ULUMUL QUR’AN
Al-Qur’an ialah kalam Allah Swt yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad Saw dengan tujuan untuk menjadi pedoman kehidupan bagi umat
Islam.
Untuk memahami apa yang tertulis didalam Al-Qur’an tentu kita sebagai umat Islam
dituntut untuk mencari ilmu . Karena mencari ilmu itu hakikatnya membantu kita agar
dapat memahami apa yang sebelumnya kita tidak ketahui. Dalam hal itu, banyak ilmu-
ilmu yang membahas mengenai persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu
tersebut diringkas kedalam cabang keilmuan yang bernama Ulumul Qur’an.
Ulumul Qur’an ialah suatu ilmu yang mencakup segala aspek-aspek dalam
menafsirkan Al-Qur’an, yang apabila mempelajarinya memiliki kesan tersirat dalam
membaca Al-Qur’an. Pembahasan ini mencakup pertumbuhan dan perkembangan
Ulumul Qur’an serta urgensi mempelajari Ulumul Qur’an.
1. Pengertian Al Qur’an
Kata Al Qur’an adalah bentuk masdar dari fi’il qara’a – yaqra’u; qiro’atan, qur’anan.
Hal ini didasarkan pada firman Allah,
ُِۚعلَينَاِ َجمعَه َُِوِقُرِآنَ ِهَِِۚفَاذِقَ َرِأنهُِفَاتَّبعِقُرِآنَ ِه
َ ِاِن
)۱۷-۱۸ِ:)۷۵((القيامﺓ
“....Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkan (di dada)mu dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaan itu.”
(QS. Al-Qiyamah(75): 17-18)
Al Qur’an, kalam Allah yang memiliki nama-nama lain, diantaranya Al Kitab, yang
bermakna gambaran huruf; Al Furqon, yang bermakna memisahkan atau
membedakan; Adz Dzikr, berarti memberi peringatan; Tanzil yakni wahyu yang
diturunkan Allah dalam hati Rasul-Nya, Muhammad SAW.
Al Qur’an diturunkan oleh Allah melalui perantara Malaikat Jibril kemudian kepada
Nabi Muhammad SAW, dalam tempo kurang lebih 23 tahun, secara berangsur-angsur.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,
|1
“Dan bahwa Al Qur’an diturunkan dari Tuham seluruh alam, diturunkan oleh Jibril
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi seorang pembawa peringatan
dengan bahasa Arab yang jelas.”
(QS. Asy-Syu’ara(26): 192-195)
ُِ عوِا
ِِﺷ َِه ِدَِآمِنِ ِدُوِن ُِ ِهِواد
َِ ِور ٍِﺓِمِنِمِثل
َِ سُِ ِعبدِِنَاِفَِاِِت ُوِاِب َِ ِبِم َّماِنَ َّزِلنَا
َِ ِعلى َ َوانِ ُكنتُمِف
ٍ يِري
ََِِۚللاِِاِنِ ُِكنِت ُمِصدِِقِين
)۲۳ِ:)۲((البقرﺓ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan
Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-
orang yang benar.”
|2
karena totalitas diskursus Al Qur’an mengikuti struktur hubungan gramatikal
mengenai orang.
Al Qur’an memiliki tiga jenis petunjuk bagi manusia. Pertama, doktrin yang
memberi pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia didalamnya.
Doktrin itu berisis petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at yang
mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Kedua, petunjuk yang menyerupai
ringkasan sejarah manusia sepanjang zaman baik cobaan yang menimpa mereka.
Ketiga, ia berisi sesuatu yang sulit dijelaskan dalam bahasa modern. Sesuatu itu
disebut “Magi” yang agung. Bukan dalam arti harfiah, melainkan secara metafisis.
Menurut perkiraan ahli, kurang lebih 500 ayat dari seluruh ayat Al Qur’an (8%)
mengandung ketentuan tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan.
|3
Karena itu, ilmu-ilmu itu perlu dirangkum, dalam suatu ilmu baru yang terpadu dalam
Ulumul Qur’an (Ilmu yang menjelaskan seluruh pembahasan yang berhubungan
dengan Al Qur’an, baik dari segi penyusunannya, pengumpulannya, sistematikanya,
perbedaan antara surat Makkiyah dan Madaniyah, pengetahuan tentang Nasikh dan
Mansukh, pembahasan tentang ayat-ayat yang Muhkamat dan Mutasyabihat serta
pembahasan-pembahasan lain yang berhubungan dan yang ada sangkut-pautnya
dengan Al Qur’an.
Dengan demikian beragamlah macam ilmu Al Qur’an, karena ia selalu berkembang
dari masa ke masa. Dalam proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan Al
Qur’an membutuhkan ilmu-ilmu bantu. Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu bantu
diantaranya, Ilmu Badi’, Ilmu Qiro’at, Ilmu Asbab Al-Nuzul, Ilmu Nasikh dan
Mansukh, dan lain-lain.
Untuk merealisasikan fungsi Al Qur’an, ilmu tafsir merupakan sarana pendukung
pemahamannya yang harus dikembangkan. Ia adalah pisau analisis yang dibutuhkan
untuk membedah kandungan Al Qur’an dari masa ke masa.
|4
3 5H A. Ali bin Ibrahim bin Said Al
Khufi menulis Al Burhan fi Ulumil
Qur’an dan I’rabil Qur’an.
B. Abu Amr Ad Dany menulis At
Tafsir fi Qiro’atis Sab’i dan Al
Muhkam fin Nuqoth.
4 6H A. Abu Qasim Abdurrahman
yang terkenal dengan As Suhaili
menulis Mubhamatul Qur’an (soal-
soal yang samar dalam Al Qur’an).
5 7H A. Ibnu Abdussalam menulis
kitab tentang Majazul Qur’an.
B. Imaduddin As Sakhawi
menulis kitab tentang Qiro’ah.
a. Untuk dapat memahami kalam Allah, sejalan dengan keterangan dan penjelasan
Rasulullah SAW, serta keterangan yang dikutip oleh para Sahabat dan tabi’in
dari Nabi tentang kandungan Al Qur’an.
b. Untuk dapat mengetahui cara dan gaya yang dipergunakan oleh para mufasir
dalam menafsirkan Al Qur’an disertai penjelasan para tokoh-tokoh ahli tafsir
yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
c. Untuk dapat mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al
Qur’an.
d. Untuk dapat menumbuhkan rasa cinta kita terhadap Al-Qur’an.
Dari uraian terdahulu dapat diikhtisarkan bahwa Al Qur’an, kitab suci agama Islam,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan mukjizat. Diturunkan
menggunakan bahasa Arab dengan gaya bahasa yang indah; petunjuk hidup bagi
manusia yang mengandung berbagai ajaran dan aturan bagi segenap alam.
