Anda di halaman 1dari 16

Jamaluddin 510 7100 3147

Tenaga Kerja di Pundak SBY


By Armida S. Alisjahbana November 6, 2006

Inilah janji pasangan SBY-JK dalam kampanye pemilu 2004 lalu ; pengangguran
terbuka akan turun dari 9,8 persen (2004) menjadi 5,1 persen (2009). Sebetulnya ini
bukan janji muluk. Pengangguran saat itu hampir dua kali lipat dari tingkat pengangguran
normal yang angkanya sekitar lima persen.

Pertanyaannya, setelah dua tahun memerintah, realistiskah janji itu mengingat


pengangguran terbuka dalam lima tahun terakhir terus meningkat? Badan Pusat Statistik
menyebutkan, sementara pada 2001 pengangguran terbuka masih 8,1 persen, tahun
berikutnya terus membumbung hingga pada 2005 mecapai 10,26 persen.

Memang tingginya pengangguran merupakan ‘warisan’ pemerintah sebelum SBY.


Dalam lima tahun terakhir, angkatan kerja bertambh sekitar 2 juta orang per tahun suatu
yang sejalan dengan pertambahan pendududk usia kerja. Pada 2001, angkatan kerja
masih sekitar 98,8 juta orang. Pada 2005 jumlah itu meningkat menjadi 105,8 juta orang.

Disisi lain, pertumbuhan kesempatan kerja (penduduk bekerja) lebih lambat dari
pertumbuhan angkatan kerja. Akibatnya, pengangguran terbuka terus naik. Setahun
pertama SBY memerintah, pengangguran terbuka mencapai 10,26 persen. Pada 2006 ini
diperkirakan terus melonjak mendekati 11 persen.

Persoalan ketenagakerjaan tidak semata terletak pada tingkat pengangguran


terbuka, namun juga banyaknya angka setengah penagangguran. Setengah pengangguran
didefinisikan sebagai orang yang bekerja tidak penuh (kurang dari 35 jam) dan masih
bersedia menerima pekerjaan tambahan. Juga orang yang bekerja penuh tetapi
memperoleh pendapatan yang sangat rendah, dan orang yang bekerja namun jenis
pekerjaannya tidak sesuai dengan jenis pendidikannya (BPS,2001). Saat ini terdapat lebih
dari 30 persen angkatan kerja setengah menganggur.

Fenomena yang menarik untuk dicermati dari angka setengah penganggur ini
adalah relatif tinggi jumlah setengah pengangguran sukarela dibandingkan dengan tingkat
setengah pengangguran terpaksa. Ini mencerminkan keputusasaan dalam mencari
pekerjaan penuh waktu. Keputusasaan berarti aktivitas mencari pekerjaan penuh waktu
terhenti sehingga, akibatnya, tingkat pengangguran terselubung semakin besar.
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
Disamping angka pengangguran yang terus meningkat, tantangan lain yang
dihadapi pemerintah adalah meningkatnya kesempatan kerja di sektor informal. Adapun
sementara sektor formal stagnan atau terus turun.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, share kesempatan kerja disektor formal
belum beranjak dari kisaran 30 persen terhadap seluruh kesempatan kerja-kondisi yang
berbeda dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Hal ini menunjukkan bahwa di
Indonesia terjadi informalisasi ketenagakerjaan dari sektor yang memiliki produktivitas
tinggi ke sektor produktivitas lebih rendah.

Hal yang terkait dengan fenomena jobless grouth dalam ketenagakerjaan di


Indonesia. Selama lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi meningkat, bahkan
melampaui lima persen pada tahun 2004 dan 2005. Tapi hal ini tidak diikuti denga
npenyerapan kesempatan kerja yang sepadan. Nilai elastisitas kesempatan kerja di
Indonesia sangat rendah, bahkan bernilai negatif untuk sektor industri dan sektor lainnya
pada tahun 2003. Kemampuan sektor industri menyerap kesempatan kerja semakin turun,
sementara sektor pertanian dan sektor jasa dibebani tugas penyerapan kesempatan kerja.

Melihat gambaran di atas, fokus kebijakan penciptaan kesematan kerja Kabinet


Indoensia Bersatu sesungguhnya masih tetap relevan, walaupun dalam dua tahun pertama
pemerintahan, kabinet belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Kebijakan di bidang ketenagakerjaan pemerintah adalah : (i) menciptakan lapangan


kerja formal atau modern seluas-luasnya, dan (ii) memberikan dukungan yang diperlukan
agar pekerja dapat berpindah dari pekerjaaan dengan produktivitas rendah ke pekerjaan
dengan produktivitas tinggi.

Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, dimasa datang diperlukan revitalisasi dan


investasi sektor-sektor ekonomi terpilih. Revitalisasi tersebut tidak hnya pada sektor
pertanian, tetai juga pada industri padat karya, usaha kecil dan menengah, dan industri
berorientasi ekspor. Selain itu, sektor pendidikan formal dan informal termasuk
pelatihan-pelatihan juga perlu mendapat perhatian untuk meningkatkan potensi
penyerapan tenaga kerja di sektor formal dan modern.

Selin investasi, hal yang juga penting diperhatikan adalah regulsai ketenagakerjaan
yang mendukung ketersediaan infrastruktur, dan skema pemberian kredit yang memadai.
Khusus untuk regulasi dibidang ketenagakerjaan, dibutuhkan regulasi ketenagakerjaan
yang seimbang sehingga kebijakan tersebut memfasilitasi penciptaan kesempatan kerja,
khususnya disetor formal.
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
Salah satu hal utama regulasi ketenagakerjaan yang perlu mendapat perhatian
adalah ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon, serta hak-hak
pekerja. Sejak dikelurkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.150/2000 hingga
Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003, hal-hal yang terkait dengan PHK dan
uang pesangon menjadi sangat krusial. Uang pesangon, misalnya, meningkat berlipat-
lipat hingga dari segi rate, Indonesia menjad salah satu yang tertinggi di Asia.

