Anda di halaman 1dari 20

Suami-Istri Beda NPWP, Awas

Kena Pajak Berlipat


Kamis 28 Jan 2016 22:45Administratordibaca 13065 kaliArtikel Pajak
"Ini seperti jebakan batman,” keluhnya.
 
Pria paruh baya berpenampilan necis itu, sebut saja namanya Rico,
mulai berkeluh-kesah. Sebagai seorang pegawai di sebuah perusahaan
swasta, dia dan istrinya telah dipotong pajak oleh perusahaan tempat
kerja mereka. Dia menunjukkan formulir 1721-A1 sebagai bukti atas
penghasilannya dan istri telah dipotong pajak. Namun karena sang istri
punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sendiri, akhirnya
perhitungan pajaknya menjadi kurang bayar, akibat pengenaan tarif
pajak progresif.
 
Kok Bisa? “Kenapa istri saya dihimbau untuk ber-NPWP, kalau kayak
gini akhirnya?” protesnya lagi.
 
Ya, bisa saja masalah di atas terjadi. Bisa karena ketidaktahuan Wajib
Pajak atas sebuah konsekuensi perpajakan, saat istri memutuskan
memiliki NPWP sendiri, terpisah dari NPWP suami misalnya. Atau
karena kurangnya sosialisasi petugas pajak dalam penerapan sebuah
aturan terbaru. Keluarga Sebagai Kesatuan Ekonomi Sebenarnya
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) sendiri telah mengatur
secara jelas bahwa sistem pengenaan pajak Indonesia menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis.
  
Penjelasan Pasal 8 UU PPh nomor 36 tahun 2008 menyatakan:
penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabung
sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban
pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga ( dalam hal ini suami).
Maksudnya, penghasilan dan kerugian istri akan dianggap sebagai
penghasilan dan kerugian suami, sehingga dikenai pajak bersama.
Namun jika penghasilan istri hanya didapat satu pemberi kerja dan tidak
ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami, maka tidak
akan digabung. Dengan catatan penghasilan tersebut telah dipotong
pajak oleh pemberi kerja. Maka atas penghasilan istri tersebut akan
dilaporkan dalam lampiran Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan, bukan

1
dalam kolom induk. Yaitu dalam kolom: Penghasilan yang dikenakan
PPh Final dan/atau bersifat Final. Sebagai konsekuensi kewajiban
perpajakan ada di suami sebagai kepala keluarga, otomatis kewajiban
ber-NPWP itu juga ada pada suami.
 
Mungkinkah suami istri melakukan kewajiban pajak terpisah, dan istri
memiliki NPWP sendiri? Dalam Pasal 8 ayat (2) UU PPh mengatur ada
tiga kondisi suami-istri dapat dikenakan pajak secara terpisah:
 
Pertama suami-istri telah berpisah (bercerai). Sudah sewajarnya
memang jika pajaknya dikenakan terpisah. Biasanya tanggungan anak
akan tergantung perjanjian, ikut suami atau istri.
 
Kedua berdasarkan perjanjian tertulis pisah harta oleh suami-istri.
 
Ketiga istri ingin melaksanakan hak dan kewajiban pajak terpisah dari
suami, meski tidak ada perjanjian tertulis pisah harta.
 
Kasus Rico termasuk dalam kategori ini. Dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 jelas mengatur jika istri ingin
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari
suami harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak. Untuk pertimbangan pribadi (misal: mengajukan pinjaman bank,
dll) istri dapat saja memiliki NPWP sendiri, terpisah dari suami karena
memang aturannya memungkinkan.
 
Namun bagaimana dengan implikasi hukum pajaknya?
 
Penghitungan Pajak Suami-Istri Beda NPWP Ketika istri dalam status
kawin memiliki NPWP sendiri karena alasan tertentu seperti halnya
perjanjian tertulis pisah harta, maka pengenaan pajaknya telah diatur
dalam Pasal 8 ayat (3) UU PPh, yaitu penghasilan neto suami-istri
digabung kemudian besaran masing-masing pajak suami-istri tersebut
dihitung sesuai perbandingan penghasilan neto mereka. Resikonya
pengenaan tarif pajak progresif atas penghasilan gabungan suami-istri
ini akan mengakibatkan pajak mereka jadi kurang bayar, seperti yang
dialami Rico di atas.
 