Mempelajari Ulumul Qur’an berguna untuk memahami makna-makna yang tersurat
dan tersirat dalam Al Qur’an; untuk menggali ajaran-ajaran yang masih terpendam;
menangkap isyarat dan arti yang tersembunyi dan menafsirkan Al Qur’an serta
mengambil legilasi Al Qur’an
|5
BAB II
NUZULUL AL QUR’AN
Turunnya wahyu demi wahyu telah Nabi peroleh untuk memenuhi amanah dari
sang khalik yakni memperbaiki akhlak manusia dan menjadikannya Al-Qur’an
sebagai pedoman dalam kehidupan ini. Pasca wahyu turun secara terus menerus, tiba
di suatu titik dimana wahyu terhenti. Mengenai hal itu, Nabi Muhammad Saw merasa
rindu akan kedatangannya dengan diikati rasa gelisah, sedih serta ketakutan. Makadari
itu turunlah wahyu yakni surat Adh Dhuha yang memiliki pesan untuk dirinya.
Dalam turunnya wahyu, tentu mengalami suatu kejadian dimana di dalamnya
terdapat pesan Allah Swt untuk memberitahukan kepada umat manusia melalui
Malaikat Jibril dan disampaikan pula oleh Rasulullah Saw.
Dengan demikian Nuzul Al Qur’an dapat diartikan sejarah turunnya Al Qur’an.
Dalam pembahasan Nuzul Al-Qur’an ini mencakup menjadi:
1. Pengertian Nuzul Al Qur’an
1) Al Qur’an itu diturunkan ke langit dunia pada malam Al Qadr sekaligus yakni
lengkap dari awal hingga akhirnya. Kemudian diturunkan secara berangsur-
angsur. Pendapat ini berpegang pada riwayat Ath Thabary dari Ibnu Abbas, ia
berkata:
|6
3) Al Qur’an itu diturunkan dalam tiga kali tiga tingkat. Pertama, diturunkan ke
Lauh Al Mahfudz. Kedua, ke Bait Al Izzah ke langit dunia. Ketiga, diturunkan
secara berangsur-angsur. Meski sanad-nya shahih, Dr Subhi as Shalih menolak
pendapat tersebut karena turunnya Al Qur’an yang demikian itu termasuk bidang
yang ghaib dan juga berlawanan dengan dhahir Al Qur’an.
Hal ini sama dengan orang yang menghafal isi kitab, isi kitab tetap berada
dalam kitab dan yang disalin pun persis sebagai yang tertulis di kitab itu.
Allah SWT menurunkan Al Qur’an kepada Nabi terakhir kita Muhammad SAW.,
dengan perantara malaikat Jibril secara berangsur-angsur. Malaikat sebagai mediator
Allah SWT dengan manusia, karena Al Qur’an merupakan petunjuk bagi khalifah
bumi (manusia). Ayat-ayat Al Qur’an diturunkan sesuai dengan peristiwa-peristiwa
dan kejadian-kejadian serta kebutuhan Rasulullah SAW.
َّ علَىِ ُمكث
ٍٍَِِۚون ََّزِلنهُِت َنزِيال َ ِعلَىِانَّاس َ َوقُرانًاِفَ َرِقنهُِلت
َ َُِقرِاَه
)۱۰۶ِ:)۱۷((اﻹسراع
“Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacanya dengan perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian”.
(Qur’an Surat. Al Isra: 106)
|8
perbatasan Makkah
dan Madinah.
|9
terakhir kali memakan
waktu sekitar 22 tahun.
| 10
Manfaat Ayat-Ayat Makkiyah dan Madaniyah:
1) Balaghah Al Qur’an semakin nampak, karena susunan bahasa yang dipakai
sesuai dengan kenyataan kepribadian lawan bicaranya,
2) Pembentukan hukum dalam Al Qur’an ditempatkan pada proporsi yang tepat
secara berjenjang tergantung kesiapan umat,
3) Mendidik dan mengarahkan para da’i ke jalan Allah agar mengikuti jalur Al
Qur’an dalam berbicara dan tema pembicaraannya yang sesuai dengan orang
yang akan disampaikan kepadanya dakwah Islam,
4) Pemilihan antara Nasikh dan Mansukh ketika terdapat dua ayat Makkiyah dan
Madaniyah yang telah memenuhi persyaratannya.
4. Pemeliharaan Al Qur’an
| 11
penghafal Al Qur’an dan
sahabat gugur, melihat hal itu
Umar bin Khattab mengusulkan
usaha kodifikasi Al Qur’an,
C. Terjadilah
pengkodifikasian Al Qur’an
dengan terpilihnya Zaid bin
Tsabit sebagai ketua.
3 Masa Umar bin A. Setelah Abu Bakar
Khattab wafat, shuhuf Al Qur’an
dipegang oleh Umar,
B. Umar menyuruh
menyalin Al Qur’an dari satu
shuhuf ke shahifah (lembaran),
C. Sesudah Umar wafat
shuhuf/shahifah itu dipegang
oleh anaknya, Hafshah.
4 Masa Utsman bin A. Memerintahkan untuk
Affan menyalin shuhuf/shahifah yang
dipegang Hafshah karena
mengetahui bahwa Al Qur’an
terancam mengalami perubahan
dan pergantian,
B. Membentuk badan
pengkodifikasian dan
penyalinan ayat Al Qur’an yang
terdiri dari lima orang sahabat
yang diketuai Zaid bin Tsabit,
C. Memerintahkan
membakar mushaf yang selain
ditulis oleh badan kelima orang
sahabat dengan tujuan untuk
menjaga Al Qur’an tersebut,
D. Badan
pengkodifikasian dan penulisan
Al Qur’an menulis lima naskah
Al Qur’an, satu naskah
ditinggal di Madinah dan
keempat naskah lainnya
dibagikan ke Mekkah, Suriah,
Kuffah, dan Bashrah.
| 12
Pada masa Tabi’in dan Atbauttabiin, usaha menghafal Al Qur’an dianjurkan
dan selalu didorong oleh khalifah-nya sendiri. Dalam konteks Indonesia misalnya
diadakan musbaqah dari tingkat anak-anak hingga tingkat dewasa dengan tujuan
tidak lepas dari maksud memelihara kelestarian dan keagungan Al Qur’an.
Untuk menjaga kemurnian Al Qur’an yang diterbitkan di Indonesia maupun
terbitan dari luar negeri, pemerintah Indonesia telah membentuk suatu panitia yang
bertugas memeriksa dan men-tashih Al Qur’an yang akan dicetak dan diedarkan. Pada
bulan April 1997, Presiden Republik Indonesia, Haji Muhammad Soeharto
meresmikan gedung baik Al Qur’an yang terletak dikawasan TMII Jakarta.
Abu Aswad ad-Du’aly dikenal dia orang yang pertama kali meletakkan kaidah tata
bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib. Dengan kegigihan dan kesungguhannya
ia berhasil membuat fathah berupa titik dibawah huruf, dhammah berupa titik di
antara bagian yang memisahkan huruf dan saktah berupa dua titik. Yahya bin Ya’mar
menyempurnakan mushaf dengan huruf-huruf bertitik dengan syakal sebagai tanda
bunyi suara. Nasr bin Ashim al-Laitsi meletakkan dasar tanda-tanda bacaan
| 13
Al Qur’an yang merupakan kelanjutan dari perkerjaan dua orang guru tersebut.