Disamping itu, upah minimum regiolan (UMR) yang terus meningkat juga turut
mempengaruhi tingginya uang pesangon. Hal lain adalah belum adanya mekanisme
pencadangan dana pesangon dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Akibat dari ketentuan ketenagakerjaan tersebut, perusahaan disektor formal


cenderung berhati-hati dalam merekrut pekerja baru. Perusaan juga cenderung tidak
melakukan PHK terhadap pekerja yang telah lama bekerja. Dan jika terpaksa melakukan
PHK pun, yang rentan terkena adalah pekerja muda dan perempuan (LP3E FE
Unpad,2004). Meskipun aturan pekerja kontrak dan outsourcing diperketat, perusahaan
disektor formal juga cenderung mencari celah untuk tetap memanfaatkan pekerja kontrak
dan outsourcing.

Dengan tidak adanya skema dana pencadangan pesangon, pengusaha dan pekerja
tidak diwajibkan menyisihkan dana atau memberikan kontribusi terhadap suatu skema
dana pesangon. Hal ini menyulitkan dan membebani perusahaan apabil harus melakukan
PHK, terutama PHK karena alasan ekonomi.

Dampak lain dari peraturan ketenagakerjaan tersebut adalah meningkatkany


sengketa (dispute) antara pengusaha dan pekerja. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan
No.13/2003, dalam hal PHK karena mengundurkan diri (voluntary quit), pekerja tidak
berhak mendapatkan pesangon. Hal ini mendorong pekerja melakukan kesalahan kecil
(minor vioation) agar dipecat sehingga tetap mendapatkan pesangon.

Karena itu, diperlukan peraturan yang mendukung untuk mengurangi pengangguran


terbuka sekaligus menciptakan kesempatan kerja di sekot formal. Tujuannya untuk
mendukung semakin banyaknya tenaga kerja yang semula bekerja di sektor informal
untuk bekerja di sektor yang lebih produktif dan memberikan kesejahteraan yang lebih
tinggi.

Lepas dari perlu atau tidaknya revisi terhadap UU Ketenagakjeraan, hal yang paling
mendesak adalah mencari solusi terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh peraturan
uang pesangon. Solusi yang patut dipertimbangkan adalah pembrelakuan dana
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
pencadangan uang pesangon. Perusahaan dan pekerja perlu bersama-sama berkontribusi
terdapat dana tersebut selama pekerja bekerja, sehingga menjamin pekerja memperoleh
kempensasi, terlepas dari kondisi perusahaan saat PHK dilakukan.

Besarnya kontribusi dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan


pengusaha. Komponen komponen yang masuk dalam dana cadangan uang pesangon
ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ketentuan semacam ini telah secara
sukses diterapkan dibanyak negara, diantaranya di beberapa negara Amerika Latin.
Indonesia dapa mengambil pelajran yang berharga dari pengalaman tersebut.

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147

Ironi 60 Tahun Kemerdekaan Indonesia


SIANG itu, wajah Kang Asep menampakkan kelelahan. Jaket kulit kumal yang
membungkus badannya dari terjangan angin ketika naik sepeda motor tuanya segera
dilepas.

"Gelo ngan meunang lima puluh opat rebu, maenya gaji sabulan ngan sakieu? (Gila,
cuma dapat Rp 54. 000, masa gaji satu bulan cuma segini?)," ujarnya sambil
memperlihatkan upah yang diterimanya dari hasil kerjanya sebulan mendata para
penunggak rekening listrik.

Orang-orang seperti Kang Asep bahkan mungkin lebih parah keadaannya dari Kang Asep
merupakan kondisi tak terbantahkan dalam kehidupan di tengah masyarakat. Kemiskinan
dan pengangguran menjadi warna lain dari perayaan HUT Republik Indonesia yang ke-
60 ini.

Pencapaian usia 60 tahun, bagi seorang manusia lebih menggambarkan sosok yang mulai
senja dan sudah mendapatkan kemapanan. Namun tentu saja, sosok demikian tidak bisa
diparalelkan dengan usia sebuah bangsa dihitung dari awal proklamasi kemerdekaannya.
Tapi, usia menginjak 60 tahun, juga bukan masa yang singkat untuk bisa mengukur dan
mengevaluasi keberhasilan dan kemajuan apa saja yang sudah dicapai bangsa tersebut.

Melihat fakta riil kehidupan sosial berbangsa di negeri ini, sulit untuk tidak mengakui
bahwa masih banyak ketimpangan dan persoalan pelik yang tetap saja menggerogoti
kehidupan bangsa ini. Baik itu dari aspek sosial politik, ekonomi, keamanan, dan aspek
kehidupan lainnya.

Yang paling kentara dalam keseharian masyarakat, kita melihat jurang kesenjangan yang
semakin lebar antara kota dan desa, si kaya dan si miskin, dan antara si penguasa dan
rakyat jelata. Bahkan, sejatinya hal itu sudah menjadi fenomena sejak lima belas tahun
pertama pascakemerdekaan. Ironisnya, kini setelah hampir enam dekade
pascakemerdekaan, kesenjangan itu bukan semakin menyempit justru tidak pernah ada
perubahan. Untuk tidak mengatakan makin melebar.

