Anda di halaman 1dari 7

 

Anestesia Pada Ruptur Aneurisma Aorta Abdominal

 Aneurisma aorta abdominalis (AAA) yang ruptur pada umumnya fatal, dengan
tingkat mortalitas secara keseluruhan 65%. Tingkat mortalitas untuk pasien yang
bertahan hidup hingga mencapai rumah sakit dan menjalani pembedahan emergensi
kurang lebih 36% dibandingkan dengan 6% untuk perbaikan elektif.

Epidemiologi dan riwayat


 AAA terjadi pada umumnya pada pria perokok yang berumur >65 tahun dan
merupakan penyebab kematian paling sering nomer 13 di amerika serikat. Merokok
kronis merupakan faktor resiko tunggal yang paling penting pada baik
perkembangan maupun progresi AAA. Prevalensi AAA (diameter aorta >30 mm)
pada perokok kronis empat kali lebih banyak dibanding non perokok, dan tingkat
rata-rata pertumbuhan aneurisma pada perokok sebesar 2,8 mm per tahun melawan
2,5 mm per tahun pada non perokok. Penyebab AAA yang paling sering adalah
aterosklerosis; penyebab yang jarang meliputi sindrom Marfan, salmonella,
bruselosis, tuberkulosis, dan penyakit Takayasu.
 AAA biasanya asimtomatis namun berkembang seiring berjalannya waktu dan
resiko ruptur spontan meningkat (gambar 1). Tingkat morbiditas dan mortalitasnya
lebih rendah setelah pembedahan elektif daripada emergensi; jadi, program deteksi
dini komunitas gencar dicanangkan. The Multicentre Aneurysm Screening Study
membuktikan bahwa terjadi penurunan mortalitas 53% pada pria Inggris yang
berusia 65-74 tahun yang diperiksa regular screening ultrasound dan menjalani
pembedahan selektif ketika diameter aneurisma mencapau 5,5 cm. Sebaliknya, the
UK Small Aneurysm Trial mengakui tidak ada keuntungan pada pembedahan elektif
untuk AAA yang sangat kecil (diameter <5,5 cm)

Gambar1.

Patofisiologi
Perkembangan AAA diakibatkan oleh perubahan pada jaringan ikat dinding
aorta. Serat elastin dan kolagen memberikan mayoritas daya rentang dari dinding
aorta. Degradasi dari serat elastin sepertinya menjadi gambaran awal pembentukan
aneurisma sedangkan gangguan kolagen merupakan penyebab utama ruptur.
Homeostasis kolagen/elastin normalnya dipertahankan oleh keseimbangan yang
 

bagus antara matrix metalloproteinases (MMP) dan penghambat jaringannya; jika


diganggu, proteolisis terjadi menyebabkan pembentukan aneurisma. Faktor lain
yang terlibat dalam pembentukan aneurisma meliputi infliltrat inflamasi kronis,
apoptosis sel otot polos, dan peningkatan produksi sitokin pro inflamasi.

Manajemen medis
Terapi medis tertentu telah diinvestigasi dalam usaha mengurangi ekspansi
progresif AAA. Baik tetrasiklin maupun indometasin mencegah progresi AAA pada
model hewan, melalui penghambatan MMP. Terapi statin mengurangi ekspresi
MMP-9 dan telah dihubungkan dengan penurunan pada pertumbuhan AAA infra
renal pada hewan. Akan tetapi, hasil ini tidak ada yang efektif pada manusia dan
terapi definitif untuk AAA masih reparasi pembedahan.

Presentasi dan diagnosis


Pasien datang dengan tanda dan gejala dari nyeri abdomen bawah atau
lumbal bersamaan dengan adanya massa abdomen yang pulsatil, hingga pingsan,
syok, dan koma. Diferensial diagnosis nya meliputi ruptured viscus, pankreatitis akut,
atau bowel ischaemia. Jika hemodinamik pasien stabil, mereka dapat dikirim untuk
computerized tomography (CT) untuk mendiagnosis ruptur dan menentukan
suitabilitas untuk reparasi endovaskuler. Ruptur intra peritoneal yang bebas hampir
selalu menyebabkan kegagalan kardiovaskuler dan kematian. Ruptur retroperitoneal
memiliki prognosis yang lebih baik oleh karena tamponade, yang membatasi
perdarahan lanjutan.