Pada masa selanjutnya, semakin besar perhatian orang kepada usaha memudahkan
penulisan Al Qur’an. Akan tetapi banyak rintangan yang menghalangi ke arah
perbaikan cara penulisan Al Qur’an. Sampai akhir abad 3 H, para Ulama masih
berbeda pendapat mengenai penggunaan tanda titik.
| 14
BAB III
ASBABUN NUZUL
Al-Qur’an bukanlah suatu kitab yang sama seperti kitab-kitab yang lain. Akan
tetapi, ia bersifat universal, yakni selaras dengan berkembangnya dari zaman ke
zaman. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur atau dapat disebut pula
bertahap-tahap berkaitan dengan situasi-situasi yang menuntutnya sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang muncul. Dengan tujuan untuk memberikan serta
membimbing manusia ke jalan yang benar. Seiring turunnya Al-Qur’an tentu ada
beberapa kalangan yang menentang kebenarannya.
Secara etimologis Asbabun Nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab yaitu
jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang, dan Nuzul berarti turun.
Dari pengertian diatas dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat.
1) Perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW, untuk memperingatkan
kerabat dekatnya. Kemudian Nabi Muhammad SAW, naik ke bukit Shafa dan
memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika itu Abu
Lahab menentangnya. Maka turunlah surat Al-Lahab,
2) Pengaduan Khaulah binti Sa’labah kepada Nabi Muhammad SAW berkenaan
dengan zihar yang dijatuhkan Aus bin Samit. Kemudian turunlah ayat,
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu
kepadamu tentang suaminya”.
| 15
Asbabun Nuzul menggambarkan bahwa ayat-ayat Al Qur’an memiliki
hubungan dialektis dengan fenomena sosio-kultural masyarakat. Namun
demikian, perlu ditegaskan bahwa Asbabun Nuzul tidak berhubungan
secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya, tidak bisa
diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak
akan turun.
2. Macam-macam Redaksi Asbabun Nuzul dan Maknanya
| 16
4. Urgensi Mempelajari Asbabun Nuzul
| 17
BAB IV
NASIKH DAN MANSUKH
Salah satu tema dalam Ulumul Qur’an yang belum adanya kesepakatan antar
para ulama sehingga mengundang berbagai perdebatan ialah Nasikh dan Mansukh .
Beberapa kalangan ulama menetapkan adanya Nasikh dan Mansukh dengan
pandangan beberapa ayat Al-Qur’an ada yang tidak bisa dikompromikan. Dan juga
beberapa kalangan ulama pula menolak adanya Nasikh dan Mansukh dengan
pandangan Allah itu konsisten terhadap wahyu yang telah diturunkan.
Mengenai hal itu, kita dituntut untuk terlebih dahulu mengetahui ilmu yang
berkaitan dengan aspek Nasikh dan Mansukh, dan menanyakan kepada ulama-ulama
yang terpercaya. Dengan begitu kita dapat menentukan apakah Nasikh dan Mansukh
ada ataupun sebaliknya.
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Lafal Nasikh terdapat dalam Al Qur’an. Konteks ayat yang mengandung lafal tersebut
mengisyaratkan adanya nasikh (penghapusan, pembatalan) dalam Al Qur’an. Di sisi
lain Allah berfirman dalam Al Qur’an,
ً ِولَوِ َكانَ ِمنِعندِغَيرِللاِلَ َوِ َجدُِوِاِفيهِاخت َالِفًا َكث
ََِِِِۚيرا َ َلِيَِِت َ ِدَِِبَّ ُِرِ َِونَِِالِقُرِاِن
َِ َِا َِف
)۸۲ِ:)٤((النساع
“Seandainya Al Qur’an ini datang bukan dari Allah, niscaya mereka menemukan
didalam kandungan ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak”
(Qur’an Surat. An-Nisa: 82)
Ayat tersebut yakni diyakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun para Ulama
berbeda pendapat tentang cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan
kontradiksi. Dari sinilah, antara lain, timbulnya pembahasan tentang nasikh mansukh.
Di dalam Al Qur’an kata nasikh dalam berbagai bentuknya ditemukan, diantaranya:
ماِننسﺦِمنايةِآوننسهاِنﺄﺖِبﺨيرمنهاِآومﺛلهاِآلمِتعلمِانِللاِعلِكلِشيِعقدِير
)١٠٦ِ:)۲((البقرﺓ
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti
dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
(Qur’an Surat. Al Baqarah(2): 106)
| 18
ِولماِسكﺖِعنِموﺲِالﻐﺿبِآخذِاِآلِلوِوِاِحِوِفيِنسختهاِﻫدِﻯِوِرِﺤمتهاِﻫدِﻯ
ورﺤمةِللذِينِﻫمِلربهمِيرﻫبون
)١۵٤ِ:)۷((العرﻒ
“Dan setelah amarah Musa mereda, diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu: di
dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut
kepada Tuhannya.”
(Qur’an Surat. Al Araf(7): 154)
ﻔناِدِواِصاِﺤبهمِفتعاِﻄلىِفعقر
)۲٩ِ:)٥٤((القمر
“Maka mereka memanggil kawannya, lalu dia menangkap (unta itu) dan memotongnya.”
(Qur’an Surat. Al Qomar(54): 29)
| 19
2. Pengertian Takhshish
“Ayat mana saja yang Kami nasikhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.
(Qur’an Surat. Al Baqarah: 106)
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
| 20
berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja.” Bahkan
kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
(Qur’an Surat. An Nahl: 101)
Golongan yang menyatakan bahwa dalam Al Qur’an tidak ada nasikh dan
mansukh dipelopori oleh Abu Muslim Al Ashfahani, Al Fakhurraji dan Muhammad
Abduh.
Menurut Al Ashfahani, tidak seorang pun dapat atau berhak mengubah firman
Allah. Kita wajib beriman bahwa didalam Al Qur’an tidak ada pembatalan (nasikh).
Semua ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib kita amalkan.
Abu Muslim berkata bahwa hukum Tuhan yang dibatalkan bukan berarti
bathil. Sesuatu yang dibatalkan penggunaanya karena adanya perkembangan dan
kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti yang dibatalkan itu tidak benar ketika
berlaku pada masanya. Dengan demikian yang membatalkan dan yang dibatalkan
keduanya adalah hak dan benar, bukan bathil.
Menurut Asy Syafi’i, Ahmad dalam suatu riwayat yang dinisbatkan kepadanya
dan Ahluzh Zhahir menolak nasikh Al Qur’an. Sebaliknya, Imam Malik, para
pengikut Abu Hanifah dan mayoritas teolog, baik dari Asy’ariyah maupun Mu’tazilah,
| 21
memandang tidak ada halangan logis kemungkinan adanya nasikh tersebut. Hanya
saja mereka kemudian berbeda tentang tidaknya Sunah Nabi yang menasikh Al
Qur’an.
