Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PRAKTIKUM

BLOK HEMATOIMUN
“PATOLOGI ANATOMI SISTEM HEMATOIMUN”

Disusun Oleh :

Nama : Richa Baqiyatush sholihah


Kelas : B
NIM : 021.06.0089
Tutor : dr. Hilda Santosa, Sp. PA
dr. Herlina Eka Shinta, M. Biomed, Sp. PA

LABORATORIUM TERPANDU 1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
TAHUN AJARAN 2022/2023

1|P a g e
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
Nya penyusun dapat melaksanakan dan menyusun laporan praktikum histologi yang berjudul
“Praktikum Patologi Hematoimun” tepat pada waktunya. Laporan ini penulis susun untuk
memenuhi prasyarat sebagai syarat nilai praktikum histologi dan syarat mengikuti ujian praktikum
Patologi Anatomi. Dalam penyusunan laporan ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

1. dr. Hilda Santosa, Sp. PA dan dr. Herlina Eka Shinta, M. Biomed, Sp. PA selaku dosen
pembimbing praktikum patologi anatomi kelompok penulis.
2. Bapak/Ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar yang telah memberikan masukan terkait
laporan yang penulis buat.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman lebih
lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 26, November, 2022

Richa Baqiyatush Sholihah

2|P a g e
DAFTAR ISI

LAPORAN PRAKTIKUM ............................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3

BAB I .............................................................................................................................................. 4

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4

1.1 LATAR BELAKANG ........................................................................................................... 4

1.2 TUJUAN ................................................................................................................................ 5

1.3 MANFAAT ........................................................................................................................... 5

BAB III ......................................................................................................................................... 22

METODE PRKATIKUM ............................................................................................................. 22

3.1 Waktu dan Tempat Praktikum ............................................................................................. 22

3. 2 Alat dan Bahan ................................................................................................................... 22

3.3 Cara Kerja ............................................................................................................................ 22

IV .................................................................................................................................................. 23

HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................................................... 23

4.1 HASIL ................................................................................................................................. 23

4.2 PEMBAHASAN .................................................................................................................. 25

BAB V .......................................................................................................................................... 39

PENUTUP..................................................................................................................................... 39

5.1 KESIMPULAN ................................................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 40

3|P a g e
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Patologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit dan proses terjadinya suatu penyakit. lstilah
patologi berasal dari bahasa Yunani yaitu pathos yang berarti emosi, menderita atau gairah,
sedangkan ology artinya ilmu. Ilmu patologi disebut sebagai ilmu yang paling mendasar dalam
dunia kedokteran. Patologi akan membantu dokter mendiagnosis berbagai jenis penyakit yang
diderita pasien. Selain itu, patologi juga diperlukan dalam menentukan penyebab dan tingkat
keparahan suatu penyakit, memutuskan langkah pencegahan dan pengobatan yang tepat, serta
memantau efektivitas pengobatan yang telah diberikan . Patologi dapat menganalisis penyakit
yang disebabkan oleh karena ada perubahan struktur dan fungsi sel dan jaringan tubuh. Tujuan
utama patologi yaitu mengidentifikasi penyebab penyakit untuk memberikan petunjuk penentuan
program pencegahan, pengobatan dan perawatan terhadap pasien. Perubahan perubahan sel yang
diamati melalui mikroskop memberikan pengetahuan tentang penyakit yang terjadi pada
seseorang. Perubahan tersebut dapat menyebabkan kelainan struktur dan gangguan fungsi tubuh
yang berwujud penyakit (Tim Redaksi, 2020) (Cut, Sriyanti ,2018)
Patologi Anatomi merupakan ilmu yang mempelajari kelainan struktur dan fungsi pada
penyakit dan hubungan kelainan dengan gejala klinis. Menelaah morfologi sel, jaringan dan organ
pada penyakit, melalui metode makroskopik dan mikroskopik, yang berfungsi sebagai sarana
diagnostik, dasar tindakan/ pengobatan klinis. Pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan terhadap jaringan tubuh dan cairan yang berasal dari tubuh manusia,
serta menggunakan metode tertentu untuk mendapatkan diagnosis atau kelainan yang diderita.
Bahan pemeriksaannya berupa biopsi, biopsi aspirasi, sitologi, operasi (Abbas, A.K., Aster, 2019).
Hematologi merupakan salah satu ilmu kedokteran yang mempelajari tentang darah dan
jaringan pembentuk darah. Darah merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi
tubuh manusia karena di dalamnya terkandung berbagai macam komponen, baik komponen cairan
berupa plasma darah, maupun komponen padat berupa sel-sel (Wulandari, 2019)
Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi, termasuk didalamnya
sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan organ lain
karena berbentuk cairan. Darah merupakan medium transport tubuh, volume darah manusia sekitar

4|P a g e
7%-10% berat badan normal dan berjumlah sekitar 5 liter. Keadaan jumlah darah pada setiap orang
itu berbeda-beda bergantung pada usia, pekerjaan, serta keadaan jantung atau pembuluh darah
(Wulandari, 2019)
Imunitas didefinisikan sebagai pertahanan terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi.
Kumpulan sel-sel, jaringan dan molekul-molekul yang berperan dalam pertahanan infeksi disebut
sistem imun, sedangkan reaksi terkoordinasi sel-sel dan molekul tersebut dalam pertahanan
terhadap infeksi, disebut sebagai respons imun. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem
imun, termasuk respons terhadap rnikroba patogen, dan kerusakan jaringan serta peranannya pada
penyakit. Fungsi fisiologis sistem imun yang paling penting adalah mencegah serta membasmi
infeksi (Abbas, A. K., Lichtman, A. H., and Pillai, S. 2021)
Imunohematologi merupakan ilmu yang mempelajari reaksi antigen (Ag) dan antibodi
(Ab)pada sel darah, khususnya sel darah merah. Ilmu ini tidak hanya mencakup imunologi dan
hematologi saja, melainkan terdapat juga ilmu lain seperti, genetika, biokimia dan biomolekuler.
Pada prakteknya, imunohematologi diaplikasikan pada bidang pelayanan transfusi darah. Konsep
imunohematologi yang digunakan dalam bidang pelayanan transfusi darah adalah pemeriksaan
sebelum transfusi (pre-transfusi test) dan mendeteksi adanya reaksi transfusi yang ditandai adanya
Ab terhadap sel darah. Selain pada proses transfusi, kondisi lain yang dapat mencetus Ab terhadap
sel darah adalah proses kehamilan. (Maharani,2018)

1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan mengidentifikas histopatologi dari sel/jaringan/ organ endokrin
2. Untuk menjelaskan struktur mikroskopik serta mengaitkan struktur tersebut dengan
histopatologinya.
1.3 MANFAAT
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan mengidentifikas histopatologi dari sel/jaringan/ organ
endokrin
2. Mahasiswa mampu menjelaskan struktur mikroskopik serta mengaitkan struktur tersebut
dengan histopatologinya

5|P a g e
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Limfatik
Sistem limfoid adalah tempat proliferasi, diferensiasi, serta berfungsinya limfosit dan fagosit
mononuklear (monosit dan makrofag). Organ-organ limfoid dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
organ limfoid primer dan organ limfoid sekunder. Organ limfoid primer mencakup timus (tempat
proses pematangan limfosit B) dan sumsum tulang (tempat proses pematangan limfosit T). Organ
limfoid sekunder mencakup limpa, kelenjar getah bening, tonsil dan plak Peyer pada usus halus.
Semua organ limfoid tersebut adalah penghubung antara sistem hematologi dan sistem imun.
Fungsi sitem limfatik adalah sebagai berikut:
1. Sistem limfatik mengembalikan kelebihan cairan jaringan yang keluar dari kapiler. Jika
cairan tidak dikeluarkan, maka cairan tersebut akan terkumpul dalam ruangan intertisial
dan mengakibatkan edema. (Sherwood L.2019) (Tortora, 2021)
2. Sistem limfatik juga mengembalikan protein plasma ke dalam sirkulasi. Setiap protein
plasma yang keluar dari kapiler menuju ruang antar jaringan diabsorbsi ke dalam pembuluh
limfe. Jika proteindibiarkan terakumulasi, maka tekanan osmotik cairan intertisial akan
meningkat. (Sherwood L.2019) (Tortora, 2021)
3. Pembuluh limfatik khusus mentranspor nutrien yang terabsorpsi, terutama lemak dari
sistem pencernaan ke dalam darah. (Sherwood L.2019) (Tortora, 2021)
4. Sistem limfatik mengeluarkan zat-zat toksik dan debris selular dari jaringan setelah infeksi
atau kerusakan jaringan. (Sherwood L.2019) (Tortora, 2021)
5. Sistem limfatik mengendalikan kualitas aliran cairan jaringan dengan cara menyaringnya
melalui nodus-nodus limfe sebelum mengembalikannya ke sirkulasi. (Sherwood L.2019)
(Tortora, 2021)

Gambar 2. kapiler limfe, Sumber : Tortora, 2021

6|P a g e
Pembuluh limfe berasal dari kantong tertutup mikroskopik yang disebut kapiler limfatik.
Kapiler limfatik berukuran lebih besar dan lebih tidak beraturan dibandingkan kapiler darah, tetapi
struktur dasarnya sama. Kapiler limfe berbentuk seperti tasbih karena mempunyai banyak katup
sepanjang perjalanannya. Pembuluh limfe aferen adalah pembuluh limfe yang membawa limfe
masuk ke kelenjar limfe dan pembuluh limfe eferen adalah pembuluh limfe yang membawa limfe
keluar dari kelenjar limfe. Pembuluh limfe khusus di vili usus halus yang berfungsi untuk
mengabsorpsi lemak disebut lacteal vili. (Sherwood L.2019) (Tortora, 2021)

Gambar 3. kelenjar getah bening, Sumber : Tortora, 2021


Limfe adalah cairan jaringan yang diabsorpsi ke dalam pembuluh limfatik. Limfe mirip dengan
plasma tetapi dengan kadar protein yang lebih sedikit. Kelenjar limfe (kelenjar getah bening)
adalah struktur berbentuk oval atau menyerupai buncis/ kacang polong yang berukuran antara 1
mm sampai 20 mm. Korteks adalah bagian terluar suatu kelenjar, medula adalah bagian dalamnya.
(Sherwood L.2019) (Tortora, 2021)
Saluran limfe
Terdapat dua saluran limfe utama, duktus torakikus dan duktus limfatikus dextra. Duktus
torakikus atau duktus limfatikus sinitra, mengumpulkan cairan limfe dari tubuh bagian tungkai
bawah (kanan kiri), abdomen (kanan kiri), dada kiri, kepala kiri, lengan kiri, kemudian masuk ke
sirkulasi darah lewat vena subclavia sinistra. Duktus limfatikus dextra ialah saluran yang jauh lebih
kecil dan mengumpulkan limfe dari kepala kanan, leher kanan, lengan kanan dan dada sebelah
kanan, dan menuangkan isinya ke dalam vena subklavia dextra yang berada di sebelah bawah