Kita bisa lihat ilustrasi perbandingan pajak yang dikenakan jika istri
punya NPWP sendiri atau jika ikut suami.

2
Kasus Rico dan Istri menikah, tetapi tidak memiliki anak. NPWP hanya
dimiliki Rico sebagai kepala keluarga. Rico bekerja di PT. Sumber
Makmur. Penghasilan netto tahun 2015 yang diperoleh Rico sebesar
Rp. 100.000.000,-. Sedangkan istrinya bekerja di PT. Maju Terus
dengan penghasilan netto setahun Rp. 50.000.000,-. Atas penghasilan
mereka sudah di potong pajak oleh pemberi kerja dengan perhitungan
sebagai berikut:
 
Suami
Penghasilan Netto                      100.000.000
PTKP (K/0)                                   26.325.000
Penghasilan Kena Pajak             73.675.000
PPh Terutang setahun
5% x 50.000.000   = 2.500.000
15% x 23.675.000 = 3.551.250
Jumlah                                            6.051.250
 
Istri
Penghasilan Netto                         50.000.000
PTKP (TK/0)                                  24.300.000
Penghasilan Kena Pajak                25.700.000
PPh Terutang setahun
5% x 25.700.000                             1.285.000
 
Sementara jika istri Rico memiliki NPWP sendiri, maka penghitungan
PPh terutangnya akan digabung.
Penghasilan suami-istri digabung.
Penghasilan Netto Suami              100.000.000
Penghasilan Netto Istri                    50.000.000
Total Penghasilan Netto                150.000.000
PTKP (K/I/0)                                    50.625.000
Total Penghasilan Kena Pajak         99.375.000
PPh Terutang Setahun
5% x 50.000.000   = 2.500.000
15% x 49.375.000 = 7.406.250
Jumlah                                              9.906.250
 
Perhitungan untuk SPT tahunan PPh suami PPh terutang
(100.000.000/150.000.000) x 9.906.250= 6.604.167
Kredit pajak PPh 21                                6.051.250

3
PPh kurang bayar                                     552.917
 
Perhitungan untuk SPT tahunan Istri PPh terutang
(50.000.000/150.000.000) x 9.906.250 = 3.302.083
Kredit pajak PPh 21                                1.285.000
PPh kurang bayar                                   2.017.083
 
Dari ilustrasi di atas dapat dilihat jika istri memiliki NPWP sendiri ada
kekurangan pajak sebesar Rp. 2.570.000,- yang harus dibayar Rico dan
istri. Sementara jika NPWP hanya dimiliki oleh Rico maka tidak ada
kekurangan pajak, karena telah dipotong perusahaan. Dengan
menyandingkan konsekuensi pengenaan pajak jika istri memiliki
NPWP sendiri terpisah dari suami, akan jadi pertimbangan Wajib Pajak
sebelum memutuskan apakah sebaiknya istri ber-NPWP sendiri atau
tidak. Sehingga kasus Rico tak perlu terulang. Karena banyaknya
permohonan penghapusan NPWP, berarti menambah beban kerja
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) juga.
 
Sumber : kompasiana / Dewi Damayanti (26 Januari 2016)

4
SE Nomor 8 Tahun 2015 - Sudah
siapkah ASN/TNI/POLRI dengan e-
Filing?
Senin 25 Jan 2016 20:38Administratordibaca 3742 kaliArtikel Pajak
Kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak sudah mengalami peningkatan yang
signifikan dari tahun ke tahun. Terlihat dari target penerimaan pajak maupun realisasi
penerimaan pajak dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Prestasi ini tak luput
dari peran serta warga negara Indonesia yang semakin sadar akan pentingnya pajak
bagi pembangunan negeri.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia


menutup tahun 2015 dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Orang Pribadi Oleh Aparatur Sipil Negara/Anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia melalui e-Filing. Adapun hal-hal pokok yang
disampaikan dalam surat edaran tersebut antara lain : pelaporan SPT Tahunan PPh
melalui e-Filing, penerbitan bukti potong PPh Pasal 21 paling lambat 31 Januari 2016,
dan sosialisasi terkait pelaporan SPT Tahunan PPh melalui e-Filing. Terkait dengan
penerbitan surat edaran tersebut, KP2KP Buntok Kabupaten Barito Selatan telah
menggelar sosialisasi penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan
Orang Pribadi secara online melalui aplikasi e filing pada Kamis 14 Januari 2016 lalu.

