Anda di halaman 1dari 10

BAB II

NILAI FILOSOFI ADAT JAWA DALAM NOVEL BILANGAN FU KARYA

AYU UTAMI

Nilai merupakan konsep yang menunjuk pada hal yang dianggap berharga

dalam kehidupan manusia, yaitu tentang apa yang dianggap baik, layak, pantas,

benar, penting, indah, dan dikehendaki oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai filosofi suatu hal maupun yang dilakukan dan terjadi dianggap penting yang

mempunyai makna tersendiri untuk sebagian orang dan daerah.

Daerah di Indonesia memiliki banyak sekali adat yang melekat, salah satunya di

daerah Jawa. Adat Jawa mengandung filosofi yang kental dengan mistisnya, akan

tetapi di era sekarang adat tersebut mulai tergerus oleh perkembangan zaman. Banyak

anak muda zaman sekarang yang tidak percaya makna dari ritual yang dilakukan

sebagian orang di daerah tertentu.

Untuk mengkaji adat Jawa yang berbagai macam dan setiap daerah pasti

mempunyai adat sendiri beserta nilai filosofinya yang dipercayai dan dijungjung

tinggi. Salah satu adat atau tradisi yang masih dilaksanakan di daerah ini yaitu

sesajen lengkap dengan ritualnya, arak-arakan seluruh warga desa ke suatu tempat

dengan pakaian tradisional. Kisah novel Bilangan Fu karya Ayu Utami terdapat adat

Jawa yang masih kental dengan tradisi-tradisinya. Berikut dipaparkan dalam novel

Bilangan Fu berada di daerah Sewugung daerah yang jauh dari hiruk pikuk
perkotaan, dekat dengan perbukitan, pohon-pohon besar, tambang, dan juga pesisir

laut selatan.

Sesaji

Menurut Koentjaraningrat (2002 : 349) sesaji merupakan salah satu sarana

upacara yang tidak bisa ditinggalkan, dan disebut juga dengan sesajen yang

dihaturkan pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap makluk

halus, yang berada ditempat-tempat tertentu. Sesaji merupakan jamuan dari

berbagai macam sarana seperti bunga, kemenyan, uang recehan, makanan, yang

dimaksudkan agar roh-roh tidak mengganggu dan mendapatkan keselamatan.

Perlengkapan sesaji biasanya sudah menjadi kesepakatan bersama yang tidak

boleh ditinggalkan karena sesaji merupakan sarana pokok dalam sebuah ritual.

Setiap kegiatan ritual yang dilakukan masyarakat Jawa mengandung makna

simbolik yang terdapat didalamnya, baik dari sesaji, doa, waktu, dan lain

sebagainya. Sesaji mempunyai makna simbolik tertentu dan dijadikan sebagai

media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam penelitian

Muzaki (2012:11-12).

Upacara ritual sering disebut juga upacara keagamaan. Menurut Bustanuddin

(2006 : 96) upacara yang tidak dipahami alasan konkretnya dinamakan rites

dalam bahasa Inggris yang berarti tindakan atau upacarakeagamaan. Upacara

ritual merupakan kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh sekelompok

masyarakat yang diatur dengan hukum masyarakat yang berlaku. Hal ini sesuai
dengan pendapat Koentjaraningrat (1984 : 190) upacara ritual adalah sistem

aktifasi atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku

dalam masyarakat yang berhubungan dengan bagaimana macam peristiwa tetap

yang biasanya terjadi pada masyarakat yang bersangkutan.

Upacara ritual memiliki aturan dan tatacara yang telah ditentukan oleh

masyarakat atau kelompok pencipta ritual tersebut, sehingga masing-masing

ritual mempunyai perbedaan, baik dalam hal pelaksanaan ataupun

perlengkapannya, dalam penelitian Muzaki (2012:8).

Sesajen selalu mempunyai arti tersendiri bagi banyak orang yang

mempercayainya, mengambil tempat di Sewugunung inilah beberapa adat Jawa

sesaji beserta nilai-nilai filosofi yang terkandung didalamnya.

1. Sesaji dilihat dari tujuannya

a. Rasa syukur

“Jauh dibawah sana, di alun-alun, kami melihat kerumunan


sedang bersiap siap membuat upacara sesaji. Bisa
kubayangkan janur telah dipancang, tandu persembahan telah
dirias. Parang Jati tahu bahwa aku menganggap dungu orang-
orang yang memasang sesaji. Yang sendiri, seperti laki-laki
yang mati digigit anjing itu. Atau, yang ramai-ramai dalam
upacara” (Bilangan Fu, Hal. 135)

Sesaji disiapkan dan dilaksanakan seluruh penduduk desa, nilai yang

terkandung dari sesaji ini adalah ungkapan syukur hasil tanah yang melimpah,

dipersembahkan untuk penjaga perbukitan gamping yang terletak di

Sewugunung. Sesajen ini terdiri dari bermacam-macam tumpeng dan makanan


lainnya hasil pertanian penduduk sekitar, ada pula persembahan yang khas dari

perayaan upacara sesajen ini tandu yang hias.

“Kali ini sesajennnya bukan untuk dilarung ke samudra


selatan, tapi ke perbukitan” (Bilangan Fu, Hal 135)

Upacara sesaji yang dilaksanakan warga desa kali ini selain bertujuan untuk

ucapan syukur terhadap hasil panen yang melimpah dan menyembah penunggu

perbukitan juga untuk meminta hujan yang dipimpin oleh pawangnya atau juru di

daerah Sewugunung tersebut.

“Ikut membiayai ritual sesajen demi mendapat izin spiritual


untuk eksploitasi”
Mereka mau membuat sesajen atau menanam kepala kerbau,
jika dengan begitu mereka dimudahkan” (Bilangan Fu,
Hal.187)

Perusahaan batu gamping yang sudah beroprasi memang sering ditentang oleh

penduduk Sewugunung, untuk mensiasatinya perusahaan ini menyumbang dana

saat masyarakat Sewugunung melakukan upacara sesaji.

Menanam kepala kerbau dalam upacara sesaji ini mewakili rasa syukur

masyarakat Sewugunung terhadap hasil laut, dan juga persembahan untuk

penunggu laut selatan yaitu Nyai Ratu Kidul.

b. Persembahan

“Seorang lelaki berpakaian hitam-hitam mengejutkan kami. Ia


mengenakan destar batik dan keluar dari belukar. Ia seperti baru
bersemedi” (Bilangan Fu, Hal. 61)

Seorang laki-laki itu melakukan ritual semedi, lengkap dengan sesajen yang ia

bawa, di tempat yang sakral menurut penduduk desa Sewugunung diatas bukit
dibawah pohon beringin tua yang rindang, pohon yang tahan tumbuh di

bebatuan. Ritual ini dilakukan untuk memuja roh-roh leluhur yang dipercaya

sebagai penunggu bukit dan sesajen dipersembahan kepada roh-roh tersebut.

“Bagian ini upacara menampakkan bentuk Jawa pra-Islam. Yaitu


upacara penyembelihan sepasang pengantin yang dipersembahkan
kepada roh-roh penjaga perbukitan” (Bilangan Fu, Hal. 142)

Upacara sesaji terdiri dari beberapa bagian, ada arak-arakan sesajen yang

sudah dihias sedemikian rupa lalu doa-doa, dan puncaknya ialah penyembelihan

dua pasang pengantin yang dijadikan persembahan kepada roh-roh leluhur. Dua

pasang pengantin itu bukanlah pengantin manusia tetapi dua pasang ketan

dengan isi gula merah.

“Kali ini sesajennnya bukan untuk dilarung ke samudra


selatan, tapi ke perbukitan” (Bilangan Fu, Hal 135)

Ada dua upacara sesaji di daerah Sewugunung dalam satu tahun, yang

pertama ke bukit dan yang ke dua ke laut. Keduanya sama-sama memiliki makna

tersendiri, dan sesaji persembahan yang dibawa pun berbeda, ritual ini

dilaksanakan di waktu yang berbeda.

