Inilah janji pasangan SBY-JK dalam kampanye pemilu 2004 lalu ; pengangguran
terbuka akan turun dari 9,8 persen (2004) menjadi 5,1 persen (2009). Sebetulnya ini
bukan janji muluk. Pengangguran saat itu hampir dua kali lipat dari tingkat pengangguran
normal yang angkanya sekitar lima persen.
Disisi lain, pertumbuhan kesempatan kerja (penduduk bekerja) lebih lambat dari
pertumbuhan angkatan kerja. Akibatnya, pengangguran terbuka terus naik. Setahun
pertama SBY memerintah, pengangguran terbuka mencapai 10,26 persen. Pada 2006 ini
diperkirakan terus melonjak mendekati 11 persen.
Fenomena yang menarik untuk dicermati dari angka setengah penganggur ini
adalah relatif tinggi jumlah setengah pengangguran sukarela dibandingkan dengan tingkat
setengah pengangguran terpaksa. Ini mencerminkan keputusasaan dalam mencari
pekerjaan penuh waktu. Keputusasaan berarti aktivitas mencari pekerjaan penuh waktu
terhenti sehingga, akibatnya, tingkat pengangguran terselubung semakin besar.
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
Disamping angka pengangguran yang terus meningkat, tantangan lain yang
dihadapi pemerintah adalah meningkatnya kesempatan kerja di sektor informal. Adapun
sementara sektor formal stagnan atau terus turun.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, share kesempatan kerja disektor formal
belum beranjak dari kisaran 30 persen terhadap seluruh kesempatan kerja-kondisi yang
berbeda dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Hal ini menunjukkan bahwa di
Indonesia terjadi informalisasi ketenagakerjaan dari sektor yang memiliki produktivitas
tinggi ke sektor produktivitas lebih rendah.
Selin investasi, hal yang juga penting diperhatikan adalah regulsai ketenagakerjaan
yang mendukung ketersediaan infrastruktur, dan skema pemberian kredit yang memadai.
Khusus untuk regulasi dibidang ketenagakerjaan, dibutuhkan regulasi ketenagakerjaan
yang seimbang sehingga kebijakan tersebut memfasilitasi penciptaan kesempatan kerja,
khususnya disetor formal.
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
Salah satu hal utama regulasi ketenagakerjaan yang perlu mendapat perhatian
adalah ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon, serta hak-hak
pekerja. Sejak dikelurkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.150/2000 hingga
Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003, hal-hal yang terkait dengan PHK dan
uang pesangon menjadi sangat krusial. Uang pesangon, misalnya, meningkat berlipat-
lipat hingga dari segi rate, Indonesia menjad salah satu yang tertinggi di Asia.
Disamping itu, upah minimum regiolan (UMR) yang terus meningkat juga turut
mempengaruhi tingginya uang pesangon. Hal lain adalah belum adanya mekanisme
pencadangan dana pesangon dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dengan tidak adanya skema dana pencadangan pesangon, pengusaha dan pekerja
tidak diwajibkan menyisihkan dana atau memberikan kontribusi terhadap suatu skema
dana pesangon. Hal ini menyulitkan dan membebani perusahaan apabil harus melakukan
PHK, terutama PHK karena alasan ekonomi.
Lepas dari perlu atau tidaknya revisi terhadap UU Ketenagakjeraan, hal yang paling
mendesak adalah mencari solusi terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh peraturan
uang pesangon. Solusi yang patut dipertimbangkan adalah pembrelakuan dana
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
pencadangan uang pesangon. Perusahaan dan pekerja perlu bersama-sama berkontribusi
terdapat dana tersebut selama pekerja bekerja, sehingga menjamin pekerja memperoleh
kempensasi, terlepas dari kondisi perusahaan saat PHK dilakukan.