Penerbitan SE Nomor 8 Tahun 2015 ini akan sangat mendukung program Direktorat
Jenderal Pajak untuk tahun 2016 sebagai Tahun Penegakan Hukum Pajak. Namun,
apakah Wajib Pajak sudah benar-benar memahami dan menguasai e-Filling?
Bagaimana juga dengan hardware dan software pendukung sistem e-Filling?
 
Beberapa hal menjadikan wajib pajak kurang nyaman menggunakan e-filing dalam
pelaporan SPT Tahunan diantaranya :
 
1. Resiko akan

5
PP 23 Tahun 2018 - Penurunan
Tarif Pajak UMKM menjadi
0.5%
Kamis 19 Jul 2018 15:30Ridha Anantidibaca 22304 kaliArtikel Pajak

Mulai diberlakukannya PP 23 tahun 2018 pada 1 Juli 2018  sebagai


pengganti PP 46 Tahun 2013 adalah sebuah respon positif dari
pemerintah atas keluhan para pelaku UMKM. Tarif UMKM yang sejak
tahun 2013 dibanderol sebesar 1% dari omset bruto sekarang dipangkas
tarif pajaknya menjadi sebesar 0,5%. Kini para pelaku UMKM bisa
bernafas lega dengan penurunan tarif pajak ini.

Bagaimanakah mekanisme  PP No. 23 tahun 2018? Berikut


penjelasannya

PP 23 merupakan pajak penghasilan dari usaha yang diterima atau


diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yaitu
tidak melebihi 4,8 Miliar dalam satu tahun pajak. Penghasilan yang
diterima tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
tarif pajak sebesar 0,5%. Sedangkan penghasilan yang dikecualikan dari
objek PP 23 Tahun 2018 adalah :
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh WP OP dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang
pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri.
3. Penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
tersendiri.
4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
 
Wajib Pajak yang dikenai pajak ini adalah WP Orang Pribadi dan WP
Badan berbentuk koperasi, Persekutuan Komanditer, Firma atau
Perseroan Terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan
dengan peredaran bruto tidak melebihi 4,8 miliar dalam satu tahun
pajak.

6
Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam PP 23
Tahun 2018 adalah :
1. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E
Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2. Wajib Pajak Badan berbentuk Persekutuan Komanditer atau Firma
yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi yang
memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas;
3. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan
berdasarkan Undang – Undang Pajak Penghasilan Pasal 31A atau PP
Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan
beserta perubahannya;
4. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Berbeda dengan PP 46 Tahun 2013 sebelumnya, peraturan


penggantinya yaitu PP No. 23 tahun 2018 mengatur mengenai jangka
waktu dalam melaksanakan Pajak Penghasilan yang bersifat final ini.
Berdasarkan Pasal 5 disebutkan jangka waktunya adalah sebagai berikut
:
1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi,
persekutuan komanditer, atau firma; dan
3. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan
terbatas.

Jangka waktu tersebut dihitung sejak :


1. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi wajib pajak yang terdaftar
sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau
2. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak
yang telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Pajak Penghasilan yang terutang dapat dilunasi dengan cara disetor


sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya atau dengan cara dipotong oleh
Pemotong atau Pemungut pajak dalam hal Wajib Pajak bersangkutan
melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai Pemotong
atau Pemungut Pajak.

7
Penurunan tarif pajak UMKM oleh pemerintah memang patut untuk
diapresiasi. Dengan diturunkannya tarif pajak menjadi 0,5% diharapkan
para pelaku usaha UMKM dapat mengembangkan usahanya dan
memberikan kontribusi lebih kepada negara tanpa menghilangkan nilai
kujujuran didalamnya mengingat pentingnya pajak bagi penerimaan
negara.
 
Sumber : PP No. 23 Tahun 2018

8
Sekilas Pengampunan Pajak
Kamis 21 Jul 2016 20:41Administratordibaca 4449 kaliPengampunan Pajak

(Foto : pajak.go.id)

Definisi Pengampunan Pajak


Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak
dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan,
dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.
 
Periode Program Pengampunan Pajak
1 Juli 2016 – 31 Maret 2017
 
Subjek Pengampunan Pajak
Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak, kecuali Wajib
Pajak yang sedang:
1. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap
oleh Kejaksaan;
2. dalam proses peradilan; atau
3. menjalani hukuman pidana,
atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
 
Objek Pengampunan Pajak
Pengampunan Pajak diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta
yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.
 
