Anda di halaman 1dari 18

Usul

“Menganalisis sistem patriarki dalam Film Suffragette (2015)”

Oleh

Dewi Pingkan Kango

(321418005)

Departemen Inggris

Fakultas Sastra dan Budaya

Universitas Negeri Gorontalo

2020
BAB I

PENGANTAR

A. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

Lingkungan masyarakat tidak akan lepas dari yang namanya sistem sosial karena kata
sistem dan sosial itu sendiri berkaitan erat dengan masyarakat. Dalam fungsionalisme
(Parsons, 1951 sebagaimana dikutip dalam Kistanto, 2008) sistem sosial adalah suatu sistem
interaksi yang berlangsung antara 2 (dua) atau lebih aktor yang masing-masing mengandung
fungsi dalam suatu kesatuan masyarakat. Sistem sosial dapat digambarkan sebagai aturan
yang mengatur interaksi sosial berdasarkan norma dan nilai bersama. Dimana, baik individu
maupun kelompok pembentuknya memiliki fungsi dan peran masing-masing yang saling
mempengaruhi. Dalam masyarakat itu sendiri banyak sekali sistem sosial yang ada di
dalamnya, hal itu karena setiap masyarakat memiliki cara bersosialisasinya masing-masing.
Setiap lingkungan masyarakat memiliki norma dan nilai tersendiri. Salah satu contoh sistem
sosial yang ada dalam masyarakat adalah sistem patriarki. Sistem ini juga yang sering
diperdebatkan baik oleh para ahli sosial maupun masyarakat.

Sistem patriarki adalah paham bahwa laki-laki lebih tinggi dari perempuan,
menentukan peran perempuan dalam masyarakat berdasarkan fungsi organ reproduksinya
hingga melahirkan anak (Irigaray, 2004 seperti dikutip dalam Tano & Tisnawijaya, 2017,
hlm. 68). Sistem patriarki ini pada dasarnya adalah sistem dimana laki-laki memiliki otoritas
atau keistimewaan atas perempuan. Namun, Seperti yang telah dikatakan kebelumnya,
system patriarki ini seringkali menjadi perdebatan diberbagai kalangan. Hal ini dikarenakan
system ini sendiri dinilai tidak adil, dimana laki-laki lebih diuntungkan dibanding dengan
perempuan dan memberikan kekuasaan penuh kepada laki-laki. System social yang awalnya
dibentuk sebagai aturan yang mengatur interaksi social, justru Seringkali dimanfaatkan oleh
beberapa oknum demi keuntungan, kepuasan ataupun kepentingan pribadi, dalam hal ini baik
kelompok maupun individual.

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitiannya yaitu film Suffragette (2015)
yang disutradarai oleh Sarah Gavron. Film Suffragette (2015) adalah film bergenre drama
yang diproduksi oleh Studio Focus Features. Film ini dibintangi oleh Carey Mulligan sebagai
Maud Watts, Helena Bonham Carter sebagai Edith New, Anne-Marie Duff sbagai Violet
Miller. Ketiga tokoh tersebut yang menjadi karakter utama dalam film ini.
Film Suffragette (2015) ini mengangkat kehidupan nyata perempuan Inggris pada
tahun 1900-an, dimana pada saat itu sistem patriarki yang dianut oleh mereka masih sangat
kuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakpuasaan dari orang-orang yang menentang sistem
patrarki tersebut. Dalam film nya bercerita tentang gerakan perempuan yang menuntut
keadilan dan kesetaraan yang sama dengan laki-laki, trutama dalam mendapatkan hak pilih
politik. Gerakan perempuan yang dikenal dengan nama ‘Suffragette’ ini muncul untuk
mendobrak sistem patriarki pada saat itu.

Yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini yaitu gender stereotype dalam
film Suffragette (2015). Gender strereotype merupakan sebuah pandangan yang membedakan
antara peran laki-laki dan peran perempuan. Pernyataan ini sependapat dengan Rofidah
(2021) yang menyatakan gender stereotypes merupakan pandangan dan penilaian diarahkan
untuk membentuk membedakan peran apa yang dipandang sesuai dengan laki-laki dan apa
yang sesuai dengan perempuan.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sistem patriarki pasa saat itu masih sangat kuat,
hal ini menimbulkan sebuah pandangan dimana laki-laki merupakan penerus keluarga yang
harus didahulukan atau diutamakan. Misalnya dalam hal menyuarakan pendapat, disini
pendapat perempuan itu tidak diperlukan karena sudah diwakilkan oleh anggota keluarga
laki-laki dikeluarga tersebut. Contoh lain juga dalam hal pendidikan, laki-laki dalam setiap
keluarga itu berhak mendapatkan pendidikan yang layak, namun berbeda dengan perempuan
yang justru dituntut untuk bekerja sejak masih usia belasan tahun dan tidak mendapatkan
pendidikan dari pemerintah.

Dalam film Suffragette (2015), peneliti melihat adanya gender stereotype yang
digambarkan dalam film tersebut. Misalnya, di awal film ada kalimat dialog

“POLITIKUS V/O
Perempuan tidak memiliki ketenangan perangai atau keseimbangan pikiran
untuk melakukan penilaiandalamurusanpolitik.
Melalui awan uap yang naik, WANITA menyetrika, MRS VIOLET MILLER
[awal 40-an] di antaranya.
POLITIKUS 2 V/O
Jika kita membiarkan perempuan memilih, itu berarti hilangnya struktur
sosial. Wanita diwakili dengan baik oleh ayah, saudara laki-laki, dan suami
mereka.”

Dalam kalimat tersebut terdapat pernyataan bahwa “Jika kita membiarkan perempuan
memilih, itu berarti hilangnya struktur sosial. Perempuan terwakili dengan baik oleh ayah,
saudara laki-laki, suami” menggambarkan adanya pemahaman Stereotip gender yang dalam
pernyataan tersebut mengatakan seolah-olah perempuan tidak boleh melakukan sesuatu yang
menurut orang seharusnya dilakukan laki-laki. Dalam dialog itu mereka berbicara tentang hak
pilih. Mereka beranggapan bahwa hanya laki-laki yang berhak memilih karena keputusan
yang diambil perempuan tidak rasional. Partisipasi perempuan hanya akan menghancurkan
struktur sosial mereka, menurut karakter laki-laki dalam film ini. Dengan menonton film
Suffragette (2015), peneliti tertarik untuk meneliti Film tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan dan menjelaskan bagaimana film


“Suffragette (2015)” menggambarkan stereotip gender dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra sebagai kerangka teoritis.

B. FORMULASI MASALAH

Untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis film “Suffragette (2015)”,


pertanyaan yang dibahas adalah:

1. Bagaimana stereotip gender digambarkan dalam film “Suffragette (2015)”?

C. TUJUAN BELAJAR

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian adalah:

1. Untuk menjelaskan apa itu system patriarki (secara umum)?


2. Untuk menjelaskan apa itu stereotip gender?
3. Untuk menjelaskan bagaimana stereotip gender digambarkan dalam film
“Suffragette (2015)”?
4.
BAB II

