Anda di halaman 1dari 4

Ketika Milenial Berburu Nomor Induk Pegawai

Penulis : Nurul Puspita Sari, SST


(Statistisi Ahli Pertama Badan Pusat Statistik)

Pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang, karena merupakan sarana guna
mendapatkan penghasilan untuk menjamin keberlangsungan hidup. Hal-hal yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan tentunya tidak akan berhenti meski individu sudah tidak lagi produktif bekerja.
Kebutuhan yang tercukupi merupakan suatu bentuk dari kesejahteraan yang didambakan oleh setiap
orang. Terutama ketika memasuki hari tua, kebanyakan orang mengharapkan dapat hidup dengan tenang
tanpa harus memikirkan lagi urusan pekerjaan.

Angkatan kerja merupakan potensi kekuatan besar dari sebuah negara, apalagi jika angkatan
kerja yang dimaksud merupakan angkatan kerja yang memiliki skill dan kemampuan yang mumpuni.
Mereka lah yang mampu memberikan kontribusi besar dalam produksi barang dan jasa. Namun
sayangnya, tidak semua angkatan kerja terserap oleh jumlah lapangan kerja yang ada. Situasi inilah yang
memunculkan angka pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat pengangguran terbuka
(TPT) di Indonesia pada Februari 2018 mencapai 5,13%, atau turun dari periode sama tahun sebelumnya,
5,33%. Dari persentase tersebut, maka jumlah pengangguran di Indonesia saat ini mencapai 6,87 juta
orang atau turun dari sebelumnya yang mencapai 7,01 juta orang dengan jumlah pengangguran terbanyak
ada pada usia produktif 15 -29 tahun yaitu sekitar 60%.

Jika dilihat dari tingkat pendidikannya, maka TPT terbesar berada pada level Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) yang mencapai 8,92%. Kemudian, setelah itu pada level Diploma I/II/III sebesar 7,92%.
Dengan kata lain, ada penawaran tenaga kerja yang tidak terserap, terutama pada tingkat pendidikan SMK
dan Diploma I/II/III. Sedangkan 11 persen sarjana di Indonesiapun masih berstatus pengangguran. Hal ini
tentunya menjadi ironi bagi bangsa kita, karena untuk orang-orang berpendidikan tinggi sekalipun masih
harus bersaing mendapatkan pekerjaan, apalagi untuk penduduk dengan pendidikan menengah kebawah.

Seperti yang kita ketahui, profesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) saat ini menjadi trend yang
banyak menarik minat para angkatan kerja untuk turut berpartisaipasi menjadi bagian dari pemerintahan.
Sulit dipungkiri kalau sekilas pandang, PNS tampaknya memang merupakan pekerjaan idaman. Dari data
yang ditampilkan, diantaranya terdapat beberapa faktor-faktor yang membuat PNS menjadi cita-cita,
bahkan obsesi generasi muda Indonesia saat ini, diantaranya karena jam kerja pendek dan fleksibel, rata-
rata lima hari, 37.5 jam per minggu, Gaji disokong dengan berbagai tunjangan dan fasilitas seperti mobil
dinas dan rumah dinas, serta adanya jaminan masa tua yang dapat diwariskan ke anggota keluarga
langsung, selain itu PNS dinilai aman tidak terkena krisis. PNS tergolong kebal dari imbas resensi. Di
tengah krisis moneter sekali pun, gaji PNS akan tetap berjalan dan mereka relatif aman dari resiko terkena
PHK terutama karena proses pemberhentian yang rumit. Hal-hal inilah yang menjadi alasan mengapa
disetiap penerimaan calon pegawai negeri sipil selalu saja membludak pesertanya.

Jumlah PNS semakin banyak, Negara Makin Sulit Maju

Seperti yang kita ketahui, sekarang sedang ramai pendaftaran CPNS baik di kementrian dan di
instansi pemerintah daerah. Pada suatu pertemuan di Institut Teknologi Lampung, Wakil Presiden Jusuf
Kalla (JK) menyoroti antusiasme masyarakat yang melamar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut
JK, status PNS bukan menjadi patokan dalam mengukur kesuksesan seseorang. Pada tahun ini, 60
kementerian atau lembaga serta pemerintah daerah membuka kesempatan kepada warga untuk
mendaftarkan diri mengikuti perekrutan PNS. Badan Kepegawaian Negara mencatat, ada 1.295.925 orang
yang mendaftarkan diri dalam momen tersebut sedangkan kuota yang diterima sebagai PNS selanjutnya
adalah sebesar 238.015 orang. menurutnya, kemajuan sebuah negara tak tergantung dengan jumlah PNS
yang melimpah ruah. Bahkan sebaliknya, negara akan sulit maju dan mengalami kemunduran.

Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 4,5 juta PNS, yang menyedot  33,8 persen dari total
anggaran belanja negara. Sejak harga minyak dunia anjlok dan sumber pemasukan anggaran
pembangunan tidak lagi mampu mengandalkan pada pemasukan dari keuntungan migas, diakui atau tidak
kondisi anggaran negara memang menjadi rapuh. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk
mencari sumber-sumber alternatif pemasukan negara, seperti melalui kebijakan tax amnesty dan
mengintensifkan sumber pemasukan pajak dalam negeri,namun ternyata gagal. Sementara itu, di saat
yang sama kondisi keuangan negara menjadi lebih rapuh ketika jumlah utang luar negeri dari waktu ke
waktu terus bertambah. Pada tahun 2018, jumlah utang luar negeri diperkirakan akan terus naik hingga
menjadi Rp 4.300 triliun. Ketika program tax amnesty hanya mampu merealisasi tidak lebih dari 20% dari
target yang ditetapkan, jumlah utang luar negeri yang terus meningkat tentu membuat beban anggaran
negara menjadi makin berat. Jika jumlah PNS tak terkontrol, potensi beban utang pemerintah seperti yang
terjadi di Yunani rasanya bukan hal mustahil terjadi juga di Indonesia. Pemerintah telah menggelontorkan
anggaran Rp 495,7 triliun untuk membayar gaji pegawai negeri sipil (PNS) sepanjang 2017. Anggaran ini
diberikan untuk PNS pusat dan daerah. Dari data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi belanja
pegawai PNS pemerintah pusat hingga 30 Desember 2017 tercatat Rp 209,9 triliun atau 93,9 persen dari
pagu anggaran Rp 223,6 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017.
Jumlah tersebut lebih tinggi dari realisasi tahun-tahun sebelumnya, yakni Rp 205,7 triliun pada 2016,
sebesar Rp 186,5 triliun pada 2015, dan Rp 155,4 triliun pada 2014.

Bertambahnya jumlah PNS tentunya menjadi problematika seperti halnya dua mata pisau, jika salah
memilih orang-orang yang memangku predikat sebagai PNS tentunya Negara akan mengalami kerugian
karena sudah membayar orang-orang yang tidak kompeten sebagai pengabdi negara. Namun sebaliknya,
jika tidak menambah jumlah PNS pemerintah pun punya tuntutan untuk mengganti PNS yang telah pensiun
dengan PNS baru yang memiliki skill yang mumpuni. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa
passinggrade dalam penerimaan CPNS tahun ini dibuat semakin sulit.

Upaya Generasi Milenial

Lalu, sebagai generasi milenial yang dikenal sebagai generasi yang bebas untuk bertindak dan memilih
pilihannya sendiri, Apakah harus terus terpaku dalam memburu nomor induk pegawai demi mendapatkan
kehidupan yang layak dan aman? Pertanyaan ini seharusnya mampu menjadi motifasi bagi kaum milenial
untuk mengobati rasa sakit hati karena tingginya passing grade yang belum dapat terlampaui.

Mindset anak muda sekarang harus berubah. Kuliah bukan hanya dalam rangka menjadi pegawai, tetapi
harus dijadikan motivasi untuk menjadi wirausahawan. Sebagai generasi muda, seharusnya kita mampu
menciptakan inovasi dan lapangan kerja baru yang dengan cara meningkatkan jumlah pengusaha di
Indonesia. Dengan bertambahnya jumlah pengusaha maka akan memberikan peluang lapangan kerja baru
dan mengurangi pengangguran, selain itu dengan banyaknya umlah pengusaha maka peningkatan
pertumbuhan ekonomipun akan mampu memberikan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai
generasi muda yang kreatif kita harus percaya dirinya dan terus berusaha memperluas jaringan agar bisa
menjadi pengusaha sukses yang menyumbang peningkatan perekonomian negara sekarang maupun
dimasa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai