Anda di halaman 1dari 54

PROPOSAL PENELITIAN

UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN PATCH TRANSDERMAL EKSTRAK


ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill) TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA SAYAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus B)

ACI A. BALANDE
17 3145 201 093

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki berbagai macam jenis tanaman

khususnya yang berkhasiat sebagai obat tradisional. Penggunaan tanaman obat

didasarkan akan khasiat yang dipercayai nenek moyang secara turun menurun.

Keberadaan senyawa metabolit sekunder pada tanaman telah dilaporkan beberapa

penelitian menjadi faktor penting pemilihan potensi tanaman obat. Senyawa metabolit

sekunder dimiliki oleh berbagai tanaman dapat memberikan efek fisiologi dan efek

farmakologi (Qin & Staf, 2020).

Tumbuhan obat adalah semua jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai

ramuan obat, baik secara tunggal maupun campuran yang dianggap dan dipercaya

dapat menyembuhkan suatu penyakit atau dapat memberikan pengaruh terhadap

kesehatan (Qomariah, 2014).

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,

bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan

tersebut yang secara turuntemurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan

pengalaman. Selain itu, juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan

dan khasiat dari obat tradisional. Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai

lebih aman dari pada penggunaan obat modern (Djajanti & Asf, 2018). Selain itu

Alasan penggunaan tanaman obat dikarenakan bahan alami tidak menimbukan efek
samping yang berbahaya, tidak membutuhkan biaya yang mahal untuk

mendapatkannya, dan tanaman tersebut lebih mudah ditemukan di lingkungan sekitar

(Qin & Staf, 2020).

Dalam perkembangannya, berbagai temuan riset pengobatan tradisional mampu

menemukan beberapa alternatif penyembuhan berbagai penyakit, diantaranya adalah

sebagai obat penyembuhan luka. Luka merupakan suatu keadaan terputusnya

kontinuitas jaringan tubuh, yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi tubuh

sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Luka sendiri terbagi menjadi beberapa

jenis yaitu ada luka terbuka dan luka tertutup, luka disebut tertutup jika tidak terjadi

robekan sedangkan luka terbuka jika terjadi robekan dan kelihatan contohnya luka

gores atau luka sayat (Djajanti & Asf, 2018).

Luka sayat adalah luka yang terjadi karena goresan atau sayatan benda tajam

yang mengenai kulit, benda tajam itu bisa berupa logam, kayu, dan luka ini terjadi

pada lapisan dermis maupun epidermis kulit (Samudra et al., 2019). Kecepatan dari

penyembuhan luka dapat dipengaruhi dari zat-zat yang terdapat dalam obat yang

diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan

penyembuhan dengan cara merangsang lebih cepat pertumbuhan sel-sel baru pada

kulit maka proses penyembuhan lukanya pun akan cepat. Sejumlah studi

menunjukkan bahwa tanaman tradisional potensial sebagai agen penyembuhan luka

di samping pengobatan medis (Sentat & Permatasari, 2017).

Ketika terjadi luka, tubuh memiliki mekanisme untuk mengembalikan


komponen-komponen jaringan yang rusak dengan membentuk struktur baru dan

fungsional. Namun, dengan adanya bantuan zat seperti antibakteri dan antiinflamasi

dapat mempercepat proses penyembuhan luka (Veronika, 2021).

Salah satu tanaman yang dipercaya masyarakat sebagai tanaman obat dalam

penyembuhan penyakit yaitu tanaman alpukat (Persea americana Mill). Tanaman

alpukat merupakan salah satu tanaman yang populer di Indonesia. Selama ini dikenal

hanya buahnya saja yang dapat dimanfaatkan sedangkan daunnya hanya dianggap

sebagai limbah oleh masyarakat, ternyata daun alpukat merupakan salah satu bahan

alami yang dapat digunakan sebagai obat tradisional (Husna, 2021). Daun alpukat

dapat menyembuhkan penyakit kencing batu, radang gusi, disentri, dan nyeri haid

(Qin & Staf, 2020). Pada penelitian yang dilakukan oleh (Riswan, 2018) Metabolit

sekunder yang terkandung dalam ekstrak n-heksana kalus alpukat (Percea americana

Mill) adalah golongan flavonoid, steroid, alkaloid dan saponin, Pada penelitian yang

dilakukan oleh Sentat & Permatasari (2017) kandungan kimia yang terdapat pada

daun alpukat antara lain adalah saponin, alkaloid, tanin, flavonoid, polifenol dan

quarsetin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Sentat & Permatasari, 2017) bahwa

ekstrak etanol daun alpukat memiliki aktivitas terhadap penyembuhan luka bakar

pada mencit jantan, dilihat dari pengamatan hari ke-1 sampai hari ke-14 menunjukkan

persentase kesembuhan luka bakar berturut-turut sebesar 86%, 88% dan 90%. Dan

pada penelitian yang dilakukan oleh (Vivi Meylani Putri, 2014) bahwa ekstrak etanol

daun alpikat yang dibuat dalam bentuk sediaan gel memiliki aktifitas penyembuhan
luka sayat dengan nilai persentase rata-rata penyembuhan gel dengan kandungan

sebesar 63,33%, 64,32%, dan 65,10%.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi obat tradisional juga mengalami

perkembangan dalam bentuk formulasi sediaan misalnya serbuk, pil, kapsul dan

sediaan lainya. Salah satunya inovasi pengembangan obat dengan rute Transdermal.

Rute transdermal adalah rute pemberian obat melalui kulit secara difusi pasif

hingga mencapai sirkulasi sistemik. Tahap penetrasi obat diawali dengan pelepasan

obat dari sediaan selanjutnya menembus stratum corneum kemudian dibawa ke

dermis hingga masuk ke pembuluh darah kapiler. Sistem transdermal biasanya

dibentuk dalam bentik sediaan patch atau bentuk sediaan semisolid lainnya. Patch

adalah sediaan dengan perekat (lapisan adhesif) yang mengandung obat yang

ditempatkan di kulit untuk memberikan dosis pengobatan tertentu melalui kulit dan

masuk ke aliran darah. Terapi obat dalam sistem ini dapat dihentikan jika obat tidak

lagi diinginkan (Vivi Meylani Putri, 2014).

Sediaan patch memberikan beberapa keuntungan yang mana sistem patch dapat

menghantarkan obat dengan laju yang terkontrol sejak saat menempel pada kulit

hingga terjadi absorpsi; meningkatkan kepatuhan pasien karena mengurangi frekuensi

pemakaian; meningkatkan kenyamanan pasien via non-invasif; penggunaan tanpa

rasa sakit dan pemakaian yang sederhana; menjaga bioavaibilitas obat dalam plasma

selama pemakaian dibandingkan pemberian per oral; menghindari first-pass effect

pada pemberian per oral; cocok untuk pasien yang tidak dapat menelan obat, pasien

mual ataupun yang tidak sadarkan diri; pemakaian mudah dihentikan bila terjadi efek
toksik; dan cocok untuk obat yang menyebabkan gangguan gastrointestinal karena

dapat menghindari efek langsung pada lambung dan usus (Vivi Meylani Putri, 2014).

Tanaman daun Alpukat (Persea americana Mill) yang memiliki senyawa

metabolit sekunder yang dipercaya dalam pengobatan dalam berbagai macam

penyakit, salah satunya untuk pengobatan luka sayat. Beberapa peneliti telah

melakukan penelitian mengenai efektivitas ekstrak etanol namun hanya dalam bentuk

ekstrak kentalnya dan dalam sediaan Gel terhadap penyembuhan luka bakar, sampai

saat ini belum ada penelitian tentang Efektifitas Ekstrak etanol daun alpukat (Persea

americana Mill) terhadap penyembuahan luka sayat khusus nya yang dibuat dalam

bentuk sediaan trandermal patch. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan

penelitian mengenai uji efektivitas suatu sediaan patch transdermal Ekstrak etanol

daun senggani yang telah diformulasikan oleh peneliti sebelumnya yang akan diujian

terhadap luka sayat pada tikus putih (Rattus norvegicus).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Sediaan Patch Transdermal Ekstrak Etanol daun Alpukat (Percea

americana Mill) efektiv terhadap penyembuhan luka sayat pada Tikus Putih

(Rattus norvegicus B)?

