Anda di halaman 1dari 5

Daya Ungkit Kolaborasi BUMDes

dan Koperasi
BADAN Usaha Milik Desa kaprahnya disebut BUMDes mulai beroperasi di berbagai wilayah Tanah
Air. BUMDes lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan
dukungan kuat berupa dana desa. Tujuannya seperti Nawa Cita Ketiga Jokowi, "Membangun
Indonesia dari pinggiran".

Selepas kebijakan politik (policy) diketok, kemudian birokrasi bekerja untuk mewujudkannya. Dalam
praktiknya, tak sedikit pemerintah desa (pemdes) yang gagap mengoperasionalkan BUMDes.
Salah satu sebabnya adalah kebiasaan mereka bekerja di koridor birokrasi pemerintahan, sekarang
dituntut bekerja laiknya wirausahawan. Di situ tentu butuh waktu penyesuaian yang tidak sebentar.

Di sisi lain, keberadaan BUMDes dilihat sebagai ancaman potensial oleh gerakan koperasi Tanah Air.
Hulunya, negara dianggap meninggalkan koperasi yang dulu sempat favorit, paling tidak di zaman
Orde Baru. Hilirnya, sebagian koperasi beroperasi di wilayah pedesaan.
Padahal, model keduanya menjejak di ruang yang sama: ekonomi sosial. Ini merupakan sebuah
mazhab ekonomi yang bertujuan mencapai kesejahteraan sosial.

BUMDes dan koperasi bisa saja kita sebut sebagai saudara laiknya kakak dan adik. Koperasi sebagai
kakak dan BUMDes, yang lahir belakangan sebagai adik.Tak elok bila kakak-adik bertengkar saat
tujuannya sama, yakni membangun dan mengupayakan kesejahteraan desa sebagai rumah bersama.

Perlu upaya kreatif-sintetik untuk mencari ruang dan titik temu keduanya. Syarat pertamanya,
perbesar daftar persamaan dibanding perbedaan.

Sutoro versa Suroto


Ada dua ikon yang selalu muncul dalam perdebatan hubungan BUMDes dan koperasi. Sutoro
merupakan aktivis desa, melihat keterbatasan daya dukung koperasi karena berorientasi pada
anggotanya semata.

Tentu saja pandangan terbatas itu bisa kita pahami karena yang bersangkutan berada di ruang lain.
Boleh jadi Sutoro tidak mengetahui adanya model social co-operative, misalnya.
Di sisi lain adalah Suroto, aktivis koperasi, melihat BUMDes bisa terjebak pada korporatisasi di level
desa. Penyebabnya Peraturan Menteri Desa Nomor 4 Tahun 2015 mengatur badan hukum usaha
BUMDes hanya boleh perseroan terbatas (PT) dan nafikan koperasi.

Pandangan itu juga bisa dipahami karena yang bersangkutan berada di ruang lain. Yang tidak melihat
adanya peluang skema private-public partnership, misalnya.

Tegangan kreatif dua tokoh itu sering mengemuka di berbagai diskusi, offline dan online.
Sebenarnya antara keduanya memiliki titik temu. Sutoro, misalnya, sudah mulai mengelaborasi
ruang irisan antara BUMDes dan koperasi. Katanya, BUMDes dapat lakukan penyertaan modal pada
koperasi.

Suroto tidak berbeda jauh. Ia mengusulkan agar pemdes dirikan apa yang disebutnya sebagai
"koperasi publik", yaitu koperasi yang permodalannya sebagian disokong dari pemdes.

Titik temu pandangan dua tokoh itu telah mengerucut dan sudah dapat dioperasionalkan. Kolaborasi
antara BUMDes dan koperasi adalah mungkin, bahkan niscaya. Lantas, bagaimana pola atau
skemanya?

Ideal ekonomi sosial

BUMDes dan koperasi sama mazhabnya, yakni ekonomi sosial (social economy). Bila kita gunakan
istilah lain yakni demokrasi ekonomi, yakni sebuah model tata milik, kelola, serta distribusi yang
diselenggarakan oleh, dari, dan untuk komunitas. Medan gravitasinya adalah demokrasi dengan
komunitas sebagai pusat gravitasinya.

Ideal type itu harus menjadi pijakan kakak dan adik sebagai common ground. Praktik-praktik yang
tidak mencerminkan tipe ideal merupakan penyimpangan.Misalnya saja, Sutoro melihat banyak
koperasi yang dimanfaatkan segelintir elite organisasi (elite capture) untuk memperkaya diri.

Di sisi lain, Suroto melihat kemungkinan terjadinya pencaplokan sumber daya saat BUMDes
terintegrasi dengan perseroan holding nasionalnya. Ia mencontohkan pengalaman Bank Umum
Koperasi Indonesia (Bukopin) yang mengalami demutualisasi menjadi bank swasta.
Dengan memijak pada ideal type mazhab ekonomi sosial itu, baik BUMDes dan koperasi dapat saling
benchmark satu sama lain.
Di sisi lain, keduanya dapat saling koreksi bahwa tujuan adanya (raison d’etre) adalah bagi
kesejahteraan sosial. Dalam kesamaan tujuan itu, waktu yang akan membuktikan model mana yang
lebih tangkas dan produktif.Atau, boleh jadi perkawinan silang keduanya menghasilkan ketangkasan
(agility) dengan tingkat produktivitas lebih tinggi.

Penyertaan modal (bergulir)


Ambillah contoh di Banyumas, untuk meningkatkan kesejahteraan, para perajin gula merah
(penderes) dapat mendirikan koperasi produksi.
Setelah berbadan hukum, seperti maklumat Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1998 dan
Peraturan Menteri Koperasi Nomor 11/Per/M.KUKM/IX/2015, BUMDes dapat melakukan
penyertaan modal kepadanya. Akselerasi modal terjadi sehingga kapasitas pembelian gula penderes
oleh koperasi naik. Hasilnya, penderes dapat lepaskan diri dari skema pertengkulakan.

Contoh lain, misalnya, BUMDes melakukan penyertaan modal pada Koperasi Unit Desa (KUD) yang
memiliki usaha ritel. BUMDes tak perlu bersusah payah membangun dan memulainya dari awal.
Cukup meminta KUD membuka cabang layanan di desa tersebut.
Dengan pengelolaan yang terintegrasi, keberlanjutan usaha lebih mungkin tercipta. Berbagai klausul,
seperti harga dan layanan lain, dapat mereka rembuk bersama.

Cara yang lain, pemdes dapat memfasilitasi masyarakat untuk mendirikan koperasi. Model bisnisnya
dapat disesuaikan sedari awal agar sesuai kebutuhan masyarakat.
Setelah berbadan hukum, BUMDes melakukan penyertaan modal. Seluruh masyarakat juga memiliki
kesempatan menjadi anggota dan tentu saja partisipasi modal. Idealnya tak perlu melakukan
mobilisasi, cukup promosi aktif koperasi kepada masyarakat.

Skema penyertaan itu bisa seperti tawaran Sutoro, 60 persen dari BUMDes dan sisanya adalah
masyarakat atau anggota koperasi.
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Koperasi mengatur bahwa pemodal, sebutan bagi
pihak yang menyertakan modal di koperasi, tidak punya hak suara di rapat anggota. Namun,
pemodal bisa terlibat dalam mengelola, bila mampu. Yang pasti, pemodal terlibat dalam
pengawasan operasional usaha. Koperasi juga wajib untuk melaporkan perkembangan usaha kepada
pemodal.
Dengan keterbukaan koperasi, anggota bisa bertambah saban waktu. Mereka memiliki kesempatan
yang sama memodali koperasi lewat instrumen simpanan saham atau lainnya. Makin banyak
anggota, makin besar partisipasi modal dari masyarakat.

Dalam kondisi seperti itu, di tahun ketiga atau kelima, BUMDes bisa menarik sebagian penyertaan
modalnya, menjadi tersisa hanya 20 persen, misalnya.
Dana segar itu dapat BUMDes investasikan kembali pada jenis koperasi lainnya. Polanya sama, bila
modal masyarakat sudah cukup kuat, BUMDes menarik sebagian penyertaannya dan sisakan
sebagian sebagai fungsi kontrol.

Pola itu bisa dilakukan berulang kali pada jenis koperasi berbeda seperti skema revolving fund.

Pada titik itu, BUMDes menjadi semacam fund management yang melakukan investasi di banyak
perusahan berlainan sektor. Keunggulannya adalah menyebar resiko atas kerugian usaha,
memperluas manfaat bagi banyak sektor dan orang, serta balas jasa yang berkelanjutan. Dalam
skema investasi itu berlaku diktum, 1 kali 7 lebih bagus daripada 7x1.

Daya ungkit kolaboratif


Pola kolaborasi di atas akan menghasilkan daya ungkit bagi semua pihak.
Pertama, BUMDes yang lahir belakangan tak perlu melakukan kesalahan berulang-kali seperti yang
dialami oleh perusahaan koperasi. Bagaimanapun, koperasi memiliki pengalaman panjang dengan
serial jatuh-bangun berulang. Dan karenanya, koperasi memiliki kapasitas kewirausahaan dan
manajemen yang baik hasil praktik puluhan tahun.

Kedua, terjadi akselerasi modal pada koperasi untuk pengembangan usaha, apalagi bila balas
jasanya lebih rendah dari bank. Di sisi lain, penyertaan modal pada koperasi menjadi instrumen bagi
peningkatan tata kelola yang baik (good cooperative governance). Koperasi dituntut lebih
profesional, transparan dan akuntabel.

Ketiga, masyarakat dilindungi oleh BUMDes dari praktik sesat koperasi yang banyak berkembang di
masyarakat. Adalah rahasia umum bahwa citra koperasi terpuruk karena praktik rentenir berkedok
koperasi.
Sebagai wali amanah, BUMDes melindungi hak masyarakat. Gilirannya hal itu dapat mendukung
kerja dinas koperasi di daerah-daerah yang biasanya kekurangan SDM pengawasan.
Keempat, peluang terjadinya kompetisi antara BUMDes dan koperasi menjadi berkurang atau
hilang sama sekali. Bagaimanapun keduanya memiliki pasar yang sama, desa. Alih-alih berkompetisi,
lebih baik bekerja sama. Jangan dilupakan, keduanya hadapi kompetitor yang sama: konglomerasi
swasta kapitalis, kartel di berbagai sektor, dan sejenisnya.

Kelima, jaringan kerja BUMDes akan meluas dan transnasional. Hal itu karena gerakan koperasi
memiliki wadah gerakan koperasi internasional, International Cooperative Alliance atau ICA, yang
efektif di tiap regional.
Holding BUMDes sebagai perusahaan sosial dapat ajukan keanggotaan khusus, misalnya di ICA Asia
Pacific. Tentu akan sangat mendukung bagi kerja sama antar kawasan.

Bandul politik
Secara jangka panjang, kolaborasi itu lebih berkelanjutan bagi masyarakat desa. Bagaimanapun, kita
tak bisa memastikan apakah dana desa masih bergulir sampai 10 tahun mendatang. Hal itu karena
belanja negara pasti akan membengkak.
Penyebab lain, praktis hal itu sangat bergantung pada kemauan politik rezim berkuasa. Dan terakhir,
tujuan pembangunan adalah tercapainya kemandirian masyarakat. Masyarakat harus berdikari,
meski tanpa dana desa.
Sekarang merupakan momen tepat melakukan investasi jangka panjang: memobilisasi, membangun,
dan mengolaborasi sumber daya di desa.
Bila ternyata bandul politik berubah, masyarakat sudah cukup memiliki sumber daya untuk dikelola
bersama melalui koperasi yang terhubung lewat BUMDes
Di sana BUMDes menjadi private-public platform yang pertemukan aneka jenis koperasi di
masyarakat. Mari berkolaborasi!

Anda mungkin juga menyukai