Anda di halaman 1dari 61

BAB I

ULUMUL QUR’AN
Al-Qur’an ialah kalam Allah Swt yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad Saw dengan tujuan untuk menjadi pedoman kehidupan bagi umat
Islam.
Untuk memahami apa yang tertulis didalam Al-Qur’an tentu kita sebagai umat Islam
dituntut untuk mencari ilmu . Karena mencari ilmu itu hakikatnya membantu kita agar
dapat memahami apa yang sebelumnya kita tidak ketahui. Dalam hal itu, banyak ilmu-
ilmu yang membahas mengenai persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu
tersebut diringkas kedalam cabang keilmuan yang bernama Ulumul Qur’an.
Ulumul Qur’an ialah suatu ilmu yang mencakup segala aspek-aspek dalam
menafsirkan Al-Qur’an, yang apabila mempelajarinya memiliki kesan tersirat dalam
membaca Al-Qur’an. Pembahasan ini mencakup pertumbuhan dan perkembangan
Ulumul Qur’an serta urgensi mempelajari Ulumul Qur’an.

1. Pengertian Al Qur’an
Kata Al Qur’an adalah bentuk masdar dari fi’il qara’a – yaqra’u; qiro’atan, qur’anan.
Hal ini didasarkan pada firman Allah,
ُِۚ‫علَينَاِ َجمعَه َُِوِقُرِآنَ ِهَِِۚفَاذِقَ َرِأنهُِفَاتَّبعِقُرِآنَ ِه‬
َ ِ‫اِن‬
)۱۷-۱۸ِ:)۷۵(‫(القيامﺓ‬
“....Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkan (di dada)mu dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaan itu.”
(QS. Al-Qiyamah(75): 17-18)

Al Qur’an, kalam Allah yang memiliki nama-nama lain, diantaranya Al Kitab, yang
bermakna gambaran huruf; Al Furqon, yang bermakna memisahkan atau
membedakan; Adz Dzikr, berarti memberi peringatan; Tanzil yakni wahyu yang
diturunkan Allah dalam hati Rasul-Nya, Muhammad SAW.

Al Qur’an diturunkan oleh Allah melalui perantara Malaikat Jibril kemudian kepada
Nabi Muhammad SAW, dalam tempo kurang lebih 23 tahun, secara berangsur-angsur.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,

ِ َ‫علَىِقَلبكَ ِلت َ ُكوِنَ ِمن‬ ُ ‫لِبِهِالرِِوِحُِاآلم‬


َ َۚ‫ين‬ َِ َِِ‫لِ َِربِِال َعلَمينَََِِۚ ِنَز‬
ُِ ‫َِواِنِهِلَِِت َنزِِي‬
َِۚ‫ين‬
ٍ ‫ع َِرِبيٍِمب‬
َ ِ‫ان‬
ٍ ‫س‬َ ‫ال ُمنذرينَ َِِۚبل‬
)۱۹۲-۱۹۵:)۲۶(‫(الﺷعراﺓ‬

|1
“Dan bahwa Al Qur’an diturunkan dari Tuham seluruh alam, diturunkan oleh Jibril
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi seorang pembawa peringatan
dengan bahasa Arab yang jelas.”
(QS. Asy-Syu’ara(26): 192-195)

Al-Qur’an diturunkan dalam kalangan bangsa Arab dengan menggunakan


bahasa Arab, Al Qur’an merupakan peran terpenting dalam berdakwah yang ditujukan
kepada segenap umat manusia termasuk bangsa-bangsa non Arab dan seluruh umat
manusia.

َِۚ َ‫ِاولَك َّنِاَكث َرِالنَّاِسِيَعلَ ُمون‬


َّ ‫ير‬ ً ‫َو َمآاَرسلنكِا ََّّلِ َكآفَّةًِللَّناِسِبَش‬
ً ‫يرِاوِنَذ‬
)۲۸ِ:)۳٤(‫(سبا‬
“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad SAW) kecuali kepada seluruh
manusia.”
(QS. Saba(34): 28)

Allah menurunkan Al Qur’an begitu istimewanya, sehingga banyak orang-


orang yang masuk Islam karena keindahan yang tersajikan didalam Al Qur’an. Salah
satu kemukjizatan Al Qur’an yang termasyhur yakni, keindahan bahasanya yang
menakjubkan. Ketika ayat-ayat Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
banyak orator yang membuat syair tandingan. Salah seorang diantaranya adalah
Walid. Saat dibacakan Qur’an Surat Fussilat(41) ayat Pertama haa-mim sampai ke
ayat tiga belas, wajah Walid tampak berubah seolah-olah bergemetar tak terkendali
dan hilang akal.

Al Qur’an telah menjelaskan,

ُِ ‫عوِا‬
ِِ‫ﺷ َِه ِدَِآمِنِ ِدُوِن‬ ُِ ِ‫هِواد‬
َِ ِ‫ور ٍِﺓِمِنِمِثل‬
َِ ‫س‬ُِ ِ‫عبدِِنَاِفَِاِِت ُوِاِب‬ َِ ِ‫بِم َّماِنَ َّزِلنَا‬
َِ ِ‫على‬ َ ‫َوانِ ُكنتُمِف‬
ٍ ‫يِري‬
ََِِۚ‫للاِِاِنِ ُِكنِت ُمِصدِِقِين‬
)۲۳ِ:)۲(‫(البقرﺓ‬

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan
Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-
orang yang benar.”

(QS. Al Baqarah: 23)

Menurut Muhammad Arkoun, wacana yang digunakan dalam Al Qur’an bertipe


legislatif, naratif, hikmah dan puitis. Kandungan dan tingkat-tingkat signifikasi tipe-
tipe wacana itu mudah dibedakan, tetapi semuanya menegaskan tujuan wahyu,

|2
karena totalitas diskursus Al Qur’an mengikuti struktur hubungan gramatikal
mengenai orang.

Allah menjaga Al Qur’an dengan bersumpah kepada alam; bintang; perputaran


serta peredaran alam, sehingga Al Qur’an tidak akan berubah sepanjang masa. Ini
menunjukkan keagungan Al Qur’an.

Al Qur’an menjelaskan segala petunjuk hingga persoalan dalam kehidupan


manusia serinci-rincinya. Didalam Al Qur’an mengandung ketiga dasar Islam yaitu
akidah, akhlak dan hukum syara.

Al Qur’an mengajarkan manusia kepada hal-hal yang positif. Objek Al Qur’an


adalah manusia. Manusia melihat dan menilai dirinya lewat petunjuk Allah,
disamping melalui hakikat ilmiah yang diisyaratkan Al Qur’an agar diungkapkan
lewat teori, penelitian dan eksperimen.

Al Qur’an memiliki tiga jenis petunjuk bagi manusia. Pertama, doktrin yang
memberi pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia didalamnya.
Doktrin itu berisis petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at yang
mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Kedua, petunjuk yang menyerupai
ringkasan sejarah manusia sepanjang zaman baik cobaan yang menimpa mereka.
Ketiga, ia berisi sesuatu yang sulit dijelaskan dalam bahasa modern. Sesuatu itu
disebut “Magi” yang agung. Bukan dalam arti harfiah, melainkan secara metafisis.

Menurut perkiraan ahli, kurang lebih 500 ayat dari seluruh ayat Al Qur’an (8%)
mengandung ketentuan tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan.

Ayat-ayat mengenai ibadah berjumlah 140 dan mengenai kehidupan


kemasyarakatan 228 dengan perincian akhir sebagai berikut: hidup kekeluargaan,
perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya. 70 ayat: hidup berdagang,
ekonomi, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam. 70 ayat: masalah pidana.
30 ayat: hubungan muslim dan non muslim. 25 ayat: pengadilan. 13 ayat: hubungan
orang kaya dan orang miskin. 10 ayat: kenegaraan.

2. Ruang Lingkup Ulumul Qur’an


Ulumul Qur’an merupakan cabang keilmuan yang didalamnya memiliki persyaratan
dalam menafsirkan Al Qur’an, sehingga muncullah beberapa ilmu seperti:
1) Ilmu Amtsalil Qur’an,
2) Ilmu Aqsamul Qur’an,
3) Ilmu Nasikh dan Mansukh.

|3
Karena itu, ilmu-ilmu itu perlu dirangkum, dalam suatu ilmu baru yang terpadu dalam
Ulumul Qur’an (Ilmu yang menjelaskan seluruh pembahasan yang berhubungan
dengan Al Qur’an, baik dari segi penyusunannya, pengumpulannya, sistematikanya,
perbedaan antara surat Makkiyah dan Madaniyah, pengetahuan tentang Nasikh dan
Mansukh, pembahasan tentang ayat-ayat yang Muhkamat dan Mutasyabihat serta
pembahasan-pembahasan lain yang berhubungan dan yang ada sangkut-pautnya
dengan Al Qur’an.
Dengan demikian beragamlah macam ilmu Al Qur’an, karena ia selalu berkembang
dari masa ke masa. Dalam proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan Al
Qur’an membutuhkan ilmu-ilmu bantu. Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu bantu
diantaranya, Ilmu Badi’, Ilmu Qiro’at, Ilmu Asbab Al-Nuzul, Ilmu Nasikh dan
Mansukh, dan lain-lain.
Untuk merealisasikan fungsi Al Qur’an, ilmu tafsir merupakan sarana pendukung
pemahamannya yang harus dikembangkan. Ia adalah pisau analisis yang dibutuhkan
untuk membedah kandungan Al Qur’an dari masa ke masa.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qur’an.


Pada masa hidup Rasulullah Saw maupun zaman berikutnya, yaitu zaman.
Kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Ilmu Al Qur’an di-riwayat-kan melalui penuturan
secara lisan. Kemudian datang masa kekhqlifahan Utsman. Keadaan menghendaki
untuk menyatukan Kaum Muslimin pada satu mushaf. Kemudian datang masa
kekhalifahan Ali. Atas perintahnya, Abul Aswad Ad Du’ali meletakan kaidah-kaidah
nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku serta memberikan ketentuan harakat
pada Al Qur’an. Ini dipandang sebagai ilmu I’rabil Qur’an.
Perkembangan penulisan kitab-kitab mengenai ilmu Al Qur’an antara lain sebagai
berikut.
No Abad Ilmu Al Qur’an
1 3H A. Ali bin Al Madhany menulis
kitab Asbab Al Nuzul,
B. Abu Ubaid Al Qasim bin
Salam menulis tentang Nasikh dan
Mansukh, Qiro’ah dan Fadhailul
Qur’an.
2 4H A. Abu Bakar Qasim Al Anbari
menulis buku Ajaibu-l Ulumul
Qur’an.
B. Abu Hasan Al Asy’ari
menulis buku Al Mukhtasam fi Ulumil
Qur’an (yang tersimpan dalam Al
Qur’an)

|4
3 5H A. Ali bin Ibrahim bin Said Al
Khufi menulis Al Burhan fi Ulumil
Qur’an dan I’rabil Qur’an.
B. Abu Amr Ad Dany menulis At
Tafsir fi Qiro’atis Sab’i dan Al
Muhkam fin Nuqoth.
4 6H A. Abu Qasim Abdurrahman
yang terkenal dengan As Suhaili
menulis Mubhamatul Qur’an (soal-
soal yang samar dalam Al Qur’an).
5 7H A. Ibnu Abdussalam menulis
kitab tentang Majazul Qur’an.
B. Imaduddin As Sakhawi
menulis kitab tentang Qiro’ah.

Pada abad-abad berikutnya banyak para Ulama yang berminat menulis


tentang Al- Qur’an, sejarahnya dan ilmu-ilmu yang menjadi cakupannya. Seperti,
Syaikh Tahir Al Jazairi menyusun buku At Tibyan liba’dil Mabahits Al Muta’aliqah
bil Qur’an. Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az Zarqani menulis tentang
Manahilul’Irfan fi Ulumil Qur’an. Dan masih banyak lagi Ulama-Ulama yang telah
menulis tentang Al Qur’an.

4. Urgensi Mempelajari Ulumul Qur’an

a. Untuk dapat memahami kalam Allah, sejalan dengan keterangan dan penjelasan
Rasulullah SAW, serta keterangan yang dikutip oleh para Sahabat dan tabi’in
dari Nabi tentang kandungan Al Qur’an.
b. Untuk dapat mengetahui cara dan gaya yang dipergunakan oleh para mufasir
dalam menafsirkan Al Qur’an disertai penjelasan para tokoh-tokoh ahli tafsir
yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
c. Untuk dapat mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al
Qur’an.
d. Untuk dapat menumbuhkan rasa cinta kita terhadap Al-Qur’an.
Dari uraian terdahulu dapat diikhtisarkan bahwa Al Qur’an, kitab suci agama Islam,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan mukjizat. Diturunkan
menggunakan bahasa Arab dengan gaya bahasa yang indah; petunjuk hidup bagi
manusia yang mengandung berbagai ajaran dan aturan bagi segenap alam.
Mempelajari Ulumul Qur’an berguna untuk memahami makna-makna yang tersurat
dan tersirat dalam Al Qur’an; untuk menggali ajaran-ajaran yang masih terpendam;
menangkap isyarat dan arti yang tersembunyi dan menafsirkan Al Qur’an serta
mengambil legilasi Al Qur’an

|5
BAB II
NUZULUL AL QUR’AN

Turunnya wahyu demi wahyu telah Nabi peroleh untuk memenuhi amanah dari
sang khalik yakni memperbaiki akhlak manusia dan menjadikannya Al-Qur’an
sebagai pedoman dalam kehidupan ini. Pasca wahyu turun secara terus menerus, tiba
di suatu titik dimana wahyu terhenti. Mengenai hal itu, Nabi Muhammad Saw merasa
rindu akan kedatangannya dengan diikati rasa gelisah, sedih serta ketakutan. Makadari
itu turunlah wahyu yakni surat Adh Dhuha yang memiliki pesan untuk dirinya.
Dalam turunnya wahyu, tentu mengalami suatu kejadian dimana di dalamnya
terdapat pesan Allah Swt untuk memberitahukan kepada umat manusia melalui
Malaikat Jibril dan disampaikan pula oleh Rasulullah Saw.
Dengan demikian Nuzul Al Qur’an dapat diartikan sejarah turunnya Al Qur’an.
Dalam pembahasan Nuzul Al-Qur’an ini mencakup menjadi:
1. Pengertian Nuzul Al Qur’an

Secara harfiyah Nuzul Al Qur’an dimaknai sebagai peristiwa turunnya Al Qur’an,


dan secara majazi diartikan pemberitahuan Al Qur’an dengan cara dan sarana yang
dikehendaki Allah SWT sehingga dapat diketahui malaikat di Lauh al-Mahfudz dan
oleh Nabi Muhammad SAW.
Ada dua makna Nuzul Al Qur’an yaitu Pertama dari kata nazzala-yunazzilu dengan
makna konotatif yaitu turun secara berangsur-angsur. Kedua dari kata anzala-yunzilu
dengan makna denotasi “menurunkan”. Dua makna diatas sebagaimana yang
diungkapkan Al Qur’an relevan dengan turunnya Al Qur’an.
Adapun tentang kayfiyat Al Qur’an itu diturunkan telah terjadi silang pendapat
antara para Ulama. Dalam hal ini ada pendapat:

1) Al Qur’an itu diturunkan ke langit dunia pada malam Al Qadr sekaligus yakni
lengkap dari awal hingga akhirnya. Kemudian diturunkan secara berangsur-
angsur. Pendapat ini berpegang pada riwayat Ath Thabary dari Ibnu Abbas, ia
berkata:

“Diturunkan Al Qur’an dalam Lailatul Qadr dalam bulan


Ramadhan ke langit dunia sekaligus semuanya, kemudian dari sana
diturunkan sedikit-sedikit ke dunia”.
Dari segi Isnad, riwayat tersebut dapat dipakai tetapi tidak kuat betul.

2) Al Qur’an itu permulaan turunnya ialah di malam Al Qadr, kemudian diturunkan


setelah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.

|6
3) Al Qur’an itu diturunkan dalam tiga kali tiga tingkat. Pertama, diturunkan ke
Lauh Al Mahfudz. Kedua, ke Bait Al Izzah ke langit dunia. Ketiga, diturunkan
secara berangsur-angsur. Meski sanad-nya shahih, Dr Subhi as Shalih menolak
pendapat tersebut karena turunnya Al Qur’an yang demikian itu termasuk bidang
yang ghaib dan juga berlawanan dengan dhahir Al Qur’an.

4) Menurut pendapat Jumhur Ulama, bahwa,


“lafadz Al Qur’an tertulis di Lauh Mahfudz lalu dipindahkan dan diturunkan ke
bumi”
Dengan demikian tidak ada lagi lafadz-lafadz Al Qur’an di Lauh Mahfudz.
Menurut pendapat Hasbi ash-Shiddiqie yang dinukilkan bukan lafadz yang
termaktub disana, hanya disalin lalu diturunkan.

Hal ini sama dengan orang yang menghafal isi kitab, isi kitab tetap berada
dalam kitab dan yang disalin pun persis sebagai yang tertulis di kitab itu.

2. Bukti Historis Al Qur’an Turun Secara Bertahap

Allah SWT menurunkan Al Qur’an kepada Nabi terakhir kita Muhammad SAW.,
dengan perantara malaikat Jibril secara berangsur-angsur. Malaikat sebagai mediator
Allah SWT dengan manusia, karena Al Qur’an merupakan petunjuk bagi khalifah
bumi (manusia). Ayat-ayat Al Qur’an diturunkan sesuai dengan peristiwa-peristiwa
dan kejadian-kejadian serta kebutuhan Rasulullah SAW.

Allah SWT berfirman:

َّ ‫علَىِ ُمكث‬
ٍَِۚ‫ٍِون ََّزِلنهُِت َنزِيال‬ َ ِ‫علَىِانَّاس‬ َ ‫َوقُرانًاِفَ َرِقنهُِلت‬
َ ُِ‫َقرِاَه‬
)۱۰۶ِ:)۱۷(‫(اﻹسراع‬
“Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacanya dengan perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian”.
(Qur’an Surat. Al Isra: 106)

Dari ayat diatas yang memiliki arti menurunkan, ditunjukkan dengan


menggunakan kata Tanzil bukan Inzal. Hal ini menunjukkan bahwa Al- Qur’an
diturunkan secara bertahap atau berangsur-angsur. Berbeda dengan kitab-kitab
samawi sebelumnya seperti Taurat, Injil, dan Zabur turunnya sekaligus tidak bertahap.
Ayat Al Qur’an pertama kali turun ialah Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1-5. Pada
saat itu, Rasulullah SAW diberitahukan lewat mimpi pada bulan kelahirannya yaitu
Rabiul Awwal, Kemudian diturunkan kepada beliau dalam keadaan sadar.
Sebagaimana hadits dari Aisyah r.a yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim.
Peristiwa itu terjadi pada malam Senin 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran beliau
yang bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, di Gua Hiro. Ketika turunnya wahyu
pertama (Iqra’) beliau masih seorang Nabi, tidak ditugasi untuk menyampaikan
|7
kepada oranglain. Namun setelah turun wahyu kedualah beliau ditugasi untuk
menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, yaitu Qur’an Surat Al-Muddassir (1-
7), yang artinya:
“Wahai orang yang berkemul(berselimut)!. Bangunlah, lalu berilah peringatan!.
Dan Agungkanlah Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu. Dan tinggalkanlah
segala (perbuatan) yang keji. Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu,
bersabarlah”.
Sejarah Turunnya Al-Qur’an dibagi menjadi tiga periode:

No Periode Kandungan Wahyu Peristiwa


1 Pertama Kandungan wahyu Allah Periode ini
SWT berkisar dalam tiga berlangsung sekitar
hal yaitu: 4-5 tahun dan telah
a) Pendidikan bagi menimbulkam
Rasulullah SAW dalam bermacam-macam
membentuk reaksi di kalangan
kepribadiannya (QS. Al- masyarakat Arab
Muddasir; 1-7). terhadap Al Qur’an
ketika itu. Reaksi
b) Pengetahuan- tersebut terbagi
pengetahuan dasar dalam tiga hal pokok
mengenai ke-Tuhanan yaitu:
(QS. Al-A’la dan Al- a) Sebagian
Ikhlas). kecil dari mereka
c) Dasar-dasar menerima dengan
akhlak Islamiyyah dan baik,
pembentukan masyarakat b) Sebagian
muslim. besar dari mereka
menerima karena
kebodohan mereka
(QS. Al-Anbiya; 24),
dan pula keteguhan
mereka
mempertahankan
adat-istiadat dan
tradisi nenek moyang
mereka (QS. Az-
Zuhruf; 22),
c) Bahwa Al
Qur’an mulai
melebar melampaui

|8
perbatasan Makkah
dan Madinah.

2 Kedua Kandungan wahyu Allah Periode ini


SWT berkisar 3 hal berlangsumg selama
yaitu: 8-9 tahun, dimana
a) Mengajak ayat-ayat Al-Qur’an
berdakwah dengan cara telah sanggung
yang baik dan menolak memblokade paham
dengan cara yang baik. jahiliyah dari segala
(QS. An Nahl; 125), segi sehingga mereka
b) Peringatan tidak lagi mempunyai
bahwa Adzab Allah arti dan kedudukan
sangatlah pedih. (QS. dalam alam pikiran
Fussilat; 13), sehat.
c) Allah sang Maha
pencipta segala makhluk
di Dunia dan alam
semesta. (QS. Ya-sin; 78-
82)
3 Ketiga Kandungan wahyu Allah Periode ini
SWT berkisar : berlangsung sampai
a) Islam merupakan 10 tahun. Pada masa
agama sempurna di- ini dakwah Al Qur’an
ridhoi Allah SWT yang telah mencapai atau
mengatur tentang perkara mewujudkan prestasi
terkecil hingga perkara yang sangat besar. Ini
terbesar. (QS. Al- merupakan periode
Maidah;3). Ayat ini yang terakhir, Islam
termasuk ayat yang telah disempurnakan
terakhir, turun ketika oleh Allah SWT.
Rasulullah SAW, wukuf
pada Haji Wada pada
tanggal 9 Dzulhijjah, 10
Hijriyah,
b) Segala perbuatan
di dunia akan dimintai
pertanggungjawaban
kelak di Akhirat. (QS.
Al-Baqarah; 281). Ayat
ini merupakan ayat
terakhir yang turun
secara mutlak. Sehingga
dari ayat pertama kali
turun sampai yang

|9
terakhir kali memakan
waktu sekitar 22 tahun.

Hikmah Turunnya Al Qur'an secara bertahap-tahap:


Menguatkan atau meneguhkan Termaktub dalam Al Qur’an surat;
hati Rasulullah SAW Al Kahfi: 6, Al An’am: 33-34, Al-
Imron: 184, Al Muzzamil: 10-11, Hud:
120, Ya-sin: 76.
Tantangan dan mukjizat Termaktub dalam Al Qur’an surat:
Al Furqon: 33.
Mempermudah hafalan dan Termaktub dalam Al Qur’an surat: Al-
pemahamannya Jumu’ah: 2, Al Araf: 157.
Kesesuaian dengan peristiwa dan Termaktub dalam Al Qur’an surat: Ar-
penetapan hukum Rum: 38-39, Al An’am: 51-52.
Bukti yang pasti bahwa Al Qur’an Termaktub dalam Al Qur’an surat:
diturunkan di sisi Allah yang Hud: 1, An-Nisa’: 82, Al-Isra’: 88.
Maha Bijaksana dan Maha
Terpuji

3. Surat-Surat Makkiyah dan Madaniyah


Sebagian ayat-ayat Al Qur’an diturunkan di Mekkah dan di Madinah sehingga
muncullah istilah surat atau ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Menurut pendapat
sebagian para Ulama, ayat Makkiyah adalah ayat yang turun sebelum periode Hijrah
sekalipun turun di luar Mekkah. Sedangkan ayat Madaniyah adalah ayat yang turun
sesudah periode Hijrah sekalipun turun di Mekkah.
Perbedaan Ayat-Ayat Makkiyah dan Madaniyah:
1) Dalam segi gaya bahasa: Sebagian besar ayat Makkiyah memiliki gaya bahasa
dan penyampaian yang keras, dan ayat Madaniyah memiliki gaya bahasa yang
lembut dan penyampaiannya yang mudah,
2) Dalam segi ayat: Sebagian besar ayat Makkiyah memiliki susunan yang ringkas
dan argumen yang kuat, dan ayat Madaniyah memiliki susunan ayat yang
panjang dan penyampaian hukum sepintas tanpa banyak argumen,
3) Dalam segi tema: Sebagian besar ayat Makkiyah berisikan penetapan ajaran
Tauhid dan Akidah yang murni dan keterangan tentang masalah Jihad dan
hukum-hukumnya dan orang-orang munafik tercakup didalamnya, dan ayat
Madaniyah berisikan rincian masalah ibadah dan muamalat (kemasyarakatan).

| 10
Manfaat Ayat-Ayat Makkiyah dan Madaniyah:
1) Balaghah Al Qur’an semakin nampak, karena susunan bahasa yang dipakai
sesuai dengan kenyataan kepribadian lawan bicaranya,
2) Pembentukan hukum dalam Al Qur’an ditempatkan pada proporsi yang tepat
secara berjenjang tergantung kesiapan umat,
3) Mendidik dan mengarahkan para da’i ke jalan Allah agar mengikuti jalur Al
Qur’an dalam berbicara dan tema pembicaraannya yang sesuai dengan orang
yang akan disampaikan kepadanya dakwah Islam,
4) Pemilihan antara Nasikh dan Mansukh ketika terdapat dua ayat Makkiyah dan
Madaniyah yang telah memenuhi persyaratannya.

4. Pemeliharaan Al Qur’an

Upaya Kodifikasi Al-Qur’an:


No Periode Peristiwa
1 Masa Rasulullah A. Al Qur’an tersebar
SAW dengan pesat karena kefasihan
dan keindahan bahasanya,
B. Banyak para kaum
Muslimin yang bersungguh-
sungguh dalam menghafal
,mempelajari, serta memelihara
Al Qur’an,
C. Ayat-ayat yang
diturunkan kemudian ditulis
oleh Al Qurra (penulis wahyu).
Ayat-ayat yang diturunkan
secara bertahap ditulis di papan,
kulit domba, pelepah kurma,
kemudian dihafal,
D. Pencatat wahyu yakni
Muawiyah bin Abu Sofyan dan
Zaid bin Tsabit (penulis wahyu
utama).
2 Masa Abu Bakar Ash- A. Setelah Rasulullah
Shiddiq SAW wafat, banyak
bermunculan kejadian yakni:
kemurtad-an karena timbulnya
khurafat serta fitnah-fitnah dan
banyak yang mengakui nabi-
nabi palsu, menyikapi hal itu
akhirnya terjadinya Perang
Yamamah,
B. Dalam perang
Yamamah, banyak para

| 11
penghafal Al Qur’an dan
sahabat gugur, melihat hal itu
Umar bin Khattab mengusulkan
usaha kodifikasi Al Qur’an,
C. Terjadilah
pengkodifikasian Al Qur’an
dengan terpilihnya Zaid bin
Tsabit sebagai ketua.
3 Masa Umar bin A. Setelah Abu Bakar
Khattab wafat, shuhuf Al Qur’an
dipegang oleh Umar,
B. Umar menyuruh
menyalin Al Qur’an dari satu
shuhuf ke shahifah (lembaran),
C. Sesudah Umar wafat
shuhuf/shahifah itu dipegang
oleh anaknya, Hafshah.
4 Masa Utsman bin A. Memerintahkan untuk
Affan menyalin shuhuf/shahifah yang
dipegang Hafshah karena
mengetahui bahwa Al Qur’an
terancam mengalami perubahan
dan pergantian,
B. Membentuk badan
pengkodifikasian dan
penyalinan ayat Al Qur’an yang
terdiri dari lima orang sahabat
yang diketuai Zaid bin Tsabit,
C. Memerintahkan
membakar mushaf yang selain
ditulis oleh badan kelima orang
sahabat dengan tujuan untuk
menjaga Al Qur’an tersebut,
D. Badan
pengkodifikasian dan penulisan
Al Qur’an menulis lima naskah
Al Qur’an, satu naskah
ditinggal di Madinah dan
keempat naskah lainnya
dibagikan ke Mekkah, Suriah,
Kuffah, dan Bashrah.

| 12
Pada masa Tabi’in dan Atbauttabiin, usaha menghafal Al Qur’an dianjurkan
dan selalu didorong oleh khalifah-nya sendiri. Dalam konteks Indonesia misalnya
diadakan musbaqah dari tingkat anak-anak hingga tingkat dewasa dengan tujuan
tidak lepas dari maksud memelihara kelestarian dan keagungan Al Qur’an.
Untuk menjaga kemurnian Al Qur’an yang diterbitkan di Indonesia maupun
terbitan dari luar negeri, pemerintah Indonesia telah membentuk suatu panitia yang
bertugas memeriksa dan men-tashih Al Qur’an yang akan dicetak dan diedarkan. Pada
bulan April 1997, Presiden Republik Indonesia, Haji Muhammad Soeharto
meresmikan gedung baik Al Qur’an yang terletak dikawasan TMII Jakarta.

5. Penyempurnaan Mushaf Utsmani

Khalifah Utsman telah menyatukan bacaan Al Qur’an untuk seluruh kaum


Muslimin. Utsman menunjuk Said supaya mendiktekan dan Zaid menulisnya. Di
samping itu Utsman juga mengadakan penelitian terhadap shuhuf yang telah
sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan Umar.

Pada tahun 65 H, masa kekhalifahan Abdul Malik, beberapa pembesar pemerintah


mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya perubahan nash-nash dalam Al Qur’an,
jika penulisan Al Qur’an tanpa syakal dan tanpa titik. Akhirnya mulai dipikirkan
penciptaan tanda-tanda tertentu yang dapat membantu bacaan dengan baik dan benar.
Berkenaan dengan hal itu beberapa sumber menyebut nama 2 orang tokoh, Ubaidillah
bin Ziyad (W. 67 H) dan Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqifi (W. 95 H).

Diriwayatkan bahwa Ubaidillah bin Ziyad memberi perintah kepada seseorang


berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif sebagai tanda bunyi panjang atau
mad pada 2000 kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Diberitakan
bahwa Al Hajjaj bin Yusuf memperbaiki penulisan Al Qur’an pada sebelas tempat.
Setelah diadakan perbaikan ternyata bacaan menjadi lebih jelas dan lebih mudah
dipahami maknanya.

Perbaikan bentuk tulisan tidak sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dari


generasi ke generasi hingga mencapai puncak keindahan pada akhir abad 3 H. Dalam
hal ini karena 3 orang tokoh yakni, Abu Aswad ad-Du’aly, Yahya bin Ya’mar dan
Nashr bin Ashin al Laitsi yang meletakan kaidah syakal dan titik dalam penulisan Al
Qur’an.

Abu Aswad ad-Du’aly dikenal dia orang yang pertama kali meletakkan kaidah tata
bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib. Dengan kegigihan dan kesungguhannya
ia berhasil membuat fathah berupa titik dibawah huruf, dhammah berupa titik di
antara bagian yang memisahkan huruf dan saktah berupa dua titik. Yahya bin Ya’mar
menyempurnakan mushaf dengan huruf-huruf bertitik dengan syakal sebagai tanda
bunyi suara. Nasr bin Ashim al-Laitsi meletakkan dasar tanda-tanda bacaan

| 13
Al Qur’an yang merupakan kelanjutan dari perkerjaan dua orang guru tersebut.
Pada masa selanjutnya, semakin besar perhatian orang kepada usaha memudahkan
penulisan Al Qur’an. Akan tetapi banyak rintangan yang menghalangi ke arah
perbaikan cara penulisan Al Qur’an. Sampai akhir abad 3 H, para Ulama masih
berbeda pendapat mengenai penggunaan tanda titik.

| 14
BAB III

ASBABUN NUZUL

Al-Qur’an bukanlah suatu kitab yang sama seperti kitab-kitab yang lain. Akan
tetapi, ia bersifat universal, yakni selaras dengan berkembangnya dari zaman ke
zaman. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur atau dapat disebut pula
bertahap-tahap berkaitan dengan situasi-situasi yang menuntutnya sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang muncul. Dengan tujuan untuk memberikan serta
membimbing manusia ke jalan yang benar. Seiring turunnya Al-Qur’an tentu ada
beberapa kalangan yang menentang kebenarannya.

Dari pembahasan diatas menunjukkan upaya untuk memahami pesan dalam


Al-Qur’an sebagai pelajaran yakni dengan mempelajari konteks latar belakangnya,
apa alasan ayat itu turun. Seseorang akan salah menangkap makna jika hanya
mengetahui bahasanya saja, tanpa memahami konteks historisnya.

Dengan demikian dari beberapa literatur berkenaan dengan Al-Qur’an


menunjukkan betapa pentingnya kita untuk mempelajari Asbabun Nuzul.

1. Pengertian Asbabun Nuzul

Secara etimologis Asbabun Nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab yaitu
jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang, dan Nuzul berarti turun.

Secara etimologis, M Hasbi Ash-Shiddieqy mengartikan Asbabun Nuzul


sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Al Qur’an untuk menerangkan
hukumnya di hari timbul kejadian itu dan suasana yang didalamnya Al Qur’an
diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan secara
langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah.

Az Zurqani berpendapat bahwa Asbabun Nuzul adalah keterangan mengenai


suatu ayat atau rangkaian ayat yang berisi tentang sebab-sebab turunnya atau
menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu kejadiannya.

Dari pengertian diatas dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat.
1) Perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW, untuk memperingatkan
kerabat dekatnya. Kemudian Nabi Muhammad SAW, naik ke bukit Shafa dan
memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika itu Abu
Lahab menentangnya. Maka turunlah surat Al-Lahab,
2) Pengaduan Khaulah binti Sa’labah kepada Nabi Muhammad SAW berkenaan
dengan zihar yang dijatuhkan Aus bin Samit. Kemudian turunlah ayat,
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu
kepadamu tentang suaminya”.

| 15
Asbabun Nuzul menggambarkan bahwa ayat-ayat Al Qur’an memiliki
hubungan dialektis dengan fenomena sosio-kultural masyarakat. Namun
demikian, perlu ditegaskan bahwa Asbabun Nuzul tidak berhubungan
secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya, tidak bisa
diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak
akan turun.
2. Macam-macam Redaksi Asbabun Nuzul dan Maknanya

Asbabun Nuzul memiliki beberapa redaksi dan makna


1) Pernyataan tegas dan jelas dengan menggunakan kata sebab seperti
“Sababu nuzuli ayah kadza”, dengan menggunakan fa’ ta’ qibiyah yang
bersambung dengan lafazh nuzul, seperti “...fa’anzhallahu..”, tidak
menggunakan kata sebab dan fa’ta’qibiyah, tetapi dapat dipahami sebagai
sebab dalam konteks jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan kepada
Rasulullah, seperti Hadits Riwayat Ibn’Mas’ud ketika Nabi Muhammad
SAW, ditanya tentang ruh,
2) Pernyataan tidak tegas dan jelas, seperti ungkapan “nuzilat hadzhihil
ayatu fi kadza”, “ahsibu hadzihil ayat nuzilat fi kadza”, atau “ma ahsibu
hadzihil ayat nuzilat fi kadza”. Redaksi semcam ini bisa jadi merupakan
penjelasan kandungan hukum ayat yang dimaksud.

3. Berbilangnya Asbabun Nuzul suatu Ayat

Kenyataan menunjukan bahwa adakalanya terdapat beberapa riwayat tentang


sebab turunnya suatu ayat. Dalam hal seperti ini, para Ulama ahli hadits mempunyai
beberapa alternatif untuk menunjukkan riwayat-riwayat yang diterima sebagai
penjelasan tentang sebab turunnya ayat:
Bila salahsatu diantara riwayat-riwayat bernilai shahih dan yang lain tidak,
riwayat yang bernilai shahih-lah yang diterima dari keterangan tentang Asbabun
Nuzul,
1) Jika dua riwayat atau lebih sama-sama shahih, maka dilakukan tarjih.
Pentarjihan itu dilakukan dengan mengambil hadits yang lebih tinggi tingkat
keshahihannya,
2) Jika dua riwayat sama-sama shahih dan tidak bisa ditarjih, maka
dikompromikan,
3) Jika dua riwayat atau lebih sama-sama shahih, sulit ditarjih dan
dikompromikan, karena jarak waktu sebab-sebab tersebut berjauhan, maka
dipandang banyak sebab turun nuzul ayat berulang.

| 16
4. Urgensi Mempelajari Asbabun Nuzul

Melalui Asbabun Nuzul:


Seseorang dapat mengetahui hikmah dibalik syariat yang diturunkan melalui sebab
tertentu,
1) Seseorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam
peristiwa yang mendahului turunnya suatu ayat,
2) Seseorang dapat menentukan apakah ayat tersebut mengandung pesan
khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu masih
diterapkan,
3) Seseorang mengetahui bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada
Rasulullah dan selalu bersama para hamba-Nya.
Studi tentang Asbabun Nuzul akan selalu menemukan relavansinya sepanjang
perjalanan peradaban manusia, mengingat Asbabun Nuzul menjadi tolak ukur dalam
upaya kontektualisasi teks-teks Al Qur’an pada setiap ruang dan waktu serta psikio-
sosio-historis yang menyertai derap langkah manusia

| 17
BAB IV
NASIKH DAN MANSUKH
Salah satu tema dalam Ulumul Qur’an yang belum adanya kesepakatan antar
para ulama sehingga mengundang berbagai perdebatan ialah Nasikh dan Mansukh .
Beberapa kalangan ulama menetapkan adanya Nasikh dan Mansukh dengan
pandangan beberapa ayat Al-Qur’an ada yang tidak bisa dikompromikan. Dan juga
beberapa kalangan ulama pula menolak adanya Nasikh dan Mansukh dengan
pandangan Allah itu konsisten terhadap wahyu yang telah diturunkan.
Mengenai hal itu, kita dituntut untuk terlebih dahulu mengetahui ilmu yang
berkaitan dengan aspek Nasikh dan Mansukh, dan menanyakan kepada ulama-ulama
yang terpercaya. Dengan begitu kita dapat menentukan apakah Nasikh dan Mansukh
ada ataupun sebaliknya.
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Lafal Nasikh terdapat dalam Al Qur’an. Konteks ayat yang mengandung lafal tersebut
mengisyaratkan adanya nasikh (penghapusan, pembatalan) dalam Al Qur’an. Di sisi
lain Allah berfirman dalam Al Qur’an,
ً ‫ِولَوِ َكانَ ِمنِعندِغَيرِللاِلَ َوِ َجدُِوِاِفيهِاخت َالِفًا َكث‬
ََِِِِۚ‫يرا‬ َ َ‫لِيَِِت َ ِدَِِبَّ ُِرِ َِونَِِالِقُرِاِن‬
َِ َ‫ِا َِف‬
)۸۲ِ:)٤(‫(النساع‬
“Seandainya Al Qur’an ini datang bukan dari Allah, niscaya mereka menemukan
didalam kandungan ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak”
(Qur’an Surat. An-Nisa: 82)

Ayat tersebut yakni diyakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun para Ulama
berbeda pendapat tentang cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan
kontradiksi. Dari sinilah, antara lain, timbulnya pembahasan tentang nasikh mansukh.
Di dalam Al Qur’an kata nasikh dalam berbagai bentuknya ditemukan, diantaranya:

‫ماِننسﺦِمنايةِآوننسهاِنﺄﺖِبﺨيرمنهاِآومﺛلهاِآلمِتعلمِانِللاِعلِكلِشيِعقدِير‬
)١٠٦ِ:)۲(‫(البقرﺓ‬

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti
dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
(Qur’an Surat. Al Baqarah(2): 106)

| 18
ِ‫ولماِسكﺖِعنِموﺲِالﻐﺿبِآخذِاِآلِلوِوِاِحِوِفيِنسختهاِﻫدِﻯِوِرِﺤمتهاِﻫدِﻯ‬
‫ورﺤمةِللذِينِﻫمِلربهمِيرﻫبون‬
)١۵٤ِ:)۷(‫(العرﻒ‬
“Dan setelah amarah Musa mereda, diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu: di
dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut
kepada Tuhannya.”
(Qur’an Surat. Al Araf(7): 154)

‫ﻔناِدِواِصاِﺤبهمِفتعاِﻄلىِفعقر‬
)۲٩ِ:)٥٤(‫(القمر‬
“Maka mereka memanggil kawannya, lalu dia menangkap (unta itu) dan memotongnya.”
(Qur’an Surat. Al Qomar(54): 29)

Dari segi etimologi, kata tersebut berarti pembatalan, penghapusan,


pemindahan dari satu wadah ke wadah lain serta pengubahan. Sesuatu yang
membatalkan, menghapus, memindahkan disebut nasikh, sedangkan yang dibatalkan,
dihapus, dipindahkan disebut mansukh.
Secara terminologi, terdapat perbedaan definisi nasikh, Para Ulama
mutaqoddim abad ke-1 hingga abad ke-3 Hijriyyah memperluas arti nasikh hingga
mencakup hal-hal berikut:
1) Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian.
2) Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat
khusus yang datang kemudian.Penjelasan yang datang kemudian terdapat
3) yang bersifat samar.
4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Pengertian yang begitu luas dipersempit oleh Ulama yang datang kemudian
(muata’akhirin). Menurut mereka nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya masa berlaku
hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang
ditetapkan terakhir.
Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa di satu pihak nasikh
mengandung lebih dari satu pengertian dan di lain pihak dalam perkembangannya
nasikh dibatasi hanya pada satu pengertian.

| 19
2. Pengertian Takhshish

Takhshish adalah membatasi sesuatu hanya pada sebagian dari bagian-


bagiannya. Menurut Az Zarqani, terdapat persamaan antara Nasikh dan Takhshish.
Nasikh men-takhshish hukum dengan sesuatu pada masa tertentu dan takhshish
mengangkat hukum dari bagian-bagiannya. Dan menurut Az Zarqani juga terdapat
perbedaan antara Nasikh dan Takhshish sebagai berikut:
‘am setelah ditakhshish menjadi majaz, sebab satu waktu ditunjukkan oleh
sebagian bagiannya. Tujuan lafazh dan qorinahnya itu adalah mukhashshash. Dan
setiap yang demikian itu adalah majaz,
1) Hukum yang dikeluarkan melalui takhshish tidak sebagaimana
yang dimaksud oleh ‘am pada mulanya. Berbeda dengan apa yang
dikeluarkan oleh nasikh, sesungguhnya ia tidak semakna dengan
lafazh yang dinasikh,
2) Takhshish tidak datang untuk membawa perintah, sedangkan
Nasikh datang untuk membawa perintah.
3) Nasikh membatalkan ketetapan, sedangkan takhshish tidak dapat
membatalkan ‘am,
4) Nasikh berlaku hanya dengan Al Qur’an dan As Sunnah, berbeda
dengan takhshish, ia mungkin dengan selain itu, seperti dengan
dalil inderawi dan akal,
5) Nasikh dapat dengan dalil yang terlepas dari mansukh, sedangkan
takhshish harus dengan sebelumnya, berikutnya dan bersambung.
6) Nasikh tidak terdapat dalam khabar, sedangkan takhshish terdapat
dalam khabar lainnya.

3. Pendapat Ulama tentang Nasikh dalam Al Qur’an

Terdapat dua golongan Ulama, baik di kalangan Ulama mutaqqidimin maupun


muta’akhirin, mengenai nasikh. Pertama, golongan yang membenarkan adanya
nasikh dalam Al Qur’an. Kedua, golongan yang menolak adanya nasikh dalam Al
Qur’an. Golongan yang membenarkan adanya nasikh dalam Al Qur’an dipelopori
oleh Asy Syafi’i, An Nahhas, As Suyyuti dan Asy Syaukani. Mereka bersandar pada
firman Allah, yang artinya:

“Ayat mana saja yang Kami nasikhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.
(Qur’an Surat. Al Baqarah: 106)

“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka

| 20
berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja.” Bahkan
kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
(Qur’an Surat. An Nahl: 101)

Golongan yang menyatakan bahwa dalam Al Qur’an tidak ada nasikh dan
mansukh dipelopori oleh Abu Muslim Al Ashfahani, Al Fakhurraji dan Muhammad
Abduh.

Menurut Al Ashfahani, tidak seorang pun dapat atau berhak mengubah firman
Allah. Kita wajib beriman bahwa didalam Al Qur’an tidak ada pembatalan (nasikh).
Semua ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib kita amalkan.

Di samping itu, seperti diungkapkan Az Zarqani, terdapat Ulama ush fiqh


maupun Ulama tafsir yang mengemukakan pendapat tertentu. Di antara mereka
adalah Ibnu Katsir, Al Maraghi, Asy Syathibi dan Asy Syafi’i.

Dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang menolak


ajaran-ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-
ketetapan yang termaktub dalam Taurat, Ibnu Katsir menyatakan bahwa tidak ada
alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya nasikh atau pembatalan hukum-
hukum Allah, karena Dia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan
apa saja yang diinginkan-Nya.

Al Maraghi menjelaskan bahwa hukum tidak diundangkan kecuali


kemaslahatan manusia. Hal ini mungkin berubah karena adanya perubahan keadaan
waktu dan tempat, sehingga apabila suatu hukum diundangkan untuk kebutuhan pada
satu waktu, kemudian kebutuhan itu berakhir, maka merupakan suatu langkah yang
bijaksana apabila ia dinasikh (dibatalkan) dan diganti hukum yang lebih baik dari
hukum semula atau sama segi manfaatnya bagi hamba-hamba Allah.

Asy Syathibi berpendapat bahwa hukum-hukum, apabila telah terbukti secara


pasti kebenarannya atau ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin
menasikhnya kecuali atas pembuktian yang pasti.

Muhammad Abduh menolak nasikh dalam arti pembatalan, tapi menyetujui


adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum
lainnya).

Abu Muslim berkata bahwa hukum Tuhan yang dibatalkan bukan berarti
bathil. Sesuatu yang dibatalkan penggunaanya karena adanya perkembangan dan
kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti yang dibatalkan itu tidak benar ketika
berlaku pada masanya. Dengan demikian yang membatalkan dan yang dibatalkan
keduanya adalah hak dan benar, bukan bathil.
Menurut Asy Syafi’i, Ahmad dalam suatu riwayat yang dinisbatkan kepadanya
dan Ahluzh Zhahir menolak nasikh Al Qur’an. Sebaliknya, Imam Malik, para
pengikut Abu Hanifah dan mayoritas teolog, baik dari Asy’ariyah maupun Mu’tazilah,

| 21
memandang tidak ada halangan logis kemungkinan adanya nasikh tersebut. Hanya
saja mereka kemudian berbeda tentang tidaknya Sunah Nabi yang menasikh Al
Qur’an.

