Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nurul Masturoh

NIM : 211410133
Kelas : 3E
Program Studi : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Dosen Pengampu : Ustadz Khoirul Anwar, M.Ag.
E-mail : nurulmasturoh@mhs.ptiq.ac.id

ُ‫الض ََّر ُر يُ َزال‬

“Kemadlaratan harus dihilangkan”

Latar Belakang Kajian

Sebagai seorang muslim tentu kita paham bahwa makanan yang masuk ke dalam tubuh kita
haruslah makanan yang halal dan menghindari yang haram. Mulai dari sumbernya, cara pembuatannya
hingga nafkah yang dipakai untuk membeli bahan makanannya. Karena seorang muslim percaya apa
yang dimakan akan mempengaruhi kehidupan di dunia maupun akhirat. Meski begitu, ternyata islam
memberikan kelonggaran akan hal ini dalam beberapa kondisi.
Pertama, dalil-dalil yang bersumber dari al Qur’an. Darurat dijelaskan dalam al Qur’an pada lima
tempat, yaitu dalam:

1) QS. Al Baqarah/2: 173:

َ ‫ّٰللا‬
ٌ‫غف ُ ْو ٌر َّرحِ ْيم‬ َ ‫َل اِثْ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه ۗ اِنَّ ه‬ ٓ َ َ‫اغ َّو ََل عَا ٍد ف‬ َ ‫ضطُ َّر‬
ٍ َ‫غي َْر ب‬ ِ ‫اِنَّ َما َح َّر َم عَلَ ْيكُ ُم ا ْل َم ْيت َةَ َوال َّد َم َولَ ْح َم ا ْلخِ ْن ِزي ِْر َو َما ٓ ا ُ ِه َّل بِ ٖه ِلغَي ِْر ه‬
ْ ‫ّٰللا ۚ فَ َم ِن ا‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

2) QS al Nahl/16: 115:

‫اغ َّو ََل عَا ٍد فَاِنَّ ه‬


َ َ‫ّٰللا‬
ٌ‫غفُ ْو ٌر َّرحِ ْيم‬ ْ ‫ّٰللا بِ ٖ ۚه فَ َم ِن ا‬
َ ‫ضطُ َّر‬
ٍ َ‫غي َْر ب‬ ِ ‫اِنَّ َما َح َّر َم عَلَ ْيكُ ُم ا ْل َم ْيت َةَ َوال َّد َم َولَ ْح َم ا ْلخِ ْن ِزي ِْر َو َما ٓ ا ُ ِه َّل ِلغَي ِْر ه‬

“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan)
yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barangsiapa terpaksa
(memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sungguh,
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

3) QS al - An’am/6: 119:
‫ِيرا لَّيُ ِضلُّونَ بِأ َ ْه َوآئِ ِهم بِغَي ِْر‬
ً ‫ضطُ ِر ْرت ُ ْم إِلَ ْي ِه ۗ َوإِنَّ كَث‬
ْ ‫علَيْكُ ْم إِ ََّل َما ٱ‬ َّ َ‫ٱَّلل عَلَ ْي ِه َوقَ ْد ف‬
َ ‫ص َل لَكُم َّما َح َّر َم‬ ْ ‫وا ِم َّما ذ ُ ِك َر ٱ‬
ِ َّ ‫س ُم‬ ۟ ُ‫َو َما لَكُ ْم أ َ ََّل ت َأْكُل‬
َ‫علَ ُم ِبٱلْ ُم ْعتَدِين‬ْ َ ‫ِع ْل ٍم ۗ إِنَّ َربَّكَ ه َُو أ‬

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya
kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu
mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang melampaui batas”.

4) QS al - An’am/6: 145:

‫سقًا ا ُ ِه َّل‬
ْ ِ‫س ا َ ْو ف‬ ْ ‫قُ ْل َّ َٓل ا َ ِج ُد ف ِْي َما ٓ ا ُ ْوحِ َي اِلَ َّي ُم َح َّر ًما ع َٰلى طَاع ٍِم يَّ ْطعَ ُم ٗ ٓه ا َّ َِٓل ا َنْ يَّك ُْو َن َم ْيت َةً ا َ ْو َد ًما َّم‬
ٌ ‫سفُ ْو ًحا ا َ ْو لَحْ َم خِ ْن ِزي ٍْر فَاِنَّ ٗه ِر ْج‬
ٌ‫غفُ ْو ٌر َّرحِ ْيم‬ َ َ‫ضطُ َّر غَ ْي َر بَاغٍ َّو ََل عَا ٍد فَاِنَّ َربَّك‬ ْ ‫ّٰللاِ بِ ٖ ۚه فَ َم ِن ا‬
‫ِلغَ ْي ِر ه‬

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati
(bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang
disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan
dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha
Penyayang”.

5) QS al - Maidah/5: 3:

‫سبُ ُع ا ََِّل َما‬ َّ ‫ّٰللاِ بِ ٖه َوالْ ُم ْن َخنِقَةُ َوا ْل َم ْوقُ ْوذَةُ َوا ْل ُمت ََر ِديَةُ َوالنَّطِ ْي َحةُ َو َما ٓ ا َ َك َل ال‬
‫علَ ْيكُ ُم ا ْل َميْت َة ُ َوال َّدمُ َولَ ْحمُ ا ْلخِ نْ ِزي ِْر َو َما ٓ ا ُ ِه َّل ِلغَي ِْر ه‬
َ ْ‫ُح ِر َمت‬
ۗ
‫اخش َْو ِن اَلْيَ ْو َم‬ َ
ْ ‫س الَّ ِذ ْينَ َكفَ ُر ْوا ِمنْ ِديْنِكُ ْم ف ََل ت َ ْخش َْوهُ ْم َو‬ َ ‫ق ا َ ْليَ ْو َم يَ ِٕى‬ۗ
ٌ ‫س‬ْ ِ‫اَل ْز ََل ِۗم ٰذ ِلكُ ْم ف‬ ِ ‫ست َ ْق‬
َ ْ ِ‫س ُم ْوا ب‬ ْ َ ‫ب َوا َنْ ت‬
ِ ‫ص‬ُ ُّ‫ذَ َّك ْيت ُ ۗ ْم َو َما ذُبِ َح عَلَى الن‬
‫غفُ ْو ٌر َّرحِ ْي ٌم‬ ‫غ ْي َر ُمت َ َجانِفٍ ِ َِلثْ ٍٍۙم فَاِنَّ ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ َ ‫ص ٍة‬ َ ‫ضطُ َّر ف ِْي َم ْخ َم‬ ْ ‫س ََل َم ِد ْينً ۗا فَ َم ِن ا‬ ْ ‫اَل‬ِ ْ ‫ا َ ْك َم ْلتُ لَكُ ْم ِد ْينَكُ ْم َواَتْ َم ْمتُ عَلَ ْيكُ ْم ِن ْع َمت ِْي َو َر ِضيْتُ لَكُ ُم‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang
disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah),
(karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa
karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang”.

Di antara darurat yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut ada yang ditegaskan secara
khusus yaitu tentang (‫ )مخمصة‬kelaparan yang parah), sebagaimana yang terdapat dalam QS al
Maidah/5: 3 yang terjemahnya: “Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin
berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” Ayat-ayat al Qur’an
tersebut secara keseluruhan membicarakan mengenai darurat (‫طراض‬ ُ )yang membolehkan untuk
melanggar ketentuan yang dilarang karena untuk memelihara jiwa dari kebinasaan.
Pada saat itu Allah tidak memandang mengenai sebab pengharaman, akan tetapi karena
adanya darurat sehingga dibolehkan untuk memakan makanan yang diharamkan. Meskipun al
Qur’an mengizinkan untuk melakukan sesuatu yang dilarang akan tetapi bukan berarti
kemudahan (kebebasan) yang diberikan ini bersifat mutlak, akan tetapi di sana ada batasan yang
harus diperhatikan, sebagaimana disebutkan dalam QS al Baqarah/2: 173 yang menyatakan
dengan “tidak menginginkannya dan melampaui” (‫) عاد وال باغ غير‬. Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa dalam kondisi darurat, si pelaku tidak mempunyai maksud untuk melakukan
larangan dan melampaui batas, sehingga dia tidak melakukannya ketika mampu menahan diri.

Kedua, dalil-dalil yang bersumber dari hadis.

ْ َ ‫ إِذَا لَ ْم ت‬:َ‫ض ت ُِصيبُنَا بِ َها َم ْخ َمصَةً فَ َما يُحِ ُّل ِمنَ ال َميْتَةِ؟ قَال‬
‫صطَبِ ُحوا َولَ ْم‬ ِ ‫عنْ أَبِ ْي َواقِ ِد اللَّ ْيشِي قَا َل قُ ْلتُ يَا َرسُ ْو َل هللاِ إنَّا بِأ َ ْر‬ َ
‫ت َ ْغت َ ِبقُوا َولَ ْم ت َ ْجت َ ِفت ُوا بَ ْقَلً فَشَأْنُكُ ْم ِب َها‬

Artinya: Dari Abu Waqid, ia berkata; kami bertanya; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
berada di suatu negeri yang penduduknya kelaparan, apakah bangkai menjadi halal bagi kami?”
Beliau bersabda: “Jika kalian tidak dapat memasak, tidak dapat minum di penghujung siang,
dan menemui sayuran apapun, maka makanlah bangkai tersebut”.

Maksud dari kata terpaksa dalam ayat di atas, para ahli hukum islam biasanya membandingkan
antara dua keburukan dan mengatakan keburukan yang paling ringan dibolehkan dan keburukan yang
lebih besar harus dihindari. Ketika dihadapkan dalam keadaan darurat antara kematian atau
mengkonsumsi makanan terlarang, maka mengkonsumsi makanan terlarang menjadi diperbolehkan
karena untuk menghindari kemudaratan yang lebih besar.
Namun Al-Quran tidak memberikan pengecualian selain atas dasar karena kepentingan yang
mendesak atau keterpaksaan. Selain itu, tidak boleh ada keinginan sengaja atau niat untuk melakukan
perbuatan tersebut. Jikalau dalam keadaan darurat, seorang muslim terpaksa memakan makanan
terlarang hanya sebatas mencukupi bagi dirinya untuk bertahan hidup.
Contohnya dalam kondisi di mana ada seseorang yang terjebak di hutan dan tidak
ditemukan makanan di sana. Tubuh pun merasa sangat lapar, sementara yang tersedia di hutan
itu hanyalah babi.
Ada beberapa pendapat uluama tentang hukum memakan babi dengan satu kondisi:
1) Menurut Ustadz Adi Hidayat : "Kalau antum gak makan bisa meninggal. Dalam
kondisi itu antum boleh makan sebagian daging babi. Tapi tidak untuk dinikmati
melainkan untuk menghilangkan rasa lapar,"

Namun, ketika orang tersebut berhasil keluar dari hutan. Dan sudah menemukan bahan
makanan yang halal, seperti daging ayam, kambing, ikan dan lain-lain, maka hukum
diperbolehkan makan babi tidak berlaku lagi.

2) Menurut Ustadz Abdul Somad : Ia mengatakan, "Mati kelaparan apa makan babi? Ya
makan babi itu diperbolehkan,"
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum makan daging babi bagi umat muslim adalah
haram. Namun, jika dalam kondisi darurat, makan daging babi bagi umat muslim
hukumnya diperbolehkan.