TINJAUAN LITERATUR

A. Sistem Patriarki
Kata "patriarki" telah diciptakan kembali dalam dua dekade terakhir untuk
menganalisis asal-usul dan kondisi penindasan laki-laki terhadap perempuan (Kamarae,
1992). Awalnya digunakan untuk menggambarkan kekuasaan ayah sebagai kepala rumah
tangga, istilah 'patriarki' telah digunakan dalam feminisme pasca 1960-an untuk merujuk
pada organisasi sistematis supremasi laki-laki dan subordinasi perempuan (Kamarae, 1992;
Stacey, 1993; Aina, 1998). ; dll.). Sistem patriarki adalah paham bahwa laki-laki lebih tinggi
dari perempuan, menentukan peran perempuan dalam masyarakat berdasarkan fungsi organ
reproduksinya hingga melahirkan anak (Irigaray, 2004 seperti dikutip dalam Tisnawijaya &
Tano, 2017. hlm. 68). Sistem patriarki ini pada dasarnya adalah sistem dimana laki-laki
memiliki otoritas atau keistimewaan atas perempuan. Sistem ini membuat pria lebih kuat dari
pada wanita.
Juga budaya patriarki ini merupakan penentu yang sangat kuat dari dominasi laki-laki
atas perempuan dan sebagai akibatnya laki-laki akan duduk diam dalam keluarga untuk
menjaga nama keluarga dan garis keturunan tumbuh sementara perempuan akan menikah.
Jadi laki-laki dilatih untuk kegiatan kepemimpinan sementara perempuan dibatasi untuk
kegiatan rumah tangga; peran yang diberikan kepada mereka oleh budaya yang
mempengaruhi mereka di kemudian hari, sehingga membuat mereka kehilangan kepercayaan
diri/harga diri dan memiliki harga diri yang rendah dalam karir mereka di kehidupan dewasa,
termasuk politik. Terlepas dari komitmen nyata dari komunitas internasional terhadap
kesetaraan gender dan untuk menjembatani kesenjangan gender di arena politik formal, yang
diperkuat oleh Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW) dan Platform Aksi Beijing, perempuan sangat terpinggirkan dan kurang terwakili
dalam kegiatan politik. (Laporan UNDP, 2005 sebagaimana dikutip dalam Makama, 2013.
hlm. 116).
Okpe, (2005) mengemukakan bahwa patriarki adalah jaringan luas atau sistem
organisasi hierarkis yang melintasi bidang politik, ekonomi, sosial, agama, budaya, industri,
dan keuangan, dimana sejumlah besar posisi atas dalam masyarakat diduduki atau
dikendalikan. dan didominasi oleh laki-laki.
B. Gender stereotypes

Gender stereotypes dibagi menjadi 2 kata, yaitu gender dan stereotypes. Secara umum, kata
gender digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan pria dan wanita dari segi sosial
budaya. Gender adalah suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan
kolektif dalam membedakan pria dan wanita sebagaimana yang Wilson utarakan (1989 dalam
Maidinda, 2007). Kata gender dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti yang
sama dengan “seks” yaitu kelamin, namun kedua istilah ini mempunyai makna yang berbeda.
Gender berkonotasi pada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis
lainnya. Sedangkan seks berkonotasi pada aspek biologis (Subhan, 2002, dalam Maidinda,
2007). Singkatnya, gender merupakan sebuah istilah yang digunakan sebagai pembeda
antara pria dan wanita dari segi social serta non-biologis lainnya.
Sedangkan stereotypes, Menurut Manstead dan Hewstone mendefinisikan stereotip
merupakan suatu keyakinan yang dibagi secara social tentang karakteristik (seperti ciri-ciri
kepribadian, perilaku yang diharapkan, atau nilai-nilai pribadi) yang dianggap benar oleh
kelompok sosial dan anggotanya (Murdianto, 2018 dalam Rofidah, 2021:15). Stereotypes ini
dapat dilakukan oleh suatu individu maupun kelompok terhadap individu atau kelompok lain.
Hal ini juga sependapat dengan pernyataan dari Fakih (1996 dalam Maidinda, 2007) yang
menyebutkan bahwa stereotype merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu.
Sehingga dapat diartikan bahwa Gender stereotypes ini merupakan suatu pandangan atau
pemahaman masyarakat yang membedakan wanita dan pria disegala aspek, seperti peran,
fisik, sifat, sikap serta aspek lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rofidah (2021) yang
menyatakan gender stereotypes merupakan pandangan dan penilaian diarahkan untuk
membentuk membedakan peran apa yang dipandang sesuai dengan laki-laki dan apa yang
sesuai dengan perempuan.

C. Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi

Secara umum, sosiologi dapat digambarkan sebagai studi objektif tentang manusia di dalam
kelompok masyarakat, termasuk proses sosial yang terjadi di dalam manusia dan masyarakat.
Bidang ini menyajikan semua fenomenasosial yang perlu dijelaskan secara ilmiah sebagai
bahan penelitian. Pola budaya, ekonomi, bahasa, sastra, dll. Proses ini menunjukkan
bagaimana manusia sebagai individu dapat berinteraksi dengan masyarakat dan mekanisme
sosial agar dapat diterima menjadi suatu perilaku tertentu. Sehingga, sosiologi secara ringkas
dapat dipahami sebagai disiplin yang bertujuan untuk mengkaji perilaku manusia,
pembentukan satu struktur sosial dan kesepakatan bersama dalam ekonomi, politik, budaya,
dan lain lainnya (Durkheim, 1958: 24 dalam Tri Wahyudi, 2013:55). Hal ini juga sependapat
dengan pernyataan Damono (1978:6) yang mengatakan bahwa sosiologi adalah telaah yang
objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses
social. Sosiologi mencoba mencaritahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia
berlangsung dan bagaimana ia tetap ada.

Sastra

Suatu bentuk imajiner dari karya cipta atau fiksi sebagai bentuk ekspresi (pengungkapan)
kehidupan manusia dan masyarakat dimana sastra menggunakan manusia dan segala aspek
kehidupan sebagai objeknya. MenurutAhmadi (2019:1 dalam Syafitri, :2), dimana sastra
adalah ilmu kemanusiaan. Karena itu didalamnya terkandung nilai kemanusiaan dan
memanusiakan manusia. Segala aspek kehidupan manusia seperti agama, ekonomi dan social
budaya bisa dijadikan sebagai objek dalam karya sastra. Hal sejalan dengan pendapat Wellek
dan Warren (1995:109dalamSyafitri, :2) bahwa sastra menampilkan sebuah kehidupan yang
sebagian besar isinya didasarkan pada kenyataan sosial. Pengarang berasal dari masyarakat
dan mereka menciptakan sebuah karya sebagai cerminan kehidupan manusia.

Sosiologi sastra

Pengertian dan perspektif sosiologi sastra

Setelah melihat pengertian sosiologi dan sastra, dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya
keterkaitan antara sosiologi dan sastra tersebut, yakni pada objeknya yaitu kehidupan
manusia dalam masyarakat. Sehingga, sebuah karya sastra dapat diteliti dengan menggunakan
metode sosiologi yang kemudian dikenal dengan pendekatan sosiologi sastra.

Faruk (1994: 1 dalam Nasution, 2016:18) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai
studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan
proses-proses sosila. Sementara menurut Menurut Endraswara (2013:79) sosiologi sastra
adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Sosiologi satra merupakan sebuah
kajian yang dapat dijadikan sebagai alat untuk meneliti hubungan sebuah karya sastra dengan
kehidupan sosial masyarakat. Sejalan dengan pendapat Nyoman Kutha Ratna (2015:59) yang
mengatakan bahwa pendekatan sosiologis berfungsi untuk menganalisis hubungan yang ada
dalam kehidupan masyarakat, dengan memahami suatu individu dengan masyarakat maupun
sebaliknya (dalam Syafitri, 3). Jadi dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan sebuah
kajian yang digunakan untuk meneliti karya sastra dan hubungannya dengan manusia dalam
kehidupan social masyarakat.

Menurut Endraswara (2013:80) sastra dapat diteliti dengan sosiologi sastra melalui tiga
perspektif.

1. Perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan
masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan
dijelaskan makna sosiologisnya.
2. Perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini
berhubungan dengan life history dan latar belakang social pengarang.
3. Perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan terhadap teks sastra.

Sosiologi sastra menurut para ahli

Sosiologi sastra dalam penjelasan para ahli ada terdapat beberapa perbedaan, namun pada
hakikatnya itu sama. Semua membahas tentang hubungan sastra dengan masyarakat,
keterkaitan antara sastra, manusia, dan masyarakat social.