4. Urgensi Mempelajari Nasikh dan Mansukh

Adanya nasikh dan mansukh tidak dapat dipisahkan dari cara turunnya Al Qur’an
itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapai. Syariat Allah merupakan perwujudan dari
rahmat-Nya. Dialah yang mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya melalui
sarana syariat-Nya. Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai
kehidupan yang sejahtera.

Dengan demikian adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan As-Sunnah


diantaranya:
1) Syari’at selalu memelihara kemaslahatan manusia. Oleh karena itu nasikh itu
mesti ada dan terjadi pada sebagian hukum-hukum.
2) Nasikh itu tidak terjadi pada berita-berita, tetapi terjadi pada hukum-hukum
yang berhubungan dengan masalah hak dan haram.
3) Hukum-hukum itu bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi
kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.
4) Menyimpang dari jalan-jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang-orang
yang sesat akan menjadi penyebab kesengsaraan.

| 22
BAB V

MUNASABAH

Berbagai keunikan serta keindahan telah kita temukan ketika kita mengenal
lebih dalam mengenai Al-Qur’an. Salahsatunya yang paling dikenal yakni makna
yang menyajikan pesan-pesan bagi umat Manusia. Dalam memahami makna tentu
kita menemukan adanya kesinambungan antara makna yang satu dengan makna yang
lainnya. Hal itu bertujuan agar para pembaca Al-Qur’an semakin mengerti apa yang
Allah sampaikan.

Berkaitan dengan hal itu, Ulumul Qur’an telah merangkum dengan cabang
keilmuaannya yakni Munasabah. Sehingga terbimbingnya manusia untuk melakukan
suatu hal di muka bumi ini yang sesuai dengan apa yang Allah perintahkan.

1. Pengertian Munasabah

Munasabah dalam pengertian bahasa adalah cocok, patut atau sesuai, mendekati.

Dalam pengertian istilah ada beberapa pendapat.

 Menurut Manna Al-Qaththan, munasabah adalah segi-segi hubungan antara


satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat
yang lain, atau satu surat dengan surat yang lain.
 Menurut M. Hasbi Ash Shiddieqy, membatasi pengertian munasabah kepada
ayat-ayat atau antar ayat saja.
 Menurut Al Baghawi menyamakan munasabah dengan ta’wil.

Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai Ilmu yang


membahas tentang hikmah korelasi urutan ayat Al Qur’an. Atau dengan kalimat lain,
munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar
ayat atau surat yang diterima.

2. Sejarah Timbul dan Perkembangan Munasabah

Menurut Asy Syarahbani, seperti dikutip Az Zarkasyi dalam Al Burhan,


orang pertama yang menampakkan munasabah dalam menafsirkan

Al Qur’an ialah Abu Bakar An Naisaburi (wafat tahun 324 H). Namun
kitab tafsir An-Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang, sebagaimana
dinyatakan Adz Dzahabi. Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah
nampak dari ungkapan As Suyuthi sebagai berikut:

“Setiap kali ia (An Naisaburi) duduk diatas kursi, apabila dibacakan Al Qur’an
kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan

| 23
apa rahasua diletakkan surat ini disamping surat ini?” Beliau mengkritik para
Ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”.

Tindakan An Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia


tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik
antar ayat maupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan
kontra terhadap apa yang dicetuskan oleh beliau. Satu hal yang jelas, beliau dipandang
sebagai Bapak Ilmu Munasabah.

Dalam perkembangannya, munasabah meningkat menjadi salah satu cabang


ilmu-ilmu Al Qur’an. Ulama-ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan
munasabah secara khusus. Diantaranya kitab yang khusus membicarakan munasabah
ialah: Al Burhan fi Munasabati Tartibil Qur’an susunan Ahmad Ibn Ibrahim Al
Andalusi (wafat 807 H).

3. Macam-Macam Munasabah

Diantara hal pokok mengenai munasabah. Pertama, hubungan antar kata atau
ayat kadang nyata, karena keduanya saling berkaitan. Ketiadaan salahsatunya
menghilangkan kesempurnaan. Kedua, antara kata dengan kata atau ayat dengan ayat
kadang tidak terlihat adanya hubungan, seakan-akan setiap ayat itu bebas dari ayat-
ayat lain.

1) Hubungan ini ditandai dengan huruf athaf (kata penghubung), seperti dalam
ayat:
َّ ‫اِو ُﻫ َو‬
ِ‫ِالر‬ َ ‫عرِ ُجِفي َه‬
ُ َ‫ِو َماِي‬
َ ‫س َمآِء‬
َّ ‫اِو َماِيَنزِلُِمنَ ِا‬
َ ‫ﺨرِ ُجِمن َه‬ َ ِ‫َّلَرِض‬
ُ َ‫ِو َماِي‬ ُِ ِ‫يَِعلَِ ُِمِ َِماِيَِل‬
ِ ‫جِفِىِا‬
ُ ُ‫حي ُمِالﻐَﻔ‬
َِۚ‫وِر‬
”Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar darinya; apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dialah yang Maha
Penyayang lagi Maha Mengetahui”.
(Qur’an Surat. Saba’: 2)

2) Huruf athaf pada ayat diatas (wawu) menunjukkan keserasian yang


mencerminkan perbandingan.

Mudhaddah, yakni hubungan yang mencerminkan pertentangan. Seperti


dalam ayat Al-Qur’an yang artinya,

| 24
“Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-
orang beruntung.Sesungguhnya orang-orang kafir , sama saja bagi mereka, engkau
(Muhammad) beri peringatan atau tidak beri peringatan, mereka tidak akan
beriman.”
(Qur’an Surat. Al Baqarah: 5-6)

Istithrad, yakni hubungan yang mencerminkan kaitan suatu persoalan dengan


persoalan lain. Seperti dalam ayat, yang artinya:

“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk
menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang
lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka ingat.”
(Qur’an Surat. Al A’raf:26)

4. Kedudukan Munasabah dalam Al Qur’an

Menurut Ma’ruf Dualibi, Al Qur’an dalam berbagai ayat hanya


mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip(mabda) dan norma umumnya (qaidah)
saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras harus ada kaitan
antar ayat-ayat yang bersifat tafsil. Pendapat beliau ditampung oleh As-Syatibi dalam
kitab Al Muwafaqat.
Al Qur’an menggariskan prinsip-prinsip, terutama dalam masalah
hubungan antar manusia dan qaidah-qaidah umum. Maka ia membutuhkan
penjelasan dari Rasulullah dan Ijtihad beliau.

Allah berfirman, yang artinya:

“Dan Kami turunkan Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
(Qur’an Surat. An Nahl: 44)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadilli antara manusia dengan apa yang telah
diwahyukan kepadamu.”
(Qur’an Surat. An Nisa; 105)

Datangnya As Sunnah justru untuk mengemban fungsi itu, meluruskan apa yang
ringkas, merinci apa yang masih global serta menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami.

| 25
5. Urgensi Munasabah dalam Penafsiran Al Qur’an

Pengetahuan mengenai korelasi atau munasabah antara ayat-ayat itu


bukanlah tauqifi (sesuatu yang ditetapkan Rasulullah), melainkan hasil dari ijtihad
muffasir, buah penghayatannya terhadap kemu’jizatan Al Qur’an, rahasia retorika dan
segi keterangan mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, keharmonisan
konteksnya, sesuai asas-asas kebahasaan dalam bahasa Arab.
Secara global, ada dua arti penting munasabah sebagai salah satu metode
pemahaman Al Qur’an:

1) Dari sisi balaghah, korelasi antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan
yang indah dalam tata bahasa Al Qur’an, dan dipenggal maka keserasian,
kehalusan, dan keindahan ayat ajan hilang. Untuk ini Imam Ar Razi berkata:

“Kebanyakan kehalusan dan keindahan Al Qur’an dibuang begitu saja,


yakni tertib dalam hubungan dan susunan (almunasabat)”.

2) Ia memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah, sebab


penafsiran Al Qur’an dengan ragamnya jelas membutuhkan pemahaman
korelasi (munasabat) antara satu ayat dengan ayat lainnya. Akan fatal
akibatnya bila penafsiran ayat dipenggal-penggal sehingga menghilangkan
keutuhan maknanya.

| 26
BAB VI

FAWATIHUS SUWAR

Berbagai ilmu tentang makna Al-Qur’an telah kita bahas di bab-bab


sebelumnya. Selanjutnya kita akan membahas tentang huruf yang termaktub di dalam
Al-Qur’an. Saat kita sedang membaca Al-Qur’an, kita akan menemukan huruf-huruf
yang terpisah. Mengenai hal tersebut, banyak para ulama yang tertarik untuk meneliti
lebih dalam huruf-huruf tersebut. Karena menurut para ulama, tidak diketahui secara
pasti apa makna dalam huruf tersebut. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa huruf
itu tertulis di Lauhl Mahfudz dan hanya Allah tahu.

Huruf-huruf tersebut dibahas dalam cabang keilmuan dari Ulumul Qur’an,


yakni Fawatihus Suwar. Untuk lebih memahami, kita dituntut untuk selalu belajar dan
memahaminya.

1. Pengertian Fawatihus Suwar

Dari segi bahasa, Fawatihus Suwar berarti pembukaan-pembukaan surat,


karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks pada suatu surat. Apabila
dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah, huruf tersebut sering dinamakan dengan Ahruf
Muqatta’ah (huruf-huruf yang terpisah), karena posisinya dari huruf tersebut yang
cenderung ‘menyendiri’ dan tidak dapat bergabung membentuk kalimat secara
kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun, tidaklah berbeda dari lafazh yang
diucapkan pada huruf hijaiyah.

Menurut Ibnu Abi Al Asba’ dalam bukunya yang beliau tulis yaitu kitab Al
Khaqthir Al Sawanih fi Asrar Al Fawatih, pembagian karakter pembukaan-
pembukaan surat sebagai berikut:
1) Pujian terhadap Allah SWT yang dinisbahkan kepada sifat-sifat
kesempurnaan Tuhan,
2) Dengan menggunakan huruf-huruf hijaiyah, terdapat pada 29 surat,
3) Dengan menggunakan kata seru (ahrufun nida’); terdapat dalam sepuluh
surat. Lima seruan ditujukan kepada Rasul secara khusus, dan lima yang
lain ditujukan kepada umat,
4) Kalimat berita (jumlah khabariyah); terdapat dalam 23 surat,
5) Dalam bentuk sumpah (Al Aqsam); terdapat dalam 15 surat.

2. Pendapat Ulama tentang Fawatihus Suwar

Menurut Ibnu Abi Al Asba’ seperti dikutip Ahmad bin Musthafa, bahwa
pembuka-pembuka surat itu untuk menyempurnakan dan memperindah bentuk-
bentuk penyampaian dan memperindah bentuk-bentuk penyampaian, dengan sarana-
sarana pujian atau melalui huruf-huruf. Dalam hal ini, surat Al Fatihah dapat
digunakan sebagai ilustrasi dari suatu pembuka yang merangkum keseluruhan pesan
ayat dan surat yang terdapat dalam Al Qur’an.

| 27
Pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh para Ulama menunjukkan
bahwa pembuka surat yang berbentuk huruflah yang sering menimbulkan kontroversi
di antara mereka. Sehingga tidak heran apabila huruf-huruf tersebut sering
dikategorikan ke dalam ayat-ayat mutasyabihat, yang tak seorang pun ‘mengetahui’
kecuali Allah SWT. Atau bahkan disebut sebagai salah satu bentuk ‘rahasia Tuhan’
yang terdapat didalam Al Qur’an.

Menurut Al Hubbi, awal surat yang berupa huruf merupakan bentuk


peringatan kepada Nabi. Dikatakan bahwa Allah mengetahui bagian-bagian waktu
yang Nabi sebagai seorang manusia kadang sibuk. Maka dari itu Jibril menyampaikan
firman Allah seperti ‘Alif-lam mim’, ‘Alif-lam-ra’, ‘Ha-mim’, dengan suara Jibril
supaya Nabi menerima dan memperhatikannya.

Asy Syafi’i berpendapat bahwa huruf-huruf di awal surat merupakan rahasia


Al Qur’an. Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata,
“Tiap-tiap kitab mempunyai rahasia dan rahasia Al Qur’an adalah awal suratnya”.

Sedangkan Ibnu Mas’ud menyatakan:


“Tiap-tiap huruf awal surah merupakan ilmu yang disembunyikan dan rahasianya
tertutup oleh kekuasaan Allah, sehingga banyak para mufasir yang hanya
memperkirakan maknanya. Hal ini disebabkan keterbatasan pemahaman dan latar
belakang pengetahuan mereka, sehingga untuk makna yang hakiki ayat tersebut
dikembalikan oleh Allah”.

Ada pula para Ulama yang tidak terlalu menganggap serius huruf-huruf
pembuka itu, seperti Al Qurthubi.
Ia mengatakan:

“Aku tidak melihat kehadiran huruf Al Muqatta’ah kecuali terdapat pada awal
surat. Dan aku sendiri tidak menangkap makna maksud-maksud tertentu yang
dikehendaki Allah SWT”.

Ibnu Qatadah berpendapat bahwa tidak mungkin Allah SWT menurunkan


sesuatu yang ada di dalam Al Qur’an, kecuali akan memberi manfaat dan
kemaslahatan bagi hamba-Nya, dan tentu sesuatu yang bisa menunjukkan kepada
maksud yang dikehendaki-Nya.

Sebagian lagi ada yang mengemukakan bahwa huruf tersebut diambil dari
sifat-sifat Allah, yang dengannya terkumpulkan banyak sifat. Ini merupakan salahsatu
bentuk ‘seni’ dari ‘seni meringkas’ yang seringkali dilakukan oleh orang-orang Arab
disaat mereka bermain dalam syair. Misalnya terdapat penafsiran sebagai berikut.
‘Alif-lam-mim’ artinya, “Aku Allah, Aku Mengetahui.”
‘Alif-lam-mim ra’ artinya, “Aku Allah, Aku Mengetahui dan Melihat.”
‘Alif-lam-mim shad’ artinya, “Aku Allah, Aku Mengetahui dan Memberikan
rincian”.

| 28
Ada juga yang menafsirkan huruf-huruf muqatta’ah dengan menisbatkan
pada nama-nama sahabat pada surat-surat Al Qur’an tertentu. Misalnya sin
dinisbatkan pada sahabat Sa’ad bin Abi Waqas, mim pada sahabat Al
Mughirah, dan nun pada Utsman bin Affan, ha’ pada Abu Hurairah.

Surat-surat yang diawali dengan huruf hijaiyah, seringkali berbicara


tentang Al Kitab, At Tanzil dan atau Al Qur’an, diantaranya firman Allah yang
diawali dengan huruf hijaiyah:
a. (Qur’an Surat. Al Baqarah: 1-2)
b. (Qur’an Surat. Al Imran: 1-3)
c. (Qur’an Surat. Al Araf: 1)
d. (Qur’an Surat. Ya-sin: 1)
e. (Qur’an Surat. Sad: 1)
f. (Qur’an Surat. Qaf: 1)

3. Urgensi Studi Fawatihus Suwar

Al Qur’an memiliki banyak keistimewaan dari segi makna dan kebahasaan.


Fawatihus Suwar merupakan salah satu realitas dan misterius yang terdapat didalam
Al Qur’an.