"Gelo ngan meunang lima puluh opat rebu, maenya gaji sabulan ngan sakieu? (Gila,
cuma dapat Rp 54. 000, masa gaji satu bulan cuma segini?)," ujarnya sambil
memperlihatkan upah yang diterimanya dari hasil kerjanya sebulan mendata para
penunggak rekening listrik.
Orang-orang seperti Kang Asep bahkan mungkin lebih parah keadaannya dari Kang Asep
merupakan kondisi tak terbantahkan dalam kehidupan di tengah masyarakat. Kemiskinan
dan pengangguran menjadi warna lain dari perayaan HUT Republik Indonesia yang ke-
60 ini.
Pencapaian usia 60 tahun, bagi seorang manusia lebih menggambarkan sosok yang mulai
senja dan sudah mendapatkan kemapanan. Namun tentu saja, sosok demikian tidak bisa
diparalelkan dengan usia sebuah bangsa dihitung dari awal proklamasi kemerdekaannya.
Tapi, usia menginjak 60 tahun, juga bukan masa yang singkat untuk bisa mengukur dan
mengevaluasi keberhasilan dan kemajuan apa saja yang sudah dicapai bangsa tersebut.
Melihat fakta riil kehidupan sosial berbangsa di negeri ini, sulit untuk tidak mengakui
bahwa masih banyak ketimpangan dan persoalan pelik yang tetap saja menggerogoti
kehidupan bangsa ini. Baik itu dari aspek sosial politik, ekonomi, keamanan, dan aspek
kehidupan lainnya.
Yang paling kentara dalam keseharian masyarakat, kita melihat jurang kesenjangan yang
semakin lebar antara kota dan desa, si kaya dan si miskin, dan antara si penguasa dan
rakyat jelata. Bahkan, sejatinya hal itu sudah menjadi fenomena sejak lima belas tahun
pertama pascakemerdekaan. Ironisnya, kini setelah hampir enam dekade
pascakemerdekaan, kesenjangan itu bukan semakin menyempit justru tidak pernah ada
perubahan. Untuk tidak mengatakan makin melebar.
Bahkan kalau melihat indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM) tahun 2002 menunjukkan bahwa Indonesia lebih unggul dari
Vietnam hanya pada tingkat pendapatan, akses terhadap air bersih dan kecukupan gizi
balita, sedangkan tingkat pendidikan dan kesehatan berada sedikit di bawah Vietnam.
Indonesia juga mempunyai masalah ketimpangan gender yang relatif lebih besar
dibanding Thailand dan Filipina. Apalagi bila kita bandingkan dengan negara tetangga
lain seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, IPM Indonesia pada tahun 2002 masih lebih
rendah dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) masih lebih tinggi dibanding negara-
negara tersebut.
**
PUN demikian tatkala kita mencermati kondisi riil Jabar. Pada satu sisi, kenyataan
sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia (39,14 juta jiwa
berdasarkan Suseda Jabar 2004), memang menjadi potensi sumber daya manusia (SDM)
yang bisa diharapkan berperan aktif dalam berbagai program penyejahteraan rakyat.
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
Bahkan, dibandingkan dengan populasi penduduk di Indonesia, kontribusi Jawa Barat
mencapai hampir seperlima dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Namun, ketika
potensi tersebut tidak termanfaatkan dan dikelola dengan maksimal, sebaliknya potensi
itu justru bakal menjadi ancaman (threat) bagi permasalahan ketenagakerjaan dan
kependudukan secara umum.
Secara nasional, angka pengangguran di negeri ini memang sangat tinggi. Permasalahan
ini merupakan bom waktu bila tidak diselesaikan segera. Jumlah angkatan kerja di
Indonesia pada 2000 diperkirakan mencapai 96 juta orang. Pada 2001 jumlah penganggur
mencapai 40,2 juta orang terdiri atas pengangguran terbuka dan setengah penganggur.
Angka ini akan terus membengkak sampai 2004. Kondisi ini diperparah dengan
meningkatnya angka putus sekolah yang mencapai 1,7 juta orang.
Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 3,3 persen tahun 2002 dan 3 persen pada 2003
sampai 2004, maka total pengangguran mencapai 42 juta orang (40,1 persen) pada 2002
kemudian meningkat menjadi 43,6 juta (43,6 persen) pada 2003 dan mencapai 45,2 juta
orang (42,5 persen) pada tahun 2004. (Ditjen Mobduk, Dep. Nakertrans dan LPM
Padjadjaran, 2002)
Angka penduduk miskin tidak kalah besarnya dengan angka pengangguran. Sejak
dilaksanakannya pembangunan nasional, jumlah penduduk miskin periode 1976-1996
turun secara nyata (signifikan). Pada 1976 jumlah penduduk miskin sekira 54,2 juta orang
atau (42.1 persen) berkurang menjadi 40.6 juta orang (26.9 persen) pada tahun 1981.
Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin berkurang lagi menjadi 27,2 juta orang (15.1
persen) dan menjadi sejumlah 22,5 juta orang (11,3 persen) pada tahun 1996.
Karena adanya krisis multidimensi sejak pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk
miskin meningkat kembali menjadi 49,5 juta orang (24,23 persen) dari seluruh penduduk
Indonesia. Persebaran penduduk miskin tersebut, yaitu 17,6 juta orang (21,92 persen)
berada di perkotaan dan sejumlah 31,9 juta orang (24,23 persen) berada di perdesaan.
Persebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih dari 59 persen
berada di Pulau Jawa dan Bali, 16 persen di Pulau Sumatra dan 25 persen berada di Pulau
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. (Sekretariat Komite
Penanggulangan Kemiskinan, 2002)
**
Pada diskusi yang dilakukan beberapa waktu lalu, teridentifikasi beberapa persoalan
ketenagakerjaan di Jabar. Berdasarkan data survei angkatan kerja daerah (Sakerda) Jawa
Barat tahun 2000, tingkat pengangguran di Jawa Barat adalah 8,03 persen dari jumlah
angkatan kerja dengan jumlah pengangguran terbuka mencapai 1,15 juta jiwa. Jumlah
angkatan kerja yang terserap hanya sebesar 14 juta jiwa. Sementara itu, pada 2003
mengalami peningkatan menjadi 9,24 persen atau sekira 1.513.511 jiwa.
Jumlah ini meningkat cukup drastis karena berdasarkan survei sosial ekonomi daerah
(Suseda) Jawa Barat 2004, tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat adalah 12,25
persen dari jumlah angkatan kerja atau sekira 2.037.746 jiwa. Jumlah angkatan kerja
yang terserap hanya sebesar 14 juta jiwa; padahal target yang ingin dicapai pada tahun
Selama ini upaya penanganan pengangguran telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dengan melibatkan dinas, badan, dan lembaga terkait. Namun, hasilnya belum
maksimal karena masih menghadapi sejumlah penghambat, antara lain faktor
pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang relatif tinggi, yang disebabkan oleh jumlah
penduduk usia sekolah yang putus sekolah dan terpaksa masuk pasar kerja, serta jumlah
migran masuk untuk tujuan bekerja. Sementara itu, jumlah kesempatan kerja relatif
stagnan, karena pertumbuhan ekonomi yang belum cukup tinggi, laju investasi asing
belum optimal, dan iklim usaha yang belum kondusif.
Angka kemiskinan di Jabar masih berada dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Dari
39,14 juta jiwa penduduk Jabar, 9,5 juta di antaranya masih tergolong miskin. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 5 juta penduduk miskin itu berada di wilayah pantai utara
(pantura) Jabar. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk di Jabar juga sangat tinggi mencapai
1,1 juta setiap tahunnya. Meski angka pertumbuhan penduduk di Jabar tidak hanya
disebabkan angka kelahiran murni penduduk Jabar sendiri.