Periode pajak yang mendapatkan fasilitas Pengampunan Pajak
Pengampunan Pajak meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai
dengan akhir Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015
sampai dengan 31 Desember 2015, yang belum atau belum sepenuhnya
diselesaikan oleh Wajib Pajak.
 

9
Jenis pajak yang mendapatkan fasilitas Pengampunan Pajak
1. Pajak Penghasilan; dan
2. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah
 
Cara Pengampunan Pajak
Wajib pajak menyampaikan Surat Pernyataan Pengampunan Pajak (“Surat
Pernyataan”)  ke KPP terdaftar, paling sedikit memuat:
1. identitas Wajib Pajak,
2. Harta,
3. Utang,
4. nilai Harta bersih, dan
5. penghitungan Uang Tebusan
Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali.

10
Jangan Tertinggal Tax Amnesty di
Indonesia
Senin 10 Okt 2016 15:11Administratordibaca 7470 kaliArtikel Pajak

Belum tau amnesti pajak / Pengampunan pajak ? mari kita pelajari bersama mengenai
momentum yang luar biasa ini. 

Tax Amnesty di Indonesia ini menjadi moment yang besar karena efeknya langsung


bisa terasa dan terlihat jelas pada tebusan yang sudah tercapai.

Apa itu Tax Amnesty/Pengampunan Pajak ?

Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak


dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan
cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak.

Dalam aspek pengampunan pajak ini terdapat tiga aspek pokok yang perlu terlebih
dulu perlu diketahui, karena tiga aspek tersebut akan berkaitan langsung dengan
penyelesaian amnesti pajak. Tiga aspek tersebut mengenai Harta, Hutang, dan
Tebusan. Penjelasan tiga aspek berikut dikutip langsung dari UU No.11 Tahun
2016 Tentang Pengampunan Pajak.

Harta

Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan,


baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam
dan/atau di luar wilayah Negara kesatuan republik Indonesia (Pasal 1 ayat 3). Sebagai
petunjuk pengisian dapat dilihat pada PER-10/PJ/2016 serta terkait dengan
poerubahannya di PER-07/PJ/2016.

11
Utang

Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan dengan
perolehan harta (Pasal 1 ayat 4).

Uang Tebusan

Uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas Negara untuk
mendapatkan Pengampunan Pajak. (Pasal 1 ayat 7)

Apa Keuntungan Ikut Tax Amnesty?

Fasilitas

Terdapat beberapa Keuntungan mengikuti Tax Amnesty, Wajib pajak akan


mendapatkan fasilitas yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan perpajakannya, seperti
tertera pada UU Nomor 11 Tahun 2016 pasal 11 yang menyatakan bahwa :

1. Penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai
sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan,
untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pojak,
sampai dengan akhir tahun pajak terakhir.
2. Penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk
kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pojak, sampai
dengan akhir tahun pajak terakhir.
3. Tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak,
bagian tahun pajak, dan tahun pojak, sampai dengan akhir tahun pajak terakhir.
4. Penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan, dalam hal wajib pajak sedang dilakukan pemeriksaan
pajak, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir tahun pajak terakhir.

Keamanan

Seperti yang diungkapakan oleh Bapak Ken Dwijugiasteadi pada laman liputan6.com
pemerintah menjamin keamanan data WP atau peserta tax amnesty. Dia menjelaskan,
formulir pengajuan permohonan tax amnesty maupun data lainnya
menggunakan barcode, tanpa nama si pemohon.

Nama pemohin ditutup rapat-rapat sehingga benar dijamin kerahasiaanya. "Semua


yang daftar tidak akan ada identitasnya, semua pakai barcode, jadi ada yang
manual, online, softcopy semua bisa daftar di DJP. Jadi pada saat mengajukan
permohonan masih ada nama, begitu di KPP dan diklik NPWP, nama
ditutup barcode, sehingga untuk pengolahan data selanjutnya tidak akan ada nama.
Seandainya tercecer pun, tidak ada yang tahu punya siapa, jadi sangat aman".