Adanya nasikh dan mansukh tidak dapat dipisahkan dari cara turunnya Al Qur’an
itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapai. Syariat Allah merupakan perwujudan dari
rahmat-Nya. Dialah yang mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya melalui
sarana syariat-Nya. Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai
kehidupan yang sejahtera.
| 22
BAB V
MUNASABAH
Berbagai keunikan serta keindahan telah kita temukan ketika kita mengenal
lebih dalam mengenai Al-Qur’an. Salahsatunya yang paling dikenal yakni makna
yang menyajikan pesan-pesan bagi umat Manusia. Dalam memahami makna tentu
kita menemukan adanya kesinambungan antara makna yang satu dengan makna yang
lainnya. Hal itu bertujuan agar para pembaca Al-Qur’an semakin mengerti apa yang
Allah sampaikan.
Berkaitan dengan hal itu, Ulumul Qur’an telah merangkum dengan cabang
keilmuaannya yakni Munasabah. Sehingga terbimbingnya manusia untuk melakukan
suatu hal di muka bumi ini yang sesuai dengan apa yang Allah perintahkan.
1. Pengertian Munasabah
Munasabah dalam pengertian bahasa adalah cocok, patut atau sesuai, mendekati.
Al Qur’an ialah Abu Bakar An Naisaburi (wafat tahun 324 H). Namun
kitab tafsir An-Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang, sebagaimana
dinyatakan Adz Dzahabi. Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah
nampak dari ungkapan As Suyuthi sebagai berikut:
“Setiap kali ia (An Naisaburi) duduk diatas kursi, apabila dibacakan Al Qur’an
kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan
| 23
apa rahasua diletakkan surat ini disamping surat ini?” Beliau mengkritik para
Ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”.
3. Macam-Macam Munasabah
Diantara hal pokok mengenai munasabah. Pertama, hubungan antar kata atau
ayat kadang nyata, karena keduanya saling berkaitan. Ketiadaan salahsatunya
menghilangkan kesempurnaan. Kedua, antara kata dengan kata atau ayat dengan ayat
kadang tidak terlihat adanya hubungan, seakan-akan setiap ayat itu bebas dari ayat-
ayat lain.
1) Hubungan ini ditandai dengan huruf athaf (kata penghubung), seperti dalam
ayat:
َّ اِو ُﻫ َو
ِِالر َ عرِ ُجِفي َه
ُ َِو َماِي
َ س َمآِء
َّ اِو َماِيَنزِلُِمنَ ِا
َ ﺨرِ ُجِمن َه َ َِّلَرِض
ُ َِو َماِي ُِ ِيَِعلَِ ُِمِ َِماِيَِل
ِ جِفِىِا
ُ ُحي ُمِالﻐَﻔ
َِۚوِر
”Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar darinya; apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dialah yang Maha
Penyayang lagi Maha Mengetahui”.
(Qur’an Surat. Saba’: 2)
| 24
“Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-
orang beruntung.Sesungguhnya orang-orang kafir , sama saja bagi mereka, engkau
(Muhammad) beri peringatan atau tidak beri peringatan, mereka tidak akan
beriman.”
(Qur’an Surat. Al Baqarah: 5-6)
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk
menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang
lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka ingat.”
(Qur’an Surat. Al A’raf:26)
“Dan Kami turunkan Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
(Qur’an Surat. An Nahl: 44)
Datangnya As Sunnah justru untuk mengemban fungsi itu, meluruskan apa yang
ringkas, merinci apa yang masih global serta menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami.
| 25
5. Urgensi Munasabah dalam Penafsiran Al Qur’an
1) Dari sisi balaghah, korelasi antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan
yang indah dalam tata bahasa Al Qur’an, dan dipenggal maka keserasian,
kehalusan, dan keindahan ayat ajan hilang. Untuk ini Imam Ar Razi berkata:
| 26
BAB VI
FAWATIHUS SUWAR
Menurut Ibnu Abi Al Asba’ dalam bukunya yang beliau tulis yaitu kitab Al
Khaqthir Al Sawanih fi Asrar Al Fawatih, pembagian karakter pembukaan-
pembukaan surat sebagai berikut:
1) Pujian terhadap Allah SWT yang dinisbahkan kepada sifat-sifat
kesempurnaan Tuhan,
2) Dengan menggunakan huruf-huruf hijaiyah, terdapat pada 29 surat,
3) Dengan menggunakan kata seru (ahrufun nida’); terdapat dalam sepuluh
surat. Lima seruan ditujukan kepada Rasul secara khusus, dan lima yang
lain ditujukan kepada umat,
4) Kalimat berita (jumlah khabariyah); terdapat dalam 23 surat,
5) Dalam bentuk sumpah (Al Aqsam); terdapat dalam 15 surat.
Menurut Ibnu Abi Al Asba’ seperti dikutip Ahmad bin Musthafa, bahwa
pembuka-pembuka surat itu untuk menyempurnakan dan memperindah bentuk-
bentuk penyampaian dan memperindah bentuk-bentuk penyampaian, dengan sarana-
sarana pujian atau melalui huruf-huruf. Dalam hal ini, surat Al Fatihah dapat
digunakan sebagai ilustrasi dari suatu pembuka yang merangkum keseluruhan pesan
ayat dan surat yang terdapat dalam Al Qur’an.
| 27
Pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh para Ulama menunjukkan
bahwa pembuka surat yang berbentuk huruflah yang sering menimbulkan kontroversi
di antara mereka. Sehingga tidak heran apabila huruf-huruf tersebut sering
dikategorikan ke dalam ayat-ayat mutasyabihat, yang tak seorang pun ‘mengetahui’
kecuali Allah SWT. Atau bahkan disebut sebagai salah satu bentuk ‘rahasia Tuhan’
yang terdapat didalam Al Qur’an.
Ada pula para Ulama yang tidak terlalu menganggap serius huruf-huruf
pembuka itu, seperti Al Qurthubi.
Ia mengatakan:
“Aku tidak melihat kehadiran huruf Al Muqatta’ah kecuali terdapat pada awal
surat. Dan aku sendiri tidak menangkap makna maksud-maksud tertentu yang
dikehendaki Allah SWT”.
Sebagian lagi ada yang mengemukakan bahwa huruf tersebut diambil dari
sifat-sifat Allah, yang dengannya terkumpulkan banyak sifat. Ini merupakan salahsatu
bentuk ‘seni’ dari ‘seni meringkas’ yang seringkali dilakukan oleh orang-orang Arab
disaat mereka bermain dalam syair. Misalnya terdapat penafsiran sebagai berikut.
‘Alif-lam-mim’ artinya, “Aku Allah, Aku Mengetahui.”