7|P a g e
kanan leher. Jika terjadi infeksi, kelenjar limfe dapat meradang (kelenjar limfe bengkak, merah
dan sakit), proses ini biasa disebut limfadenitis. Limfadenitis menunjukkan adanya infeksi pada
pembuluh limfe (jaringan) di atasnya. Faktor pendorong gerak cairan limfe: (Sherwood L.2019)
(Tortora, 2021)
Pembuluh limfa mirip vena, punya katup yang bergantung pada pergerakan otot rangka untuk
memecah cairan ke arah jantung.
• Perlawanan pertama yang dilakukan tubuh adalah dengan respon immun non spesifik: sel
makrofag dan cairan limfa. Sehingga cairan limfatik mengalir melalui sistem limfatik yang
berfungsi juga dalam sirkulasi sistem immun seluler. (Sherwood L.2019) (Tortora, 2021)
• Karena fungsi dari sistem saluran limfe juga untuk mengembalikan cairan dan protein dari
jaringan kembali ke darah melalui sistem limfatik, maka faktor pendorong gerak cairan
limfe juga dikarenakan adanya cairan yang keluar dari kapiler darah. (Sherwood L.2019)
(Tortora, 2021)

Gambar 4 lokasi kelenjar getah being di daerah kepala dan leher, Sumber : Tortora,
2021
kelenjar limfe (getah bening) menjadi 6 regio, level I – VI, yaitu:
1. Level IA: Submental Level IB: Submandibular
2. Level II: Upper Jugular, terletak di sepanjang vena jugularis bagian atas, tepatnya
dimulai dari dasar tengkorak sampai inferior os hyoid.
3. Level III: Middle Jugular, terletak dari os hyoid sampai kartilago krikoid
4. Level IV: Lower Jugular, terletak dari kartilago krikoid sampai batas atas klavikula

8|P a g e
5. Level V: Posterior Triangel Group (spinal accessory and supraclavicular nodes),
terletak di antara muskulus sternokleidomastoideus dan muskulus trapezius. Level
VA dan VB dipisahkan oleh perpanjangan garis kartilago krikoid
6. Lever VI: Anterior Compartment Group (pretracheal, paratracheal, precricoid),
terletak dari os hyoid sampai ke regio suprasternal. (Paulsen, F dan Waschake J.
2013)

Drainase limfe merupakan organisasi dua area drainase yang terpisah dan tidak sama, yaitu area
drainase kanan dan kiri. Secara normal aliran limfe tidak akan melewati aliran drainase sisi yang
berseberangan. Struktur-struktur dari tiap area akan membawa limfe ke tujuan masingmasing,
kembali ke sistem sirkulasi. Area drainase bagian kanan menerima aliran limfe dari sisi kanan
kepala, leher, bagian lengan kanan, serta bagian kuadran kanan atas tubuh. Aliran limfe dari
daerah-daerah tersebut akan mengalir ke duktus limfatikus kanan yang akan mengalirkan limfe ke
sistem sirkulasi melalui vena subklavia kanan. Area drainase kiri membawa limfe yang berasal
dari sisi kiri daerah kepala, leher, lengan kiri, dan kuadran kiri atas tubuh, tubuh bagian bawah
serta kedua tungkai. Sisterna sili secara temporer menyimpan limfe saat mengalir ke atas dari
bagian bawah tubuh. Duktus torasikus membawa limfe ke atas menuju duktus limfatikus kiri yang
akan mengalirkan limfe ke sistem sirkulasi melalui vena subklavia (Sherwood, L2020).
Limfe atau cairan limfe berasal dari plasma darah arteri yang kaya nutrisi. Pada ujung kapiler
aliran darah melambat sehingga plasma keluar menjadi cairan jaringan yang disebut cairan
interseluler atau interstisial. Cairan jaringan ini membawa nutrien, oksigen dan hormon yang
dibutuhkan oleh sel. Sekitar 90% cairan jaringan kemudian akan mengumpulkan hasil produk
metabolisme sel kembali ke kapiler menjadi plasma sebelum melanjutkan perjalanannya kembali
ke sirkulasi vena. Cairan limfe adalah 10% cairan jaringan yang tertinggal. Jika peran cairan
interstitial membawa nutrisi yang dibutuhkan sel maka peranan limfe adalah membawa produk
metabolisme untuk dibuang. Kapiler limfe sangat permeabel dan mengumpulkan cairan jaringan
dan protein. Limfe terus menerus bersirkulasi sehingga cairan yang tadinya jernih menjadi kaya
protein karena melarutkan protein dari dan antar sel. Kapiler limfe kemudian menyatu membentuk
vasa limfatika yang lebih besar dengan susunan menyerupai vena Pada vasa limfatika tidak
terdapat pompa namun limfe tetap mengalir yang mempercepat aliran balik vena untuk kembali
menjadi plasma (Sherwood, L 2019)
Berapa kelainan pada Sistem Limfe antara lain :

9|P a g e
A. Limfadenopati
Limfadenopati merupakan kondisi dimana nodus limfe (kelenjar getah bening)
mengalami abnormalitas baik dalam hal ukuran (pembengkakan), konsistensi atau jumlah.
Penyebab limfadenopati adalah infeksi (S. aureus, M. tuberculosis), diikuti dengan
keganasan (lymphoma, leukemia, metastasis).
Epidemiologi limfadenopati terjadi pembersaran di daerah leher sering terjadi pada
anak-anak. Sekitar 38% sampai 45% pada anak normal memiliki kelenjar getah bening
daerah leher yang teraba. Dari studi di Belanda terdapat 2.556 kasus limadenopati yang
tidak dapat dijelaskan dan 10% dirujuk kepada subspesialis, 3.2% membutuhkan biopsi
dan 1.1% mengalami keganasan. (Sue E. Huether, 2019)
Etiologi Limfadenopati terjadi ketika kelenjar getah bening membesar atau
membengkak akibat melawan virus dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh. penyebab
limfadenopati dapat disingkat dengan MIAMI yaitu malignasi, infeksi, autoimun,
miscellaneous and unusual conditions dan penyebab iatrogenic. Klasifikasi limfadenopati:
• Limfadenopati lokal (localized/ jika hanya satu regio).
• Limfadenopati generalisata (generalized/ jika lebih dari satu regio). (Sue E.
Huether, 2019)

Manifestasi klinis yang sering terjadi pada penderita Limfadenopati seperti demam
yang berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38,0OC, sering keringat malam, kehilangan
Berat Badan (BB) lebih dari 10% dalam 6 bulan, timbul benjolan di daerah Sub
Mandibular, ketiak dan lipat paha. Gejala pada Limfadenopati atau pembesaran KGB
seperti klien mungkin mengalami gejala Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), merasa
agak lembut kelenjar di bawah kulit di sekitar telinga, di bawah dagu, di bagian atas dari
leher, ada beberapa yang mengalami infeksi kulit, infeksi (mononucleosis atau “mono”
HIV, dan jamur atau parasite infeksi) dan gangguan kekebalan tubuh seperti lupus atau
rheumatoid arthritis. (MEYPRIKA LUCKYNDA PUTRI, 2019)
Patofisiologi Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem
vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe
jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung
kembali kedarah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang
menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan

10 | P a g e
peradangan akut, lapisan pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama
seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan
interstisial yang masuk kedalam pembuluh limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan
akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel dari cairan
limfe juga bertambah dengan cara yang sama. Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-
bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan karena cenderung mengurangi
pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat.
(MEYPRIKA LUCKYNDA PUTRI, 2019)
Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh
limfe dari tempat peradangan primer ketempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini,
misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebaran sering dibatasi oleh
penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang dilalui oleh cairan limfe
yang bergerak menuju kedalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh cairan
limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah.
(MEYPRIKA LUCKYNDA PUTRI, 2019)
Pemeriksaan Fisik dengan inspeksi (nilai lokasi, jumlah, ukuran, konsistensi) palpasi,
(mobilitas nodus limfe, terdapat nyeri tekan atau tidak). Pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan laboratorium, pencitraan bahkan sampai biopsi nodus limfe diperlukan untuk
menegakkan diagnosis spesifik limfadenopati (Sue E. Huether, 2019)
B. Limfadenitis
Limfadenitis adalah radang yang terjadi pada kelenjar limfa karena infeksi, merupakan
suatu reaksi mikroorganisme yang terbawa oleh limfa dari daerah yang terinfeksi ke
kelenjar limfa regional yang kadang-kadang membengkak. Definisi lain menyebutkan
bahwa peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah bening, dap infeksi bakteri,
virus, jamur, atau parasit, yang dapat menyebarkan infeksi ke seluruh sistem limfatik
hanya dalam beberapa jam. (Sue E. Huether, 2019)
1) Limfadenitis non spesifik akut
Bentuk limfadenitis ini mungkin terbatas pada sekelompok kelenjar getah bening
yang mendrainase suatu fokus infeksi, atau mungkin generalisata apabila terjadi
infeksi bakteri atau virus sistemik. (Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2018)