2. Berapa dosis yang paling optimal terhadap penyembuhan luka sayat pada Tikus

Putih (Rattus norvegicus B)?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Sediaan Patch Transdermal Ekstrak Etanol daun Alpukat

(Percea americana Mill) efektiv terhadap penyembuhan luka sayat pada Tikus

Putih (Rattus norvegicus B)

2. Untuk mengetahui dosis yang paling optimal terhadap penyembuhan luka sayat

pada Tikus putih (Rattus norvegicus B).

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk peneliti

Diharapkan dapat menjadi referensi dan pengetahuan baru dalam

pengembangan dan pemanfaatan formulasi sediaan patch ekstrak etanol daun

daun Alpukat (Percea americana Mill) sebagai penyembuhan luka.

2. Untuk masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat

luas tentang manfaat dari daun daun Alpukat (Percea americana Mill)khususnya

dalam pengobatan luka yang telah dibuktikan dengan penelitian.

3. Untuk institusi

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi terobosan baru dalam dunia

kefarmasian, khususnya dalam formulasi ekstrak etanol daun Alpukat (Percea

americana Mill) yang dibuat dalam sediaan patch transdermal sebagai pengobatan

luka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Umum

1. Tanaman Alpukat (Percea americana Mill)

1.1 Klasifikasi Tanaman

Gambar 2.1 Tanaman Alpukat

Kingdom :Plantae

Divisi :Spermatophyta

Kelas :Dicotyledoneae

Ordo :Laurales

Famili :Lauraceae

Genus :Persea

Spesies :Persea americana Mill. (Husna, 2021)

1.2 Nama Lain Tanaman

Tumbuhan alpukat memiliki nama daerah yaitu Alpuket (Sunda), apokat

(Jawa), alpokat, advokat (Melayu). Nama Asing yaitu advocaat, advocatier,


alligator pear,avocado pear (Inggris), poire d’avocad (Perancis), abacate

(Portugal), aguacalte palta (Spanyol) (Husna, 2021).

1.3 Morfologi Tanaman

Alpukat bisa tumbuh pada ketinggian 200-1.000 m dpl di daerah tropis

dan subtropik. Pohon alpukat dapat tumbuh dengan ketinggian sampai 20 m,

bahkan lebih. Daunnya tebal seperti kulit. Tangkainya memiliki ukuran panjang

1,5-5 cm. daunnya berbentuk oval dengan ujung daun dan pangkal daun

runcing. Tepi daunnya rata. Ukuran panjang daun alpukat bisa mencapai 10-20

cm, sedangkan lebarnya 3-10 cm. Daun alpukat yang sudah tua berwarna hijau

halus, sedangkan yang muda berwarna kemerahan dan berambut. Warna buah

alpukat ialah hijau atau hijau kekuningan berbintik ungu. Buah itu berbentuk

oval yang ukuran panjangnya bias mencapai 5-20 cm. bila sudah matang,

daging buah alpukat lunak dan berwarna hijau kekuningan (Vivi Meylani Putri,

2014).

1.4 Kandungan kimia tanaman

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Riswan, 2018) menyatakan bahwa

Metabolit sekunder yang terkandung dalam daun alpukat (Percea americana

Mill) adalah golongan flavonoid, steroid, alkaloid dan saponin. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Sentat & Permatasari (2017), kandungan kimia yang

terdapat pada daun alpukat antara lain adalah saponin, alkaloid, tanin,

flavonoid, polifenol dan quarsetin. Adapun uraian metabolit sekunder dari daun

alpukat (Percea americana Mill) yaitu:


1. Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus

hidroksil atau gula membentuk glikosida, sehingga akan larut dalam pelarut

polar seperti etanol, metanol, butanol, dan etil asetat. Flavonoid sangat

berperan bagi tumbuhan yaitu menarik serangga dalam proses penyerbukan

dan penyebaran biji (Riswan, 2018).

Gambar 2.2 Stuktur Dasar flavonoid

Flavonoid juga merupakan salah satu kelompok produk alami yang

paling beragam dan luas yang menempati posisi penting di antara fenol

alami. Flavonoid tersebar diseluruh bagian tanaman hijau. Flavonoid

merupakan senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi.

Mekanisme flavonoid sebagai antiinflamasi dapat melalui beberapa jalur

yaitu dengan penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase (COX) dan

lipooksigenase, penghambatan akumulasi leukosit, penghambatan

degranulasi neutrofil, penghambatan pelepasan histamin (Sabila, 2019).

Flavonoid mempunyai peran penting dalam biokimia dan fisiologi

tanaman, yaitu berfungsi sebagai antioksidan, antibakteri dan antiinflamasi.

Flavonoid dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan


peningkatan laju kontraksi luka, penurunan periode epitelisasi, peningkatan

deposisi kolagen, dan terbentuknya jaringan granulasi (Hakim et al., 2010).

2. Saponin

Saponin merupakan glikosida yang terdiri dari gugus gula yang

berikatan dengan aglikon triterpen atau steroid yang banyak ditemukan

dialam. Saponin dapat larut dalam air, tidak larut dalam eter dan memiliki

rasa pahit, karena kemampuannya dalam membentuk busa, sehingga saponin

mudah dideteksi setelah dikocok dan akan membentuk senyawa koloid

Saponin dapat menghemolisis atau menghancurkan sel-sel darah merah

(Riswan, 2018).

Gambar 2.3 Stuktur Saponin

Saponin adalah glikosida yang berasal dari tumbuhan atau diproduksi

secara sintetis. Saponin dapat digunakan sebagai antimikroba yang dapat

mempercepat penyembuhan luka (Sabila, 2019). Saponin adalah suatu

glikosida yang bila dihidrolisis akan menghasilkan bagian aglikon yang

disebut sapogenin dan bagian glikon. Sapogenin bermanfaat untuk

mempengaruhi kolagen (tahap awal perbaikan jaringan) dengan menghambat


produksi jaringan luka yang berlebihan. Senyawa sapogenin juga membantu

merangsang pembentukan sel epitel yang baru dan mendukung proses

reepitelisasi. Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri adalah dengan

menurunkan tegangan permukaan sehingga mengakibatkan naiknya

permeabilitas atau kebocoran sel dan menyebabkan senyawa intraseluler

akan keluar lalu berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan,

mengikat membran sitoplasma dan mengganggu kestabilan sel yang dapat

menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel dan mengakibatkan kematian

sel (Hakim et al., 2010).

3. Alkaloid

Alkaloid merupakan salah satu satu kelompok senyawa metabolit

sekunder yang mengandung nitrogen. Alkaloid tidak hanya ditemukan pada

tanaman, tetapi juga ditemukan pada mikroorganisme dan hewan tingkat

rendah. Alkaloid bersifat basa atau alkali dan sifat basa tersebut disebabkan

karena adanya satu atau lebih atom N (nitrogen) dalam molekul senyawa

tersebut dengan bentuk struktur lingkar heterosiklik (Riswan, 2018).

Gambar 2.4 Struktur alkaloid


Alkaloid bisa berfungsi sebagai adstringen dan antimikroba yang efektif

untuk membantu proses reepitelisasi jaringan yang terluka, dimana


meningkatnya bobot jaringan granulasi kering dan produksi enzim

hidroksiprolin yang disebabkan tingginya kematangan jaringan kolagen pada

area luka. Kandungan alkaloid juga berperan dalam proses penguatan fibril

kolagen yang terbentuk dengan mencegah kerusakan sel melalui sintesis DNA

sehingga pertumbuhan jaringan baru pada luka menjadi lebih cepat (Hakim et

al., 2010).

4. Tanin

Tanin adalah senyawa polifenol yang memiliki rasa pahit dan terdiri dari

asam galat sebagai penyusunnya. Tanin terdiri dari dua jenis yaitu tanin

terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Kedua jenis tanin ini terdapat dalam

tumbuhan, tetapi yang paling dominan terdapat dalam tanaman adalah tanin

terkondensasi. Ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol sangat

kompleks. Ekstraksi tanin dapat dilakukan dengan beberapa pelarut, antara

lain pelarut polar yaitu air, aseton dan metanol (Riswan, 2018)

Gambar 2.5 Struktur Tanin


Tanin dapat ditemukan dalam bagian yang berbeda dari tumbuhan,

misalnya pada daun, periderm, jaringan pembuluh, buah yang belum masak,
kulit biji, dan jaringan yang tumbuh karena adanya penyakit. Tanin berperan

sebagai pelindung tumbuhan untuk melawan dehidrasi, pembusukan, dan

perusakan oleh hewan (Sabila, 2019). Tanin dapat mempercepat pembentukan

jaringan yang baru sekaligus dapat melindunginya dari infeksi atau sebagai

antiseptik. Senyawa tanin bersifat astringen yang bekerja lokal dengan

mengendapkan protein darah sehingga perdarahan dapat dihentikan (Hakim et

al., 2010).