Bahkan kalau melihat indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM) tahun 2002 menunjukkan bahwa Indonesia lebih unggul dari
Vietnam hanya pada tingkat pendapatan, akses terhadap air bersih dan kecukupan gizi
balita, sedangkan tingkat pendidikan dan kesehatan berada sedikit di bawah Vietnam.

Indonesia juga mempunyai masalah ketimpangan gender yang relatif lebih besar
dibanding Thailand dan Filipina. Apalagi bila kita bandingkan dengan negara tetangga
lain seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, IPM Indonesia pada tahun 2002 masih lebih
rendah dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) masih lebih tinggi dibanding negara-
negara tersebut.

**

PUN demikian tatkala kita mencermati kondisi riil Jabar. Pada satu sisi, kenyataan
sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia (39,14 juta jiwa
berdasarkan Suseda Jabar 2004), memang menjadi potensi sumber daya manusia (SDM)
yang bisa diharapkan berperan aktif dalam berbagai program penyejahteraan rakyat.
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147
Bahkan, dibandingkan dengan populasi penduduk di Indonesia, kontribusi Jawa Barat
mencapai hampir seperlima dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Namun, ketika
potensi tersebut tidak termanfaatkan dan dikelola dengan maksimal, sebaliknya potensi
itu justru bakal menjadi ancaman (threat) bagi permasalahan ketenagakerjaan dan
kependudukan secara umum.

Secara nasional, angka pengangguran di negeri ini memang sangat tinggi. Permasalahan
ini merupakan bom waktu bila tidak diselesaikan segera. Jumlah angkatan kerja di
Indonesia pada 2000 diperkirakan mencapai 96 juta orang. Pada 2001 jumlah penganggur
mencapai 40,2 juta orang terdiri atas pengangguran terbuka dan setengah penganggur.
Angka ini akan terus membengkak sampai 2004. Kondisi ini diperparah dengan
meningkatnya angka putus sekolah yang mencapai 1,7 juta orang.

Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 3,3 persen tahun 2002 dan 3 persen pada 2003
sampai 2004, maka total pengangguran mencapai 42 juta orang (40,1 persen) pada 2002
kemudian meningkat menjadi 43,6 juta (43,6 persen) pada 2003 dan mencapai 45,2 juta
orang (42,5 persen) pada tahun 2004. (Ditjen Mobduk, Dep. Nakertrans dan LPM
Padjadjaran, 2002)

Angka penduduk miskin tidak kalah besarnya dengan angka pengangguran. Sejak
dilaksanakannya pembangunan nasional, jumlah penduduk miskin periode 1976-1996
turun secara nyata (signifikan). Pada 1976 jumlah penduduk miskin sekira 54,2 juta orang
atau (42.1 persen) berkurang menjadi 40.6 juta orang (26.9 persen) pada tahun 1981.
Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin berkurang lagi menjadi 27,2 juta orang (15.1
persen) dan menjadi sejumlah 22,5 juta orang (11,3 persen) pada tahun 1996.

Karena adanya krisis multidimensi sejak pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk
miskin meningkat kembali menjadi 49,5 juta orang (24,23 persen) dari seluruh penduduk
Indonesia. Persebaran penduduk miskin tersebut, yaitu 17,6 juta orang (21,92 persen)
berada di perkotaan dan sejumlah 31,9 juta orang (24,23 persen) berada di perdesaan.

Persebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih dari 59 persen
berada di Pulau Jawa dan Bali, 16 persen di Pulau Sumatra dan 25 persen berada di Pulau
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. (Sekretariat Komite
Penanggulangan Kemiskinan, 2002)

**

PARALEL dengan persoalan demografi dalam konteks nasional, Jabar menjadi


representasi nyata dari persoalan pelik tersebut. Masalah pengangguran serta kemiskinan
di Jabar menjadi masalah laten yang siap membawa dampak kependudukan yang sangat
fatal, bila tidak disertai langkah nyata menyelesaikannya.

Pada diskusi yang dilakukan beberapa waktu lalu, teridentifikasi beberapa persoalan
ketenagakerjaan di Jabar. Berdasarkan data survei angkatan kerja daerah (Sakerda) Jawa
Barat tahun 2000, tingkat pengangguran di Jawa Barat adalah 8,03 persen dari jumlah
angkatan kerja dengan jumlah pengangguran terbuka mencapai 1,15 juta jiwa. Jumlah
angkatan kerja yang terserap hanya sebesar 14 juta jiwa. Sementara itu, pada 2003
mengalami peningkatan menjadi 9,24 persen atau sekira 1.513.511 jiwa.

Jumlah ini meningkat cukup drastis karena berdasarkan survei sosial ekonomi daerah
(Suseda) Jawa Barat 2004, tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat adalah 12,25
persen dari jumlah angkatan kerja atau sekira 2.037.746 jiwa. Jumlah angkatan kerja
yang terserap hanya sebesar 14 juta jiwa; padahal target yang ingin dicapai pada tahun

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147
2008 adalah penurunan tingkat pengangguran terbuka sampai sebesar 6,577,5 persen.
Menurut Suseda Jabar tahun 2004, jumlah penduduk Jawa Barat adalah 39,14 juta jiwa.

Selama ini upaya penanganan pengangguran telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dengan melibatkan dinas, badan, dan lembaga terkait. Namun, hasilnya belum
maksimal karena masih menghadapi sejumlah penghambat, antara lain faktor
pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang relatif tinggi, yang disebabkan oleh jumlah
penduduk usia sekolah yang putus sekolah dan terpaksa masuk pasar kerja, serta jumlah
migran masuk untuk tujuan bekerja. Sementara itu, jumlah kesempatan kerja relatif
stagnan, karena pertumbuhan ekonomi yang belum cukup tinggi, laju investasi asing
belum optimal, dan iklim usaha yang belum kondusif.