Dari segi makna, memang banyak sekali penafsiran-penafsiran spekulatif,


karena penafsiran-penafsiran mengenai hal itu tidak didahului pengungkapan konteks
historisnya.

Menjadi hal penting untuk diperhatikan asumsi sebagian Ulama bahwa


fenomena huruf muqatha’a sebagai fawatihus suwar bisa menjadi karakter-karakter
tampilan huruf atau kalimat-kalimat yang ada didalam Al Qur’an itu sangat kuat
dipengaruhi oleh gaya bahasa dan seni sya’ir bangsa Arab.
Ibnu Thawus berkata:
“Sesungguhnya, menurut kami, seandainya huruf-huruf itu asal-muasalnya
bahasa Arab, dan mereka ditantang untuk membuat satu surah seperti Al
Qur’an, maka Allah hendak berkata kepada mereka bahwa Al Qur’an ini
disusun dari jenis huruf-huruf terputus yang kamu kenal dan kamu mampu
menirunya. Oleh sebab itu, ketidakmampuan kamu membuat satu surah saja
seperti Al Qur’an ini menandakan dan melemahkan kamu adalah Allah, dan
bahwa
Al Qur’an adalah sebagai hujjah bagi Rasulullah SAW”.

| 29
BAB VII
MUHKAM DAN MUTASYABIH

Muhkam dan Mutasyabih adalah salah satu pokok bahasan dalam kajian-
kajian Al-Qur’an yang penting dan kontroversial sepanjang sejarah. Sangat banyak
karya tulis yang secara khusus mengulas masalah ini.
“Dialah yang telah menurunkan Al Qur’an kepadamu di antaranya ada ayat-ayat
muhkam yang merupakan induk dan lainnya mutasyabih. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya
berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih; semuanya itu dari sisi
Tuhan Kami.”
(Qur’an Surat. Al Imran(3):7)
Dalam pembahasan ini sebagai bentuk motivasi untuk menstabilkan keimanan kita.

1. Pengertian

Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang
mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan
Muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang
hak dan yang bathil. Dengan pengertian inilah Allah SWT mensifati Al Qur’an
dengan Muhkam, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya,

“Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara
terperinci yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”.
(Qur’an Surah. Hud: 1)

Mutasyabih secara lughawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salahsatu
dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan dimana satu dari dua hal
tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya.
Dengan pengertian inilah

Allah SWT menyebut Al Qur’an sebagai kitaban mutasyabihan matsani,


sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

“Allah yang menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al Qur’an yang
mutasyabih dan berulang-ulang yang karenanya bergetarlah kulit orang yang takut
kepada Tuhan mereka.”
(Qur’an Surat. Az-Zumar: 23)

| 30
Maksud mutasyabih dalam ayat diatas bahwa sebagian kandungannya
serupa dengan ayat yang lain dalam kesempurnaannya. Sebagian membenarkan
sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.

Subhi Ash Shalih merangkum pendapat Ulama dan menyimpulkan bahwa


muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah ayat
yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan
dalil yang kuat.

Kesimpulan dari berbagai pendapat Ulama bahwa, muhkam adalah kata


yang dipakai Al Qur’an untuk menunjuk ayat yang terang makna dan lafalnya
diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan mudah dipahami. Mutasyabih adalah
kata yang dipakai Al Qur’an untuk menunjuk ayat yang bersifat global (mujmal) yang
membutuhkan ta’wil (mu’awal) dan sukar dipahami (musykil), sebab ayat-ayat yang
mujmal membutuhkan rincian; ayat-ayat yang mu’awal baru dapat diketahui
maknanya setelah dita’wilkan, dan ayat-ayat yang musykil samar maknanya dan sukar
mengerti.

2. Kriteria Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat


Ali ibnu Thalhah memberikan kriteria-kriteria ayat-ayat yang muhkamat sebagai
berikut, yakni:
a. Ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain,
b. Ayat-ayat yang menghalalkan,
c. Ayat-ayat yang mengharamkan,
d. Ayat-ayat yang berisi ketentuan,
e. Ayat-ayat yang mengandung kewajiban,
f. Ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, yakni:
a. Ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian,
b. Ayat-ayat yang mengandung sumpah,
c. Ayat-ayat yang hanya diimani dan tidak boleh diamalkan.
Al Raghib Al Ashafani memberikan kriteria ayat-ayat mutasyabihat
sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui maknanya, seperti tibanya hari kiamat;
ayat-ayat Al Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik
dengan ayat-ayat muhkamat, hadits-hadits shahih maupun ilmu pengetahuan, seperti
ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup; ayat-ayat yang
maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya,
sebagaimana do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas,
“Ya Allah, limpahkanlah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan
limpahkanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.”

| 31
3. Macam-Macam Mutasyabihat

Ar Raghib Ashafani, sebagaimana dikutip As Suyuthi, mengelompokkan


ayat-ayat mutasyabihat menjadi 3 macam, yaitu mutasyabihat dari segi lafazh;
mutasyabihat dari segi makna; mutasyabihat dari segi lafazh dan makna.
Mutasyabihat dari segi lafazh dibagi menjadi mukrab dan murakkab.
Mutasyabih lafazh mufrad adalah tinjauan dari segi kegharibannya, seperti kata
yaziffun, al abu, isytirak, seperti alyadu, alyamin.
Tinjauan mutasyabihat lafazh mukarrab berfaedah untuk meringkas kalam,
seperti: “Wa in khiftum alla tuqsithu fankihu kamitsilihi syai’un” untuk mengatur
kalam, seperti: “anzala’ala’ abdihil kitaba walam yaj’al lahu’i wajan”

Mutasyabih dari segi makna mencakup sifat-sifat Allah dari berita ghaib.
Sedangkan Mutasyabih dari segi lafazh dan makna, ditinjau dari segi kalimat, seperti
umum dan khusus, misalnya
“uqtulul musyrikina”
dari segi cara, seperti wujud dan nadb, misalnya:
“fankihu ma thaba lakum minannisa’i”,
dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya,
“ittaqullahu haqqa tuqatihi”;
dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun disana seperti:
“laisal-birra an ta’tul buyuta min zhuhuriha innaman-nasi’u ziyadatun filkufri”

Segi syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti


syarat salat dan nikah

4. Hikmah dibalik Muhkamat dan Mutasyabihat

Rahasia terbaginya ayat-ayat Al Qur’an menjadi muhkamat dan mutasyabihat,


antara lain,
Pertama, andaikata seluruh ayat Al Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat,
niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
Kedua, seandainya seluruh ayat Al Qur’an mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah
kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia. Orang yang benar
keimanannya yakin bahwa Al Qur’an seluruhnya dari sisi Allah; segala yang datang
dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebathilan
.
“Tidak akan datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
(Qur’an Surat. Fussilat(41): 42)

Ketiga, Al Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat,


menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai
kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taqlid, bersedia membaca Al
Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.

| 32
BAB VIII
QIRA’AH AL QUR’AN

Perjuangan Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya telah berhasil


menyebarkan Islam ke berbagai penjuru dunia. Cara Islam disebarkan pun dengan
cara damai dan tidak memaksakan. Perjuangan tersebut bukanlah hal yang mudah.
Banyak tantangan, gangguan serta hambatan dari kalangan yang kontra terhadap
Islam. Harta, tenaga bahkan nyawa sekalipun menjadi komponen yang harus
dikorbankan agar tersebarluasnya Islam ke berbagai penjuru dunia. Akan tetapi
ganjarannya sangat terbayarkan yakni surga dilimpahi banyak kenikmatan yang
diridhoi oleh Allah Swt.
Karena hal itu membuat orang-orang semakin tertarik untuk mengenal serta
mempelajari Al-Qur’an dan banyak pula yang memeluk agama Islam. Salah satu
ketertarikan masyarakat itu ialah keindahan bacaan Al-Qur’an yang membuat
siapapun yang mendengarnya, hati menjadi tenteram.

Berkaitan dengan pembacaan ayat dalam Al-Qur’an, seiring berkembangnya


Islam ke berbagai tempat yang masing-masingnya memiliki logat bahasa yang khas.
Tentu menghasilkan cara membaca Al-Qur’an yang berbeda. Dari wilayah tertentu
ada yang tidak dapat menyebutkan beberapa huruf. Akan tetapi bacaan Al-Qur’an
dapat menyesuaikan dengan dialek antar wilayah sehingga memudahkan masyarakat
untuk membaca Al-Qur’an.

Dalam hal ini dinamakan dengan keilmuan Ulumul Qur’an yang memiliki
cabang ruang lingkup Qira’ah Al-Qur’an. Berikut ini pembahasan lebih jelas
mengenai Qira’ah Al-Qur’an.

1. Pengertian

Dari segi bahasa, kata qira’ah berarti bacaan, masdar dari qara’a. Dari sisi
istilah, Az Zarqani memberikan pengertian qira’ah sebagai suatu madzhab yang
dianut oleh seorang imam dalam membaca Al Qur’an yang berbeda satu dengan yang
lainnya dalam pengucapan Al Qur’an serta disepakati oleh riwayat dan jalur-jalurnya,
baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafazhnya.

Sementara Az Zarkasyi mengemukakan bahwa perbedaan qira’ah itu


meliputi perbedaan lafazh-lafazh tasydid dan lainnya. Qira’ah itu harus melalui
talaqqi dan musyafahah, karena dalam qiro’ah itu banyak hal-hal yang tidak bisa
dibaca kecuali dengan mendengar langsung dari seorang guru dan bertatap muka.

Menurut Abdul Zulfidar Akaha, qira’ah adalah bacaan yang disandarkan


kepada salah seorang imam Qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas, seperti
qira’ah Nafi’, Ibnu Katsir dan lain-lainnya.

| 33
Manna’ Al Qathan menyatakan bahwa qira’ah adalah salahsatu madzhab
pengucapan Al Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu
madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.

Ibnu Al Jazari berpendapat bahwa qira’ah adalah pengetahuan tentang cara-cara


melafalkan kalimah Al Qur’an dengan menyandarkan pada penukilnya

Sedangkan Muhammad Ali Ash Shabuni, seperti dikutip M Natsir Arsyad,


menyatakan bahwa qira’ah adalah salahsatu aliran dalam mengucapkan Al Qur’an
yang dipakai oleh salah seorang imam qurra’ yang berbeda satu dengan yang lainnya,
yang mendasarkan sanad-sanad sampai pada Rasulullah SAW.

Perintis qira’ah antara lain Abu Ubaid Al Qasim Ibnu Salam, Abu Hatim As
Sajistani, Abu Jafar Ath Thabari dan Ismail Al Qadhi.

2. Macam-Macam Qira’ah

Madzhab qira’ah termasyhur adalah Qira’ah Sab’ah, Qira’ah Asyrah dan


Qira’ah Arba’a Asyrah. Perbedaan ini disebabkan oleh berbedanya kapasitas
intelektual dan kesempatan masing-masing sahabat dalam mengetahui cara membaca
Al Qur’an. Hal ini juga berkaitan dengan tulisan Al Qur’an dalam mushaf Utsmani
yang belum diberi baris atau tanda baca apapun, sehingga bacaan Al Qur’an dapat
berbeda dari susunan huruf-hurufnya, terutama pada saat wilayah Islam semakin
meluas dan para sahabat mengajarkan Al Qur’an menyebar ke berbagai daerah.

Qira’ah Sab’ah ialah Qira’ah yang merujuk pada tujuh imam masyhur. Yakni:

Nama Asal dan Guru Rawi


Ibnu Katsir Makkah Abu Bakar Syu’abah bin
(Abu Ma’bad Sahabat Nabi, Ilyas, dan Abu Amr
Muhammad Abu Said bin Shaib Hafsh bin Sulaiman.
Abdullah bin Al Makhzumi
Katsir bin
Umar bin
Zadin Ad Dari
Al Makki)
(45-120 H)
Imam Nafi’ Isfahan (Madinah) Qalum Abu Musa Isa
(Abu Nu’aim Zaid bin Qa’qa Al bin Mina (120-22- H)
Nafi’ bin Qurri Abu Ja’far dan dan Warasy Abu
Abdurrahman Abu Maimunah. Said(Abu Umar atau
bin Abu Abu Qasim) dan Utsman
Nu’aim Al bin Said (110-197 H).
Laitsi Al
Isfahani Al

| 34
Madani) (70-
169 H)
Imam’Ashim Sa’ad bin Iyasy Asy Abu Amr Hafsh bin
bin Abi Nujub Syaibani, Sulaiman bin Al
bin Bahdalah Abu Abdurrahman Mughirah Al Bazzaaz
Al Ashadi Al Abdullah bin Habib Al Kufi.
Kuffi (W. 127 As Salami, dan Zir
H) bin Hubaisy.
Imam Hamzah Kufah Abu Muhammad bin
(Abu Imarah Imam Ashim Imam Khalaf bin Hisyam bin
Hamzah bin As Sabi’i Abu Thalib Al Bazzaz (150-
Habib Az Muhammad 229 H) dan
Zayyat Al Sulaiman bin Abu Isa bin Khalad bin
Fardhi Mahram Al A’mari Khalid Asysyairafi (W.
Attaimi) (156- (80-156 H), 220 H)
216 H) Mansur bin
Mu’tamir, dan
Imam Ja’far Ash
Shadiq.
Imam Al Imam Hamzah dan Abu Harits Al Laitsi bin
Kuzai Imam Syu’bah bin Khalid Al Mawarzi Al
(Abu Hasan Iyasy. Muqri dan
Ali bin Imam Hafzh Addauri.
Hamzah bin
Abdullah bin
Fairuz Al
Farizi Al
Kuzai
Annahwi)
(119-189 H)
Imam Abu Bashrah, Addauri Abu Amr
Amr Hafzh bin Umar Al
(Abu Amr Muqri (W. 246 H) dan
Zabban bin Al Basrah As Susi Abu Syu’aib
A’la bin Al Baghdadi dan Salih bin Ziad (W. 261
Ammar Al Hasan Al Basri. H)
Basri) (70-154
H)
Imam Abu Damaskus, Al Bazzi Abu Hasan
Amir Abu Darda’ dan Hamid bin Muhammad
(Abu Nu’aim Mughirah bin bin Qunbul Abu Umar
Abu Imran Syu’bah. Muhammad.
Abdullah bin
Amir Asy

| 35
Syafi’i Alyas
Hubi)
(21-118 H)

Qira’ah kedua adalah Qira’ah Asyarah, yakni Qira’ah Sab’ah ditambah dengan tiga
Imam Qira’ah. Yaitu:

Nama Asal Rawi


Imam Ya’qub Bashrah Ruwais Muhammad bin Al
(Abu Mutawakkil dan Rauf bin
Muhammad Abdul Mu’min.
Ya’kub bin
Ishaq Al
Bashri Al
Madharami)
(W. 205 H)
Imam Khalaf Kuffah Ishaq Al Warraq dan
(Muhammad Idris Al Haddad.
Khalaf bin
Hisyam bin
Thalib Al
Makki Al
Bazzaz) (W.
229 H)
Imam Abu Madinah Isa Ibnu Wardan dan
Ja’far Sulaiman Ibnu Jammaz.
(Abu Jafar
Yazid bin
Qa’qa Al
Makhzumi Al
Madani) (W.
230 H)

Qira’ah ketiga ialah Qira’ah Arba’ah Asyrah. Dalam Qira’ah Arba’ah


Asyrah ini sama dengan Qira’at yang telah dipaparkan diatas, yakni ada sepuluh.
Ditambah lagi dengan Imam Hasan Al Basri, Imam Ibnu Mahisy, Imam Yahya Al
Yazidi, dan Imam Asy Syambudzi.

| 36
3. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Qiraat
Para Ahli Sejarah meriwayatkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan
Ilmu Qiraat yakni Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (W. 224 H). Beliau juga menulis
sebuah kitab yang berjudul Al Qira’at yang didalamnya menghimpun qira’at dari 25
orang perawi.

