Anda di halaman 1dari 5

ILMU AL-QUR'AN

Memahami Makna Wahyu dan Proses


Turunnya Al-Qur’an
Rabu, 25 Juli 2018 | 05:00 WIB

Al-Qur’an merupakan sumber dan pedoman utama bagi umat Islam yang diyakini
sebagai wahyu Allah yang turun kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Al-Qur’an mempunyai
hubungan erat dengan kehidupan Nabi dan masyarakat Arab pada masa awal, sehingga
tidak mengherankan ketika ungkapan-ungkapan yang dinarasikan Al-Qur’an
mengandung nilai sastra tinggi. Dalam pandangan Imam Jalaluddin As-Suyuti,
penggunaan kalimat-kalimat yang indah dan ungkapan-ungkapan yang penuh dengan
sastra itu adalah bentuk mu’jizat Al-Qur’an sebagai respons dari peradaban Arab pada
masa Arab yang penuh dengan nilai sastra.

Meskipun diturunkan di daerah Arab dan berinteraksi dengan budaya Arab, bukan
berarti Al-Qur’an menjadi bagian dari budaya Arab. Hal tersebut disebabkan orisinalitas
dan otentisitas Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah, sebagaimana firman-Nya dalam
Surat al-Hijr 9, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya.”

Imam Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya menafsirkan bahwa ayat tersebut
menjelaskan kesucian Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan atas ayat yang ada
di dalamnya, serta ayat Al-Qur’an tidak akan mengandung kebatilan. Yang demikian
menandakan bahwa turunnya Al-Qur’an selalu dijaga dan terpelihara dari sifat-sifat
negatif.

Berkaitan dengan otentisitas Al-Qur’an, muncul pertanyaan penting: bagaimana proses


turunnya wahyu Al-Qur’an? Perihal transformasi wahyu menjadi objek kajian menarik
yang banyak dilakukan oleh ulama. Secara tegas mereka menjelaskan makna wahyu
dalam artian umum dan pengertian wahyu dalam konteks Al-Qur’an diturunkan pada
Nabi Muhammad.

Imam Zarqani dalam karyanya Manahil Irfan fi Ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa ada
empat karakter makna wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pertama, wahyu
mempunyai makna ilham yang bersifat fitri. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-
Qashash ayat 7:

‫ ِإ َّن ا َرٓاُّد وُه ِإ َلْيِك َوَجاِعُلوُه‬، ‫َوَأ ْوَحْيَنٓا ِإ َلٰٓى ُأ ِّم ُموَسٰٓى َأ ْن َأ ْرِضِعيِه ۖ ِإَف َذا ِخْفِت َعَلْيِه َفَأ ْلِقيِه ِفى ٱْلَيِّم َوَلا َت َخاِفى َوَلا َتْحَزِنٓى‬
‫ِمَن ٱْلُمْرَس ِليَن‬

Artinya: “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia, dan apabila kamu
khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu
khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul’.”

Kedua, kata wahyu dalam Al-Qur’an berkaitan dengan naluri pada binatang, seperti
dalam QS an-Nahl 68-69:

‫ ُثَّم ُكِلي ِمْن ُكِّل الَّثَمَراِت َفاْس ُلِكي‬،‫َوَأ ْوَحى َرُّب َك ِإ َلى الَّن ْحِل َأ ِن اَّت ِخِذي ِمَن اْلِجَباِل ُبُيوًتا َوِمَن الَّش َجِر َو َّمِم ا َيْعِرُشوَن‬
‫ُسُبَل َرِّبِك ُذُللا َيْخُرُج ِمْن ُبُطوِنَها َشَراٌب ُمْخَتِلٌف َأْلَواُنُه ِفيِه ِشَفاٌء ِللَّن اِس ِإ َّن ِفي َذِلَك لآَيًة ِلَقْوٍم َيَتَفَّك ُروَن‬ 

Artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-


bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’.”
Ketiga, kata wahyu mempunyai arti bisikan jahat, baik bersumber dari setan, jin,
maupun manusia. Surat al-An’am ayat 112 menyatakan:

‫َوَكَٰذِلَك َجَعْلَنا ِلُكِّل َنِبٍّي َعُدًّو ا َش َياِطيَن اْلِإ ْنِس َواْل ِجِّن ُيوِحي َبْعُضُهْم ِإ َلٰى َبْعٍض ُزْخُرَف اْلَقْوِل ُغُروًرا َوَلْو َشاَء َرُّب َك‬
‫َما َفَعُلوُه َفَذْرُهْم َوَما َيْف َتُروَن‬

Artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-
syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan
kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu
(manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,
maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”

Keempat, kata wahyu yang bermakna memberikan isyarat, tanda dan simbol yang
terdapat dalam Surat al-Maryam ayat 11:

‫َفَخَرَج َعَل َقْوِمِه ِمَن اْلِمْحَراِب َفَأ ْوَحٰى ِإ َلْيِهْم َأ ْن َسِّبُحوا ُبْكَرًة َوَعِش ًّي ا‬
‫ٰى‬

Artinya “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada
mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”.