Gubernur Danny Setiawan dalam beberapa kesempatan mengakui kemampuan pemda


dalam penanggulangan pengangguran ini masih terbatas. "Untuk itu, kami mencanangkan
program yang sekaligus memanfaatkan keberadaan pelaku ekonomi di Jabar untuk
mengatasi masalah pengangguran ini," katanya.

Angka kemiskinan di Jabar masih berada dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Dari
39,14 juta jiwa penduduk Jabar, 9,5 juta di antaranya masih tergolong miskin. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 5 juta penduduk miskin itu berada di wilayah pantai utara
(pantura) Jabar. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk di Jabar juga sangat tinggi mencapai
1,1 juta setiap tahunnya. Meski angka pertumbuhan penduduk di Jabar tidak hanya
disebabkan angka kelahiran murni penduduk Jabar sendiri.

Dari angka 1,1 juta/tahun itu, 500.000 merupakan angka pertumbuhan penduduk murni
(kelahiran). Sedangkan 600.000 lainnya merupakan pertumbuhan karena faktor migrasi
(perpindahan penduduk). Beberapa daerah yang penduduknya banyak yang pindah dan
menetap di Jabar, berturut-turut dari yang tertinggi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra
Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan. Jadi, lima provinsi tersebut yang warganya
banyak yang sekarang menetap di Jabar.

Sementara itu, peneliti dari Puslit KP2W Lemlit Unpad Dede Mariana dan Caroline
Paskarina memaparkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) secara kultural yang
tergambar dari proporsi jumlah pekerja laki-laki dan perempuan. Faktor budaya
umumnya menempatkan laki-laki pada posisi kepala rumah tangga dengan tanggung
jawab yang menyertainya, sedangkan perempuan ditempatkan sebagai pengurus rumah
tangga dan alokasi waktunya tidak dipasarkan.

Dengan demikian, TPAK laki-laki akan cenderung lebih tinggi daripada perempuan. Di
Provinsi Jawa Barat, TPAK laki-laki jauh lebih tinggi daripada TPAK perempuan; TPAK
laki-laki 73,58 persen sedangkan TPAK perempuan 33,00 persen.

Ditinjau dari jumlah pengangguran terbuka, masalah yang dihadapi oleh Provinsi Jawa
Barat, antara lain adanya angkatan kerja yang tidak memiliki kualifikasi keterampilan
yang dibutuhkan pasar kerja. Hal ini diindikasikan oleh rendahnya tingkat pendidikan
formal pencari kerja. Data Sakerda tahun 2003 menunjukkan bahwa sekira 24,06 persen
pencari kerja berpendidikan SD ke bawah dan sekira 21,49 persen berpendidikan SLTP.

Hasil kajian Bapeda dan Kantor Statistik Provinsi Jawa Barat (2003) menunjukkan
bahwa secara umum di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa jenis pekerjaan yang
banyak diisi oleh tenaga kerja di Jawa Barat adalah jenis pekerjaan yang berhubungan
langsung dalam proses produksi atau disebut pula blue collar worker. Sementara yang
mengisi pekerjaan profesional (termasuk tenaga pelaksana/administrasi) dimasukkan ke
dalam kelompok white collar worker (pekerja "kantoran"), hanya mencapai 9,80 persen.

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147
** 

KEMISKINAN dan pengangguran merupakan salah satu masalah besar bangsa ini.
Munculnya berbagai kriminalitas tak lepas dari peran besarnya angka pengangguran dan
kemiskinan. Karena itu cukup cepat bila dalam tujuh prioritas rencana kerja pemerintah
(RKP) pemangkasan pengangguran dan kemiskinan menjadi salah satu agendanya. Enam
poin lain yang termaktub dalam RKP adalah meningkatkan kesempatan kerja, investasi,
serta ekspor; revitalisasi pertanian dan perdesaan; meningkatkan aksesibilitas dan kualitas
reformasi birokrasi; memperbaiki kualitas penegakan hukum, dan pemberantasan
korupsi; meningkatkan pemantapan keamanan, ketertiban, dan penyelesaian konflik; dan
terakhir rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah bencana.

Jelas, bukan pekerjaan yang mudah untuk memangkas kemiskinan dan pengangguran,
termasuk di Jabar. Perlu kesungguhan dan kerja keras dari pemerintah untuk
merealisasikannya. Sangat ironis memang, negeri yang kaya sumber daya alam ini dan
bisa memunculkan orang sebagai salah satu manusia terkaya di dunia, tetapi juga
sekaligus memiliki puluhan juta rakyat miskin dan pengangguran.

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147

Penduduk dipandang dari sisi ketenagakerjaan merupakan suplai bagi pasar tenaga kerja
di suatu negara. Namun tidak semua penduduk mampu melakukannya karena hanya
penduduk yang berusia kerjalah yang bisa menawarkan tenaganya di pasar kerja.
Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu yang termasuk angkatan kerja
dan yang termasuk bukan angkatan kerja. Penggolongan usia kerja di Indonesia
mengikuti standar internasional yaitu usia 15 tahun atau lebih.

Angkatan kerja sendiri terdiri dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang
mencari pekerjaan. Mereka yang terakhir itulah yang dinamakan sebagai pengangguran
terbuka. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka
yang masih bersekolah, ibu rumah tangga, pensiunan dan lain-lain.

Pembahasan mengenai ketenagakerjaan ini menarik karena beberapa alasan.  Pertama,


kita dapat melihat berapa besar jumlah penduduk yang bekerja. Kedua, kita dapat
mengetahui jumlah pengangguran dan pencari kerja. Ketiga, apabila dilihat dari segi
pendidikan maka hal ini akan mencerminkan kualitas tenaga kerja. Keempat, dilihat dari
statusnya dapat terlihat berapa jumlah penduduk, yang bekerja di sektor formal yang
jaminan sosialnya baik, dan berapa yang bekerja di sektor informal. Kelima, pengetahuan
tentang karakteristik dan kualitas tenaga kerja akan berguna sebagai dasar pengembangan
kebijakan ketenagakerjaan, terutama pengembangan kesempatan kerja dan peningkatan
kualitas SDM yang akan dapat meminimalkan jumlah pengangguran di suatu negara. Hal
ini penting karena tingginya angka pengangguran akan menimbulkan konsekuensi negatif
bagi masyarakat misalnya meningkatnya kriminalitas.

Terkait dengan hal ini, diperlukan indikator-indikator yang mampu menggambarkan


keadaan angkatan kerja dan tenaga kerja untuk selanjutnya dijabarkan sebagai dasar
penentuan arah kebijakan ketenagakerjaan. Indikator-indikator ini antara lain tenaga
kerja, angka partisipasi angkatan kerja (APAK) menurut kelompok umur , tingkat
pengangguran terbuka, tingkat setengah pengangguran, APAK menurut lapangan usaha,
APAK menurut status pekerjaan dan APAK menurut tingkat pendidikan. Dari besaran
indikator-indikator tersebut dapat diketahui keadaan ketegakerjaan saat ini dan hal apa
saja yang memerlukan perbaikan di masa depan.

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147

Masalah Struktural Peningkatan Kesempatan Kerja

Pertama kali dipublikasikan di harian Bisnis Indonesia pada 2 September 1993, namun masalah ini masih
sangat relevan dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia dewasa ini. Data sudah disesuaikan dengan
publikasi yang terakhir dari Biro Pusat Statistik. 

JAKARTA: Berbagai masalah dihadapi dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja,


terutama berkaitan erat dengan permasalahan struktural dan konjungtural
perekonomian Indonesia. Masalah struktural mempengaruhi peningkatan
kesempatan kerja dari sisi penawaran, karena berkaitan dengan kuantitas dan
kualitas tenaga kerja. Adanya fluktuasi di sekitar pertumbuhan ekonomi karena
situasi perekonomian secara makro mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi
permintaan.

Tiap tahapan Pelita pada masa Orde Baru, masalah struktural kependudukan dan
perekonomian tetap menjadi kendala utama dalam usaha peningkatan kesempatan
kerja. Karena itu penanganan masalah ini kiranya tetap menjadi perhatian sentral.
Ada beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung mempengaruhi
peningkatan kesempatan kerja.  

Pertama, menyangkut kebijaksanaan kependudukan. Di satu sisi program Keluarga


Berencana dan berbagai program yang ditujukan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk terbukti telah berhasil. Pada periode 1971-90, pertumbuhan penduduk di
Indonesia mencapai 2,3 persen per tahun.  Pada periode 1990-95, angka tersebut
menurun menjadi 1,7 persen per tahun.

Keberhasilan menekan laju pertumbuhan tersebut membawa peningkatan dalam


jumlah penduduk usia produktif. Jika tahun 1985 jumlah penduduk yang berusia
antara 15-60 tahun berjumlah 90 juta, tahun 1998 menjadi 102 juta orang (naik
13,33  persen), dan pada akhir PELITA VI, 1998, berjumlah lebih dari 124 juta orang
(naik 21,56 persen).1

Meningkatnya tenaga kerja golongan usia muda  dan tenaga kerja wanita dalam
pasar kerja turut pula menekan usaha peningkatan kesempatan kerja.  Kelompok
tenaga kerja ini muncul sebagai akibat rendahnya tingkat pendapatan.

Kedua, berkaitan  dengan penyebaran penduduk antara Pulau Jawa dan di luar
Jawa.  Meskipun terdapat tanda-tanda berkurangnya proporsi jumlah penduduk yang
berdiam di Pulau Jawa dibanding dengan luar Jawa, laju pengurangan relatif sangat
kecil sehingga ketimpangan penyebaran penduduk ini masih tetap merupakan
masalah utama. Pada tahun 1961 jumlah penduduk Jawa-Madura mencapai 65
persen dari jumlah  penduduk Indonesia, turun persen pada tahun 1971, tahun 1990
sebesar 60 persen dan tahun 1998 menjadi 59 persen.  Timpangnya penyebaran
jumlah penduduk ini mengakibatkan terjadinya penyebaran tenaga kerja yang tidak
merata.  Sementara Pulau Jawa-Madura kelebihan tenagakerja, wilayah lain masih
memerlukan tenagakerja, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.  

Ketiga, menyangkut kualitas tenaga kerja.  Jika kualitas dilihat dari tingkat
pendidikan yang dicapai, faktor ini sungguh memprihatinkan.  Pada tahun 1985,
berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, hampir 83 persen angkatan kerja
berpendidikan SD ke bawah, sekitar 15,8 berpendidikan menengah dan 1,2 persen
berpendidikan diploma/universitas.  Angka ini menjadi 78.4 persen SD pada tahun
1990, berpendidikan menengah 19.7 persen dan 1.9 persen diploma/universitas.

Pada tahun 1998, angkatan kerja Indonesia mencapai 93 juta orang.  Sekitar 63
persen berpendidikan SD ke bawah,  sekitar 33 persen menengah dan 4 persen
Tugas Pengantar Ekonomi Makro
Jamaluddin 510 7100 3147

perguruan tinggi.  Sebagai perbandingan, angkatan kerja Malaysia pada tahun 1990
sekitar 48 persen berpendidikan SD ke bawah, 48 persen menengah serta 5 persen
diploma/universitas.  Dibanding Amerika Serikat, kita masih tertinggal cukup jauh. 
Sebanyak 13 persen angkatan kerja pada tahun 1990 berpendidikan SLTA ke bawah,
39 persen SLTA, 21 persen diploma/akademi dan 27 persen sarjana/universitas
(Tabel).

Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan di Indonesia memang terus meningkat,


tetapi secara persentase masih sekitar 10 persen, lebih kecil dibanding dengan
negara industri baru seperti Malaysia dan Korea Selatan yang alokasi anggaran
pendidikannya rata-rata mencapai 20 persen.  Demikian pula dari sudut GNP,
periode 1968-1993, pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan ternyata
secara rata-rata di bawah 2.5 persen, dibandingkan Malaysia dan Singapura masing-
masing 10 persen dan 5 persen.

Keempat, berkaitan dengan adanya kesenjangan antara program pendidikan dengan


arah pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya pendidikan
semakin kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Tingkat pengangguran SLTA
umum sekitar 18 persen, pada tahun 1985, disusul SLTA kejuruan 10 persen dan
sarjana 9 persen. Pada tahun 1990, tingkat pengangguran sarjana paling tinggi 10
persen setelah SLTA umum 14 persen. Menjelang milenium baru tahun 1998, tingkat
pengangguran angkatan kerja berpendidikan diploma dan universitas mencapai 12
persen.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa di satu pihak kebutuhan tenaga kerja terampil
golongan menengah dan keahlian sarjana masih belum teratasi sementara
penawaran kelas tenagakerja tersebut justru berlebih. Besar kemungkinan ini
disebabkan adanya gap yang serius antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Karena
itu sangat mendesak  perencaana tenagakerja yang mengaitkan dunia pendidikan
dan pasar kerja.

Kelima, kurang berkembangnya informasi pasar tenagakerja sehingga menimbulkan


kesenjangan permintaan dan penawaran tenagakerja.  Berdasarkan data Sub
Direktorat Informasi Pasar Kerja Departemen Tenaga Kerja, tahun 1985 sebanyak
23.35 persen lowongan kerja tidak terisi.  Tahun 1990, angka ini membengkak
sampai 27.14 persen dan tahun 1997 mencapai 17 persen.

Masih adanya lowongan kerja yang tidak terisi ini besar kemungkinan disebabkan
dua hal. Pertama, kualitas penawaran tenagakerja tidak sesuai dengan spesifikasi
yang dibutuhkan. Kedua, kurang rapinya lalu lintas informasi permintaan dan
penawaran tenagakerja.

Keenam, menyangkut perkembangan di sektor formal dan informal.  Bagaimanapun


juga eksistensi sektor informal tidak dapat diabaikan, bahkan dalam kelesuan
ekonomi sektor informal berfungsi sebagai  "katup pengaman" menampung ledakan
penduduk yang masuk pasar kerja.  Sektor informal telah memberikan kontribusi
yang cukup besar terhadap pembangunan ekonomi nasional. 

Pada tahun 1985, sektor informal memberi kontribusi terhadap kesempatan kerja 74
persen, pada 1990 berkurang menjadi 71 persen dan pada 1998 sekitar 62 persen.
Pengurangan ini relatif sangat kecil.  Artinya sektor informal tetap menjadi
penampung angkatan kerja dominan.

Ada beberapa permasalahan utama dalam sektor informal ini. Pertama menyangkut
kualitas sumberdaya manusia.  Pada tahun 1990 87 persen pekerja di sektor
informal berpendidikan SD ke bawah menengah 12,8 persen dan diploma/
universitas 0.2 persen. Lebih baik sedikit pada 1997, berpendidikan SD ke bawah
76,6 persen,  menengah sebesar 22,7 persen dan diploma/ universitas dan 0,7
persen.

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147

Hal lain adalah tingkat produktivitas di sektor informal lebih rendah daripada sektor
formal, sehingga pertambahan kesempatan kerja baru di sektor informal tidak dapat
meningkatkan produktivitas.  Sebaliknya justru dapat menurunkan tingkat
produktivitas. 

Di samping itu, kurangnya dukungan baik dari segi penataan aturan-aturan yang
seringkali merugikan sektor ini, maupun dukungan finansial dalam membuka
peluang perluasan di sektor informal menyebabkan sektor ini kurang berkembang.
Melihat masalah  di atas kiranya perlu diupayakan keserasian pengembangan
kerjasama sektor formal dengan informal.  Strategi pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada peningkatan kualitas SDM akan banyak membantu pekerja di
sektor informal dalam memperluas pilihan usahanya.

Ketujuh, berkaitan dengan perkembangan di sektor pertanian  dan industri. 


Memasuki milenium ke-3, sektor pertanian meskipun pangsanya dalam total
perekonomian dari tahun  ke tahun mengecil, namun masih merupakan sektor
penting. Pada  tahun 1990, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) mencapai 20 persen dan menyerap 56 persen tenaga kerja. Sementara
sektor industri yang menyumbang 20 persen terhadap PDB hanya menyerap 10
persen tenaga kerja. Perubahan struktural yang terjadi pada 1998, sektor  pertanian
memberikan kontribusi 18,8 persen  terhadap PDB dan menyerap 45 persen tenaga
kerja, sedangkan sektor  industri  hanya menyerap 11 persen tenaga kerja dan
menyumbang 26,2 persen terhadap PDB.