11 | P a g e
Terjadi perubahan didalam kelenjar getah bening, yang bersifat reaktif
(reactive- change) yang biasanya terjadi pada daerah Servical, axillar, inguinal dan
mesenterika. Penyakit ini disebabkan oleh adanya rangsangan antigen,
mikroorganisme, benda asing atau sel debris yang memasuki sirkulasi darah.
Manifestasi klinis yang biasanya timbul seperti limfonodi yang terkena akan
membesar, nyeri jika di tekan dannterasa berfluktuasi dan kulit yang berada
diatasnya sering berwama merah Berhubungan dengan peradangan akut, dimana
terjadi drainage mikroorganisme atau produk mikroorganisme dari daerah
terinfeksi. Paling sering pada kelenjar getah bening: daerah leher (limfadenopati
colli), oleh karena infeksi gigi-geligi atau rongga mulut lainnya dan daerah axilla
atau inguinal oleh karena infeksi ekstremitas (lengan dan tungkai). Limfadenopati
generalisata, sering terjadi pada anakanak oleh karena infeksi virus sistemik
(Tjokroprawiro, A., Poernomo, Setiawan, B., Santoso, D., Soegiarto, G., &
Rahmawati, L. D. 2015)
2) Limfadenitis nonspesifik Kronis
Keadaan ini memiliki tiga pola, bergantung pada aggn penyebabnya: hiperplasia
folikel, hiperplasia limfoid parakorteks, atau histiositosis sinus. Fase ini terjadi
ketika peradangan KGB berlangsung untuk durasi yang lebih lama. Secara khas
kelenjar getah bening yang dipengaruhi oleh kondisi ini tidak menimbulkan rasa
sakit Pembesaran kelenjar getah bening terjadi secara perlahan. Paling sering
nodus aksila dan inguinal adalah kelompok yang dipengaruhi oleh limfadenitis
nonspesifik kronis (Tjokroprawiro, A., Poernomo, Setiawan, B., Santoso, D.,
Soegiarto, G., & Rahmawati, L. D. 2015)
3) Penyakit Cat Scratch
Cat-scratch disegse adalah suatu limfadenitis swa-sirna yang disebabkan oleh
Bsrtonelln henselae. Mikroba ini terkait dengan riketsia, tetapi tidak seperti
riketsia, mikroba ini dapat ditumbuhkan di dalam biakan artifisial. Penyakit
tersebut terutama mengenai anak-anak; 90% pasien berusia kurang dari 18 tahun.
Penyakit bermanifestasi sebagai limfadenopati regionaI, terutama di ketiak dan
leher. Pembesaran kelenjar getah bening muncul sekitar 2 minggu setelah pasien

12 | P a g e
tercakar kucing atau, yang lebih jarang, setelah tertusuk duri atau serpihan kayu.
(Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2018)

Epidemiologi di Indonesia, data epidemiologi nasional limfadenitis belum tersedia.


Pada anak, limfadenitis dilaporkan paling banyak terjadi pada nodus limfe servikal, aksila,
dan inguinal.
• Limfadenitis merupakan gambaran klinis yang paling sering ditemukan
pada penderita tuberkulosis ekstra paru. Gambaran ini ditemukan pada 30-
40% kasus tuberkulosis ekstra paru dan paling banyak dijumpai pada bagian
servikal. (Agatha Sunantara, 2017)
• Limfadenitis tuberkulosis (limfadenitis TB) paling banyak dialami oleh
wanita dan berhubungan erat dengan reaktivasi infeksi tuberkulosis laten.
Penelitian yang dilakukan di Denmark menunjukkan angka kejadian
limfadenitis tuberkulosis sebesar 9,4-15,7% per tahun dengan mayoritas
penderita berusia 25-44 tahun. (Agatha Sunantara, 2017)

Etiologi limfadenitis cukup beragam, antara lain infeksi bakteri, virus, jamur,
protozoa, atau keganasan, berdasarkan luasnya infeksi, limfadenitis dapat dibagi menjadi
dua jenis, yaitu: Limfadenitis lokal, yaitu peradangan pada beberapa kelenjar getah bening
di dekat asal infeksi, misalnya peradangan kelenjar getah bening di leher akibat infeksi
amandel. Limfadenitis umum, yaitu peradangan di banyak kelenjar getah bening akibat
infeksi yang telah menyebar melalui aliran darah, atau akibat penyakit lain yang menyebar
ke seluruh tubuh. Limfadenitis terjadi akibat respons kelenjar getah bening terhadap infeksi
bakteri, virus, jamur, atau parasit, yang selanjutnya dapat menyebarkan infeksi tersebut ke
seluruh sistem limfatik hanya dalam beberapa jam (Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar,
V. 2018)
Manifestasi Klinis yaitu kelenjar getah bening yang terserang biasanya akan
membesar dan jika diraba terasa lunak dan nyeri, selain itu gejala klinis yang timbul adalah
demam, nyeri tekan, dan tanda radang. Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat.
Pembengkakan menyerupai daging tumbuh (tumor). Limfadenitis pada taraf parah
(limfadenitis kronis) terjadi ketika penderita mengalami infeksi kronis, misal pada kondisi
ketika seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah

13 | P a g e
bening leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh adanya radang yang sangat
minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia
adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ditandai oleh pembesaran kelenjar
getah bening, padat keras, multiple dan dapat berhubungan satu sama lain. Dapat pula
sudah terjadi seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti abses tetapi tidak nyeri
seperti abses bantal. Apabila abses ini pecah kekulit, lukanya sulit sembuh oleh karena
keluar secara terus menerus sehingga seperti fistula. Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar
getah bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar dan berhubungan sehingga leher
penderita itu disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini kadang-kadang sulit
dibedakan dengan limfoma malignum. (Agatha Sunantara, 2017)

Penatalaksanaan limfadenitis dengan non farmakologi ini secara umum bisa


dilakukan dengan cara menjaga hygiene yang baik. Dan kompres dengan air hangat dapat
diberikan untuk mengurangi rasa nyeri (Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2018)
Tatalaksana Farmakologis :
a) Analgesik (penghilang rasa sakit) untuk mengontrol nyeri
b) Antipiretik dapat diberikan untuk menurunkan demam
c) Antibiotik untuk mengobati setiap infeksi sedang sampaiberat
d) Obat anti inflamasi untuk mengurangi peradangan
e) Kompres dingin untuk mengurangi peradangan dan nyeri
f) Operasi atu drainase diperlukan untuk mengeringkan abses. (Abbas, A.K., Aster, J.C., dan
Kumar, V. 2018)

14 | P a g e
Pengobatan limfadenitis karena bakteri itu bisa di berikan :
a) Antibiotik oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama
b) flucloxacillin dosis : 25 mg/kgBB 4 kali sehari. Bila ada reaksi alergi golongan
c) penicillin dapat diberikan cephalexin dengan dosis : 25 mg/kgBB(dosis maksimal 500 mg)
3 kali sehari atau
d) Erythromycin 15 mg/kgBB (dosis maksimal : 500 mg) 3 kali sehari (Abbas, A.K., Aster,
J.C., dan Kumar, V. 2018)

Prognosis limfadenitis ditentukan oleh etiologi dan tata laksana yang dilakukan
pada penderita. Limfadenitis yang disebabkan oleh mikobakterium non-tuberkulos is dan
diterapi dengan eksisi saja memberikan angka kesembuhan sebesar 45%. Sementara itu,
kasus yang dikombinasi dengan kemoterapi memberikan angka kesembuhan sebesar 61%.
Pada anak, limfadenitis sering disebabkan virus. Limfadenitis yang disebabkan virus,
seperti adenovirus dan rhinovirus, dapat sembuh sendiri tanpa memerlukan terapi khusus.
Pemberian antibiotik pada kasus limfadenit is bakteri mampu memberikan respon cukup
efektif. Sebanyak 86,9% penderita dapat berobat jalan dan hanya 7,9% yang membutuhkan
tindakan operatif (Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2018)
C. Limfadenitis Tuberkulosis
Limfadenitis tuberkulosis adalah manifestasi klinik dari penyakit sistemik yang dapat
timbul pada infeksi primer tuberkulosis atau reaktivasi M. tuberculosis yang inaktif. Infeksi
primer tuberkulosis disebabkan oleh M. tuberculosis yang berhasil melewati pertahanan
muco-ciliary bronkus dan alveolus yang kemudian bermultiplikasi di paru-paru. Aliran
limfatik membawa basil M. tuberculosis yang telah bermultiplikasi menuju limfe node
terdekat. Infeksi dapat menyebar dari satu limfe node ke limfe node regional melalui
system limfatik atau memasuki sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ (Setiati, S.,
Alwi, I., Sudoyo, A. W., K., M. S., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. 2014
Factor resiko yang dapat memicu terjadinya pembengkakan pada kelenjar getah
bening:
a) Usia➔Limfadenitis jenis tertentu, seperti tipe kronis, lebih banyak ditemukan pada anak-
anak berusia di bawah 12 tahun.

15 | P a g e
b) Memiliki masalah kesehatan tertentu➔Apabila mengidap penyakit atau kondisi kesehatan
tertentu yang diakibatkan oleh infeksi bakteri atau virus, kemungkinan mengalami
pembengkakan limfa akan lebih tinggi.
c) Melakukan kontak fisik dengan binatang tertentu➔Beberapa jenis hewan seperti kucing,
tikus, dan sapi dapat menghantarkan parasit toxoplasma gondii. Oleh karena itu, jika
sering terlibat kontak fisik dengan binatang-binatang tersebut, risiko terkena limfadenitis
akan lebih besar. (Adi, S. and Prajitno, J. H. 2015)
Gejala atau manifestasi klinis untuk menganalisa apakah terkena penyakit ini
adalah kelenjar getah bening yang terserang biasanya akan membesar dan jika diraba
terasa lunak dan nyeri, selain itu gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tekan, dan
tanda radang. Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat. pembengkakan ini akan
menyerupai daging tumbuh atau biasa disebut dengan tumor. Dan untuk memastikan
apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada penyakit limladenilis maka perlu adanya
pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan di bawah mikroskop. Limfadenitis pada taraf
parah disebut limfadenitis kronis. Limfadenitis ini terjadi ketika penderita mengalami
infeksi kronis, misal pada kondisi ketika seseorang dengan faringitis kronis akan
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher (limfadenitis). Pembesaran di sini
ditandai oleh anda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang
spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa(Setiati, S., Alwi, I.,
Sudoyo, A. W., K., M. S., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. 2014)
Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening, padat
keras, multiple dan dapat berhubungan satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan
seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti abses tetapi tidak nyeri seperti
abses banal. Apabila abses ini pecah kekulit, lukanya sulit sembuh oleh karena keluar
secara terus menerus sehingga seperti fistula. Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah
bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar dan berhubungan sehingga leher penderita itu
disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan
limfoma malignum. Limfadenitis tuberkulosa diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
histopatologi, terutama yang tidak disertai oleh tuberkulosa paru (Setiati, S., Alwi, I.,
Sudoyo, A. W., K., M. S., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. 2014)

16 | P a g e
Etiologi Penyakit Limfadenitis terjadi akibat respons kelenjar getah bening
terhadap infeksi bakteri, virus, jamur, atau parasit, yang selanjutnya dapat menyebarkan
infeksi tersebut ke seluruh sistem limfatik hanya dalam beberapa jam. Beberapa jenis
mikroorganisme yang dapat menyebabkan limfadenitis adalah Bakteri, seperti
Streptococcus, Staphylococcus aureus, Bartonella henselae, Mycobacterium tuberculosis,
Yersinia enterocolitica, Yersinia pestis, dan Salmonella. Virus, antara lain
Cytomegalovirus, Epstein-Barr, Parvovirus, dan Rubella. Jamur, misalnya Histoplasma
capsulatum. Parasit, seperti Toksoplasma (Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., K., M. S.,
Setiyohadi, B., & Syam, A. F. 2014)
Epidemiologi Limfadenitis TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua
kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak
(35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIVpositif TB
ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak
yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria dengan perbandingan 1,2:1. Berdasarkan penelitian terhadap data
demografik 60 pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan
rentang umur 40,9 ± 16,9 (13 – 88). Penelitian lainnya terhadap 69 pasien limfadenitis TB
didapat 48 orang wanita dan 21 orang pria dengan rentang umur 31,4 ± 13,1 (14 – 60)
(Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., K., M. S., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. 2014)
Patofiologi LImfadenitis TB
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner
dan Tb ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadiTB pulmoner primer
dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ
lain selain paru, yang disebut sebagai TBekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang
sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran
kemih, tulang,menigens, peritoneum, dan pericardium. (Laksmi, K, 2020).
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap
basiltuberkulosis. Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di
paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami duakemungkinan.
Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basilTB akan dapat bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basilTB akan dapat menyebar secara

17 | P a g e
limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkanhematogen. Penyebaran basil TB ini
pertama sekali secara limfogen menujukelenjar limfe regional di hilus, di mana
penyebaran basil TB tersebut akanmenimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran
limfe (limfangitis) dankelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai
imunitas baik,dalam waktu 3-4 minggu setelah ineksi akan terbentuk imunitas seluler.
Imunitasseluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi
basilTB dalam makrofag membentuk suatu focus primer yang disebut focus Ghon.Fokus
Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan limfadenitis regional disebutdengan komplek
Ghon. Terbentuknya focus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, focus Ghon
berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapatimunitas seluler yang spesifik terhadap basil
TB. Kedua, focus Ghon merupakansuatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil
TB dalam keadaan latenyang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembalimenimbulkan penyakit. (Laksmi, K, 2020).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudahmemiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler akan
mebatasi peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti padaTb primer, basic TB pada TB
post-primer dapat menyebar terutama melalui aliranlimfe menuju kelenjar limfe lalu ke
semua organ. Kelenjar limfe hilus,mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat
penyebaran pertama dari infeksiTB pada parenkim paru. Basil TB juga dapat menginfeksi
kelenjar limfe tanpa terlebih dahulumenginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di
mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring
basil TB akan difagositoleh makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya akan di bawa ke
kelenjar limfedi leher (Laksmi, K, 2020).
D. Limfoma Hodgkin
Definis Limfoma merupakan penyakit keganasan yang berasal dari jaringan lim foid
mencakup sistem limfatik dan imunitas tubuh. Limfoma terjadi akibat dari adanya
pertumbuhan yang abnormal dan tidak terkontrol dari sel sistem imun yaitu limfosit. Sel
limfosit yang bersifat ganas ini dapat menuju ke berbagai bagian dalam tubuh seperti
limfonodi, limfa, sumsum tulang belakang, darah atau berbagai organ lainnya yang
kemudian dapat membentuk suatu massa yang disebut sebagai tumor. Tubuh memiliki 2

18 | P a g e
jenis limfosit utama yang dapat berkembang menjadi limfoma yaitu sel-B limfosit dan sel-
T limfosit.(Maya & Rasmawati, 2017)
Klasifikasi Secara umum, limfoma dapat dibedakan menjadi limfoma Hodgkin (LH) dan
limfoma non-Hodgkin (LNH). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologik
dari kedua penyakit di atas yang mana pada LH terdapat gambaran histopatologik yang
khas ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg. (Maya & Rasmawati, 2017)
Epidemiologi Kasus LH terjadi lebih jarang daripada LNH dengan sekitar 9.000 kasus
baru dapat terjadi di setiap tahunnya serta dapat terjadi baik pada dewasa maupun anak-
anak dan biasanya terdiagnosis pada dewasa muda sekitar usia 20 dan 34 tahun (Maya &
Rasmawati, 2017)
Tanda dan gejala umum dari LH dapat berupa pembengkakan limfonodi yang sering
kali dirasakan tidak nyeri, demam, berkeringat di malam hari, penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan dan merasa kekurangan energi. Tanda dan gejala tersebut bisa
dikatakan tidak khas oleha karena sering kali juga ditemukan pada penyakit lain yang
bukan LH. Sebagian besar LH ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan salah satu
penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal merupakan faktor
penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis terapi, baik kemoterapi
ataupun radioterapi. Akhir-akhir ini, angka harapan hidup penderita LH semakin
meningkat bahkan sembuh berkat manajemen penyakit yang tepat (Maya & Rasmawati,
2017)
E. Limfoma Non Hodkin
Definisi Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan
primer kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari
limfosit B, limfosit T, dan sel natural killer. Limfoma Non Hodgkin merupakan penyakit
yang sangat heterogen dapat dilihat dari segi perjalanan klinis, gejala, histologis, respon
terhadap pengobatan, dan prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara
tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel LNH berasal dari satu
sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH memiliki imunoglobulin yang
sama pada permukaan selnya (Pernomo, 2017)
Epidemiologi LNH Setiap tahunnya terjadi peningkatan insiden LNH, dari awal 1970-
an hingga awal abad ke-21 tingkat kejadian LNH hampir dua kali lipat. Berdasarkan data

19 | P a g e
dari American Cancer Society diperkirakan sebanyak 4% dari seluruh kasus kanker baru,
yakni 74.680 kasus merupakan limfoma non Hodgkin pada tahun 2018. Di Indonesia, LNH
menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak. Menurut Badan Koordinasi Nasional
Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia, insiden Limfoma lebih tinggi dari
leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat setelah
melanoma dan paru (Pernomo, 2017)
Etiologi LNF Etiologi sebagian besar LNH belum diketahui secara pasti. Namun
terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya LNH, yaitu usia, jenis
kelamin, genetik, paparan bahan kimia, penurunan fungsi imun, autoimun, diet, infeksi
virus maupun bakteri (Pernomo, 2017)
Diagnosis LNH ditegakkan dari hasil pemeriksaan histologi biopsi eksisi kelenjar getah
bening atau jaringan ekstranodal3 . Stadium LNH didasarkan atas kriteria Ann Arbor, yang
dibagi menjadi 4 stadium berdasarkan luasnya keterlibatan KGB yang terkena. Pengobatan
dengan menggunakan kombinasi kemoterapi (multiagent) dapat hi prognosis dari penyakit.
Prognosis limfoma tergantung pada tipe histologi dan staging. mempengaru (Pernomo,
2017)

KELENJAR TYROID
Tiroid adalah kelenjar endokrin besar yang terletak di pangkal bagian depan leher, di bawah
lapisan kulit dan otot. Kelenjar tiroid berbentuk kupu-kupu dengan dua sayap yang merupakan
lobus tiroid kiri dan kanan di sekitar trakea. Satu-satunya fungsi tiroid adalah menghasilkan
hormon tiroid (tiroksin dan triiodotironin) yang berperan dalam meningkatkan aktivitas
metabolisme di hampir semua jaringan tubuh. Kelenjar tiroid dikendalikan oleh kelenjar hipofisis,
yang mengeluarkan hormon perangsang tiroid (TSH). Kelenjar tiroid merupakan kelenjar endokrin
berdiameter sekitar 5 cm dan terletak di kedua sisi Kelenjar ini terdiri atas dua lateral lobus. Pada
manusia, berat kedua lobus sekitar 25 mg. Kelenjar disuplai darah oleh arteri tiroid superior kanan
dan kiri (Snell, 2012).
Kelenjar tiroid adalah organ endokrin yang unik karena sel-selnya tersusun menjadi struktur
bulat yaitu folikel (folliculus). Setiap folikel dikelilingi oleh serat retikular dan suatu anyaman
kapiler yang memudahkan hormon tiroid masukke dalam aliran darah. Epitel folikel dapat berupa
epitel selapis gepeng, kuboid atau kolumnar rendah, bergantung pada keadaan aktivitas
kelenjartiroid. Folikel adalah unitstruktural dan fungsional kelenjar tiroid. Sel-sel yang

20 | P a g e
mengelilingi folikel, yaitu sel folikular (thyrocytus T) juga disebut cellula principalis menyintesis,
melepaskan dan menyimpan produknya di luar sitoplasma atau di lumen folikel sebagai substansi
gelatinosa, yaitu koloid. Koloid terdiri atas tiroglobulin, suatu glikoprotein beriodin yang
merupakan bentuk simpanan hormon tiroid yang tidak aktif'. Selain folikular, kelenjar tiroid juga
mengandung sel parafolikular (thyrocytus C) terpulas pucat yang lebih besar (Eroschenko, 2017)
Kanker Tyroid
Definisi Kanker tiroid biasanya menyerang orang paruh baya atau lebih tua namun kanker
papiler dapat terjadi pada orang muda. Wanita memiliki kesempatan lebih tinggi terkena kanker
dan jarang terlihat pada anak-anak. Perkembangan kanker tiroid lambat dan mungkin diperlukan
waktu beberapa tahun agar sel kanker berkembang menjadi massa yang jelas. Dokter dapat
mendeteksi kanker tiroid meskipun masih kecil dan perawatan baru dapat mencapai tingkat
kesembuhan yang tinggi. Seiring berkembangnya kanker secara perlahan, masih ada kemungkinan
kambuh beberapa tahun setelah perawatan awal
Faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker tiroid adalah:
• Paparan radiasi tingkat tinggi Terapi radiasi yang diberikan di masa kanak-kanak atau
tingkat radiasi yang luar biasa tinggi di lingkungan beresiko menyebabkan kanker.
Kebocoran radiasi dari pembangkit nuklir terjadi sebelumnya dan ada tingkat yang lebih
tinggi dari kanker tiroid bagi penduduk yang tinggal di dekat pabrik nuklir.
• Kondisi turun temurun Seorang anggota keluarga memiliki gondok, kanker tiroid
medullary familial, neoplasia endokrin multipel atau poliposis adenomatosa familial
memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker tiroid. 3) Sejarah pribadi Seseorang memiliki
kondisi seperti gondok dan nodul tiroid jinak, memiliki resiko lebih tinggi untuk
mengembangkan penyakit ini. 4) Jenis kelamin Perempuan memiliki kemungkinan lebih
tinggi terkena kanker. 5) Pola makan Kekurangan yodium dapat menyebabkan
perkembangan kanker tiroid.

