Papua. Sejak saat itu, menurut McLeod, proses
perjuangan kemerdekaan Papua beralih dari yang awalnya violent struggle
menjadi nonviolent struggle.

Berangkat dari rentetan panjang konflik yang terjadi di Papua, diperkuat fakta
bahwa konflik Papua adalah konflik vertikal terlama yang terjadi sepanjang
sejarah Indonesia (dan masih berlangsung hingga saat ini), diperlukannya skema
dengan penyesuaian yang baru untuk menyelesaikan konflik ini.

Konflik Papua telah berlangsung selama lebih dari setengah abad, tetapi terus
memanas dalam dua tahun terakhir. Dalam tiga tahun terakhir, beberapa kali
terjadi baku tembak antara aparat keamanan (TNI dan Polri) dan Kelompok
Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) yang selanjutnya dianggap kelompok
teroris di wilayah Papua. Data Armed Conflict Location and Event Data Project
(ACLED) mencatat bahwa pada 1 Januari2019 - 15 Desember 2021 terdapat 407
peristiwa konflik di Papua dan Papua Barat, yang terdiri atas 107 pertempuran,
206 kerusuhan, dan 88 kekerasan terhadap warga sipil, dengan jumlah korban
jiwa mencapai 123 orang

A. Pra Bencana
Dalam fase ini menjelaskan lebih kepada tahap atau cara yang
dipergunakan untuk mengantisipasi dampak masyarakat akan bahaya dari
konflik papua. Pada konflik ini pra bencana yang dilakukan yaitu mitigasi
dengan cara:
1. Mendorong peran serta seluruh lapisan masyarakat dalam rangka
memelihara stabilitas ketentraman dan ketertiban
2. Mendukung kelangsungan demokratisasi politik dengan keberagaman
aspirasi politik, serta di tanamkan moral dan etika budaya politik
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

18
3. Mengembangkan supremasi hukum dengan menegakkan hukum secara
konsisten, berkeadilan dan kejujuran
4. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran serta meningkatnya
perlindungan penghormatan, dan penegakkan HAM
5. Meningkatkan kinerja aparatur negara dalam rangka mewujudkan
aparatur negara yang berfungsi melayani masyarakat, profesional,
berdayaguna, produktif, transparan, bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepositme.
(Wijayanti, 2020)

B. Intra Bencana
Fase ini lebih mencakup pada kegiatan yang lebih mengarah pada
penyelesaian masalah yang bertujuan untuk mengurangi atau meringankan
beban para masyarakat yang terdampak akibat dari konflik ini. Adapun intra
bencana yang dilakukan yaitu pendekatan medisi humanistic.
Mediasi adalah proses negosiasi kooperatif di mana pihak ketiga,
mediator, membantu para pihak untuk merundingkan masalah yang
disengketakan, untuk mencoba mencapai kesepakatan atau penyelesaian. Para
pihak perlu diorientasikan melalui konsiliasi untuk berkomunikasi satu sama
lain secara objektif dan rasional. Bagaimanapun, mediasi dapat mengurangi
kepahitan dan konflik di antara para pihak, tetapi tujuan mediasi mungkin
berbeda, tergantung pada gaya mediasi yang digunakan. Berbagai gaya atau
model mediasi ditemukan karena lebih menekankan pada proses dalam
mediasi daripada. Namun, sebagian besar gaya ini berfokus pada hubungan
antara para pihak dan tidak melihat komunitas.
Teori humanistik merupakan teori yang memberikan penjelasan tentang
bagaimana memanusiakan manusia dan mengaktualisasikan kemampuan

19
untuk menerapkan dalam lingkungan sekitar. Teori ini memberikan atau
menekankan tentang kognitif dan afektif dalam mempengaruhi sebuah proses
yang ada. Dalam menerapkan teori humanistik harus mempunyai kemampuan
untuk menggali dan merasakan apa yang menjadi masalah dan harus
diselesaikan dalam teori humanistik ini.
Membuka dialog adalah kunci dari pendekatan mediasi humanistik untuk
penyelesaian konflik di Papua. Di dalam dialog penyelesaian konflik internal
antara Pemerintah Indonesia dengan kelompok OPM perlu dicari titik temu
tentang isu-isu apa saja yang bisa diperjualbelikan, tentunya isu yang layak
untuk dicapai kedua belah pihak. Beberapa isu yang berkembang di Papua
yang bereaksi terhadap munculnya ketidakpuasan publik Papua, antara lain
masalah optimalisasi pelayanan publik, masalah pembangunan manusia yang
masih memperhatikan nilai-nilai budayanya, pembangunan infrastruktur,
keadilan politik, masalah rasisme, dan sebagainya masih dalam koridor
wacana nasional dan bukan separatisme. Masyarakat Papua juga perlu
melibatkan berbagai pemangku kepentingan, antara lain pemerintah daerah di
Papua, baik provinsi maupun kabupaten, ormas, masyarakat adat, tokoh
masyarakat, tokoh pemuda, dan sebagainya. Mereka adalah kelompok di luar
gerakan separatis Papua yang dapat melakukan dialog konstruktif dengan
pemerintah pusat untuk menjalin kembali hubungan yang harmonis dengan
pemerintah pusat. (Wijayanti, 2020)
C. Pasca Bencana
Pada fase ini terkait dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya pemulihan
dan memperbaiki kerusakan akibat dari konflik sosial yang terjadi di Papua
baik secara fisik maupun non fisik. Adapun kegiatan dalam fase pasca
bencana yaitu pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah Indonesia menggandeng dan memberdayakan masyarakat
Papua di dalam menyelesaikan persoalan pembangunan di tanah Papua, dari
segi pendidikan, ekonomi, politik, hingga kebudayaan asli di wilayah tersebut.
Pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan harkat-martabat
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan dengan berfokus pada

