Anda di halaman 1dari 9

MORALITAS ILMU PENGETAHUAN DAN RELASINYA

DENGAN PROFESI NOTARIS


(FILSFAT ILMU)

Oleh:
Ni Putu Kompiang Ratna Dewi (24_Ni Putu Kompiang Ratna Dewi_2282411050)

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan merupakan salah satu tonggak peradaban manusia. Melalui
Ilmu Pengetahuan, manusia mampu mengubah wajah dunia dari kelaparan,
kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya, dengan kemajuan ilmu
juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman,
pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya.1 Perkembangan kehidupan manusia ke
arah yang lebih baik ini, tidak hanya semata-mata didukung oleh perkembangan ilmu
pengetahuan semata.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersifat netral. Ilmu tidak bernilai baik atau
buruk, tetapi berada di antara keduanya. Ilmu Pengetahuan menghadirkan fakta-fakta
sebagaimana adanya. Einstein mengungkapkan bahwa reaksi antar partikel di dalam
inti atom dapat menghasilkan energi nuklir. Pernyataan ini adalah fakta ilmiah pada
posisi netral. Energi nuklir ini bisa saja dimanfaatkan untuk membuat bom atom
ataupun pembangkit listrik tenaga nuklir. Perkara pengetahuan ini kemudian
diperuntukkan untuk apa, kita tidak lagi bicara haya sebatas tentang ilmu
pengetahuan. Namun, ada peranan moral didalamnya.
Moral sebagai sistem kontrol yang akan menuntun kemana titik 0 (netralitas
ilmu pengetahuan) ini akan dibawa. Jika digeser ke kiri, maka ilmu pengetahuan bisa
saja justru akan menghancurkan kehidupan manusia, jika moralitas mampu
menggesernya ke kanan, maka niscaya kemanfaatan akan dirasakan oleh manusia.
Maka dari itu bicara dan belajar tentang ilmu pengetahuan, tidaklah dapat terlepas
dari nilai-nilai moral.
B. Rumusan masalah
a. Apakah itu Moralitas Ilmu Pengetahuan?
b. Bagaimana relasi moral ilmu pengetahuan dengan Profesi Notaris?

1
Asep Sopian, Nanat Fatah Natsir dan Erni Haryanti, 2022, Tanggung jawab Moral Ilmuan dan Netralitas Ilmu.
JIIP-Jurnal Ilmian Ilmu Pendidikan, 5 (1), hlm 172.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Moralitas Ilmu Pengetahuan


Manusia sebagai makhluk hidup dibekali dengan naluri untuk bertahan hidup.
Sebagai makhluk yang dibekali dengan akal, maka naluri manusia pula bertumbuh,
tindak hanya untuk bertahan hidup, namun juga berkembang untuk selalu mencapai
taraf hidup yang lebih baik. Keinginan ini lah yang mendorong manusia untuk
menggunakan akalnya untuk memperbaiki kualitas hidupnya melalui ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan pada hakikatnya memiliki nilai netral (0), sehingga ilmu
pengetahuan ini bisa terus berkembang.2 Maksud dari Netral ialah, ilmu itu tidak
bernilai baik atau buruk tetapi ilmu itu di antara keduanya. Keberadaan ilmu
pengetahuan hanya menghadirkan fakta dan data. Perkara baik atau buruknya akibat
yang kemudian ditimbulkan oleh suatu ilmu pengetahuan, itu berpulang pada
bagaimana manusia menggunakan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang ada.
Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan pesat, bahkan
melampaui peningkatan nilai etika dan moral.3
Pergerakan Ilmu Pengetahuan dipengaruhi oleh insting manusia. Manusia
sebagai manipulator dan articulator dalam mengambil manfaat dalam ilmu
pengetahuan. Psikologi mengenal konsep diri dan freud menyebutnya sebagai “id”,
“ego” dan “super ego”, “id” adalah bagian kepribadian yang merupakan suatu
dorongan biologis. Dorongan ini berupa hawa nafsu dalam agama dan hasrat-hasrat
yang mengandung dua insting: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan
agresif). “Ego” penyelaras antara “Id” dan realitas dunia luar. “super ego” adalah
polisi kepribadian yang mewakili 7 ideal, hati Nurani.4
Immanuel Kant, salah seorang filsuf yang berasal dari Jerman, memiliki
perhatian khusus tentang moral. Kant berpendapat bahwa ada aturan kesusilaan umum
yang berlaku bagi setiap manusia. Moral bukanlah monopoli agama atau bangsa
tertentu, melainkan bagian dari kekayaan batin manusia yang bersifat universal. Tidak