ُ‫الض ََّر ُر يُ َزال‬


“Kemadlaratan harus dihilangkan”

Makna Kaidah

Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu yang
turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian di antaranya adalah:
1. Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat di sini adalah ketakutan seseorang pada
bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia
tidak makan.
2. Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat.
3. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan
diri dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
4. Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris
binasa1.

Darurat adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat darurat sekali, maka
dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang. Berdasarkan
pendapat para ulama di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa Dharurah adalah kesulitan
yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia2. Konsepsi kaidah memberikan
pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri
maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang
lain3

1
Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam,http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-
perspektif-islam.html,
2
Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html
3
Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal.17
Batasan dan Hikmah Darurat Pertama, batasan darurat yang memeperbolehkan sesuatu yang
diharamkan. Disebutkan dalam catatan pinggir kitab al Muqni', sesungguhnya darurat itu hanya
yang berkait dengan kekhawatiran terhadap kematian saja. Demikian menurut pendapat yang
shahih. Pendapat yang dikutip dari imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, disebut dalam keadaan
darurat kalau seseorang yakin bahwa nyawanya nyaris terancam melayang kalau sampai ia tidak
mau memakan sesuatu yang haram. Ada yang berpendapat, tidak harus. Seseorang yang takut akan
terjadi resiko pada dirinya saja sudah bisa dikatakan ia dalam keadaan darurat. Menurut Imam
Suyuti, "Darurat ialah posisi seseorang yang sudah berada dalam batas maksimal. Jika ia tidak mau
mengkonsumsi sesuatu yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati, atau khawatir salah
satu anggata tubuhnya bisa celaka. Sedang menurut Wahbah al Zuhaili, syarat-syarat atau batasan-
batasan darurat itu, adalah:

1. Hendaknya darurat itu ada/nyata bukan seuatu yang dinanti, spekulatif, dan
imajinatif. 2. Tidak ada cara lain (yang dibolehkan secara syar’i) untuk menolak
bahaya kecuali menggunakan sesuatu yang diharamkan.
2. Terpenuhi ‘uzur yang membolehkan melakukan sesuatu yang diharamkan.
3. Tdk menyalahi prinsip-prinsip Islam. Maka tidak dibolehkan berzina, membunuh,
kafir, dan mengambil secara paksa (kehormatan atau harta) apapun situasinya.
4. Keringanan melakukan sesuatu yang diharamkan hanya sampai kepada
kemampuan untuk bertahan. Darurat Membolehkan yang Dilarang JURNAL
PILAR Volume 11, No. 2, Tahun 2020 | 34
5. Bertanya kepada ahli yang adil, dipercaya agama, dan ilmunya jika terpaksa harus
melakukan pengobatan yang tidak ditemukan obat yang halal kecuali yang
diharamkan dalam agama. Kedua, hikmah darurat. Darurat adalah rahmat Allah
bagi hamba-hamba-Nya, jika Dia mensyariatkan beberapa ketentuan hukum yang
dapat menerangi jalan mereka dalam urusan-urusan dunia dan akhirat. Begitu juga
untuk menghilangkan kesempitan dari orang-orang mukallaf. Dan menjaga
keselamatam nyawa orang yang bersangkutan.

Kesimpulan

 Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu
yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian di antaranya adalah:
1. Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat di sini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang
mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan.
2. Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat.
3. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri dari
dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
4. Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia
tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
 Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus
dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:

‫ضرار‬
ِ ‫الضرر وال‬
“Tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan”

 dalam kondisi di mana ada seseorang yang terjebak di hutan dan tidak ditemukan
makanan di sana. Tubuh pun merasa sangat lapar, sementara yang tersedia di
hutan itu hanyalah babi maka di perbolehkan dalam kemudharatan.

Referensi

Djazuli, Fiqh Siyasah. Cet. II; Jakarta: Prenada Media, 2003 M


Alim, Nur, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-
Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Washil, Nashr Farid Muhammad, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, Jakarta: Amzah, 2009

Anda mungkin juga menyukai