Bila produktivitas pekerja diukur dengan nilai output produksi rata-rata per pekerja,
maka dalam periode 1989-1998, produktivitas pekerja di sektor pertanian rata-rata
0,42 persen per tahun, sedangkan sektor industri 2,38 persen per tahun. 

Dilihat dari tingkat pendidikan, periode 1990-98, pekerja di sektor pertanian yang
berpendidikan SD ke bawah berkurang dari 90,0 persen menjadi 84,5 persen, dan
diploma/sarjana naik dari 0,1 menjadi 0,3 persen.  Sementara di sektor industri
berpendidikan SD ke bawah berkurang dari 71 persen menjadi 57 persen, dan
diploma/universitas dari 1,4 persen menjadi 2,7 persen.  

Tampaknya  pekerjaan di sektor pertanian ini tidak begitu menarik bagi tenaga
tenaga terdidik, sehingga tingkat kesempatan kerja dalam sektor ini semakin
menurun dengan meningkatnya jenjang pendidikan.  Artinya sebagian besar
golongan tenaga terdidik memilih menganggur sambil menunggu terbukanya
lapangan  pekerjaan yang dikehendaki.  Hal  ini mengakibatkan tingkat
pengangguran semakin tinggi dengan jenjang pendidikan (diuraikan pada butir
kelima).

Perencanaan Tenagakerja

Mengatasi masalah peningkatan kesempatan kerja ini tidak cukup hanya dengan
instrumen-instrumen kebijakan makro, tetapi juga membutuhkan adanya
perencanaan ketenagakerjaan yang komprehensif dan integral antara struktur pasar
kerja, peningkatan pendidikan dan pelatihan serta instrumen kebijakan di sektor
ekonomi dan keuangan.

Pada dasarnya perencanaan tenaga kerja mengandung dua penekanan.  Di satu


pihak, memuat perkiraan kebutuhan tenaga kerja untuk  berbagai sektor, waktu
dan keahlian tertentu.  Di pihak lain, memuat strategi, cara dan langkah-langkah
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, baik melalui sistim pendidikan maupun melalui
program-program latihan.

Manakala kita amati secara cermat kondisi ketenagakerjaan Indonesia, maka


memasuki abad ke-21, masalah-masalah struktural yang menjadi kendala utama
dalam upaya peningkatan kesempatan kerja berkisar pada kuantitas dan kualitas
angkatan kerja. Khususnya dimensi kualitas, tampaknya perlu  mendapat

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147

pembenahan serius. 

Penguasaan dan penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan adalah tidak terelakkan
bila Indonesia berkeinginan sejajar dengan negara-negara maju.  Ini hanya mungkin
terwujud jika tenaga memiliki basis kognitif dan skill di bidang teknologi yang
memadai.  Karenanya, perencanaan tenaga kerja yang didukung dengan strategi
pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia
menjadi pilihan tepat yang harus dikembangkan.

Tabel

Persentase Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Indonesia Malaysia AS

  1985 1990 1998 1990 1990

SD ke bawah 82,9 78,4 63,2 70,0

SLTP 8,0 9,6 14,2 11,2

SLTA 7,8 10,2 18,4 48,3 39,4

Akademi 0,8 1,1 2,0

Universitas 0,5 0,7 2,2 5,2 26,5

   Sumber: Biro Pusat Statistik, berbagai terbitan.

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147

Analisis Pendapatan dan Belanja Negara, Investasi dan Tabungan


Nasional Bruto, 1998 – 2002

I. Analisis keuangan pemerintah biasanya mencakup 4 aspek sebagai berikut,


yaitu :
1. Operasi keuangan pemerintah dalam hubungan dengan defisit / surplus
anggaran dan sumber-sumber pembiayaannya
2. Dampak operasi keuangan pemerintah terhadap kegiatan sektor riil
melalui pengaruhnya terhadap Pengeluaran Konsumsi dan Pembentukan
Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) pemerintah
3. Dampak rupiah operasi keuangan pemerintah atau pengaruh operasi
keuangan pemerintah terhadap ekspansi bersih pada jumlah uang yang
beredar
4. Dampak Valuta Asing operasi keuangan pemerintah atau pengaruh operasi
keuangan pemerintah terhadap aliran devisa masuk bersih
Selama periode 1998/99 – 2002, operasi keuangan pemerintah telah
menyebabkan terjadinya defisit anggaran sebagai berikut : Rp. 16,20 triliun
(1,59 % PDB) pada tahun 1998/99; Rp. 44,06 triliun (3,88 % PDB) tahun
1999/2000; Rp. 16,13 triliun (1,66 % PDB) April – Desember 2000; Rp. 40,48
triliun (2,79 % PDB) tahun 2001; dan Rp. 27,68 triliun (1,72 % PDB)
perkiraan realisasi tahun 2002. Dalam periode 1998/99 – April – Desember
2002 bagian terbesar sumber pembiayaan defisit berasal dari luar negeri,
sedangkan untuk tahun 2001 dan 2002 sumber pembiayaan defisit yang
berasal dari dalam negeri lebih besar daripada yang berasal dari dalam
negeri. Tegasnya, sumber pembiayaan netto dari luar negeri pada tahun 2001
dan 2002 adalah masing-masing Rp. 10,27 triliun (0,71 % PDB) dan Rp. 7,12
triliun (0,44 % PDB) [lihat tabel I.3; I.3.1, dan II.1].