1.5 Manfaat Tanaman

Buah alpukat banyak dimanfaatkan menjadi bahan makanan dan minuman

di berbagai negara. Daunnya memiliki rasa pahit dan kelat, bersifat antibakteri,

antihipertensi, antikonvulsan, antivirus. Selain memiliki sifat peluruh air

seni(diuretik), daun alpukat juga memilki berbagai macam efek farmakologis

seperti antioksidan, antiinflamasi, antijamur dan analgesik (Husna, 2021).


2. Kulit

Gambar 2.6 Anatomi Kulit

Kulit merupakan organ terbesar didalam tubuh. Kulit adalah organ tunggal

terberat di tubuh dengan berat sekitar 15% dari berat badan total dengan luas

permukaan sekitar 1,2 - 2,3 m2 pada orang dewasa. Kulit terdiri atas lapisan

epidermis yang berasal dari ektoderm permukaan dan lapisan dermis yang berasal

dari mesoderm. Berdasarkan ketebalan epidermis kulit dapat dibedakan menjadi

kulit tebal dan kulit tipis. Kulit didaerah wajah dan leher jauh berbeda dengan

ketebalan kulit di daerah telapak tangan dan kaki. Kulit menerima stimulus sakit,

perabaan dan perubahan temperatur (Suhardi, 2016).

2.1 Anatomi kulit

Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar

adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm

sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau

korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat (Vivi Meylani Putri, 2014).

Kulit terdiri dari beberapa bagian atau lapisan-lapisan antara lain:


1. Lapisan Epidermis atau Lapisan Terluar.

Lapisan epidermis merupakan lapisan terluar. Lapisan epidermis

tebalnya relatif, bervariasi dari 75-150µm, kecuali pada telapak tangan dan

kaki lebih tebal. Epidermis tersusun atas lapisan-lapisan yang berupa sel-sel

kulit dan lapisan malpigi. Pada bagian epidermis tidak terdapat pembuluh

darah dan urat saraf. Pada bagian dermis, terdapat otot penggerak rambut,

pembuluh darah dan limfa, indra, kelenjar minyak, dan kelenjar keringat. Di

bawah dermis terdapat lapisan lemak yang bertugas menghalangi pengaruh

perubahan suhu di luar tubuh. Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis

dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung

sel melanosit, langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada

berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki.

Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi

regenerasi setiap 4-6 minggu (Vivi Meylani Putri, 2014). Epidermis terdiri

atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) yaitu:

a. Stratum Korneum Stratum korneum adalah lapisan kulit yang

bertanggung jawab terhadap pengaturan kelembapan dan juga resisten

terhadap bakteri patogen dan lingkungan luar. Lapisan ini terdiri atas

lapisan sel-sel mati dan tidak berinti serta sitoplasmanya digantikan oleh

keratin. Selsel yang paling permukaan merupakan wujud zat tanduk yang

terdehidrasi yang selalu terkelupas.


b. Stratum Lusidum Stratum lusidium merupakan lapisan yang bersifat

translusen dan dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya

dan agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini.

Pada lapisan ini adhesi kurang sehingga seringkali tampak garis celah

yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain di bawahnya dan

ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki.

c. Stratum Granulosum Stratum granulosum merupakan lapisan yang

mengandung selsel bergranul. Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng

yang mengandung banyak granula basofilik yang disebut granula

keratohialin. Mikro-filamen melekat pada permukaan granula.

d. Stratum Spinosum Stratum spinosum adalah lapisan yang terdiri dari sel-

sel keratinosit dan merupakan lapisan paling tebal dari epidermis. Pada

dinding sel yang berbatasan dengan sedi sebelahnya akan terlihat taju-

taju. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel-sel satu

sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng.

e. Stratum Basal Stratum basal adalah lapisan yang letaknya paling dalam

pada epidermis dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun berderet-deret

di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Sel-sel

pada lapisan ini bermigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel-sel

pada lapisan yang lebih superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adanya

luka, dan regenerasinya dalam keadaan normal cepat (Seran, 2020).

Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan


sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan

pengenalan alergen (sel Langerhans) (Vivi Meylani Putri, 2014).

2. Lapisan Dermis

Lapisan Dermis terletak tepat dibawah epidermis. Jaringan ini dianggap

jaringan ikat longgar dan terdiri atas sel-sel fibroblast yang mengeluarkan

protein kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen dan elastin tersusun

secara acak, dan menyebabkan dermis teregang dan memiliki daya tahan.

Suatu bahan mirip gel, asam hialuronat, disekresikan oleh sel-sel jaringan

ikat. Bahan ini mengelilingi protein dan menyebabkan kulit menjadi elastic

dan memilki turgor (tegangan). Diseluruh dermis dijumpai pembuluh darah,

saraf sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar

keringat dan palit (sebacea). Sel mast, yang mengeluarkan histamin selama

cedera atau peradangan, dan makrofag yang memfagositosis sel-sel mati

dan mikroorganisme, juga terdapat di dermis (Halim, 2014).

Lapisan dermis memiliki ketebalan bervariasi, yang paling tebal pada

telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan

papiler yang tipis mengandung jaringan ikat jarang. Dan lapisan retikuler

yang tebal terdiri dari jaringan ikat padat, papilaris tepat di bawah epidermis

dan tersusun dari sel-sel fibroblast (pembentukan jaringan ikat) yang

menghasilkan suatu kolagen (protein serat lipofil yang tegas dan kurang

elastis). Retikularis sendiri terletak di bawah papilaris yang menghasilkan

kolagen dan berkas-berkas elastik dengan susunan berbentuk anyaman.


Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi,

menahan shearing forces dan respon inflamasi (Vivi Meylani Putri, 2014).

3. Lapisan Hipodermis (Subkutan)

Lapisan Hipodermis (Subkutan) terletak di bawah kulit, terdiri dari jaringan

ikat jarang dan jaringan lemak. Merupakan lapisan di bawah dermis atau

hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan

ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di

bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh

dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis

untuk regenerasi. Fungsi Subkutis/hipodermis yaitu: melekat ke struktur

dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical

shock absorber (Vivi Meylani Putri, 2014).

2.2 Fisiologis Kulit

1. Fungsi proteksi. Menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik

(tekanan, gesekan, tarikan), gangguan kimiawi (zat yang bersifat iritan),

suhu panas (radiasi, paparan UV), dan gangguan infeksi luar terutama

mikroorganisme (bakteri, virus, dan jamur).

2. Fungsi absorbsi. Kulit yang sehat dengan konsistensi yang proporsional

tidaklah mudah menyerap air, larutan maupun benda padat. Kulit hanya

dapat menyerap cairan mudah menguap dan bersifat lipofil (larut lemak).

3. Fungsi ekskresi. Kelenjar di bawah kulit memproduksi zat-zat ekskret atau

sisa hasil metabolisme yang tidak dibutuhkan dalam tubuh, berupa natrium
klorida (NaCl), urea, asam urat, dan amonia. Namun kulit juga menjaga agar

garam-garam dalam keringat yang keluar dari tubuh tetap terkendali.

Kehilangan air dari dalam tubuh sebanyak 20% dari jumlah total yang

sebagian besar terjadi melalui proses ekskresi di kulit, dapat berakibat fatal.

4. Fungsi persepsi. Terdapat ujung-ujung syaraf sensoris pada lapisan dermis

dan subkutan. Adanya ransangan panas dapat dideteksi oleh badan ruffini di

dermis dan subkutan, ransangan dingin oleh badan krause. Mekanisme

perabaan diperankan oleh badan taktil meissner. Sementara respon dari

tekanan luar dibaca oleh badan vates paccini.

5. Fungsi pengaturan suhu tubuh. Regulasi suhu tubuh dijalankan dengan

produksi keringat dan kontraksi pembuluh darah. Kulit juga mengontrol

jumlah air yang menguap akibat tekanan suhu yang diterima dari luar.

6. Fungsi pembentukan pigmen. Sel melanosit (pembentuk pigmen) ditemui di

lapisan basal yang berasal dari rigi syaraf. Kelompok sel ini

‘mengecat’ kulit dan rambut dengan pigmen yang dihasilkannya. Jumlah

pigmen melanin yang terdapat pada kulit akan menentukan warna kulit

tersebut. Semakin banyak pigmen yang dihasilkan, semakin gelap pula

warna obat kulit. Namun, hal ini bertujuan untuk melindungi sel-sel kulit

dari bahaya radiasi yang ditimbulkan sinar UV.

7. Penunjang penampilan. Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu

keadaan kulit yang halus, putih dan bersih dapat menunjang penampilan

(Halim, 2014).
3. Luka

3.1 Pengertian Luka

Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena adanya

suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh (Halim, 2014). Suatu

luka juga dapat diartikan sebagai rusaknya struktur jaringan yang normal,

baik di dalam ataupun di luar tubuh (Zahra, 2019).

3.2 Macam-macam luka

1. Luka berdasarkan klasifikasinya menjadi 2 yaitu:

a. Luka akut merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat

penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi

komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan

penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan Contoh : Luka

sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury. Luka operasi dapat dianggap

sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli bedah. Contoh : luka jahit, skin

grafting.

b. Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering timbul

kembali (rekuren) dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan

yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada

luka kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak

berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali.

Contoh : Ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous, luka bakar, dll

(Vivi Meylani Putri, 2014).


2. Luka berdasarkan mekanisme cedera:

a. Luka insisi atau luka sayat dibuat dengan potongan bersih menggunakan

instrumen tajam.

b. Luka kontusi dibuat dengan dorongan tumpul dan ditandaidengan cedera

berat bagianyang lunak, hemoragi, dan pembengkakan.

c. Luka laserasi adalah luka dengan tepi bergerigi dan tidak teratur seperti

goresan kaca.

d. Luka tusuk disebabkan oleh bukan benda kecil pada kulit, sebagai contoh

luka oleh peluru atau tusukan pisau (Halim, 2014).

4. Luka Berdasarkan kedalaman dan Luasnya Luka

a. Stadium I : Luka Superfisial “Non-Blanching Erithema” : yaitu luka yang

terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada

lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial

dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan

meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas

sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya

sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.

Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau

tanpa merusak jaringan sekitarnya.


d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,

tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas (Halim,

2014).

3.2 Luka sayat

Luka sayat atau iris merupakan jenis luka yang diakibatkan oleh irisan

benda tajam, misalnya pisau. Jenis luka ini sering menimbulkan rusaknya

pembuluh yang cukup besar bila irisannya cukup dalam. Bila keadaan luka

aseptis maka luka jenis ini akan segera tertutup setelah sebelumnya terjadi

penutupan pembuluh darah dengan meninggalkan bekas berbentuk sutura

(Seran, 2020).

Bentuk luka sayat:

a. Bila sejajar arah serat elastis/otot luka berbentuk celah

b. Bila tegak lurus arah serat elastis/otot luka berbentuk menganga

c. Bila miring terhadap serat elastis/otot luka berbentuk asimetris.

Ciri-ciri luka sayat:

a. Tepi dan permukaan luka rata

b. Sudut luka lancip

c. Tidak ada jembatan jaringan

d. Rambut terpotong. (Seran, 2020).

4. Penyembuhan luka

Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks dengan melibatkan

banyak sel. Penyembuhan luka terdiri atas tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi, dam fase maturasi atau remodeling. Proses perbaikan sel

(penyembuhan luka) bergantung pada kedalaman luka. Proses ini terjadi secara

sederhana yang diawali dengan pembersihan (debris) area luka, pertumbuhan

jaringan baru hingga permukaan datar, dan pada akhirnya luka menutup (Hariyati,

2017). Adapun fase penyembuhan luka yaitu:

a. Fase Inflamasi

Fase inlamasi terjadi pada awal kejadian atau pada saat luka terjadi (hari

ke-0) hingga hari ke-3 atau ke-5. Pada fase ini terjadi dua kegiatan utama, yaitu

respons vaskular dan respons inflamasi. Respons vaskular diawali dengan

respon hemostatik tubuh selama 5 detik pasca luka (kapiler berkontraksi dan

trombosit keluar). Sekitar jaringan yang luka mengalami iskemia yang

merangsang pelepasan histamin dan zat vasoaktif yang menyebabkan

vasodilatasi, pelepasan trombosit, reaksi vasodilatasi dan vasokontriksi, dan

pembentukan lapisan fibrin (meshwork). Lapisan fibrin ini membentuk scab

(keropeng) di atas permukaan luka untuk melindungi luka dari kontaminasi

kuman.

Respon inflamasi merupakan reaksi non-spesifik tubuh dalam

mempertahankan/memberi perlindungan terhadap benda asing yang masuk ke

dalam tubuh. Respons ini diawali dari semakin banyaknya aliran darah ke

sekitar luka yang menyebabkan bengkak, kemerahan, hangat/demam,

ketidaknyamanan/nyeri, dan penurunan fungsi tubuh (tanda inflamasi). Tubuh

mengalami aktivitas bioselular dan biokimia, yaitu reaksi tubuh memperbaiki


kerusakan kulit, sel darah putih memberikan perlindungan, dan membersihkan

benda asing yang menempel (makrofag), dikenal dengan proses debris

(pembersihan) (Hariyati, 2017).

b. Fase Proliferasi

Fase Proliferasi terjadi mulai hari ke-2 sampai ke-24 yang terdiri dari

proses destruktif (fase pembersihan), proses proliferasi atau granulasi

(pelepasan se-sel baru/pertumbuhan), dan epitelisasi (migrasi sel/penutupan).

Pada fase destruktif, sel polimorf dan makrofag membunuh bakteri jahat dan

terjadi proses debris (pembersihan) luka. Pada fase, makrofag juga berfungsi

menstimulasi fibroblast untuk menghasilkan kolagen dan elastin dan terjadi

proses angiogenesis (pempentukan pembuluh darah). Kolagen dan elastin yang

dihasilkan menutupi luka dengan membentuk matriks/ikatan jaringan baru.

Proses ini juga dikenal dengan proses granulasi, yaitu tumbuhnya sel-sel baru.

Epitelisasi terjadi setelah tumbuh jaringan granulasi dan dimulai dari tepi luka

yang mengalami proses migrasi membentuk lapisan tipis (warna merah muda)

menutupi luka. Sel pada lapisan ini sangat rentan dan mudah rusak. Sel

mengalami kontraksi (pergeseran), tepi luka menyatu hingga ukuran luka

mengecil. Tidak menutup kemungkinan epitel tumbuh tanpa adanya jaringan

granulasi sehingga menutup tidak sempurna. Pada beberapa kasus, epitel

tumbuh atau menutup dari tengah luka, bukan dari tepi. Hal ini terjadi karena

setiap individu memiliki aktivitas sel yang unik dan sedikit berbeda satu sama

lain (Hariyati, 2017).


c. Fase Remodeling atau Maturasi

Fase Remodeling atau Maturasi Pada fase ini terjadi mulai hari ke-21

hingga satu atau dua tahun, yaitu fase penguatan kulit baru. Pada fase ini,

terjadi sintesis matriks ekstraseluler (extracellular matrix, ECM), degenerasi

sel, proses remodeling (aktivitas selular dan aktivitas vascular menurun).

Aktivitas utama yang terjadi adalah penguatan jaringan bekas luka dengan

aktivitas remodeling kolagen pada kulit. Kontraksi sel kolagen dan elastin

terjadi sehingga menyebabkan penekanan ke atas permukaan kulit. Kondisi

yang umun terjadi pada fase ini adalah terasa gatal dan penonjolan epitel

(keloid) pada permukaan kulit. Dengan penanganan yan tepat, keloid dapat

ditekan pertumbuhannya, yaitu dengan memberikan penekanan pada area

keloid. Pada fase ini, kolagen lebih teratur dan lebih memiliki fungsi sebagai

penguat ikatan sel kulit baru, kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan

sehingga memerluka perlindungan. Dengan memberikan kondisi lembab yang

seimbang pada bekas luka dapat melindungi dari risiko luka baru. Perlu diingat

bahwa kualitas kulit baru hanya kembali 80%, tidak sempurna seperti kulit

sebelum kejadian luka (Hariyati, 2017).

5. Tinjauan Penetrasi Obat

Proses masuknya obat dengan pengataran transdermal melalui beberapa rute

yaitu:
a. Rute Transappendageal atau Transfolikular Rute ini banyak dipilih untuk

obat-obatan yang bersifat hidrofilik dan memiliki berat molekul relatif besar

atau berukuran <600 nm, karena kutikula rambut rata-rata berukuran 300-600

nm. Pada rute transappendageal, obat akan terpenetrasi melewati folikel

rambut yang terhubung dengan kelenjar sebasea ataupun melalui kelenjar

keringat.

b. Rute Transepidermal

1. Rute Transelular

Pada rute ini, obat akan terpenetrasi melalui stratum corneum. Stratum

corneum tersebut bersifat polar karena terus terhidrasi oleh matriks

keratin intraseluler.

2. Rute Interselular

Sebagian besar obat akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik melalui rute

interselular (Aidah, 2020).

6. Sediaan Patch Transdermal

6.1 Sistem pengantaran obat Transdermal

Sistem penghantaran obat transdermal merupakan penghantaran obat

melalui kulit untuk mencapai sirkulasi sistemik sehingga menghasilkan efek

terapi yang efektif serta dapat digunakan untuk pemberian obat secara

terkontrol. Rute penghantaran obat transdermal merupakan rute non invasif

sehingga mudah diterima pasien. Sediaan transdermal dapat berupa aerosol

spray, semisolida, dan patch (Aidah, 2020).


1. Keuntungan dan kekurangan sistem pengantaran obat Trandermal

a. Keuntungan

1. Durasi yang lebih lama sehingga penurunan frekuensi dosis.

2. Mengurangi frekuensi penggunaan obat.

3. Peningkatkan bioavailabilitas.

4. Level plasma obat dalam darah lebih seragam.

5. Mengurangi efek samping obat karena kadar plasma terjaga sampai

akhir Interval pemberian dosis.

6. Peningkatan kepatuhan pasien dan kenyamanan jika melalui invasif,

karena tanpa rasa sakit dan aplikasinya sederhana.

7. Mengubah ketidakteraturan absorbsi dibandingkan dengan jalur oral

yang dipengaruhi oleh pH, makanan, kecepatan pengosongan

lambung dan waktu ransit usus.

8. Obat terhidar dari first passed effect metabolisme.

9. Terhindar dari degradasi di saluran gastro intestinal.

10. Jika terjadi efek samping yang tidak diinginkan (misal reaksi alergi,

dan lain-lain) pemakaiannya dengan mudah dihentikan.

11. Absorbsi obat relatif konstan dan kontinyu.

12. Input obat ke sirkulasi sistemik terkontrol serta dapat meghindari

lonjakan obat di dalam darah.

13. Relatif mudah digunakan dan dapat didesain sebagai sediaan lepas

terkotrol yang digunakan dalam waktu relatif lama (misalnya dalam


bentuk transdermal patch atau semacam plester) sehingga dapat

meningkatkan kepatuhan penggunaan obat (Zakaria N, 2019).

b. Kekurangan

1. Zat aktif harus memiliki bobot molekul relatif kecil (kurang dari 500

Da). Hal ini karena pada dasarnya stratum korneum kulit merupakan

barrier yang cukup efektif untuk menghalangi molekul asing masuk

ketubuh sehingga hanya molekul-molekul yang berukuran sangat

kecil yang dapat menembusnya.

2. Memiliki koefisien partisi sedang (larut baik dalam lipid maupun air).

3. Memiliki titik lebur yang relatif rendah. Hal ini karena untuk dapat

berpenetrasi ke dalam kulit, obat harus dalam bentuk cair.

4. Memiliki dosis efektif yang relatif rendah.

5. Range obat terbatas (terutama terkait ukuran molekulnya).

6. Dosisnya harus kecil.

7. Memungkinkan terjadinya iritasi dan sensitivitas kulit.

8. Tidak semua bagian tubuh dapat menjadi tempat aplikasi obat-obat

transdermal, misalnya telapak kaki.

9. Harus diwaspadai metabolisme awal obat, mengingat kulit juga

memiliki banyak enzim metabolisme (Zakaria N, 2019).

7. Patch

7.1 Pengertian Patch


Patch adalah sediaan dengan perekat (lapisan adhesif) yang

mengandung obat yang ditempatkan di kulit untuk memberikan dosis

pengobatan tertentu melalui kulit dan masuk ke aliran darah. Terapi obat

dalam sistem ini dapat dihentikan jika obat tidak lagi diinginkan. Lapisan

adhesif pada patch mampu memberikan kontak patch yang kuat pada

lapisan kulit sehingga memastikan penghantaran senyawa aktif dengan

baik (Nurfitriani et al., 2015).

Sediaan patch memberikan beberapa keuntungan yang mana sistem

patch dapat menghantarkan obat dengan laju yang terkontrol sejak saat

menempel pada kulit hingga terjadi absorpsi; meningkatkan kepatuhan

pasien karena mengurangi frekuensi pemakaian; meningkatkan

kenyamanan pasien via non-invasif; penggunaan tanpa rasa sakit dan

pemakaian yang sederhana; menjaga bioavaibilitas obat dalam plasma

selama pemakaian dibandingkan pemberian per oral; menghindari first-

pass effect pada pemberian per oral; cocok untuk pasien yang tidak dapat

menelan obat, pasien mual ataupun yang tidak sadarkan diri; pemakaian

mudah dihentikan bila terjadi efek toksik; dan cocok untuk obat yang

menyebabkan gangguan gastrointestinal karena dapat menghindari efek

langsung pada lambung dan usus (Nurfitriani et al., 2015).

7.2 Bentuk sediaan Patch

Bentuk Sediaan Patch Transdermal terdapat 2 tipe yaitu:


a. Tipe matriks Patch dengan tipe matriks dirancang agar zat aktif, polimer

dan bahan tambahan lainnya dicampur bersama.

b. Tipe reservoir Patch dengan tipe ini dirancang dalam sistem reservoir yang

mengandung lubang untuk zat aktif dan bahan tambahan lainnya agar

terpisah dari lapisan adhesive backing impermeable digunakan untuk

mengontrol arah pelepasan zat aktif (Zakaria N, 2019).

7.3 Komponen Sediaan Patch

a. Bahan Aktif

Obat Tidak semua bahan aktif obat dapat dibuat dalam bentuk sediaan

transdermal. Pada sediaan transdermal bahan aktif obat harus memiliki

berat molekul rendah, memiliki waktu paruh (t½) singkat, tidak terlalu

lipofil ataupun hidrofil, poten dan tidak menimbulkan iritasi.

b. Polimer

Fungsi polimer pada sistem penghantaran obat transdermal yaitu untuk

mengatur jumlah muatan obat pada sediaan, mengontrol pelepasan obat,

dan mempertahankan daya lekat antara patch dengan kulit. Polimer sendiri

dapat berasal dari alam maupun sintetik. Polimer yang dapat digunakan

sebagai matriks patch transdermal yaitu gelatin, kitosan, PVP, turunan

selulosa HPMC, EC, CMC) dll.

c. Adhesive

Adhesive berfungsi untuk melekatkan patch pada kulit supaya patch

transdermal yang sudah menempel tidak dapat berpindah tempat. Syarat


bahan adhesive untuk sediaan patch transdermal yaitu tidak menyebabkan

iritasi, kompatibel dengan bahan lain dalam formula tersebut, kompatibel

dengan kulit dan mudah dilepas (Jhawat dkk., 2013). Poliisobutadiena dan

poliakrilat merupakan contoh bahan adhesive dalam patch transdermal.

d. Backing Film

Backing film merupakan pelindung matriks dan adhesive patch selama

penyimpanan dan penggunaan. Sifat bahan yang menjadi backing film

adalah merekat dengan matriks, inert, tidak menimbulkan iritasi, oklusif,

permanen, nyaman dipakai, serta estetis.

e. Release Liner

Release liner merupakan matriks yang biasanya transparan berfungsi

untuk melindungi matriks dan adhesive selama penyimpanan tetapi saat

digunakan release liner ini akan dilepas. Kehilangan obat dan kontaminasi

dari lingkungan luar dapat dihindari dengan adanya release liner, Bahan

yang dapat digunakan sebagai release liner antara lain polietilen, PVC,

poliester, dll.

f. Pelarut (Solvent)

Pelarut atau solvent digunakan untuk melarutkan bahan aktif yang akan

digunakan pada sediaan transdermal. Berbagai macam pelarut yang dapat

digunakan pada sediaan patch transdermal antara lain metanol, kloroform,

polietilen glikol, propilen glikol, dll (Aidah, 2020).


8. Tikus

8.1 Klasifikasi Tikus

Kingdom :Animalia

Filum :Chordata

Subfilum :Vertebrata

Classis :Mamalia

Subclassis :Placentalia

Ordo :Rodentia

Familia :Muridae

Genus :Rattus

Species :Rattus norvegicus (Subandi, 2018)

8.2 Morfologi Tikus

Tikus putih (Rattus norvegicus B) merupakan hewan laboratorium

yang sering digunakan dalam penelitian dan percobaan seperti mempelajari

obat-obatan, pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi,

maupun tingkalaku. Tikus putih tegolong dalam kelas mamalia, sehingga

memiliki dampak terhadap suatu perlakukan yang tidak jauh berbeda

denngan mamalia lainya termasuk manusia. Tikus petuh digunakan karena

memiliki kesamaan dalam hal fisiologi dengan manusia, siklus hidupnya

yang relatif pendek, jumlah anak dalam setiap kelahiran banyak, variasi

tinngi dan penanganannya yang mudah. Tikus putih termasuk kedalam

mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu bertubuh
panjang dengan kepala yang lebih sempit. Tikus ini memiliki telinga lebar,

rambut-rambut yang halus dan mata yang merah (Lathifa, 2018).

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas dari penelitian ini adalah patch transdermal ektrak

etanol daun Alpukat.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah luka sayat pada Tikus.

3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol pada penelitian ini adalah proses penyembuhan luka

sayat pada Tikus.

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah daun Alpukat (Persea americana Mill) yang

di buat dalam bentuk sediaan patch dapat di gunakan untuk penyembuhan luka sayat

pada tikus (Rattus novergicus).


D. Kerangka Teori

Ekstrak Etanol Daun Alpukat


(Persea americana Mill)

Flavonoid, Alkaloid, Saponin, Tanin

Formulasi Sediaan Patch

Luka Sayat

Tikus (Rattus novergicus)


E. Kerangka Konsep

Sediaan Patch Transdermal Penyembuhan Luka


Ekstrak Etanol Daun Alpukat Sayat pada Tikus
(Persea americana Mill) (Rattus novergicus)

Mengamati Panjang Luka dan Waktu


Penyembuhan Luka

Keterangan:

: Variabel Bebas

: Variabel Terikat

: Variabel Kontrol
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimetal yaitu untuk mengetahui efektivitas

sediaan patch transdermal ekstrak daun alpukat (Persea americana) terhadap luka

sayat. Patch transdermal merupakan sediaan drug delivery systems yang berupa patch

dengan perekat yang mengandung bahan obat, yang di tempelkan pada kulit dengan

melepaskan zat aktif dalam konsen.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dilaboratorium Biofarmasi Universitas Mega Rezky

Makassar yang dilaksanakan pada bulan Desember 2021- Januari 2022.

C. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jangka sorong, kandang hewan

coba, kapas, pisau bedah, pisau cukur dan tissue.

Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Alkhol Swab, Plester

Betadine, handscoon, hewan uji tikus (Rattus novergicus) dan sediaan patch

transdermal daun alpukat (Persea americana).


D. Prosedur Kerja

1. Formulasi dan Pembuatan Sediaan Patch

a. Tabel 1. Formulasi

Bahan Kegunaan Formula

F0 FI FII FIII

Ekstrak etanol Zat Aktif - 100 150 200


daun alpukat (mg)

HPMC (g) Polimer 2 2 2 2

Propilenglikol (mL) Plasticizer 5 5 5 5

Gliserol (mL) Enhancer 3 3 3 3

Aqua dest (mL) Pelarut Ad 100 Ad 100 Ad 100 Ad 100

Keterangan

F0 = Formula ekstrak daun alpukat (Persea americana) dengan kontrol


negatif
F1 = Formula ekstrak daun alpukat (Persea americana) dengan konsentrasi
ekstrak 100 mg
FII = Formula ekstrak herba lampasau (Persea americana) dengan
konsentrasi ekstrak 150 mg
FIII = Formula ekstrak herba lampasau (Persea americana) dengan
konsentrasi ekstrak 200 mg
b. Pembuatan sediaan Patch

Ditimbang dan diukur masing-masing bahan sesuai dengan formula,

disiapkan 2 lumpang. Dimasukkan Aquadest kedalam lumpang 1 dan ditaburi

HPMC kemudian didiamkan beberapa saat hingga HPMC larut sempurna.

Dimasukkan ekstrak daun alpukat (Persea americana) dengan konsentrasi

yang diinginkan kedalam lumpang 2 lalu gerus, dimasukkan Propilenglikol,

Gliserol kedalam lumpang lalu gerus. Dimasukkan campuran Aquadest dan

HPMC kedalam lumpang 2 dan digerus perlahan hingga membentuk

campuran patch yang diinginkan. Campuran patch tersebut kemudian dituang

kedalam cetakan dan dimasukkan kedalam oven pada suhu 40ºC selama 3x24

jam, dilakukan pengontrolan agar patch tidak mengalami kekeringan selama

di oven.

2. Uji efektivitas sediaan patch terhadap tikus

a . Persiapan hewan coba

Penelitian ini menggunakan 15 ekor Tikus dengan berat badan 1–1,5

kg dan di bagi menjadi 5 kelompok masing–masing kelompok terdiri atas 3

ekor tikus. sebelum di beri perlakuan, tikus di adaptasiakan terlebih dahulu

dan di beri makanan setiap hari.

b. Pembuatan luka sayat

1. Di cukur bulu tikus dengan menggunakan pisau cukur dan di aplikasikan

pada bagian punggung tikus yang akan di sayat dengan panjang 2 cm

yang di ukur dangan penggaris lalu di beri tanda.


2. Dibersihkan punggung tikus menggunakan alkohol.

3. Dianastesi tikus dengan menggunakan lidokain.

4. Dilukai tikus menggunakan pisau bedah (scalpel) dengan panjang 2 cm

dan kedalaman luka 0,3 cm.

5. Setelah terjadi luka sayat, kemudian di beri patch ekstrak daun alpukat,

kontrol negatif dan kontrol positif pada luka sayat tikus.

c. Perlakuan pada tikus

d. Kelompok perlakuan di bagi menjadi 5 kelompok yaitu:

1. Kelompok kontrol negatif (F0) sebanyak 3 ekor tikus di berikan patch

tanpa ekstrak daun alpukat.

2. Kelompok perlakuan I (F1) sebanyak 3 ekor tikus di berikan patch dari

ekstrak daun alpukat dengan konsentrasi ekstrak 100 mg.

3. Kelompok perlakuan II (FII) sebanyak 3 ekor tikus di berikan patch dari

ekstrak daun alpukat dengan konsentrasi ekstrak 150 mg.

4. Kelompok perlakuan III (FIII) sebanyak 3 ekor tikus di berikan patch dari

ekstrak daun alpukat dengan konsentrasi ekstrak 200 mg.

5. Kelompok kontrol positif (F4) sebanyak 3 ekor tikus di berikan Plester

Betadin.

e. Pengamatan luka

Dilakukan pengamatan penyembuhan luka dengan menghitung rerata

diameter kesembuhan luka diukur setiap hari dengan rumus:


d 1+ d 2+d 3
dx =
3

dx = rata-rata diameter luka setiap replikasi dilanjutkan dengan menghitung

persentase penyembuhan luka menggunakan rumus:

d 0−dx
% Persembuhan = × 100%
dx

Keterangan :

% Persembuhan : persentase penyembuhan luka

do : panjang luka awal

dx : panjang luka akhir

E . Analisis Data

Data dianalisis dan diolah menggunakan One Way ANOVA dengan menggunakan

program SPSS.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Tabel 2. Hasil Pengukuran Diameter Luka Sayat pada Tikus ( Rattus Norvergicus)

dari Hari 0 Sampai Hari 14.

Pengukuran Panjang Luka Sayat (cm) Rata-


Kelo He Hari rata
pok wa %
Perla n Peny
kuan Uji 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 embu
han
1 2 1,9 1,8 1,7 1,5 1,3 1,2 1,1 1,0 1,0 0,9 0,9 0,8 0,6 0,6
FN II 2 1,9 1,7 1,6 1,6 1,5 1,3 1,3 1,2 1,1 1,0 0,8 0,7 0,7 0,6
III 2 2 1,9 1,8 1,7 1,7 1,6 1,5 1,4 1,4 1,2 1,1 1,0 1,0 0,9
1 2 1,7 1,5 1,4 1,3 1,1 1,0 1,0 0,8 0,6 0,5 0,3 0 0 0
F1 II 2 1,8 1,3 1,2 1,2 1,1 0,9 0,9 0,7 0,6 0,4 0 0 0 0
III 2 1,7 1,3 1,2 1,1 1,0 0,9 0,8 0,7 0,5 0,3 0 0 0 0
1 2 1,6 1,5 1,3 1,0 0,8 0,4 0,3 0,2 0 0 0 0 0 0
FII II 2 1,6 1,4 1,2 1,1 0,6 0,5 0,2 0,1 0 0 0 0 0 0
III 2 1,6 1,3 1,1 0,9 0,7 0,6 0,4 0,2 0,1 0 0 0 0 0
1 2 1,9 1,7 1,6 1,5 1,5 1,2 1,0 0,8 0,8 0,7 0,5 0,2 0 0
FIII II 2 1,8 1,8 1,7 1,5 1,4 1,3 1,1 1,0 0,7 0,5 0,3 0,1 0 0
III 2 1,8 1,7 1,3 1,2 1,1 1,0 0,9 0,7 0,6 0,5 0,3 0 0 0
1 2 1,9 1,4 1,3 1,2 1,2 1,1 1,0 0,9 0,7 0,7 0,5 0,1 0 0
FIV II 2 1,8 1,5 1,2 1,2 1,0 0,8 0,7 0,7 0,6 0,5 0,2 0 0 0
III 2 1,7 1,4 1,2 1,1 1,0 0,9 0,8 0,8 0,7 0,4 0,3 0 0 0
Tabel 3. Presentase Penyembuhan Luka Sayat pada Hewan coba Tikus (Rattus

norvegicus)
DAFTAR PUSTAKA

Aidah, E. N. (2020). Optimasi etil selulosa dan natrium karboksilmetil selulosa


terhadap moisture content dan laju pelepasan patch simvastatin [Universitas
Jember]. In Skripsi. https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/93958

Djajanti, A. D., & Asf, D. (2018). Uji aktivitas sediaan krim ekstrak etanol herba
seledri (Apium graveoles L) terhadap luka sayat pada kelinci (Oryctolagus
cuniculus). Media Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar, 13(2), 40.
http://journal.poltekkesmks.ac.id/ojs2/index.php/mediakesehatan/article/view/
671

Hakim, I. R., Lestari, F., & Priani, S. E. (2010). Kajian Pustaka Tanaman yang
Berpotensi dalam Penyembuhan Luka Bakar. Prosding Farmasi, 14–20.
http://dx.doi.org/10.29313/.v7i1.25982

Halim, R. M. (2014). Uji Efek Penyembuhan Luka Sayat Ekstrak Etanol (Etlingera
elatior) dalam Bentuk Sediaan Gel terhadap Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
[Universitas UIN Alauddin Makassar].
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/id/eprint/6782

Hariyati, L. I. (2017). Efektifitas Ekstrak Etanol Sirih Merah (Piper crocatum)


terhadap Penyembuhan Luka Insisi pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
[Universitas Airlangga]. https://repository.unair.ac.id/76652/2/KKC KK
FKP.N.204-18 Har e SKRIPSI.pdf

Husna, N. (2021). Uji aktifitas diuretik ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana
Mill.) terhadap tikus putih jantan [Universitas Sumatra Utara]. In Jurnal
Pembangunan Wilayah & Kota (Vol. 1, Nomor 3).
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/27906/161501014.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

Nurfitriani, W., Desnita, R., & Luliana, S. (2015). Optimasi Konsentrasi Basis HPMC
pada Formula Patch Ekstrak Etanol Biji Pinang (Areca catechu L.). Jurnal
Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran UNTAN, 3(1), 2.
https://www.onesearch.id/Record/IOS1685.article-30070?
widget=1&repository_id=168
Qin, S., & Staf, S. S. (2020). Efektivitas ekstrak daun alpukat (Persea americana)
terhadap Propionibacterium acne dan Pityrosporumovele. Jurnal Kedokteran
STM (Sains dan Teknologi Medik), 3(2), 75–81.
https://ojsfkuisu.com/index.php/stm/index%0AJurnal

Qomariah, S. (2014). Efektivitas Salep Ekstrak Batang Patah Tulang (Euphorbia


tirucalli) pada Penyembuhan Luka Sayat Tikus Putih (Rattus norvegicus)
[Universitas Negeri Semarang]. http://lib.unnes.ac.id/20192/1/4450408029.pdf

Riswan, A. A. A. (2018). Identifikasi metabolit sekunder ekstrak n-heksana dari


kalus daun alpukat (Persea americana Mill.) dan uji toksisitas terhadap Artemia
salina Leach [Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar].
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/11883/1/ANDI ARNITARIANI ANDI
RISWAN.PDF

Sabila, D. (2019). Pengaruh Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight)


Walpers) secara Topikal terhadap Proses Penyembuhan Luka Sayat pada
Mencit (Mus musculus L.) [Universitas Sumatera Utara].
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/23512

Samudra, A. G., K, F. S., & Sari, D. P. (2019). Uji efektifitas ekstrak etanol daun
Sawo (Manilkara zapota L) pada luka sayat pada kelinci jantan (Oryctolagus
cuniculus). Jurnal Ilmiah Farmacy, 6(1).
http://jurnal.stikesalfatah.ac.id/index.php/jiphar/article/view/21

Sentat, T., & Permatasari, R. (2017). Uji aktivitas ekstrak etanol daun alpukat (Persea
americana Mill.) terhadap penyembuhan luka bakar pada punggung mencit
jantan putih (Mus musculus). Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(2), 100.
https://doi.org/10.51352/jim.v1i2.20

Seran, L. C. L. (2020). Uji Efektivitas Pemberian Topikal Gel Ekstrak Akar Kelor
(Moringa oleifera) dalam Penyembuhan Luka Sayat pada Kelinci Jantan
(Oryctolagus cuniculuc) [Universitas Citra Bangsa Kupang].
http://repository.ucb.ac.id/id/eprint/601

Subandi, I. (2018). Profil Protein Ovarium Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina
Setelah Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sisik Naga (Pyrrosia piloselloides). In
Skripsi.
Suhardi, M. P. (2016). Guru Pembelajar Modul Paket keahlian tata kecantikan kulit
sekolah mengah kejuruan (SMK) (S. Surapranata (ed.)). Direktur Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. http://repositori.kemdikbud.go.id/12596/1/KCK-A.
Sanitasi Hygiene dan Kosmetika Kulit.pdf

Veronika, M. (2021). Preparasi dan karakterisasi film transdermal ekstrak daun


nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) dengan variasi konsentrasi plasticizer
(Vol. 4, Nomor 1) [Universitas Sriwijaya].
https://repository.unsri.ac.id/55247/8/RAMA_48201_08061381722093_001012
7203_0018019204_01_front_ref.pdf

Vivi Meylani Putri. (2014). Uji Aktivitas Gel Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea
americana Mill.) Sebagai Obat Luka Sayat Pada Kelinci (Oryctolagus
cuniculus) Telah [Universitas Negeri Alauddin Makassar]. http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/1336/1/Vivi Meylani Putri.pdf

Zahra, R. (2019). Uji efektivitas ekstrak daun biwa (Eriobotrya japonica (Thunb.)
Lindl.) terhadap penyembuh luka sayat pada mencit (Mus musculus L.)
[Universutas Sumatra Utara].
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/16100/140805068.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

Zakaria N. (2019). Formulasi Transdermal Patch Natrium Diklofenak Sebagai


Analgesik Dan Antiinflamasi. In Tesis. Universitas Sumatra Utara.
LAMPIRAN

A. Skema Kerja

1. Pengujian efektivitas patch transdermal pada Tikus (Rattus novergicus)

Tikus (Rattus norvegicus) sebanyak 15


ekor dan diadaptasikan

Dicukur bulu dan dibersihkan dibagain


punggung tikus dengan alkohol swab

Dianastesi dan berikan luka sayat pada


bagian punggung

Kelompok 1 Kelompok II Kelompok II Kelompok III Kelompok


Kontrol IV Kontrol
Patch Patch Patch
Negatif Positif
Ekstrak daun Ekstrak daun Ekstrak daun
Alpukat 100 Alpukat 150 Alpukat 150
mg mg mg

Diukur penurunan panjang luka dan waktu


penyembuhan luka selama 14 hari

Analisis Data

Pembahasan dan Kesimpulan


B. Perhitungan

a. Kelompok Kontrol Negative

Hari ke- 1

% Penyembuhan = 2 cm - 1,93 cm X 100% = 3,5%


2 cm
Hari ke- 2
% Penyembuhan = 2 cm – 1,8 cm X 100% = 10%
2 cm
Hari ke- 3
% Penyembuhan = 2 cm - 1,7 cm X 100% = 15%
2 cm
Hari ke- 4
% Penyembuhan = 2 cm – 1,6 cm X 100% = 20%
2 cm
Hari ke- 5
% Penyembuhan = 2 cm – 1,5 cm X 100% = 25%
2 cm
Hari ke- 6
% Penyembuhan = 2 cm - 1,36 cm X 100% = 32%
2 cm
Hari ke- 7
% Penyembuhan = 2 cm - 1,3 cm X 100% = 35%
2 cm
Hari ke- 8
% Penyembuhan = 2 cm – 1,2 cm X 100% = 40%
2 cm
Hari ke- 9
% Penyembuhan = 2 cm – 1,16 cm X 100% = 42%
2 cm
Hari ke- 10
% Penyembuhan = 2 cm – 1,03 cm X 100% = 48,5%
2 cm
Hari ke- 11
% Penyembuhan = 2 cm – 0,93 cm X 100% = 53,5%
2 cm
Hari ke- 12
% Penyembuhan = 2 cm – 0,83 cm X 100% = 58,5%
2 cm
Hari ke- 13
% Penyembuhan = 2 cm – 0,76 cm X 100% = 62%
2 cm
Hari ke- 14
% Penyembuhan = 2 cm – 0,7 cm X 100% = 65%
2 cm
b. Kelompok Patch 100 mg

Hari ke- 1

% Penyembuhan = 2 cm - 1,73 cm X 100% = 13,5%


2 cm
Hari ke- 2
% Penyembuhan = 2 cm – 1,36 cm X 100% = 32%
2 cm
Hari ke- 3
% Penyembuhan = 2 cm - 1,25 cm X 100% = 37,5%
2 cm
Hari ke- 4
% Penyembuhan = 2 cm – 1,2 cm X 100% = 40%
2 cm
Hari ke- 5
% Penyembuhan = 2 cm – 1,06 cm X 100% = 47%
2 cm
Hari ke- 6
% Penyembuhan = 2 cm – 0,93 cm X 100% = 53,5%
2 cm
Hari ke- 7
% Penyembuhan = 2 cm – 0,9 cm X 100% = 55%
2 cm
Hari ke- 8
% Penyembuhan = 2 cm – 0,73 cm X 100% = 63,5%
2 cm
Hari ke- 9

% Penyembuhan = 2 cm – 0,56 cm X 100% = 72%


2 cm
Hari ke- 10
% Penyembuhan = 2 cm – 0,4 cm X 100% = 80%
2 cm
Hari ke- 11
% Penyembuhan = 2 cm – 0,1 cm X 100% = 95%
2 cm
Hari ke- 12
% Penyembuhan = 2 cm – 0 cm X 100% = 100%
2 cm

c. Kelompok Patch 150 mg


Hari ke- 1

% Penyembuhan = 2 cm - 1,6 cm X 100% = 20%


2 cm
Hari ke- 2
% Penyembuhan = 2 cm – 1,4 cm X 100% = 30%
2 cm
Hari ke- 3
% Penyembuhan = 2 cm – 1,2 cm X 100% = 40%
2 cm
Hari ke- 4
% Penyembuhan = 2 cm – 1 cm X 100% = 50%
2 cm
Hari ke- 5
% Penyembuhan = 2 cm – 0,7 cm X 100% = 65%
2 cm
Hari ke- 6
% Penyembuhan = 2 cm – 0,5 cm X 100% = 75%
2 cm
Hari ke- 7
% Penyembuhan = 2 cm – 0,3 cm X 100% = 85%
2 cm
Hari ke- 8
% Penyembuhan = 2 cm – 0,16 cm X 100% = 92%
2 cm
Hari ke- 9

% Penyembuhan = 2 cm – 0,03 cm X 100% = 98,5%


2 cm
Hari ke- 10
% Penyembuhan = 2 cm – 0 cm X 100% = 100%
2 cm
d. Kelompok Patch 200 mg

Hari ke- 1

% Penyembuhan = 2 cm - 1,83 cm X 100% = 8,5%


2 cm
Hari ke- 2
% Penyembuhan = 2 cm – 1,73 cm X 100% = 13,5%
2 cm
Hari ke- 3
% Penyembuhan = 2 cm - 1,53 cm X 100% = 23,5%
2 cm
Hari ke- 4
% Penyembuhan = 2 cm – 1,4 cm X 100% = 30%
2 cm
Hari ke- 5
% Penyembuhan = 2 cm – 1,33 cm X 100% = 33,5%
2 cm
Hari ke- 6
% Penyembuhan = 2 cm - 1,16 cm X 100% = 42%
2 cm
Hari ke- 7
% Penyembuhan = 2 cm - 1 cm X 100% = 50%
2 cm
Hari ke- 8
% Penyembuhan = 2 cm – 0,83 cm X 100% = 58,5%
2 cm
Hari ke- 9
% Penyembuhan = 2 cm – 0,7, cm X 100% = 65%
2 cm
Hari ke- 10
% Penyembuhan = 2 cm – 0,56 cm X 100% = 72%
2 cm
Hari ke- 11
% Penyembuhan = 2 cm – 0,36 cm X 100% = 82%
2 cm
Hari ke- 12
% Penyembuhan = 2 cm – 0,1 cm X 100% = 95%
2 cm
Hari ke- 13
% Penyembuhan = 2 cm – 0 cm X 100% = 100%
2 cm
e. Kelompok Kontrol Positive

Hari ke- 1

% Penyembuhan = 2 cm - 1,8 cm X 100% = 10%


2 cm
Hari ke- 2
% Penyembuhan = 2 cm – 1,43cm X 100% = 28,5%
2 cm
Hari ke- 3
% Penyembuhan = 2 cm – 1,23 cm X 100% = 38,5%
2 cm
Hari ke- 4
% Penyembuhan = 2 cm – 1,16 cm X 100% = 42%
2 cm
Hari ke- 5
% Penyembuhan = 2 cm – 1,06 cm X 100% = 47%
2 cm
Hari ke- 6
% Penyembuhan = 2 cm – 0,93 cm X 100% = 53,5%
2 cm
Hari ke- 7
% Penyembuhan = 2 cm – 0,83 cm X 100% = 58,5%
2 cm
Hari ke- 8
% Penyembuhan = 2 cm – 0,8 cm X 100% = 60%
2 cm
Hari ke- 9

% Penyembuhan = 2 cm – 0,66 cm X 100% = 67%


2 cm
Hari ke- 10
% Penyembuhan = 2 cm – 0,53 cm X 100% = 73,5%
2 cm
Hari ke- 11
% Penyembuhan = 2 cm – 0,33 cm X 100% = 83,5%
2 cm
Hari ke- 12
% Penyembuhan = 2 cm – 0,03 cm X 100% = 98,5%
2 cm
Hari ke- 13
% Penyembuhan = 2 cm – 0 cm X 100% = 100%
2 cm

Anda mungkin juga menyukai