PO
R AN
P EN
DA
HU
LU
AN
Master Plan Air Limbah Kota Barru
Kata Pengantar
Dalam rangka pelaksanaan pekerjaan Penyusunan Master Plan Air Limbah Kota Barru, sesuai Surat
Perjanjian Kontrak antara Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Barru dengan KONSULTAN maka
dapat disusun Laporan Pendahuluan.
Laporan Akhir ini mencakup uraian pendahuluan, gambaran umum wilayah studi, kondisi limbah,
dan rencana penanganan.
Atas segala arahan dan bantuan dari berbagai pihak terkait demi kelancaran pembuatan laporan ini
diucapkan terima kasih.
Demikian Laporan Pendahuluan ini disampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
dapat dipergunakan sebagai bahan masukan untuk melaksanakan program selanjutnya.
Barru, 2014
iv
Master Plan Air Limbah Kota Barru
Daftar Isi
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Gambar v
Daftar Tabel vi
Bab 1 Pendahuluan 8
1.1. Latar Belakang...................................................................................................8
1.2. Maksud, Tujuan Dan Sasaran..............................................................................9
1.3. Ruang Lingkup...................................................................................................9
1.4. Landasan Hukum..............................................................................................10
1.5. Hubungan Rencana Induk air Limbah dengan Rencana Induk lainnya..................11
Bab 2 Visi, Misi dan Arah Pengembangan Pembangunan Kabupaten Barru 12
2.1. Visi dan Misi.....................................................................................................12
2.1.1. Visi Misi Pembangunan Kabupaten Barru.....................................................12
2.1.2. Visi Misi Sanitasi........................................................................................13
2.2. Arah Pengembangan Pembangunan Kota Barru..................................................14
Bab 3 Kondisi, Analisis dan Prediksi Kondisi Umum Kota Barru 27
3.1. Tinjauan Wilayah..............................................................................................27
3.2. Rona Makro......................................................................................................29
3.2.1. Kondisi Fisik Dasar Alamiah........................................................................29
3.2.2. Demografi.................................................................................................36
3.2.3. Sosial Ekonomi..........................................................................................39
3.2.4. Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial..............................................................39
3.2.5. Tata Guna Lahan.......................................................................................43
3.3. Kesehatan Masyarakat......................................................................................44
Bab 4 Pendekatan, Metodologi dan Rencana Kerja 48
4.1. Pendekatan dan Metodologi..............................................................................48
4.1.1. Pendekatan Sistem Penyaluran Air Limbah.................................................48
4.1.2. Pendekatan Sistem Pengaliran Air Limbah...................................................55
4.1.3. Pendekatan Pengolahan Air Limbah............................................................71
iv
4.1.4. Pendekatan Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Aerobik Jenis Lumpur Aktif
82
4.1.5. Pendekatan IPAL Domestik Proses Anaerobik...............................................98
4.2. Rencana Kerja................................................................................................104
iv
Master Plan Air Limbah Kota Barru
Daftar Gambar
iv
Master Plan Air Limbah Kota Barru
Daftar Tabel
Tabel 9 Data Sungai di Kawasan Perencanaan.............................................................................35
Tabel 10 Kemiringan Sungai di Kawasan Perencanaan...............................................................35
Tabel 11 Data Kemiringan Saluran Induk di Kawasan Perencanaan..........................................35
Tabel 12 Jumlah Penduduk dan Kepadatan di Kawasan Perencanaan
Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2013.......................................................................................37
Tabel 14 Kepadatan Penduduk Diwilayah Permukiman...............................................................37
Tabel 15 Jumlah Penduduk Miskin di Kawasan Perencanaan.....................................................38
Tabel 16 Persentase penduduk Di atas Garis Kemiskinan Kab. Barru Tahun 2009 s.d 2013. 39
Tabel 17 Rasio Panjang Jalan Per Jumlah Kendaraan Di Kabupaten Barru Tahun 2009 s.d
Tahun 2013 (m)................................................................................................................................40
Tabel 18 Perkembangan Kondisi Prasarana Utama Jalan (Km) Kabupaten Barru Tahun 2009-
2013....................................................................................................................................................41
Tabel 19 Panjang Jalan Arteri/Kolektor Menurut Jenis Permukaan Kondisi Jalandan Kelas Di
Kabupaten Barru Tahun 2013.........................................................................................................41
iv
Tabel 20 Panjang Jalan Menurut Kelas Jalan Tahun 2009-2013................................................41
Tabel 21 Luas Wilayah Perkotaan di Kabupaten Barru Tahun 2009 s.d Tahun 2013..............43
iv
Master Plan Air Limbah Kota Barru
Bab 1 Pendahuluan
79
Dalam rangka mencapai sasaran pemenuhan kebutuhan akan sektor
Penyehatan Lingkungan Permukiman tersebut, maka perlu didukung oleh
ketersediaan data dan informasi yang cukup mengenai kondisi eksisting bidang
Sanitasi, salah satunya adalah sektor air limbah.
Untuk memenuhi hal itu maka perlu kiranya disusun suatu Master Plan dan
Perencanaan Teknis Air Limbah Kota Barru Kabupaten Barru. Untuk Mewujudkan
penyelenggaraan pengelolaan sistem air limbah Kota Barru Kabupaten Barru yang
baik dan terpadu serta mewujudkan lingkungan perumahan dan permukiman
perkotaan yang layak, sehat, bersih, aman dan serasi dengan lingkungan
sekitarnya dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
79
2. Melaksanakan survey dan pengumpulan data kelembagaan pengelolaan
sistem air limbah kota Barru dan data lain yang relevan.
3. Melaksanakan kordinasi dengan daerah dan instansi terkait di wilayah
Kabupaten Barru.
4. Hasil studi terdahulu
5. Data Kebijakan-kebijakan yang terkait
6. Peraturan Perundangan dan Kelembagaan berkaitan
7. Membuat tahapan pekerjaan untuk skala jangka menengah pada
pembangunan fisik-fisik Air Limbah.
8. Menyusun laporan meliputi Laporan Pendahuluan, Laporan Antara,
Konsep Laporan Akhir dan Laporan Akhir.
79
j. Peraturan MEnteri Lingkungan Hidup nomor 11 tahun 2006 tentang Jenis
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
k. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 86 tahun 2002 tentang
Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup
l. Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum
m. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/PRT/M/2008 tentang
Kebijakan Strategis Air Limbah
1.5. Hubungan Rencana Induk air Limbah dengan Rencana Induk lainnya
79
Master Plan Air Limbah Kota Barru
Visi pembangunan Kabupaten Barru 2010-2015 mengacu pada visi yang telah
disampaikan oleh Bupati/Wakil Bupati hasil pemilihan kepala daerah tahun 2010
yaitu;
79
Visi ini menjadi arah perjalanan pembangunan Kabupaten Barru selama tahun
2010-2015 dengan penjelasan makna visi sebagai berikut :
1. Lebih maju adalah kondisi dimana pada tahun 2015 Kabupaten Barru menjadi
lebih baik dalam hal kualitas sumberdaya manusia yang meliputi angka
harapan hidup, rata-rata lama sekolah, angka melek huruf dan daya beli
masyarakat.
2. Sejahtera bermakna bahwa pembangunan Kabupaten Barru dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial seluruh masyarakat Barru.
3. Taat azas dimaksudkan bahwa pembangunan Kabupaten Barru yang
dilakukan mengacu pada ketentuan hukum dan norma budaya/adat-istiadat
serta kearifan lokal dalam rangka terpeliharanya kebersamaan antar berbagai
unsur dalam tatanan daerah dan terjaminnya keberlanjutan pembangunan.
4. Bermartabat dimaksudkan bahwa pembangunan di Kabupaten Barru dilakukan
dengan berlandaskan pada semangat menuju daya saing dan kemandirian
daerah.
5. Bernafaskan keagamaan bermakna bahwa seluruh aktivitas penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan berlandaskan
nilai-nilai keagamaan.
Berdasarkan visi tersebut di atas, maka misi pembangunan jangka menengah
daerah yang ditetapkan sebagai berikut:
79
sanitasi, kabupaten Barru telah merumuskan visi dan misi sanitasi yang merupakan hasil
dari kolaborasi pemikiran dari berbagai stakeholder terkait. Visi dan misi sanitasi
kabupaten Barru sangat erat dengan kaitannya dengan visi dan misi kabupaten Barru.
Pada kesempatan yang sama, Pokja AMPL BM telah merumuskan tujuan, indikator dan
strategi pengembangan subsektor sanitasi baik dalam jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang. Rumusan visi misi, tujuan, sasaran dan strategi sanitasi
kabupaten Barru telah memperhatikan isu-isu strategis yang termuat dalam dokumen
Buku Putih Sanitasi (BPS). Tabel di bawah ini, merupakan gambaran tentang Visi Sanitasi
dan Misi per-subsektor sanitasi serta Visi dan Misi Kabupaten Barru yang tertuang dalam
Dokumen Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Barru
79
1. Kawasan yang memerlukan Penanganan Intensif
79
Kawasan permukimankumuh merupakan kawasan perumahan yang cenderung
mempunyai kepadatan bangunan yang tinggi, kondisi bangunan yang kurang baik
(kondisi bangunan temporer), serta kondisi lingkungan yang kurang baik (jalan sempit,
kurang ruang terbuka, saluran drainase dan pematusan kurang memadai).
Adapun arahan yang dapat ditujukan bagi perbaikan kawasan permukiman kumuh
pada dasarnya harus mampu menggerakkan swadaya masyarakat sendiri. Adapun
langkah-langkah yang dapat diambil untuk menggerakkan swadaya masyarakat adalah :
79
Pengembangan jalan baru pada kawasan perumahan.
Pengembangan jalan baru pada kawasan perumahan merupakan salah satu upaya
untuk menjadikan kawasan perumahan tersebut tertata, karena dengan adanya jalan
tersebut akan membatasi pengembangan perumahan. Pada kawasan perumahan
yang mendekati daerah bantaran sungai, pengembangan jalan di sepanjang bantaran
sungai akan membatasi pengembangan perumahan pada daerah konservasi sungai,
serta mencegah terbentuknya perumahan padat yang dapat mengarah menjadi
perumahan kumuh.
Untuk penangan pada daerah rawan genangan ini perlu mengadakan beberapa
telaah lingkungan dengan cara:
79
Seperti halnya penanganan perkampungan padat yang sudah di jelaskan diatas
merupakan juga salah satu bagian yang penting guna menanggulangi kebakaran di
kawasan perkampungan padat seperti :
79
memanfaatkan trotoar yang ada. Keberadaan sector informal ini merupakan
permasalahan klasik, akan tetapi dapat menjadi potensi daya tarik kawasan jika
dikembangkan dan tidak lagi menjadi kegiatan pendukung melainkan merupakan
salah satu kegiatan utama yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk di sekitar
kawasan.
- Penggunaan badan jalan untuk parkir kendaraan dan pemberhentian sementara
angkutan umum, karena penggunaan tanah yang ada di kawasan tersebut umumnya
tidak menyediakan lahan untuk parkir kendaraan. Akibatnya lebar efektif jalan
berkurang, sehingga kapasitas jalan tidak optimal.
- Penetapan intensitas bangunan yang sesuai dengan fungsi lahan yang direncanakan,
kondisi eksisting yang sudah berkembang.
- Penetapan Garis Sempadan Bangunan (GSB) sesuai dengan fungsi jalan yang
ditetapkan, fungsi lahan, envelop bangunan.
- Penentuan jenis kegiatan pada kawasan-kawasan di sepanjang jalan-jalan utama atau
jalan lokal yang mempunyai tingkat aksesibilitas tinggi, yaitu kegiatan yang tidak
menimbulkan tarikan dan bangkitan yang besar.
- Pengembangan bangunan yang disesuaikan dengan kecenderungan perkembangan
kegiatan komersial di sekitar kawasan yang mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi di
sekitar jalan dengan aksesibilitas tinggi.
- Menyediakan lahan untuk parkir di dalam fasilitas yang ada di sekitar jalan.
- Penataan PKL yang ada di sekitar kawasan-kawasan tersebut, yakni antara lain
dengan menyediakan lokasi khusus untuk jualan, parkir dan pejalan kaki.
A. MANAJEMEN PERKOTAAN
Pemerintah Daerah secara tipikal harus menangani enam sektor perkotaan yang
saling berhubungan, yaitu pertanahan, lingkungan, infrastruktur, perumahan, fasilitas
social, dan pembangunan ekonomi.
79
1. Sektor pertanahan mencakup pemetaan, pendaftaran tanah, prosedur peralihan
hak atas tanah, perencanaan penggunaan lahan, dan system perpajakan atas
tanah.
2. Lingkungan mencakup penanganan penggunaan sumber daya air, udara dan
tanah secara berkesinambungan.
3. Sektor infrastruktur mencakup air bersih, jalan jembatan, fasilitas komunikasi serta
fasiltas sanitasi dan sampah.
4. Sektor perumahan mencakup penyediaan perumahan bagi semua golongan
masyarakat, pelayanan infrastruktur dasar kepada pengembang ( developer), dan
pengorganisasian pembiayaan pembangunan perumahan.
5. Sektor pelayanan social mencakup pelayanan pendidikan, kesehatan, keamanan,
rekreasi dan program penanganan kaum miskin.
6. Sektor ekonomi meliputi manufaktur, distribusi barang dan jasa, jasa konstruksi,
jasa perbankan dan asuransi.
79
Dalam pengelolaan manajemen perkotaan ini, pengelola diberi hak untuk mengatur
sponsor ship, yaitu pihak pengusaha yang akan memberikan kontribusi pendapatan
dengan kompensasi pemasangan iklan pada tempat – tempat tertentu di wilayah
kota.
3. Pembiayaan Pembangunan
4. Perawatan Manajemen
Dikelola bersama
Pengelolaan dengan badan usaha yang terlibat (badan pengelola utilitas), yaitu
pengelolaan listrik, telepon, drainase dll.
Pengelolaan sendiri, misalnya jalan arteri – kolektor adalah pemerintah, jalan local
adalah masyarakat, jalan untuk lingkungan tertentu adalah keswadayaan, jalan tol
adalah swasta.
Pengelolaan dengan tanggung jawab masing – masing, misalnya bangunan
79
5. Sistem Kerjasama
Mandiri (swasta)
Urun Saham
BOT (Built Operate Transfer)
Investasi (yang sifatnya mengembalikan, misalnya jalan tol)
Pemerintah yang sifatnya pinjaman
Kepentingan Pemerintah
- Menghilangkan kekumuhan kawasan serta terjaminnya
kelancaran dan keamanan aksesibilitas kawasan.
- Kegiatan normalisasi dan melestarikan kawasan perencanaan.
- Meningkatkan kemampuan manajemen pembangunan (skill urban
management).
- Merupakan dokumen pedoman/panduan (guidlines) perancangan
arsitektur, urban design, pemrograman dan pentahapan pembangunan.
Kepentingan Swasta
- Terjaminnya keuntungan dari sisi ekonomis, karena adanya
arahan investasi serta prediksi kebijakan dari pemerintah terutama yang
mengatur tentang tata ruang dan lingkungan pada kawasan perencanaan.
79
- Terjaminnya ketertiban dan kepastian hukum yang berkaitan
dengan arahan kawasan perencanaan, sehingga memberi jaminan
ketenangan dan peluang dalam berusaha.
Kepentingan Masyarakat
- Terbangun dan terpeliharanya sarana, prasarana dan infrastruktur
kawasan secara kuantitas dan kualitas.
- Terjaminnya kesempatan untuk mengembangkan usaha ekonomi,
khususnya di bidang pariwisata dan usaha-usaha jasa lainnya.
- Terciptanya ruang-ruang publik (public space) yang manusiawi,
aman dan nyaman bagi seluruh warga kawasan.
79
Kerjasama ini kemungkinan bisa melibatkan pihak-pihak yang terdiri dari:
pemerintah melalui dinas/instansi terkait, swasta (developer/konsultan), lembaga
formal, organisasi masyarakat, koperasi yang diusahakan oleh masyarakat (KUD,
BUUD), lembaga keuangan dan perseorangan, tergantung pada lingkup dan
bidang kerjasama yang akan dilakukan.
Tahap Pematangan :
- Menyiapkan unsur-unsur kelembagaan (formal/adat-
tradisional) untuk mewakili para pelaku yang akan terlibat dalam kerjasama.
- Menetapkan mekanisme dan prosedur untuk mengorganisir
dan mengelola pembiayaan pembangunan.
- Menetapkan kontribusi berupa manfaat dan kemungkinan
resiko yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang akan melakukan
kerjasama.
- Menetapkan perangkat aturan dan segala persyaratan lainnya
yang harus ditaati oleh masing-masing pelaku kerjasama.
- Menyusun program kerja dan pembagian tugas serta tanggung
jawab dari masing-masing pelaku kerja sama.
b. Manajemen Pengelolaan
Pengembangan Kawasan
79
solusi desain, sehingga mendapatkan hasil yang optimal termasuk di dalamnya
aspek pelestarian dan pengembangan kawasan perencanaan.
2. Indikasi Program
79
Indikasi program di sini yang dimaksud adalah penentuan prioritas pelaksanaan
rencana yang terkandung pada kawasanperencanaan, mengingat beberapa hal sebagai
berikut :
a. Adanya keterbatasan dana pembangunan yang tersedia pada setiap tahapan
pembangunan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
b. Adanya komponen kawasan yang mempunyai efek ganda yang cukup besar untuk
mengarahkan perkembangan wilayah perencanaan sesuai dengan struktur yang telah
direncanakan.
c. Adanya pertahapan pembangunan di Kota Kecamatan Barru yang telah ditetapkan
dalam konsep Peraturan Zonasi (Zoning Regulation).
Mengingat tidak semua kebutuhan fasilitas dapat dibangun, karena ada beberapa
dasar pertimbangan dalam penentuan program yang akan dilaksanakan pada kawasan
perencanaan. Dasar-dasar pertimbangan tersebut seperti :
a. Keterbatasan dana yang tersedia.
b. Adanya sarana dan prasarana yang telah ada dan masih dapat dimanfaatkan
c. Adanya permasalahan yang sifatnya bisa dipecahkan.
d. Adanya komponen kawasan yang mempunyai multiplier effect yang besar untuk
merangsang tercapainya struktur yang diinginkan.
79
Master Plan Air Limbah Kota Barru
79
Tabel 1 Luas Wilayah Kecamatan Barru
No Kelurahan Dan Desa Luas Administrasi Persentasi Luas
(%)
1 Kel. Sumpang Binaga 1.8 0.9
e
2 Kel. Tuwung 12.35 6.2
3 Kel. Coppo 26.83 13.46
4 Kel. Mangempang 13.8 6.92
5 Kel. Sepe’e 16.47 8.26
6 Desa Siawung 8.36 4.19
7 Desa Tompo 34.86 17.5
8 Desa Galung 28.52 14.31
9 Desa Palakka 36.33 18.23
10 Desa Anabanua 20 10.03
Total 199.32 100
Adapun kelurahan/desa yang masuk dalam kawasan Kota Kecamatan Barru terdiri
dari:
Kelurahan Sumpang Binangae
Kelurahan Mangempang
Sebagian wilayah Kelurahan Tuwung
Sebagian wilayah Kelurahan Coppo, dan
Sebagian wilayah Kelurahan Sepe’e
79
Total 71,25 2500 35,087
Kota Barru juga dilalui oleh jaringan jalan Trans Sulawesi, yang menghubungkan
wilayah pantai barat antar wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan maupun menjadi jalur
yang menuju ke Provinsi Sulawesi Barat. Jalur ini merupakan jalur yang cukup ramai
dilalui baik itu kendaraan angkutan penumpang maupun angkutan barang.
Dari Kota Makassar, melalui jalan darat, Kota Barru dapat dicapai dalam waktu
kurang lebih 2-3 jam. Kondisi jaringan jalan Trans Sulawesi cukup baik, meskipun pada
beberapa titik masih dalam tahap pengerjaan.
Berdasarkan topografi lahan, wilayah Kecamatan Barru terbagi atas daerah dataran
rendah dan sebagian besar merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian dari
permukaan air laut berkisar 1 sampai 108 m. Hal ini cukup mendukung pada mata
pencaharian utama rata-rata penduduk di Kecamatan Barru yakni pertanian.
Sedang kondisi topografi Kota Barru yang terbagi dalam (5) lima kelurahan yakni
Kelurahan Sumpang Binangae, Kelurahan Tuwung, Kelurahan Coppo, Kelurahan
Mangempang, dan Kelurahan Sepe’e sebagian besar relatif dasar sampai landai, dan
sebagian kecil berbukit tergolong dalam kondisi agak curam. Besaran kemiringan dengan
luas masing-masing dan jika ditinjau dari klasifikasi kemiringan lereng yang berkisar
antara 0 – 2 % termasuk daerah datar, kemiringan lereng 2 – 15 % termasuk daerah
yang landai dan 15 – 40 % termasuk daerah agak curam.
79
Tabel 3 Keadaan Wilayah Berdasarkan Kemiringan di Kecamatan Barru Tahun 2014
No Kecamatan Kemiringan Tanah/Lereng(Ha) Total
0 - 2 % 2 - 15% 15 - > 40%
40%
1 Barru 3.179 7.642 7.441 1.67 19.932
Persentase(%) 15,95 38,34 37,33 8,38 100
Jika dilihat dari ketinggian wilayahnya, dari permukaan air laut, kondisi Kota Barru
tergolong rendah dengan ketinggian rata-rata 0 – 10 m di atas permukaan air laut, dan
79
sebagian kecil wilayahnya merupakan daerah perbukitan yang berada pada ketinggian 10
– 100 m di atas permukaan air laut.
b. IKLIM
1) Curah Hujan
Kota Barru memiliki iklim sedang dan dipengaruhi oleh 2 musim yaitu, musim iklim
timur dan musim iklim barat. Pada musim barat biasanya selalu banyak membawa uap
air, hal ini terjadi pada bulan-bulan Oktober sampai Mei-Juni dan ditandai dengan banyak
turun hujan. Sedangkan pada musim timur tidak terlalu banyak membawa uap air,
biasanya terjadi pada bulan-bulan Juli sampai September-Oktober, ditandai dengan
kurangnya turun hujan (musim kemarau).
Pada tahun 2001 curah hujan terbesar terjadi pada bulan Desember sebesar 831
mm dan hujan terkecil pada bulan Agustus 1 mm. Pada tahun 2002 curah hujan terbesar
terjadi pada bulan Januari sebesar 603 mm dan pada bulan Agustus dan Spetember tidak
terjadi hujan. Pada tahun 2003 hujan terbesar terjadi pada bulan Desember sebesar 1193
mm dan terkecil pada bulan Agustus 3 mm. Pada tahun 2004 hujan terbesar terjadi pada
bulan Maret sebesar 706 mm dan bulan Agustus tidak ada hujan. Pada tahun 2005 hujan
terbesar terjadi pada bulan Januari sebesar
79
775 mm dan terkecil bulan Agustus hanya 4 mm. Pada tahun 2006 hujan terbesar
terjadi pada bulan Maret sebesar 544 mm dan pada bulan Agustus , Septemer, dan
Oktober justru tidak ada hujan. Pada tahun 2007 hujan terbesar terjadi pada bulan
Januari sebesar 1260 mm dan terkecil pada Juli sebesar 5 mm. Pada tahun 2008 hujan
terbesar terjadi pada bulan Desember sebesar 832 mm dan terkecil pada bulan Juli 21
mm. Pada tahun 2009 hujan terbesar terjadi pada bulan Januari sebesar 938 mm dan
bulang Agustus tidak ada hujan. Pada tahun 2010 hujan terbesar tejadi pada bulan
Desember sebesar 779 mm dan terkecil pada bulan Juli 170 mm.
Hujan terbesar pernah tejadi dalam 10 tahun terakhir adalah tahun 2007 sebesar
1270 mm yang terjadi di bulan Januari. Patut diwaspadai setiap silkus 5 tahun akan
terjadi hujan besar. Pada bulan-bulan Januari, Desember, dan Maret perlu waspada akan
terjadi hujan besar.
200 71 49 50 20 11 15 37 83
1 1 7 0 1 6 3 6 7 1 1 95 0 1 831
200 60 20 19 25 27 13 30 41
2 2 3 5 8 0 0 4 7 9 2 6 603
200 45 33 30 14 38 11
3 3 6 7 4 6 83 23 27 3 11 34 7 93 1193
200 53 39 70 14 27 29 43
4 4 0 6 6 5 2 30 16 4 7 5 7 706
200 77 13 20 17 10 11 20 33 50
5 5 5 4 6 7 9 22 7 4 36 4 7 5 775
200 38 31 54 23 19 30
6 6 9 9 4 8 6 92 9 55 1 544
200 12 62 18 24 13 12 15 25 67
7 7 60 5 9 3 7 3 5 9 46 3 3 1 1260
200 56 39 62 14 13 21 46 70 83
8 8 3 0 9 9 2 6 21 33 19 6 0 2 832
9 200 93 52 29 14 79 17 47 12 19 84 44 938
9 8 8 7 3 0
79
1 201 70 20 13 25 41 26 17 20 33 27 48 77
0 0 0 6 1 3 7 2 0 7 2 9 0 9 779
Terrend 12 62 54 25 41 26 17 20 33 46 70 11
ah 60 5 4 3 7 2 0 7 2 6 0 93 1260
Total hari hujan selama setahun di Kabupaten Barru sebanyak 113 hari dengan
jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm/tahun. Curah hujan di Kabupaten Barru
berdasarkan hari hujan terbanyak pada bulan Desember-Januari dengan jumlah curah
hujan 1.335 mm dan 1.138 mm, sedangkan hari hujan masing-masing 2 hari dengan
jumlah curah hujan masing-masing 104 mm dan 17 mm.
15 10 15
1 2001 5 90 0 40 50 6 5 1 25 35 50 50 155
12 13 17 17
2 2002 5 88 40 48 85 4 4 5 0 0 170
15 15
3 2003 50 85 47 22 44 23 8 29 5 22 0 0 150
10 1
4 2004 72 80 0 65 65 30 5 4 3 78 78 100
15 4 10 10
5 2005 0 35 42 50 46 22 9 3 36 50 4 4 150
28
6 2006 73 62 5 30 50 92 9 25 25 285
7 2007 19 11 50 89 73 12 5 7 34 12 60 60 195
79
N Tahu Ja Fe Ma AP Me Ju Ju Ag Se Ok No De Terbes
o n n b r R i n l s p t v s ar
5 0 3 0
14 18 10 21 1 12 20 20
8 2008 60 0 5 44 6 6 0 10 10 0 0 0 216
20 10 1
9 2009 0 0 80 22 30 17 8 5 12 20 20 200
11 10 4 14 14
10 2010 5 31 41 88 8 61 1 98 46 83 5 5 145
20 14 28 10 21 4 12 20 20
Terrendah 0 0 5 89 8 6 1 98 46 0 0 0 285
2) Temperatur dan Kelembaban
Suhu udara antara 27°C sampau dengan 29°C dengan kelembaban antara 66%
sampai dengan 88% dan penyinaran matahari 70% sampai 95%.
3) Arah dan Kecepatan Angin
Kecepatan angin rata-rata 7,70 Km/jam not.
c. Hidrologi
Selain hal tersebut di atas, juga dipengaruhi oleh kondisi wilayah yang dilalui oleh
sungai-sungai besar dan kecil, yakni Sungai Jampue, Sunagai Lajari, dan Sungai
Kecil/ Saluran Induk Coppo, Gempunge, Malleperu. Berdasarkan hasil survey, terlihat
bahwa sebagian daerah terjadi genangan air pada saluran drainase yang secara periodik
berupa empang, tambak, dan daerah rawa.
Wilayah Studi adalah kawasan perencanaan termasuk DAS sungai yang melintasi
atau mempengaruhi drainase Kota Barru, antara lain:
79
3. Sungai Jampue
4. Saluran Induk Jampue
5. Saluran Induk Coppo
6. Saluran Induk Amaro
Tabel 9 Data Sungai di Kawasan Perencanaan
NO Nama Luas Dimensi Debit Debit Debit
. Sungai DAS Panjan Lebar Dala Maksimu Rata- Minimu
(Ha) g m m Rata m
(m) (m) (m) m3/det m3/det m3/det
1 Jampue 7.65 20 30 3 47,26 * 1,4
2 Lajari 190 3.245 6 2 2,7 * 0,15
Sumber : Master Plan Drainase Kota Barru
Tabel 10 Kemiringan Sungai di Kawasan Perencanaan
NO. Nama Elevasi Panjang Panjang Panjang
Sungai Hilir (Muara Tengah Hulu Muara Ke Dari Total
Pantai) (Kaki (Bukit) Kaki Kaki (m)
Bukit) Bukit (m) Bukit
(m) (m) (m) Ke Hulu
(m)
1 Jampue 0,95 8 90 6.5 13.5 20
2 Lajari 0,95 3,8 4,2 3.25 3.25
Sumber : Master Plan Drainase Kota Barru
Tabel 11 Data Kemiringan Saluran Induk di Kawasan Perencanaan
No. Nama Elevasi Panjang Panjang
Saluran Hilir Tengah Hulu Muara ke Total
Induk (Muara (Kaki (Bukit) Kaki Bukit
Pantai) Bukit) (m)
(m) (m) (m)
1. Malleperu 1.26 4.15 7.50 2,150 2,150
2. Gempunge 1.26 4.5 9.2 5,600 5,600
79
3. Jampue 2.2 2.95 4.2 1,250 1,250
4. Coppo 1.2 2.5 16.75 3,300 3,300
5. Amaro 1.3 2.4 10.5 675 675
Sumber : Master Plan Drainase Kota Barru
3) Luas dan Sebaran Kawasan Rawan Bencana
Bencana yang sering melanda Kabupaten Barru berupa bencana alam anara lain
banjir, angin puyuh, dan tanah longsor. Bencana banjir sering melanda kawasan
Kelurahan Takkalasi (Kecamatan Balusu) dengan luas sebaran 1.380 Ha. Bencana angin
puyuh terjadi hampir setiap tahun dengan lokasi di Kecamatan Barru (Desa Anbanua,
Palakka, Galung, dan Tompo) denga luas wilayah sebaran 11.971 Ha, sedangkan di
Kecamatab Tanete Riaja (Desa Harapan, Libureng Lempang, Lompo Tengah, Kading)
dengan luas wilayah sebaran 12.698 Ha. Bencana tanah longsor sering terjadi di Desa
Harapan (Kecamatan Tanete Riaja) dengan luas wilayah sebaran 5.310 Ha.
3.2.2. Demografi
a. Jumlah dan Tingkat Kenaikan Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Barru sampai tahun 2013 adalah 35.447 jiwa, terdiri
dari 16.878 jiwa penduduk laki-laki dan 18.599 jiwa penduduk perempuan. Sex ratio
penduduk Kecamatan Barru adalah 91, artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 91
orang laki-laki. Penduduk ini tersebar pada 10 desa/kelurahan yang luas wilayah 199,32
79
Km2 dengan kepadatan penduduk sekitar 5.103 jiwa/Km 2 dan yang terjarang adalah Desa
Tompo, yaitu 55 jiwa/Km2. Sedangkan jumlah penduduk di Kawasan Perencanaan (5
kelurahan) berdasarkan data statistik Kota Barru Dalam Angka Tahun 2013 berjumlah
24.545 jiwa dengan tingkat kepadatan berdasarkan luas wilayah administarsi adalah 3,46
jiwa/ha, sedangkan jika menurut luas kawasan terbangun kepadatan penduduk sebesar
25 jiwa/ha dan berdasarkan luas permukiman kepadatan penduduk 68 jiwa/ha. Lihat
tabel di bawah ini.
Tabel 12 Jumlah Penduduk dan Kepadatan di Kawasan Perencanaan
Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2013
NO KELURAHAN/DESA LUAS JUMLAH PENDUDUK KEPADATAN
SEBAGIAN KEC. WILAYAH LAKI- PEREMPUAN TOTAL KOTOR
BARRU (Ha) LAKI (JIWA/Ha)
Tabel 14 Kepadatan Penduduk Diwilayah Permukiman
di Kawasan Perencanaan Tahun 2013
79
NO KELURAHAN/DESA LUAS JUMLAH PENDUDUK KEPADATAN
SEBAGIAN KEC. TERBANGUN LAKI- PEREMPUAN TOTAL KOTOR
BARRU (Ha) LAKI (JIWA/Ha)
1 Kel. Sumpang Binaga 50 4350 4836 9186 184
e
2 Kel. Coppo 45 2002 2054 4056 101
3 Kel. Tuwung 35 1705 1879 3584 102
4 Kel. Sepe’e 130 1265 1519 2784 21
5 Kel. Mangempang 110 2392 2643 5035 46
TOTAL 370 11,714 12,931 24,645 68
Sumber : Kab. Barru dalam angka
b. Kelahiran dan Kematian
Angka kematian balita sebesar 1,01 per 1.000 balita, angka kematian bayi sebesar
4,32 per 1.000 bayi, angka kematian neonatal sebesar 3,23 per 1.000 kelahiran, angka
kematian ibu melahirkan sbear 1,70 per 1.000 kelahiran hidup; (2) angka kesakitan
(morbidity) yang meliputi penyakit diare sebear 10,75 per 1.000 penduduk.
c. Distribusi dan Kepadatan Penduduk
d. Klasifikasi Penduduk
Tabel 15 Jumlah Penduduk Miskin di Kawasan Perencanaan
NO Nama Kelurahan 2011 2012 2013 Jumlah Rasio
Penduduk (%)
79
2013
Tabel 16 Persentase penduduk Di atas Garis Kemiskinan Kab. Barru Tahun 2009 s.d 2013
No. Kabupaten Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
Kota Barru dalah salah satu kota yang cocok dan kondusif untuk dijadikan daerah
pemukiman dan daerah perdagangan, hal tersebut dikarenakan karena posisinya yang
strategis.
79
a. Perumahan dan Permukiman
Jenis/Klasifikasi
Jenis perumahan yang terdapat di Kawasan Perencanaan yaitu rumah permanen,
semi permanen dan rumah sederhana dan juga terdapat rumah panggung.
Tabel 17 Rasio Panjang Jalan Per Jumlah Kendaraan Di Kabupaten Barru Tahun 2009 s.d
Tahun 2013 (m)
No. Uraian Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
1 Panjang Jalan 735.17 748.37 767.94 845.9 956.03
2 Jumlah 11.186 7.994 8.656 13.344 13.681
Kendaraan
3 Rasio 66 9,36 89 63 70
Sumber : Kab. Barru dalam angka
79
Tabel 18 Perkembangan Kondisi Prasarana Utama Jalan (Km) Kabupaten Barru Tahun
2009-2013
No Klasifikasi Perkembangan Panjang Jalan
Jalan 2009 2010 2011 2012 2013
1 Jenis
Permukaan
Jalan Aspal 323,95 344,59 370,03 361,04 406,21
Jalan Kerikil 12,12 73,02 64,76 20,57 12,3
Tanah 239,56 220,41 222,8 225,01 188,77
Tidak Terinci 54,24 5,05 5,05 133,98 243,45
Jumlah 629,87 643,07 662,64 740,6 850,73
2 Kondisi Permukaan
Baik 150,12 193,08 260,03 278,06 420,05
Sedang 144,65 158,24 81,85 200,9 122,32
Rusak 77,93 79,16 98,67 93,83 88,66
Rusak Berat 257,17 212,59 222,09 167,81 219,7
Jumlah 629,87 643,07 662,64 740,6 850,73
Sumber : Kab. Barru dalam angka
Tabel 19 Panjang Jalan Arteri/Kolektor Menurut Jenis Permukaan Kondisi Jalandan Kelas
Di Kabupaten Barru Tahun 2013
No Keadaan Negara Provinsi Kab/Kota
1 Jenis Permukaan
Jalan Aspal 71,4 33,9 406,21
Jalan Kerikil 12,3
Tanah 188,7
Tidak Terinci 243,45
Jumlah 71,4 33,9 850,73
2 Kondisi
Permukaan
Baik 420,05
Sedang 122,32
Rusak 88,66
Rusak Berat 219,7
Jumlah 71,4 33,9 850,73
Sumber : Kab. Barru dalam angka
79
II
Kelas III/Class 111,98
III
Kelas III 113,15 98,9 115,65 115,65 115,65
A/ClassIII A
Kelas III 89,2 210,58 138,2 138,2 138,2
B/Class III B
Kelas III 197,68 221,61 174,58 174,58 174,58
C/Class III C
Tidak Dirinci 229,84 234,21 312,17 422,3
Jumlah 629,87 643,07 662,64 740,6 850,73
Sumber : Kab. Barru dalam angka 2010
Rencana Pengembangan
A. Jaringan Jalan di Wilayah Kabupaten Barru Meliputi:
1) Sistem jaringan jalan Arteri yang merupakan jaringan jalan nasional di Kabupaten
Barru terdiri atas:
Ruas batas Kota Parepare – 3e s BTR 32 Batas Kota Barru sepanjang 47.033 Km;
Ruas Jln. Bau Massepe sepanjang 2.797 Km
Ruas Batas Kota Barru-Pekkae sepanjang 5.664 Km;
Ruas Jln. Hasanuddin sepanjang 3.674 Km; dan
Ruas Pekkae- Batas Kab. Pangkep sepanjang 8.987 Km.
2) Sistem Jaringan Jalan Kolektor Primer K2 di kabupaten Barru yaitu Ruas Pekkae-Batas
Kab. Soppeng sepanjang 33,38 Km;
3) Sistem Jaringan Jalan Kolektor Sekunder, yang terdiri atas :
Ruas jalan Kolektor sekunder Gempunge-Lampoko, (Gempunge - Garongkong -
Lalengkacipireng - Lipukasi – Coppo -Tuwung-Sepe’e-Binuang-Riatang Salo-
Lampoko);
Ruas jalan kolektor sekunder Bungi-Parenring, (Bungi-Lapabila-Parenring);
Ruas jalan kolektor sekunder Lompo Riaja-Lempeng (Lompo Riaja-Parenring-
doidoi-Pattuda-Jempulu-Pumbadare-Lempang Perbatasan Kab. Bone);
Ruas jalan kolektor sekunder Pekkawatu - Mangempang (Pekkawatu - Pallaka-
Kaerenge – Lakonrae – Batubessi -Mangempang);
Ruas jalan kolektor sekunder kaerenge – Takkalasi (Kaerenge-Barang-Kalompie-
Desa Kamiri-Lawampang-Takkalasi); dan
Ruas jalan kolektor sekunderKamiri-Mangkoso, (Kamiri-Lasanre-Desa Paccekke-
79
Kiru kiru- Mangkoso)
1) Pembangunan Terminal Tipe A di Kecamatan Tanete Rilau;
Peningkatan terminal tipe C di Kawasan Perkotaan Barru;
Mempertahankan terminal tipe C di Kawasan Bojo Baru;
Pembangunan terminal tipe C di Kawasan Perkotaan Palanro;
Pembangunan terminal tipe C di Kawasan Perkotaan Mangkoso
Pembangunan terminal tipe C di Kawasan Perkotaan Takkalasi;
Pembangunan terminal tipe C di Kawasan Perkotaan Ralla; dan
Pembangunan terminal tipe C di Kawasan Perkotaan Doi-doi.
3) Terminal barang yang akan mendukung Kawasan Strategis Garongkong terdapat
di Kecamatan Barru.
79
No Uraian 2009 2010 2011 2012 2013
1. Luas Terbangun 6887. 6883 6106 9120 9883
2. Luas Budi daya 59 382 64 394 67 671 67 671 67 671
Sumber: Bappeda Kab. Barru
Luas lahan sawah dan lahan kering di Kecamatan Barru pada tahun 2013 masing-
masing sebesar 3447,78 ha dan 13.186,53 ha. Berdasarkan cara perolehan air
untuk kebutuhan persawahan maka lahan pertanian di golongkan menjadi lahan
dengan pengairan ½ teknis sebesar 1.110,01 ha, pengairan sederhana dari PU
sebesar 500 ha, pengairan non PU sebesar 419,70 ha dan tadah hujan/lainnya
sebesar 1.009,49 ha.
Capaian posyandu per satuan balita mengalami peningkatan dari 1,76 pada tahun
2010 menjadi 1,91 pada tahun 2011, capaian puskesmas, poliklinik, pustu per
satuan penduduk dipertahankan sebesar 0,026 pada tahun 2010 dan tahun 2011,
capaian Rumah Sakit per satuan penduduk mengalami peningkatan dari 0,001
pada tahun 2010 menjadi 0,006 tahun 2011, capaian dokter per satuan penduduk
mengalami peningkatan dari 0,023 pada tahun 2010 menjadi 0,126 pada tahun
2011, capaian tenaga medis per satuan penduduk mengalami peningkatan dari
0,032 pada tahun 2010 menjadi 0,175 pada tahun 2011. Secara lebih rinci
79
berbagai kondisi capaian indikator pembangunan bidang urusan kesehatan dari
tahun ke tahun dapat dilihat pada tabel berikut :
No Uraian Tahun
2008 2009 2010 2011
1. Rasio posyandu per satuan balita 2,30 2,36 1.76 1.91
2 Rasio puskesmas, poliklinik, pustu per 0,027 0,028 0.026 0.026
satuan penduduk
3 Rasio Rumah Sakit per satuan penduduk 0,001 0,001 0.001 0.006
4 Rasio dokter per satuan penduduk 0,013 0,018 0.023 0.126
5 Rasio tenaga medis per satuan penduduk 0,022 0,028 0.032 0.175
6 Cakupan komplikasi kebidanan yang 100% 100% 98,36% 96,07%
ditangani
7 Cakupan pertolongan persalinan oleh 97.29% 82.22% 86,64% 89,68%
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan
8 Cakupan Desa/kelurahan Universal Child 90.74% 79.63% 88,89% 92,6%
Immunization (UCI)
9 Cakupan Balita Gizi Buruk mendapat 100% 100% 100% 100%
perawatan
10 Cakupan penemuan dan penanganan 100.65% 22.62% 40,41% 44,25%
penderita penyakit TBC BTA
11 Cakupan penemuan dan penanganan 100% 100% 100% 100%
penderita penyakit DBD
12 Cakupan pelayanan kesehatan rujukan 62.25% 84.69% 91,27 82,91 %
pasien masyarakat miskin
13 Cakupan kunjungan bayi 97.75% 90.65% 98,30 95,7 %
14 Cakupan puskesmas 10/7 10/7 10/7 100
15 Cakupan pembantu puskesmas 31/54 31/54 31/54 31/54
Sumber Data: Dinas Kesehatan Kabupaten Barru, Tahun 2011
79
Capaian rumah tangga bersanitasi mengalami peningkatan dari 61,99 persen pada
tahun 2005 menjadi 64,18 persen pada tahun 2009. Penderita sakit yang terkait
dengan pencemaran lingkungan akibat air adalah sakit ISPA dan diare.
Jenis Penyakit
(1) Angka kematian (mortality) yang meliputi, penyakit ISPA dengan prevalensi
10,58 per 1.000 penduduk, DHF sebesar 0,48 per 1.000 penduduk, hepatitis
sebesar 0,10 per 1.000 penduduk, campak sebesar 0,06 per 1.000 penduduk,
tetanus sebesar 0,002 per 1.000 penduduk, pertusis 0,01 per 1.000 penduduk,
hypertensi dengan prevalensi 5,14 per 1.000 penduduk, diabetes mellitus
sebesar 1,05 per 1.000 pendudukdan gangguan pembuluh darah dan jantung
sebesar 0,78 per 1.000 penduduk;
(2) Status gizi yang meliputi prevalensi bayi yang lahir dengan berat badan rendah
sebanyak 19,40 per 1.000 bayi lahir, prevelensi penderita GAKY pada murid SD
sebanyak 59,3 per 1.000 murid, ibu hamil yang menderita KEK sebesar 25 per
1.000, ibu hamil yang menderita anemia gizi besi sebanyak 22,2 per 1.000 ibu
hamil dan menurunnya prevelensi gizi kurang pada anak balita sebesar 20,40
persen;
(3) Penyehatan lingkungan dan pencegahan serta pemberantasan penyakit yang
meliputi persentase rumah sehat sebesar 27% dari sekitar 33.880 rumah yang
ada, jumlah tempat-tempat umum yang memenuhi persyaratan kesehatan
sebnyak 245 TTU atau mencapai 54%, imunisasi DPT-1 sebanyak 3.266 bayi
atau 99,51%, campak sebanyak 3.136 bayi atau 95,55%, desa UCI sebanyak 34
desa/kel atau 63 %, pemeriksaan rumah bebas jentik sebesar25,23%, posyandu
mandiri sebanyak 2,58%, jumlah masyarakat yang memanfaatkan puskesmas
sebagai sarana pelayanan kesehatan (rawat jalan dan rawat inap) sebanyak
49.303 jiwa atau mencapai 30,94% dari jumlah penduduk;
(4) Upaya kesehatan ibu dan anak dan perbaikan gizi yang meliputi pertolongan
persalinan dari 3.092 persalinan atau mencapai 86%, jumlah bayi yang diberi ASI
eksklusif sebesar 1.126 bayi dari total 3.092 bayi atau mencapai 36%, jumlah
ibu hamil yang mendapatkan pelayanan Fe-1 sebanyak 296 ibu hamil dari
sasaran 3.546 ibu hamil atau mencapai 8% sedangkan untuk FE-3 sebanyak 6%,
imunisasi TT-1 bagi ibu hamil sebesar 90 persen dari TT-2 sebanyak 87%;
79
(5) Upaya pencipataan keluarga kecil berkualitas meliputi jumlah pasangan usia
subur (PUS) sebanyak 27.916 pasangan yang terdiri dari peserta KB aktif
sebanyak 15.242 pasangan yang tidak terlayani sebesar 12.647 pasangan,
pemakai alat kontrasepsi non hormonal sebanyak 8,80%, peserta KB laki-laki
sebanyak 2,44%, usia perkawinan pertama yang menikah di atas 20 tahun
sebesar 99,10 persen dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,92 % dan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 0,92%, sementra usia harapan hidu 67,1 tahun.
79
NO YES
79
sistem salurannya adalah umum, sehingga sistem saluran tersebut dapat disebut Public
System. Jadi jika ditinjau dari lokasi daerah sumber air bekas yang letaknya ada yang
tidak dapat dijangkau dan ada yang dapat dijangkau oleh saluran sanitary sewage secara
umum. Maka menurut lokasi daerah pelayanannya, sistem pembuangan air sanitary
sewage dari suatu lingkungan masyarakat dapat dibagi menjadi dua, yaitu Individual
Systems dan Public Systems.
79
Daerah pemukiman dan
perdagangan terpencil Pembuangan sewage secara
Individual sistem individu
Sanitary sewage
Storm Sewage
Jika ditinjau dari segi cara penyalurannya maka ada dua macam air limbah, yaitu
Storm Sewage dan Sanitary Sewage dimana terdapat badan sungai sebagai badan air
79
penerima. Aliran air yang tidak berbahaya disalurkan melalui saluran tersendiri dan aliran
air yang berbahaya disalurkan tersendiri pula. Berarti masing-masing dipisahkan satu
sama lain. Sistem tersebut disebut ”Sistem Terpisah” atau Separate Systems. Peninjauan
secara umum hanya didasarkan pada terpisahnya penyaluran antara storm sewage
dengan sanitary sewage. Kemudian ada alternatif-alternatif dari air limbah yang tidak
berbahaya disalurkan masuk bersama air limbah yang berbahaya.
Sistem terpisah
Sistem campuran
Sistem interceptor
Saluran air hujan dapat sependek mungkin, sedangkan saluran sanitary sewage
harus atau sedapat mungkin dapat melayani penyaluran air bekas dari daerah pelayanan
79
sebanyak-banyaknya, sehingga salurannya panjang. Jika pada daerah tersebut curah
hujannya besar (debit aliran air hujan besar) dibanding dengan debit maksimum sanitary
sewage atau jika sistem penyalurannya secara campuran, (saluran harus tertutup) maka
saluran di sampingnya harus mempunyai ukuran diameter yang cukup besar.
Saluran yang berdiameter besar tersebut harus pula melewati jalur daerah
pelayanan sebanyak mungkin. Jadi saluran tersebut panjang dan ujung akhir saluran tidak
boleh pada sembarang tempat, yaitu di hilir sungai yang melewati kota atau dekat
dengan kota tersebut, berjarak agak jauh dari batas daerah pemukiman. Sesuai dengan
periode desain jarak ujung saluran dari pemukiman kira-kira 300 sampai 500 meter,
dimana pada tempat itu ada bangunan pengolahan air limbah. Pada musim kering, atau
tidak ada hujan, saluran yang berdiameter besar tersebut hanya terisi sanitary sewage
yang relatif sangat kecil, yang kadang-kadang kedalaman airnya minimum, untuk
tenggelamnya benda-benda yang ada di saluran sukar tercapai.
Sistem terpisah sesuai bila diterapkan pada daerah yang mempunyai fluktuasi
debit air hujan pada musim hujan yang besar sekali dibandingkan dengan maksimum
sanitary sewage yang relatif sangat kecil.
Sistem campuran sesuai diterapkan pada daerah yang mempunyai fluktuasi debit
air hujan pada musim hujan yang relatif kecil, jika dibandingkan dengan debit
maksimum sanitary sewage yang mengalir bersama, sedemikian rupa jika waktu
hujan turun, debit air yang ada pada saluran sistem campuran tersebut tidak
memberikan undulasi/fluktuasi kedalaman air dalam saluran tertutup tersebut. Hal
tersebut sangat perlu diperhatikan bahwa pada sistem ini, salurannya panjang dan
memerlukan kemiringan tertentu yang diperlukan.
79
Jika kemiringan medan tanah (permukaan tanah) lebih besar dari pada kemiringan
saluran yang diperlukan, tidak menjadi persoalan. Tetapi jika kemiringan tanahnya
kurang (permukaan tanahnya relatif datar) dari pada kemiringan saluran yang
diperlukan, makin ke hilir salurannya dibenamkan ke dalam tanah yang makin dalam,
yang kadang-kadang karena begitu dalamnya, biaya penggalian tidak ekonomis lagi
jika dibandingkan dengan biaya konstruksi pompa ( plus operation and maintenance )
maka perlu adanya stasiun pompa (mungkin pada beberapa tempat). Hal ini mungkin
terjadi pula pada saluran sanitary sewage secara terpisah, dimana debitnya relatif
kecil jika dibandingkan dengan sistem campuran.
Seperti yang telah diuraikan diatas, maka sistem campuran sesuai bila diterapkan
pada daerah yang mempunyai fluktuasi debit air hujan pada musim hujan yang relatif
kecil penambahannya, jika dibandingkan dengan debit maksimum sanitary sewage yang
mengalir bersama-sama, sedemikian rupa, ukuran diameter salurannya tidak mempunyai
perbedaan yang terlalu besar pada debit musim kering dan musim hujan. Ketika debit
maksimum tercapai, di dalam saluran waking atau free board yang diperlukan harus
memenuhi persyaratan tertentu.
Sedangkan ketika ada hujan debit dan kecepatan air yang ada di-upstream naik
menjadi lebih besar sedemikian rupa sehingga lubang masuk ke dalam saluran interseptor
dilompati. Air tidak masuk ke dalam saluran interseptor melainkan langsung melimpah ke
dalam air penerima, untuk hal ini perlu ada perlengkapan khusus.
79
Sistem saluran interseptor ini seyogyanya jangan diterapkan pada sistem
keseluruhan saluran air limbah dalam kota, melainkan pada bagian daerah kota yang
letaknya berada di bagian bawah aliran badan air penerima, sedemikian rupa, air yang
ada pada badan air penerima tersebut sudah tidak lagi dipergunakan oleh adanya
pemakaian penduduk setempat atau letaknya pelimpahan berada di bawah penggunaan
sumber air baku dari instalasi air limbah.
Disamping itu adanya debit air dalam badan air penerima cukup besar (setiap
saat) cukup mengencerkan, tanpa adanya pengaruh negatif terhadap kehidupan air yang
ada dalam badan air penerima tersebut. Syarat lain, badan air penerima tidak boleh
dipengaruhi oleh adanya air pasang surut, yang akan mengakibatkan aliran kembali ke
arah hulu yang dapat mencapai bangunan intake instalasi pengolahan air limbah kota
tersebut, dan sebagainya.
Dari ketiga sistem diatas, dibuat beberapa pattern, dimana macamnya pattern
disesuaikan dengan karakteristik daerah pelayanannya. Ada lima pattern yang pada
umumnya dapat dipakai sebagai pedoman untuk merencanakan sistem jaringan jalur
saluran, baik saluran air hujan (storm sewage) maupun untuk saluran air bekas (sanitary
sawage), terpisah atau tercampur. Sistem pattern-pattern tersebut adalah sebagai
berikut:
Dapat dipakai untuk sistem jaringan saluran air hujan atau sistem jaringan saluran
tercampur (storm or combined sewerage).
Pada umumnya dapat dipakai untuk sistem jaringan saluran tercampur ( combined
sewerage).
4. Pattern kipas
79
Dapat dipakai baik untuk sistem jaringan saluran terpisah maupun yang tercampur
(sanitary or combined sewerage).
4. Kondisi pengaliran.
a. Jenis Pengaliran
Didalam penyaluran air buangan pada pengelolaan air limbah dikenal dua jenis
aliran yaitu:
1. Pengaliran yang mengalami tekanan, yaitu pengaliran yang terjadi dalam pipa
akibat adanya pemompaan (tekanan hidraulik) didalam saluran tertutup, karena
muka air tidak berhubungan secara bebas dengan tekanan atmosfir.
79
Jika melebihi harus diinjeksi udara dengan debit 1 liter/menit untuk setiap mm diameter
pipa.
Aliran harus dapat membawa material yang terdapat didalam saluran meskipun
didalam kondisi debit minimum sampai ke bangunan pengolahan.
Pengaliran air buangan harus tiba secepatnya sampai ke bangunan pengolahan air
buangan untuk menghindari terjadinya pembusukan dan pengaliran tidak lebih dari
18 jam untuk daerah tropis.
Dalam menentukan besarnya debit air buangan suatu daerah ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan antara lain:
Dari perkiraan besarnya keperluan pemakaian air minum yaitu: rumah tangga,
bangunan umum/institusi, bangunan komersil, bangunan industri, diperkirakan tidak
79
semuanya akan mengalir sebagai air buangan yang ditampung didalam saluran air
buangan, tapi ada sebagian yang meresap kedalam tanah atau mengalami
penguapan. Adanya kehilangan air ini disebabkan karena air minum selain digunakan
bagi keperluan primer seperti makan minum, mandi dan cuci, juga air minum
digunakan untuk keperluan lainnya seperti: menyiram tanaman, mencuci kendaraan
dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan dan pendekatan terhadap adanya kehilangan
air ini maka untuk keperluan perencanaan sistem penyaluran air buangan tinja
ditentukan besarnya perkiraan rata-rata debit air buangan yang dihasilkan per orang
perhari, yaitu:
Dimana Qa.m = besarnya kebutuhan rata-rata air minum (liter/hari) atau liter/detik.
Yang dimaksudkan dengan debit air buangan non domestik disini adalah: air buangan
yang berasal dari bangunan-bangunan komersial, bangunan industri, bangunan
umum/institusi, bangunan pemerintahan. Besarnya harga Qx tergantung pada berapa
besarnya pemberian air minum (liter/bangunan/hari) qx-i. Dengan mengambil kriteria
kehilangan air seperti yang ditentukan diatas, maka: Qx = 70 % x Qa.m.
Didalam pengalirannya, air yang masuk kedalam jalur perpipaan saluran air buangan
juga akan bertambah, yaitu air yang berasal dari infiltrasi air tanah, air hujan dan air
permukaan. Infiltrasi tidak dapat dihindari, ini disebabkan antara lain:
79
Besarnya harga Q md bervariasi antara (1,1 – 1,25) dari debit rata-rata air buangan
(Q a.b)
Nomogram manning.
6. Persamaan Kontinuitas
Untuk suatu aliran, debit aliran yang melalui suatu penampang saluran dinyatakan
sebagai berikut: Q = A x V
Dimana:
Untuk persoalan-persoalan yang menyangkut aliran tetap ( steady flow) debit aliran
adalah tetap sepanjang saluran (kontinu).
Pada sistem perpipaan air limbah, perletakan saluran air buangan diharapkan
harus dapat memberikan:
Proses self cleaning yaitu kemampuan dari pada pipa untuk mencegah
terjadinya pengendapan partikel (kemampuan membersihkan diri sendiri).
1. Kecepatan Aliran
Kecepatan aliran didalam saluran air buangan dibagi dalam dua golongan yaitu:
79
Kecepatan maksimum
Kecepatan minimum.
Pembatasan kedua kecepatan ini sangat penting artinya, baik disaat merencanakan
maupun disaat saluran telah berfungsi menyalurkan air buangan, sehingga kesalahan
yang dapat merugikan sistem selama pengalirannya dapat diperkecil. Dengan
perkataan lain saluran pada kondisi kecepatan minimum masih dapat mengalirkan air
buangan dan bahan-bahan yang terdapat didalam saluran, sedangkan pada kondisi
kecepatan maksimum aliran tidak merusak/menggerus bagian dalam saluran.
Kecepatan aliran maksimum didalam saluran air buangan ditetapkan sebagai berikut:
Untuk kepentingan perencanaan saluran air buangan kecepatan minimum aliran air
buangan pada saat Q Peak:
4. Kedalaman Aliran
d min = db = 5 cm, untuk tinja di Indonesia pada pipa halus untuk kondisi pipa
saluran yang kasar, kedalaman berenang atau db ini dapat dicapai pada saat debit
minimum, maka tidak perlu di glontor.
79
Pada awal pipa, kedalaman aliran = 60 & dari diameter saluran, waktu
debit puncak.
Pada debit puncak, kedalaman aliran (dp) tidak boleh melebihi 80 & dari
diameter pipa (dp/D ≤ 0,8). Jika dp/D > 80 &, maka diameter pipa diperbesar
atau kemiringannya (slope) diperbesar, dimana d/D = 60 & dicapai kembali.
Persil hb = 0,45 m
Service = 0,60 m
Hanya untuk kedalaman maksimum pemasangan pipa yaitu kedalaman ujung akhir
pipa induk dibatasi tidak melebihi kedalaman 7,0 meter, karena jika lebih besar,
harus dengan sistem TUNNELING.