1. Sosiologi sastra menurut wellek dan warren


Rene wellek dan Austin Warren dalam bukunya Theory of Literature (1990 as cited in
Damono, 1978:3) mengklasifikasikan sosiologi sastra yang meliputi:
a. Sosiologi pengarang,
Sosiologi pengarang yaitu sosiologi sastra yang memasalahkan status sosial,
ideologi sosial, dan Iain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil
sastra. Aspek-aspek sosial yang dialami pengarang, secara tidak langsung
mempengaruhi karya yang dihasilkannya. Kajian yang melibatkan sosiologi
pengarang, pada akhirnya, akan menguak bingkai sosial pengarang untuk
meningkatkan apresiasi terhadap teks sastra. Semakin lengkap informasi tentang
bingkai social pengarang, maka logika hasil apresiasi dan kajiannya, akan berbeda
(Sutejo & Kasnadi, 2016:6).
b. Sosiologi karya sastra
Dalam sosiologi karya sastra yang masalahkan yaitu karya sastra itu sendiri; yang
menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa
yang menjadi tujuannya. Sutejo dan Kasnadi (2016) mengatakan bahwa sosiologi
karya sastra dapat mencakup: (1) Aspek sosial (sosial ekonomi, sosial politik,
sosial pendidikan, sosial religi, sosial budaya, social kemasyarakatan); (2) Aspek
adat istiadat (tentang perkawinan, tentang “tingkeban”, tentang perawatan bayi,
tentang kematian, tentang sabung ayam, tentang judi, tentang pemujaan, dan
sebagainya; (3) Aspek religious (keimanan, ketakwaan, ibadah, hukum,
muamalah); (4) Aspek etika (pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita,
pertemanan, bertamu, berkunjung); (5) Aspek moral (pelacuran, pemerasan,
penindasan, perkosan, dermawan, penolong, kasih sayang, korupsi, ketabahan);
dan (6) Aspek nilai (nilai kepahlawanan, nilai religi, nilai persahabatan, nilai
moral, nilai sosial, nilai perjuangan, nilai didaktik).
c. Sosiologi pembaca
Sosiologi pembaca yaitu sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan
pengaruh sosial karya sastra. Wellek dan Warren menganggap sosiologi sastra
sebagai pendekatan ekstrinsik dengan pengertian yang agak negatif. Sosiologi
pembaca sendiri hakikatnya akan melihat bagaimana efek sosiologis sebuah karya
sastra pada sosialitas pembaca. Dalam teori motivasi dikenal, apa yang dibaca
seseorang itu akan mempengaruhi pembacanya. Karena bacaan bagi seseorang
adalah makanan pokok sebagaimana fisik kita yang membutuhkan makanan dan
sayuran (Sutejo & Kasnadi, 2016:7).
2. Sosiologi Sastra Menurut Ian Watt
Klasifikasi sosiologi sastra selanjutnya diungkapkan oleh Ian Watt (dalam Damono,
1978:3) mengklasifikasikan sosiologi sastra meliputi:
a. Konteks Sosial Pengarang
Semua hal yang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat
dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk dalam kajian konteks social
pengarang. Dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana si pengarang mendapatkan
mata pencahariannya, sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya
sebagai suatu profesi, serta hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal
ini sangat penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
menentukan bentuk dan isi karya sastra.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat
Ini berhubungan dengan pandangan sampai sejauh mana sastra dapat dianggap
sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Hal yang harus diperhatikan yaitu:
(a) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu
ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra
itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis. (b) Sifat "lain dari yang Iain"
seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta
sosial dalam karyanya. (c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu
kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat. (d) Sastra yang
berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin
saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarkat.
c. Fungsi sosial sastra
Jika berbicara fungsi social sastra itu sendiri, maka yang menjadi
permasalahannya yaitu sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai
sosial dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai social. Dalam
hubungan ini, hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu sudut pandangan ekstrim
kaum Romantik yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau nabi; sastra berfungsi sebagai pembaharu dan perombak. Dari sudut
lain sastra bertugas sebagai penghibur belaka, dan semacam kompromi dapat
dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu
dengan cara menghibur.
3. Klasifikasi Sosiologi Sastra Menurut Laurenson dan Swingewood
Menurut Laurenson dan Swingewood (1971 as cited in Endraswara, 2013:79) terdapat
tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra , yaitu :
a. Sastra sebagai dokumen social. Peneliti memandang karya sastra sebagai
dokumen social yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra
tersebut diciptakan.
b. Sastra sebagai cermin situasi social penulisnya. Peneliti mengungkapkan sastra
sebagai cermin situasi social penulisnya.
c. Sastra sebagai manifestasi sejarah dan social budaya. Penulis menangkap karya
sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan social budaya.
Sasaran penelitian sosiologi sastra
1. Fungsi social sastra
Menurut Ian Watt (dalam Damono, 1978:3), Jika berbicara fungsi social sastra itu
sendiri, maka yang menjadi permasalahannya yaitu sampai berapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai
social. Dalam hubungan ini, hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) sudut
pandangan ekstrim kaum Romantik yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya
dengan karya pendeta atau nabi; (2) sastra berfungsi sebagai pembaharu dan
perombak. Dari sudut lain sastra bertugas sebagai penghibur belaka, dan semacam
kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: (3) sastra harus
mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti ke arah empiric. Seorang
peneliti hanya akan berandai-andai jika tidak dibarengi dengan data empiric yang
akurat. Fungsi sastra harus digali langsung dari masyarakat. Mereka yang menentukan
apakah karya tertentu memiliki fungsi jelas atau tidak.
Dalam perkembangannya, sosiologi juga digunakan dalam penelitian berbau marxis.
Paham marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, agama pada setiap zaman
merupakan ideologi dan suprastruktural yang berkaitan secara dialektial dan
merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamannya (Endraswara,
2013:81).
Suwardi Endraswara (2013:82) menggambarkan penelitian sosiologi sastra tentang 2
hal. Pertama, penelitian sosiologi sastra dapat ke arah dalam kaitannya dengan
keberadaan teks sastra dan pembacanya. Jika karya sastra diproduksi dan dicetak lebih
banyak maka kemungkinan karya tersebut sejalan dan sesuia dengan selera
masyarakatnya. Kedua, teks sastra dapat direlevasikan dengan kepentingan-
kepentingan studi yang lain, misalkan sejarah social.
Dari berbagai fungsi social dan gambaran yang ada, peneliti bisa
mengkonsentrasikan pada salah satunya, sesuai dengan kebutuhan dan tujuan
penelitian.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat
Pada dasarnya sastra dan masyarakat merupakan dua hal yang sangat berkaitan dan
tidak bisa dipisahkan. Oleh karena sastra itu sendiri merupakan hasil karya cipta
manusia yang objeknya adalah kehidupan manusia dan masyarakat social yang sudah
dibumbui dengan imajinasi seorang pengarang.
Kontek sastra sebagai cermin, menurut Lowenthal (Laurenson and Swingewood,
1972:16) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan
perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan jug acara individu
menyosialisasikan diri melalui struktur social. (as cited in Endraswara, 2013:88).
Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas
kehidupan social.
Dalam hal ini, karya sastra bisa disebut sebagai dokumentasi dari sebuah zaman yang
berbusaha diungkapkan oleh seorang pengarang. Sejalan dengan pendapat
Endraswara (2013:89) yang menjelaskan bahwa lewat karya sastra, pengarang ingin
berupaya mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi antara
pengarang dan pembacanya. Pengarang sebagai zender (pengirim pesan) akan
menyampaikan berita zaman dalam bentuk teks kepada ontvanger (penerima pesan),
berarti bahwa karya sastra sekaligus merupakan alat komunikasi yang jitu.

D. STUDI RELEVAN
Prior to this research, some researchers already researched about the film "Suffragette
(2015)”, but there were different objects, theory and method. Researchers who have
discussed the film "Suffragette (2015)”, includes Luki Adriyani Nur Faizza from Universitas
Briwijaya, Ika Puspitasari from State Islam University Syarif Hidayatullah Jakarta and Mirte
Faber from Redbound University. For example Luki Adriyani Nur Faizza research with the
title “Women Oppression Depicted in Suffreagette Movie”.
Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra, Luki
Adriyani Nur Faizza did the analysis using patriarchy as a theoretical framework. Selain itu,
what makes this study different is Luki’s disclose how women are oppressed by patriarchal
system in Suffragette movie. Luki discussed on his background of study that:

Ketidakadilan yang dialami perempuan dalam film Suffragette membuat peneliti


tertarik untuk melihat dan menganalisis gambaran penindasan perempuan dalam film
Suffragette. Penelitian ini menggunakan studi patriarki dan film sebagai kerangka
teori untuk menganalisis depresi perempuan. Oleh karena itu, peneliti memberi judul
penelitian ini: Penindasan Perempuan oleh Sistem Patriarki yang Digambarkan dalam
Film Suffragette.(2017, hlm. 4)

Ika Puspita sari melakukanan analisis terhadap Suffragette (2015) untuk menganalisis
Maud sebagai tokoh utama perempuan dan bagaimana film Suffragette menggambarkan nilai
feminis memelalui tokoh utama dengan menggunakan teori feminis Betty Friedan. Mirte
menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Walaupun metode kami sama,
namun dari judul skripsi Mirte terlihat ada perbedaan fokus penelitian. Judul Tesis Mirte
Feminis atau Ibu Rumah Tangga? Negosiasi Peran Gender dan Stereotip dalam Dua Film
Inggris Kontemporer Tentang Ikon Feminis. Mirte tidak hanya menganalisis film Suffragette,
tetapi juga film Iron Lady.
BAB III

METODOLOGI

A. METODE PENELITIAN

Penelitianinimenggunakanpendekatansosiologi sastra sebagaikerangkaeoritis yang


merujuk pada metodekualitatifdimanapenulismengumpulkan data berupa kata-kata (dari
naskah asli) dan gambar (dari film) kemudian menganalisisnya. Menurut Locke, Spirduso,
dan Silverman dalam Creswell (John W Creswell, 2002), “Penelitian kualitatif adalah
penelitian interpretatif. Dengan demikian, bias, nilai, dan penilaian peneliti dinyatakan
dengan jelas dalam laporan penelitian. Keterbukaan seperti itu dianggap bermanfaat. dan
positif.Sementara itu, Garna (1999) menyatakan bahwa “pendekatan kualitatif dicirikan oleh
tujuan penelitian yang berusaha memahami gejala-gejala tersebut dan tidak
mungkinmengukurnyasecaraakurat.

Itulah beberapa pendapat para ahli tentang penelitian kualitatif yang menjadi dasar
bagi penulis untuk menggunakan pendekatan ini dalam penelitian ini. Dengan menggunakan
metode penelitian kualitatif, diharapkan penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan
temuan atau data yang lebih lengkap, mendalam, reliabilitas dan validitas sehingga tujuan
dari penelitian ini dapat tercapai.

B. METODE PENDEKATAN

Dalam penelitian ini metode pendekatan yang digunakan oleh peneliti yaitu
pendekatan sosiologi sastra oleh Laurenson dan Swingewood. Peneliti memilih pendekatan
sosiologi sastra sebagai metode pendekatannya karena cocok dengan objek penelitian yaitu
tentang gender stereotype dan kekerasan gender yang muncul karena adanya sistem patriarki
dimana sistem ini berhubungan langsung dengan masyarakat social, yang menjadi objek
kajian baik sosiologi sastra maupun karya sastra itu sendiri.

Sosiologi Sastra Menurut Laurenson dan Swingewood

Menurut Laurenson dan Swingewood (1971 as cited in Endraswara, 2013:79) terdapat


tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra , yaitu :
a. Sastra sebagai dokumen social. Peneliti memandang karya sastra sebagai
dokumen social yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra
tersebut diciptakan.
b. Sastra sebagai cermin situasi social penulisnya. Peneliti mengungkapkan sastra
sebagai cermin situasi social penulisnya.
c. Sastra sebagai manifestasi sejarah dan social budaya. Penulis menangkap karya
sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan social budaya.
Endraswara (2013) mengatakan bahwa ketiga hal tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri
ataupun diungkapkan sekaligus dalam suatu penelitian sosiologi sastra, tergantung dari
kemampuan peneliti. Maksudnya, apabila peneliti hanya ingin meneliti salah satu dari tiga
perspektif, maka hal itu diperbolehkan, namun semakin lengkap pemakaian perspektif suatu
karya sastra, maka pemahaman nya akan suatu karya sastra tersebut juga relative lengkap.

Dalam penelitian ini, dimana film yang diteliti merupakan film berlatarbelakang sejarah
perjuangan kaum wanita pada zaman dulu, peneliti hanya akan mengggunakan salah satu
perspektif saja, yaitu sastra sebagai manifestasi sejarah dan social budaya. Jika hendak fakta
sejarah masyarakat masa lalu, memang tepat menggunakan perspektif yang ketiga
(Endraswara, 2013:79)

C. SUMBER DATA

Seperti yang sudah disebutkan di atas, data diambildariduasubjekyaitunaskahasli dan


film dari film Suffragette (2015). D alamhaliniyang dikumpulkanberupa kata-kataatau dialog
(daridalamnaskahasli) dan cuplikangambar (dari film).

D. PENGUMPULAN DATA

Penulis memiliki beberapa langkah dalam mengumpulkan data. Berikut langkah-


langkah dalam mengumpulkan data:

1. Penulis akan menonton filmnya untuk melihat keseluruhan cerita filmnya


2. Menonton kembali film dan mulai memperhatikan, menulis dialog dan menandai
situasi yang menunjukkan atau menunjukkan sistem patriarki. Selain tulisan, juga
akan ada beberapa gambar yang akan diambil sebagai analisis data.
3. Baca skrip untuk mengetahui data yang dibutuhkan.
4. Mulailah menganalisis data. Setelah menemukan data yang dibutuhkan secara
lengkap, penulis akan mengidentifikasi data satu per satu, kemudian mengolah
data tersebut untuk dianalisis.
5. Selanjutnya hasil tersebut akan diuraikan secara deskripsi dengan menjelaskan
satu persatu data yang telah dianalisis.
E. ANALISIS DATA
Berikut langkah-langkah dalam menganalisis data:
1. Mengidentifikasi data
Data-data yang telah terkumpul, dalam hal ini adalah dialog dan gambaran yang
akan ditunjukkan dengan menggunakan teori atau kajian yang digunakan, yaitu
patriarki, teori feminis dan ketidaksetaraan gender.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan data
Setelah data teridentifikasi, hasil analisis akan dideskripsikan menggunakan
metode kualitatif dengan analisis deskriptif.
REFERENSI

Aina, OI (1998). Perempuan, Budaya dan Masyarakat.


John W. Creswell. (2002). Desain Penelitian Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta :
KIK Pers, hal. 147.

Kamarae, C. (1992) "KondisiPatriarki" di Kramarae Cheris dan Spender Dale (eds.)


LedakanPengetahuan: London. Seri Athena, Pers Perguruan Tinggi Guru,.

Kistanto, NH (2008). SistemSosial-Budaya di Indonesia. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan,


3(2).https://doi.org/10.14710/sabda.3.2.%p

Makama, GA (2013). Patriarki dan ketidaksetaraan gender di Nigeria: Jalan kedepan.


Jurnalilmiah Eropa,9(17).
Okpe, O. (2005) Pengarusutamaan Gender dalam Proses Pembangunan Afrika:
Kritikterhadap NEPAD dan Pertanyaan Perempuan. Nigeria: Pers BSU

Stacey, J. (1993). “Menguraikan Teori Feminis” dalam Richardson D. dan Robinson V.(eds.)
Memperkenalkan Studi wanita: Teori dan Praktik Feminis. Macmillan, London.

Tisnawijaya& Tano. (2017). Mulan: NegosiasiKarakter Perempuan MenujuPatriarki (Sarjana,


Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Pamulang)
https://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/view/9775/pdf

Anda mungkin juga menyukai