Menurut Ibnul Jazary, latar belakang para Ulama memelihara qira’at yang
diriwayatkan, yakni karena pada abad 3 H, terjadinya kebohongan yang meluas,
sedangkan ilmu mengenal Al Qur’an dan As Sunnah telah banyak sekali cabang-
cabangnya. Di sisi lain, kaum Muslim sangat memerlukan ilmu qira’at. Jadi
kesimpulannya, para Ulama memelihara qira’at yang diriwayatkan sebagai bentuk
upaya menjaga dan memelihara Al Qur’an dari perubahan-perubahan dan
pemutarbalikan.

Ilmu Qira’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi belum
dibukukan. Ilmu Qira’ah dibukukan pada abad 3 H, yang pada saat itu jarang para
sahabat yang menekuni ilmu tersebut. Karena para sahabat condong ingin mengetahui
ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW.
Yang kemudian ayat-ayat tersebut, dihafalkan dan terkadang mereka membaca ayat-
ayat itu dihadapan Nabi Muhammad SAW agar disimak.

Beberapa dari kalangan sahabat menjadi guru. Orang-orang yang belajar


kepada mereka meriwayatkannya dengan menyebutkan sanadnya dan mereka sering
menghafalkan qira’ah yang dilafalkan oleh guru mereka. Penghafalan dan
periwayatan dengan cara seperti ini adalah sesuai dengan masanya. Sedang tulisan
yang digunakan pada masa itu, tidak berbaris dan bertitik. Dalam tulisan ini, satu kata
dapat dibaca dengan berbagai cara. Untuk mempermudah dalam memahaminya,
seseorang harus belajar langsung kepada guru kemudian menghafalkan dan
meriwayatkan.

Berikut para Imam Qurra yang mengajarkan Ilmu Qira’at:


No Kategori Anggota
1 Sahabat Utsman bin Affan,
Nabi Ali bin Abi Thalib,
Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Mas’ud,
Abu Musa Al Asy’ari.
2 Para Terbagi menjadi beberapa kelompok.
Tabi’in Kelompok di Mekkah:
1) Ubaid bin Umair,
2) Atha’ bin Abi Rabbah,
3) Thawus,
4) Mujahid,

| 37
5) Ikhrimah.
Kelompok di Madinah:
1) Ibnul Musayyab,
2) Urwah,
3) Salim,
4) Umar bin Abdul Aziz,
5) Sulaiman bin Syihab Az
Zuhri
6) Muslim bin Jundub,
7) Zaid bin Aslam.
Kelompok di Kuffah:
1) ‘Alqamah,
2) Al Aswad,
3) Masruq,
4) Ubaidah.
Kelompok di Bashrah:
1) Abu Aliyah,
2) Abu Raja’
3) Nasr bin Ashim,
4) Hasan Al Basri,
5) Ibnu Sirin,
6) Qafadah,
7) Yahya bin Ya’mar.
Kelompok di Suriah:
1) Mughirah bin Abi Syihab,
2) Khalifah bin Sa’id.
3 Ulama Terbagi ke beberapa kelompok yang
Qurra’ belajar kepada Imam Qurra,
berdasarkan tempat mereka belajar,
diantaranya:
Kelompok Mekkah:
1) Ibnu Katsir,
2) Humaid bin Qais Al A’raj,
3) Muhammad bin Abu
Muhaitsin.
Kelompok Madinah:
1) Abu Ja’fah Yazid bin Al
Qa’qa,
2) Syaibah bin An Nafah,
3) Nafi bin Nuaim.
Kelompok Kuffah:
1) Yahya bin Wastab,
2) Ashim bin Abi Najud,
3) Hamzah,
4) Kisa’i.
Kelompok Bashrah:

| 38
1) Abdullah bin Abi Ishak,
2) Isa bin Umar,
3) Abu Amr bin Al A’la,
4) Ashim Al Jahdari,
5) Ya’kub Al Hadhrami.
Kelompok Suriah:
1) Abdullah bin Amir,
2) Athiyah bin Qais Al
Kijabi.
4 Periwayat 1. Ibnu Iyasy,
Qira’at 2. Hafsh,
3. Khalaf.
5 Pengkaji 1. Abu Ubaid Al Qusaim bin
dan Salam,
penyusun 2. Ahmad bin Jubair Al Kufi,
Ilmu 3. Ismail bin Ishak Al Maliki
Qira’at 4. Serta dua orang murid
Dalun, Abu Ja’far bin Jarir Ath-
Thabari,
5. Mujahid.

4. Kriteria Qira’at

Para Ulama membuat persyaratan dalam mempelajari Ilmu Qira’at. Yakni:


1) Sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Karena Al Qur’an diturunkan melalui
Rasulullah yang berbangsa Arab,
2) Sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, baik berasal dari Imam sepuluh
atau Imam lain yang diakui,
3) Shahih sanadnya, yakni sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah,
dengan diriwayatkan oleh seorang yang adil dan siqah,
Para Ulama juga membuat ciri Qira’at yang ditolak. Yakni:
a. Syadz, yaitu Qira’at yang sanadnya cacat dan tidak bersambung pada
Rasulullah SAW.
b. Maudlu’, yaitu Qira’at yang dinisbahkan kepada seorang tanpa dasar,
c. Mudraj’, yaitu Qira’at yang didalamnya terdapat lafazh atau kalimat
tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al Qur’an.

| 39
5. Manfaat Mempelajari Qira’at
Qira’at merupakan Ilmu yang melengkapi keberadaan Al Qur’an yang didalamnya
terdapat susunan-susunan kalimat dan bentuk-bentuk lafazh dan cara pengucapannya
yang kini Al Qur’an telah tersebar di berbagai wilayah.
Ilmu Qira’at tentu mempunyai manfaat untuk dipelajari, diantaranya:
1) Mempermudah suku-suku yang berbeda dialek, tekanan, dan bahasanya
dengan bahasa Al Qur’an,
2) Membantu dalam memahami tafsir,
3) Menunjukkan terjaganya dan terpeliharanya Al Qur’an,
4) Membuktikan Kemukjizatan Al Qur’an.

| 40
BAB IX
KISAH DALAM AL QUR’AN

Telah diyakini bahwa Al Qur’an berisi petunjuk bagi manusia. Ajaran-


ajarannya disampaikan secara variatif serta dikemas sedemikian rupa. Ada yang
berupa informasi, perintah, larangan, dan ada juga yang dimodifikasi dalam bentuk
deskripsi kisah-kisah yang mengandung ibrah, yang dikenal dengan istilah kisah-
kisah dalam Al Qur’an.
Suatu peristiwa yang berhubungan dengan sebab dan akibat dapat menarik
perhatian para pendengar apabila di dalamnya terselip pesan-pesan dan pelajaran
mengenai berita-berita bangsa terdahulu. Rasa ingin tahu merupakan faktor paling
kuat yang dapat menanamkan kesan peristiwa tersebut ke dalam hati.
Sebagai produk wahyu, kisah-kisah dalam Al Qur’an tentu saja berbeda
dengan cerita atau dongeng umumnya, karena karakteristik yang terdapat dalam
masing-masing kisah.
Muhammad Iqbal menyatakan, “Al Qur’an dalam memperbincangkan kisah
ini jarang bersifat historis; hampir selamanya ia bertujuan hendak memberikan suatu
pengertian moral atau filosofis yang bersifat universal.”
1. Pengertian
Dari segi bahasa, kata kisah berasal dari bahasa Arab Al Qashashu atau Al Qishatu
yang bermakna cerita.
Qashash juga bisa diartikan dengan berita atau kisah, seperti yang dijelaskan dalam
Al Qur’an,
ََِۚ...‫صصِهِمِعِبرِِﺓَِِّلُولىِاَّللباَب‬
َِ َ‫ِلَِقَدِ َِكنَِِفِيِِق‬
“Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
berakal”
(Qur’an Surat. Yusuf: 111)
Dari segi istilah, Kisah berarti berita-berita tentang suatu persoalan dalam
masa ke masa yang saling berturut-turut. Qashash Al Qur’an adalah pemberitahuan
Al Qur’an tentang hal yang terjadi oleh umat terdahulu di masa lampau sehingga
dapat diambil pelajarannya.

| 41
2. Macam-macam Kisah dalam Al Qur’an

Pertama Kisah para Nabi Seperti kisah Nabi Nuh,


terdahulu Ibrahim, Musa, Harun,
dan Isa.
Kedua Kisah untuk dijadikan Kisah Maryam, Kisah
pelajaran Lukman,
Dzulqarnain,
Qarun,
Ashabul Kahfi.
Ketiga Kisah tentang Perang Badar,
peristiwa pada masa Perang Uhud,
Rasulullah SAW Perang Ahzab,
Bani Quraizah,
Bani Nadzir,
Zaid bin Haritsah
dengan Abu Lahab.

3. Karakteristik Kisah-kisah dalam Al Qur’an

Al Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa-peristiwa secara


berurutan (kronologis)dan tidak pula memaparkan kisah-kisah itu secara panjang
lebar. Al Qur’an juga mengandung berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang
di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam Al
Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada
bagian-bagian yang didahulukan, sedangkan di tempat lain diakhirkan. Demikian pula
terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang dan lebar.
Hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan orang-orang yang meragukan Al Qur’an.
Mereka yang meragukan sering kali mempertanyakan, mengapa kisah-kisah tersebut
tidak tersusun secara kronologis dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami.
Karena itu pengulangan kisah-kisah dalam Al Qur’an semacam itu mereka pandang
kurang efektif dan efisien.

Menurut Manna’Khalil Al Qaththan bahwa penyajian kisah-kisah dalam Al


Qur’an begitu rupa mengandung beberapa hikmah. Di antaranya, Pertama,
menjelaskan balaghah Al Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Kedua, menunjukkan
kehebatan Al Qur’an. Ketiga, mengundang perhatian yang besar terhadap kisah
tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Misalnya kisah
Musa dan Firaun. Keempat, penyajian seperti itu menunjukkan perbedaan tujuan yang
karena kisah itu diungkapkan.

| 42
4. Tujuan Kisah dalam Al Qur’an

Kisah dalam Al Qur’an secara umum bertujuan kebenaran dan semata-mata


tujuan keagamaan. Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada maka tujuan-tujuan
dapat dirinci sebagai berikut.

1) Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam Al Qur’an tujuan ini


diterangkan dengan jelas di antaranya,

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar


kamu mengerti. Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling
baik dengan mewahyukan Al Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau
sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui.”
(Qur’an Surat. Yusuf(12): 2-3)

2) Menerangkan bahwa Agama semuanya dari Allah, dari masa Nabi Nuh
sampai masa Nabi Muhammad.

“Atau apakah mereka mengambil Tuhan-Tuhan selain Dia? Katakanlah


(Muhammad), ‘Kemukakanlah alasan-alasanmu! (Al Qur’an) ini adalah
peringatan bagi orang yang bersamaku dan peringatan bagi orang yang
sebelumku.’ Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak
(kebenaran), karena itu merek berpaling.”
(Qur’an Surat. Al Anbiya(21):24)

3) Menerangkan bahwa Agama itu semuanya dasarnya satu dan itu semua dari
Tuhan yang Maha Esa.

“Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia
berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada Tuhan (sembahan)
bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada
hari yang dahsyat.”
(Qur’an Surat. Al Araf(7):59)

4) Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu
satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa. (Qur’an
Surat. Hud(11): 1-123)

5) Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan Nabi Muhammad
dengan Agama Nabi Ibrahim As., secara khusus, dengan agama-agama bangsa-
bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat
daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-
ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa dan Isa as.

| 43
5. Relevansi Kisah dengan Sejarah

Ahmad Khalafullah, seperti dikutip dalam Manna’ Al Qaththan menyatakan


bahwa kisah-kisah dalam Al Qur’an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya
cipta dan kreativitas yang dipatuhi oleh seni, tanpa harus memeganginya sebagai
kebenaran sejarah. Ia sejalan dengan kisah seorang sastrawan yang mengisahkan suatu
peristiwa secara artistik. Bahwa Al Qur’an telah menciptakan berbagai kisah dan
ulama-ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah Qur’an ini
sebagai sejarah yang dapat dipegangi.

Dalam hal ini, kisah-kisah Al Qur’an memiliki karakteristik:


1) Memiliki realitas yang diyakini kebenarannya, termasuk peristiwa yang
ada di dalamnya.
2) Sarana untuk mewujudkan tujuannya yang asli yaitu tujuan keagamaan
yang menyiratkan adanya kebenaran, pelajaran dan peringatan.
3) Al Qur’an tidak menceritakan peristiwa secara kronologis dan tidak
memaparkannya secara terperinci. Hal ini dimaksudkan sebagai
peringatan tentang berlakunya hukum Allah dalam kehidupan sosial serta
pengaruhnya baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
4) Sebagian kisah dalam Al Qur’an merupakan petikan sejarah yang bukan
berarti menyalahi sejarah, karena pengetahuan sejarah adalah sangat kabur
dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk mengungkap
kisah dalam Al Qur’an dalam kerangka pengetahuan modern.

| 44
BAB X
AMTSAL DALAM AL QUR’AN

Suatu hakikat yang tinggi makna dan tujuannya menjadi lebih menarik jika
dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada pemahaman,
melalui analogi dengan sesuatu yang telah diketahui secara yakin. Tamsil
(perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam
bentuk yang hidup dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu
yang gaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang kongkrit, dan dengan
menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa.
Bahasa atau kalimat-kalimat Al Qur’an menakjubkan, berbeda sekali dengan
kalimat-kalimat bukan Al Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak
kepada fenomena yang kongkrit, sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya.

Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam menyatakan bahwa amtsal yang
baik dituntut memiliki beberapa persyaratan ilmu balaghah yang meliputi Bayan
(fashahah lafaznya), Ma’ani (komunikasi maknanya), dan Badi’ (keindahan susunan
kalimatnya.
1. Pengertian

Secara etimologis, amtsal berasal dari bentuk jamak dari kata matsal dan kata mitsal
yang berarti perumpamaan atau majas.

Secara terminologis, amtsal ialah suatu perkataan yang menyerupakan sesuatu dengan
apa yang terkandung dalam perkataan itu.

Sayyid Qutb menyatakan bahwa amtsal dalam Al Qur’an merupakan sarana untuk
menggambarkan kondisi bangsa-bangsa pada masa lampau dan untuk
menggambarkan akhlaknya yang sudah sirna.

Penyair Zuhair dan Nabighah adz-Dzibyani seperti dikutip Ahmad Hasyimi,


menyatakan bahwa amtsal biasanya digunakan untuk sesuatu keadaan dan sesuatu
kisah yang hebat.

Amtsal dalam Al Qur’an sering dibahas para Ulama terdahulu dalam suatu kitab
tersendiri seperti Al Amtsal fi Al Qur’an karangan Mahmud Ibnu Syarif, Amtsal Al
Qur’an karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyah dan Amtsal Al Qur’an karangan
Abdurrahman Hasan Al Maidani. Ia juga menjadi suatu bab dalam kitab-kitab Ulumul
Qur’an seperti karangan As Suyuthi, Az Zarkasy dan Manna’ Qaththan.

Ibnu Qayyim, seperti dikutip Manna Qaththan, mendefinisikan amtsal Al Qur’an


sebagai menyerupakan sesuatu dengan sesuatu lain dalam hal hukumnya dan
mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (kongkrit).

| 45
2. Jenis Amtsal dalam Al Qur’an

Amtsal dalam Al Qur’an terdiri dari 3 jenis yang masing-masing memiliki ciri
tersendiri.