Seperti telah diuraikan bahwa sakuran untuk air buangan adalah harus tertutup dan
kedap air. Saluran tertutup itu banyak macam bentuk dan bahannya. Mengenai
bentuknya seperti yang telah diketahui ada yang berbentuk bulat telur, bulat
lingkaran dan lain sebagainya. Lihat gambar berikut:
sircular
Avoid type A
79
For use in circular tunnels
Avoid type B
Avoid type C
Dalam membangun suatu jaringan baik untuk air minum maupun air buangan
sebagian besar modal banyak yang ditanamkan untuk pembelian pipanya, maka
sangatlah penting menentukan pilihan material pipa yang paling sesuai. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan/dipertimbangkan dalam pemilihan bahan pipa antara lain:
Kekuatan dan daya tahannya harus bisa dijamin, terutama terhadap gaya dalam
dan luar pipa, terhadap korosi akibat air tanah maupun air buangnannya sediri,
juga terhadap umur pipa.
Selain faktor-faktor tersebut diatas, faktor ekonomi atau kesanggupan daerah juga
menentukan pilihan jenis pipa yang akan dipakai. Macam-macam jenis pipa yang
dapat digunakan untuk jaringan pengumpul/penyalur air buangan. Beberapa faktor
teknik cenderung menentukan pilihan akhir bagi jenis pipa, termasuk tekanan dalam
pipa kondisi hidraulik dan pengoperasian, maksimum diameter pipa yang dipakai,
ketahanan terhadap korosi, kondisi daerah, tanah serta topografinya.
79
Mengingat demi praktisnya dalam pemasangan dan pemilihan saluran, maka hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penempatan dan pemasangan pipa/saluran dibawah
tanah adalah sebagai berikut:
Adanya saluran-saluran lain seperti saluran air minum, saluran gas, saluran
listrik. Jika saluran-saluran itu terlintasi, maka saluran air kotor ditempatkan
dibawahnya.
Ketebalan tanah urugan dan kedalaman pipa dari muka tanah, harus disesuaikan
dengan diameter saluran (minimum 1,20 ml dan maksimum 7 m) untuk pipa
lateral/induk.
Secara umum sebaiknya saluran service pembuangan air kotor dipasang dibelakang
rumah. Sebab air kotor tersebut berasal dari kamar mandi, tempat cuci dan lain-lain
yang terletak dibelakang rumah atau rumah bagian belakang.
Tepi jalan, sebaiknya dibawah trotoar atau tanggul jalan. Ini mengingat
kemungkinan dilakukan penggalian dikemudian hari untuk perbaikan.
Dibawah (ditengah jalan) bila jalan tidak lebar dan bila dibagian kiri dan kanan
jalan etrdapat jumlah rumah atau bangunan yang hampir sama banyaknya.
Bila penerimaan air kotor dari kanan dan kiri tidak sama, dapat dipasang ditepi
jalan, dibagian mana yang paling banyak sambungannya (paling banyak rumah-
rumahnya).
79
Saluran bisa diletakkan dikiri dan dikanan jalan jika disebelah sisi kiri dan kanan
jalan terdapat banyak sekali rumah/bangunan.
8. Ukuran Saluran
Melihat akan fungsinya, perpipaan penyalur air buangan dibedakan atas: pipa persiil,
pipa service, pipa lateral, pipa cabang dan pipa induk.
a. Pipa Persil
Yaitu pipa saluran yang umumnya terletak didalam pekarangan rumah dan
langsung menerima air buangan dari rumah tinggal atau bagian gedung yang
menghasilkan buangan. Umumnya bagi peruntukan pipa persil digunakan jenis
pipa PVC dengan bentuk profil bulat lingkaran, dan biasanya ukuran diameter
adalah 4- 5 inchi.
b. Pipa Service
Yaitu pipa saluran yang menampung aliran air buangan dari pipa-pipa persil.
Kadang-kadang pipa service terletak memanjang didepan atau dibagian belakang
rumah-rumah dan diluar pekarangan. Pipa service biasanya menggunakan pipa
jenis PVC, dengan ukuran diameter adalah 6 – 8 Inchi.
c. Pipa Lateral
Yaitu pipa saluran yang menerima aliran air buangan dari pipa-pipa service.
Biasanya pipa lateral terletak memanjang disepanjang jalan sekitar daerah
perumahan. Bahan saluran dapat dipilih dari jenis-jenis pipa yang khusus
diperuntukkan bagi keperluan ini, biasanya dari pipa PVC atau pipa beton.
Bentuk profil pipa lateral, menggunakan penampang lingkaran. Diameter awal
pipa lateral 8-10 inchi.
d. Pipa Cabang
79
Yaitu pipa saluran yang menerima aliran air buangan dari pipa-pipa lateral.
Umumnya pipa cabang digunakan bentuk pipa dengan profil lingkaran dari bahan
beton pracetak.
e. Pipa Induk
Yaitu pipa saluran yang menerima aliran air buangan dari pipa-pipa cabang, dan
meneruskannya ke lokasi pembuangan akhir atau ke lokasi IPAL.
Setiap pipa limbah yang ditanam didalam parit galian, akan menerima beban akibat
penimbunan (beban diam dan beban bergerak). Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembebanan pada saluran antara lain:
Beban yang diterima oleh saluran akibat penimbunan atau urugan tanah
diatasnya, dpat dihitung dengan bantuan formula marston, yang dituliskan
sebagai berikut:
Wc = cd.w.Bd2 ...........
Dimana:
79
Untuk menentukan besarnya harga cd pada persamaan diberikan sebuah
diagram yang menyangkut nilai cd dihubungkan dengan ratio kedalaman
penggalian saluran dan lebar galian.
Kemampuan kekuatan pipa-pipa air limbah diuji dengan air atau udara pada
prisnsip yang sama pada pipa-pipa penyediaan air bersih atau air minum. Untuk
pengujian dengan air tekanan pengujian berkisar 1½ x tekanan kerja pipa. Kebocoran
yang umum diijinkan adalah dibawah 0,4 lt air per mm diameter pipa, per km panjang
pipa, untuk setiap 24 jam, dan untuk setiap 100 m tekanan pengujian.
Untuk pengujian air dengan udara, tekanan maksimum pengujian yang umum
berkisar sekitar 40.000 kg/m 2, kehilangan tekanan diabaikan selama beberapa jam.
Pengujian dengan udara dapat berbahaya karena energi kinetis yang terkumpul terdapat
dalam pipa selama pengujian sehingga pengujian dengan udara memerlukan pengelaman
dalam pengoperasian.
Jaringan pipa yang mengalirkan aliran secara kontinyu memerlukan pengujian yang
memuaskan yang dilakukan dengan mengukur besarnya air yang keluar melalui
dinding pipa dibawah kondisi tertentu, dan praktisnya akan diperhatikan sebagai
indikasi relatif infiltrasi yang terjadi.
79
Memerlukan sejumlah besar air.
Terbuangnya waktu pada pengujian dengan air kurang menguntungkan pada pipa-
pipa dengan sambungan mekanik/ sambungan fleksibel. Karenanya akan lebih
disukai, pengujian dengan udara yang dapat segera dilakukan dalam beberapa menit,
tetapi amat mudah dipengaruhi (berakibat) kebocoran yang kecil sekalipun pada
penahan maupun pada peralatan-peralatannya serta timbulnya pengaruh yang besar
akibat perubahan-perubahan temperatur. Pengujian dengan udara bukanlah
pengukuran hilangnya (bocornya) sejumlah air tetapi pengukuran hilangnya tekanan,
karena itu membersihkan indikasi yang akurat mengenai kondisi daripada pipa.
Pengujian dengan air ditekankan pada pengujian dengan tekanan pada air setinggi
1,2 meter (120 m bar) diatas lengkung atau punggung pipa ujung awal atau pangkal
yang tinggi dan tidak lebih dari 6 m (600 m bar) pada ujung akhir yang rendah.
Pada suatu panjang dengan kemiringan yang curam jika ketinggian ujung akhir
melampaui 6 m maka pengujian dilakukan terhadap perbagian panjang jaringan pipa.
30menit setelah pengisian air seperti cara tersebut diatas dilakukan pengukuran
kehilangan air dengan penambahan air yang diukur melalui tong-tong pengisiannya
pada setiap interval 10 menit dan dicatat interval 10 menit dan dicatat air yang
diperlukan/ditambahkan dalam menjaga muka air yang konstan pada tong-tong
pengukurannya. Penambahan rata-rata banyaknya air pada pipa-pipa hinga diameter
460 mm diharapkan tidak melebihi 1 m/jam panjang pipa per 1000 mm diameter
nominal (diameter dalam). Tong-tong pengukur/pengisi pada ujung pangkal (tinggi
tekanan 1,2 m) dilakukan dengan penyambungan bend 90 o serta pipa lurus dengan
diameter yang sama dengan diameter pipa pada ujung tersebut, sedangkan ujung
lainnya/ujung akhir ditutup (bentuknya menjadi mirip stand pipe). Besar turunnya
79
muka air pada tong-tong permukaan (stand pipe) pada setiap 100 m panjang pipa
selama setiap 10 menit pengujian, tidak melampaui.
25 x 103
L = ------------------ mm
pengukuran (standpipe)
Metode pengujian ini dilakukan sebelum penimbuan pipa atau tidak dilakukan jika
parit galian (tempat perletakan pipa) penuh dengan air. Perlu hati-hati selama
melakukan pengujian dengan udara seperti perubahan-perubahan temperatur selama
pengujian yang dapat berakibat pada pembacaan monometer karena ekspansi udara
sehubungan dengan meningkatnya temperatur. Pada setiap perbedaan temperatur 1 o
C, tekanan udara akan berubah 38 mm tekanan air.
Panjang pipa yang diuji secara efektif diisi dengan pemompaan udara hingga suatu
tekanan air setinggi 100 mm pada tabung gelas U yang dihubungkan kesistim
pengujian pipa. Tekanan udara tidak boleh kurang dari 75 mm selama periode waktu
5 menit tanpa dilanjutkan pemompaan (tanpa pemompaan lagi) dan pada temperatur
udara yang stabil. Tekanan pengujian yang tidak boleh dilampaui seperti dan
penggunaan tekanan udara yang tinggi akan mengakibatkan timbulnya energi
potensial yang dapat berbahaya jika lepas/dibuang secara tiba-tiba. Pengujian ini
tidak dapat langsung dihubungkan dengan pengukuran besarnya kehilangan
sepanjang permukaan pipa tetapi hanya suatu indikasi dari kemungkinan adanya
kerusakan pada pipa dan bila terjadi gangguan/kerusakan pada pipa berdasarkan
pengujian tersebut, maka pengujian dengan air perlu dilakukan seperti telah
dijelaskan diatas. Untuk mengetahui besarnya kehilangan/kebocoran air pipa.
79
e. Bangunan Pelengkap Dan Fungsinya
Manhole
Drop manhole
Syphon
1. Manhole
Penempatannya:
a. Pada jalur saluran yang lurus, dengan jarak tertentu tergantung diameter
saluran, seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
1. 50 – 100
50 100 – 125
Pada umumnya manhole dibuat dari konstruksi beton, pasangan batu kali, batu bata.
Didalam merencanakan konstruksi manhole, besarnya diameter manhole harus cukup
untuk dimasuki pekerja-pekerja.
79
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tutup manhole adalah:
Mudah untuk diperbaiki dan diganti, sehubungan dengan kerusakan akibat lalu
lintas.
Bersifat padat.
Terbuat dari beton atau pasangan batu bata dan batu kali. Jika diameter pipa
besar dan kedalaman ≥ 2,50 meter digunakan beton bertulang. Bagian atas
dinding manhole perlu diberi konstruksi yang fleksibel.
2. Drop Manhole
Jika pertemuan cabang saluran yang tingginya tidak sama digunakan drop manhole.
Jika saluran yang datang letaknya lebih tinggi dari pada saluran yang meninggalkan.
Drop manhole digunakan jika beda elevasi antara incoming dan outgoing ≥ 45 cm.
Tujuannya adalah untuk melindungi orang yang mungkin suatu waktu masuk
kedalam manhole dan untuk menghindari splashing/menceburnya air buangan.
Tekanan yang disebabkan menceburnya air buangan dapat merusak dinding dan
dasar drop manhole, juga lepasnya H2S. Bentuk bangunan manhole dan drop
manhole.
Bangunan terminal clean out, digunakan pada ujung saluran air buangan misalnya:
pada pipa lateral dan dekat dengan fire hydrant. Tujuan pemasangan terminal clean
out adalah untuk tempat memasukkan alat pembersih, penggelontor dan
memasukkan alat penerangan pada waktu pemeriksaan saluran.
79
4. Perlengkapan Vent (Pertukaran Hawa)
Untuk mengeluarkan gas yang berbau, yang terkumpul pada saluran misalnya:
H2S yang dapat menyebabkan korosi dan membahayakan pekerja. Juga
digunakan untuk memasukkan udara segar kedalam saluran.
Mencegah timbulnya H2S sebagai hasil proses dekomposisi zat organik didalam
saluran.
Vent ini juga dipergunakan apabila perjalan air kotor dari permulaan sumber
sampai akhir saluran lebih besar dari 18 jam perjalanan.
18 jam
X = ------------ x Vr (m/dt)
24 jam
dimana:
79
Persamaan diatas berlaku jika kondisi aliran air buangan didalam saluran adalah
ideal, yaitu dengan assumsi: selama pengeliran tidak terdapat hambatan-hambatan
dan gangguan-gangguan. Akan tetapi dalam kenyataanya tidaklah demikian adanya
ketidak lancaran aliran dan terjadinya pengendapan-pengendapan didalam saluran,
maupun pada bangunan-bangunan pelengkap lainnya tidak mungkin diatasi 100 &
dengan sendirinya adanya kondisi ini perlu peninjauan kembali penggunaan
persamaan diatas dalam perencanaan.
5. Belokan
Pembuatan belokan pada saluran air buangan haruslah mendapatkan perhatian yang
besar, mengingat pada tikungan biasanya terjadi kehilangan energi aliran yang cukup
besar. Persyaratan yang perlu dipegang dalam merencanakan belokan antara lain
adalah:
Pada belokan tidak boleh terjadi adanya perubahan bentuk penampang lintang
saluran.
Bentuk saluran harus uniform, yaitu baik yang menyangkut radius, maupun
kemiringan saluran.
Pada setiap tikungan atau belokan harus dibuatkan sebuah manhole untuk
memindahkan pemeriksaan/pemeliharaan terhadap clogging.
Radius lengkung belokan yang sangat pendek perlu dihindari, agar kehilangan
energi aliran dapat ditekan seminimalnya.
Untuk mengatasi ini, maka dibatasi bentuk radius lengkungan dari pusat adalah
lebih besar dari 3 kali diameter saluran.
79
Pengelolaan air limbah rumah tangga ini terdiri dari beberapa sistem, yaitu:
sistem pengumpulan, sistem penyaluran dan sistem pengolahan air limbah. Secara garis
besar kegiatan dalam pengolahan air limbah dapat dikelompokkan menjadi 6 (enam)
bagian, antara lain:
Pengolahan ini bertujuan untuk menghilangkan unsur nitrogen dan fosfor untuk
mempertahankan kualitas air masih baik. Prinsip pengolahannya dapat berupa
pengolahan fisik, kimia, dan biologi.
79
Pengolahan lanjutan yaitu berupa pengolahan lumpur yang bertujuan untuk proses
pembusukan dan meredusir volume lumpur dan pemanfaatan lumpur buangan
(Anonim, 2003).
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003,
pengolahan air limbah domestik terpadu adalah sistem pengolahan air limbah yang
dilakukan secara bersama-sama (kolektif) sebelum dibuang ke air permukaan. Ketentuan
yang dipersyaratkan dalam pengolahan limbah secara terpadu meliputi:
Air limbah domestik hasil pengolahan tidak melampaui baku mutu yang telah
ditetapkan.
79
Saluran pembuangan domestik tertutup dan kedap air.
79
Presipitasi
Tipe konvensional
Pemekatan
Flotasi
Filtrasi lambat
Tipe bertekanan
Filtrasi cepat
Tipe gravitasi
Filter percoat
Mikro filter
Filtrasi Ultra filter
Filter Membran
Reverse osmosis
Dialisis elektris
Belt press
Presipitasi centrifugasi
Centrifugasi
Dehidrasi centrifugasi
Gambar 3 Diagram Pengolahan Secara Fisik
(Sumber: Djajadiningrat, 1992)
79
Netralisasi
Reaksi Redoks
Aerasi
Ultra Violet
Karbon aktif
Adsorbsi
Alumina aktif
Zeolite
79
3. Pengolahan Secara Biologi
79
Metode standar
Aerasi
Proses nitrifikasi
Proses
Aerob
denitrifikasi
Trickling filter
Cakram biologi
Pengolahan film
Filter terendam
Reactor fluidisasi
Lagoon
Pencerna anaerob
Anaerobic
UASB
79
Seluruh modifikasi ini dapat menghasilkan efisiensi penurunan BOD sekitar 80% –
90%. Ditinjau dari segi lingkungan dimana berlangsung proses penguraian secara
biologi, proses ini dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu:
Apabila BOD air limbah tidak melebihi 4.000 mg/lt maka proses aerob dianggap lebih
ekonomis bila dibandingkan dengan proses anaerob. Namun jika BOD air limbah lebih
besar dari 4.000 mg/lt maka proses anaerob menjadi lebih ekonomis.
79
Tabel 23 Model Instalasi Pengolahan Air Limbah
106
d Wetland anaerobic, menghilangkan industri yang lemah menarik, murah, tidak berbau harus intensif
pathogen
Anaerobic Pengendapan, degradasi Limbah industri kuat dan Konstruksi sederhana, fleksibel Butuh lahan luas, berbau, dan
Ponds anaerobic dan stabilisasi medium dalam pencapaian derajat banyak nyamuk.
lumpur pengolahan, perawatan minim
Aerobic Degradasi aerobic dan Pretreatment dari limbah Konstruksi sederhana, awet, Butuh lahan luas, sedikit
Ponds penghilangan pathogen domestik dan industri baik dalam menghilangkan berbau, banyak nyamuk,
pathogen bisa sebagai kolam pertumbuhan algae dapat
ikan jika loading kecil meningkatkan BOD effluent.
Active Degradasi aerobic Limbah industri kuat dan Efisiensi tinggi Butuh skill dan pengetahuan
Sludge medium dalam mengoperasikan dan
perawatan, konsumsi energi
tinggi dan produksi lumpur
banyak.
106
4.1.4. Pendekatan Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Aerobik Jenis
Lumpur Aktif
Lumpur aktif adalah masa biologik kompleks yang dihasilkan bila limbah
organik diberi penanganan secara aerobik. lumpur akan mengandung berbagai
macam mikroorganisme heterotrofik termasuk bakteri, protozoa, dan bentuk
kehidupan yang lebih tinggi. Jenis mikroorganisme utama yang mendominasi akan
tergantung pada limbah yang ditangani dan cara proses pengoperasian (Jenie dan
Rahayu, 1993).
Aerator Clarifier
Effluent
Air limbah X,V,S
(Q – Qw) S, Xe
Q, So
Lumpur aktif yang dikembalikan Qw, X
ke dalam sistem Qr, Xr, S Kelebihan lumpur
106
(Sumber: Djajadiningrat, 1992)
Untuk menjamin hasil yang baik (efisiensi tinggi), perlu diperhatikan beberapa
kriteria/faktor sebagai berikut:
Pembebanan organik/hidrolik.
Kebutuhan nutrien.
Kondisi lingkungan.
2. Kriteria Pembebanan
Waktu tinggal rata-rata dari sel (mean cell residence time) c.
............................................................................................
(1)
106
V = Volume tangki aerasi (m3).
Hubungan antara laju penggunaan spesifik dengan ratio jumlah makanan dan
mikroorganisma dinyatakan dalam:
...........................................................................................
(3)
Waktu tinggal rata-rata sel ditentukan oleh volume yang diambil: penempatan
berdasarkan volume tangki aerasi.
.......................................................................
(4)
106
Xw = Konsentrasi VSS pada lumpur yang dibuang
(gr/m³)
.........................................................................
(5)
Dalam pra-rancangan proses lumpur aktif biasanya persamaan (4) yang lebih
banyak digunakan.
(6)
Reaksi kinetik
Transfer oksigen
Perlu diketahui lumpur yang dihasilkan setiap hari, untuk dapat merencanakan
unit pengolahan lumpur serta fasilitas pembuangannya.
106
Dimana: Px = Produksi lumpur netto, diukur berdasarkan VSS
(kg/hari). Yobs = Yield observasi (g/g).
Yobs = ...................................................................................
(8)
...........................................................................
(9)
c = V/Qwa .......................................................................................
..........................................................................................................
(10)
Atau
Qwa = .........................................................................................
(10a)
..........................................................................................
(11)
Atau
106
.......................................................................................
(12)
5. Kebutuhan Oksigen
Dalam aerasi harus selalu tersedia O2, minimum 1-2 mg/ltr. Kebutuhan O2 ini
secara teoritis dapat ditetapkan berdasarkan BOD 5 dari air limbah tersebut,
juga jumlah organisme yang dibuang setiap hari. Apabila seluruh BOD 5
dikonversikan seluruhnya menjadi produk akhir, maka kebutuhan oksigen
diperhitungkan berdasarkan konversi BOD5 ke BOD ultimate.
113 5(32)
= 1,42
Berarti BOD dari sel adalah sama dengan BODL = 1,42 (massa dari sel g/m³).
Untuk F/M > 0,3; kebutuhan udara untuk proses konvensional adalah sekitar
30 – 40 m³/Kg BOD5 yang disisihkan.
106
Bila ratio F/M lebih kecil maka kebutuhan udaranya akan lebih besar, 75 –
115 m³/Kg BOD5.
a. Conventional
b. Complete Mix
Pada proses ini influen air limbah dimasukkan ke dalam beberapa tempat
dari tengah-tengah tangki aerasi. Pembebanan organik dari tangki aerasi
dan kebutuhan oksigen adalah sama besar/ uniform dari satu sisi ke sisi
lainnya.
c. Tapered Aeration
d. Step Aeration
Proses ini adalah modifikasi dari sistem konvensional dimana air limbah
dimasukkan pada beberapa tempat dari tangki aerasi untuk menyamakan
rasio dari U, sehingga kebutuhan puncak dari oksigen diperendah.
e. Modified Aeration
106
Bagan alir dari proses ini sama dengan jenis konvensional ataupun
tapered aeration process, hanya saja waktu aerasi diperpendek menjadi
1,5 sampai 3 jam saja dan ratio makanan terhadap organisme
dipertinggi. Penyisihan BOD hanya sekitar 60% – 75% sehingga tidak
cocok apabila dikehendaki effluent yang berkualitas baik.
g. Extended Aeration
h. Oxydation Ditch
106
kecepatan air sebesar 1 – 2 fps digerakkan oleh rotor. Kedalaman air
sekitar 1 meter.
i. Kraus Process
Air limbah yang mengandung sedikit nitrogen agak sulit diolah dengan
proses lumpur aktif. Untuk itu maka supernatan dari sludge digester,
lumpur yang telah diolah dalam digester, dan sebagian dari lumpur yang
diresirkulasi dari bak pengendap bersama-sama diaerasi dalam suatu
tangki aerasi, yang terpisah dari tangki aerasi utama, selama 24 jam
untuk mengubah amonia nitrogen menjadi nitrat dan kemudian
dimasukkan ke dalam tangki aerasi utama (Djajadiningrat, 1992).
a. Nutrien
b. Kadar Oksigen
106
mikroaerofil atau fakultatif, dan anaerob. Dalam hal ini yang paling
banyak digunakan adalah pada tipe proses aerob yang sangat tergantung
dari adanya oksigen antara 0,8 – 4 mg/l sebagai oksigen terlarut. Pada
kadar oksigen ini aktivitas metabolisme oksidatif mikroflora sangat
tergantung dari oksigen untuk fungsi respirasi dan sebagai hasil akhir
metabolisme aerob adalah CO 2, air, dan sejumlah kecil amonia. Apabila
kadar oksigen turun di bawah 0,5 mg/l tipe mikroflora yang fakultatif
akan aktif dan hasil akhir metabolismenya berupa laktat, alkohol, keton,
aldehid disamping air dan CO2. Pada keadaan anaerob produk akhir yang
dihasilkan berupa methan, H2S, dan CO2 disamping asam organik,
aldehid, dan keton.
c. Temperatur dan pH
d. Senyawa Toksik
Senyawa ini berupa polutan yang tidak bermanfaat pada proses asimilasi
limbah. Senyawa toksik pada limbah dapat berasal dari logam berat (As,
Cu, dan Hg), klorin, dan iodin mengakibatkan sistem enzim pada sitokrom
serta respirasi transport substrat dan replikasi bahan inti sel terhenti. Jadi
apabila dalam limbah terdapat senyawa toksik yang cukup mampu
menghambat, maka aktivitas atau proses asimilasi biologis yang
diharapkan akan terhenti. Toksisitas bahan organik dan anorganik yang
mampu menghambat aktivitas biologis limbah, dipengaruhi oleh faktor
lain seperti suhu, pH, kadar garam, dan waktu kontak. Dari beberapa
106
faktor yang mempengaruhi aktivitas pertumbuhan mikrobia, maka bila
salah satu faktor menjadi berlebih, dapat mengganggu kelancaran proses
yang diharapkan. Apabila ada salah satu atau beberapa faktor yang tidak
sesuai, maka perlakuan awal atau pretreatment perlu diberikan pada air
limbah sebelum diolah. Apabila kadar BOD terlalu tinggi, effluent perlu
diperlambat, bila pH tidak sesuai perlu ditambahkan asam atau basa dan
sebagainya dengan kata lain perlakuan awal yang diberikan berupa
pengaturan dan penyesuaian dengan syarat yang harus dipenuhi untuk
pertumbuhan mikroba. Apabila kondisi air limbah sudah sasuai dengan
persyaratan bagi aktivitas mikrobia, beberapa parameter yang saling
terkait perlu pula diamati dalam kaitannya dengan kelancaran proses
yang diharapkan. Beberapa parameter operasional dan yang perlu
dimonitor antara lain rasio BOD dan mikroba (F/M), campuran bahan
padat terlarut (MLSS), unsur endapan ( sludge age), waktu aerasi
(detention time), resirkulasi endapan (sludge return) dan kekompakan
endapan (sludge settling) (BTKL, 1998).
106
10.000
Pure Oxygen 8 - 20 0,25 – 1,0 1,6 - 3,3 6.000 –
Systems 8.000
Sumber: Met Calf and Eddy, 1979
a. Bak Penampung
b. Saringan Kasar
c. Bak Equalisasi
d. Bak Aerasi
106
Bak ini berfungsi sebagai penambahan oksigen agar mikroorganisme
yang ada dapat menguraikan bahan-bahan organik dan mengurangi
konsentrasi zat pencemar (Sugiharto, 1987).
e. Bak Sedimentasi
f. Bak Klorinasi
9. Pengolahan Lumpur
Lumpur adalah hasil samping dari pengolahan air limbah. Lumpur pada
pengolahan air limbah dibedakan bedasarkan sumber, karakteristik, dan
jumlah yang dihasilkan. Komposisi kandungan lumpur yang dihasilkan perlu
diketahui untuk menentukan jenis pengolahannya. Komposisi lumpur meliputi
kandungan zat padat, lemak dan minyak, nitrogen, fosfat, besi, silika, pH,
kebasaan, asam organik, dan kandungan energi. Apabila lumpur diolah secara
anaerobik, diperlukan data parameter pH, kebasaan dan asam organik.
Apabila dilakukan pengolahan dengan pembakaran atau land treatment,
diperlukan data kandungan logam berat, pestisida dan hidrokarbon
(Soeparman dan Suparmin, 2003).
106
Menurut Bowo Djoko M. (hlm. 112), karakteristik lumpur meliputi:
Ukuran partikel;
Distribusi air;
Specific resistance.
Menurut Sugiharto (1987), jumlah dan sifat lumpur air limbah sangat
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
Metode pelaksanaan.
Secara garis besar, sistem pengolahan lumpur dibagi menjadi dua bagian,
yaitu sistem yang melibatkan pengolahan dan sistem tanpa pengolahan
biologis. Pengolahan secara biologis dapat dilakukan dengan aerobik ataupun
anaerobik. Unit pengolahan yang terlibat adalah thickening, stabilisasi,
conditioning, desinfeksi, dewatering, dan pengeringan (Soeparman dan
Suparmin, 2003).
106
panas (heat value) yang tinggi yaitu 700 BTU (British Thermol Unit) untuk
setiap cubic foot (ft3). Produksi gas bio rata-rata adalah 0,8 ft 3 per orang.
Sifat digested sludge disamping lebih stabil juga volumenya jauh lebih
kecil karena solid berkurang (sebagian terurai menjadi gas bio) juga
kadar airnya lebih kecil (90%). Berhubung tidak semua volatile solid
terurai menjadi gas bio (yang terurai maksimum hanya 70%), maka
digested sludge tidak dapat langsung dibuang, perlu dikeringkan lebih
dahulu dalam sludge drying bed.
1) Proses Pemekatan
2) Proses Stabilisasi
106
akan menghasilkan gas metan yang bisa dipergunakan sebagai
sumber energi, sedangkan pada proses aerobik akan menghilangkan
zat organiknya.
Adalah unit operasi yang diterapkan untuk mengurangi kadar air dari
lumpur. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengambil air yang
terdapat dalam lumpur, antara lain dengan cara alamiah maupun
secara mekanis, misalnya penyaringan dengan penekanan, gerakan
kapiler, saringan hampa udara, pemutaran, dan pemadatan.
Pemilihan cara ini berdasarkan dengan jenis lumpur yang dihadapi
serta areal yang tersedia.
5) Proses Pengeringan
106
udara. Sebagian besar air meninggalkan lumpur melalui saluran
pengering, oleh karena itu dipergunakan sistem pengering yang baik
dengan menggunakan pipa berlubang yang ditanam di tanah pada
dasar bak pengering. Selain itu pembuatan lapisan dasar juga harus
mematuhi beberapa ketentuan dalam meletakkan susunan lapisan
koral, pasir, dan pasir halus.
6) Proses Pembuangan
106
Konsep perencanaan sesuai dengan kriteria perencanaan yang ada
dirumuskan dengan pengaliran air limbah dari masing-masing rumah (sumber
limbah) menuju instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Secara lebih jelas konsep
perencananaan digambarkan sebagai berikut:
106
Tabel 25 Estimasi Penurunan Parameter Pencemar
1. Ekualisasi
Ekualisasi merupakan suatu cara atau teknik untuk membagi dan meratakan
volume pasokan limbah, meratakan variabel dan fluktuasi beban organik,
meratakan pH serta meratakan kandungan padatan dengan tujuan untuk
meningkatkan efektivitas dari proses pengolahan selanjutnya. Walaupun
demikian, pada saat ekualisasi tetaplah terjadi proses pengendapan partikel
padatan sebesar 10-15% tergantung waktu tinggal air limbah dalam bak
ekualisasi. Dengan adanya proses pengendapan tersebut, secara tidak
langsung terjadi reduksi nilai BOD dan COD. Untuk tujuan tersebut, maka
106
konstruksi atau peletakan pipa inlet dan outlet pada proses ini diatur
sedemikian rupa agar menimbulkan efek turbulensi atau mixing.
Free board
Tinggi effektif
Lebar effektif bak
Tinggi bak
Lbg.
bak
Inlet kontrol
Inlet
air
Outlet Outlet
2. Septic Tank
Septic tank adalah teknik pengolahan limbah yang amat lazim digunakan
untuk pengolahan limbah skala kecil. Secara prinsip proses pengolahan yang
dilakukan adalah pengendapan yang dilanjutkan dengan stabilisasi material
endapan secara anaerobic (Pusteklim, 2002).
Keuntungan dari septic tank adalah konstruksi yang sederhana, murah dan
umur teknis yang cukup panjang. Tetapi kelemahanya adalah efisiensi
pengolahannya yang amat rendah (15% - 40% BOD) dan effluent yang
dihasilkan masih berbau karena mengandung bahan yang belum
terdekomposisi secara sempurna (Pusteklim, 2002).
Konstruksi Septic tank minimum terdiri dari dua chamber. Pada chamber
pertama berkisar 70% dari total volume desain, karena sebagian besar
lumpur dan scum akan terjadi pada ruangan ini. Chamber kedua sebesar 30%
106
dari total volume desain untuk menangkap partikel yang lolos dari chamber
pertama (Pusteklim, 2002). Secara garis besar desain septic tank tersaji pada
Gambar.
Baffle septic tank merupakan septic tank dengan chamber lebih dari dua yang
disusun secara seri. Secara prinsip kerja baffle septic tank sama dengan septic
tank yaitu pengendapan dan proses dekomposisi secara anaerobic (Pusteklim,
2002). Secara garis besar desain baffle septic tank tersaji pada Gambar.
Pada chamber pertama proses yang terjadi adalah proses settling (seperti
pada septic tank) sedangkan pada chamber berikutnya proses yang terjadi
106
adalah proses penguraian karena kontak antara limbah dengan
mikroorganisme dengan pola fluidized bed (Pusteklim, 2002).
Variabel yang penting dalam desain adalah waktu kontak yang ditunjukkan
dengan kecepatan aliran ke atas ( up lift atau up stream velocity) pada
chamber kedua dan seterusnya. Bila terlampau cepat maka proses penguraian
yang seharusnya terjadi tidak akan terjadi (Pusteklim, 2002).
4. Anaerobic Filter
Inlet
Outlet
106
Gambar 11 Bak Anaerobik Filter (3 Chamber)
5. Pengolahan Lumpur
Salah satu cara yang paling populer digunakan untuk pengolahan lumpur
adalah dengan proses pengeringan menggunakan metode Sludge Drying Bed.
Metode ini cocok digunakan untuk pengolahan lumpur yang dihasilkan dari
pengolahan air limbah.
Sludge Drying Bed berupa bak pengolahan lumpur dengan desain tertentu
yang berisi kerikil dan pasir sebagai filter serta dilengkapi dengan subdrain
yang berfungsi untuk mengalirkan kandungan air lumpur yang diolah
sekaligus untuk mengeringkan bak pengolah lumpur.
lumpur
pasir
kerikil
Subdrain
106
Mulai
Pekerjaan Persiapan
Mobilisasi
Personil dan
Peralatan
Check
tidak
setuju
Laporan
Pendahuluan
tidak
Diskusi
setuju
Data sekunder,
Data primer, survey lapangan Studi literatur, standar, norma,
instansi terkait
eksisting PS Air Limbah dari lembaga formal pedoman, petunjuk teknis
segi OM, Kelembagaan, dan dan non formal
Manajemen
Kompilasi dan
pemrosesan data,
mengelompokkan data
Kuantitatif
106
A
Memberikan Usulan/Rekomendasi
Langkah operasional yang dapat menjadi pedoman
meningkatkan fungsi PS Air Limbah
Usulan teknis pengoperasian PS Air Limbah secara optimal
Membuat rencana kinerja PS Air Limbah jangka panjang
sesuai kemampuan Pemda
Laporan
Akhir
Sementara
tidak
Diskusi
setuju
Laporan
Akhir
Selesai
106