Gejala kanker tiroid yang sering terlihat adalah sebagai berikut: 1) Tonjolan rasa sakit di leher
dengan peningkatan ukuran bertahap 2) Suara serak yang terus-menerus 3) Sakit di leher atau di
tenggorokan, dan kadang sampai ke telinga 4) Mengalami kesulitan menelan atau bernafas 5)
Batuk terus-menerus tapi tanpa gejala flu (Artha, 2017)

21 | P a g e
BAB III
METODE PRKATIKUM

3.1 Waktu dan Tempat Praktikum


Hari/Tanggal : Selasa, 19 November 2022
Waktu : 08.30 -10.30 WITA
Tempat : Laboratorium Terpadu 1 Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar

3. 2 Alat dan Bahan


1. Mikroskop binokuler Olympus CX23
2. Preparat Histologi dasar
• Normal Lymph Nodes (KGB Normal)
• Reactive Lymphoid Hyperplasia
• Tuberculosis Lymphadenitis (Limfadenitis Kronik Granulamatous Tuberkulosis)
• Fokus Infiltrasi High Grade Serous Carcinoma
• Metastatic Papillary Thyroid Carcinoma (KGB pada PTC)
• Metastatic Colorectal Adenocarcinoma (Metas Adeno Ca Colon)
• Metastatic Squamous Cell Carcinoma (Metastasis SCC) Classic Hodgkin
Lymphoma
3. Emersi oil
4. Pembersih lensa
5. Alat tulis

3.3 Cara Kerja


1. Siapkan alat dan bahan yang telah di sediakan di laboratorium terpadu 1
2. Periksa keadaan mikroskop yang akan di gunakan, cek pencahayaan, lensa okuler dan
binokulernya.
3. Siapkan preparat histologi yang telah di sediakan .
4. Mula-mula lihat jaringan epitel dan jaringan ikat dengan pembesaran lemah (10x4)
kemudian ( 10x10) setelah itu ke perbesaran yang lebih kuat ( 10 x 40)
5. Dokumentasikan hasil pengamatan dengan cara men-screenshoot
6. Buat laporan sementaranya dengan memakai buku gambar dan pensil warna

22 | P a g e
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL
NO. NAMA PERBESARAN 4x PERBESARAN 40x
1. Normal Lymph Nodes (KGB
Normal)

2. Reactive Lyhmphoid
Hyperplasia

3. Tubercolosis
Lymphadenitis
(Limfadenitis Kronis
Granulamatous
Tuberkulosis)

23 | P a g e
4. Fokus Infiltrasi High
Grade Serous Carcinoma

5. Metastatic papillary
Thyroid Carcinoma (KGB
pada PTC)

6. Metastatic Colorectal
Adenocarcinoma (Metas
Adeno Ca Colon )

7. Metastatic Squamous Cell


Carcinoma (Melastasis
SCC)

24 | P a g e
8. Classic Hodgkin
Lymphoma

4.2 PEMBAHASAN
1. Normal Lymph Nodes (KGB Normal)
Limfonodus merupakan organ yang tersusun atas jaringan limfoid membentuk rangkaian
berbentuk bulat seperti bentuk ginjal yang dapat mengenali antigen dalam limfe, sehingga
terjadi reaksi imun spesifik terhadap antigen tersebut. Anyaman limfonodus mengelilingi
setiap nodus limfatik membentuk trabekula yang masuk ke bagian dalam parenkim nodus.
Limfonodus tersebar banyak pada tubuh di sepanjang area yang terdapat pembuluh limfe,
misalkan di aksila dan selangkang kaki, leher, toraks, serta di abdomen terutama di dalam
mesentrium. Setiap nodus mengandung korteks luar, dalam, dan medula. (Mescher AL,
2012)
Semua cairan getah bening yang berasal dari jaringan difiltrasi oleh sekurang-kurangnya
satu nodus, yang selanjutnya dibawa ke sirkulasi darah. Cairan getah bening masuk melalui
sisi konveks dari nodulus dan keluar dari hilus. Darah masuk dan keluar melalui hilum.
Nodus limfatik mempunyai sisi konveks dan konkaf yaitu hilum atau hilus untuk jalur
masuknya arteri dan saraf masuk serta keluarnya vena suatu organ (Mescher AL, 2012)

Struktur nodulus tidak bersimpai, tetapi memiliki struktur mikroskopis sama dengan
nodulus dalam korteks nodus limfatikus. Nodulus terdiri atas limfosit berhimpit padat
(terutama limfosit B) yang berkembang menjadi sel plasma dengan adanya rangsangan
antigenik yang sesuai. Nodulus limfatikus terdiri dari nodulus primer yang berbentuk sferis
atau oval dan tanpa daerah pusat yang jelas dan nodulus limfatikus sekunder yang
memperlihatkan zona yang terang Germinal center yang terdapat pada bagian dalam

25 | P a g e
merupakan pusat kumpulan limfosit aktif yang kaya sitoplasma (limfoblas) yang muncul
hanya setelah lahir sebagai respons terhadap pemaparan antigen. Peyer's Patch merupakan
kelompok nodulus tanpa simpai yang ditemukan dalam lamina propria ileum. (Mescher
AL, 2012)

Limfonodus atau kelenjar getah bening adalah stuktur yang berbentuk oval dan
bersimpai yang memiliki diameter 10 μm dengan 2,5 cm tersebar di seluruh tubuh
sepanjang pembuluh limfe. Di dalam tubuh, terdapat sekitar 400-450 kelenjar getah bening
dan paling banyak tersebar di aksila, lipat paha, leher, toraks, dan daerah perut terutama
mesentrium. Limfonodus terdiri dari masa agregasi limfosit padat yang terdapat bersama-
sama dengan sinus limfe yang berdilatasi yang mengandung limfe dan ditunjang oleh
kerangka serat reticular halus. Limfonodus terdiri dari 2 bagian yaitu korteks dengan warna
gelap terluar dan medulla bagian dalam dengan warna lebih terang. Korteks limfonodus
dibagi menjadi kompartmen yang mengandung sel B dan nodulus limfatikus primer dan
sekunder. Kapsul jaringan ikat kolagen yang padat dan tak beraturan memberi juluran
berupa trabekula yang masuk ke dalam limfonodus, membagi bagian luar korteks menjadi
ruang-ruang yang inkomplit yang meluas hingga ke arah hilus. Ruang inkomplit dalam
korteks mengandung nodulus limfatikus primer yang merupakan kumpulan limfosit B
berbentuk sferis yang sedang dalam proses memasuki atau meninggalkan limfonodus.
Sementara, medulla terdiri dari sinus limfa yang berdilatasi dikelilingi oleh sel limfoid
yang tersusun dalam kelompokan atau korda medularis genjelgenjel medulla. Sel pada
genjel-genjel medulla (limfosit, sel plasma, dan makrofag) terbenam dalam jejaring serat
reticulum dan sel reticulum. Potongan histologi medulla juga memperlihatkan adanya
trabekula yang berasal dari kapsul hilus yang Capsule Germinal centre Lymphoid Nodule

26 | P a g e
Dilated sinuses Sel limfosit Normal sinuses menebal, terlihat juga pembuluh darah yang
masuk dan keluar limfonodus (Eroschenko, V. P. 2017), (Gartner L.P. and Hiatt J.L).
2. Reactive Lymphoid Hyperplasia

Hiperplasia kelenjar getah bening reaktif terjadi sebagai respons sistem kekebalan
terhadap patologi sifat kekebalan yang sama hiperplasia kelenjar getah bening adalah
karakteristik hipertiroidisme (penyakit berbasis), penyebabnya terletak pada peningkatan
sekresi kelenjar tiroid dari hormon tiroid. Dengan patologi ini, hiperplasia kelenjar getah
bening memiliki karakter umum dengan peningkatan mitosis folikel limfatik Hiperplasia
limfoid reaktif' adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan peningkatan jumlah
sel kekebalan khusus yang disebut 'limfosit'. Ini adalah perubahan non-kanker. Hiperplasia
limfoid reaktif biasanya terlihat pada organ kekebalan kecil yang disebut kelenjar getah
bening, yang mungkin tampak membesar. Perubahan ini juga dapat dilihat pada organ lain
di mana sejumlah besar limfosit biasanya ditemukan. Ini termasuk perut, usus kecil, kulit,
dan orofaring (terutama amandel). (Kojima M, Itoh H.2015)
Reactive lymphoid hyperplasia (RLH) adalah lesi nodular jinak, secara histopatologi
ditandai dengan proliferasi ditandai non-neoplastik, limfosit poliklonal membentuk folikel
dengan pusat germinal aktif. Lesi ditemui di berbagai organ seperti orbit, paru-paru, kulit
dan saluran pencernaan . Namun, penyakit hati cukup langka, dengan hanya 12 kasus yang
dilaporkan dalam literatur Inggris. Kami baru-baru ini menemui seorang pasien dengan 3
lesi RLH yang terjadi di hati. karakteristik klinikopatologis dan radiografi dari gangguan
unik. Hyperplasia limfoid reaktif dapat disebabkan oleh apa pun yang merangsang atau
mengaktifkan limfosit. Penyebab paling umum adalah infeksi virus atau bakteri. Ada empat
pola yang dapat dilihat pada RLH yaitu follicular pattern, diffuse paracortical, hyperplasia
histiosit sinus, dan mixed pattern. RLH diperkirakan berhubungan dengan respon imunolgi
reaktif terhadap proses inflamasi kronis. Perubahan patologis ini dapat menyebabkan
gangguan aliran portal dan peningkatan artr hepatic pada lesi perinodular (Kojima M, Itoh
H.2015)

27 | P a g e
3. Tuberculosis Lymphadenitis (Limfadenitis Kronik Granulamatous Tuberkulosis)
Infeksi yang menyebabkan limfadenitis sangat banyak dan bervariasi. Pada sebagian
besar kasus, gambaran histologik di kelenjar getah bening sama sekali nonspesifik,
sehingga disebut adenitis non spesifik akut atau kronis. Suatu bentuk limfadenitis yang
agak khas dan terjadi pada cat-scratch disense akan dibicarakan secara terpisah (Kumar,
V., Abbas , A,K.,Aster,J.C, 2018)
Limfadenitis nonspesifik Kronis, Keadaan ini memiliki tiga pola, bergantung pada aggn
penyebabnya: hiperplasia folikel, hiperplasia limfoid parakorteks, atau histiositosis sinus.
Fase ini terjadi ketika peradangan KGB berlangsung untuk durasi yang lebih lama. Secara
khas kelenjar getah bening yang dipengaruhi oleh kondisi ini tidak menimbulkan rasa sakit
Pembesaran kelenjar getah bening terjadi secara perlahan. Paling sering nodus aksila dan
inguinal adalah kelompok yang dipengaruhi oleh limfadenitis nonspesifik kronis
(Tjokroprawiro, A., Poernomo, Setiawan, B., Santoso, D., Soegiarto, G., & Rahmawati, L.
D. 2015)
Limfadenitis umum sendiri merupakan gambaran klinis yang paling sering ditemukan
pada penderita tuberkulosis ekstra paru. Gambaran ini ditemukan pada 30- 40% kasus
tuberkulosis ekstra paru dan paling banyak dijumpai pada bagian servikal. (Agatha
Sunantara, 2017)
Sedangkan Limfadenitis tuberkulosis (limfadenitis TB) paling banyak dialami oleh
wanita dan berhubungan erat dengan reaktivasi infeksi tuberkulosis laten. Penelitian yang
dilakukan di Denmark menunjukkan angka kejadian limfadenitis tuberkulosis sebesar 9,4-
15,7% per tahun dengan mayoritas penderita berusia 25-44 tahun. (Agatha Sunantara,
2017)
Limfadenitis tuberkulosis adalah manifestasi klinik dari penyakit sistemik yang dapat
timbul pada infeksi primer tuberkulosis atau reaktivasi M. tuberculosis yang inaktif. Infeksi

28 | P a g e
primer tuberkulosis disebabkan oleh M. tuberculosis yang berhasil melewati pertahanan
muco-ciliary bronkus dan alveolus yang kemudian bermultiplikasi di paru-paru. Aliran
limfatik membawa basil M. tuberculosis yang telah bermultiplikasi menuju limfe node
terdekat. Infeksi dapat menyebar dari satu limfe node ke limfe node regional melalui
system limfatik atau memasuki sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ (Setiati, S.,
Alwi, I., Sudoyo, A. W., K., M. S., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. 2014)
Gambaran morfologi epiteloid dengan nekrosis dijumpai pada seluruh kasus TB pada
penelitian ini yang terjadi oleh karena adanya inflamasi dan kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh stimulasi makrofag untuk mengeradikasi mycobacteria, sehingga respon
Th1 menimbulkan pembentukan granuloma dan nekrosis. Makrofag yang teraktivasi bisa
membentuk sitoplasma yang banyak menyerupai sel-sel epitel yang disebut sel epiteloid.
Beberapa makrofag yang teraktivasi akan bergabung membentuk satu multinucleated giant
cell. Dari uraian di atas morfologi epiteloid dan nekrosis dapat menjadi pegangan sebagai
kriteria minimal dalam menegakkan diagnosis TB. Pada sebagian kecil kasus infeksi TB
berkembang karena usia lanjut atau immunosupresi, sehingga respon imun yang terjadi
hanya nekrosis tanpa epiteloid.(Suparyanto dan Rosad 2015, 2020)

4. Fokus Infiltrasi High Grade Serous Carcinoma


Kanker ovarium adalah kanker yang terbentuk pada jaringan satu atau kedua ovarium.
Kanker ovarium dapat tumbuh pada permukaan ovarium (epitel ovarium) yang disebut
sebagai kanker ovarium epitel atau pada jaringan lain pada ovarium (non-epithelial).
Kanker ovarium non-epithelial yang sering terjadi yaitu tumor sel germinal maligna dan
tumor sex cord stromal.
beberapa faktor yang dapat menyebabkan kanker ovarium dapat diidentifikasi. Faktor
reproduksi, faktor genetik, penggunaan terapi hormone, penggunaan talc powder, dan
konsumsi laktosa tinggi dapat menyebabkan terjadinya kanker ovarium (Suparyanto dan
Rosad 2015, 2020)

29 | P a g e
Beberapa kanker serupa secara histologis yang sering digolongkan sebagai karsinoma
peritoneal primes sama-sama memiliki temua molecular yaitu inaktivasi p53 dan protein
BRCA1 dan BRCA2. Oleh karena itu, tumor yang timbul dari tuba fallopi dan lokasi lain
dari peritoneum bersama dengan kanker epitel diklasifikasikan sebagai adenokarsinoma
ekstrauterus asal epitel Mullerian. Karakteristik yang mendefisikan tumor ganas adalan
invasi stroma dan peningkatan atipia epitel. High sgrade serous tumor memiliki frekuensi
tinggi mutasi TP53. Amplifikasi gen ditemukan pada banyak tumor serta penghapusan gen
supresor tumor. Mayoritas mutasi BRCA merupakan karsinoma serous high grade dengan
mutasi TP53. Risiko kanker terkait BRCA ditentukan oleh lokasi dan variasi dari fungsi
gen BRCA1/2 (Huether SE, McCance KL, editors. 2019)
Salah satu gangguan hematologi yang dapat ditemukan pada pasien kanker ovarium
diantaranya adalah anemia. Pada penelitian ini sebagian besar penderita kanker ovarium
memiliki nilai haemoglobin rendah (75,7%). Salah satu faktor penyebab terjadinya anemia
pada kanker ovarium adalah adanya gangguan pada metabolisme zat besi atau adanya
hemolisis. Tipe serous carcinoma lebih sering didiagnosis pada stadium III dan IV
sedangkan tipe mucinous carcinoma pada stadium I.(Aqilla et al., 2022)

5. Metastatic Papillary Thyroid Carcinoma (KGB pada PTC)


Kanker tiroid merupakan keganasan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan.
Insidennya dilaporkan mengalami peningkatan selama beberapa dekade terakhir. Menurut
data WHO tahun 2012, terdapat 230.000 kasus baru pada wanitadan 68.000 kasus pada
laki-laki. Angka kematian kanker tiroid tercatat mencapai 40.000 kasus, sebanyak 57%
berasal dari Asia. Data terbaru di Amerika Serikat padatahun 2017 terdapat sekitar 56.870
kasus baru (42.470 kasus pada wanita dan 14.400 pada laki-laki), dan 2.010 kasus kematian
akibat kanker tiroid (1.090 kasus pada wanita dan 920 kasus pada laki-laki) (American
Cancer Society, 2017).

30 | P a g e
Papillary thyroid carcinoma (PTC) adalah jenis kanker tiroid yang paling sering
ditemukan, jumlahnya mencapai sekitar hampir 80%. Insidennya tinggi pada daerah
dengan asupan iodium tinggi dan terkait dengan riwayat paparan radiasi sebelumnya. PTC
lebih sering ditemukan pada wanita dengan perbandingan terhadap laki-laki 2:1 sampai
4:1, namun di Jepang perbandingannya lebih tinggi mencapai 9-13:1. Usia rata-rata pada
saat didiagnosis yaitu 31-49 tahun. (Artha, 2017)
Papillary thyroid carcinoma (PTC) didefinisikan sebagai tumor epitel ganas yang
menunjukkan bukti diferensiasi sel folikel dan ditandai dengan gambaran inti yang khas
PTCmerupakan kanker tiroid yang paling sering ditemukan. Insidennya meningkat di
seluruh dunia. (Artha, 2017)
Etiologi PTC sebagian besar terkait dengan riwayat paparan radiasiterutama pada area
leher Insiden PTC lebih tinggi pada daerah dengan asupan iodium tinggi. Selain itu
disebutkan bahwa terdapat peningkatan insiden PTC pada pasien dengan Grave disease.
Thyroid-stimulating antibodies pada Grave disease berperan pada patogenesis PTC.
Sebagian besar classicPTC tampak sebagai nodul pada tiroid tanpa menimbulkan gejala
klinis. Namun, manifestasinya pertama kali dapat pula muncul sebagai massa pada kelenjar
getah bening servikal Sebagian besar PTCberupa nodul tunggal, bergerak saat menelan,
dan pada pemeriksaan fisik sulit dibedakan dengan nodul jinak. Keluhan lain seperti suara
serak, disfagia, batuk, atau sesak menggambarkan proses yang lebih lanjut. Sebagian kecil
pasien saat didiagnosis sudah disertai dengan adanya metastasis hematogen ke paru-paru.
(Artha, 2017)
PTC memiliki kecenderungan menyebar melalui saluran limfatik ke kelenjar getah
bening regional. Fokus mikroskopis tumor dapat ditemukan terpisah dari massa tumor
utama, yang diakibatkan oleh penyebaran limfatik intraglandular. Invasi vena dapat
ditemukan. Staging tumor tergantung dari usia pasien, ukuran tumor primer, perluasan
ekstratiroid dan metastasis regional dan metastasis jauh (Artha, 2017)
Penanda khas mikroskopis pada PTC yaitu : (1) struktur berbentuk papiler bercabang
kompleks mengandung fibrovascular stalk dilapisi selapis sampai beberapa lapis sel epitel
berbentuk kuboid, dengan gangguan polaritas,(2) gambaran inti PTC yang khas yaitu inti
membesar, berbentuk oval, memanjang, tersusun overlapping.Inti sel dengan gambaran
jernih atau kosong, memberikan gambaran ground glass atau Orphan Annei eye nuclei.