12
Hal ini mencegah kebocoran data maupun informasi peserta tax amnesty. Jika sampai
terjadi bobolnya data-data tersebut, pegawai DJP akan diganjar hukuman 5 tahun
penjara. "Pakai barcode ini tujuannya juga menjaga teman-teman DJP karena
sanksinya berat 5 tahun penjara,"
 
Perlu diketahui bahwa Tax Amnesty sifatnya mempunyai limit waktu yang telah
ditentukan dan memiliki sifat Voluntary Declaration yaitu wajib pajak diberikan
kewenangan untuk mendeklarasikan penghasilan kena pajaknya atau dengan kata lain
wajib pajak diberikan kewenangan membayar atas kewajiban pajak yang belum
terbayar. Fasilitas ini tidak hanya berlaku bagi perusahaan – perusahaan yang
besar/makro tetapi juga termasuk pengusaha mikro, menengah, dan orang pribadi. 

Fasilitas Tarif

Wajib pajak juga dapat memanfaatkan fasilitas tarif yang telah ditentuakan sesuai
dengan masa periode.  Bagi wajib pajak yang lebih awal mengikuti Tax Amnesty maka
akan mendapatkan tarif yang lebih kecil sehingga mendapatkan keuntungan lagi
dari Tax Amnesty.

1. Deklarasi Harta di wilayah NKRI dan atau Repatriasi Harta di Luar Wilayah NKRI
Tarif
Periode Repatriasi/Deklarasi Dalam
Deklarasi Luar Negeri
Negeri
1 Juli 2016 s/d 30 September
2% 4%
2016
1 Oktober 2016 s/d 31
3% 6%
Desember 2016
1 Januari 2017 s/d 31 Maret
5% 10%
2017
 
2. Deklarasi harta untuk UMKM
Total Harta Tarif
s.d Rp. 10M 0,5%
>Rp. 10M 2%
 
 
 
Pencapaian Tebusan Tax Amnesty

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tempo.co tanggal 2 Oktober 2016, Menteri
Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa jumlah pencapaian program pengampunan
pajak periode pertama yang berskhir pada tanggal 30 September 2016 penerimaan
yang masuk dati Amnesti Pajak mencapai Rp. 97,15 Triliun. 
 

13
Dari pencapaian periode Tax Amnesty yang pertama hampir mencapai 100 Triliun,
terlihat bahwa antusias masyarakat Wajib Pajak (Orang pribadi dan Badan) sangat
besar yang berarti bahwa tingkat kesadaran atas kewajiban perpajakannya sangat tinggi
pula. Sehingga diharapkan setelah adanya Tax Amnesty ini usai masyarakat tetap patuh
untuk membayar pajak. Dalam pencapaian program Tax Amnesty periode pertama
perlu di apresiasi bagi semua pihak khususnya bagi pihak Kementrian Keuangan,
Dirjen Pajak, dan Masyarakat Wajib Pajak, namun perlu kita ketahui bahwa
masyarakat Wajib Pajak yang mengikuti Tax Amnesty ini memiliki rasa kesadaran
yang tinggi atas  kekeliruan, keterlambatan dan kekurangtransparannya dalam
membayar pajak, serta tinnginya tebusan dalam Tax Amnesty ini mencerminkan bahwa
potensi pengusaha Indonesia yang besar pula.
 
Tidak ada ruginya untuk mengikuti Tax Amnesty ini, selain mendapatkan beberapa
fasilitas bagi wajib pajak juga turut membangun perekonomian Negara, tentunya
dengan harapan lebih memajukan perekonomian bangsa dan mensejahterakan rakyat
Indonesia dengan taat membayar pajak.

Dari berbagai paparan diatas diharapkan bagi Wajib Pajak yang ingin mengikuti Tax
Amnesty periode kedua yang dimulai dari tanggal 1 Oktober sampai dengan 31
Desember JANGAN SAMPAI TERLAMBAT…..  

Oktalista Putri
#PajakUntukKita

14
Perhitungan Uang Tebusan
Pengampunan Pajak
Kamis 21 Jul 2016 20:39Administratordibaca 14100 kaliPengampunan Pajak

(Foto: pajak.go.id)

Uang Tebusan
Uang Tebusan = Tarif X Dasar Pengenaan Uang Tebusan
 
Tarif
Tarif Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut :

1. Deklarasi harta di wilayah NKRI atau Repatriasi harta di luar wilayah


NKRI
Periode Tarif
1 Juli 2016 – 30 September 2016 2%
1 Oktober 2016 – 31 Desember 2016 3%
1 Januari 2017 – 31 Maret 2017 5%