‘Alif-lam-mim ra’ artinya, “Aku Allah, Aku Mengetahui dan Melihat.”
‘Alif-lam-mim shad’ artinya, “Aku Allah, Aku Mengetahui dan Memberikan
rincian”.
| 28
Ada juga yang menafsirkan huruf-huruf muqatta’ah dengan menisbatkan
pada nama-nama sahabat pada surat-surat Al Qur’an tertentu. Misalnya sin
dinisbatkan pada sahabat Sa’ad bin Abi Waqas, mim pada sahabat Al
Mughirah, dan nun pada Utsman bin Affan, ha’ pada Abu Hurairah.
| 29
BAB VII
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Muhkam dan Mutasyabih adalah salah satu pokok bahasan dalam kajian-
kajian Al-Qur’an yang penting dan kontroversial sepanjang sejarah. Sangat banyak
karya tulis yang secara khusus mengulas masalah ini.
“Dialah yang telah menurunkan Al Qur’an kepadamu di antaranya ada ayat-ayat
muhkam yang merupakan induk dan lainnya mutasyabih. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya
berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih; semuanya itu dari sisi
Tuhan Kami.”
(Qur’an Surat. Al Imran(3):7)
Dalam pembahasan ini sebagai bentuk motivasi untuk menstabilkan keimanan kita.
1. Pengertian
Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang
mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan
Muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang
hak dan yang bathil. Dengan pengertian inilah Allah SWT mensifati Al Qur’an
dengan Muhkam, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya,
“Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara
terperinci yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”.
(Qur’an Surah. Hud: 1)
Mutasyabih secara lughawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salahsatu
dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan dimana satu dari dua hal
tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya.
Dengan pengertian inilah
“Allah yang menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al Qur’an yang
mutasyabih dan berulang-ulang yang karenanya bergetarlah kulit orang yang takut
kepada Tuhan mereka.”
(Qur’an Surat. Az-Zumar: 23)
| 30
Maksud mutasyabih dalam ayat diatas bahwa sebagian kandungannya
serupa dengan ayat yang lain dalam kesempurnaannya. Sebagian membenarkan
sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.
| 31
3. Macam-Macam Mutasyabihat
Mutasyabih dari segi makna mencakup sifat-sifat Allah dari berita ghaib.
Sedangkan Mutasyabih dari segi lafazh dan makna, ditinjau dari segi kalimat, seperti
umum dan khusus, misalnya
“uqtulul musyrikina”
dari segi cara, seperti wujud dan nadb, misalnya:
“fankihu ma thaba lakum minannisa’i”,
dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya,
“ittaqullahu haqqa tuqatihi”;
dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun disana seperti:
“laisal-birra an ta’tul buyuta min zhuhuriha innaman-nasi’u ziyadatun filkufri”
| 32
BAB VIII
QIRA’AH AL QUR’AN
Dalam hal ini dinamakan dengan keilmuan Ulumul Qur’an yang memiliki
cabang ruang lingkup Qira’ah Al-Qur’an. Berikut ini pembahasan lebih jelas
mengenai Qira’ah Al-Qur’an.
1. Pengertian
Dari segi bahasa, kata qira’ah berarti bacaan, masdar dari qara’a. Dari sisi
istilah, Az Zarqani memberikan pengertian qira’ah sebagai suatu madzhab yang
dianut oleh seorang imam dalam membaca Al Qur’an yang berbeda satu dengan yang
lainnya dalam pengucapan Al Qur’an serta disepakati oleh riwayat dan jalur-jalurnya,
baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafazhnya.
| 33
Manna’ Al Qathan menyatakan bahwa qira’ah adalah salahsatu madzhab
pengucapan Al Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu
madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.
Perintis qira’ah antara lain Abu Ubaid Al Qasim Ibnu Salam, Abu Hatim As
Sajistani, Abu Jafar Ath Thabari dan Ismail Al Qadhi.
2. Macam-Macam Qira’ah
Qira’ah Sab’ah ialah Qira’ah yang merujuk pada tujuh imam masyhur. Yakni:
| 34
Madani) (70-
169 H)
Imam’Ashim Sa’ad bin Iyasy Asy Abu Amr Hafsh bin
bin Abi Nujub Syaibani, Sulaiman bin Al
bin Bahdalah Abu Abdurrahman Mughirah Al Bazzaaz
Al Ashadi Al Abdullah bin Habib Al Kufi.
Kuffi (W. 127 As Salami, dan Zir
H) bin Hubaisy.
Imam Hamzah Kufah Abu Muhammad bin
(Abu Imarah Imam Ashim Imam Khalaf bin Hisyam bin
Hamzah bin As Sabi’i Abu Thalib Al Bazzaz (150-
Habib Az Muhammad 229 H) dan
Zayyat Al Sulaiman bin Abu Isa bin Khalad bin
Fardhi Mahram Al A’mari Khalid Asysyairafi (W.
Attaimi) (156- (80-156 H), 220 H)
216 H) Mansur bin
Mu’tamir, dan
Imam Ja’far Ash
Shadiq.
Imam Al Imam Hamzah dan Abu Harits Al Laitsi bin
Kuzai Imam Syu’bah bin Khalid Al Mawarzi Al
(Abu Hasan Iyasy. Muqri dan
Ali bin Imam Hafzh Addauri.
Hamzah bin
Abdullah bin
Fairuz Al
Farizi Al
Kuzai
Annahwi)
(119-189 H)
Imam Abu Bashrah, Addauri Abu Amr
Amr Hafzh bin Umar Al
(Abu Amr Muqri (W. 246 H) dan
Zabban bin Al Basrah As Susi Abu Syu’aib
A’la bin Al Baghdadi dan Salih bin Ziad (W. 261
Ammar Al Hasan Al Basri. H)
Basri) (70-154
H)
Imam Abu Damaskus, Al Bazzi Abu Hasan
Amir Abu Darda’ dan Hamid bin Muhammad
(Abu Nu’aim Mughirah bin bin Qunbul Abu Umar
Abu Imran Syu’bah. Muhammad.
Abdullah bin
Amir Asy
| 35
Syafi’i Alyas
Hubi)
(21-118 H)
Qira’ah kedua adalah Qira’ah Asyarah, yakni Qira’ah Sab’ah ditambah dengan tiga
Imam Qira’ah. Yaitu:
| 36
3. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Qiraat
Para Ahli Sejarah meriwayatkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan
Ilmu Qiraat yakni Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (W. 224 H). Beliau juga menulis
sebuah kitab yang berjudul Al Qira’at yang didalamnya menghimpun qira’at dari 25
orang perawi.
Menurut Ibnul Jazary, latar belakang para Ulama memelihara qira’at yang
diriwayatkan, yakni karena pada abad 3 H, terjadinya kebohongan yang meluas,
sedangkan ilmu mengenal Al Qur’an dan As Sunnah telah banyak sekali cabang-
cabangnya. Di sisi lain, kaum Muslim sangat memerlukan ilmu qira’at. Jadi
kesimpulannya, para Ulama memelihara qira’at yang diriwayatkan sebagai bentuk
upaya menjaga dan memelihara Al Qur’an dari perubahan-perubahan dan
pemutarbalikan.