Dari angka 1,1 juta/tahun itu, 500.000 merupakan angka pertumbuhan penduduk murni
(kelahiran). Sedangkan 600.000 lainnya merupakan pertumbuhan karena faktor migrasi
(perpindahan penduduk). Beberapa daerah yang penduduknya banyak yang pindah dan
menetap di Jabar, berturut-turut dari yang tertinggi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra
Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan. Jadi, lima provinsi tersebut yang warganya
banyak yang sekarang menetap di Jabar.
Sementara itu, peneliti dari Puslit KP2W Lemlit Unpad Dede Mariana dan Caroline
Paskarina memaparkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) secara kultural yang
tergambar dari proporsi jumlah pekerja laki-laki dan perempuan. Faktor budaya
umumnya menempatkan laki-laki pada posisi kepala rumah tangga dengan tanggung
jawab yang menyertainya, sedangkan perempuan ditempatkan sebagai pengurus rumah
tangga dan alokasi waktunya tidak dipasarkan.
Dengan demikian, TPAK laki-laki akan cenderung lebih tinggi daripada perempuan. Di
Provinsi Jawa Barat, TPAK laki-laki jauh lebih tinggi daripada TPAK perempuan; TPAK
laki-laki 73,58 persen sedangkan TPAK perempuan 33,00 persen.
Ditinjau dari jumlah pengangguran terbuka, masalah yang dihadapi oleh Provinsi Jawa
Barat, antara lain adanya angkatan kerja yang tidak memiliki kualifikasi keterampilan
yang dibutuhkan pasar kerja. Hal ini diindikasikan oleh rendahnya tingkat pendidikan
formal pencari kerja. Data Sakerda tahun 2003 menunjukkan bahwa sekira 24,06 persen
pencari kerja berpendidikan SD ke bawah dan sekira 21,49 persen berpendidikan SLTP.
Hasil kajian Bapeda dan Kantor Statistik Provinsi Jawa Barat (2003) menunjukkan
bahwa secara umum di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa jenis pekerjaan yang
banyak diisi oleh tenaga kerja di Jawa Barat adalah jenis pekerjaan yang berhubungan
langsung dalam proses produksi atau disebut pula blue collar worker. Sementara yang
mengisi pekerjaan profesional (termasuk tenaga pelaksana/administrasi) dimasukkan ke
dalam kelompok white collar worker (pekerja "kantoran"), hanya mencapai 9,80 persen.
KEMISKINAN dan pengangguran merupakan salah satu masalah besar bangsa ini.
Munculnya berbagai kriminalitas tak lepas dari peran besarnya angka pengangguran dan
kemiskinan. Karena itu cukup cepat bila dalam tujuh prioritas rencana kerja pemerintah
(RKP) pemangkasan pengangguran dan kemiskinan menjadi salah satu agendanya. Enam
poin lain yang termaktub dalam RKP adalah meningkatkan kesempatan kerja, investasi,
serta ekspor; revitalisasi pertanian dan perdesaan; meningkatkan aksesibilitas dan kualitas
reformasi birokrasi; memperbaiki kualitas penegakan hukum, dan pemberantasan
korupsi; meningkatkan pemantapan keamanan, ketertiban, dan penyelesaian konflik; dan
terakhir rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah bencana.
Jelas, bukan pekerjaan yang mudah untuk memangkas kemiskinan dan pengangguran,
termasuk di Jabar. Perlu kesungguhan dan kerja keras dari pemerintah untuk
merealisasikannya. Sangat ironis memang, negeri yang kaya sumber daya alam ini dan
bisa memunculkan orang sebagai salah satu manusia terkaya di dunia, tetapi juga
sekaligus memiliki puluhan juta rakyat miskin dan pengangguran.
Penduduk dipandang dari sisi ketenagakerjaan merupakan suplai bagi pasar tenaga kerja
di suatu negara. Namun tidak semua penduduk mampu melakukannya karena hanya
penduduk yang berusia kerjalah yang bisa menawarkan tenaganya di pasar kerja.
Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu yang termasuk angkatan kerja
dan yang termasuk bukan angkatan kerja. Penggolongan usia kerja di Indonesia
mengikuti standar internasional yaitu usia 15 tahun atau lebih.
Angkatan kerja sendiri terdiri dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang
mencari pekerjaan. Mereka yang terakhir itulah yang dinamakan sebagai pengangguran
terbuka. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka
yang masih bersekolah, ibu rumah tangga, pensiunan dan lain-lain.
Pertama kali dipublikasikan di harian Bisnis Indonesia pada 2 September 1993, namun masalah ini masih
sangat relevan dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia dewasa ini. Data sudah disesuaikan dengan
publikasi yang terakhir dari Biro Pusat Statistik.
Tiap tahapan Pelita pada masa Orde Baru, masalah struktural kependudukan dan
perekonomian tetap menjadi kendala utama dalam usaha peningkatan kesempatan
kerja. Karena itu penanganan masalah ini kiranya tetap menjadi perhatian sentral.
Ada beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung mempengaruhi
peningkatan kesempatan kerja.
Meningkatnya tenaga kerja golongan usia muda dan tenaga kerja wanita dalam
pasar kerja turut pula menekan usaha peningkatan kesempatan kerja. Kelompok
tenaga kerja ini muncul sebagai akibat rendahnya tingkat pendapatan.
Kedua, berkaitan dengan penyebaran penduduk antara Pulau Jawa dan di luar
Jawa. Meskipun terdapat tanda-tanda berkurangnya proporsi jumlah penduduk yang
berdiam di Pulau Jawa dibanding dengan luar Jawa, laju pengurangan relatif sangat
kecil sehingga ketimpangan penyebaran penduduk ini masih tetap merupakan
masalah utama. Pada tahun 1961 jumlah penduduk Jawa-Madura mencapai 65
persen dari jumlah penduduk Indonesia, turun persen pada tahun 1971, tahun 1990
sebesar 60 persen dan tahun 1998 menjadi 59 persen. Timpangnya penyebaran
jumlah penduduk ini mengakibatkan terjadinya penyebaran tenaga kerja yang tidak
merata. Sementara Pulau Jawa-Madura kelebihan tenagakerja, wilayah lain masih
memerlukan tenagakerja, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Ketiga, menyangkut kualitas tenaga kerja. Jika kualitas dilihat dari tingkat
pendidikan yang dicapai, faktor ini sungguh memprihatinkan. Pada tahun 1985,
berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, hampir 83 persen angkatan kerja
berpendidikan SD ke bawah, sekitar 15,8 berpendidikan menengah dan 1,2 persen
berpendidikan diploma/universitas. Angka ini menjadi 78.4 persen SD pada tahun
1990, berpendidikan menengah 19.7 persen dan 1.9 persen diploma/universitas.
Pada tahun 1998, angkatan kerja Indonesia mencapai 93 juta orang. Sekitar 63
persen berpendidikan SD ke bawah, sekitar 33 persen menengah dan 4 persen
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
perguruan tinggi. Sebagai perbandingan, angkatan kerja Malaysia pada tahun 1990
sekitar 48 persen berpendidikan SD ke bawah, 48 persen menengah serta 5 persen
diploma/universitas. Dibanding Amerika Serikat, kita masih tertinggal cukup jauh.
Sebanyak 13 persen angkatan kerja pada tahun 1990 berpendidikan SLTA ke bawah,
39 persen SLTA, 21 persen diploma/akademi dan 27 persen sarjana/universitas
(Tabel).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa di satu pihak kebutuhan tenaga kerja terampil
golongan menengah dan keahlian sarjana masih belum teratasi sementara
penawaran kelas tenagakerja tersebut justru berlebih. Besar kemungkinan ini
disebabkan adanya gap yang serius antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Karena
itu sangat mendesak perencaana tenagakerja yang mengaitkan dunia pendidikan
dan pasar kerja.
Masih adanya lowongan kerja yang tidak terisi ini besar kemungkinan disebabkan
dua hal. Pertama, kualitas penawaran tenagakerja tidak sesuai dengan spesifikasi
yang dibutuhkan. Kedua, kurang rapinya lalu lintas informasi permintaan dan
penawaran tenagakerja.
Pada tahun 1985, sektor informal memberi kontribusi terhadap kesempatan kerja 74
persen, pada 1990 berkurang menjadi 71 persen dan pada 1998 sekitar 62 persen.
Pengurangan ini relatif sangat kecil. Artinya sektor informal tetap menjadi
penampung angkatan kerja dominan.
Ada beberapa permasalahan utama dalam sektor informal ini. Pertama menyangkut
kualitas sumberdaya manusia. Pada tahun 1990 87 persen pekerja di sektor
informal berpendidikan SD ke bawah menengah 12,8 persen dan diploma/
universitas 0.2 persen. Lebih baik sedikit pada 1997, berpendidikan SD ke bawah
76,6 persen, menengah sebesar 22,7 persen dan diploma/ universitas dan 0,7
persen.
Hal lain adalah tingkat produktivitas di sektor informal lebih rendah daripada sektor
formal, sehingga pertambahan kesempatan kerja baru di sektor informal tidak dapat
meningkatkan produktivitas. Sebaliknya justru dapat menurunkan tingkat
produktivitas.
Di samping itu, kurangnya dukungan baik dari segi penataan aturan-aturan yang
seringkali merugikan sektor ini, maupun dukungan finansial dalam membuka
peluang perluasan di sektor informal menyebabkan sektor ini kurang berkembang.
Melihat masalah di atas kiranya perlu diupayakan keserasian pengembangan
kerjasama sektor formal dengan informal. Strategi pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada peningkatan kualitas SDM akan banyak membantu pekerja di
sektor informal dalam memperluas pilihan usahanya.
Bila produktivitas pekerja diukur dengan nilai output produksi rata-rata per pekerja,
maka dalam periode 1989-1998, produktivitas pekerja di sektor pertanian rata-rata
0,42 persen per tahun, sedangkan sektor industri 2,38 persen per tahun.
Dilihat dari tingkat pendidikan, periode 1990-98, pekerja di sektor pertanian yang
berpendidikan SD ke bawah berkurang dari 90,0 persen menjadi 84,5 persen, dan
diploma/sarjana naik dari 0,1 menjadi 0,3 persen. Sementara di sektor industri
berpendidikan SD ke bawah berkurang dari 71 persen menjadi 57 persen, dan
diploma/universitas dari 1,4 persen menjadi 2,7 persen.
Tampaknya pekerjaan di sektor pertanian ini tidak begitu menarik bagi tenaga
tenaga terdidik, sehingga tingkat kesempatan kerja dalam sektor ini semakin
menurun dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Artinya sebagian besar
golongan tenaga terdidik memilih menganggur sambil menunggu terbukanya
lapangan pekerjaan yang dikehendaki. Hal ini mengakibatkan tingkat
pengangguran semakin tinggi dengan jenjang pendidikan (diuraikan pada butir
kelima).
Perencanaan Tenagakerja
Mengatasi masalah peningkatan kesempatan kerja ini tidak cukup hanya dengan
instrumen-instrumen kebijakan makro, tetapi juga membutuhkan adanya
perencanaan ketenagakerjaan yang komprehensif dan integral antara struktur pasar
kerja, peningkatan pendidikan dan pelatihan serta instrumen kebijakan di sektor
ekonomi dan keuangan.
pembenahan serius.
Penguasaan dan penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan adalah tidak terelakkan
bila Indonesia berkeinginan sejajar dengan negara-negara maju. Ini hanya mungkin
terwujud jika tenaga memiliki basis kognitif dan skill di bidang teknologi yang
memadai. Karenanya, perencanaan tenaga kerja yang didukung dengan strategi
pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia
menjadi pilihan tepat yang harus dikembangkan.
Tabel