2. Deklarasi harta di luar wilayah NKRI


Periode Tarif
1 Juli 2016 – 30 September 2016 4%
1 Oktober 2016 – 31 Desember 2016 6%
1 Januari 2017 – 31 Maret 2017 10%

15
 
3. UMKM Omzet s.d Rp.4.8M
Total Harta Tarif
s.d Rp.10 Milyar 0,5%
> Rp.10 Milyar 2%
 
Dasar Pengenaan Uang Tebusan (DPUT)
1. adalah harta bersih, yaitu sebesar nilai Harta tambahan yang belum
atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir
sebagaimana dikurangi nilai Utang tambahan (yang berkaitan langsung
dengan Harta tambahan).
Harta Bersih   = Harta – Utang
 
2. Utang
Maksimal Utang tambahan yang boleh dikurangkan terhadap Harta
tambahan:
Jenis Wajib Pajak Maksimal
WP Badan 75%
WP Orang Pribadi 50%
 
3. DPUT WP yang terdaftar s.d tahun pajak 2015:
DPUT            = Harta Bersih menurut Surat Penyataan – Harta Bersih
menurut SPT Terakhir
 
4. DPUT WP yang terdaftar setelah tahun pajak 2015:
DPUT            = Harta Bersih menurut Surat Penyataan

16
Mengajukan Keberatan atau Gugatan
Pajak? Mana yang Lebih Menguntungkan?
Senin 14 Mar 2016 18:43Administratordibaca 12477 kaliArtikel Pajak

Seiring perkembangan waktu, dan banyaknya pemeriksaan yang dilakukan otoritas


pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) , semakin banyak pula pengajuan
keberatan akibat tidak terjadinya kesamaan pendapat pada saat pemeriksaan antara
Wajib Pajak (WP) dengan Pemeriksa Pajak.
 
Sesuai dengan Pasal 25 UU KUP, WP yang tidak setuju dengan hasil pemeriksaan
pajak, dalam waktu 3 bulan sejak diterimanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat
mengajukan keberatan atas hasil SKP tersebut kepada Kantor Wilayah DJP (Kanwil)
dimana WP tersebut terdaftar. WP tidak perlu membayar jumlah yang tidak disetujui
dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan (BAHP) yang dituangkan dalam SKP tersebut.
DJP, melalui Kanwil, wajib menyelesaikan permohonan keberatan WP 1 tahun sejak
permohonan diterima lengkap, dan atas hasil penelitian keberatan, berupa Surat
Keputusan Keberatan (SKK), apabila WP masih tidak menyetujui dapat diajukan
Banding ke Pengadilan Pajak dalam waktu 3 bulan sejak SKK diterima.Pengadilan
Pajak, wajib menyelesaikan permohonan banding WP, 1 tahun sejak permohonan
banding diterima. Mahkamah Agung, melalui Putusan Nomor 73 P/HUM/2013 tentang
Uji Materiil Terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang
diputus pada tanggal 30 Juni 2014 dan dikirimkan kepada para pihak pada tanggal 1
Juli 2015 yang menyatakan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari
Pemohon Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
: SE -74/PJ/2015 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 73 P/HUM/2013 Tentang Uji Materiil Terhadap Pasal – Pasal Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, salah satunya adalah menganulir Pasal 37 PP 74
Tahun 2011, dimana dalam pasal 37 disebutkan bahwa yang pada intinya menyatakan
bahwa keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang
diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23

17
ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak selain:  
1) Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata
cara penerbitan;
2) Surat Keputusan Pembetulan;
3) Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau
tata cara penerbitan;
4) Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
5) Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
6) Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
7) Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
8) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, telah diajukan uji
materiil dan dinyatakan tidak sah serta tidak berlaku umum dalam Putusan MA.
Dengan putusan tersebut, atas SKP, yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur
atau tata cara penerbitan yang sebelumya tidak dapat diajukan Gugatan Pajak, saat ini
dapat langsung diajukan Gugatan ke Pengadilan Pajak tanpa melalui Proses Keberatan.
 
