Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO), yang

mengurusi anak-anak United Nation Children’s Fund (UNICEF) mengungkap

setiap tahun lebih dari 12 juta anak di negara berkembang meninggal dunia

sebelum ulang tahunnya yang kelima. Millenium Development Goals (MDGs)

menargetkan yakni tahun 2015 diharapkan angka kematian bayi adalah 23 per

1000 Kelahiran Hidup (KH) dan untuk angka kematian Balita adalah 32 per

1000 KH (World Health Organization, 2010).

Integrated Management of Childhood Illnes (IMCI) merupakan bagian

dari program badan kesehatan dunia WHO dan UNICEF diperkenalkan tahun

1992 di negara-negara berkembang dan negara-negara dengan angka kematian

anak 0-5 tahun yang masih tinggi dengan kisaran 75%-50% dari kelahiran

hidup seperti negara Republik Domenika, Brazil, Bolivia, Ecuador, Peru,

Ethopia, Managaskar, Negeria, Tanzania, Uganda, Zambia, Maroko, Sudan,

India, Banglades, Nephal, Thailand, Philippines, Vietnam, dan negara-negara

lainya. Dengan tujuan untuk menekan angka kesakita dan kematian anak

dibawah lima tahun (World Health Organization, 2010).

Manfaat IMCI dapat dirasakan dengan keberhasilan menurunkan angka

kesakitan dan kematian anak dibawah lima tahun di negara-negara berkembang

dan negara-negara dengan angka kematian anak 0-5 tahun yang masih tinggi

1
yakni kisaran 75%-50% dari kelahiran hidup turun menjadi 60 % - 40% dari

kelahiran hidup (World Health Organization, 2010).

Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dan

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Angka Kematian Bayi (AKB) di

Indonesia yaitu 34 bayi per 1000 kelahiran hidup (KH), 400/hari atau 17/jam.

Dan Angka Kematian Balita (AKABA), yaitu 44 Balita per 1000 KH, 529/ hari

atau 22/jam. Penyebab kematian bayi 0-11 bulan disebabkan diare 31,4% dan

pneumonia 24%. Kematian Balita disebabkan diare 25,2%, pneumonia 15,5%,

DBD 6,8% campak 5,8%. Kematian bayi dan Balita tesebut diatas disebabkan

oleh pneumonia, diare, malaria, campak, malnutrisi dan seringkali merupakan

kombinasi dari/keadaan tersebut diatas (Direktektorat Jenderal Bina Kesehatan

Keluarga, 2011).

Di Negara Indonesia, IMCI diperkenalkan oleh WHO dan UNICEF pada

tahun 1996 dan Pelaksanaanya di mulai tahun 1997 dengan nama Manajemen

Terpadu Balita Sakit (MTBS). MTBS merupakan pedoman terpadu yang

menjelaskan secara rinci penanganan penyakit yang banyak terjadi pada bayi

dan Balita di masyarakat. Meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia,

diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi dan upaya promotif dan

preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A dan konseling

pemberian makanan tambahan yang bertujuan untuk menurunkan angka

kematian bayi dan Balita serta menekan morbiditas dan mortalitas untuk

penyakit tersebut di pusat-pusat pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas, Pustu,

Poskesdes dan lain-lain) (Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Keluarga, 2011).

2
Hingga akhir tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 Provinsi,

namun belum seluruh Puskesmas mampu menerapkan karena berbagai sebab

yaitu; belum adanya tenaga kesehatan di Puskesmas yang sudah terlatih

MTBS, sudah ada tenaga kesehatan terlatih tetapi sarana dan prasarana belum

siap, aplikasi ilmu tentang MTBS yang di peroleh selama pelatihan tidak

diaplikasikan secara maksimal di lapangan, belum adanya komitmen dari

Pimpinan Puskesmas dan lain sebagainya (Direktorat Jenderal Bina Kesehatan

Keluarga, 2011).

Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Provinsi

seluruh Indonesia melalui Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak tahun

2010, jumlah Puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009

sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila

memenuhi kriteria sudah melaksanakan (melakukan pendekatan memakai

MTBS) pada minimal 60% dari jumlah kunjungan Balita sakit di Puskesmas

tersebut (Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Keluarga, 2011).

Hasil Survey Kesehatan Dasar (SURKESDA) Provinsi Maluku menempati

peringkat ke empat tertinggi di Indonesia dari 34 Provinsi yakni Provinsi

Maluku untuk AKB 49 per 1000 kelahiran hidup dan AKABA 71 per 1000

kelahiran hidup. Selanjutnya Sulawesi Tengah peringkat ketiga, Nusa Tenggara

Barat peringkat kedua dan Sulawesi Barat pada peringkat pertama angka

kematian bayi dan Balita yang masih tinggi yaitu AKB 72 per 1000 kelahiran

hidup dan AKABA 96 per 1000 kelahiran hidup. Kematian tersebut 60%

disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, campak, malnutrisi dan gabungan

3
dari beberapa penyakit yang menyerang bayi dan Balita (Profil Kesehatan

Provinsi Maluku, 2011). Awal penerapan MTBS di Provinsi Maluku di mulai

pada tahun 2004 di 3 Kabupaten / Kota yaitu pada Kabupaten Maluku Tengah,

Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Ambon, keberhasilan yang di capai

hingga tahun 2011 berpariasi di tiap Kabupaten / Kota menekan anka kematian

bayi dan Balita (Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, 2011).

Kabupaten Seram Bagian Timur termasuk Kabupaten pemekaran sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003. Letak geografis; Utara

berbatas laut Seram, Selatan berbatas laut Banda, Timur berbatas laut Arafuru,

Barat berbatas Kabupaten Maluku Tengah. Terdiri dari pulau-pulau, yang

dibatasi oleh laut. Luas wilayah + 20.656.894 km² (luas darat + 5.779.123

km². Luas laut + 14.877.771 km²), memiliki iklim laut tropis, jumlah penduduk

99.065 jiwa tahun 2011. Sebahagian penduduk memiliki pekerjaan sebagai

petani, nelayan, PNS dan swasta, terdapat 8 Kecamatan 136 Desa, 321 Dusun,

(Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Timur, 2011).

Sarana kesehatan 16 Puskesmas, 46 Pustu dan Poskesdes, 1620 tenaga

Perawat dan 40 tenaga Perawat yang telah dilatih MTBS. Program MTBS

telah diterapkan di Kabupaten Seram Bagian Timur sejak tahun 2006 (Dinas

Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Timur, 2012).

Tahun 2005 sebelum penerapan MTBS angka kematian bayi 14 per 1000

kelahiran hidup dan angka kematian Balita 23 per 1000 kelahiran hidup,

sedangkan setelah penerapan MTBS data tahun 2011 didapat angka kematian

bayi 17 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian Balita 25 per 1000

4
terjadi peningkatan angka kematian bayi dan Balita (Dinas Kesehatan

Kabupaten Seram Bagian Timur, 2011).

Penyebab peningkatan diatas kemungkinan dapat disebabkan oleh

rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, masalah sumber daya kesehatan,

sistem pelayanan kesehatan pada individu, keluarga dan kelompok masyarakat

yang masih kurang / belum merata, karena rentang kendali geografis kepulauan

yang dibatasi oleh lautan dan pulau-pulau yang sulit untuk dijangkau,

disamping sarana dan prasarana pendukung yang masih kurang, transportasi

yang masih terbatas dan masalah-masalah lainya, walaupun MTBS sudah di

terapkan. Sehingga perlu adanya integrasi dari masalah-masalah diatas untuk

memperbaiki kesehatan anak sehingga tercipta peningkatan derajat kesehatan

anak (Soenarto, 2009).

Upaya pemerintah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian anak

0-5 tahun telah dilaksanakan diantaranya melakukan intervensi vertikal secara

terpisah untuk masing-masing penyakit meliputi; pemberantasan penyakit

Infeksi Saluran Pernafasan Acut (ISPA), diare, program pemberantasan

penyakit malaria dan penanggulangan kurang gizi (Departemen Kesehatan,

2010).

Penanganan Perawatan dan pengobatan dengan intervensi vertikal yang

terpisah-pisah pada bayi dan Balita akan menimbulkan kesenjangan kehilangan

peluang penyembuhan dan putus pengobatan, karena penyakit yang di alami

bayi dan Balita bukan saja satu jenis penyakit, tetapi sering disertai dengan

kombinasi penyakit-penyakit lain dengan gejala keluhan yang sama atau

5
hampir sama. Sehingga itu membuat kesulitan bagi petugas karena harus

menggabungkan berbagai pedoman yang terpisah pada saat memberikan

pelayanan pada bayi dan Balita tersebut. Oleh sebab itu perlu penanganan

yang terintegratif, sistematis dan efektif. Strategi yang diterapkan adalah

menggunakan pendekatan MTBS (Hidayat, 2008).

Penerapan MTBS jika terlaksana dengan baik, maka dapat memberikan

manfaat yang besar, upaya pendekatan MTBS ini tergolong lengkap karena

meliputi upaya kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), perbaikan gizi,

imunisasi dan konseling (promotif) untuk mengantisipasi penyaki-penyakit

yang sering menyebabkan kematian pada bayi dan Balita (Direktorat Jenderal

Bina Kesehatan Keluarga, 2011).

Penerapan program MTBS di Puskesmas dibutuhkan pengetahuan, sikap

dan penerapan yang maksimal guna kesuksesan pelaksanaan program tersebut.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain ;

Penelitian Pratono dkk (2008) tentang evaluasi Manajemen Terpadu Balita

Sakit di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan, hasil yang terlihat

pada penelitian ini membuktikan bahwa Puskesmas memiliki semangat untuk

mengimplementasi program inovasi. Sementara yang baru bisa dikerjakan

adalah membuat contoh case management dari sisi ruangan, alur pelayanan,

serta pencatatan dan laporan. Pengembagan program ini di tingkat Puskesmas

menuntut adanya otonomi Puskesmas yang lebih luas sehingga mereka

dapat mencari strategi di lapangan yang bisa cocok dengan kebutuhan

pemecahan masalah dalam implementasi.

6
Penelitian Suge dkk (2009) ditemukan 83% petugas MTBS tidak

melaksanakan klasifikasi menurut standar MTBS. Penelitian Anggraini dikutif

dalam Hanafiah (2008) juga melaporkan bahwa dalam pelaksanaan MTBS di

Samarinda 70% petugas MTBS tidak memberi nasehat tentang Perawatan anak

sakit dan ibu Balita tidak menerima kartu anjuran kontrol.

Penelitian Suparto (2008) secara kualitatif tentang Analisis Manajemen

Mutu MTBS yang terkait dengan mutu penerapan kegiatan MTBS di

Puskesmas di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Timur. Hasil penelitian

menunjukkan pengetahuan dan sikap Kepala Puskesmas tentang manajemen

mutu MTBS di Kabupaten Brebes masih kurang. Terdapat kelemahan pada

proses manajerial penerapan proses manajemen kasus MTBS, antara lain dalam

menetapkan sasaran, merencanakan, menghimpun sumber daya, melaksanakan

dan mengawasi penerapan MTBS di Puskesmas , dan lemahnya manajemen

implementasi dan koordinasi lintas program.

B. Rumusan Masalah

Masih tingginya angka kematian bayi dan Balita di Indonesia khususnya

Provinsi Maluku dan lebih khusus lagi Kabupaten Seram Bagian Timur

merupakan masalah yang harus segera diatasi. Salah satu pendekatan yang

dilakukan adalah penerapan program MTBS. Pengetahuan, sikap petugas

pelaksana penerapan MTBS di tingkat Puskesmas yakni Perawat adalah kunci

dari keberhasilan program tersebut, guna menurunkan angka kesakitan dan

kematian bayi dan Balita di Kabupaten Seram Bagian Timur.

7
Dari uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan pertanyaan peneliti

“bagaimana gambaran pengetahuan, sikap Perawat dan penerapan Manejemen

Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Kebupaten Seram Bagian Timur Provinsi

Maluku”?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Diketahui gambaran pengetahuan, sikap Perawat dan penerapan MTBS di

Kabupaten Seram Bagian Timur Provinsi Maluku.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui gambaran pengetahuan Perawat tentang MTBS di Kabupaten

Seram Bagian Timur Provinsi Maluku.

b. Diketahui gambaran sikap Perawat tentang MTBS di Kabupaten Seram

Bagian Timur Provinsi Maluku.

c. Diketahui gambaran penerapan Perawat tentang MTBS di Kabupaten

Seram Bagian Timur Provinsi Maluku.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Perawat pelaksanan program MTBS

Hasil penelitian ini bisa memberi manfaat khusus Perawat pelaksana

progran MTBS agar selalu mengikuti pelatihan-pelatihan MTBS oleh dinas

kesehatan dan Puskesmas, guna lebih meningkatkan pengetahuan Perawat,

sikap Perawat dan penerapan MTBS.

8
2. Bagi Puskesmas.

Hasil penelitian ini sebagai bahan masukan untuk lebih meningkatkan

pelayanan kesehatan yaitu pelayanan MTBS oleh petugas kesehatan

khusnya tenaga Perawat yang terlibat dalam penatalaksanaan program

MTBS, sehingga dalam memberikan pelayanan MTBS lebih maksimal lagi.

3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Timur Provinsi Maluku

Hasil penelitian ini sebagai data dan bahan evaluasi serta mendapat

perhatian serius sehinga pelatihan-pelatihan MTBS untuk tenaga-tenaga

kesehatan khususnya tenaga Perawat lebih sering dilaksanakan

pelatihannya.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini menjadi masukan dan data tambahan bagi peneliti

selanjutnya yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan penerapan

MTBS.

Anda mungkin juga menyukai