Upacara sesaji yang dilaksanakan warga desa kali ini selain bertujuan untuk

ucapan syukur terhadap hasil panen yang melimpah dan menyembah penunggu

perbukitan juga untuk meminta hujan yang dipimpin oleh pawangnya atau juru di

daerah Sewugunung tersebut.

“Ada dua upacara sesaji yang masih diadakan disini. Yang


pertama dipersembahkan kepada Ratu Laut Selatan, dia yang
biasa dikenal dengan nama Nyai Ratu Kidul. Yang kedua,
yang sedang dipersiapkan hari ini, yang kadang disebut
dengan Ki Semar” (Bilangan Fu, Hal. 137-138)

Sudah dipaparkan diatas bahwa sesajen yang dibuat dipersembahkan untuk

Nyai Ratu Kidul jika upacara sesaji diadakan dilakukan, penduduk banyak yang

menyakini Nyai Ratu Kidul adalah penguasa samudra selatan, yang menjaga

daerah penduduk Sewugunung.

Selanjutnya penduduk menganggap bukit gamping ditunggu oleh Ki Semar.

Dua entitas itu bukan tidak berhubungan, keduanya saling berhubungan bagi

masyarakat di daerah tersebut.

Dalam mitosnya, sebagaimana ditulis dalam Babad tanah Jawi, Ratu penguasa

bangsa halus dilaut dan ditanah Jawa mempunyai wewenang untuk menjelma

pria maupun wanita. Tetapi, ia berjanji kepada pendiri Majapahit untuk menjadi

istri bagi semua Raja tanah Jawa.

2. Sesaji dilihat dari latar waktu dan tempat

a. Latar waktu

“Seorang lelaki berpakaian hitam-hitam mengejutkan kami. Ia


mengenakan destar batik dan keluar dari belukar. Ia seperti baru
bersemedi” (Bilangan Fu, Hal. 61)

Ritual sesaji dilakukan oleh lelaki yang akrab disapa Kabur Bin Sasus oleh

warga Sewugunung sudah tidak menjadi rahasia lagi. Biasanya Kabur Bin Sasus

melakukannya pada malam-malam tertentu sesuai hitungan kalender Jawa.

“Jauh dibawah sana, di alun-alun, kami melihat kerumunan


sedang bersiap siap membuat upacara sesaji” (Bilangan Fu,
Hal. 135)
Berbeda dengan sesaji sebelumnya, kali ini sesaji disiapkan dan dilaksanakan

seluruh penduduk desa, nilai yang terkandung dari sesaji ini adalah ungkapan

syukur hasil tanah yang melimpah, dipersembahkan untuk penjaga perbukitan

gamping yang terletak di Sewugunung. Upacara sesaji ini dilaksanakan setiap

satu tahun sekali dan beramai-ramai.

“Yah, membuang makanan bagus-bagus ke laut memang


bodoh, bukan ?”
“Kali ini sesajennnya bukan untuk dilarung ke samudra
selatan, tapi ke perbukitan” (Bilangan Fu, Hal 135)

Ada dua upacara sesaji di daerah Sewugunung dalam satu tahun, yang

pertama ke bukit dan yang ke dua ke laut. Keduanya sama-sama memiliki makna

tersendiri, dan sesaji persembahan yang dibawa pun berbeda, ritual ini

dilaksanakan di waktu yang berbeda.

b. Latar waktu

“Seorang lelaki berpakaian hitam-hitam mengejutkan kami. Ia


mengenakan destar batik dan keluar dari belukar. Ia seperti baru
bersemedi” (Bilangan Fu, Hal. 61)

Kabur Bin Sasus melakukan ritual semedi lengkap dengan sesaji yang ia bawa

di tempat yang sakral menurut penduduk desa Sewugunung diatas bukit dibawah

pohon beringin tua yang rindang, pohon yang tahan tumbuh di bebatuan. Ritual

ini dilakukan untuk memujaa roh-roh leluhur mereka.