Berikut jenis amtsal dalam Al Qur’an, beserta definisi dengan contohnya:

1. Amtsal Musarrahah, ialah amtsal yang didalamnya dijelaskan lafazh matsal atau
sesuatu yang menunjukkan tasbih.

Seperti firman Allah SWT,

ِ‫َبِللاُِبنُورﻫمِوت ََر َك ُهمِفى‬ َِ ‫ﺿاِ َءِتِِ َِماِ َحوِلَهُِذَﻫ‬ ً ‫َمثَلُ ُهمِ َِك َِمِث َلِِالذِﻯِاست َوِقَدَِن‬
َ َ ‫َارِافَلَ َّماِا‬
ِ‫ظلُ َما‬
ُ ِ‫س َماِءِفيه‬ َّ ‫بِمنَ ِال‬
ٍ ‫صي‬ َ ‫مىِفَ ُهمَِّلَِيَرِجعُونَ َۚ ِاَوِ َك‬ ُ ‫ع‬ ُ ِ‫صمِبُكم‬ ُ َۚ َ‫ظلُ َماِتٍَِّلَِيُبص ُرون‬ ُ
ُ ‫ِوللاُِ ُمﺤي‬
ِ‫ط‬ َ ‫ِرِال َموِت‬ َ َ‫ص َوِاعقِ َحذ‬ َّ ‫صاِبعَ ُهمِفىِآذَِنهمِمنَ ِال‬ َ ًِ‫ِوِبَرقِيَجعَلُوِا‬ َ ِ‫ِو َرِعد‬ َ ُ‫ت‬
ِ‫علَيهمِقَا ُموا‬َ ِ‫ِواذَِاَظلَ َم‬
َ ‫ﺿاِ َءلَ ُهمِ َمشَواِفيه‬ َّ
َ َ ‫ار ُﻫمِ ُكل َمِا‬
َ ‫ص‬ َ ‫ﻒِاَب‬ ُ ‫ﻄ‬ َ ‫رِقِيﺨ‬
ُ َ‫بالكاِفرينِۚيَ َكادُِالب‬
ُ ‫علَىِ ُكلِﺷَىِءٍ ِقَد‬
َِۚ‫ِير‬ َ َِ‫صاِرﻫمِا َّنِللا‬ َ ‫مِوِاَب‬َ ‫سمعه‬ َ ‫َبِب‬َ ‫َولَوِﺷَاِ َءللاُِلَذَِﻫ‬
)۲٠-١۷ِ:)۲(‫(البقرﺓ‬

“Perumpamaan (matsal) mereka adalah orang yang menyalakan api, maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari)
mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka ini
bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau
seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit yang disertai kegelapan,
petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga mereka dengan jari-jarinya,
(menghindari) suara petir itu
Karena takut mati. Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir saja kilat itu
menyambar penglihatan merea, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh, Allah maha
Kuasa atas segala sesuatu.”
(Qur’an Surat. Al Baqarah: 17-20)

2. Amsal Kaminah, ialah amtsal yang didalamnya tidak dijelaskan secara langsung
tetapi ia menunjukkan kata-katanya dengan makna-makna yang indah, sehingga
mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya.

Seperti firman Allah SWT,

َ ُ‫َوالَّذينَ ِإذَِا ْنﻔَقُوِالَ ْمِيُسْرف‬


َ ‫واولَمِيَ ْقت ُ ُر‬
ََِۚ‫ِواوكضاِنَ ِبَينَ ِذلكَ ِقَو ًما‬
)٦۷ِ:)۲٥(‫(الفرقن‬
ِ

| 46
“Dan mereka yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-
lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah
antara yang demikian.”
(Qur’an Surat. Al Furqon(25): 67)

َ ‫سانِاَّلَِّاَّلح‬
َِۚ‫سان‬ َ ‫ﻫ َْلِ َجزَ ِآِ ُءاَّلح‬
)۶٠ِ:)۵۵(‫(الرﺤمن‬
“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)”.
(Qur’an Surat. Ar Rahman(55): 60)

3. Amtsal Mursalah, ialah amtsal yang didalamnya terdapat kalimat-kalimat


bebas yang tidak menggunakan lafazh tasbih secara jelas.
Seperti firman Allah SWT,

ِ‫ِفِتَّقُوِللاَِيآُوِلىِاَّلَلبَبِل َعلَّ ُكم‬


َ َ ِ‫يث‬
ِ ‫ثرِﺓُِالﺨَب‬َ ‫ِولَوِاَع َجبَكَ ِ َك‬
َ ‫ب‬ َّ ‫ِو‬
ُ ‫الﻄي‬ ُ ‫قُلَِّلَِّيَست َوِالﺨَب‬
َ ‫يث‬
ََِِۚ َ‫تُﻔل ُﺤون‬
Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun
banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai
orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung.”
(Qur’an Surat. Al Ma’idah: 100)

3. Ciri-ciri Amtsal

Penjelasan mengenai ciri-ciri amtsal secara khusus dan terperinci, belum


ditemukan dalam kitab-kitab Ulumul Qur’an. Akan tetapi, dari keterangan secara
umum sebagai berikut:
a. Amtsal mengandung penjelasan atau makna yang abstrak atau samar,
sehingga menjadi jelas, kongkrit dan berkesan,
b. Amtsal itu memiliki keterpaduan antara situasi perumpamaan yang
dimaksudkan dengan padanannya,
c. Amstal memiliki keseimbangan (tawazun) antara perumpamaan
dengan yang dianalogikan.

| 47
4. Urgensi Amtsal dalam Al Qur’an

Amtsal memiliki pengaruh yang cukup besar dalam daya pikir umat Islam dalam
mendalami pemahaman tentang Al Qur’an.

Manna’ Al Qaththan mengemukakan dalam kitabnya Mabahis fi Ulumil Qur’an


sebagai berikut:

1) Menonjolkan sesuatu yang maq’ul (yang hanya bisa dijangkau oleh akal, abstrak)
dalam bentuk kongkrit yang dapat dirasakan oleh indrawi manusia, sehingga akal
dapat menerimanya, sebab pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak,
kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan
pemahamannya. Misalnya firman Allah SWT, yang mengenai keadaan orang yang
menafkahkan harta dengan riya’: ia tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun
dari perbuatannya itu.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan


menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang
menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak
beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu
yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat,
maka tinggalah batu itu tidak licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa
pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang kafir.”
(QS. Al Baqarah(2): 264)

2) Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak,


seakan-akan menjadi sesuatu yang tampak.

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka
berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari
Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi
miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulanginya,
maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Al Baqarah(2): 275),

3) Mengumpulkan makna yang menarik dalam ungkapan yang padat.

“Dan mereka yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan


dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.”
(QS. Al Furqon(25): 67)

| 48
4) Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika
ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa.

“Perumpamaan prang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir


biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada serratus biji. Allah
melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha
Mengetahui.”
(QS. Al Baqarah: 261),

5) Menjauhkan seseorang, jika isi matsal berupa sesuatu yang dibenci jiwa.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka,


sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing
sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada
Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.”
(QS. Al Hujurat(49): 12).

| 49
BAB XI
AQSAM DALAM AL QUR’AN

Respon jiwa terhadap cahaya yang datang oleh-Nya berbeda-beda. Ada yang
cepat ataupun lambat. Ada yang peka terhadap cahayanya ataupun tidak. Dengan
demikian jiwa yang bersih sangat diperlukan agar dapat cepat respon terhadap cahaya
yang datang oleh Allah Swt. Karena termasuk jiwa yang merugi jika tak merasakan
kegoncangan hatinya terhadap cahaya-Nya.
Didalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat yang memberi penegasan akan sebuah
pernyataan. Penegasan itu berupa pernyataan sumpah yang langsung difirmankan oleh
Allah Swt. Sumpah itu disebut Aqsam. Yang bertujuan untuk menunjukkan
kemanfaatan yang dapat diambil manusia untuk kebutuhan fisik, spiritual, maupun
intelektualnya.
1. Pengertian Aqsam Al Qur’an

Kata Aqsam ialah bentuk jamak dari isim masdar, yang berarti Alhalaf dan
Alyamin, yakni sumpah. Sighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja aqsama atau
ahlafa yang dimuta’addikan dengan huruf ba’.
Didalam qasam terdapat muqsam bihi yakni, sesuatu yang digunakan untuk
bersumpah. Dan juga terdapat muqsam alaihi atau disebut juga jawabul qasam yakni,
sesuatu yang dinyatakan dalam suatu sumpah.
Allah SWT berfirman,
َ ‫َوا َ ْق‬
ُ َ‫س ُموِاباللاِ َجهدَِا َ ْي َماِنهمَِّلَيُبع‬
.... ُ‫ثِللاُِ َمنِيَ ُموت‬
)ِ۳۸:)١٦(‫االنﺤل‬
“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang bersungguh-
sungguh, ‘Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati’...”
(Qur’an Surat. An Nahl: 38)

Qasam dan yamin merupakan sinonim, yang didefinisikan dengan


memperkuat maksud sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang memiliki posisi yang
lebih tinggi menggunakan huruf wawu’ atau huruf lainnya.

2. Huruf-huruf Qasam
Huruf-huruf yang digunakan qasam ada tiga, yakni:

1) Huruf wawu, seperti dalam firman Allah SWT,


ََِۚ ِ َ‫ِواَّْلَ ْرضِإنَّهُِال َﺤقِمثْلَِ َماِاَنَّ ُك ْمِت َنﻄقُون‬
َ ‫س َماِء‬ َ ‫فَ َو‬
َّ ‫ِربِال‬
)۲۳ِ:)٥١(‫(الذايات‬
“Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh, apa yang dijanjikan itu pasti
terjadi seperti apa yang kamu ucapkan.”
(Qur’an Surat. Al Dzariyat(51): 23)

| 50
‫اللوَِاَمة‬ َ ‫َوآلِاُِقسُمِب‬
َ ِ‫النفس‬
)۲:)۷٥(‫(القيمة‬
“Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri).”
(Qur’an Surat. Al Qiyamah(75): 2)

2) Huruf ba’, seperti dalam firman Allah SWT,


ْ ‫َّلَا ُ ْقس ُمِبيَ ْوم‬
‫ِالقيَ َمة‬
)١ِ:)۷٥(‫(القيمة‬
“Aku bersumpah dengan hari kiamat.”
(Qur’an Surat. Al Qiyamah(75): 1)

َِ‫عزتكَ ََِّلُِ ْغ َويَنَّ ُهمِأَجْ َمعين‬


َّ ‫قَلَِفَب‬
)۸۲ِ:)۳۸(‫(ﺺ‬
“Iblis menjawab, ‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka
semua.”
(Qur’an Surat. Sad(38): 82)

Dalam ucapan keseharian pun ada pula, yakni:

َِ‫ِنِاْل ُمومنين‬ ُ ‫ﻒِلَيَن‬


َّ ‫ص ُر‬ ُ َ‫ِوبهِاَحْ ل‬
َ ‫ِربى‬
َ ُ‫للا‬
"Allah adalah Tuhanku, saya bersumpah dengan-Nya. Dia benar-benar
akan menolong orang-orang mukmin.”

3) Huruf ta’, seperti dalam firman Allah SWT.

َ ِ‫ت َاِللاِلَتُس َعلُ َّن‬...


َِ‫ع َّماِ ُكنتُمِت َ ْﻔت َُرون‬
)٥٦ِ:)١٦(‫(النﺤل‬
“Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang kamu
ada-adakan.”
(Qur’an Surat. An Nahl(16): 58)

3. Unsur Shighat Qasam

Unsur shighat qasam terbagi menjadi tiga, diantaranya:

a. Fi’il Qasam

Qasam dalam percakapan sering diringkas dengan menghilangkan fi’il qasam dan
cukup menggunakan huruf ba’. Kemudian huruf ba’ diganti dengan wawu pada
isim-isim yang zhahir, seperti:

| 51
‫َوالَّيْلِاذَيَ ْﻐش‬
)١ِ:)٩۲(‫(الليل‬
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).”
(Qur’an Surat. Al Layl(92): 1)

b. Muqsam bihi,
Didalam Al Qur’an terdapat sekitar 99 muqsam bihi, termasuk ‫و‬yang
َِ berulang-
ulang. Menurut Az Zarkasyi muqsam bihi memiliki 3 kategori. Yakni:
a) Muqsam bihi, berupa Dzat Allah,
b) Muqsam bihi, berupa perbuatan (proses kerja-Nya) Allah SWT,

ََِۚ ِۖ‫س َّوﻫَا‬


َ ِ‫ِو َما‬
َّ ‫َﻔﺲ‬
ٍ ‫ِون‬ َ ِ‫ِو َما‬
َ ََِِۚۖ‫طﺤها‬ َ ‫س َمآِء َو َماِبَن َهاََِِۖۚ َواَّلَ ْرض‬
َّ ‫َوال‬
)۷-٥ِ:)٩١(‫(الشمﺲ‬
“Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya).”
(Qur’an Surat. Asy Syams(91): 5-7)

Muqsam bihi berupa makhluk Allah atau hasil kerja-Nya. Ada pula Ulama
yang menambahkan satu macam muqsam bihi berupa Al Qur’an.
(QS. At Tin: 1)
ََِۚ ِ‫الز ْيت ُ ْون‬ َ ‫َوالتَّين‬
َّ ‫ِو‬
)١ِ:)٩۲(‫(التين‬
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.”
(Qur’an Surat. At Tin(92): 1)

c. Muqsam alaihi.

Didalam muqsam alaihi merupakan pernyataan yang datang mengiringi sumpah


itu datang atau sebagai jawaban saat qasam itu datang.

ََِۚ ِ‫مر ِا‬


ً َ ‫ُسر ِاِ ََۚ ِفَال ُمقَسمﺖِا‬
ً ‫قر ِاِ ََۚ ِفَالجر َيﺖِي‬
ً ‫َوالذر َيﺖِذَ ْر ًو ِاِ ََۚ ِفَالﺤملﺖِو‬
ََِۚ ِ‫ِوِا َّنِالدِِينَ ِلَوِقع‬
َّ ََۚ ِ‫صادق‬ َ َ‫عد ُْونَ ِل‬
َ ِ‫انَّ َماِت ُ ْو‬
)٦-١ِ:)٥١(‫(الذرايات‬
“Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan kuat. Dan awan yang mengandung
hujan. Dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah. Dan (malaikat-malaikat)
yang membagi-bagi urusan. Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti
benar. Dan sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.”
(Qur’an Surat. Adh-Dzariyat(51): 1-6)
ِِِِِِِِ

| 52
4. Bentuk Qasam

Qasam terdiri dari dua bentuk, yaitu:

a) Qasam zhahir ialah qasam atau sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il
qasam dan muqsam bih. Seperti firman Allah SWT,

ََِۚ ِ‫ِوآلِا ُ ْقس ُمِباانَّ ْﻔﺲِاللَّ َّوا َمة‬


َ ََۚ ِ‫آلا ُ ْقس ُمِبيَ ْومِالقيَ َمة‬
“Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan aku bersumpah dengan jiwa
yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.
(Qur’an Surat. Al Qiyamah: 1-2)

b) Qasam mudhmar ialah qasam yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam
dan tidak pula muqsam bih, tetapi ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk
pada jawab qasam.
Seperti dalam firman Allah SWT,
...‫س ُك ْم‬ َ ‫لَتُبلَ ُو َّنِفيِا َ ْم َوِال ُك‬
َ ُ‫مِوا َ ْنﻔ‬
)١۸٦ِ:)۳(‫(العمرن‬
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu”
(Qur’an Surat. Al Imran: 186)

5. Tujuan Aqsam dalam Al Qur’an

Menurut Manna Al Qaththan’, tujuan aqsam dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut,
1) Mengukuhkan dan mewujudkan muqsam’alaih yakni, berupa sesuatu yang
layak untuk dijadikan sumpah, seperti hal-hal yang tersembunyi, jika qasam itu
dimaksudkan untuk menetapkan kebenarannya,
2) Untuk menjelaskan tauhid atau menegaskan kebenaran Al Qur’an.