Pemilihan pasien dan stratifikasi resiko


Pembedahan emergensi untuk AAA yang ruptur berhubungan dengan
mortalitas yang tinggi. Bahkan pasien yang bertahan hidup pada prosedur awal
berada pada resiko tinggi komplikasi (seperti gagal ginjal, jantung, nafas,
hematologis, atau gastrointestinal); rawat inap di rumah sakit dan ICU yang
memanjang umum terjadi. Mungkin terdapat skenario klinis yang mana resusitasi
dan pembedahan yang dilakukan dapat sia sia dan sistem skoring telah diterapkan
pada pasien dengan AAA ruptur pada usaha untuk menstratifikasi resiko
perioperatif. Skor POSSUM dan APACHE II digunakan secara luas pada kondisi lain
namun tidak secara akurat memprediksi keluaran pada pasien AAA yang ruptur.
Indeks Hardman untuk AAA ruptur dipublikasikan pada 1996 dan mengandung lima
variabel preoperatif dengan rentang nilai 0-5 (tabel 1). Secara umum disarankan
bahwa adanya tiga variabel Hardman dihubungkan dengan 100% mortalitas. Studi
terkini telah memperkirakan mortalitas 80% dengan index Hardman > 2. The
Glasgow Aneurysm Score (GAS) didasarkan pada analisis catatan kasus retrospektif
dari 500 pasien yang mengalami AAA ruptur dengan satu dari empat satuan
pembedahan umum Glasgow antara 1980 hingga 1990 (tabel 1). Hal ini telah
diterapkan baik pada reparasi aneurisma elektif maupun emergensi.
Data terkini menunjukkan bahwa GAS berguna dalam memprediksi mortalitas
postoperatif baik pada reparasi AAA elektif maupun emergensi: mortalitas
mostoperatif sebesar 1,4% pada pasien dengan GAS<78,8 dan 8,7% pada pasien
dengan GAS > 78,8 setelah reparasi elektif. Gambaran mortalitas yang sama
sebesar 28% dan 65% setelah reparasi emergensi menggunakan skor cut-off yang
lebih tinggi sedikit 84,9. Keseluruhan, harus diketahui bahwa sistem skoring memiliki
keterbatasannya dan seharusnya hanya digunakan sebagai tambahan untuk
 

keputusan klinis. Hal ini dapat digunakan untuk membandingkan hasil dari senter
yang berbeda.

Manajemen preoperatif
 AAA ruptur merupakan emergensi dalam pembedahan dan evaluasi
preoperatif yang cepat dibutuhkan. Ada beberapa situasi ketika pembedahan tidak
cocok dilakukan, seperti pada pasien yang sudah pernah mengalami henti jantung
atau pasien dengan penyakit terminal. Pada zaman dahulu, pasien dengan penyakit
kardiorespiratori berat dapat ditolak dilakukan pembedahan elektif, namun dengan
meningkatnya ketersediaan tehnik endovaskuler, banyak pasien ini dapat menjalani
pembedahan
Manajemen anestesi yang sukses sering membutuhkan dua anestesis yang
berpengalaman. Penilaian preoperatif yang singkat dan tepat sasaran harus dibuat.
Kebanyakan pasien akan memiliki penyakit aterosklerosis ekstensif dan yang terkait
rokok. Banyak pasien memiliki penyakit arteri koroner yang signifikan yang tidak
selalu helas dari riwayat dan pemeriksaan. Diabetes, hipertensi, dan gangguan renal
 juga umum ditemukan. Tekanan darah seharusnya dicek secara noninvasif pada
kedua lengan karena mungkin terdapat stenosis arteri brakiosefalika dan subklavia.
Jika terdapat perbedaan pada bacaan, bacaan yang lebih tinggi seharusnya yang
digunakan. Jika hal ini terjadi, anestesis kedua harus mengatur persiapan obat
perlengkapan dan teater (kamar ok) yang meyakinkan suplai darah dan produk
koagulasi yang adekuat. Kami merekomendasikan minimal 10 unit sel darah merah,
 juga platelet, fresh frozen plasma, dan cryoprecipitate. Rumah sakit seharusnya
memiliki sistem untuk mempersiapkan produk daah ini tanpa penundaan (seperti
tidak menunggu untuk hasil koagulasi laboratorium); uji dekat pasien mungkin juga
memiliki peran.
Respon pertama dari banyak anestesis yang berhadapan dengan pasien
ruptur AAA adalah dengan memberikan cairan intravena secara cepat untuk
mengembalikan tekanan darah mendekati harga normal. Akan tetapi, pemberian
berlebihan cairan sebelum clamping aorta akan meningkatkan perdarahan melalui
lepasnya trombus dan dilusi faktor pembekuan. Sangat masuk akal untuk
menghindari segala macam transfusi sel darah merah sebelum operasi kecuali
pasien tidak sadar atau menunjukkan tanda-tanda iskemia jantung. Jika nyeri berat,
sedikit tambahan morfin intravena dapat diberikan ketika rencana pembedahan
masih dibuat. Dapat dipertimbangkan meletakkan kateter epidural sebelum operasi
pada pasien dengan kebocoran plasma dengan hasil koagulasi yang memuaskan
dan pasien secara hemodinamik stabil. Keuntungan dari hal ini adalah bahwa
analgesia epidural dapat memfasilitasi weaningl koagulopati postoperatif umum dan
dapat menjadi kontraindikasi insersi epidural dalam 48-72 jam

