Npm : 1702060005
Uas filsafat hukum
2. Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang
dapat menetapkan tingkah laku manusia. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan
sanksi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang
harus diterima oleh pelakunya. Fungsi Hukum sebagai alat kontrol sosial ini, juga sering
disebut sebagai a tool of engineering yang pada prinsipnya merupakan fungsi hukum yang
dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu masyarakat, baik dalam arti
mengokohkan suatu kebiasaan menjadi sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati.
Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound,
yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum
diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Jadi, hukum
berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan mengelola masyarakat. Mengatur dan mengelola
masyarakat akan membawa kepada pembaharuan- pembaharuan, perubahan-perubahan
struktur masyarakat dan penentuan- penentuan pola berpikir menurut hukum yang menuju ke
arah pembangunan.
Hukum dengan segala peraturan yg tertulis maupun tidak tertulis mampu menyelsaikan
konflik, seperti halnya konflik dalam masyarakat dengan hukum yg berlaku konglik tersebut
dapat terselsaikan secara adat maupun secara hukum.
Korupsi adalah sebuah mimpi buruk bagi pembangunan dan pemenuhan kesejahteraan
sebuah bangsa. Korupsi yang awalnya merupakan sebuah tindakan individu dikarenakan
ketamakan personal, kini berubah menjadi tindakan terorganisir dan terstruktur secara
komunal. Korupsi menjadi virus mematikan yang merusak sistem hukum, politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Walau dalam kenyatannya korupsi tidak juga bisa diatasi oleh hukum yg
berlaku namun dalam peraturannya hukum memiliki aturan aturan mengenai tindakan korupsi
yg dilakukan oleh seseorang atau pejabat dan sebagainyaa sebagai pelaku korupsi. Adanya
hukum untuk menyelsaikan dan memberikan sanksi kepada pelaku atas tindakannya yg dapat
merugikan banyak orang.
3. Dalam perspektif Islam sebagai mana yang dikonsepsikan Alquran, Hak Asasi
Manusia bersesuaian dengan Hak- hak Allah swt. Hal ini menunjukkan bahwa konsep Hak
Asasi Manusia dalam pandangan Islam bukanlah hasil evolusi apapun dari pemikiran
manusia, namun merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang telah diturunkan. Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Secara umum hukum Islam berorientasi pada
perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Artinya hukum Islam
bertujuan pada pemeliharaan agama, menjamin, menjaga dan memelihara kehidupan dan
jiwa, memelihara kemurnian akal sehat dan menjaga ketertiban keturunan manusia serta
menjaga hak milik harta kekayaan untuk kemaslahatan hidup umat manusia. Ham dalam
undang undang Sesuai dengan BAB XA tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945 yang
termasuk kepada hak asasi manusia adalah sebagai berikut : Hak untuk mempertahankan
hidup dan kehidupannya. ... Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.28 Agu 2019
IKRAR bahwa Indonesia merupakan negara hukum jelas terpatri dalam konstitusi. Hukum
ialah panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wibawanya mesti dijaga karena
ketika hukum kehilangan muruah, dipastikan ketidakpatuhan akan tumbuh lalu kekacauan
akan mendera. Untuk itulah negara, seluruh perangkat dan rakyatnya, harus memastikan
hukum tegak, tidak bengkok ataupun miring. Apalagi membiarkannya dilecehkan atau
bahkan dikangkangi kepentingan tertentu
Banyaknya prlanggaran prlanggaran ham di indonesia seperti Kasus 'pelanggaran HAM berat'
di Paniai, Papua: Keluarga korban tuntut keadilan, eks pejabat TNI klaim tak ada perintah
dari atas . Dimana Keluarga korban insiden di Paniai, Provinsi Papua, mendesak kasus yang
disimpulkan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat pertama di era Presiden Jokowi
itu, diproses secara adil. Namun eks pejabat militer mengklaim tidak ada perintah dari atas.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD,
saat dimintai konfirmasi BBC News Indonesia, Selasa sore (18/02) di Jakarta, enggan
mengomentari kesimpulan Komnas HAM yang menyebut peristiwa kekerasan di Paniai
sebagai pelanggaran HAM berat
4. Fungsi Pancasila yang pertama adalah sebagai pedoman hidup bermasyarakat bagi
bangsa Indonesia. Dala hal ini, Pancasila mengandung nilai-nilai kehidupan mendasar yang
dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk dalam menjalani keseharian hidup manusia. Baik
kehidupan dalam berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa.
5.1. Untuk menciptakan bangsa yang religius dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menjadi bangsa yang menjunjung keadilan, baik secara sosial maupun ekonomi.
3. Menjadi bangsa yang menghargai hak asasi manusia (HAM), seperti yang bisa terrangkum
dalam hubungan HAM dengan Pancasila sebagai dasar negara kita.
5. Menjadi bangsa yang nasionalis dan mencintai tanah airnya, yaitu tanah air Indonesia.
1. A
1. REVIEW JURNAL
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup berpikir dan selalu berusaha
untukmengetahui segala sesuatu, tidak mau menerima begitu saja apa adanya sesuatu itu,
selalu ingintahu apa yang ada dibalik yang dilihat dan diamati. Segala sesuatu yang
dilihatnya, dialaminya,dan gejala yang terjadi di lingkungannya selalu dipertanyakan dan
dianalisis atau dikaji. Ada tigahal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu
keheranan, kesangsian, dan kesadaran atasketerbatasan. Berfilsafat kerap kali didorong untuk
mengetahui apa yang telah tahu dan apa yangbelum tahu, berfilsafat berarti berendah hati
bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalamkemestaan yang seakan tak
terbatas.Filsafat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Setidaknya
adatiga peran utama yang dimiliki yaitu sebagai pendobrak, pembebas, dan pembimbing.
Pendidikanadalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik
potensi fisik potensicipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalamperjalanan hidupnya. Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang
ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmulain. Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan
dengan proses perkembangan ilmu,ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari
induknya. Pada awalnya pendidikanberada bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak
pernah bisa membebaskan diri denganpembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh
manusia untuk kepentingan memahamikedudukan manusia, pengembangan manusia, dan
peningkatan hidup manusia.Dasar pendidikanadalah cita-cita kemanusiaan universal.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalamkeseimbangan, kesatuan. organis, harmonis,
dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.Filsafat pendidikan adalah filsafat yang
digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Ringkasan Jurnal
Sumber : http://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/5313
2.2 Pendahuluan
Imanuel Kant (1724-1802) menuliskan kalimat mutiara pada batu nisan makamnya,
yang diartikan :
“Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia.” Menurut
Kant kelebihan dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah pada
moralnya. Francis Bacon seorang Empirisme Inggris mengagungkan semboyan “Knowledge
is power”. Kepercayaan dan memujaan akal yang berlebihan masih terus berlangsung sampai
sekarang. Namun ada pertanyaan yang mendasar sehubungan dengan hal ini, apakah benar
yang menjadi keunggulan manusia itu adalah akalnya, sehingga aspek-aspek manusia yang
lain tidak perlu dihiraukan? Bagaimana dengan dampak negatif dari ilmu pengetahuan.
Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophia” dari kata “philos” artinya cinta
dan “Sophia” artinya pengetahuan yang bijaksana. Kemunculan filsafat pada abad ke 5SM
merupakan pendobrakan terhadap dominasi jaman mitos atas klaim kebenaran. Pada masa ini
akal mulai digunakan dalam upaya mencari kebenaran, sebagai sarana mencari kebenaran,
sebagai sumber kebenaran. Sejarah pemikiran memasuki jaman baru yaitu jaman Logos.
Filsafat dikatakan sebagai mother of science.
Filsafat mempunyai dua pengertian: Pertama filsafat sebagai produk: mengandung arti
filsafat sebagai jenis ilmu pengetahuan, konsep-konsep, teori, sistem aliran yang merupakan
hasil proses berfilsafat. Kedua filsafat sebagai suatu proses, dalam hal ini filsafat diartikan
sebagai bentuk aktivitas berfilsafat sebagai proses pemecahan masalah dengan menggunakan
cara dan metode tertentu.
Tidak semua kegiatan berpikir adalah suatu aktivitas berfilsafat. Kegiatan berpikir
secara kefilsafatan ilmu memiliki ciri-ciri: Kritis Radikal-Konseptual-Koheren-Rasional-
Spekulatif-Sistematis-Komprehensif-Bebas-Universal.
Ada perbedaan antara etika dan moral. Moral lebih tertuju pada suatu tindakan atau
perbuatan yang sedang dinilai, bisa juga berarti sistem ajaran tentang nilai baik buruk.
Sedangkan etika adalah adalah pengkajian secara mendalam tentang sistem nilai yang ada,
Jadi etika sebagai suatu ilmu adalah cabang dari filsafat yang membahas sistem nilai (moral)
yang berlaku. Moral itu adalah ajaran system nilai baik-buruk yang diterima sebagaimana
adanya, tetapi etika adalah kajian tentang moral yang bersifat kritis dan rasional.
Moral berkaitan dengan penilaian baik-buruk mengenai hal-hal yang mendasar yang
berhubungan dengan nilai kemanusiaan, sedang etika/etiket berkaitan dengan sikap dalam
pergaulan, sopan santun, tolok ukur penilaiannya adalah pantas-tidak pantas. Di samping itu
ada istilah lain yang berkaitan dengan moral, yaitu norma. Norma adalah nilai yang menjadi
milik bersama dalam suatu masyarakat yang telah tertanam dalam emosi yang mendalam
sebagai suatu kesepakatan bersama.
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dewasa ini adalah masyarakat
hanya takut pada norma hukum yang mempuyai sangsi yang jelas dan tegas yang
pelaksanaannya berdasarkan kekuatan memaksa. Sedang norma moral yang pelaksanaan-nya
berdasarkan kesadaran sebagai manusia, tidak ada sangsi yang nyata mulai ditinggalkan.
Esensi pembeda antara manusia dan makhluk lain adalah pada aspek moralnya. Pada
morallah manusia menemukan esensi kemanusiaannya, sehingga etika dan moral seharusnya
menjadi landasan tingkah laku manusia debgan segala kesadarannya.
Ketika norma moral (moralitas) tidak ditakuti/dihargai maka masyarakat akan kacau.
Norma moral muncul sebagai kekuatan yang amat besar dalam hidup manusia. Norma
moral lebih besar pengaruhnya dari pada norma sopan santun, bahkan dengan norma hukum
yang merupakan produk dari penguasa. Atas dasar norma morallah orang mengambil sikap
dan menilai norma lain.
Secara umum yang membedakan manusia dengan binatang adalah pada akalnya. Akal
mempunyai dua aspek dalam penggunaannya jika digunakan secara benar akan meningkatkan
taraf kemanusiaaannya, tetapi jika digunakan secara tidak benar akan menurunkan derajat
manusia menjadi binatang bahkan lebih rendah dari binatang.
Evolusi kehidupan yang digambarkan oleh Darwin lebih didasarkan pada
pertimbangan biologi. Akan lebih baik jika proses evolusi ini dilanjutkan dengan didasarkan
pertimbangan humanis-filosofis.
Dengan demikian akhir dari evolusi kehidupan ini akan menggambarkan sebagai
manusia baik yang terdiri dari unsur: benda mati+hidup (berkembang)+nafsu+akal+moral.
Kekuatan moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga kehidupan
manusia menjadi lebih bermakna.
Moral dan etika hanya dikenakan pada manusia yang akalnya berfungsi, manusia
yang mempunyai kesadaran (kesadaran dalam hal ini berarti psikologis-filosofis). Penilaian
hanya ditujukan bagi manusia yang mempunyai akal dan sudah mempunyai kesadaran.
Alasan dasar dan rasional mengapa manusia harus menggunakan moral/etika sebagai
landasan segala tindakannya adalah karena dia berakal dan mempunyai kesadaran.
Sebagai contoh: Ada seekor kucing yang lapar, di depannya ada makanan yang biasa
dimakannya, tanpa banyak pertimbangan dia tentu akan segera menyantapnya. Berbeda
dengan manusia, walaupun ia lapar di hadapannya ada makanan lezat ia tidak akan langsung
menyantapnya. Moral mutlak berlaku bagi manusia dalam hidup bersama. Manusia adalah
makhluk yang berbudaya.
Ilmu pengetahuan dalam bahasa Inggris science, bahasa latin scientia berarti
mempelajari atau mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme).
Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah
ilmu. Ada beberapa syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut I.R.
Poedjowijatno ilmu pengetahuan memiliki beberapa syarat: berobjek , bermetode, sistematis,
dan universal. Adapun ilmu pengetahuan memilki beberapa sifat: terbuka, milik umum,
objektif, dan relatif.
Kedua kubu yang bertentangan mempunyai asumsi yang berbeda. Jalan keluar dari
kemelut ini adalah sintesis keduanya. Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of
justification dan context of discovery. Context of justifiction adalah konteks pengujian
ilmiah terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah sedangkan Context of discovery
adalah konteks di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan.
Ilmu yang dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat manusia
dan tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai teositas, nilai humanitas,
nilai integritas kebangsaan, nilai demokrasi dan nila keadilan sosial.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia tidak hanya
semata-mata mengakui dan menghargai kemampuan rasionalitas manusia semata tetapi juga
menginsyafi bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar. Manusia tidak hanya dihargai karena
aktifitas akalnya saja tetapi juga aspek-aspek lain yang irrasional. Sila kemanusiaan yang adil
dan beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan harus dikembalikan pada fungsi
semula utuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau sector tertentu. Sila Persatuan
Indonesia, mempuyai makna bahwa ilmu pengetahuan walaupun bersifat universal harus juga
mengakomodasikan yang lokal sehingga berjalan harmonis. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas nasional bangsa
Indonesia. Sila ke empat mengandung pengertian bahwa ilmu pengetahuan yang
dikembangkan tidak boleh hanya diputuskan atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai
pendapat para pakar di bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu
pertimbangan yang representatif untuk harus mengakomodasi rasa keadilan bagi rakyat
banyak.
Ilmu itu bebas nilai, tetapi kegiatan keilmuan itu dilaksanakan oleh ilmuwan dibawah
suatu lembaga/otoritas akademis yang menyangkut berbagai kepentingan, maka harus ada
nilai-nilai yang menjadi ruh yang mengendalikannya. Dibutuhkan suatu etika ilmiah bagi
ilmuwan, sehingga ilmu tetap berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah harus
dimiliki oleh setiap ilmuwan. Ada beberapa sikap ilmiah yaitu, kejujuran dan kebenaran,
tanggung jawab, setia, sikap ingin tahu, sikap kritis, sikap independen/mandiri, sikap terbuka,
sikap rela menghargai karya& pendapat orang lain, dan sikap menjangkau kedepan.
Analisis kritis
Jurnal ini lebih membahas pada etika yaitu filsafat moral yang kaitannya dengan
bangsa Indonesia. Ada ilmuwan yang memberikan statement tentang kekuatan dari akal,
mereka memuja dan mempercayai akal secara berlebihan. Mereka beranggapan bahwa akar
adalah segala-galanya. Tapi saya setuju dengan pendapat atau statement dari Imanuel Kant
yang mengatakan bahwa “Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada
manusia”. Artinya, moral merupakan hal penting, hal utama yang ada pada manusia yang
perlu untuk diperhatikan.
Akal merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Namun moralitas
merupakan hal penting juga yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan
adanya moralitas, maka kita dapat menemukan hakekat sebenarnya dari kemanusiaan. Untuk
apa kita memiliki pengetahuan yang banyak namun perilaku kita tidak mencerminka manusia
bermoral. Itu berarti kita sama saja dengan binatang, apabila dalam melakukan sesuatu hal
tanpa disertai moral.
Orang-orang hanya mementingkan dan takut kepada norma hukum, bukan kepada
norma moral yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap manusia. Orang-orang sudah tidak
lagi mementingkan tentang moral.
Solusi
KESIMPULAN
Ada hubungan yang sangat eratantara filsafat, etika dan ilmu. Ilmu yangbergerak
otonom tidak boleh meninggalkanlandasan filosofisnya. Landasan filosofis inimenjadikan
ilmu masih tetap pada hakekat
keilmuannya. Ilmu sebabagi bidang yangotonom tidak bebas nilai. Ia selalu berkaitan dengan
nilai-nilai etika terutama dalam penerapan ilmu. Etika sebagai salah satucabang dalam filsafat
akan memberikan arahan (guiedence) bagi gerak ilmu,sehingga membawa kemanfaatan bagi
manusia.
1.B
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejauh mana peranan hukun sebagai pembaharuan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai instrumen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum tentunya tidak
dapat dipisahkan dalam pembangunan masyarakat kearah yang lebih baik. Maka dari itulah,
hukum di harapkan mampu mengarahkan atau merekayasa kemana arah peradaban yang
hendak di tuju oleh negara. Tidak semata-mata tumbuh dan berkembang sesuai dengan
kondisi atau keinginan masyarakat tanpa ada kontrol dari negara. Seiring dengan
perkembangan zaman, kajian-kajian kritis tentang hukum nasional kitapun terus berkembang.
Dan filsafat hukum menjadi salah satu objek kajian filosofis tentang hukum.
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani: philein (mencintai) dan sophia (kebijaksanaan).
Jadi, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Pythagoras, salah satu murid
Plato, memahami sophia sebagai “pengetahuan hasil kontemplasi” untuk membedakannya
dari keterampilan praktis hasil pelatihan teknis yang dimiliki dalam dunia bisnis dan para
atlet. Dengan demikian, dalam belajar filsafat kita berusaha mencari pengetahuan atau
kebenaran dan bukan pengetahuan dalam arti keterampilan praktis.
Filsafat hukum bukan sesuatu yang sulit untuk di pahami, sebagaimana kita memahami atau
merenungkan tentang pengertian filsafat. Menurut Prof. Dr. D.H.M Meuwissen guru besar
Universitas Gronigen Belanda. Filsafat hukum adalah filsafat. Oleh karena itu, ia
merenungkan semua masalah fundamental dan masalah yang termarginalkan yang berkaitan
dengan gejala hukum. Sedangkan menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H. (2000: 48)
memberikan definisi filsafat hukum sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-
pertanyaan mendasar dari hukum. Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum.