Secara umum, Qasam memiliki tujuan diantaranya:


1) Membuktikan betapa maha kuasanya Allah SWT, dan tak ada satupun yang
dapat menandinginya,
2) Memperkuat keimanan dan wawasan kita atas segala ciptaan-Nya,
3) Memperkuat pembicaraan agar dipercaya oleh pendengarnya, khususnya
pendengar yang bersikap menentang dan membangkang terhadap berita yang
didengarnya.

| 53
BAB XI
KAIDAH PENAFSIRAN AL QUR’AN

Untuk menekuni bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu,


di antaranya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam
memahami ayat-ayat Al Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab,
karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa tersebut. Selain itu ia juga perlu
memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh
kemudahan dalam menangkap pesan-pesan Al Qur’an.
Redaksi ayat-ayat Al Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti,
kecuali oleh Allah sendiri. Hal ini membuahkan keanekaragaman penafsiran. Para
sahabat Nabi pun tidak jarang berbeda pendapat dalam menafsirkan dan menangkap
pesan firman-firman Allah.
Ibnu Abbas, yang dinilai sebagai sahabat Nabi yang paling mengetahui
maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir sendiri terdiri dari empat
bagian. Pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab
berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. Kedua, yang tidak alasan bagi seseorang
untuk tidak mengetahuinya. Ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama.
Keempat, yang tidak diketahui kecuali Allah Swt.
1. Urgensi Kaidah Tafsir

M Quraish Shihab, mengemukakan komponen-komponen yang tercakup dalam


kaidah-kaidah tafsir sebagai berikut:
1) Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al Qur’an,
2) Sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran,
3) Patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al Qur’an,
baik dari ilmu bantu, seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik
langsung dari penggunaan Al Qur’an.
Ibnu Abbas yaitu sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman
Allah SWT, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian, yakni:
a. Dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan
pengetahuan bahasa mereka,
b. Tidak ada alasan oranglain untuk mengetahuinya,
c. Yang tidak diketahui kecuali para Ulama,
d. Yang tidak diketahui kecuali Allah SWT.

Orang-orang yang berbicara dan menulis tafsir Al Qur’an tanpa memiliki


pengetahuan yang memadai tentang kaidah dan aturan bahasa Arab, cenderung
melakukan penyimpangan dalam menafsirkan Al Qur’an.

| 54
Diantara faktor-faktor penyebab kekeliruan dalam menafsirkan Al Qur’an,
a. Subjektivitas muffasir,
b. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah,
c. Kurangnya ilmu pengetahuan baik tentang materi pembicaraan dan juga
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir, seperti ushul fiqh dan lainnya,
d. Tidak memerhatikan konteks, baik asbabun nuzul, hubungan antar ayat,
maupun kondisi sosial masyarakat,
e. Tidak memerhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicara
ditunjukkan.

ْ ‫مِوَّلَِي‬
ِ َ‫ُظلَ ُم ْون‬ َ ‫يِكت َابَهُِبيَمنهِفَاُولعكَ ِيَ ْق َر ُءونَ ِكتَبَ ُه‬
َ ‫َاسِبإِ َمامه ًمِفَ َم ْنِا ُ ْوت‬
ٍ ‫عوا ُك َّلِاُن‬
ُ ِْ‫يَ ْو َمِنَد‬
ً‫ال‬
ِ ‫فَت ْي‬
“Suatu hari Kami akan memanggil semua manusia beserta para imamnya (masing-
masing); barangsiapa diberi catatannya di tangan kanannya mereka akan
membacanya (dengan gembira) dan sedikitpun tidak dirugikan.”
(Qur’an Surat. Al Isra: 1)

Untuk menghindari kesalahan dalam menafsirkan dalam penafsiran, para ahli


membuat kaidah-kaidah penafsiran. Diantara kaidah-kaidah penafsiran yang
dimaksud adalah: kaidah dasar tafsir, kaidah isim dan fi’il, kaidah amr dan nahi,
kaidah istifham, kaidah ma’rifah dan nakrah, kaidah mufrad dan jama’, kaidah tanya
dan jawab, kaidah wujuh dan nazhair, kaidah dhamir, mudzakar dan mu’annats,
kaidah syarat dan hadzf jawabusy-syarth, kaidah hadzful maf’ul, kaidah redaksi
kalimat umum dan sebab khusus.

2. Korelasi Qawaid Tafsir dengan Ushul Fiqh

Ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang


dijadikan pedoman dalam menerapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan
manusia, yang bersumber dari dalil-dalil agama yang rinci dan jelas.
Tujuan Ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap
hukum syariat Islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut. Objeknya adalah dalil
syar’i yang umum, dipandang dari ketetapan-ketetapan hukum yang umum pula.
Imam Jalaludin As Suyuthi, seperti dikutip Ali Hasan Al’Aridh, mengemukakan
bahwa termasuk ilmu yang dibutuhkan mufassir adalah ilmu isytiqaq (asal-usul kata),
fiqh dan ushul fiqh.

| 55
Diantara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqh adalah sebagai berikut,
1. Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat
umum, bukan khusus terhadap kasus yang menjadi sebab turunnya ayat,
2. Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram dan
menimbulkan yang wajib,
3. Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas
sesuatu berarti perintah atas kebalikannya.

| 56
BAB XII

KAIDAH DASAR TAFSIR

Al-Qur’an merupakan kitab yang sangat berpengaruh begitu luas dan


mendalam terhadap jiwa dan tindakan manusia. Ia merupakan dokumen historis yang
mereflesikan situasi sosial, ekonomi, politik.

Kaum Muslimin mempelajari Al Qur’an sejak kitab suci itu diturunkan


hingga sekarang. Dan semoga Al Qur’an menjadi suatu kitab yang sering dipelajari
tak ada habisnya.

“Katakanlah, ‘Sekiranya lautan tinta untuk (menuliskan) kata-kata untuk Tuhanku,


pasti lautan akan habis sebelum habis kata-kata Tuhanku, sekalipun meski Kami
tambahkan (tinta) sebanyak itu.”
(Qur’an Surat. Al Kahfi(18): 109)

“Dan sekiranya pohon-pohon di bumi adalah pena dan samudera (adalah tinta);
sesudah itu ditambah dengan tujuh samudera, Firman Allah tidak akan habis
(ditulis). Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(Qur’an Surat. Luqman(31): 27)

Ibnu Taimiyyah dalam Muqadimah fi Ushulit Tafsir menyatakan,

“Jika ada orang yang bertanya: ‘Apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al
Qur’an?’ maka jawabnya, ‘menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Apabila
engkau tidak mendapatkan penafsirannya pada Al Qur’an, maka tafsirkanlah
dengan sunnah, karena sesungguhnya ia memberikan penjelasan terhadap Al
Qur’an. Apabila tidak kautemukan penafsiran dari keduanya, maka merujuklah
kepada perkataan para sahabat Nabi Saw., karena mereka paling mengetahui
sesudah Nabi, mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya Al Qur’andan
situasi ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang benar dari
Nabi. Apabila tidak kau temukan penafsiran dalam Al Qur’an dan Sunnah serta
tidak ada pula penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujuk pada
perkataan tabi’in….”

| 57
1. Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an

Sebagian dari ayat-ayat Al Qur’an memberikan penafsiran terhadap ayat yang


lain. Penafsiran ayat-ayat Al Qur’an dengan ayat yang lain tidak ada perbedaan
pandangan di antara para ulama, karena mereka sepakat bahwa ada ayat Al Qur’an
yang diturunkan sebagai penjelasan atau kelengkapan terhadap ayat lainnya. Sebagian
ayat menjadi lebih jelas maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat-ayat tertentu.

Ayat Al Qur’an yang dijelaskan secara umum pada suatu tempat dijelaskan
pada tempat lain secara terperinci. Bagian yang belum dijelaskan pada suatu tempat
(mubham) dijelaskan pada tempat lain. Ayat yang tidak terbatas pesan dan
pengertiannya (muthlaq) pada suatu surat menjadi terikat pada surat yang lain
(muqayyad). Ayat yang bersifat’amm (umum) pada suatu konteks ditakhshishkan
pada konteks yang lain.

Rasulullah Saw adalah orang yang mengajarkan dan mencontohkan penggunaan


metode penafsiran demikian. Suatu saat sahabat membacakan firman Allah,

“Mereka yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan dengan syirik,


mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka mendapat petunjuk.”
(Qur’an Surat. Al An’am(6): 82)

Mendengar ayat tersebut, para sahabat merasa gelisah dan khawatir terhadap diri
mereka sendiri. Oleh sebab itu, mereka menanyakan kepada Rasulullah Saw.
Kemudian ia menjelaskan kepada sahabatnya berdasarkan firman Allah,

“… Janganlah engkau berbuat kemusyrikan, Sesungguhnya kemusyrikan adalah


kezaliman yang sangat besar.”
(Qur’an Surat. Luqman(31): 13)

Di antara ayat-ayat Al Qur’an ang dipandang menafsirkan dengan ayat lainnya


sebagai berikut,

a) QS. Al Maidah(5): 1 dengan QS. Al Maidah(5); 3

“Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji. Binatang ternak dihalalkan


bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu; dengan tidak menghalalkan
berburu sementara kamu dalam hurum (dalam suasana ibadah haji atau ihram).
Perintah Allah sesuai dengan kehendak-Nya.”
(QS. 5: 1)

“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan segala yang disembelih
tidak dengan nama Allah, yang mati dicekik, atau dipukul, atau jatuh, atau
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih; dan yang disembelih

| 58
di atas batu (mezbah), atau dengan meramalkan nasib dengan anak panah; karena
semua itu perbuatan fasik.”
(QS. 5: 3)

b) QS. Al Baqarah(2): 37 dengan QS. Al A’raf(7): 23

“Maka Adam menerima pelajaran dari Tuhannya kata-kata (permohonan). Maka


Tuhanmu menerima (permohonan) tobatnya. Ia maha Penerima Tobat, Maha
Pengasih.”
(QS. 2: 37)

“Keduanya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan
jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya
pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”
(QS. 7: 23)

2. Tafsir Al Qur’an dengan As Sunnah

Penafsiran Al Qur’an dengan sunnah didasarkan atas firman Allah,

“Dan tidak adalah yang Kami utus sebelummu selain manusia lelaki; kepada
mereka Kami beri wahyu. Maka tanyakanlah kepada ahli risalah, jika kamu tahu.
(Kami utus mereka) dengan tanda-tanda yang jelas dan kitab-kitab kenabian yang
samar; dan Kami turunkan kepadamu risalah ini supaya kau jelaskan kepada
manusia apa yang sudah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka
renungkan.”
(Qur’an Surat. An Nahl(16): 43-44)

Berkenaan dengan prinsip di atas, Imam Syafi’, seperti dikutip Ibnu


Taimiyyah, mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw.
Merupakan pemahaman yang berasal dari Al Qur’an. Pendapat ini didasarkan atas
firman Allah dan hadits Nabi berikut,

“Kami telah menurunkan kepadamu Kitab yang membawa kebenaran agar engkau
mengadili manusia sesuai dengan yang diajarkan Allah kepadam. Dan janganlah
engkau menjadi pembela para pengkhianat.”
(Qur’an Surat. An Nisa(4): 105)

Rasulullah Saw bersabda, “Ketahuilah bahwa aku diberi Al Qur’an dan yang
semisalnya (hadits) bersamanya.”
(Hadits Riwayat. Abu Dawud)

| 59
Peran Rasul di hadapan Al Qur’an meliputi:

a. Menjelaskan bagian yang mujmal (global)dan mentahshihkan (mengkhususkan)


yang ‘amm (umum).
b. Menjelaskan arti dan kaitan kata tertentu dalam Al Qur’an.
c. Memberikan ketentuan tambahan terhadap beberapa peraturan yang telah ada
dalam Al Qur’an, seperti zakat fitrah.
d. Menjelaskan nasakh (penghapusan) ayat.
e. Menjelaskan untuk menegaskan hukum-hukum yang ada dalam Al Qur’an.

Contoh penafsiran Al Qur’an dengan Sunnah,

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu sungguh perbuatan
keji, dan suatu jalan yang buruk.”

(Qur’an Surat. Al Isra’(17): 32)

“Setiap bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua matapun berzina,
zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah
menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah menuju perzinahan.
Mulut berzina, zinanya adalah dengan mencium. Hati dengan keinginan dan
berangan-angan. Dan kemaluannya lah yang membenarkan atau
menggagalkannya.”

(Hadits Riwayat. Al Bukhori)

3. Tafsir Al Qur’an dengan Qaul Shahabah

Sahabat adalah orang-orang beriman yang diridhai Allah, yang bertemu


dengan Nabi pada masa hidupnya. Mereka ikut menyaksikan peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat dan keterkaitan turunnya dengan ayat yang lain.
Mereka melihat dan mendengar apa yang tidak dilihat orang lain sesudahnya.

Abdullah bin Mas’ud berkata,

“Demi Allah, tidakkah diturunkan ayat Al Qur’an kecuali aku mengetahui


berkenaan dengan siapa ayat itu turun. Jika aku mengetahui tempat seseorang
yanglebih tahu tentang Kitabullah daripadaku, yang untuk menuju tempatnya
diperlukan tunggangan, bakal aku datangi.”

Yusuf Qardhawi pun berpendapat, jika para Sahabat telah ‘ijma dalam suatu
permasalahan, maka hal itu menunjukkan bahwa perkara itu memiliki dasar dari
Sunnah, walaupun mereka tidak menyatakan dengan jelas. Tetapi jika masih ada
perselisihan dari pendapat mereka, maka kita bebas memilih salah satu pendapat yang

| 60
kita anggap paling mendekati kebenaran atau kita menambah pemahaman baru
terhadap pendapat mereka.

4. Tafsir Tabi’in

Imam Az Zarqani dalam Manahilul’ Irfan menulis, bahwa terdapat perbedaan


pendapat di kalangan ulama mengenai tafsir tabi’in. sebagian memandangnya ma’tsur
karena penafsiran mereka sebagian besar diterima dari sahabat Nabi. Sedang sebagian
yang lain menilainya sebagai tafsir bir-ra’yi.

Kelompok yang disebut terakhir, sebagaimana ditulis Ash Shbuni,


berpendapat bahwa kedudukan para tabi’in sama dengan mufassir lainnya (selain
Nabi dan sahabat). Mereka menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa Arab dan tidak berdasar pertimbangan atsar (hadits).

Berkenaan dengan kriteria tafsir bil-ma’tsur, Imam Az Zarqani


mengkategorikan tafsir tersebut dalam dua macam. Pertama, tafsir yang dalil-dalilnya
memenuhi persyaratan yang shahih dan diterima. Yang demikian ini tidak layak untuk
ditolak oleh siapa pun, tidak dibenarkan untuk mengabaikan dan melupakan. Kedua,
tafsir yang sumbernya tidak shahih karena beberapa faktor. Tafsir jenis ini harus
ditolak.

| 61

Anda mungkin juga menyukai