Manajemen anestesi
Induksi
Induksi anestesi pada pasien dengan ruptur AAA dapat berhubungan dengan
kegagalan kardiovaskuler oleh karena: (i) efek kardiodepresan dari agen intravena
dan inhalasi; (ii) relaksasi otot-otot abdomen sehingga mengurangi efek tamponade;
(iii) ventilasi tekanan positif intermiten mengurangi aliran balik vena; dan (iv)
pengurangan tonus simpatetik. Oleh karena itu, induksi anestesia seharusnya
dilakukan dengan pasien pada meja operasi, siap penuh untuk pembedahan dengan
darah untuk transfusi tersedia pada tempatnya. Tidak adanya darah yang cocok,
darah golongan O atau spesifik dapat digunakan. Volume besar dari cairan intravena
 

dapat dibutuhkan secara cepat; oleh karenanya, peralatan pemanas seharusnya


dipasang dengan cairan dan/atau darah yang cocok, jika memungkinkan
menggunakan alat infus yang cepat. Pengawasan tekanan arterial langsung
sebaiknya dilakukan sebelum induksi anestesia, namun akses vena sentral dapat
ditunda pada saat ini kecuali tidak ada akses vena yang disiapkan.
Tidak ada tehnik atau agen anestetik spesifik yang menunjukkan secara signifikan
memperbaiki keluaran; tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan anestesia
dengan stabilitas kardiovaskuler dan normotermia selama mungkin. Dibutuhkan
rangkaian induksi cepat yang dimodifikasi yang digunakan secara hati-hati pada
dosis titrasi agen induksi diikuti dengan suksinilkolin. Dalam usaha untuk
mengurangi dosis yang dibutuhkan dari agen induksi, opioid (seperti fentanil,
alfentanil) dapat digunakan.

Maintenance (pemeliharaan)
 Anestesia biasanya dipertahankan dengan keseimbangan tehnik
menggunakan agen volatile/opioid dan blokade neuromuskular. Nitrous oxide akan
mengurangi tekanan arterial pada pasien yang memiliki kontraktilitas jantung yang
menurun atau peningkatan aktivitas simpatoadrenal, keduanya sering ditemukan
pada pasien dengan ruptur AAA. Untuk alasan ini, beberapa anastesis menghindari
penggunaannya. Opioid dosis tinggi (seperti fentanil 5-20 ug/kg) sering digunakan

Aortic cross-clamping
Respons fisiologis terhadap aortic cross-clamping bergantung pada beberapa
variabel, termasuk fungsi ventrikel kiri preoperatif, sirkulasi kolateral, dan tingkat
cross-clamp. Ketika aorta di cross-clamp, peningkatan afterload dapat menyebabkan
hipertensi pada daerah proksimal jepitan. Hal ini dapat dikurangi dengan
meningkatkan kedalaman dari anestesia, atau pemberian vasodilator (seperti GTN).
Hal ini juga memberikan masuknya cairan intravaskuler pada persiapan pelepasan
clamp.
Restorasi sirkukasi pada pelepasan cross-clamp disertai dengan penurunan
mendadak pada afterload dan cidera iskemia-reperfusi berat. Hal ini dapat
menyebabkan hipotensi berat, asidemia laktat, iskemia miokard, dan kolaps
kardiovaskular. Hal ini dapat dikurangi dengan mempertahankan tekanan arterial
rerata dan meningkatkan volume sirkulasi, yang difasilitasi dengan pemberian
vasodilator selama penerapan cross-clamp. Meski begitu, hipotensi normalnya
terjadi dan vasokonstriktor dan/atau obat inotropik biasanya diperlukan

Monitoring, transfusi darah, dan termoregulasi


Standar minimal rekomendasi pengawasan untuk reparasi ruptur AAA
meliputi EKG (CM 5 configuration), CVP, arterial line, suhu tubuh, dan produksi urin.
Kateter flotasi arteri pulmonal jarang digunakan. Setiap rumah sakit seharusnya
memiliki protokol untuk pemberian produk darah pada kasus ini karena tidak praktis
untuk menunggu hasil tes koagulasi sebelum memintanya. Oleh karena pembatasan
tes koagulasi standar, banyak pusat menilai peran of thromboelastografi (TEG) pada
pembedahan vaskuler emergensi. TEG dapat dipercaya menunjukkan
hiperkoagulabilitas dan fibrinolisis, keduanya sering dianggap rendah dengan tes
koagulasi konvensional; hal ini secara potensial berguna pada situasi apa pun ketika
terdapat perubahan cepat dari profil hemostatik dan secara luas digunakan untuk
menentukan praktik transfusi untuk pembedahan liver dan jantung. Di UK, 55%
rumah sakit sekarang menggunakan red cell salvage techniques (tehnik
 

penyelamatan sel darah merah) untuk pembedahan aorta elektif; gambaran pada
kasus emergensi dapat lebih rendah oleh karena kesulitan praktis pada situasi
emergensi. Hipotermia perioperatif terjadi sering oleh karena abdomen yang
terbuka, paparan pasien, hilangnya darah, dan besarnya volume cairan intravaskuler
yang ditransfusikan. Semua usaha harus dibuat untuk mempertahankan temperatur
pasien saat operasi dengan menggunakan kantong penghangat dan cairan yang
hangat.

Maintenance fungsi renal


Pasien berada pada resiko terjadinya gangguan ginjal oleh karena: hipotensi
dan hipovolemia preoperatif; klem aorta yang menyebabkan iskemia renal langsung;
muatan emboli yang besar; dan hilangnya darah postoperatif. Untuk mencegah
gangguan ginjal postoperatif, setiap usaha harus dibuat untuk mempertahankan
tekanan pefusi yang adekuat dan membatasi durasi klem supra renal. Banyak
anestesis memberikan obat-obatan seperti manitol, furosemid, atau dopamin untuk
mencegah gagal ginjal namun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa hal tersebut
memperbaiki keluaran. Prioritas utama adalah untuk mempertahankan volume
cairan ekstraseluler yang adekuat baik saat maupun post operasi.

Perawatan post operatif


Seluruh pasien seharusnya dikirim ke ICU post operasi dimana terdapat
perawatan suportif meliputi optimisasi dan pemeliharaan volum sirkulasi. Re-
warming akan berlanjut hingga didapat suhu tubuh normal dan dukungan respiratori
biasanya dibutuhkan untuk minimal 24 jam dan sering beberapa hari. Fungsi ginjal,
koagulasi, hemoglobin, dan keseimbangan asam basa diawasi ketat. Renal
replacement therapy (Terapi pengganti ginjal) dibutuhkan pada bagian signifikan
pasien dan mereka yang dengan koagulopati dapat membutuhkan transfusi produk
darah yang kontinyu. Masalah penting yang lain meliputi analgesia dan ileus
memanjang yang terantisipasi.
Pasien utamanya cenderung mengalami hipertensi intra abdomen (tekanan
intra abdomen > 12 mmHg) dan sindrom kompartmen abdomen (ACS, didefinisikan
dengan IAP > 20 mmHg). Faktor yang berperan dalam pembentukan ACS meliputi
anemia, hipotensi yang memanjang, resusitasi jantung paru, hipotermia, asidosis
berat (defisit basa ≥ 14 mEq) dan resusitasi cairan agresif (≥ 4L/jam). Pasien-pasien
ini memiliki keuntungan dari laparostoma atau penutupan mesh dari dinding
abdomen dengan penutupan pembedahan sekunder tertunda setelah 2-3 hari.
Perlakuan penutupan mesh awal pada pasien ini mengurangi insiden kegagalan
multiorgan ketika dibandingkan dengan pasien yang membutuhkan operasi kedua
untuk ACS pada periode postoperasi. Pengawasan dari IAP perlu dipertimbangkan
pada semua pasien dan pertimbangan diberikannya nutrisi parenteral jika terdapat
ileus yang memanjang.

Reparasi AAA endovaskuler


Reparasi aneurisma endovaskuler (EVAR) meningkat popularitasnya pada
dokter bedah vaskuler dan radiologis intervensional karena EVAR menghindarkan
kebutuhan laparotomi pada kelompok pasien yang biasanya memiliki komorbiditas
yang signifikan. Saat ini, tidak ada data terandomisasi, prospektif, multisenter, besar
yang menilai efikasi EVAR dalam terapi ruptur AAA namun banyak seri kecil telah
 

menunjukkan sebuah tren terhadap penurunan mortalitas dibandingkan dengan


reparasi terbuka. Kebanyakan pusat yang memelopori penggunaan EVAR
menggunaan CT spiral untuk mendiagnosis sebuah ruptur dan menunjukkan ukuran
dan morfologi AAA. Hal ini juga berguna untuk menyingkirkan penyebab lain dari
akut abdomen dan memprediksi ukuran endograft. Beberapa dikhawatirkan bahwa
waktu tambahan yang dibutuhkan untuk imaging dapat memperburuk keluaran
namun penelitian terkini menunjukkan bukan hal ini alasannya.
Masih terdapat beberapa ketidakpastian terkait lokasi yang paling pantas
untuk melakukan EVAR emergensi. Deretan angiografi memberikan teknologi
imajing yang optimal; akan tetapi, departemen radiologi sering dikeluarkan dari
departemen utama yang mengoperasi dan fasilitas pengawasan dan resusitasi
dapat dibatasi. Dengan perkembangan tehnik endovaskuler, instabilitas
hemodinamik tidak lagi menjadi indikasi absolut untuk laparotomi di bawah anestesi
umum. EVAR dapat dilakukan dalam anestesi lokal dengan atau tanpa sedasi,
analgesi lokal atau umum. Konversi ke anestesi umum dapat dibutuhkan pada
hingga 25% kasus. Beberapa alasan untuk ini:
1. pasien dengan ruptur AAA memiliki nyeri dan kegelisahan oleh karena hematom
retroperitoneal yang meluas. Hal ini dikurangi dengan instrumentasi endovaskuler
2. penggunaan alat oklusif intra aorta untuk mendapatkan hemostasi dapat
menyebabkan iskemi tungkai bawah akut
3. jika arteri iliaka interna teroklusi, nyeri bokong dapat terjadi
4. insufisiensi respiratori oleh karena meluasnya hematom retroperitoneal
5. persilangan arteri femoro femoral terkadang dilakukan setelah EVAR jika terjadi
iskemi tungkai bawah
Beberapa studi retrospektif menunjukkan keluaran baik dengan anestesi lokal
namun tidak ada data prospektif untuk menunjukkan bahwa tidak ada satupun tehnik
anestesi yang superior.

Transfer antar rumah sakit


Pada tahun-tahun terkini, terdapat panggulan untuk pemusatan pelayanan
vaskuler menjadi unit yang lebih besar. Hal ini berhubungan dengan variasi lokal
pada ketersediaan ahli vaskuler, teater (kamar ok), dan pelayanan ICU. Jelas,
transfer antar rumah sakit pasien dengan ruptur AAA untuk pembedahan pada unit
yang lebih besar sepertinya lebih berbahaya namun apakah itu mempengaruhi
keluaran secara umum?
Pada satu studi, 52 kasus yang menerima terapi pada pusat rujukan tersier
selama 1995-2002 dikaji ulang. Pasien dikirim dari rumah sakit komunitas sebelum
pembedahan yang memiliki mortalitas 24 jam lebih rendah dibanding tempat yang
mengirim langsung pada pusat rujukan tersier (10% vs 41%). Hasil ini konsisten
dengan laporan NCEPOD 2005, seperti penelitian yang dilakukan di Skotlandia.
Ketika mengetahui bahwa pasien yang dianggap tidak stabil untuk dikirim
disingkirkan, data ini menunjukkan bahwa keluaran pasien yang stabil untuk dikirim
minimal dapat dibandingkan. Meski demikian, keputusan untuk mengirim harus
dibuat berdasarkan kasus. Dengan kata lain, tekanan untuk memusatkan pelayanan
vaskuler telah mengarahkan pada konsep tim pembedahan vaskuler bergerak, yaitu
sebuah tim yang didasarkan pada pusat rujukan tersier yang akan bergerak ke
tempat yang lebiih kecil di wilayah tersebut untuk melaksanakan pembedahan
emergensi. Pasien akan dikirim balik ke fasilitas pelayanan intensif vaskuler pusat
pada periode post operasi. Walaupun pasien membutuhkan manajemen perawatan
intensif mobail yang berlanjut, mereka dapat lebih stabil setelah pembedahan,
 

konsep ini tidak secara luas dibentuk di UK dan masalah transfer ini masih
diperdebatkan.

Anda mungkin juga menyukai