Dikemukakan dalam ilmu ini tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
Dari pengertian filsafat hukum di atas, jelaslah bahwa filsafat hukum bukanlah sesuatu hal
yang sulit untuk di lakukan. Kita di tuntut hanya untuk merenungkan persoalan-persoalan
fundamental atau merginal dalam kehidupan sosial yang menimbulkan gejala hukum. Maka
ketika kita telah melakukan perenungan tersebut seketika itu juga kita telah dapat di katakan
sedang berfilsafat hukum.
Setelah memahami tentang esensi dari filsafat hukum, maka berfilsafat hukum tentulah dapat
di katakan sangat berkaitan dengan hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan
masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering). Tentang bagaimana mewujudkan Social
Engineering (Rekayasa Sosial), telah di kemukakan oleh Recoe Pond (1870-1964).
Rescoe Poun menyatakan bahwa hukum adalah sebagai alat untuk membangun masyarakat.
Namun, dengan membuat penggolongan atas kepentingan yang harus di lindungi, yakni
kepentingan umum (Public Interest), kepentingan sosial (Social Interest), dan kepentingan
masyarakat (Privat Interst).
Apa yang telah di kemukakan oleh Rescoe Poun sudah seharusnya menjadi solusi bagi
pembangunan dan pembaharuan masyarakat Indonesia saat ini. Hukum yang Identik dengan
kepentingan penguasa sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat, baik secara umum
maupun pribadi. Kondisi hukum di Indonesia saat ini amatlah memprihatinkan, permasalahan
hukum timbul dari sudut pandang manapun. Di lihat dari sudut pandang Teori dan Politik
Hukum, produk hukum kita cenderung pada kepentingan kekuasaan. Produk hukum kita yang
sering kali di terpa isu hukum yakni konflik norma, kekaburan norma dan kekosongan norma,
membuat hukum kita tidak lagi mampu menjadi alat untuk membangun masyarakat. Belum
lagi di lihat dari segi penerapan serta penegakannya yang amburadul, dalam hal penegakan
dan penerapan hukum seharusnya dapat menjadi tumpuan terwujudnya tujuan hukum yakni
kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan malah menjadi alat
untuk mencidrai tujuan hukum itu sendiri. Sehingga kedaulatan hukum di pertaruhkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di alam demokrasi ini.
Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo (1986: 170-171), langkah yang diambil dalam
social engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan
pemecahannya, yaitu :
2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal; social
engineering itu hendak terapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk,
seperti : tradisional, modern, dan pencernaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sector
mana yang dipilih;
3. Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk bisa
dilaksanakan.
Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hukum di Indonesia tidak cukup berperan
sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pemikiran ini oleh
sejumlah ahli hukum Indonesia disebut-sebut sebagai mahzab tersendiri dalam filsafat
hukum, yaitu Mahzab Filsafat Hukum Unpad.
Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Mochtar dimaksudkan untuk tujuan praktis,
yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial-ekonomi. Ia juga
melihat, urgensi penggunaan pendekatan sosialogis dengan mengambil model berpikir Pound
ini, lebih-lebih dirasakan oleh Negara-negara berkembang daripada Negara-negara maju. Hal
itu tidak lain karena mekanisme hukum di negara-negara berkembang belum semapan di
Negara-negara maju.
Hukum dalam konsep Mochtar tidak diartikan sebagai alat tetapi sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban
dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan
dianggap dan bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan
manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Untuk itu
diperlukan saran berupa peraturan hukum yang berbentuk tertulis (baik perundang-undangan
maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum
yang lain dalam masyarakat sebenarnya, Konsep Mochtar ini tidak hanya dipengaruhi oleh
Sociological Jurisprudence, tetapi juga oleh Pragmatic Legal Realism.
Lebih jauh lagi, Mochtar (1976:9-10) berpendapat bahwa pengertian sarana lebih luas dari
pada alat (tool). Alasannya di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses
pembaruan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibanding dengan Amerika Serikat, yang
menempatkan yurisrudensi (khususnya putusan Supreme Court) pada tempat lebih penting,
konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dari penerapan
legisme sebagaimana pernah dirasakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada
sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu,
dan apabila hukum di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima resmi
sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Mochtar (1976:10), kemudian menegaskan, dari uraian diatas kiranya jelas bahwa walaupun
secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan hukum dan perundang-
undangan (reschts politik) sekarang ini diterangkan menurut istilah atau konsepsi-konsepsi
atau teori masa kini yang berkembang di Eropa dan di Amerika Serikat, namun pada
hakekatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan kebutuhan
yang mendesak dan dipengaruhi faktor-faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan
bangsa kita.
Meskipun Mochtar menegaskan, bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto (1994:232-233), Mochtar
tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat pribumi harus
dilestarikan seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa pemerintah kolonial. Kebijakan
anti-acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan apa-apa, sedangkan introduksi hukum
Barat dengan tujuan-tujuan yang terbatas pun kenyataannya hanya berdampak kecil untuk
proses modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk itu, Mochtar mengusulkan agar
pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah tidak secara tergesa-gesa dan terlalu
pagi membuat keputusan : hendak hukum colonial berdasarkan pola-pola pemikiran Barat,
ataukah untuk secara a priori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional.
Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum nasional, Mochtar
menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian terlebih dahulu untuk menentukan bidang
hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang dibiarkan berkembang sendiri.
Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang tidak netral, pembangunannya
diupayakan sedekat mungkin berhubungan dengan budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di
sisi lain, untuk bidang hukum lain, seperti kontrak, badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur
melalui hukum perundang-undangan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral seperti
komunikasi, pelayaran, pos dan telekomunikasi model yang telah dikembangkan dalam
system hukum asing pun dapat saja ditiru.
Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa ide Mochtar tentang kodifikasi dan unifikasi
hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi yang terbatas secara selektif pada hukum yang
tidak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan spiritual rakyat (setidak-tidaknya untuk
sementara ini), telah menjadi bagian dari program kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional
bertahun-tahun lamanya.Ide law as a iool of social engineering ini rupanya baru ditujukan
secara selektif untuk mengfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional
saja, dan tak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek
kehidupannya. Ide seperti ini tentu saja bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Orde
Baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan netral yang
juga hukum ekonomi, tanpa melupakan tentu saja hukum tatanegara manakala sempat
diselesaikan dengan hasil baik akan sangat diharapkan dapat dengan cepat membantu
penyiapan salah satu infrastruktur politik dan ekonomi.
Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak semua ahli
hukum sependapat dengan perkembangan hukum nasional dengan cara mengembangkan
hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam kehidupan internasional,
dengan maksud untuk memperoleh sarana yang berdayaguna membangun infrastruktur
politik dan ekonomi nasional dengan membiarkan untuk sementara infrastruktur social
budaya yang tidak netral atau belum dapat dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju
berpendapat, upaya demikian terlalu menyimpang dari tradisi.
Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada
kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu (colonial) ke yang kini (nasional). Golongan
kedua adalah mereka yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar dan berangkat dari
hukum rakyat yang ada, yaitu hukum adat. Dengan mengutip John Ball dalam bukunya
berjudul Indonesian Law Commentary and Teaaching Materials (1985) dan The Struggle or
National Law in Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-tokoh Pengacara di
Jakarta,seperti Adnan Buyung Nasution Sulistio, dan Thiam Hien. Golongan kedua,
merupakan kelanjutan dari gerakan yang telah berumur tua, sudah kehilangan pencetus-
pencetus ide barunya yang mampu bersaing. Beberapa nama yang dapat disebut adalah
(almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesnoe.
Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebenarnya disadari
sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengatakan bahwa pembinaan hukum
nasional secara menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah (problem areas), yaitu: 1)
Inventarisasi dan kepustakaan hukum, 2) Media dan personil (unsure manusia), dan 3)
perkembangan hukum nasional. Kelompok masalah ketiga, perkembangan hukum nasional,
dapat dibedakan dalam dua masalah, yaitu 1) Masalah pemilihan bidang hukum mana yang
hendak dikembangkan, dan 2) Masalah penggunaan model-model asing.
Masalah pertama dapat diatasi dengan menggunakan berbagai ukuran (kriterium),
yaitu : 1) Ukuran keperluan yang mendesak (urgent need), 2) feasibility, dalam hal ini bidang
hukum yang terlalu mengandung komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan, dan sosiologis,
akan ditangguhkan pengembangannya, 3) Perubahan yang pokok (fundamental change), yang
maksudnya, perubahan (melalui perundangan-undangan) di sini diperlukan karena
pertimbangan-pertimbangan politis,ekonomis dan/atau sosial. Menurut Mochtar (1975:13),
perubahan hukum demikian sering diadakan oleh Negara-negara bekas jajahan dengan
pemerintah yang memiliki kesadaran politik yang tinggi. Bidang hukum yang biasanya
dipilih adalah hukum agraria, perburuhan, hukum-hukum mengenai pertambangan dan
industri. Di mana ada keinginan untuk menarik penanaman modal asing maka akan ada
tarikan antara keinginan demikian dengan keinginan untuk mengadakan perubahan dasar
(fundamental change) dalam perundang-undangan yang ditinggalkan pemerintah kolonial
yang menempatkan pemerintah yang bersangkutan dalam kedudukan yang tidak murah.
Masalah kedua adalah penggunaan model-model (hukum) asing. Walaupun ada kalanya
menguntungkan untuk menggunakan model-model hukum asing, namun seperti disinggung
di muka, Mochtar menyadari bahwa penggunaan model-model tersebut dapat mengalami
hambatan. Untuk itu harus dipertimbangkan apakah pemakaian menggunakan wujud semua
(adoption) atau dalam bentuk yang sudah diubah (adoption).
Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti yang telah dipaparkan,
konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat merupakan konsep pembangunan
(atau pembinaan) hukum yang paling tepat dan relevan sampai saat ini. Masalahnya terletak
pada seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan baru (dalam bidang-bidang
hukum yang dianggap netral) telah diantisipasi dampaknya bagi masyarakat secara
keseluruhannya. Ada tiga catatan yang dapat diberikan sebagai pelengkap.Pertama, harus
disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu system, yang keseluruhannya tidak
lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu, pengembangan satu bidang
hukum juga akan berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai contoh,
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan
masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebutkan sebagai bidang yang
netral.Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial seringkali
menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Sebagai contoh, pembentukan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sesungguhnya
dapat dilihat dalam konteks ini. Produk hukum tersebut dapat dikatakan sebagai wujud social
engineering untuk mengarahkan masyarakat Indonesia dari kebiasaan tidak disiplin berlalu
lintas menjadi berdisiplin. Kendati demikian, kondisi yang ideal seperti yang diharapkan oleh
undang-undang tersebut rupanya terlalu jauh dari kenyataan sosial yang ada. Masyarakat
merasa belum siap untuk mengikuti instrument hukum itu. Akibatnya, stabilitas social
(bahkan politik) terganggu. Sebagai pemecahannya, diberikan beberapa konsensi kepada
masyarakat dengan menerapkan isi undang-undang itu secara bertahap, yang sebelumnya
tidak pernah dibayangkan akan terjadi.
Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan hukum
tertulis karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep ini
memerlukan peranan aparat penegak hukum yang professional, untuk memberi jiwa pada
kalimat-kalimat tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Aparat hukum, khususnya
hakim, harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti
diamanatkan dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian menggunakan nilai-nilai yang baik
dalam rangka menerjemahkan ketentuan hukum yang berlaku.
Sebagai negara hukum, hukum hendaknya di lihat sebagai satu kesatuan sistem yang
terintergritas dan saling berhubungan. Meskipun pengertian negara hukum dalam UUD 1945
sangat subyektif. Bila dalam berbangsa pembuatan hukum cenderung lebih dominan dari
pada penegakan hukum, maka hukum akan mengalami ketimpangan dalam membangun
masyarakat dan negara.
Hukum sebagai satu kesatuan sistem, maka di dalamnya terdapat elemen kelembagaan,
elemen kaidah, elemen perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban
yang di tentukan oleh norma/aturan. Ketiga elemen sistem hukum tersebut mencakup:
3) Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum. Biasanya kegiatan ini di sebut sebagai
kegiatan penegakan hukum. Selain itu ada pula kegiatan yang sering di lupakan orang;
4) Pemasyarakatan dan pendidikan hukum; dan
Prof. Jimly menjelaskan bahwa keseluruhan dari kegiatan diatas di jalankan melalui tiga
fungsi kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam keseluruhan komponen,
elemen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain
itulah tercakup pengertian sistem hukum yang harus di kembangkan dalam kerangka Negara
Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Jelaslah bahwa, ketiga fungsi lembaga kekuasaan tersebut diatas harus berperan aktif dan
bertanggung jawab dalam menjadikaan hukum sebagai alat pembangunan serta pembaharuan
masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat, budaya hukum yang baik harus tumbuh dan
berkembang di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga negara hukum yang tertuang
dalam UUD 1945 dapat benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
kita.