Apabila kita berhitung waktu maka dapat dilihat sebagai berikut :
Penjelasan Ilustrasi 1:
 
1. Atas SKP yang diterima WP, paling lambat 3 bulan harus diajukan permohonan
keberatan, dimana dengan pengajuan ini, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam SKP
belum menjadi hutang pajak, sehingga fungsi penagihan aktif belum berjalan;
 
2. Paling lambat, 1 tahun sejak permohonan diterima lengkap, DJP wajib
mengeluarkan SK Keberatan, apakah menyetujui seluruhnya, sebagian atau menolak
permohonan WP. Apabila terdapat pajak yang masih harus dibayar dan WP
menyetujui atau menolak tetapi tidak mengajukan banding, maka fungsi penagihan
aktif berjalan, dan WP dikenakan tambahan sanksi 50%;
 
3. Apabila WP mengajukan Banding, yang paling lambat permohonan dikirimkan ke
Pengadilan Pajak, 3 bulan sejak SK Keberatan diterima, maka fungsi penagihan aktif
belum berjalan
 
4. Apabila hasil Keputusan Pengadilan Pajak, terdapat pajak yang masih harus dibayar,
maka fungsi penagihan aktif akan berjalan dan WP dikenakan tambahan sanksi 100%.

18
Penjelasan Ilustrasi 2:
 
1. Atas SKP yang diterima WP, paling lambat 30 hari harus diajukan permohonan
gugatan, dimana dengan pengajuan ini, fungsi penagihan aktif telah berjalan;
 
2. Permohonan Gugatan, sesuai Pasal 43 UU No. 14 Pengadilan Pajak, WP dapat
memohon untuk dapat dilakukan penundaan penagihan aktif sampai dengan Putusan
Gugatan Pengadilan Pajak;
 
3. Apabila hasil Keputusan Pengadilan Pajak, terdapat pajak yang masih harus dibayar,
maka fungsi penagihan aktif akan berjalan dan WP tidak dikenakan tambahan sanksi
100% seperti apabila pengajuan Banding Sesuai dengan ilustrasi tersebut, manakah
yang lebih menguntungkan bagi WP, apakah tetap mengajukan proses Keberatan dan
Banding, atau langsung mengajukan Gugatan ke Pengadilan Pajak atas SKP hasil
pemeriksaan Pajak. Tentunya itu pilihan, bagaimana Anda menyikapi dan menghitung
potensi dari Masalah yang ada.
 
Sumber : Kompasiana.com / Tommy Hendharto Oetomo (13 Maret 2016)

19
S-421/PJ.03/2018 - Pedoman
Pengajuan Surat Keterangan
Bebas (SKB) UMKM
Selasa 24 Jul 2018 09:34Ridha Anantidibaca 7879 kaliUpdate Aturan Pajak
S-421/PJ.03/2018 - Pedoman Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) UMKM
 
Setelah berlakunya PP No. 28 Tahun 2018, Direktorat Jenderal Pajak
mengeluarkan pedoman terkait surat keterangan bebas pemotongan dan/atau
pemungutan pajak penghasilan bagi wajib pajak yang dikenai PP No. 46 Tahun
2013 yang telah digantikan dengan PP No. 28 Tahun 2018. Berikut rincian
pedoman yang tertuang dalam S-421/PJ.03/2018 :

1. SKB PP 46/2013 yang telah diterbitkan sebelum tanggal 1 Juli 2018


diperlakukan sebagai Surat Keterangan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan PP 23/2018 (Surat Keterangan).
 
2. Dalam hal Wajib Pajak yang telah memiliki SKB PP 46/2013 sebagaimana
dimaksud pada angka 1 bertransaksi dengan Pemotong atau Pemungut Pajak,
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas transaksi tersebut
sepanjang Wajib Pajak dapat menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan
atas transaksi tersebut kepada Pemotong atau Pemungut Pajak.
 
3. SKB PP 46/2013 sebagaimana dimaksud pada angka 1 berlaku sampai dengan
batas waktu yang tercantum dalam SKB tersebut.
 
4. Permohonan SKB PP 46/2013 yang diajukan sebelum tanggal 1 Juli 2018
namun belum selesai ditindaklanjuti, diterbitkan Surat Keterangan sepanjang
memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan PP 23/2018.
 
5. Permohonan SKB PP 46/2013 dan legalisasi SKB PP 46/2013 yang diajukan
sejak tanggal 1 Juli 2018 tidak dapat diproses dan Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan Surat Keterangan.
 
6. Pedoman sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 6 berlaku
sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan PP 23/2018.
 
7. Peraturan dan formulir permohonan Surat Keterangan, dapat klik disini

20

Anda mungkin juga menyukai