Ilmu Qira’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi belum
dibukukan. Ilmu Qira’ah dibukukan pada abad 3 H, yang pada saat itu jarang para
sahabat yang menekuni ilmu tersebut. Karena para sahabat condong ingin mengetahui
ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW.
Yang kemudian ayat-ayat tersebut, dihafalkan dan terkadang mereka membaca ayat-
ayat itu dihadapan Nabi Muhammad SAW agar disimak.
| 37
5) Ikhrimah.
Kelompok di Madinah:
1) Ibnul Musayyab,
2) Urwah,
3) Salim,
4) Umar bin Abdul Aziz,
5) Sulaiman bin Syihab Az
Zuhri
6) Muslim bin Jundub,
7) Zaid bin Aslam.
Kelompok di Kuffah:
1) ‘Alqamah,
2) Al Aswad,
3) Masruq,
4) Ubaidah.
Kelompok di Bashrah:
1) Abu Aliyah,
2) Abu Raja’
3) Nasr bin Ashim,
4) Hasan Al Basri,
5) Ibnu Sirin,
6) Qafadah,
7) Yahya bin Ya’mar.
Kelompok di Suriah:
1) Mughirah bin Abi Syihab,
2) Khalifah bin Sa’id.
3 Ulama Terbagi ke beberapa kelompok yang
Qurra’ belajar kepada Imam Qurra,
berdasarkan tempat mereka belajar,
diantaranya:
Kelompok Mekkah:
1) Ibnu Katsir,
2) Humaid bin Qais Al A’raj,
3) Muhammad bin Abu
Muhaitsin.
Kelompok Madinah:
1) Abu Ja’fah Yazid bin Al
Qa’qa,
2) Syaibah bin An Nafah,
3) Nafi bin Nuaim.
Kelompok Kuffah:
1) Yahya bin Wastab,
2) Ashim bin Abi Najud,
3) Hamzah,
4) Kisa’i.
Kelompok Bashrah:
| 38
1) Abdullah bin Abi Ishak,
2) Isa bin Umar,
3) Abu Amr bin Al A’la,
4) Ashim Al Jahdari,
5) Ya’kub Al Hadhrami.
Kelompok Suriah:
1) Abdullah bin Amir,
2) Athiyah bin Qais Al
Kijabi.
4 Periwayat 1. Ibnu Iyasy,
Qira’at 2. Hafsh,
3. Khalaf.
5 Pengkaji 1. Abu Ubaid Al Qusaim bin
dan Salam,
penyusun 2. Ahmad bin Jubair Al Kufi,
Ilmu 3. Ismail bin Ishak Al Maliki
Qira’at 4. Serta dua orang murid
Dalun, Abu Ja’far bin Jarir Ath-
Thabari,
5. Mujahid.
4. Kriteria Qira’at
| 39
5. Manfaat Mempelajari Qira’at
Qira’at merupakan Ilmu yang melengkapi keberadaan Al Qur’an yang didalamnya
terdapat susunan-susunan kalimat dan bentuk-bentuk lafazh dan cara pengucapannya
yang kini Al Qur’an telah tersebar di berbagai wilayah.
Ilmu Qira’at tentu mempunyai manfaat untuk dipelajari, diantaranya:
1) Mempermudah suku-suku yang berbeda dialek, tekanan, dan bahasanya
dengan bahasa Al Qur’an,
2) Membantu dalam memahami tafsir,
3) Menunjukkan terjaganya dan terpeliharanya Al Qur’an,
4) Membuktikan Kemukjizatan Al Qur’an.
| 40
BAB IX
KISAH DALAM AL QUR’AN
| 41
2. Macam-macam Kisah dalam Al Qur’an
| 42
4. Tujuan Kisah dalam Al Qur’an
2) Menerangkan bahwa Agama semuanya dari Allah, dari masa Nabi Nuh
sampai masa Nabi Muhammad.
3) Menerangkan bahwa Agama itu semuanya dasarnya satu dan itu semua dari
Tuhan yang Maha Esa.
“Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia
berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada Tuhan (sembahan)
bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada
hari yang dahsyat.”
(Qur’an Surat. Al Araf(7):59)
4) Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu
satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa. (Qur’an
Surat. Hud(11): 1-123)
5) Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan Nabi Muhammad
dengan Agama Nabi Ibrahim As., secara khusus, dengan agama-agama bangsa-
bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat
daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-
ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa dan Isa as.
| 43
5. Relevansi Kisah dengan Sejarah
| 44
BAB X
AMTSAL DALAM AL QUR’AN
Suatu hakikat yang tinggi makna dan tujuannya menjadi lebih menarik jika
dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada pemahaman,
melalui analogi dengan sesuatu yang telah diketahui secara yakin. Tamsil
(perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam
bentuk yang hidup dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu
yang gaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang kongkrit, dan dengan
menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa.
Bahasa atau kalimat-kalimat Al Qur’an menakjubkan, berbeda sekali dengan
kalimat-kalimat bukan Al Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak
kepada fenomena yang kongkrit, sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya.
Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam menyatakan bahwa amtsal yang
baik dituntut memiliki beberapa persyaratan ilmu balaghah yang meliputi Bayan
(fashahah lafaznya), Ma’ani (komunikasi maknanya), dan Badi’ (keindahan susunan
kalimatnya.
1. Pengertian
Secara etimologis, amtsal berasal dari bentuk jamak dari kata matsal dan kata mitsal
yang berarti perumpamaan atau majas.
Secara terminologis, amtsal ialah suatu perkataan yang menyerupakan sesuatu dengan
apa yang terkandung dalam perkataan itu.
Sayyid Qutb menyatakan bahwa amtsal dalam Al Qur’an merupakan sarana untuk
menggambarkan kondisi bangsa-bangsa pada masa lampau dan untuk
menggambarkan akhlaknya yang sudah sirna.
Amtsal dalam Al Qur’an sering dibahas para Ulama terdahulu dalam suatu kitab
tersendiri seperti Al Amtsal fi Al Qur’an karangan Mahmud Ibnu Syarif, Amtsal Al
Qur’an karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyah dan Amtsal Al Qur’an karangan
Abdurrahman Hasan Al Maidani. Ia juga menjadi suatu bab dalam kitab-kitab Ulumul
Qur’an seperti karangan As Suyuthi, Az Zarkasy dan Manna’ Qaththan.
| 45
2. Jenis Amtsal dalam Al Qur’an
Amtsal dalam Al Qur’an terdiri dari 3 jenis yang masing-masing memiliki ciri
tersendiri.
1. Amtsal Musarrahah, ialah amtsal yang didalamnya dijelaskan lafazh matsal atau
sesuatu yang menunjukkan tasbih.
