Proyek busway yang oleh Pemprov DKI Jakarta direncanakan akan beroperasi mulai awal
2004 mengundang kontroversi di masyarakat. Pemberitaan media lebih terfokus pada penolakan
masyarakat terhadap busway yang dinilai menghamburkan dana dan tidak akan memecahkan
kemacetan lalu lintas. Diprediksi, keputusan itu akan menciptakan kemacetan baru di jalan-jalan
alternatif sepanjang koridor Blok M-Kota. kontek
Secara konseptual, busway (jalur khusus bus) sebetulnya dapat menjadi alternatif
pembenahan transportasi umum di Jakarta, sprti di Bogota, Amerika Latin. Kondisi transportasi
umum di Bogota sebelum ada busway sama buruknya dengan kondisi transportasi umum di Jakarta.
Namun, setelah ada busway, Bogta –yang juga dikenal banyak bandit-banditnya- menjadi salah satu
kota yang layak huni. April 2001 mantan Wali Kota Bogota, Enrique Penalosa, datang ke Indonesia
(Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta) untuk tujar pengalaman pengembangan busway. Sejak itu
busway diperkenalkan ke masyarakat sebagai alternatif pembenahan transportasi umum di Jakarta.
Namun, pada tingkat implementasinya ada perbedaan mendasar antara busway di Bogota
dengan di Jakarta. Konsep dan tahapan pengebangan busway di Bogota amat jelas, sedangkan di
Jakarta tidak jelas. Secara konseptual, busway di Bogota terintegrasi dengan pembangunan jalur
pengumpan (freeder service transport), jalur angkutan tidak bermotor (non-motorize
konteks
transportation/NMT), dan jalur pejalan kaki. Pada tahap pertama, pemerintah Bogota membangun
40 km jalur busway, 57 halte pemberhentian, 4 terminal, 305 jalan untuk jalur penumpang, 29
jembatan penyeberangan bagi pejalan kaki, menata lapangan dan trotoar, 4 lokasi parkir dan
pemeliharaan, pusat kendali operasi bus khusus, dan membangun 240 km jalur sepeda.
Akar masalah
Bila dicermati, akar masalah transportasi di Jakarta karena dominasi kendaraan bemotor,
minimnya armada angkutan dan buruknya pelayanan angkutan umum, serta diabaikannya moda
transportasi tidak bermotor (NMT). Akibatnya, masyarakat amat tergantung dengan kendaraan
bermotor, teruama pribadi yang mencapai 85 persen dari total 4.148.865 unit kendaraan bemotor di
Masalah
Jakarta, tetapi kapasitas angkutannya hanya 15 persen.
Menurut logika linier, karena akar masalahnya jelas, pemecahannya pun jelas.
Pemecahannya dilakukan dengan cara mengurangi dominasi kendaraan bermotor. Kendaraan
bermotor terutamaa mobil pribadi. Setelah mengurangi dominasi kendaraan bermotor, pemerintah
mengembangkan moda transportasi massal yang baik dan angkutan tak bermotor agar masyarakat
tidak bergantung pada kendaraan pribadi.
Pilihan pada busway
Pilihan pembenahan transportasi umum di Jakarta jatuh pada busway tampaknya lebih
didasarkan pada pertimbangan biaya, yaitu dibandingkan dengan monorail, subway, dan KRL, biaya
pembangunan busway jauh lebih ringan meski daya angkutnya jauh lebih rendahbila dibandingkan
KRL. Satu gerbong KRL mampu mewakili dua unit bus khusus. Hanya, investasi yang diperlukan untuk
membangun rel kereta cukup besar mengingat rel-rel trem yang dulu pernah ada di Jakarta kini
sudah dihapuskan. Mimpi busway menjadi langkah awal untuk membenahi transportasi umum dan
massal di Jakarta. Untuk itu, harus dilanjutkan dengan pengembangan moda transportasi massal
lain, seperti kereta.
Solusi
Di Bogota, busway berhasil karena dibarengi beberapa kebjakan yang mebatasi operasi
mobil pribadi, seperti penerapan nomor ganjil dan genap bergiliran, car free day tiap minggu,
membuat dua jalur busway, dan pengenaan pajak kendaraan pribadi yang tinggi. Pemprov DKI
Jakarta juga belajar langsung ke Bogota (Maret 2003). Di Bogota, awalnya masyarakat menolak
busway, tetapi kini mereka senang karena kotanya menjadi layak huni dan hidup lebih sehat. Yang
penting diingatkan kepada Pemprov DKI Jakarta adalah segera membangun jalur pengumpan, jalur
sepeda, dan fasilitas pejaan kaki yang baik dalam satu konsep busway secara utuh, jangan berhenti
membangun jalur khusus bus saja.