31 | P a g e
Sitoplasma mengalami invaginasi dapat memberikan gambaran intranuclear inclusion
(pseudo-inclusion) atau nuclear groove. Diagnosis PTC dapat ditegakkan dari gambaran
inti papiler, walaupun tidak membentuk struktur papiler. (3) Struktur psammoma bodies
sering ditemukan, biasanya di bagian tengah papiler. Struktur ini hampir tidak pernah
ditemukan pada follicular atau medullary carcinoma. Oleh sebab itu bila ditemukan pada
biopsi jarum halus, hal tersebut merupakan indikasi kuat adalah PTC. (4) Sering ditemukan
fokus invasi limfatik, namun jarang ditemukan invasi vaskular, terutama pada lesi yang
kecil. Metastasis ke kelenjar getah bening servikal terjadi pada lebih dari setengah kasus.
(Artha, 2017)
Varian yang hamper semua kasus menyerang getah bening adalah avarian Diffuse
sclerosing variant dan Pappilary Microcarsinoma.Tumor Diffuse sclerosing ini cenderung
terjadi pada pasien muda termasuk anak-anak,yang ditandai dengan keterlibatan difus pada
satu atau kedua lobus tiroid, tanpa membentuk massa yang dominan. Tumor membentuk
struktur papiler bercampur dengan area solid yang mengandung sarang-sarang metaplasia
skuamous, disertai banyak psammoma bodies.Terdapat area fibrosis luas pada kelenjar
tiroid, sering disertai dengan infiltrat padat sel radang limfosit menyerupai Hashimoto’s
thyroiditis. Metastasis ke kelenjar getah bening terjadi pada hampir semua kasus. Dan
Microcarcinoma yang lebih besar (ukuran rata-rata 2 mm) menunjukkan stroma
desmoplastik yang menonjol. Microcarcinomayang berukuran rata-rata 5 mm sebagian
besar mengandung struktur papiler. Papillary microcarcinoma merupakan tumor primer
bila ditemukan metastasis pada kelenjar getah bening servikal. Tumor ini memiliki
gambaran imunohistokimia (IHK) yang khas berupa hilangnya p27 dan peningkatan cyclin
D1 (Artha, 2017)

32 | P a g e
6. Metastatic Colorectal Adenocarcinoma (Metas Adeno Ca Colon)
Kanker kolorektal adalah suatu tumor maligna yang muncul dari jaringan epitel dari
kolon atau rektum. Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon
dan rektum. Kolon dan rektum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang
disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada dibagian proksimal usus
besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus. Kolon dan rektum berfungsi
untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna.(Sayuti
& Nouva, 2019)
Di Indonesia, kanker kolorektal merupakan jenis kanker ketiga terbanyak. Pada tahun
2008, Indonesia menempati urutan keempat di Negara ASEAN, dengan incidence rate 17,2
per 100.000 penduduk dan angka ini diprediksikan akan terus meningkat dari tahun ke
tahun. 10 Studi epidemiologi sebelumnya menunjukkan bahwa usia pasien kanker
kolorektal di Indonesia lebih muda dari pada pasien kanker kolorektal di negara maju.
Lebih dari 30% kasus didapat pada pasien yang berumur 40 tahun atau lebih muda,
sedangkan di negara maju, pasien yang umurnya kurang dari 50 tahun hanya 2-8 % saja.
(Sayuti & Nouva, 2019)
Etiologi kanker kolorektal hingga saat ini masih belum diketahui. Penelitian saat ini
menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar untuk kanker kolorektal.
Mutasi dari gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) adalah penyebab Familial
Adenomatous polyposis (FAP), yang mempengaruhi individu membawa resiko hampir
100% mengembangkan kanker usus besar pada usia 40 tahun. Ada banyak factor yang
mempengaruhi kanker ini yaitu : (Sayuti & Nouva, 2019)
• Diet tinggi lemak , rendah serat
Diet rendah serat dan tinggi lemak diduga meningkatkan risiko karsinoma
kolorektal. Sejumlah penelitian epidemiologi menunjukkan diet tinggi serat
berkolerasi negatif dengan risiko kanker kolorektal. Seseorang dengan asupan
rendah serat mempunyai risiko 11 kali lebih besar terkena karsinoma kolorektal
dibandingkan dengan tinggi serat. Sedangkan asupan serat harian rata-rata orang
Indonesia masih rendah sebesar 10,5 g/hari.
• Usia lebih dari 50 tahun

33 | P a g e
• Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal
mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
• Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot syndrome. Pada semua
pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang menjadi kanker rektum.
(Sayuti & Nouva, 2019)

Gejala umum dari kanker kolorektal ditandai oleh perubahan kebiasaan buang air besar.
Gejala tersebut meliputi:
• Diare atau sembelit
• Perut terasa penuh
• Ditemukannya darah (baik merah terang atau sangat gelap) di feses.
• Feses yang dikeluarkan lebih sedikit dari biasanya.
• Sering mengalami sakit perut, kram perut, atau perasaan penuh atau kembung.
• Kehilangan berat badan tanpa alasan yang diketahui.
• Merasa sangat lelah sepanjang waktu (Sayuti & Nouva, 2019)

Ada dua komponen utama dari kanker yang berhubungan dengan stroma yaitu sel
endotel dan fibroblas. Sebagai sel yang berhubungan dengan kanker, fibroblas
membutuhkan modifikasi fenotip dan berperan pada penyebaran kanker. Fibroblas di stroma
kanker ini menunjukkan karakteristik miofibroblas disebut dengan cancer-associated
fibroblasts (CAFs). CAFs menghasilkan sitokin, faktor pertumbuhan, dan degradasi matriks
ekstraseluler dan berperan dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan kanker.6,8
CAFs merupakan sel kanker berubah menjadi fibroblas yang terjadi karena proses
perubahan sel epitel menjadi mesenkim (Epithelial-Mesenchymal Transition=EMT) dan
bisa menyebabkan kanker. Proliferasi sel epitel berlebihan dan angiogenesis merupakan
penanda mulainya awal pertumbuhan kanker epitel primer, kemudian terjadi proses invasif
dan akhirnya menyebabkan penyebaran metastasis. Dalam banyak studi, aktifasi dari
program EMT menjadi mekanisme penting terjadinya fenotip maligna oleh sel epitel kanker.
Hal ini terjadi pada pertumbuhan tumor dan perkembangan kanker, dimana sel kanker
mengalami invasi berubah menjadi fenotip mesenkim, karena perubahan genomik sel kanker
dan pertumbuhan sel dengan gambaran invasif, memungkinkan sel tersebut berpindah ke
pembuluh darah dan menyebar ke organ lain (Feby Yanti,2017)

34 | P a g e
Penyebab utama kematian karsinoma kolorektal adalah terjadinya metastasis sehingga
adanya metastasis ke kelenjar getah bening regional dan metastasis jauh dianggap sebagai
indikator paling signifikan terhadap ketahanan hidup penderita dan kepentingan kemoterapi.
Penilaian stadium berdasarkan analisis kelenjar getah bening masih memberikan nilai
prognostic yang terbatas. Faktor prognostik buruk yang telah ditetapkan untuk karsinoma
kolorektal kelenjar getah bening negative meliputi proliferasi tumor atau obstruksi,
kedalaman invasi T4, derajat diferensiasi high grade, invasi limfovaskular, dan pengambilan
sampel kelenjar getah bening yang tidak memadai. Metastasis adenokarsinoma kolorektal
biasanya memiliki gambaran conventional glandular appearance. Terlihat nuclear
pleomorfisme dan hiperkromasia cenderung menonjol. Nekrosis kelenjar sentral juga lebih
khas pada tumor kolorektal( Feby Yanti,2017)

7. Metastatic Squamous Cell Carcinoma (Metastasis SCC) Classic Hodgkin


Lymphoma)
Karsinoma sel skuamosa adalah suatu keganasan pada kulit tipe non melanoma yang
berasal dari keratinosit suprabasal epidermis. Salah satu pemicu utama dari keganasan kulit
ini adalah paparan sinar ultraviolet, sehingga daerah predileksi dari karsinoma ini yaitu
pada bagian tubuh yang sering terpapar oleh sinar matahari, yaitu kepala dan leher.
Karsinoma sel skuamosa merupakan kasus keganasan kulit yang paling sering ditemukan
setelah karsinoma sel basal, yaitu sekitar 20% dari seluruh kasus keganasan kulit non
melanoma adalah karsinoma sel skuamosa. (Zahra Auliya Nasrullah, 2021)
Etiologi dari karsinoma sel skuamosa dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor
pejamu dan faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan perkembangan
penyakit keganasan kulit ini. Faktor pejamu terjadinya karsinoma sel skuamosa seperti

35 | P a g e
usia, pigmentasi, status imunitas, kelainan genetic misalnya xeroderma pigemntosum,
mutasi tumor supresor p53, overekspresi onkogen H-ras, dan disfungsi telomer Individu
yang memiliki risiko tinggi karsinoma sel skuamosa adalah individu yang memiliki
kompleksi kulit putih tipe I dan II, serta apabila terinfeksi human papillomavirus (HPV)
tipe 16,18, dan 31. Selain itu, pasien dalam kondisi immunosupresi seperti pasien yang
telah mendapatkan transplantasi, penderita leukemia limfositik kronik, dan limfoma
memiliki risiko tinggi untuk menderita kanker keganasan ini. (Zahra Auliya Nasrullah,
2021)
Sekitar 75% kasus karsinoma sel skuamosa memiliki tempat predileksi pada daerah
kepala dan leher, terutama pada daerah scalp dan telinga yang merupakan lokasi terbanyak
ditemukannya karsinoma ini. Gambaran klinis yang dapat ditemukan yaitu berupa papul
keratotik, atau plak eritematosa, ataupun berupa ulkus yang tidak kunjung pulih, disertai
dengan batas lesi yang tegas atau difus dan dapat disertai dengan rasa nyeri. Biasanya suatu
tumor yang memiliki sifat progresif akan terfiksasi dengan jaringan yang ada di bawahnya.
Metastasis dapat terjadi secara hematogen ataupun limfatik serta bergantung terhadap
lokasi tumor, ukuran tumor, diferensiasi sel tumor, serta kondisi medis yang mendasari.
(Zahra Auliya Nasrullah, 2021)
Pemeriksaan histopatologi pada lesi karsinoma sel skuamosa dapat digunakan dalam
menegakkan diagnosis karsinoma sel skuamosa kulit, dengan melalukan reseksi ataupun
biopsy Gambaran histopatologi yang paling sering ditemukan pada kasus karsinoma sel
skuamosa adalah invasi keratinosit atipik ke lapisan dermis, adanya gambaran mitosis,
hiperkromasi, nukleus pleomorfik, pembentukan keratin pearl dan hilangnya jembatan
antar sel (Zahra Auliya Nasrullah, 2021)