Namun, lain lagi dengan apa yang di kemukakan oleh Von Savigny yang mengatakan bahwa
“ hukum berubah jika masyarakatnya berubah”. Teori ini sepintas terkesan membiarkan
hukum tumbuh dan berkembang secara alami di tengah kehidupan masyarakat. Namun,
sebenarnya implisit di dalamnya bahwa hukum itu di pengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di
luarnya termasuk oleh sub sistem politiknya.
Teori hukum merupakan landasan teoristis dalam proses pembuatan hukum. Kajian teori
hukum lebih pada hukum sebagai proses, bukan hukum sebagai produk. Proses yang di
maksudkan, bisa saja proses pembuatan hukum yang ideal, dan proses penegakan hukum
yang ideal. Pada proses pembuatan hukum nasional kita, teori hukum di interpretasikan
kedalam politik hukum kita yang mengandung rechts idea tentang keadilan serta
perlindungan terhadap segenap rakyat Indonesia.
Sebagai bangsa yang multi etnik, pembentukan serta penegakan hukum nasional kita tentulah
tidak mudah untuk di lakukan. Banyak faktor yang harus di pertimbangkan agar hukum dapat
di terima oleh seluruh lapisan masyarakat, misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan
lain-lain. Maka, dalam pembentukan hukum hendaknaya hukum yang di bentuk adalah
pruduk hukum yang responsif, yakni hukum yang dapat merespon setiap kepentingan
masyarakat.
Dalam pembentukan hukum yang responsif ada empat syarat mutlak yang harus terpenuhi,
yakni:
4. Pembentukannya haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di rumuskan dalam aturan
harus dapat mengantisipasi munculnya konflik di tengah masyarakat.
Produk hukum yang responsiflah yang dapat di jadikan sarana untuk membangun
masyarakat. Namun, dalam prakteknya produk hukum kita jauh dari produk hukum yang
responsif. Kebanyakan produk hukum Indonesia bersifat represif. Banyak Undang-Undang
yang di bentuk berpihak pada kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekuasaannya.
Contohnya UU tentang Partai Politik, UU Ormas, dan lain-lain.
Pembentukan hukum yang responsif tidaklah mudah untuk di lakukan di tengah keberagaman
karakter masyarakat Indonesia. Namun, Indonesia harus tetap optimis dalam hal menjadikan
hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat. Dengan ideologi
Pancasila, dan amanat konstitusi UUD 1945 seharusnya Indonesia telah dapat menjadikan
hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Namun, dalam
prakteknya hukum kembali tunduk dengan penguasaan atas kepentingan politik penguasa.
Persoalan dalam pembentukan hukum jelas akan berimbas pada proses penegakan hukum.
Kalau, melihat penegakan hukum di Indonesia saat ini, Indonesia belum pantas di katakan
sebagai negara yang berdaulat dalam hukum. Dalam hal penegakan hukum, bangsa ini selalu
mengalami persoalan diskriminatif terhadap keadilan yang merupakan tujuan hukum.
Seharusnya proses penegakan hukum merupakan instrumen penting dalam hal mencapai
tujuan hukum, yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban.
Dalam penegakan hukum Friedman dalam teorinya “ Three Elements Of Legal System”
mengemukakan bahwa ada tiga unsur yang sangat menentukan dalam penegakan hukum,
yakni :
1. Legal Structure (Pranata Hukum)
2. Legal Subtance (Subtansi Hukum)
3. Legal Culture (Budaya Hukum)
Ketiga elemen yang di maksudkan oleh Friedman adalah saling ketergantungan dalam hal
agar hukum dapat di tegakkan. Budaya hukum yang baik, subtansi hukum atau produk
hukum yang baik, serta pranata hukum yang baik menjadi syarat agar hukum dapat di
tegakkan dengan baik.Banyaknya sistem hukum yang menjadi sumber pembentukan hukum
di Indonesia membuktikan bahwa Indonesia kaya dengan khasanah ilmu hukum. Namun,
kesemua sistem yang ada haruslah dapat di terapkan sesuai dengan amanat konstitusi UUD
1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Meskipun pengertian negara hukum dalam
UUD 1945 kita terkesan sangat subyektif.
Dalam hal pembentukan hukum, produk hukum hendaknya dapat melindungi segala macam
bentuk kepentingan, termasuk kepentingan pribadi warga negaranya. Bila dibenturkan
dengan kajian teologis tentang manusia, bahwa manusia di ciptakan sederajat dengan
manusia yang lainnya. Yang membedakan manusia yang satu di hadapan Tuhannya adalah
amalan selama perjalanan hidupnya di muka bumi, bukan pada saat kelahirannya di muka
bumi. Ketika kelahiran manusia di muka bumi, mereka memiliki kesamaan status, yakni
fitrah. Sebagai makhluk yang sederajat, manusia juga memiliki hak dan kewajiban yang
sama antara manusia satu dengan yang lainnya. Seiring dengan perjalan waktu, manusia
tumbuh dan berkembang sebagai makhluk sosial. Di katakan sebagai makhluk sosial tentulah
bukan sebagai makhluk individualistik. Namun , persolan persamaan derajat tetap berlaku
dalam interaksi sosialnya sebagai makhluk sosial. Dalam hal manusia hidup di tengah
komunitas sosial, ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Ketika telah
berbaur dalam sebuah komunitas sosial, persoalan persamaan derajat yang awalnya sangat
individualistik ketika manusia itu lahir (fitrah). Namun, ketika telah menjadi makhluk sosial
yang selalu dalam interaksi sosial dalam komunitasnya, persoalan persamaan derajat dalam
kapasitas sebagai makhluk sosial tentulah harus di maknai sebagai hak untuk saling
menghargai tanpa diskiminatif, atau di sebut dengan Hak Azasi Manusia.
Dalam komunitas sosial, manusia secara individual tetap ingin menjaga hak
kesederajatannya dalam menggapai tujuan hidup dengan manusia lainnya. Namun, dalam
prakteknya manusia tetap saja tidak bisa mewujudkan apa yang di inginkan dalam hidupnya
secara individualistik. Akhirnya, munculah struktur sosial yang membutuhkan kekuasaan
untuk mengatur interaksi sosial manusia.
Kekuasaan tersebut jelas dalam bentuk bagan yang terorganisir. Kekuasaan dalam
bentuk organisasi dapat di peroleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter,
ataupun legitimasi pragmatis yang didasarkan pada sumber kekuasaan tertinggi atau
kedaulatannya. Namun, menurut Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, S.H “kekuasaan berdasarkan
legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan
menusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia
lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan pada ketida legitimasi tersebut akan menjadi
kekuatan yang obsolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah
sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam hal menjalankan
kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legtimasi tersebut bisa
dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter”.
Menurut Prof. Jimly, konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan
mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Namun,
dengan ketentuan bahwa demokrasi harus benar-benar dapat menjadi wadah kedaulatan
rakyat secara utuh.Tidak hanya sekedar berdemokrasi dalam politik, tapi lebih dari itu,
berdaulat dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem negara hukum . Sehingga, barulah
bisa menjadikan hukum sebagai sarana untuk pembangunan dan pembaharuan
masyarakat. Dalam berdemokrasi, kedaulatan tentunya berada tangan rakyat. Demokrasi
hendaknya dapat di praktekkan dalam kedaulatan hukum, hukum sebagai panglima bagi
rakyat. Karena berdemokrasi adalah wadah untuk menampung aktivitas dari interaksi sosial,
dan demokrasi dapat di jadikan sarana untuk menentukan siapa yang akan menjadi pengurus
dari struktur sosial yang ada (negara). Namun sangat di sayangkan, dewasa ini hukum tidak
di beri ruang untuk dapat mengatur interaksi sosial di atas norma-norma yang ada. Sehingga,
demokrasi terkesan berjalan sendiri tanpa arah. Yang jelas, dalam rangka pembanguan dan
pembaharuan masyarakat. Dalam negara hukum, yang seharusnya memerintah adalah hukum,
bukan manusia. Maka dari itulah, negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Supremasi konstitusi merupakan konsekuansi dari konsep negara hukum, sekaligus
merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari perjanjian sosial
tertinggi. Jadi, jelaslah bahwa antara demokrasi dan kedaulatan hukum (Nomokrasi) tidak
dapat di pisahkan. Apa lagi sebagai negara hukum, hukum tentunya di harapkan dapat
menjadi sarana untuk kemajuan demokrasi. Karena demokrasi merupakan salah satu wadah
bagi hukum untuk dapat berperan sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum kita saat ini
tidak sedang berada pada posisi idealnya, sesuai dengan idealnya landasan filosofis dan
teoritis. Namun, sebagai negara hukum yang berdaulat, dengan kemajemukan etnis, suku, dan
ras yang kita miliki, kedudukan hukum kita lebih di tunjukkan oleh suatu sistem hukum yang
terintegrasi dan saling berhubungan dalam sebuah hirraki sebagai negara hukum.
Dalam prakteknya sebagai negara hukum, Indonesia terkesan lebih serius dalam
pembentukan hukum dari pada penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh
banyaknya sistem hukum yang mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia. Bangsa
kita mengalami kesulitan dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum yang benar-
benar dapat melindungi segenap rakyatnya. Ini tentunya di pengaruhi oleh kemajemukan
budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sehingga dalam pembentukan hukum
yang responsif serta aspiratif selalu menemukan kendala, baik dalam pembentukannya ataupu
dalam penegakannya.Bangsa Indonesia memerlukan perhatian khusus dalam hal penegakan
hukum dari produk hukum yang telah di buat. Seperti apa yang di kemukakan oleh Friedman
dalam teorinya Three Elements Of Legal System bahwa dalam penegakan hukum hendaknya
kita memiliki budaya, suntansi, serta pranata hukum yang baik. Namun, dalam prakteknya di
Indonesia ini tentulah tidak mudah untuk di laksanan secara utuh. Menurut Prof.
Johni Najwan bila pranata hukum kita sudah baik, maka penegakan hukum kita sudah
bisa berjalan dengan baik, meskitupn kita memiliki budaya dan subtansi hukum yang kurang
mendukung. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan moral para penegak hukum dalam
menegakan hukum, terutama dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan
pembangunan masyarakat.Dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana untuk pembaharuan
dan pembangunan masyarakat. Hukum di harapkan dapat melindungi segenap kepentingan
rakyatnya. Baik kepentingan umum, sosial, dan pribadi warga negaranya. Begitu juga dalam
pembentukan hukumnya, hendaknya produk hukum yang responsif benar-benar dapat di
wujudkan dalam satu sistem negara hukum kita.
1.c
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan
makna dari filsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-
dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang
bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada
ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing
mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan
dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-
peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil sebagai
fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan
menggunakan standar analisa seperti tersebut di atas. Suatu hal yang menarik adalah, bahwa
“ilmu hukum” atau “jurisprudence” juga mempermasalahkan hukum dalam kerangka yang
tidak berbeda dengan filsafat hukum. Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah nama-nama
untuk satu bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama.
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa
jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan
ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum
yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan
disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak
terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi
dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.
Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam
menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu
membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam beberapa dekade
terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak. Tindakan pengadilan
seringkali tidak bijak karena tidak memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi
memberikan putusan adil pada setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur
yang benar. Perkara diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama
antara pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu
membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah “mafia
peradilan”. Produk hukum telah dikelabui oleh pelanggarnya sehingga kewibawaan hukum
jatuh. Manusia lepas dari jeratan hukum karena hukum yang dipakai telah dikemas secara
sistematik sehingga perkara tidak dapat diadili secara tuntas bahkan justru berkepanjangan
dan akhirnya lenyap tertimbun masalah baru yang lebih aktual. Keadaan dan kenyataan
hukum dewasa ini sangat memprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya
menjadi lalu lintas peraturan, tidak menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang,
menjabar dengan aspirasi dan interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan
kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas
yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu. Hukum hanya
menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit ditemukan arahnya.
Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis partai yang mampu menerobos
hukum dari sudut manapun asal sampai pada tujuan dan target yang dikehendaki.
Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan untuk membangun kondisi
hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum
secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam
kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah
secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna
memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Olehnya itu, dari
ilustrasi latar belakang di atas penulis tertarik megambil judul makalah mengenai hakekat,
pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum.
B. Rumusan Masalah
Adapaun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana hakekat,
pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum ?
BAB II
PEMBAHASAN
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita
sering mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang
berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang,
dia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak
puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi
saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia
juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat
memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama
filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari
hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya
yang disebut dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas
cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan
diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-
kaidah hukum. Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai
hukum in abstracto.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek
Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari
manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum,
dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk
mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah
sesuatu itu adil, benar, dan sah.
Perlu diketahui bahwa pengertian hukum yang akan dikemukakan berangkat dari
pemahaman akan makna dari filsafat hukum. Hubungannya dengan filsafat hukum, maka
tentunya perlu adanya pengetahuan awal mengenai filsafat itu sendiri dan sudah banyak
pengertian tentang filsafat tersebut menurut para filsuf yang memberikan persepsinya
mengenai filsafat, diantaranya :
a. Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
b. Aristoteles, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
c. Al Farabi, filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat yang
sebenarnya.
d. Descartes, filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.
e. Immanuel Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari
segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama,
dan antropologi.
Olehnya itu untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus
mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa
hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku
manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat
hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia. yang disebut dengan etika atau filsafat
tingkah laku.
Dengan demikian, hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu
definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldoom sebagaimana dikutipnya dari
Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum (Noch suchen
die juristen eine Definition zu ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang
dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka
melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai
keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi
dari Rudolf van Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma
yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari
norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum
Indonesia Wirjono Projodikoro (1992) yang menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian
peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan
satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib
masyarakat itu. Selanjutnya O. Notohamidjojo (1975) berpendapat bahwa hukum adalah
keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk
kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua
asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat. Definisi-
definisi tersebut menggambarkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang
hukum itu dilukiskan oleh Pumadi Purbaearaka dan Soerjono Soekanto (1986) dengan
menyebut sembilan arti hukum. Menurut mereka hukum dapat diartikan sebagai: (1) ilmu
pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun seeara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran; (2) disiplin, yaitu suatu sistem ajaran kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi;
(3) norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilakuan yang pantas atau
diharapkan; (4) tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma- norma hukum yang
berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yaitu
pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan dengan penegakan
hukum (Iawenforcement officer); (6) keputusan penguasa, yaitu hasil proses diskresi; (7)
proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari
sistem kenegaraan; (8) sikap tindaktanduk atau perikelakuan "teratur", yaitu perikelakuan
yang diulangulang dengan eara yang sama yang bertujuan untuk meneapai kedamaian; dan
(9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konscpsikonsepsi abstrak tentang apa yang dianggap
baik dan buruk.
Dengan demikian apabila kita ingin mendefinisikan hukum seeara memuaskan, kita
harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu.
Suatu pekerjaan yang tidak mudah! Walaupun hukum dapat didefinisikan menurut sekian
banyak pengertian, tetapi seeara umum hukum dipandang sebagai norma, yaitu norma yang
mengandung nilai-nilai tertentu. Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma,
tidak lalu berarti hukum identik dengan norma. Norma adalah pedoman manusia dalam
bertingkah laku. Dengan demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja dari sekian banyak
pedoman tingkah laku itu. Di luar norma hukum terdapat norma-norma lain. Purbaearaka dan
Soekanto (1989) menyebutkan ada empat norma, yaitu (I) kepereayaan; (2) kesusilaan; (3)
sopan santun; dan (4) hukum. Tiga norma yang disebutkan dimuka dalam kenyataannya
belum dapat mernberikan perlindungan yang memuaskan sehingga diperlukan norma yang
keempat, yaitu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (1991) penyebabnya adalah:
(1) masih ban yak kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan,
tetapi belum mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut; (2) kepentingan-
kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut
belum eukup terlindungi, karena dalam hat terjadi pelanggaran, reaksi atau sanksinya
dirasakan belum eukup memuaskan.
Sebagai contoh, norma kepercayaan tidak memberikan sanksi yang dapat dirasakan
secara langsung didunia ini. Demikian pula jika norma kesusilaan dilanggar, hanya akan
menimbulkan rasa malu atau penyesalan bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan
diadilinya pelaku tersebut, masyarakat mungkin akan merasa tidak aman. Perlindungan yang
diberikan oleh norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma
yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum dikatakan lebih memuaskan
dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum
itu dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan dikenakan sanksi
oleh penguasa. Di sini terlihat betapa erat hubungan antara hukum dan kekuasaan itu.
Kekuasaan yang dimiliki itupun terbatas sifatnya sehingga norma hukum yang ingin
ditegakkannya pun memiliki daya jangkau yang terbatas. Kendati demikian, bukan tidak
mungkin terdapat norma-norma hukum yang berlaku universal dan abadi (tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu), yang oleh sebagian ahli hukum disebut dengan hukum kodrat atau hukum
alam. Dari sini timbul hubungan yang erat antara hukum kodrat dengan hukum positif. Dari
sekian banyak definisi yang ada, menurut Paul Seholten ada beberapa ciri-ciri hukum,
sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja (1990: 79-90) yaitu:
1. Hukum adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan
hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber
hukum.
2. Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalamrealisasinya. Menurut Prof.
Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam suatu negara mencerminkan perpaduan
sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan masyarakat mengenai hukum tersebut.
3. Hukum ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara
wajib untuk menaati hukum sesuai dengan undang-undang.
5. Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan.
Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek filsafat hukum
tentunya mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-
pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari
hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang
demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-
sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang
berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu
dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta
sistem hukumnya sendiri.
B. Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan hakekat, pengertian hukum
sebagai obyek telaah filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya dapat
membedakan yang mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang salah dan mana yang
benar. Utamanya kepada para penegak hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu
sendiri agar tidak terjebak dalam dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga
dengan demikian mereka mampu menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan
keselarasan antara keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum
DAFTAR PUSTAKA
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta,
1996.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.