2
Asep Sopian, Op.cit, hlm 178
3
Endang Daruni Asdi, 1995, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant, Jurnal Filsafat, hlm 9
4
Latif, Mukhtar, 2014, Orientasi ke Arah Pemabahasan Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group, hlm 45

2
dipengaruhi oleh apa saja yang berasal dari luar diri manusia, bahkan agama. Moral
hakikatnya berasal dari dalam diri manusia. Moral memunculkan adanya perasaan
wajib untuk bertindak, sehingga ada kehendak baik yang timbul seolah-olah
memerintah, tetapi tidak pula memaksa. Kant menyebut perintah dari kehendak baik
yang muncul dari dalam diri manusia ini sebagai kategorischer Imperativ (kategori
imperative).5 Kant berpendapat bahwa ada tiga prinsip dasar moralitas, yakni:6
1. Universalitas, suatu tindakan dianggap memiliki nilai moral bila dapat
diterima secara universal dan berlaku objektif.
2. Martabat manusia, tidak boleh menjadikan manusia sebagai alat dalam
kondisi apapun, karena manusia merupakan tujuan dari dirinya sendiri.
3. Otonomi moral, kehendak bebas.

Pandangan ini menunjukkan bahwa moral merupakan suatu entitas yang muncul dari
dalam diri manusia sebagai suatu sistem kontrol internal. Kendati demikian, tidak
dapat dipungkiri nilai moral dalam diri manusia ini juga dipengaruhi oleh latar
belakangnya masing-masing. Agama, budaya, adat dan hukum tempat seseorang lahir
dan tumbuh merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan nilai moral
suatu individu. Maka dari itu, moral tidak lah dapat dikatakan sebagai suatu niai yang
serta merta lahir dari dalam diri manusia dan mengabaikan faktor eksternal yang
sesungguhnya menjadi faktor pembentuk dari moral itu sendiri.
Moralitas manusisa dalam kehidupannya, biasanya dipengaruhi pula oleh
nilai-nilai agama yang diembannya. Misalnya Hindu mengenal sad ripu sebagai 6
sifat buruk manusia yang hendakya bisa dikendalikan. Manusia yang masih tunduk
pada sad ripu atau belum mampu mengendalikan hawa nafsunya, akan cenderung
bergerak dengan ilmu pengetahuan ke arah yang negatif. Ilmu pengetahuan lainnya
misalnya ilmu pengeleakan. Illmu ini sesungguhnya sama dengan ilmu pengetahuan
lainnya yang bersifat netral. Tergantung kemudian kemana akan dibawa oleh orang
yang mempelajarinya. Maka kemudian dikenallan ilmu pengeleakanan penengen dan
pengiwa. Hal ini merupakan contohnyata bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat netral.
Moral manusialah yang kemudian menggerakannya entah untuk merugikan manusia
atau memberikan manfaat untuk kemaslahatan orang banyak.

5
Endang Daruni, Loc.Cit.
6
Ridwan, 2021, Relasi Hukum dan Moral Perspektif (Imperative Categories), Fundamental: Jurnal Ilmiah
Hukum, 10 (1), hlm 25

3
Dalam agama ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa
nafsu). Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka
dapat saja hanya mefungsikan “id” nya, seingga dapat dipastikan bahwa manfaat
pengetahuan diaarahkan untuk hal-hal yang destruktif. 7 Misalnya dalam pertarungan
antara id dan ego, dimana ego kalah sementara superego tidak berfungsi optimal,
maka tentu atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tidak manusia
mejatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan amatlah nihil kebaikan
yang diperoleh manusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang
dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari
kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super ego”nya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar, dan salah.
Yang paling menonjol tentang baik dan kewajiban. keduanya bertalian dengan hati
nurani. Bernaung dibahwa filasafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kuwajiban itu, dengan argument bahwa sesuatu tidak dijalankan berarti
akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika
adalah seperangkat kewajiban tentang kebaikan yang melaksanakanya tidak ditunjuk.
Exekutornya menjadi jelas ketika sang subjek berhadap opsi baik atau buruk yang
baik itulah kuwajiban executor dalam kehidupan ini.

B. Relasi Moral Ilmu Pengetahuan Dengan Profesi Notaris


Notaris dalam bahasa Inggris disebut dengan notary, sedangkan dalam
bahasa belanda disebut dengan van notaris. Notaris mempunyai penaran yang sangat
penting dalam lalu lintas hukum, khususnya dalam bidang hukum keperdataan, karena
notaris berkedudukan sebagai pejabat publik yang mempunyai kewenangan untuk
membuat akta dan kewenangan lainnya. 8 Definisi notaris saat ini telah diatur dalam
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Undang-undang Jabatan
Notaris) yang menyatakan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.”
Dengan demikian, notaris merupakan pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan
7
Wisnu Al Amin dan Maria Ulfa, 2018, Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Moralitas: Analisis Problem dan
Tanggung jawab Keilmuan, Jurnal Peradaban Islam, 14 (1), hlm 28
8
Salim Hs, 2015, Teknik Pembuatan Suatu akta (konsep Teoritis, Kewenangan Notarism Bentuk dan Minuta
Akta, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 33

4
oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk dapat memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam membantu membuat perjanjian, membuat akta
beserta pengesahannya.
Sebagai Pejabat Umum, Notaris wajib berpegang kuat dengan nilai-nilai
etika dan moral yang termuat dalam kode etik. Kode etik notaris dan Undang-Undang
Jabatan Notaris merupakan bukti nyata betapa pentingnya kaidah moral bagi notaris.
Kewajiban notaris yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris sarat akan nilai
moral. Pasal 16 huruf a Undang-undang jabatan notaris menyatakan bahwa dalam
menjalankan jabatannya Notaris wajib:
“bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;”
Profesi notaris merupakan profesi yang terhormat sebagai seorang pejabat umum,
dengan demikian seorang notaris dilarang menjalankan pekerjaannya yang
berbenturan dengan adat istiadat, kaidahkaidah, etika, agama, asasusila, atau
kepantasan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan harkat martabat jabatan
notaris.9
Nilai-nilai yang dimaksud tersbut merupakan nilai-nilai abstrak. Untuk
memahami nilai moral yang dimaksud ini, hendaknya seorang notaris memiliki
pemahaman mengenai prinsip-prinsip moral terlebih dahulu. Sebagaimana dimaksud
oleh Immanuel Kant, mengenai universalitas, martabat manusia dan otonomi moral.
Nilai-nilai ini kemudian diatur untuk menuntun moralitas manusianya, sehingga ilmu
kenotariatan yang bersifat netral itu dapat digiring dan digunakan ke arah yang positif.
Yakni untuk memberi manfaat bagi setiap pihak yang terlibat. Sebagaimana pula yang
dikemukakan oleh Kant bahwa moral adalah seuatu nilai yang hakikatnya berasal dari
dalam diri manusia itu sendiri. Undang-undang jabatan notaris dan kode etik notaris
hanyalah rumusan nilai norma eksternal yang jika dihayati saja baru akan
mempengaruhi nilai moral seorang Notaris. Dilaksanakan atau tidaknya nilai-nilai
tertulis ini akan tetap berpulang pada nilai moral setiap orang yang menjalankannya.
Kesadaran Notaris terhadap eksistensi moral dalam profesinya perupakan
entintas penting yang tidak dapat diabaikan. Notaris sebagai pihak yang menyusun
suatu akta, tentunya memiliki kuasa untuk menuliskan apa saja didalamnya. Misalnya
pasal-pasal di perjanjian hanya dibuat untuk menguntungkan salah satu pihak. Atau

9
Retno Wulandari dan Raden Ibnu Arly, 2022, Tindak Pidana Penipuan oleh Notaris (Ratio Decidendi Putusan
PErkara Pidana Nomor: 2200/Pid.B/2020/PN.Sby), Jurnal Perspektif, 27 (2), hlm 124.

5
dirumuskan berdasarkan keterangan dari salah satu pihak saja, sehingga dalam hal ini
notaris berpihak dalam pembuatan aktanya dan bisa saja merugikan pihak lainnya.
Pengabaian nilai-nilai moral yang dilakukan oleh seorang notaris dalam menjalankan
profesinya niscaya akan membawanya pada berbagai permasalahan. Notaris sebagai
manusia tentu saja memiliki sifat ke angkara murkaan atau hawa nafsu. Hal ini lah
yang mendorong seorang notaris berani untuk mengabaikan nilai moral dalam
menjalankan profesinya.
Pengabaian nilai moral yang dilakukan oleh notaris dapat dilihat dari
banyaknya kasus yang menjerat notaris. Misalnya penggelapan pajak oleh notaris,
perjanjian nominee tanpa penyuluhan hukum yang jelas kepada para pihak, hingga
tindakan menguntungkan salah satu pihak karena diiming-imingi fee yang tinggi.
Masih banyaknya kasus hukum demikian merupakan bukti bahwa adanya Undang-
undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris yang bernafaskan nilai-nilai moral,
belum tentu mampu menjamin bahwa Notaris dalam menjalankan profesinya
berpegang pada nilai-nilai moral.
Penentu utama apakah notaris itu bernilai moral atau tidak, tetaplah berada
dalam diri notaris maising-masing. Undang-undang jabatan notaris dan kode etik
notaris hanyalah sistem kontrol eksternal yang hanya bisa ditegakkan jika orang-orang
yang memiliki kewenangan untuk meneggakknya juga memiliki moral. Sebaik apa
pun suatu sistem dibuat untuk menjaga etika dari suatu profesi, tidak lah ada yang
lebih baik dari sistem kontrol internal.
Maka memahami filsafat ilmu serta relasi antara moral dan ilmu pengetahuan,
merupakan hal yang penting bagi notaris. Agar notaris dalam menjalankan profesinya
tidaklah diseret oleh ego dan hawa nafsunya. Namun dapat dituntun oleh nilai-nilai
moral untuk mendukung terciptanya kemanfaatan untuk para pihak yang hadir
menghadap kepadanya.

BAB III

6
PENUTUP

A. Simpulan
a. Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersifat netral. Moral manusialah yang
menuntun kemana ilmu ini kemudian bergerak. Apakah akan
mendatangkan kehancuran atau justru memberi manfaat bagi umat
manusia.
b. Notaris sebagai profesi yang berpegang teguh pada etika dan moral
hendaknya memahami nilai-nilai moral agar dapat menjalankan profesinya
sebagaimana amanat undang-undang jabatan notaris dan kode etik notaris.

7
DAFTAR PUSTAKA

Asep Sopian, Nanat Fatah Natsir dan Erni Haryanti, 2022, Tanggung jawab Moral Ilmuan
dan Netralitas Ilmu. JIIP-Jurnal Ilmian Ilmu Pendidikan, 5 (1)

Endang Daruni Asdi, 1995, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant, Jurnal
Filsafat, hlm 9

Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi ke Arah Pemabahasan Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia
Group.

Ridwan, 2021, Relasi Hukum dan Moral Perspektif (Imperative Categories), Fundamental:
Jurnal Ilmiah Hukum, 10 (1), hlm 25

Salim Hs, 2015, Teknik Pembuatan Suatu akta (konsep Teoritis, Kewenangan Notarism Bentuk dan
Minuta Akta, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 33

Wisnu Al Amin dan Maria Ulfa, 2018, Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Moralitas: Analisis
Problem dan Tanggung jawab Keilmuan, Jurnal Peradaban Islam, 14 (1)

Anda mungkin juga menyukai