Adapun wahyu yang diturunkan pada Nabi Muhammad mempunyai beberapa model
atau cara, tetapi secara umum para ulama berpendapat bahwa proses turunnya wahyu
pada Nabi melalui dua cara. Pertama adalah al-inzâl, yakni proses turunnya Al-Qur’an
yang diyakini berasal dari lauhul mahfudh ke langit dunia. Kedua adalah at-tanzîl, yakni
proses turunnya Al-Qur’an yang dilakukan secara berangsur-angsur kepada Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬. 

Proses turunnya Al-Qur’an ini sekaligus menggambarkan tentang keasliannya yang


tidak dapat dipalsukan, karena dikuatkan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan
Abdullah bin Abbas, “Allah menurunkan Al-Quran sekaligus ke langit dunia, tempat
turunnya secara berangsur-angsur. Lalu, Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya ‫ﷺ‬
bagian demi bagian.” 

Konsep yang pertama (al-inzâl) merupakan proses di luar nalar karena tidak
memerlukan dimensi waktu, tetapi pada konsep yang kedua Nabi harus menerima
dengan beragam kondisi karena faktor manusiawi, semisal kedinginan atau terasa
seperti bunyi lonceng. Tidak semua orang dapat menangkap eksistensi wahyu Al-
Qur’an kecuali Nabi Muhammad.

Baca juga: Sejarah Nabi Muhammad (2): Wahyu Pertama yang Menggetarkan

Menurut ulama ada tiga kategori proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad.
Pertama dengan cara ilham. Cara ini adalah salah satu pengalaman Nabi ketika dalam
keadaan terjaga maupun tidur seperti hadits Nabi yang diriwayatkan Aisyah, “Pertama
kali Rasulullah menerima wahyu adalah dalam mimpi yang benar pada waktu tidur. Beliau
tidak melihat mimpi itu, kecuali datang seperti cahaya subuh.”

Adapun model kedua adalah secara langsung, dan hal ini hanya sekali ketika Nabi
mi’raj, di mana Nabi menerima perintah langsung tanpa perantara malaikat Jibril. Dan,
cara ketiga—yang sering Nabi terima—adalah melalui perantara malaikat Jibril. Jibril
menyampaikan wahyu Allah berupa makna (“ide”), kemudian Nabi mengungkapkan
sendiri sendiri lafadhnya. Dan ada pula yang makna dan redaksinya langsung datang
dari malaikat Jibril. Meskipun demikian hal ini tidak mengurangi sedikitpun keaslian
atau otentisitas wahyu Al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad, karena secara
tegas Al-Qur’an memberikan argumentasi bahwa Al-Qur’an telah tertanam dalam hati
Nabi, sebagaimana QS as-Syu’ara ayat 192-195.

‫ ِبِلَساٍن َعَر ِبٍّي ُمِبيٍن‬،‫ َعَلى َقْلِبَك ِلَتُكوَن ِمَن اْلُمْنِذِريَن‬،‫ نزَل ِبِه الُّر وُح الأِميُن‬،‫َو َّن ُه َلَتنز يُل َرِّب اْلَعاَلِميَن‬ 
‫ِإ‬
 
Artinya: “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin ( Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
dengan bahasa Arab yang jelas.”

Moh. Muhtador, Dosen Ushuluddin IAIN Kudus


Referensi
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, kitab Bad’i al Wahyi (Dar Salam, Riyad 1997)
Jalal al Din al Syuyuti, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, juz II (Beirut: Dar al Fikr, 2012).
Ibnu Jarir al Thabari, Tafsir al Thabari (Beirut: Muassah Risalah, 2000)
Muhammad Abd al Azhim al Zarqani, Manahilul-Irfan fi Ulum Al-Qur’an, jilid I (Beirut:
Darul Fikr, 1988)

Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan
layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

TAG S:

Anda mungkin juga menyukai