Adapun komponen Konsumsi Pemerintah dalam stimulus fiskal sejak tahun


2001 terdiri dari : (1) belanja pegawai dalam negeri; (2) belanja barang
dalam negeri; (3) sebagian besar dari Dana Alokasi Umum; (4) Dana Alokasi
Khusus dan Penyeimbang; dan (5) pengeluaran rutin lainnya. Sementara itu,
komposisi Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) pemerintah
terdiri dari : (1) pengeluaran pembangunan yang dikelola pemerintah pusat
(Pembelanjaan dalam Rupiah dan Pinjaman Proyek); (2) sebagian dari Dana
Alokasi Umum; dan (3) seluruh Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus.
Tampaknya baik untuk tahun 2001 maupun tahun 2002 telah diasumsikan

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147
bahwa 19,6 % dari Dana Alokasi Umum dikeluarkan sebagai pengeluaran
pembangunan oleh daerah. Sebagai konsekuensinya, jumlah pengeluaran
untuk PMTDB pemerintah pada tahun 2001 dan 2002 diperkirakan masing-
masing sebesar Rp. 74,11 triliun (5.11 % PDB) dan Rp. 79,44 triliun (4.93%
PDB) Sementara itu yang dikelola oleh pemerintah pusat pada tahun tersebut
adalah masing-masing Rp. 41,58 triliun ( 2.86 % PDB) dan Rp. 40,27 triliun
( 2.50 % PDB) [lihat tabel II.2].

Jumlah stimulus fiskal, termasuk komponen Konsumsi Pemerintah , telah


berkembang dari Rp. 176,98 triliun ( 12.21 % PDB) pada tahun 2001 menjadi
Rp. 196,49 triliun ( 12.21 % PDB) pada tahun 2002 [lihat tabel II.2].

Komponen penerimaan rupiah dalam dampak rupiah keuangan pemerintah


terdiri dari : (1) pajak (migas dan bukan migas); (2) penerimaan negara
bukan pajak; (3) privatisasi; (4) penjualan asset program restrukturisasi
perbankan; dan (5) penjualan obligasi pemerintah. Sementara itu komponen
pengeluaran rupiah terdiri dari : (1) operasional (belanja pegawai DN,
subsidi, bunga utang DN, dan pengeluaran rutin lainnya); (2) investasi; dan
(3) Dana Perimbangan. Pada tahun 2001 operasi keuangan pemerintah
dalam rupiah diperkirakan telah menimbulkan dampak ekspansi bersih
sebesar Rp. 32,17 triliun ( 2.22 % PDB), sedangkan pada tahun 2002 hanya
sebesar Rp. 19,54 triliun (1.21 % PDB) [lihat tabel II.3].

Komponen dampak valuta asing keuangan pemerintah dalam transaksi


berjalan pada neraca perdagangan adalah ekspor migas dan impor yang
berasal dari pinjaman proyek, sedangkan pada neraca jasa terdiri dari : (1)
pembayaran bunga utang luar negeri; (2) belanja pegawai luar negeri; (3)
belanja barang luar negeri; (4) penerimaan PPH bukan migas; dan (5) hibah.
Sementara itu komponen dalam pemasukan modal netto pemerintah terdiri
dari : (1) penarikan utang luar negeri; (2) pembayaran cicilan pokok utang
luar negeri; (3) privatisasi; dan (4) penjualan asset program restrukturisasi
perbankan. Diperkirakan besarnya dampak valuta asing keuangan pemerintah
pada tahun 2001 dan 2002 masing-masing adalah sebesar Rp. 33,40 triliun
( 2.30 % PDB) dan Rp. 24,25 triliun (1.51 % PDB) [lihat tabel II.4].

Memperhatikan bahwa aliran devisa masuk bersih sektor pemerintah baik


pada tahun 2001 maupun tahun 2002 yang lebih besar dari ekspansi rupiah

Tugas Pengantar Ekonomi Makro


Jamaluddin 510 7100 3147
bersih, maka telah memungkinkan Bank Indonesia untuk menyerap seluruh
ekspansi rupiah bersih tersebut melalui sterilisasi valuta asing.

II. Analisis Investasi dan Tabungan Nasional Bruto


1. Tampaknya ada 2 sumber data untuk memperkirakan Investasi dan
Tabungan Nasional bruto, yaitu : (1) data Produk Domestik Bruto atas
dasar harga berlaku menurut penggunaan [lihat tabel III dan III.1]; dan
(2) Neraca Arus Dana yang digunakan oleh tim gabungan B.P.S., Bank
Indonesia, dan Departemen Keuangan [lihat tabel III.2, III.3, dan III.4].
Kalau kita bandingkan tabel III dan III.1 dengan III.2, maka terlihat
bahwa selama periode 1998 – 2002 baik perkiraan Investasi maupun
Tabungan Nasional Bruto yang dihitung dari Produk Domestik Bruto
menurut penggunaan senantiasa lebih kecil.

Sementara itu, dalam menganalisis pertumbuhan Produk Domestik Bruto terlihat


adanya kecenderungan untuk lebih menggunakan data Produk Domestik Bruto
menurut penggunaan. Kalau kita menganggap bahwa perkiraan Investasi dan
Tabungan Nasional Bruto yang dihasilkan oleh Tim Gabungan B.P.S., Bank
Indonesia, dan Departemen Keuangan lebih mendekati kebenaran, maka
seyogyanya data statistik Produk Domestik Bruto menurut penggunaan yang
dipublikasikan oleh B.P.S. perlu diperbaiki.

Tugas Pengantar Ekonomi Makro

Anda mungkin juga menyukai