Anda di halaman 1dari 20

BAB I

COST BEHAVIOR

1.1 Pengertian Cost Behavior


Cost Behaviour atau perilaku biaya itu adalah istilah umum untuk mendeskripsikan
apakah biaya berubah seiring dengan perubahan keluaran atau perubahan perilaku biaya
karena perubahan aktivitas bisnis, misalnya, biaya listrik akan naik jika bisnis memperpanjang
jam kerja.
Namun, tidak semua biaya berubah dengan aktivitas bisnis. Dan, beberapa biaya
mungkin tetap stagnan meskipun ada perubahan dalam aktivitas bisnis. Misalnya, perusahaan
perlu membayar asuransi apakah perusahaan beroperasi atau tidak.
Beberapa biaya tidak berubah secara proporsional dengan perubahan dalam operasi bisnis.
Sebuah perusahaan biasanya menggunakan fungsi biaya matematika untuk mempelajari
perilaku biaya. Sebelum menganalisis perilaku biaya, seorang manajer perlu memahami
aktivitas bisnis penting yang dapat memengaruhi biaya. Biasanya, seorang manajer dapat
menentukan tingkat aktivitas dalam satuan rupiah, unit; mil didorong, dan banyak lagi. Selain
itu, manajer harus mencoba menentukan korelasi antara tingkat aktivitas dan biaya.
Biaya-biaya bereaksi pada perubahan keluaran dengan berbagai cara yang diklasifikasikan
menjadi 3 aktivitas biaya yaitu Biaya Tetap (Fixed Cost), Biaya Variabel (Variable Cost),
dan Biaya Campuran (Mixed Cost). Jadi, Cost Behaviour menjelaskan bagaimana biaya
berubah ketika jumlah output berubah.
Untuk secara efektif atau menyederhanakan penggunaan fungsi biaya, kita perlu
mempertimbangkan asumsi berikut:
• Setiap perubahan pemicu biaya menjelaskan perbedaan biaya.
• Seseorang dapat meringkas perilaku biaya ke dalam fungsi biaya linier yang memiliki
rentang yang relevan. Rentang di sini berarti bidang di mana hubungan antara biaya dan
tingkat aktivitas berlaku.
Ada 3 jenis utama biaya atau elemen perilaku biaya yaitu;
1. Biaya Tetap.
2. Biaya Variabel.
3. Biaya Campuran.
1. Biaya Variabel
Biaya variabel (variables cost) adalah biaya yg dalam jumlah keseluruhan bervariasi
secara proporsional terhadap perubahan keluaran. Jadi, biaya variabel naik ketika output naik
dan akan turun ketika output turun. Biaya variabel bervariasi secara langsung (atau dalam
proporsi langsung) dengan perubahan aktivitas bisnis. Jika tingkat aktivitas berubah 10%,
maka biaya variabel juga harus berubah sebesar 10%. Ini berlaku baik untuk kenaikan dan
penurunan biaya variabel.

Contohnya : biaya bahan langsung dan biaya tenaga kerja langsung. Misalnya,
produsen ponsel. Semakin banyak jumlah ponsel yang diproduksi oleh produsen, semakin
banyak biaya yang dikeluarkan untuk tampilan.
Pengamatan yang menarik ketika biaya variabel per unit tetap konstan meskipun
terjadi perubahan tingkat aktivitas bisnis. Misalnya, total biaya variabel Perusahaan ABCD
selama tiga kuartal berturut-turut adalah Rp 5.000.000.000, Rp 20.000.000.000, dan Rp
15.000.000.000. Perusahaan ABCD memproduksi masing-masing 5.000, 20.000, dan 15.000
unit. Biaya variabel per unit dalam ketiga kasus akan menjadi Rp 1.000.000.

2. Biaya Tetap
Biaya tetap (fixed cost) adalah Biaya yang jumlahnya tetap sama ketika keluaran
berubah. Biaya tetap adalah biaya yang dalam jumlah keseluruhan tetap konstan dalam rentan
yang relevan ketika tingkat keluaran aktivitas berubah. Biaya ini tidak berubah dengan adanya
perubahan aktivitas bisnis.
Contohnya sewa gedung, premi asuransi, pembayaran pinjaman, dll. Misalnya, bisnis
masih perlu membayar sewa meskipun tidak menghasilkan penjualan. Depresiasi adalah
contoh lain dari biaya tetap.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa biaya tetap per unit dapat meningkat atau menurun
seiring dengan perubahan tingkat aktivitas bisnis. Misalnya, anggaplah biaya tetap untuk
bisnis adalah Rp 15.000.000.000, tetapi unit yang diproduksi untuk tiga kuartal berturut-turut
adalah 3000, 5000, dan 1000. Biaya tetap per unit dalam tiga kasus adalah Rp 5.000.000, Rp
3.000.000, dan Rp 15.000.000, masing-masing.
3. Biaya Campuran atau Semi-variabel
Biaya campuran (mixed cost) adalah biaya yang memiliki komponen tetap dan
variabel atau biaya campuran adalah sejumlah biaya yang sampai jumlah tertentu adalah biaya
tetap, sedangkan selebihnya adalah biaya variabel. Biaya ini merupakan campuran dari biaya
tetap dan biaya variabel, dan dengan demikian, mengandung unsur-unsur keduanya.
Contohnya : biaya pemeliharaan rutin kendaraan seperti ganti ban, ganti oli adalah
biaya tetap sedangkan biaya yg terjadi karena musibah seperti tabrakan, penyok dst disebut
biaya variabel.
Misalnya, tagihan internet termasuk biaya bulanan tetap ditambah biaya variabel
berdasarkan penggunaan. Umumnya, biaya ini tidak terlalu berguna bagi perusahaan dalam
bentuk aslinya. Jadi, akuntan biasanya membaginya berdasarkan komponen tetap dan
variabelnya.

2 caranya : titik rendah dan titik tinggi


Lis square
BAB II
JOB ORDER COSTING & PROCESS COSTING

2.1 Pengertian Job Order Costing dan Process Costing


2.1.1 Job Order Costing
Job order costing merupakan metode menghitung ongkos produksi untuk suatu unit
secara spesifik. Satu contoh mudah, proyek konstruksi untuk membuat satu rumah dari awal
sampai akhir merupakan job order. Dalam hal ini, produk yang dihadirkan merupakan event
yang hanya berjalan satu kali.
Metode penghitungan dengan job costing melibatkan akumulasi semua biaya produksi
untuk membuat suatu unit. Dalam contoh konstruksi rumah, ongkos buruh yang bekerja untuk
membuat satu unit rumah akan dimasukkan dalam catatan pengeluaran sebelum ditambah
dengan biaya lain.
Begitu juga dengan kayu atau material lain yang dibutuhkan untuk membuat satu unit
rumah. Semua informasi seperti ini nantinya dibutuhkan sebagai tagihan untuk konsumen atas
pekerjaan dan material yang digunakan, juga untuk melacak keuntungan perusahaan dari satu
proyek yang dijalankan.
Dalam job costing, pekerjaan yang dimaksud sangat spesifik dan kadang berupa
kontrak, yang mana pekerjaan dilakukan sepenuhnya atas instruksi dan permintaan konsumen.
Dengan metode ini, tiap pekerjaan dianggap sebagai entitas yang berbeda, sehingga biayanya
berbeda.
Job costing seringnya dipraktikkan oleh industri yang mempunyai spesialisasi produk
berdasarkan kebutuhan dan permintaan konsumen. Contoh industri semacam ini yaitu
furniture, konstruksi rumah, percetakan, dekorasi interior, dan lainnya.

2.1.2 Process Costing


Process costing merupakan metode untuk menghitung biaya produksi massal dari
suatu barang atau jasa. Satu contoh, bank menyediakan jumlah deposit yang sama untuk tiap
konsumen. Dalam hal ini, bank menyediakan banyak produk dan menjualnya secara seimbang
pada semua konsumen.
Perhitungan process costing melibatkan akumulasi biaya dari proses produksi panjang
yang berkaitan dengan produk secara langsung. Dari contoh bank sebelumnya, dalam tiap
menerima deposit bank pasti butuh uang sebagai ongkos untuk menjalankan proses, juga
untuk menggaji karyawan.
Semua ongkos produksi yang sudah dikeluarkan kemudian dijumlah lalu dibagi
dengan total unit produk yang sudah dibuat untuk menentukan biaya per unit. Biaya kemudian
diakumulasi oleh setiap tingkatan departemen, sebelum akhirnya dijadikan salah satu materi
laporan keuangan tahunan.
Dalam process costing, proses merujuk pada tahapan terpisah dari produksi yang
dilakukan untuk mengubah material dasar hingga menjadi bentuk lain. Process costing
umumnya diterapkan pada perusahaan yang membuat produk identik dalam jumlah banyak.
Tahapan proses produksi yang dimaksud bisa berupa apapun, misalnya secara paralel,
berurutan, atau terpisah. Hasil proses pertama akan menjadi awal dari proses berikutnya, dan
proses terakhir akan menghasilkan produk jadi. Karena memiliki proses berbeda, maka tiap
proses dihitung secara parsial.
Secara umum, process costing lebih tepat diterapkan untuk perusahaan dengan
produksi skala besar yang memproduksi barang hingga beberapa tingkatan. Beberapa contoh
industri semacam ini yaitu industri baja, sabun, cat, kertas, minuman, juga lainnya.

2.2 Perbedaan Job Order Costing dan Process Costing


Ditilik dari segi makna, job order costing merujuk pada perhitungan biaya dari suatu
kontrak atau pekerjaan yang dilakukan atas permintaan klien. Sedang process costing
merupakan biaya yang dikenakan untuk setiap proses yang dilakukan dalam menghasilkan
suatu produk.
Dari cara menghitungnya, job order costing menghitung semua biaya yang
dikeluarkan, sedang process costing hanya menghitung biaya tiap proses yang dijalani
kemudian dibagi dengan banyaknya produk yang dihasilkan untuk mengetahui biaya tiap unit.
Dapat dikatakan dalam hal perbedaan cakupan biaya, bahwa job order costing
menghitung pekerjaan dan process costing menghitung proses. Tak ada perpindahan uang
dalam job order costing, tapi dalam process costing uang kerap berpindah tangan sesuai
proses yang ditangani tiap departemen.
Perhitungan biaya job order costing umumnya dilakukan setelah pengerjaan selesai,
sementara untuk process costing perhitungan dilakukan setelah semua proses selesai. Oleh
karena itu, job costing banyak dipraktikkan di industri yang melayani permintaan konsumen.
Untuk process costing, penerapannya lebih tepat digunakan industri dengan skala produksi
besar.
Dalam proses produksinya, kesalahan atau kehilangan tidak dihitung untuk job
costing. Hal berbeda terjadi untuk process costing, karena setiap kehilangan akan dihitung dan
dinilai sebagai bagian dari kerugian produksi. Itu sebabnya, job costing tak mengenal
pemotongan anggaran, sementara dalam process costing justru kerap terjadi.

2.3 Keunggulan dan Kelemahan Job Order Costing dan Process Costing
Satu keunggulan dari job order costing yaitu memungkinkan manajemen menghitung
profit dari tiap pekerjaan yang sudah dilakukan, kemudian membantu menilai jenis pekerjaan
tertentu yang akan dicari untuk masa mendatang. Untuk satu ini, bidang paling memiliki
prospek yaitu kontraktor dan konsultan.
Process costing juga mempunyai nilai plus, yaitu memungkinkan manajemen
memperoleh informasi detail tentang statistik produksi dari tiap departemen dalam satu
lingkungan kerja. Karena sifatnya yang demikian, process costing tepat diterapkan
perusahaan membuat produk yang berkelanjutan.
Meski demikian, dua jenis perhitungan biaya ini juga punya sisi lemah masing-
masing. Kelemahan job order costing yaitu bahwa manajemen diharuskan mengetahui semua
material dan upah pekerja yang dikeluarkan selama pengerjaan berlangsung. Sementara
kelemahan process costing yaitu terlalu bergantung catatan statistik alih-alih data lapangan.
BAB III
ACTIVITY BASED COSTING

3.1 Pengertian Activiy Based Costing (ABC)


Ray H. Garrison menyatakan bahwa ABC sistem adalah suatu metode kalkulasi biaya
yang menciptakan suatu kelompok biaya (cost pool) untuk setiap kejadian atau aktivitas
dalam suatu organisasi yang berlaku sebagai pemicu biaya (cost driver). Perhitungan Biaya
Berdasarkan Aktivitas (Activity Based Costing – ABC) adalah suatu sistem perhitungan biaya
dimana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan
menggunakan dasar yang mencakup satu atau lebih faktor yang tidak berkaitan dengan
volume.
Pada konsep ini, perhitungan biaya atas suatu unit mengikuti alur aktivitas
produksinya. Biaya-biaya yang timbul dibebankan kepada aktivitas-aktivitasnya dan biaya per
aktivitas itulah yang akan di bebankan pada unit produk.
Penggerak atau pemicu (driver) adalah dasar yang digunakan untuk mengalokasikan biaya
overhead. Pemicu sumber daya (resource driver) adalah dasar yang digunakan untuk
mengalokasikan biaya dari suatu sumber daya ke berbagai aktivitas berbeda yang
menggunakan sumber daya tersebut. Pemicu aktivitas (activity driver) adalah suatu dasar
yang digunakan untuk mengalokasikan biaya dari suatu aktivitas ke produk, pelanggan, atau
objek biaya final lainnya.
1. ABC mengakui aktivitas, biaya aktivitas, dan pemicu aktivitas pada tingkatan agregasi
yang berbeda yaitu: 1. Unit level activities, yaitu aktivitas tingkat unit akan dilakukan
semakin banyak atau sedikit tergantung dari jumlah unit yang diproduksi.
2. Batch Level activities, yaitu aktivitas yang banyak sedikitnya tidak tergantung banyak
unit yang diproduksi ataupun dijual namun tergantung pada jumlah batch aktivitas
yang ada di perusahaan tersebut.
3. Product level activities, yaitu aktivitas yang akan semakin banyak dilakukan apabila
perusahaan makin memiliki banyak jenis produk.
4. Facility level activities¸ aktivitas – aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan namun
tidak langsung terkait dengan produk. Biaya untuk memelihara kapasitas di lokasi
produksi. Pemicu tingkat pabrik adalah ukuran untuk membebankan biaya tingkat
pabrik.

Dalam penerapannya, penentuan HPP dengan menggunakan system ABC mensyaratkan 3 hal:
1. Perusahaan mempunyai tingkat diversitas yang tinggi
2. Tingkat persaingan industry yang tinggi
3. Biaya pengukuran rendah
Manfaat dari Sistem ABC Serta Kelebihan & Kekurangannya
a) ABC dapat meyakinkan manajemen bahwa mereka harus mengambil sejumlah
langkah untuk menjadi lebih kompetitif, kemudian berusaha untuk meningkatkan
mutu sambil secara simultan memfokuskan pada pengurangan biaya.
b) Manajemen akan berada dalam suatu posisi untuk melakukan penawaran kompetitif
yang lebih wajar.
c) ABC dapat membantu dalam keputusan membuat atau membeli yang manajemen
harus lakukan.
d) Manajemen dapat melakukan analisis yang lebih akurat tentang volume yang
diperlukan untuk mencapai Break Even Point atas produk yang bervolume rendah.
e) Melalui analisis data biaya dan pola konsumsi sumber daya, manajemen dapat mulai
merekayasa kembali (reengineer) proses produksi untuk mencapai pola output mutu
yang lebih efisien dan lebih tinggi.

Activity Based Costing mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Salah
satu kelebihannya antara lain adalah membantu dalam perencanaan strategik dan
memperbaiki kredibilitas sistem biaya, karena dalam implementasinya ABC :
 Mempunyai banyak elemen biaya yang digunakan untuk mengumpulkan biaya
overhead.
 Mengubah dasar yang digunakan untuk membebankan biaya overhead kepada produk
menjadikan hampir setiap biaya dapat ditelusuri hubungannya dengan produk atau jasa
yang diberikan.
 Mengubah persepsi para manajer tentang banyak biaya overhead sehingga tiap
aktivitas dapat diikuti hubungannya dengan tiap produk.
Sedangkan kekurangannya yaitu dalam pelaksanaannya, ABC masih tetap memerlukan
aturan penetapan alokasi biaya dan mengharuskan pengukuran biaya yang tinggi sehubungan
dengan multiple activity center dan banyaknya cost drivers yang digunakan, selain itu :
 Implementasi biaya belumlah dikenal secara baik.
 Masalah “join cost” tetap tidak dapat diatasi.
 Bukti yang sedikit tentang akurasi klasifikasi biaya
BAB IV
ACTIVITY BASED MANAGEMENT

4.1 Pengertian Activity Based Management (ABM)


Activity Based Management (ABM) adalah pengelolaan aktivitas untuk meningkatkan
nilai (value) yang diterima oleh pelanggan dan untuk meningkatkan laba melalui peningkatan
nilai tersebut.  Activity Based Management (ABM) adalah pengelolaan aktivitas untuk
meningkatkan nilai (value) yang diterima oleh pelanggan dan untuk meningkatkan laba
melalui peningkatan nilai (value) tersebut. Activity Based Management menggunakan Activity
Based Costing sebagai sumber informasinya. ABM menggunakan ABC sebagai sumber
informasi utamanya.
Keunggulan utama pendekatan ABM meliputi:
1.    ABM mengukur efektivitas proses dan aktivitas tersebut bisnis kunci  dan
mengidentifikasi bagaimana proses dan aktivitas tersebut bisa diperbaiki untuk
menurunkan biaya dan meningkatkan nilai bagi pelanggan.
2.    ABM memperbaiki fokus manajemen dengan cara mengalokasikan  sumber daya untuk
menambah nilai aktivitas kunci, pelanggan kunci, produk kunci, dan metode untuk
mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan.
Manajer sekarang akan memiliki pandangan yang jelas dari banyak masalah yang akan
membantu pengambilan keputusan mereka. Fokus pada biaya yang signifikan akan
memberikan dorongan untuk meningkatkan proses - dengan demikian mengurangi biaya,
misalnya melalui:
1.   Total Quality Management (TQM)
TQM atau manajemen kualitas total, menurut Ibid, merupakan upaya yang dilakukan
secara terus menerus oleh setiap orang dalam organisasi untuk memahami, memenuhi
dan melebihi harapan pelanggan.
2.   Just-In-Time (JIT)
JIT merupakan suatu sistem produksi yang dirancang untuk mendapatkan kualitas,
menekan biaya, dan mencapai waktu penyerahan seefisien mungkin dengan menghapus
seluruh jenis pemborosan yang terdapat dalam proses produksi sehingga perusahaan
mampu menyerahkan produknya sesuai kehendak konsumen secara tepat waktu.
3.   Proses re-engineering
Proses re-engineering merupakan proses pengaturan kembali seluruh kebijakan organisasi
atau unit.

4.2  Tujuan Activity Based Management (ABM)


adalah sistem yang memiliki 2 tujuan utama, yaitu:
1.    Meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dengan menyajikan informasi biaya yang
lebih akurat.
2.    Melakukan pengurangan biaya dengan mendorong dilakukannya program-program
pengurangan biaya.
Tujuan penting dari ABM adalah untuk mengidentifikasi dan menghilangkan aktivitas
dan biaya tak bernilai tambah. Aktivitas yang tidak bernilai tambah adalah operasi yang (1)
tidak perlu dan tidak penting (2) perlu tapi tidak efisien dan tidak dapat dikembangkan. Biaya
yang tidak bernilai tambah adalah hasil dari beberapa aktivitas, biaya dari beberapa aktivitas
yang bisa dihilangkan tanpa mengurangi kualitas produk, daya guna, dan nilai yang dirasakan.
Selain itu, Activity Based Management (ABM) ini merupakan pendekatan manajemen
yang berfokus untuk dapat :
1.    Meningkatkan nilai yang diterima oleh pelanggan dari setiap aktivitas yang dilakukan.
2.   Menentukan aktivitas perusahaan yang merupakan aktivitas value added dan
aktivitas non-value added.
3.    Meningkatkan value added activity dan mengurangi bahkan menghilangkan non-
value added activity.
4.    Memperbaiki laba dengan memberikan nilai pelanggan.

4.3  Kegunaan Activity Based Management (ABM)


Adapun sebuah perusahaan menggunakan Activity Based Management(ABM) ini
dengan maksud untuk:
1.      Mengurangi harga produk dan mengoptimalkan desain produk.
2.      Mengurangi biaya-biaya perusahaan.
3.      Membantu perusahaan dalam mempertimbangkan peluang bisnis baru.

4.4  Dua Dimensi Activity Based Management (ABM)


1.   Cost Dimension; Memberikan informasi biaya mengenai sumber daya, aktivitas, produk
dan pelanggan (serta biaya-biaya lain yang diperlukan).
2.   Process Dimension; Memberikan informasi mengenai aktivitas apa saja yang
dilaksanakan, mengapa aktivitas tersebut dilaksanakan dan seberapa baik pelaksanaannya

4.5 Activity Based Management (ABM ) Model Components


Activity Based Management(ABM) merupakan payung bagi perubahan budaya yang
diperlukan untuk persaingan global. Komponen-komponen yang mendukung keberhasilan
ABM meliputi :
1.    Just In Time (JIT) 6.   Investment Management
2.   Strategic Planning 7.   Continuous Improvement
3.  Activity Accounting 8.   Benchmarking
4.  Life Cycle Management 9.   Target Costing
5.  Performance Management 10.  Customer Value Analysis

4.6 Fungsi Activity Based Management (ABM)


Salah satu fungsi AMB adalah meningkatkan customer value melalui pengurangan
biaya. Mencapai Pengurangan Biaya, dimana aktivitas tak bernilai tambah dapat
diidentifikasi. Terdapat empat cara bisa digunakan untuk mengurangi biaya tak bernilai
tambah (1) mengurangi aktivitas, (2) menghilangkan aktivitas, (3) memilih aktivitas, dan (4)
membagi aktivitas.
BAB V
JUST IN TIME

5.1 Konsep Just In Time (JIT)


Konsep Just in Time (JIT) adalah system manajemen modern yang dikembangkan oleh
perusahaan – perusahaan terbaik yang ada di Jepang. Sejak awal tahun 1970an, JIT pertama
kali dikembangkan dan disempurnakan di Pabrik Toyota Manufacturing oleh Taiichi Ohno,
oleh karena itu Taiichi Ohno sering disebut sebagai bapak IT. Konsep JIT berprinsip hanya
memproduksi jenis – jenis barang yang diminta (what) sejumlah yang diperlukan (how much)
dan pada saat dibutuhkan (when) oleh konsumen. JIT juga memperhatikan keseluruhan
system produksi sehingga komponen yang bebas dari cacat dapat disediakan untuk tingkat
produksi selanjutnya tepat ketika mereka dibutuhkan tidak terlambat dan tidak terlalu cepat.
Just In Time (JIT) merupakan integrasi dari serangkaian aktivitas desain untuk mencapai
poduksi volume tinggi dengan menggunakan minimum persediaan untuk bahan baku, WIP,
dan produk jadi. Konsep dasar dari sistem produksi JIT adalah memproduksi produk yang
diperlukan,pada waktu dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai kebutuhan
pelanggan, pada setiap tahap proses dalam sistem produksi dengan cara yang paling ekonomis
atau paling efisien melalui eliminasi pemborosan (waste elimination) dan perbaikan terus–
menerus (contionous process improvement). Dalam pengertian luas, JIT adalah suatu filosofi
tepat waktu yang memusatkan pada aktivitas yang diperlukan oleh segmen-segmen internal
lainnya dalam suatu organisasi.

5.2 Aspek Pokok Just In Time


Prinsip dasar Just In Time adalah peningkatan kemampuan perusahaan secara terus -
menerus untuk merespon perubahan dengan meminimalisasi pemborosan. Aspek pokok Just
In Time adalah sebagai berikut:
1) Produksi Just In Time (JIT), adalah memproduksi apa yang dibutuhkan hanya pada
saat
2) dibutuhkan dan dalam jumlah yang diperlukan.
3) Autonomasi merupakan suatu unit pengendalian cacat secara otomatis yang tidak
4) memungkinkan unit cacat mengalir ke proses berikutnya.
5) Tenaga kerja fleksibel, maksudnya adalah mengubah-ubah jumlah pekerja sesuai
dengan
6) fluktuasi permintaan.
7) Berpikir kreatif dan menampung saran-saran karyawan.
8) Komitmen terhadap kualitas prima.
9) Mendorong perbaikan berkesinambungan untuk meningkatkan efisiensi.
10) Memberikan tekanan pada penyederhanaan aktivitas dan peningkatan visibilitas yang
5.3 Tujuan Just In Time
Tujuan utama Just In Time adalah untuk meningkatkan laba dan posisi persaingan
perusahaan yang dicapai melalui usaha pengendalian biaya, peningkatan kualitas, serta
perbaikan kinerja pengiriman. Perhitungan serta kerja sama yang baik antara penyalur,
pemasok dan bagian produksi haruslah baik. Keterlambatan akibat salah perhitungan atau
kejadian lainnya dapat menghambat proses produksi sehingga dapat menimbulkan kerugian
bagi perusahaan. Tujuan utama yang ingin dicapai dari sistem JIT adalah:
1) Zero Defect (tidak ada barang yang rusak).
2) Zero Set-up Time (tidak ada waktu set-up)
3) Zero Lot Excesses (tidak ada kelebihan lot)
4) Zero Handling (tidak ada penanganan)
5) Zero Queues (tidak ada antrian)
6) Zero Breakdowns (tidak ada kerusakan mesin)
7) Zero Lead Time (tidak ada lead time)
5.4 Manfaat Just In Time
Manfaat-manfaat yang diperoleh dengan adanya penerapan Just In Time menurut
Garrison dan Norren (1997), adalah sebagai berikut:
1) Modal kerja dapat ditunjang dengan adanya penghematan karena pengurangan biaya -
biaya persediaan
2) Lokasi yang tadinya untuk menyimpan persediaan dapat digunakan untuk aktivitas
lain sehingga produktivitas meningkat
3) Waktu untuk melakukan aktivitas produksi berkurang, sehingga dapat menghasilkan
jumlah produk lebih banyak dan cepat merespon konsumen. Tingkat produk cacat
berkurang, mengakibatkan penghematan dan kepuasan konsumen meningkat

5.5 Perbedaan system JIT dan Sistem Tradisional

JIT Tradisional
 Sistem tarikan  Sistem dorongan
 Persediaan tidak signifikan  Persediaan signifikan
 Basis pemasok sedikit  Basis pemasok banyak
 Kontrak jangka panjang dengan  Kontrak jangka pendek dengan
 pemasok pemasok
 Pemanufakturan berstruktur seluler  Pemanufakturan berstruktur
 Karyawan berkeahlian ganda departemen
 Jasa terdesentralisasi  Karyawan terspesialisasi
 Keterlibatan karyawan tinggi  Jasa tersentralisasi
 Gaya manajemen sebagai penyedia  Keterlibatan karyawan rendah
 fasilitas  Gaya manajemen sebagai pemberi
 Total Quality Control (TQC) perintah
 Acceptable Quality Level (AQL)

5.6 Keuntungan dan Kelemahan Just In Time


Keuntungan
1) Seluruh system yang ada dalam perusahaan dapat berjalan lebih efisien
2) Pabrik mengeluarkan biaya yang lebih sedikit untuk memperkerjakan para staffnya.
3) Barang produksi tidak harus selalu di cek, disimpan atau diretur kembali.
4) kertas kerja dapat lebih simple
5) Penghematan yang telah di lakukan dapat digunakan untuk mendapat profit yang lebih
tinggi misalnya, dengan mengadakan promosi tambahan.
Kelemahan
Satu kelemahan sistem JIT adalah, tingkatan order ditentukan oleh data permintaan
historis. Jika permintaan naik melebihi dari rata-rata perencanaan historis maka
inventoriakan habis dan akan mempengaruhi tingkat pelayanan konsumen.

BAB VI
BUDGETING

6.1 Topic Budgetary Slack


Anggaran memiliki peran penting dalam sebuah organisasi. Peran ini tercermin dari
fungsi anggaran sebagai alat perencanaan dan pengendalian bagi suatu perusahaan (Anthony
& Govindarajan, 2007). Dengan demikian, proses perencanaan estimasi anggaran merupakan
penentu keberhasilan organisasi. Fungsi penting lainnya dari anggaran adalah untuk menilai
kinerja unit bisnis atau individu. Oleh karena itu, anggaran berpengaruh signifikan terhadap
perilaku karyawan (Weygandt et al., 2015). Untuk mendapatkan penilaian kinerja yang baik,
karyawan berusaha untuk menciptakan “ruang bernafas” dalam penganggaran dengan
meningkatkan perkiraan biaya dan mengurangi perkiraan pendapatan secara berlebihan
(Horngren et al., 2015; Walther & Skousen, 2009). Selain itu, “tradisi” pemotongan anggaran
pada saat mengajukan anggaran seringkali memunculkan inisiatif pegawai untuk melebih-
lebihkan anggaran (Samad, 2018, sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
periode 2011-2015). Perilaku melebih-lebihkan anggaran dikenal/diistilahkan dengan
budgetary slack, yang merupakan perilaku yang tidak etis dan mengarah pada perilaku
disfungsional (Goebel & WeiBenberger, 2016; Adnan & Ali, 2014).

6.2 Landasan Teori


1. Budgetary Slack
Budgetary slack dianggap sebagai “bantalan” bagi manajer atau peserta yang
terlibat dalam proses perencanaan anggaran dan terjadi ketika perkiraan jumlah
anggaran pendapatan terlalu rendah dan anggaran biaya terlalu tinggi dari
perkiraan terbaik mereka di masa depan  (Ngo et al., 2017; Weygandt et al., 2015;
Faria & Silva, 2013). Budgetary slack dirancang untuk menciptakan “ruang
bernafas” bagi para perencana anggaran (Walter & Skousen, 2009). Budgetary
slack adalah anggaran yang akan memfasilitasi  pencapaian target (Anthony &
Govindarajan, 2007).

2. Informasi Asimetris
Informasi asimetris dapat dinyatakan sebagai konsep yang merupakan teori yang
paling mendasar yang melibatkan dua pihak, yaitu atasan dan bawahan (Macintosh
& Quattrone, 2010) Merchant & Van der  Stede (2012) menyatakan bahwa
informasi asimetris terjadi ketika atasan memiliki pengetahuan yang tidak lengkap
tentang apa yang bisa dicapai bidang tertentu.  Menurut Chandra (2011), kondisi
ini terjadi ketika prinsipal (manajer) tidak memiliki informasi yang cukup tentang
aktivitas agen (bawahan), prinsipal tidak dapat memastikan kontribusi yang
diberikan agen untuk hasil perusahaan.
3. Motivasi Karyawan
Motivasi didefinisikan sebagai seperangkat kekuatan energik yang berasal dari
dalam dan dari luar karyawan, inisiatif bisnis terkait pekerjaan, dan menentukan
arah, kekuatan, dan ketekunan (Colquitt et al., 2017).  Motivasi berkaitan dengan
serangkaian proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku
menuju suatu tujuan (Greenberg, 2011).  Newstrom (2015) menjelaskan bahwa
motivasi kerja adalah hasil dari serangkaian kekuatan internal dan eksternal yang
menyebabkan karyawan memilih tindakan yang tepat dan terlibat dalam perilaku
tertentu. 
4. Penganggaran Partisipatif
Shim et al.  (2012) menjelaskan bahwa penganggaran partisipatif adalah sistem
penganggaran yang melibatkan seluruh pegawai dalam proses penyusunan
anggaran organisasi.  Manajemen puncak dapat memulai proses anggaran dengan
pedoman anggaran umum, tetapi unit tingkat bawahlah yang mendorong
pengembangan anggaran di unit mereka (Walther & Skousen, 2009).  Hansen dkk. 
(2009) menambahkan bahwa penganggaran partisipatif mengomunikasikan rasa
tanggung jawab dan menumbuhkan kreativitas bagi manajer tingkat bawah.

6.3 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain penelitian survei deskriptif, dengan teknik
pengumpulan data angket, wawancara dan diskusi kelompok. Kuesioner penelitian ini
disebarkan melalui pos (survei surat), survei online dan survei langsung. Dalam penelitian ini,
peneliti memasukkan pertanyaan terbuka yang berhubungan dengan variabel penelitian. Hal
ini membuat peneliti dapat mengeksplorasi beberapa faktor lain yang mungkin mempengaruhi
senjangan anggaran. Populasi dalam penelitian ini adalah pimpinan pusat
pertanggungjawaban perusahaan BUMN di Kota Bandung yang berjumlah 27 perusahaan.
Diasumsikan setiap BUMN yang menjadi target populasi memiliki 50 kepala pusat
pertanggungjawaban. Dengan demikian, responden penelitian ini adalah 1.350. Jumlah
sampel berdasarkan populasi ditentukan berdasarkan kompleksitas model dan karakteristik
dasar model pengukuran. Responden penelitian ini adalah para manajer atau kepala pusat
pertanggungjawaban. Dalam kaitannya dengan pengukuran variabel, peneliti mengukur
variabel penganggaran partisipatif dari indikator yang diadopsi dari studi Milani (1975). Hal
ini dikarenakan indikator yang dikembangkan oleh Milani (1975) merupakan indikator yang
paling banyak digunakan untuk mengukur penganggaran partisipatif. Kemudian, variabel
informasi asimetris diukur dengan menggunakan indikator yang dikembangkan oleh Dunk
(1993). Ini karena ini adalah indikator yang paling banyak digunakan untuk mengukur
informasi asimetris. Sedangkan variabel motivasi karyawan diukur dengan menggunakan
indikator yang dikembangkan oleh Warr et al. (1979) yang telah dimodifikasi dan dikaitkan
dengan anggaran oleh Dow et al. (2015) dan telah banyak digunakan pada penelitian
sebelumnya. Sedangkan variabel senjangan anggaran diukur dengan indikator yang
dikembangkan oleh Van der Stede (2000). Hal ini dikarenakan indikator-indikator tersebut
merupakan hasil penyempurnaan dari indikator-indikator yang dikembangkan oleh Onsi
(1973) dan Dunk (1993). Indikator yang digunakan diukur dengan skala Likert (1-5). Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah LISREL structural equation model
(SEM).

Daftar Pustaka
Adnan, N.L., & Ali, R. 2014. How Prevalent is Dysfunctional PMS Behaviour
among Malaysian Bankers? Journal of Applied Environmental and Biological
Sciences, 4(6S), 41-49.
Alamsyah, W. 2018. ICW: Korupsi Pengadaan Barang 2017 Meningkat, Negara Rugi Rp
1T. Retrieved July 9, 2018, from detiknews: https://news.detik.com/berita/d-
3885311/icw-korupsi-pengadaan-barang-2017-meningkat-negara-rugi-rp-1-t
Anthony, R.N., & Govindarajan, V. 2007. Management Control Systems.
Singapore: McGraw-Hill Education (Asia).
Aprila, S., & Hidayani, S. 2012. The Effect of Budgetary Participation, Asymmetry
Information, Budget Emphasis and Comitment Organization to Budgetary Slack at
SKPD Governmental of Bengkulu City. The 13th Malaysia Infonesia Conference
on Economics, Management and Accounting. Malaysia: MICEMA.
Baerdemaeker, J.D., & Bruggeman, W. 2015. The Impact of Participation Strategic
Planning on Managers' Creation of Budgetary Slack: The Mediating Role of
Autonomous Motivation and Affective Organizational Commitment. Management
Accounting Research, xxx-xxx.
Barki, H., & Hartwick, J. 1989. Rethinking the Concept of User Involvement. MIS
Quaterly, 13(1), 53-63.
Basuki, F.H. 2015. Participatory Budgeting and Managerial Performance in
Conditions of Information Asymmetry. IJABER, 13(6), 4529-4555.
Brink, A.G., Coats, J.G., & Rankin, F.W. 2018. Who’s the boss? The economic and
behavioral implications of various characterizations of the superior in participative
budgeting research. Journal of Accounting Literature, 89-105.
Anggraini SE.,M.Si, Wahyu. Akuntansi Biaya Activity Accounting: Activity Based Costing
dan Activity Based Management. Diakses : 18 September 2021.
IAI. 2019. Akuntansi Biaya dan Manajemen. Jakarta : IAI
IAI. 2015. Akuntansi Manajemen Lanjutan. Jakarta : IAI
Garrison dan Noreen. 2000. Akuntansi Manajerial. Jakarta: Salemba Empat
http://riskymahira.blogspot.com/2013/05/makalah-manajemen-persediaan-just-in.html
http://materi-sisfo.blogspot.com/2012/06/makalah-just-in-time-jit.html
Mowen, Hansen. 2009. Akuntansi Manajerial Buku 2 Edisi 8. Jakarta: Salemba Empat.

http://rolandalpario.wordpress.com/2013/05/11/metode-just-in-time-dalam-akuntansi-
manajemen/
http://www.scribd.com/doc/96156634/Makalah-Akuntansi-Manajemen-Just-in-Time-
Kelompok2#scribd
http://andindwitugas.blogspot.com/2015/01/makalah-sistem-activity-based-costing.html

http://d2bnuhatama.blogspot.com/2012/06/activity-based-management-abm.html

http://indriramadhaniekonomi.blogspot.com/2013/02/activity-based-management-
abm_1718.html

https://belajarekonomi.com/perilaku-biaya-cost-behavior/
https://jagoakuntansi.com/2019/04/10/cost-behavior/
https://www.yrnrn.com/2015/02/proses-costing-dan-job-order-costing.html
https://ukirama.com/blogs/perbedaan-mendasar-tentang-job-order-costing-dan-process-
costing

Anda mungkin juga menyukai