20
pembenahan dan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini
dikarenakan kondisi pendidikan dan kesehatan di tanah Papua yang masih
sangat memprihatinkan. Pemberdayaan masyarakat sebenarnya merupakan
langkah untuk mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi pembangunan.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus menekankan hasil yang ingin
dicapai. Pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada pembangunan di Papua
namun juga upaya pemulihan situasi di Papua. Pemerintah harus
mempertimbangkan aspek lain seperti kekerasan, diskriminasi dan bentuk-
bentuk ketimpangan lainnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa pendekatan mediasi
humanistic ini harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
termasuk penghapusan segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan di Papua.
(Biridlo’i Robby & Akhiruddin, 2021)

D. Analisis Dan Rekomendasi


1. Mengelola kesenjangan antar kelompok masyarakat
Kesenjangan antar kelompok masyarakat yang ada di Papua
disebabkan oleh pelbagai macam faktor,seperti lokasi geografis (antara
pesisir dan dataran tinggi), kelompok etnis (antara penduduk Papua atau
antara Penduduk Papua dan non-Papua), jender (ketidakseimbangan
hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki), dll.
Ketidakseimbangan horisontal atau kesenjangan antar kelompok
masyarakat ini harus diperhitungkan dalam strategi intervensi. Sampai
mana kehadiran internasional mempengaruhi tingkat perbedaan yang ada
(secara kebudayaan, ekonomi dan sosial); apakah meningkatkan atau
menurunkan perbedaan. Penjajakan akibat yang sesuai mengenai
kesenjangan antar kelompok masyarakat harus dikembangkan guna
menghindarkan terjadinya kesalahan dalam strategi intervensi.
2. Memberantas perasaan rendah diri

21
Berdasarkan kerumitan konflik di Papua, strategi intervensi harus
mendukung kesinambungan melalui program partisipatif yang berfokus
pada masyarakat. Intervensi ini tidak dapat dilakukan dengan cara “tabrak
lari” dan/atau melakukan program jangka pendek. Program harus
ditujukan untuk memperbaiki akar permasalahan dari konflik dengan
membuka akses terhadap keadilan atau memperbesar pemerataan keadilan
bagi penduduk asli Papua dan kelompok marginal lainnya, mengelola
konflik dengan mendukung pembentukan kebijakan yang selaras dengan
kebudayaan, harus dilaksanakan di tingkat masyarakat. Oleh karena Papua
kaya budaya, maka strategi intervensi harus disesuaikan dengan pemetaan
kebudayaan di Papua. Secara terperinci ini berarti adanya persyaratan
dalam menyelidiki dan mengerti secara benar struktur dan karakteristik
(sistem nilainilai dan kebudayaan) yang ada di dalam masyarakat
bersangkutan. Fokus yang lebih ditekankan pada tingkat masyarakat
mungkin dapat dilakukan dengan jalan mengadopsi kearifan, kebudayaan
dan kebutuhan lokal dalam proses perencanaan partisipatif, manajemen
dan pengawasan. Investasi pada peningkatan kapasitas yang memerlukan
program jangka panjang akan berharga guna membangun kesinambungan
dan melaksanakan program secara bermartabat dengan memberikan ruang
bagi penduduk setempat untuk menyelesaikan permasalahan mereka
secara mandiri.
Pendekatan partisipatif ini juga akan memperkecil atau bahkan
menghapus kompleksitas perasaan rendah diri penduduk asli Papua.
Pertukaran pengetahuan, keterampilan dan pengalaman melalui
penghormatan terhadap nilainilai dan kebudayaan lokal antara orang-orang
yang dipekerjakan oleh badan-badan internasional dengan para anggota
masyarakat lokal yang mendorong transformasi kewenangan kepada
penduduk lokal, lebih bagus dibandingkan hanya “mengekspor” atau
menerbangkan dan mendatangan “para ahli” dari luar masyarakat tersebut.
3. Perlindungan terhadap kelompok rentan

22
Penjajakan yang dapat dimengerti diikuti dengan intervensi
program strategis terhadap kelompokkelompok yang rentan di Papua harus
dikembangkan. Badan-badan internasional dapat memberikan kontribusi
dalam memberikan kesempatan yang setara bagi para pemain lokal
termasuk kelompok-kelompok rentan untuk ikut serta secara aktif dalam
menyelesaikan konflik di antara mereka sendiri. Beberapa kelompok
rentan dalam kalangan penduduk asli papua memerlukan perhatian lebih
termasuk kelompok yang secara geografis terasing karena tinggal di
pelbagai daerah terpencil dan/atau yang distigmakan secara politik,
sehingga menyebabkan tingkat akses yang rendah terhadap hak-hak dasar
mereka serta menempatkan mereka pada posisi rentan terhadap
kemungkinan adanya kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia.
Rendahnya akses (kurangnya alat transportasi) untuk mencapai dan/atau
larangan dari pemerintah lokal atau aparat keamanan untuk memasuki
daerah-daerah tempat tinggl kelompok rentan ini membuat mereka “tidak
terlihat”. adi, strategi intervensi yang memungkinkan seperti pemulihan
masyarakat dan perbaikan keadilan harus diberikan. Di sisi lain, strategi
makro lainnya harus dilakukan dengan mendorong pembentukan
kebijakan publik yang memihak pada kelompok rentan termasuk para
korban kekerasan, kelompok yang terlantar: dari obyek perubahan sosial
menjadi subyek atau pemain aktif dari perubahan sosial.
4. Meluruskan penyimpangan
Merujuk kembali pada penjelasan sebelumnya mengenai akar
penyebab kekecewaan, ada beberapa penyimpangan di dalam konteks
Papua yang memerlukan pendekatan yang sensitif terhadap konflik;
kebijakan publik ganda (pendekatan keamanan dan peningkatan
penghidupan), politik perwakilan, polarisasi dan masyarakat yang anomik.
Strategi intervensi yang mengadaptasi pendekatan yang sensitif terhadap
konflik dalam meluruskan penyimpangan-penyimpangan ini sifatnya
mengandung strategi pencegahan krisis, promosi hakhak asasi manusia
dan usaha terpadu dalam koordinasi dalam tingkat elit (termasuk

23
koordinasi antar lembaga) serta memperkuat masyarakat madani di tingkat
akar rumput. Strategi intervensi harus mempertimbangkan and
memaparkan penyimpangan-penyimpangan di atas karena mereka
memebentuk karakter dalam proses perubahan sosial serta menentukan
tingkat keamanan manusia di Papua. Kesadaran kritis mengenai konteks
Papua secara menyeluruh akan meningkatkan sensitivitas mengenai
keamanan manusia; mendukung pembangunan kebijakan yang sesuai
dengan kebudayaan setempat dan ramah lingkungan, serta menghindarkan
badan-badan internasional dalam membawa dampak yang merugikan.
(Sugandi, 2019)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau
kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan/atau
kekerasan.
Dalam penjelasan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial menjelasakan secara umum bahwa Keanekaragaman suku, agama, ras,
dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada
satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung ataupun
tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan

24
kesejahteraan masyarakat. Terdapat tiga manajemen bencana dari konflik
sosial yaitu pra bencana, intra bencana, dan pasca bencana.
B. Saran
Bencana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, namun harus diketahui
jenis-jenis bencana, sebab-sebab yang menimbulkan bencana, dan akibat yang
ditimbulkan bencana.
Saran-saran yang kami sampaikan untuk semua pihak agar dapat
mengantisipasi dan menanggulangi bencana sehingga tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup, korban meninggal, dan kerugian harta benda
yang besar.
1. Mengusulkan agar pemerintah memberikan sosialisasi dan simulasi
kepada masyarakat yang tinggal didaerah rawan bencana
2. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam penyelamatan dan
pelestarian lingkungan karena Sebagian bencana diakibatkan oleh
kerusakan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Biridlo’i Robby, U., & Akhiruddin, D. (2021). Strategi Kodim 1703/Manokwari


Dalam Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Papua Barat. JDKP Jurnal
Desentralisasi Dan Kebijakan Publik, 2(1), 149–158.
https://doi.org/10.30656/jdkp.v2i1.2841

Delima, A., Sarwono, & Sarlito. (2021). Keperawatan Bencana. Yayasan Kita
Menulis.

Kurnianto, T. A., Santoso, P., & Utama, A. P. (2022). Upaya Indonesia


Mencegah Konflik Papua dengan Pendekatan Mediasi Humanistik. 16, 149–
156.

Kusumawardani, S. T. (2020). Sistem Manajemen Penanganan Konflik Sosial.

25
Higeia Journal of Public Health Research and Development, 1(3), 84–94.

Sugandi, Y. (2019). Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai


Papua.

Wijayanti, M. (2020). Penyelesaian kasus pidana melalui mediasi penal dalam


mencegah konflik sosial di manokwari, provinsi papua barat.

LAMPIRAN

26
“PERDAMAIAN BUKANLAH TANPA

KONFLIK, ITU ADALAH KEMAMPUAN

UNTUK MENANGANI KONFLIK DENGAN

CARA DAMAI”

27

Anda mungkin juga menyukai