َِبِللاُِبنُورﻫمِوت ََر َك ُهمِفى َِ ﺿاِ َءِتِِ َِماِ َحوِلَهُِذَﻫ ً َمثَلُ ُهمِ َِك َِمِث َلِِالذِﻯِاست َوِقَدَِن
َ َ َارِافَلَ َّماِا
ِظلُ َما
ُ ِس َماِءِفيه َّ بِمنَ ِال
ٍ صي َ مىِفَ ُهمَِّلَِيَرِجعُونَ َۚ ِاَوِ َك ُ ع ُ ِصمِبُكم ُ َۚ َظلُ َماِتٍَِّلَِيُبص ُرون ُ
ُ ِوللاُِ ُمﺤي
ِط َ ِرِال َموِت َ َص َوِاعقِ َحذ َّ صاِبعَ ُهمِفىِآذَِنهمِمنَ ِال َ ًِِوِبَرقِيَجعَلُوِا َ ِِو َرِعد َ ُت
ِعلَيهمِقَا ُمواَ ِِواذَِاَظلَ َم
َ ﺿاِ َءلَ ُهمِ َمشَواِفيه َّ
َ َ ار ُﻫمِ ُكل َمِا
َ ص َ ﻒِاَب ُ ﻄ َ رِقِيﺨ
ُ َبالكاِفرينِۚيَ َكادُِالب
ُ علَىِ ُكلِﺷَىِءٍ ِقَد
َِِۚير َ َِصاِرﻫمِا َّنِللا َ مِوِاَبَ سمعه َ َبِبَ َولَوِﺷَاِ َءللاُِلَذَِﻫ
)۲٠-١۷ِ:)۲((البقرﺓ
“Perumpamaan (matsal) mereka adalah orang yang menyalakan api, maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari)
mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka ini
bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau
seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit yang disertai kegelapan,
petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga mereka dengan jari-jarinya,
(menghindari) suara petir itu
Karena takut mati. Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir saja kilat itu
menyambar penglihatan merea, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh, Allah maha
Kuasa atas segala sesuatu.”
(Qur’an Surat. Al Baqarah: 17-20)
2. Amsal Kaminah, ialah amtsal yang didalamnya tidak dijelaskan secara langsung
tetapi ia menunjukkan kata-katanya dengan makna-makna yang indah, sehingga
mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya.
| 46
“Dan mereka yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-
lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah
antara yang demikian.”
(Qur’an Surat. Al Furqon(25): 67)
َ سانِاَّلَِّاَّلح
َِۚسان َ ﻫ َْلِ َجزَ ِآِ ُءاَّلح
)۶٠ِ:)۵۵((الرﺤمن
“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)”.
(Qur’an Surat. Ar Rahman(55): 60)
3. Ciri-ciri Amtsal
| 47
4. Urgensi Amtsal dalam Al Qur’an
Amtsal memiliki pengaruh yang cukup besar dalam daya pikir umat Islam dalam
mendalami pemahaman tentang Al Qur’an.
1) Menonjolkan sesuatu yang maq’ul (yang hanya bisa dijangkau oleh akal, abstrak)
dalam bentuk kongkrit yang dapat dirasakan oleh indrawi manusia, sehingga akal
dapat menerimanya, sebab pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak,
kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan
pemahamannya. Misalnya firman Allah SWT, yang mengenai keadaan orang yang
menafkahkan harta dengan riya’: ia tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun
dari perbuatannya itu.
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka
berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari
Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi
miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulanginya,
maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Al Baqarah(2): 275),
| 48
4) Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika
ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa.
5) Menjauhkan seseorang, jika isi matsal berupa sesuatu yang dibenci jiwa.
| 49
BAB XI
AQSAM DALAM AL QUR’AN
Respon jiwa terhadap cahaya yang datang oleh-Nya berbeda-beda. Ada yang
cepat ataupun lambat. Ada yang peka terhadap cahayanya ataupun tidak. Dengan
demikian jiwa yang bersih sangat diperlukan agar dapat cepat respon terhadap cahaya
yang datang oleh Allah Swt. Karena termasuk jiwa yang merugi jika tak merasakan
kegoncangan hatinya terhadap cahaya-Nya.
Didalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat yang memberi penegasan akan sebuah
pernyataan. Penegasan itu berupa pernyataan sumpah yang langsung difirmankan oleh
Allah Swt. Sumpah itu disebut Aqsam. Yang bertujuan untuk menunjukkan
kemanfaatan yang dapat diambil manusia untuk kebutuhan fisik, spiritual, maupun
intelektualnya.
1. Pengertian Aqsam Al Qur’an
Kata Aqsam ialah bentuk jamak dari isim masdar, yang berarti Alhalaf dan
Alyamin, yakni sumpah. Sighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja aqsama atau
ahlafa yang dimuta’addikan dengan huruf ba’.
Didalam qasam terdapat muqsam bihi yakni, sesuatu yang digunakan untuk
bersumpah. Dan juga terdapat muqsam alaihi atau disebut juga jawabul qasam yakni,
sesuatu yang dinyatakan dalam suatu sumpah.
Allah SWT berfirman,
َ َوا َ ْق
ُ َس ُموِاباللاِ َجهدَِا َ ْي َماِنهمَِّلَيُبع
.... ُثِللاُِ َمنِيَ ُموت
)ِ۳۸:)١٦(االنﺤل
“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang bersungguh-
sungguh, ‘Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati’...”
(Qur’an Surat. An Nahl: 38)
2. Huruf-huruf Qasam
Huruf-huruf yang digunakan qasam ada tiga, yakni:
| 50
اللوَِاَمة َ َوآلِاُِقسُمِب
َ ِالنفس
)۲:)۷٥((القيمة
“Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri).”
(Qur’an Surat. Al Qiyamah(75): 2)
a. Fi’il Qasam
Qasam dalam percakapan sering diringkas dengan menghilangkan fi’il qasam dan
cukup menggunakan huruf ba’. Kemudian huruf ba’ diganti dengan wawu pada
isim-isim yang zhahir, seperti:
| 51
َوالَّيْلِاذَيَ ْﻐش
)١ِ:)٩۲((الليل
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).”
(Qur’an Surat. Al Layl(92): 1)
b. Muqsam bihi,
Didalam Al Qur’an terdapat sekitar 99 muqsam bihi, termasuk وyang
َِ berulang-
ulang. Menurut Az Zarkasyi muqsam bihi memiliki 3 kategori. Yakni:
a) Muqsam bihi, berupa Dzat Allah,
b) Muqsam bihi, berupa perbuatan (proses kerja-Nya) Allah SWT,
Muqsam bihi berupa makhluk Allah atau hasil kerja-Nya. Ada pula Ulama
yang menambahkan satu macam muqsam bihi berupa Al Qur’an.
(QS. At Tin: 1)
ََِۚ ِالز ْيت ُ ْون َ َوالتَّين
َّ ِو
)١ِ:)٩۲((التين
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.”