Ritual ini masih dilakukan karena turun temurun dari nenek moyang dan tidak

semua penduduk Sewugunung melakukan ritual semedi dengan membawa

sesajen seperti yang dilakukan laki-laki ini hanya beberapa saja yang masih
menjaga dan melakukannya, sebab perkembangan zaman, banyak penduduk desa

Sewugunung keluar dari daerahnya untuk mencari ilmu, saat kembali tidak

percaya lagi dengan takhayul dan lain sebagainya.

“Dalam sunyi kami bertukar duga bahwa petir menyambar


batu mezbah tempat lelaki yang mati itu mempersembahkan
sesajen” (Bilangan Fu, Hal. 101)

Peletakan sesajen pun tidak sembarangan untuk mempersembahkannya, ada

aturan bagi orang yang melakukan ritual ini, terdapat batu muzbah yang

digunakan untuk meja. Jika makanan sesajen hilang bagi pelaku ritual semedi

menggapnya sesajen yang dia bawa sudah dimakan roh-roh ghoib penunggu

pohon beringin tersebut.

“Tandu mulai bergerak meninggalkan alun-alun. Iring-iringan


berjalan lambat. Suara penandu menyamakan langkah dan
menghitungkan jirolu bagaikan mantra. Anak-anak menjerit
kegirangan” (Bilangan Fu, Hal. 141)

Alun-alun Sewugunung adalah titik utama perkumpulan seluruh warga dalam

upacara sesaji ini sebelum warga berjalan iring-iringan dengan tandu

persembahan yang sudah dilengkapai ke bukit kapur.

2. Sesaji dilihat dari isinya

a. Buah-buahan

“Sesajen yang kami makan pisang dan jeruknya kemarin


dulu” (Bilangan Fu, Hal. 101)

Lelaki yang melakukan semedi diatas bukit tersebut membawa sesajen

sebagai persembahan, isinya macam-macam tetapi kali ini berisi buah-buahan.

Biasanya ada kemenyang dan bunga tujuh rupa, kemenyang digunakan untuk
memanggil roh-roh yang dipuja serta bunga tujuh rupa yang digunakan untuk

wangi-wangian, kali ini Parang Jati tidak menemukan benda tersebut.

b. Tandu

“Sepasang lelaki dan perempuan terbuat dari ketan putih


dinaikkan pada tandu. Beberapa lelaki mengangkat jempana
itu ke pundak merekan sambil menyerukan hitungan jirolu.
Dua sosok itu menjelma pengantin sesaji, tertinggikan di atas
kerumunan” ( Bilangan Fu, Hal. 139)

Dua pasang ketan yang menjadi simbolik upacara ini memiliki arti yaitu dua

penguasa laut dan bukit yang menjaga daerah Sewugunung, dalam upacara sesaji

laut ada pula dua simbolik yang dipersembahkan tetapi bukan sepasang ketan

yang dihiasi.

“Upacara kali ini lebih meriah dari biasanya, kutahu dari


Parang Jati. Para pengantin lebih besar daripada tahun-tahun
lalu, nyaris seukuran dara dan jaka cilik. Kembangnya lebih
bergerumbul. Tumpeng dan sesaji pengiring lebih banyak”
“Semua itu terjadi karena upacara kali ini disponsori oleh
perusahaan yang baru mendapat monopoli konsesi
penambangan batu disini” (Bilangan Fu, Hal. 140)

Dua pasang pengantin ketan dalam perayaan kali ini lebih besar dari biasanya,

ini membuat warga tampak antusias dalam upara sesaji tahun ini. Perusahaan

penambang batu yang baru mendapat izin masuk ke daerah ini menyumbang

dana yang cukup besar dalam upacara sesaji kali ini, hal ini tidak lain untuk

mengambil hati masyarakat yang menolak perusahaan batu tersebut beroprasi di

daerah Sewugunung, karena daerah tersebut masih alami dan masyarakat benar-

benar menjaga keasriannya, daerah ini juga masih dipercayai sebagai tempat

leluhur mereka.
Penambang batu gamping memanfaatkan upacara sebagai jalan tengah untuk

perizinan supaya kegiatan tambang berjalan lurus tanpa ada penolakan dari

masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai