Anda di halaman 1dari 2

Data yang Sepotong

Koran Sindo
Rabu, 14 November 2018 - 05:55 WIB

Cukup mengagetkan jika melihat data dari BPS yang menyebutkan bahwa lulusan sekolah
menengah kejuruan (SMK) paling banyak untuk pengangguran terbuka.
Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Dok
CUKUP mengagetkan jika melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang
menyebutkan bahwa lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) menyumbang angka paling
banyak untuk pengangguran terbuka. BPS menyebut pada Agustus 2018 tingkat
pengangguran terbuka (TPT) sebanyak 7 juta orang atau 5,34% dari total 131,01 juta
orang angkatan kerja.Dari 7 juta orang tersebut, 11,24% di antaranya merupakan
lulusan SMK. Padahal, selama ini di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), SMK menjadi fokus pengembangan sumber daya
manusia. Banyaknya SMK yang dibuka dan jenis jurusan yang beragam diharapkan bisa
memenuhi kebutuhan industri. Tujuan akhirnya adalah ketika pengangguran turun maka
tingkat ekonomi masyarakat meningkat.Namun jika melihat data di atas, memang cukup
mengagetkan atau bahkan beberapa pihak mungkin berpendapat miring. Lulusan SMK yang
selama ini digemborkan pemerintah justru menyumbang angka pengangguran terbuka
terbanyak. Hanya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) memandang data BPS dengan cara lain.Kasubdit Penyelarasan Kejuruan
dan Kerja Sama Industri Direktorat Jenderal (Dirjen) Pembinaan SMK Kemendikbud
Saryadi tidak menampik angka 11,24% pada Agustus 2018 tersebut. Namun di balik
angka 11,24% yang disajikan BPS, sebenarnya angka partisipasi kerja lulusan SMK
justru naik sejak 2015 hingga 2018. Dia menyebut lulusan SMK yang bekerja pada 2015
mencapai 10,8 juta, sementara 2018 sebanyak 13,7 juta.Saryadi juga memberikan data
bahwa jika melihat TPT SMK tahun lalu pada bulan yang sama sebesar 11,41%,
sementara tahun ini 11,24%. Artinya ada penurunan sehingga Kemendikbud menganggap
trennya mengalami penurunan dari tahun ke tahun.Nah, inilah pentingnya melihat data
lebih komprehensif. Jika hanya melihat angka Agustus 2018 maka dibandingkan dengan
lulusan lainnya (SMA ataupun perguruan tinggi), jumlahnya memang lebih besar. Cara
memandang yang parsial seperti itu tentu kurang tepat. Begitu juga jika hanya
membandingkan dari bulan yang sama dari tahun ke tahun.Dari tahun ke tahun juga
perlu dilihat perbandingan dengan lulusan dari jenis pendidikan yang lain. Jangan-
jangan penurunan di tingkat SMA dan perguruan tinggi jauh lebih tajam. Intinya
jangan sekadar melihat data dari satu sisi. Perlu ada pembanding untuk mengatakan
lebih tinggi atau rendah, lebih baik atau buruk, dan sebagainya.Hasil analisis dari
cara membaca data yang tidak komprehensif pun akan memunculkan analisis atau
kesimpulan yang tidak benar. Ketika analisis dan kesimpulan tidak benar, cara
mengatasi persoalan jadi tidak benar.Cara memandang data yang lebih komprehensif
ini tentu harus terus dibudayakan bangsa ini. Mengapa ini menjadi penting? Ketika
banjir informasi di era saat ini, karena kemajuan pesat teknologi informasi, maka
masyarakat atau semua pihak akan mudah mendapatkan informasi.Karena informasi saat
ini mempunyai sifat terbuka dan cepat, cenderung informasi yang diberikan hanya
sepotong-sepotong. Ini adalah cara instan dan tidak komprehensif. Dengan cara ini,
yang justru muncul adalah gosip, fitnah, hoax atau fake news yang bisa menjadi
hantu bagi pihak-pihak yang ada dalam informasi ini.Kecepatan dan keterbukaan
informasi yang saat ini terjadi semestinya menjadikan kita semakin hati-hati dalam
menerima, mencerna, atau bahkan menyimpulkan. Perlu ada tambahan-tambahan pendapat
atau data yang lain agar informasi yang didapat mendekati objektif.Parahnya lagi,
perkembangan pesat tentang teknologi informasi saat ini justru digunakan pihak-
pihak tertentu untuk hal-hal yang tidak positif. Bahkan, ini dipertontonkan oleh
para tokoh kita yang sering tampil di media ke masyarakat. Karena ada kepentingan-
kepentingan lain maka banyak pihak yang hanya menggunakan sepotong data untuk
menganalisis, berargumen, lalu menyimpulkan, atau bahkan membenarkan dan
menyalahkan.Cara-cara seperti ini tentu bukan cara mendidik masyarakat yang tepat
di tengah gencarnya arus informasi saat ini. Tentu kita semua yang merasa melek
dengan teknologi informasi, tentu harus mulai mengampanyekan cara pandang dan
berpikir komprehensif dalam melihat informasi baik data maupun pendapat. Cara ini
akan membuat masyarakat Indonesia akan semakin bijaksana dan cerdas dalam
mengonsumsi data dan pendapat.

Anda mungkin juga menyukai