(Qur’an Surat. At Tin(92): 1)
c. Muqsam alaihi.
| 52
4. Bentuk Qasam
a) Qasam zhahir ialah qasam atau sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il
qasam dan muqsam bih. Seperti firman Allah SWT,
b) Qasam mudhmar ialah qasam yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam
dan tidak pula muqsam bih, tetapi ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk
pada jawab qasam.
Seperti dalam firman Allah SWT,
...س ُك ْم َ لَتُبلَ ُو َّنِفيِا َ ْم َوِال ُك
َ ُمِوا َ ْنﻔ
)١۸٦ِ:)۳((العمرن
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu”
(Qur’an Surat. Al Imran: 186)
Menurut Manna Al Qaththan’, tujuan aqsam dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut,
1) Mengukuhkan dan mewujudkan muqsam’alaih yakni, berupa sesuatu yang
layak untuk dijadikan sumpah, seperti hal-hal yang tersembunyi, jika qasam itu
dimaksudkan untuk menetapkan kebenarannya,
2) Untuk menjelaskan tauhid atau menegaskan kebenaran Al Qur’an.
| 53
BAB XI
KAIDAH PENAFSIRAN AL QUR’AN
| 54
Diantara faktor-faktor penyebab kekeliruan dalam menafsirkan Al Qur’an,
a. Subjektivitas muffasir,
b. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah,
c. Kurangnya ilmu pengetahuan baik tentang materi pembicaraan dan juga
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir, seperti ushul fiqh dan lainnya,
d. Tidak memerhatikan konteks, baik asbabun nuzul, hubungan antar ayat,
maupun kondisi sosial masyarakat,
e. Tidak memerhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicara
ditunjukkan.
ْ مِوَّلَِي
ِ َُظلَ ُم ْون َ يِكت َابَهُِبيَمنهِفَاُولعكَ ِيَ ْق َر ُءونَ ِكتَبَ ُه
َ َاسِبإِ َمامه ًمِفَ َم ْنِا ُ ْوت
ٍ عوا ُك َّلِاُن
ُ ِْيَ ْو َمِنَد
ًال
ِ فَت ْي
“Suatu hari Kami akan memanggil semua manusia beserta para imamnya (masing-
masing); barangsiapa diberi catatannya di tangan kanannya mereka akan
membacanya (dengan gembira) dan sedikitpun tidak dirugikan.”
(Qur’an Surat. Al Isra: 1)
| 55
Diantara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqh adalah sebagai berikut,
1. Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat
umum, bukan khusus terhadap kasus yang menjadi sebab turunnya ayat,
2. Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram dan
menimbulkan yang wajib,
3. Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas
sesuatu berarti perintah atas kebalikannya.
| 56
BAB XII
“Dan sekiranya pohon-pohon di bumi adalah pena dan samudera (adalah tinta);
sesudah itu ditambah dengan tujuh samudera, Firman Allah tidak akan habis
(ditulis). Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(Qur’an Surat. Luqman(31): 27)
“Jika ada orang yang bertanya: ‘Apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al
Qur’an?’ maka jawabnya, ‘menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Apabila
engkau tidak mendapatkan penafsirannya pada Al Qur’an, maka tafsirkanlah
dengan sunnah, karena sesungguhnya ia memberikan penjelasan terhadap Al
Qur’an. Apabila tidak kautemukan penafsiran dari keduanya, maka merujuklah
kepada perkataan para sahabat Nabi Saw., karena mereka paling mengetahui
sesudah Nabi, mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya Al Qur’andan
situasi ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang benar dari
Nabi. Apabila tidak kau temukan penafsiran dalam Al Qur’an dan Sunnah serta
tidak ada pula penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujuk pada
perkataan tabi’in….”
| 57
1. Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an
Ayat Al Qur’an yang dijelaskan secara umum pada suatu tempat dijelaskan
pada tempat lain secara terperinci. Bagian yang belum dijelaskan pada suatu tempat
(mubham) dijelaskan pada tempat lain. Ayat yang tidak terbatas pesan dan
pengertiannya (muthlaq) pada suatu surat menjadi terikat pada surat yang lain
(muqayyad). Ayat yang bersifat’amm (umum) pada suatu konteks ditakhshishkan
pada konteks yang lain.
Mendengar ayat tersebut, para sahabat merasa gelisah dan khawatir terhadap diri
mereka sendiri. Oleh sebab itu, mereka menanyakan kepada Rasulullah Saw.
Kemudian ia menjelaskan kepada sahabatnya berdasarkan firman Allah,
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan segala yang disembelih
tidak dengan nama Allah, yang mati dicekik, atau dipukul, atau jatuh, atau
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih; dan yang disembelih
| 58
di atas batu (mezbah), atau dengan meramalkan nasib dengan anak panah; karena
semua itu perbuatan fasik.”
(QS. 5: 3)
“Keduanya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan
jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya
pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”
(QS. 7: 23)
“Dan tidak adalah yang Kami utus sebelummu selain manusia lelaki; kepada
mereka Kami beri wahyu. Maka tanyakanlah kepada ahli risalah, jika kamu tahu.
(Kami utus mereka) dengan tanda-tanda yang jelas dan kitab-kitab kenabian yang
samar; dan Kami turunkan kepadamu risalah ini supaya kau jelaskan kepada
manusia apa yang sudah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka
renungkan.”
(Qur’an Surat. An Nahl(16): 43-44)
“Kami telah menurunkan kepadamu Kitab yang membawa kebenaran agar engkau
mengadili manusia sesuai dengan yang diajarkan Allah kepadam. Dan janganlah
engkau menjadi pembela para pengkhianat.”
(Qur’an Surat. An Nisa(4): 105)
Rasulullah Saw bersabda, “Ketahuilah bahwa aku diberi Al Qur’an dan yang
semisalnya (hadits) bersamanya.”
(Hadits Riwayat. Abu Dawud)
| 59
Peran Rasul di hadapan Al Qur’an meliputi:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu sungguh perbuatan
keji, dan suatu jalan yang buruk.”
“Setiap bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua matapun berzina,
zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah
menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah menuju perzinahan.
Mulut berzina, zinanya adalah dengan mencium. Hati dengan keinginan dan
berangan-angan. Dan kemaluannya lah yang membenarkan atau
menggagalkannya.”
Yusuf Qardhawi pun berpendapat, jika para Sahabat telah ‘ijma dalam suatu
permasalahan, maka hal itu menunjukkan bahwa perkara itu memiliki dasar dari
Sunnah, walaupun mereka tidak menyatakan dengan jelas. Tetapi jika masih ada
perselisihan dari pendapat mereka, maka kita bebas memilih salah satu pendapat yang
| 60
kita anggap paling mendekati kebenaran atau kita menambah pemahaman baru
terhadap pendapat mereka.
4. Tafsir Tabi’in
| 61