Secara histologis karsinoma sel skuamosa menunjukkan proliferasi selsel epitel


skuamosa. Terlihat sel-sel yang atipia disertai perubahan bentuk rete peg processus,
pembentukan keratin yang abnormal, pertambahan proliferasi basaloid sel, susunan sel
menjadi tidak teratur, dan membentuk tumor nest (anak tumor) yang berinfiltrasi ke
jaringan sekitarnya atau membentuk anak sebar ke organ yang lain. Squamous cell
carcinoma berasal dari permukaan epitel displastik dan dicirikan secara histopatologis oleh
adanya pulau invasif dan rangkaian sel epitel pipih yang malignan. Invasi biasanya ditandai
oleh adanya ekstensi irregular dari epitelium lesional melalui basement membrane dan

36 | P a g e
menuju jaringan ikat subepitelial. Sel invasif dan masa sel tersebut dapat menyebar lebih
dalam menuju jaringan adiposa, otot, atau tulang, menghancurkan jaringan sehat selama
proses invasi berlangsung. Sel lesional dapat mengelilingi dan menghancurkan pembuluh
darah dan menginvasi lumina vena atau limfatik, dapat pula dilihat invasi sel-sel imun dan
sel inflamasi menuju epitel dan adanya area nekrosis. Epitel lesional ini dapat menginduksi
formasi pembuluh darah kecil (angiogenesis) dan terkadang fibrosis (desmoplasia atau
perubahan scirrhous (Sari kusumadewi,2017)

8. Classic Hodgkin Lymphoma

LH merupakan penyakit keganasan yang mengenai sel-B limfosit dan khas ditandai oleh
adanya sel Reed Sternberg dengan latar belakang sel radang pleomorf (limfosit, eosinofil,
neutrophil, sel plasma dan histiosit).4,5 Sel Reed Sternberg adalah sebuah sel yang sangat
besar dengan ukuran diameter sekitar 15 sampai dengan 45 mikrometer, berinti besar
multilobuler dengan banyak anak inti yang menonjol dan sitoplasma yang sedikit
eusinofilik.(Maya & Rasmawati, 2017)
Penyebab pasti dari limfoma Hodgkin (LH) hingga saat ini masih belum jelas diketahui
namun beberapa faktor, seperti paparan infeksi virus, faktor keluarga dan keadaan
imunosupresi diduga memiliki keterkaitan dengan terjadinya LH.8 Pada 70% atau
sepertiga dari kasus LH yang pernah dilaporkan di seluruh dunia menunjukkan adanya
keterlibatan infeksi virus Epstein Barr (EBV) pada sel Reed-Sternberg.5 Ekspresi gen dari
EBV diduga memicu terjadinya transformasi dan pemrograman ulang dari sel-B limfosit
menuju salah satu fenotif LH. (Maya & Rasmawati, 2017)
Karakteristik utama dari sel Reed Sternberg adalah adanya dua buah inti yang saling
bersisian yang di dalamnya masing-masing berisi sebuah anak inti asidofilik yang besar

37 | P a g e
dan mirip dengan inklusi yang dikelilingi oleh daerah sel yang jernih. Gambaran morfologi
tersebut membuat sel Reed Sternberg tampak seperti mata burung hantu (owl-eye) (Kumar,
V., Abbas, A.K., Aster, J.C. 2018).
Sel Reed Sternberg menunjukkan transformasi limfosit ke arah keganasan. Umumnya
sel Reed Sternberg berukuran besar dan berinti dua dengan sesekali didapatkan varian
mononuclear. Sel Reed Sternberg diperlukan dalam mendiagnosis LH, namun
keberadaannya tidak spesifik untuk LH. Pada kasus yang lebih jarang, sel yang menyerupai
sel Reed Sternberg dapat ditemukan pada penyakit jinak, serta kanker lain termasuk
limfoma non-Hodgkin dan kanker jaringan padat serta pada mononukleosida infeksiosis
(Huether SE, McCance KL, editors. 2019).

38 | P a g e
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Sistem limfatik adalah suatu sistem sirkulasi sekunder yang berfungsi mengalirkan limfa atau
getah bening di dalam tubuh, terutama antarkelenjar limfa. Limfa berasal dari plasma darah yang
keluar dari sistem kardiovaskular ke dalam jaringan sekitarnya. Limfa atau getah bening adalah
cairan jernih kekuning-kuningan yang berisi sel-sel darah putih, keping darah, dan fibrinogen.
Kandungan fibrinogen pada limfa menyebabkan limfa mampu membeku. Cairan getah bening
tidak selalu berada di dalam pembuluh limfa, oleh karena itu disebut sebagai peredaran terbuka.
Sistem limfatik berperan penting dalam membentuk kekebalan atau imunitas tubuh. Di dalam ini
sistem ini, terdapat berbagai organ yang bertugas untuk menghasilkan, menyimpan, dan
menyebarkan sel darah putih ke berbagai bagian tubuh guna melawan kuman penyebab penyakit.
Sistem limfatik terdiri dari kelenjar dan pembuluh yang bekerja sama untuk mengalirkan cairan
getah bening ke sistem peredaran darah. Sistem limfatik termasuk bagian utama dalam sistem
kekebalan tubuh. Bila fungsinya terganggu, kerja sistem imun dalam menangkal kuman penyebab
penyakit pun akan terganggu.
Beberapa gangguan atau penyakit yang dapat menyerang sistem limfatik yaitu dikarenakan
Infeksi yang diakibatkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit dapat memicu perlawanan dari
sistem kekebalan tubuh, termasuk kelenjar getah bening. Kondisi ini bisa menyebabkan
peradangan kelenjar getah bening atau limfadenitis. Kemudian Limfoma merupakan kanker
kelenjar getah bening yang terjadi ketika sel limfosit tumbuh dan berkembang secara tidak
terkendali. Kanker pada sistem limfatik bisa membuat sel-sel limfosit tidak berfungsi dengan baik
dan mengganggu kelancaran aliran cairan getah bening pada pembuluh dan kelenjar limfatik. Dan
Adapun preparate yang digunakan sebagai sampel mengidentifikasi kelianan pada system imun
seperti Normal lymph Nodes,Reaktive lymphoid hyperplasia,Tuberkulosis
Lymphadenitis,Metastatic papillary thyroid carcinoma, metasthatic colorectal, metastathic
squamous cell carcinoma

39 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Adi, S. and Prajitno, J. H. (2015), in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. 2nd edn. Surabaya:
Airlangga University Press, pp. 168–182. Raqiya Rasyid S, Janar Wulan A et al. 2018.
Diagnosis dan Tata Laksana Limfadenopati. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Agatha Sunantara, I Gst Ngr Pt Mandela dkk. 2017. UJI KLINIS SINDROMA KLINIS
LIMFADENITIS TUBERKULOSIS DENGAN FINE NEEDLE ASPIRATION BIOPSY
(FNAB) SEBAGAI BAKU EMAS. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Artha, G. A. (2017). Mutasi braf pada papillary thyroid carcinoma. Patologi Anatomi FK
UNUD/RSUP Sanglah.
Aqilla, S., Harsono, A. B., & Agustina, H. (2022). Gambaran Klinis dan Histopatologi Kanker
Ovarium di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2019-2020. Indonesian Journal of
Obstetrics & Gynecology Science, 5(1), 127–135.
https://doi.org/10.24198/obgynia/v5n1.363
Feby Yanti Harahap, Delyuzar, T. Ibnu Alferally(2017): Hubungan Ekspresi Imunohistokima
Protein Gene Product (PGP9.5) dengan Derajat Histopatologi Adenokarsinoma Kolorektal
Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Medan
Huether SE, McCance KL, editors. 2019. Buku Ajar Patofisiologi. 6th Indonesia ed vol 1.
Singapore: Elsevier.
Kojima M, Itoh H, Motegi A, Sakata N, Masawa N. (2015) Localized lymphoid hyperplasia of the
rectum resembling polypoid mucosa-associated lymphoid tissue lymphoma: a report of
three cases. Pathol Res Pract.;201:757–76
Laksmi, K. Wardhani (2020), “Aliran Limfatik Daerah Kepala dan Leher Serta Aspek Klinisnya”,
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Maya, I. P. G. N. I., & Rasmawati, N. L. M. (2017). Responsi Kasus Limfoma Hodgkin.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 1302006065, 6–11.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/c52b9761d6e8ade70f0502c2708381
b5.pdf

40 | P a g e
Mescher, Anthony L. 2018. Histologi Dasar Junqueira :Teks dan Atlas. Edisi 14. Jakarta EGC.

MEYPRIKA LUCKYNDA PUTRI. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Klien Post Operasi
Limfadenektomi Atas Indikasi Limfadenopati Dengan Masalah Keperawatan Nyeri Akut Di
Ruang Wijaya Kusuma Iii Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis. Kesehatan, 1–54.
Pernomo, B. (2017). Limfoma Non Hodgkin. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
www.pediatrik.com.
Sari kusumadewi (2017) : oral squamous cell carcinoma, program studi pendidikan dokter gigi
fakultas kedokteran universitas udayana
Sayuti, M., & Nouva, N. (2019). Kanker Kolorektal. AVERROUS: Jurnal Kedokteran Dan
Kesehatan Malikussaleh, 5(2), 76. https://doi.org/10.29103/averrous.v5i2.2082
Suparyanto dan Rosad (2015. (2020). Kanker Ovarium. Suparyanto Dan Rosad (2015, 5(3),
248–253.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., K., M. S., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. (2014). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam FK UI Edisi VI. Jakarta : InternaPublishing. Tjokroprawiro, A.,
Poernomo, Setiawan, B., Santoso, D., Soegiarto, G., & Rahmawati, L. D. (2015).
Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 9. Jakarta: EGC; 2019 Paulsen, F dan
Waschake J. 2013. Sobotta: Atlas Aantomi Manusia, Anatomi Umum dan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Sue E. Huether, K. L. (2019). Buku Ajar Patofisiologi, Edisi Keenam, Volume 1. Singapore:
Elsevier Singapore Pte Ltd.
Victor P. Eroschenko.2018. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. Edisi 12.
Jakarta.EGC
Zahra Auliya Nasrullah. (2021). PERBEDAAN KARSINOMA SEL BASAL DAN KARSINOMA
SEL SKUAMOSA BERDASARKAN GEJALA KLINIS DAN GAMBARAN. 6.

41 | P a g e
42 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai