Anda di halaman 1dari 50

PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT DAN CULTURE SHOCK

TERHADAP PENYESUAIAN SOSIAL PADA MAHASISWA


INDONESIA TIMUR DI UNIVERSITAS TRUNOJOYO
MADURA

PROPOSAL SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH:
TATIMMUS SHOLIHAH
180541100040

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2022
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................ i


Daftar Isi ................................................................................................. ii
Daftar Tabel ............................................................................................ iv
Daftar Gambar ........................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 11
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 11
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 11

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Penyesuaian Sosial ............................................................................ 13
2.1.1 Pengertian Penyesuaian Sosial ................................................. 13
2.1.2 Aspek-Aspek Penyesuaian Sosial ............................................ 13
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial .......... 15
2.1.4 Ciri-Ciri Penyesuaian Sosial Yang Baik .................................. 18
2.2 Culture Shock .................................................................................... 19
2.2.1 Pengertian Culture Shock ........................................................ 19
2.2.2 Dimensi Culture Shock ............................................................ 19
2.2.3 Faktor-Faktor Culture Shock .................................................... 21
2.2.4 Tahap-Tahap Culture Shock .................................................... 22
2.3 Adversity Quotient ............................................................................. 23
2.3.1 Pengertian Adversity Quotient ................................................. 23
2.3.2 Aspek-Aspek Adversity Quotient ............................................. 24
2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adversity Quotient ........... 24
2.4 Mahasiswa Indonesia Timur ............................................................... 25
2.5 Pengaruh Culture Shock Dan Adversity Quotient Terhadap Penyesuaian
Sosial Pada Mahasiswa Indonesia Timur Di Universitas Trunojoyo
Madura ............................................................................................ 27
2.6 Kerangka Konseptual ........................................................................ 29
2.7 Hipotesis ........................................................................................... 30

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Pendekatan Penelitian ....................................................................... 31
3.2 Variabel Penelitian ............................................................................ 32
3.2.1 Definisi Konseptual ................................................................. 32
3.2.2 Definisi Operasional ................................................................ 32
3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ............................................. 33
3.3.1 Populasi ................................................................................... 33
3.3.2 Sampel .................................................................................... 33
3.3.3 Teknik Sampling ..................................................................... 34
3.4 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 34
3.4.1 Skala Penyesuaian Sosial ......................................................... 35

ii
3.4.2 Skala Culture Shock ................................................................ 37
3.4.3 Skala Adversity Quotient ......................................................... 39
3.5 Teknik Analisis Data ......................................................................... 40
3.5.1 Uji Validitas ............................................................................ 40
3.5.2 Uji Reliabilitas ........................................................................ 41
3.5.3 Uji Asumsi .............................................................................. 41
3.5.4 Uji Regresi Linier Sederhana ................................................... 42
3.5.5 Uji Statistik ............................................................................. 42

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 43

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Jumlah Subjek ....................................................................... 34


Tabel 3.2 : Cara Penilaian Skala Culture Shock, Adversity Quotient dan
Penyesuaian Sosial ................................................................ 35
Tabel 3.3 : Kisi-Kisi Skala Penyesuaian Sosial ........................................ 36
Tabel 3.4 : Blue Print Skala Penyesuaian Sosial ...................................... 36
Tabel 3.5 : Kisi-Kisi Skala Culture Shock ............................................... 37
Tabel 3.6 : Blue Print Skala Culture Shock ............................................. 38
Tabel 3.7 : Kisi-Kisi Skala Adversity Quotient ........................................ 39
Tabel 3.8 : Blue Print Skala Adversity Quotient ...................................... 39

iv
DAFTAR GAMBAR

Tabel 1.1 : Paradigma Penelitian ............................................................. 31

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Merantau dalam rangka mendapat pendidikan yang lebih tinggi merupakan
salah satu alasan mahasiswa pergi ke daerah lain untuk melanjutkan kuliah diluar
daerah asalnya, seperti halnya merantau ke Pulau Jawa. Banyak alasan yang
mendasari para pelajar untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Pulau
Jawa. Rendahnya kualitas pendidikan di daerah terpencil, terutama di wilayah
Indonesia bagian Timur, sarana dan prasarana yang kurang dan belum memadai,
kualitas dari guru dan tenaga pengajar yang dirasa masih belum kompeten
menjadi salah satu alasan merantau ke Pulau Jawa untuk mendapatkan pendidikan
lebih layak (Kompasiana.com, 2016).
Faktor lainnya yaitu, rekomendasi dari keluarga besar yang pernah
bersekolah di Pulau Jawa, persepsi orang tua bahwa di Pulau Jawa lingkungan
pergaulannya lebih aman karena tidak ada tawuran antar suku maupun kampung
sebagaimana yang sering terjadi di Indonesia Timur, keinginan mahasiswa
mengikuti teman yang bersekolah di Pulau Jawa, bukti nyata perkembangan
teknologi yang pesat di Pulau Jawa, keinginan dasar mahasiswa untuk
membangun daerah tertinggal dengan belajar dari Pulau Jawa, persepsi kualitas
pelayanan perguruan tinggi di Pulau Jawa lebih baik, dan biaya kuliah di Pulau
Jawa yang lebih murah (Dahrul, 2021). Beberapa faktor tersebut membuat para
calon mahasiswa memilih perguruan tinggi di Pulau Jawa sebagai tempat
mengenyam pendidikan. Salah satu perguruan tinggi yang dipilih di Pulau Jawa
yaitu Universitas Trunojoyo Madura.
Kampus Universitas Trunojoyo Madura juga merupakan salah satu PTN
pelaksana program beasiswa afirmasi Dikti. Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi
(ADik) Papua, Papua Barat dan Daerah 3T adalah bantuan biaya pendidikan
dalam rangka percepatan dan pemerataan di bidang pendidikan tinggi di daerah
3T (Terluar, Tertinggal, Terdepan) yang merupakan program khusus sebagai

1
wujud keberpihakan pemerintah bagi provinsi Papua, Papua Barat, dan Daerah 3T
(Yanuar, 2022).
Mahasiswa rantau yang kuliah di Universitas Trunojoyo Madura berasal
dari berbagai daerah mulai dari daerah Jawa Timur hingga daerah luar Jawa.
Dalam penelitian ini yang di angkat adalah mahasiswa dari Indonesia Timur yang
menjalankan kehidupan di perantauan untuk mengenyam pendidikan khususnya di
Universitas Trunojoyo Madura. Indonesia Timur adalah kawasan ekonomi yang
berbasis kemaritiman, meliputi provinsi-provinsi bagian timur Republik Indonesia
yaitu, Sulawesi, Gorontalo, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua
(indonesiatimur.com, 2022). Berdasarkan data dari BAAK Universitas Trunojoyo
Madura, tercatat sejak tahun 2018 hingga tahun 2022 jumlah mahasiswa yang
berasal dari daerah Indonesia Timur di Universitas Trunojoyo Madura berjumlah
90 mahasiswa. Sementara itu mahasiswa yang berasal dari pulau Jawa berjumlah
14.499 dan mahasiswa yang berasal dari Madura berjumlah 8.833 (BAAK, 2022).
Manusia sebagai makhluk sosial untuk memenuhi kebutuhannya tidak bisa
hidup sendiri, mereka membutuhkan hubungan atau kontak sosial dengan orang
lain, terutama sebagai mahasiswa rantau yang harus hisup di lingkungan baru.
Menurut Maslow (Friedman, 2008) kebutuhan manusia itu dirinci ke dalam lima
tingkat kebutuhan, yakni: 1). Kebutuhan dasar fisiologis, 2). Kebutuhan akan rasa
aman, 3). Kebutuhan akan cinta dan memilki, 4). Kebutuhan akan rasa harga diri,
5). Kebutuhan akan aktualisasi diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fox
(Nurlaila, 2016) yang mengatakan supaya kebutuhannya dapat tercapai, manusia
berusaha mengubah atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan dimana berada,
sehingga terjalin sebuah hubungan mutualistis yang menguntungkan, sekaligus
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang telah terbentuk.
Sehingga dengan melakukan penyesuaian mahasiswa rantau bisa hidup
berdampingan dengan masyarakat setempat.
Mahasiswa perantau untuk memenuhi kebutuhannya akan selalu bertemu,
berinteraksi, dan menjalin komunikasi dengan sesama perantau dan masyarakat
asli dimana mereka merantau sehingga akan menimbulkan keanekaragaman
budaya. Hal ini menjadi pengalaman baru bagi setiap mahasiswa rantau, harus

2
beradaptasi dengan budaya lingkungan baru dan gaya hidup baru di kota tuan
rumah (Nailevna, 2017). Seperti halnya mahasiswa yang merantau di Pulau Jawa
akan menemui banyak perbedaan budaya seperti bahasa, gaya hidup, dan nilai-
nilai kehidupan. Perbedaan tersebut membutuhkan penyesuaian agar dapat
diterima oleh lingkungan tersebut. Individu yang ingin masuk dalam suatu
kelompok masyarakat tertentu harus mampu untuk mengakui dan mentaati nilai-
nilai, norma-norma, serta pedoman tingkah laku yang berlaku di dalam
masyarakat tersebut agar dapat diterima oleh masyarakat sebagai anggotanya.
Masyarakat Jawa memiliki norma-norma dan peraturan yang berlaku di
dalam lingkungan masyarakat. Norma dan peraturan yang ada jelas berbeda
dengan budaya di tempat asal. Perilaku orang Jawa sebagai anggota masyarakat
dibatasi oleh norma-norma dan pranata sosial yang ada, sehingga perilaku yang
dilakukan harus menyesuaikan dengan norma dan pranata yang ada di lingkungan
tersebut (Suryadi, 2012). Berbeda dengan karakteristik orang Indonesia Timur
yang keras dan tegas, perangainya yang terlihat sering tidak mau berkompromi
atau sulit berbasa-basi, sangat keras memegang dan mempertahankan apa yang dia
anggap harus dipertahankan. Berwatak keras dan tegas dalam bersikap adalah ciri
khas yang sangat lekat dengan orang timur, karena suaranya lantang dan terdengar
cepat. Pantang mengalah, fakta ini bisa saja bersifat negatif namun bisa pula
positif, tergantung pada hal apa seorang pria timur hadapi (Tahir, 2016). Dari
perbedaan kedua karakteristik tersebut mengharuskan mahasiswa rantau untuk
beradaptasi dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di tanah rantau.
Perbedaan budaya tidak menjadi penghalang dalam menjalin hubungan
satu dengan yang lain di dalam masyarakat. Namun tidak jarang mahasiswa
merantau merasa tidak nyaman dengan lingkungannya. Bahkan ketidaknyamanan
ini berkembang menjadi konflik antara mahasiswa merantau dengan masyarakat
lokal. Bentuk sederhana dari ketidaknyamanan ini adalah hidup penuh dengan
prasangka dan kecurigaan. Akumulasi dari hal tersebut dapat menjadi bentuk yang
ekstrem, seperti pertikaian (Novianti & Tripambudi, 2014). Hal ini diperkuat oleh
pernyataan mahasiswa berinisial OG yang mengatakan bahwa subjek sering
ditegur oleh temannya karena ketika berbicara kepada orang tua kurang sopan,

3
suaranya terlalu keras, bicaranya kasar, tetapi subjek menerima teguran itu karena
menganggap setipa daerah memiliki adat yang berbeda. Hal tersebut kemudian
membuat mahasiswa perantauan Indonesia Timur dituntut untuk bisa melakukan
penyesuaian sosial dengan baik di lingkungan Universitas Trunojoyo Madura agar
mereka bisa hidup berdampingan dengan mahasiswa lokal dan masyarakat sekitar.
Mahasiswa dari Nusa Tenggara Timur mengatakan bahwa seringkali
menghadapi tekanan ketika dia menginjakkan kaki di lingkungan perguruan tinggi
yang memang sangat berbeda dengan lingkungan mereka semasa SMA. Mulai
dari proses pembelajaran, teman sebaya yang memang berasal dari berbagai
daerah, hubungan mahasiswa dengan dosen, serta peraturan yang mereka
dapatkan di kampus membuat mereka kesulitan dalam menyesuakian diri.
Kendala bahasa juga mereka alami, dimana bahasa pada daerah tempat tinggal
yang baru sulit dipahami dan tidak mereka mengerti sehingga mempengaruhi
interaksi mereka dalam sehari-hari baik dilingkungan kos maupun perkuliahan,
selain itu mereka juga mengatakan bahwa di perantauan semua serba uang dan
bayar, contohnya seperti jika ingin makan buah harus membeli dulu sedangkan
jika ditempat tinggal mereka hanya tinggal meminta kepada tetangga atau
mengambil diperkarangan rumah sendiri. dalam penelitian yang dilakukan
Fitriany (dalam Sulistyoningrum, 2020) menyatakan bahwa penyesuaian diri
sosial sangat diperlukan oleh mahasiswa perantauan, karena mahasiswa
perantauan menghadapi perubahan di lingkungan baru yang berbeda adat, norma,
dan kebudayaan, sehingga penyesuaian diri yang baik dibutuhkan agar diterima
oleh kelompok serta masyarakat di sekitarnya. Mahasiswa perantau tidak hanya
dihadapkan pada perubahan pola hidup, interaksi sosial, dan tanggung jawab,
tetapi juga pada perbedaan kebudayaan, kebiasaan serta bahasa yang digunakan.
Selain itu, mahasiswa perantauan akan memulai hidup baru yang jauh dari orang
tua sehingga tuntutan untuk menyesuaikan diri juga semakin besar.
Menyesuaikan diri dengan lingkungan baru memang bukanlah hal yang
mudah, mengingat apa yang menjadi kebiasaan di lingkungan belum tentu berlaku
juga di lingkungan baru mereka. Banyak problem yang dapat muncul dalam
proses tersebut. Transisi mahasiswa yang semula bertempat tinggal dengan orang

4
tua menghadapkan mahasiswa pada perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan
baru. Sejalan dengan yang diungkapkan Hurlock (Estiane, 2015) bahwa salah satu
tugas perkembangan masa remaja yang paling sulit berhubungan dengan
penyesuaian sosial. Meskipun tidak semua remaja mengalami masa badai dan
tekanan, namun sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke
waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru
dan harapan sosial yang baru. Hal ini tentunya memicu timbulnya berbagai
permasalahan bagi mahasiswa baru sebagai remaja. Supaya tidak menimbulkan
masalah dan diterima dalam suatu kelompok maka individu harus berperilaku
sesuai norma yang berlaku dalam kelompok tersebut. Mahasiswa yang merantau
di Pulau Jawa memiliki perilaku sendiri yang berlaku dari daerahnya, namun
perilaku tersebut berbeda dengan perilaku masyarakat Jawa. Ada perilaku yang
dapat diterima oleh masyarakat setempat dan ada pula perilaku yang bertentangan
dengan norma yang berlaku didalam masyarakat tersebut. Proses menyesuaikan
diri individu dengan lingkungan di sekitarnya lebih dikenal dengan istilah
penyesuaian sosial.
Schneirders (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian sosial
menandakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki seorang individu untuk
bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi, dan relasi sosial yang
membebani dirinya dan dialami dalam relasinya dengan lingkungan sosial
(Kristina, 2018). Mahasiswa rantau ketika memiliki kemampuan penyesuaian
sosial yang baik maka mahasiswa tersebut memiliki rasa tanggung jawab,
memiliki sikap realistik objektif yaitu dapat menilai situasi dan masalah, memiliki
kemampuan mengendalikan diri dalam menghadapi masalah-masalah yang akan
dihadapi, memiliki tujuan yang jelas dalam menjalani perkuliahan, dapat bekerja
sama dengan orang lain, memiliki kemampuan membuka diri agar dapat berbaur
dengan orang-orang yang belum pernah bertemu sebelumnya dan memiliki minat
yang besar dalam melakukan sesuatu. Dengan begitu mahasiswa rantau tidak akan
mengalami kesulitan di lingkungan kampusnya sehingga mahasiswa lebih mudah
dalam mencapai prestasi dan memiliki kehidupan akademik yang sukses.

5
Penyesuaian sosial mahasiswa ketika menjalani pendidikan di perguruan
tinggi yang merujuk pada Baker dan Siryk (1984) adalah suatu proses psikososial
yang dapat menimbulkan stres sehingga mahasiswa membutuhkan keterampilan
untuk dapat menjalaninya. Pengertian tersebut menegaskan bahwa penyesuaian
sosial mahasiswa adalah proses dimana mereka menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial serta keadaan akademik di kampusnya. Mahasiswa rantau yang
tidak memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang baik maka mahasiswa
tersebut tidak memiliki rasa tanggung jawab, tidak dapat menilai situasi, tidak
memiliki tujuan dalam menjalankan perkuliahan, tidak memiliki kemampuan
membuka diri untuk berbaur dengan orangorang yang belum pernah dikenal, tidak
mampu bekerja sama dengan dosen dan teman-teman di kampus dan tidak dapat
mengendalikan diri dalam menghadapi masalah. Dengan begitu mahasiswa rantau
akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan-perubahan sehingga
menghambat mahasiswa dalam mencapai prestasi yang baik di lingkungan
kampusnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dahrul (2021) menunjukkan bahwa
subjek dalam penelitiannya masih dalam tahapan pembelajaran budaya sehingga
belum dapat menyesuaikan diri secara maksimal. Mereka belum dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik dengan hubungan teman sebaya
maupun dosen dikarenakan perbedaan kebiasaan, bahasa, budaya dan karakter.
Situasi ini akan memengaruhi mahasiswa Indonesia Timur dalam
mempersepsikan dirinya terhadap lingkungan baru sehingga timbul
ketidaknyamanan dalam lingkungan. Selain itu, penilaian negatif yang ada di
lingkungan akan membuat hubungan antara warga sekitar dengan mahasiswa
Indonesia Timur menjadi renggang.
Mahasiswa rantau mengaku mengalami kesulitan dalam beradaptasi pada
lingkungan baru dan menjalin hubungan sosial dengan sesama teman bahkan
lingkungan karena perbedaan budaya, bahasa dan kebiasaan. Subjek lebih senang
berinteraksi menggunakan gadget dari pada berkomunikasi secara langsung hal ini
dikarenakan lebih mudah dan adanya kesulitan berbaur dengan lingkungan yang
cenderung berbeda. Faktor lainnya karena mahasiswa masih terbiasa dengan

6
kebiasaan di lingkungan lama sehingga mengalami kesulitan untuk membuka diri
dengan lingkungan baru. Subjek juga mengatakan bahwa orang-orang Madura
lebih sering menggunakan bahasa madura dari pada bahasa Indonesia ketika
berbicara dengan mahasiswa Papua hal ini membuat mahasiswa Papua memiliki
perasaan takut dihina karena mereka tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
(Telang, 2022). Individu ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya harus
memahami dan memperhatikan tuntutan dan harapan sosial dari lingkungan
terhadap perilakunya. Individu harus mencapai suatu kesepakatan antara
kebutuhan atau keinginannya sendiri dengan tuntutan atau harapan dari
lingkungan sosial, sehingga individu akan memeroleh kepuasan dalam dirinya.
Perubahan situasi, tuntutan sosial dan akademik yang bertambah membuat
mahasiswa rantau merasakan ketidaknyamanan, baik secara psikis maupun sosial
(Nadlyfah dan Kustanti, 2018).
Berbagai hambatan yang dialami mahasiswa perantau tentu bukanlah hal
yang mudah, seorang individu harus mulai beradaptasi dari nol, semua harus
dimulai dari awal seperti mempelajari budaya baru, kebiasaan baru, teman teman
baru dan lingkungan tempat tinggal yang baru. Menjadi mahasiswa perantau harus
mampu menghadapi permasalahan yang mereka hadapi seorang diri tanpa bantuan
keluarga. Masalah yang dihadapi pun beraneka ragam mulai dari masalah
pendidikan, selain itu juga masalah pergaulan dan masalah dengan lingkungan
tempat tinggal yang baru. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi
mahasiswa perantau maka mahasiswa tersebut akan dituntut menjadi individu
yang mandiri dalam menyelesaikan semua permasalahan yang menerpa. Dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut, dibutuhkannya sikap pantang
menyerah dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi permasalahan. Sikap
demikian disebut adversity quotient (Puspasari, 2012).
Adversity quotient adalah istilah psikologi untuk menjelaskan kecerdasan
seseorang dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi setiap
harinya. Adversity quotient juga diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
bertahan dan mengatasi permasalahan dalam hidupnya (Stoltz, 2000). Selain itu,
menurut Stoltz (2000), saat individu memiliki adversity quotient yang tinggi,

7
maka individu tersebut berani menyambut tantangan-tantangan dan dapat
menyelesaikan tantangan tersebut dengan baik, mampu memotivasi diri sendiri,
memiliki semangat yang tinggi, serta berjuang untuk mendapatkan yang terbaik
dalam hidup. Oleh karna itu pentingnya mahasiswa rantau memiliki adversity
quotient yang tinggi agar mampu bertahan menghadapi kesulitan yang
dialaminya, berani menghadapi tantangan, memegang teguh prinsip dan impian
mereka apapun yang terjadi.
Salah satu subjek mengaku bahawa mengalami kesulitan dalam hal bahasa
dan dalam dunia perkuliahan, kesulitan untuk berbaur dengan lingkungan kampus
serta dengan tugas yang semakin lama semakin sulit. Ketika mengalami
permasalahan yang berkaitan dengan bahasa subjek tetap bertahan dengan
keadaannya yang tidak mengerti bahasa Jawa namun tidak mencoba untuk
memahami bahasa Jawa, subjek hanya diam dan tidak bertanya mengenai arti dari
perkataan temannya yang berbicara menggunakan bahasa Jawa. Subjek
mengatakan sebelumnya tidak pernah mendengar bahasa Jawa, jadi pertama kali
mendengar bahasa Jawa seperti masuk ke dunia lain. Subjek juga mengatakan
bahwa kesulitan dalam hal mencari teman dan makanan yang cocok dan merasa
tidak betah sama sekali sehingga ingin segera pulang ke kampung halaman.
Ketika menghadapi kesulitannya tersebut subjek tetap bertahan dengan
keadaannya, namun tidak memaksimalkan diri untuk mencari jalan keluar atas
permasalahan yang dihadapinya. Berdasarkan fakta dilapangn tersebut, dapat
dikatakan bahwa adversity quotient pada remaja akhir dalam hal ini tidak semua
sesuai dengan teori bahwa adversity quotient pada remaja akhir yang seharusnya
tinggi seperti dalam penelitian Arif (2014) bahwa adversity quotient pada
mahasiswa berada pada tingkat tertinggi, namun kenyataan dilapangan ditemukan
bahwa adversity quotient pada mahasiswa masih kurang.
Hasil penelitian (Dara, 2020) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif
antara adversity quotient dengan penyesuaian sosial pada mahasiswa rantau yang
sedang kuliah pada tahun pertamanya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
adversity quotient pada partisipan dapat mempengaruhi kemampuan penyesuaian
sosial mereka. Peningkatan adversity quotient dapat memprediksi penyesuaian

8
sosial yang lebih baik. Pentingnya memiliki adversity quotient yang tinggi pada
mahasiswa rantau untuk menghadapi kemungkinan adanya hambatan yang terjadi
dilingkungan barunya sehingga dengan begitu mahasiswa rantau bisa bertahan
dan melakukan penyesuaian sosial yang baik.
Adversity quotient juga dapat dikatakan sebagai ketangguhan dalam
bertahan dan mengatasi cobaan dan kesulitan hidup dalam diri setiap individu
serta mengubahnya menjadi peluang. Tingkat kemampuan yang dimiliki akan
dapat berimplikasi pada kesanggupan menjalani hidup dan mampu memberikan
manfaat besar bagi kesuksesannya. Individu dengan adversity quotient yang tinggi
menunjukkan kemampuan diri untuk bertahan menghadapi kesulitan yang
dialami, tekun dalam menghadapi tantangan, memegang teguh prinsip dan impian
mereka apapun yang terjadi (Santos, 2012). Adversity quotient menjadi konstruk
kunci dalam meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dalam menghadapi
tantangan dalam perkuliahan. Hal tersebut dapat mempengaruhi kesuksesan karir
di masa depan maupun kesuksesan dalam penyesuaian sosial dalam lingkungan
(Hidayati dan Farid, 2016).
Proses penyesuaian sosial sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor
(Schneiders, 1964), salah satunya faktor eksternal yaitu faktor lingkungan dan
faktor budaya. Faktor budaya merupakan faktor yang mengatur perilaku individu
dalam lingkungannya. Individu akan berusaha menyesuaikan diri dengan adat
istiadat, norma, kepercayaan dan kebudayaan agar dapat diterima oleh lingkungan
sosialnya. Namun hal tersebut tidaklah mudah bagi individu yang keluar dari
lingkungan asalnya dan berada di lingkungan yang baru, sehingga individu
tersebut harus kembali menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru tersebut.
Dalam situasi seperti ini, individu dapat mengalami kekagetan terhadap budaya
yang baru, atau yang biasa disebut dengan gegar budaya (culture shock).
Culture shock adalah respon negative yang dialami oleh orang-orang
ketika memasuki lingkungan baru (Oberg, 1960). Tidak jarang pada bulan-bulan
pertamanya sebagai proses dari gegar budaya mahasiswa perantauan ini akan
rentan merasa gagal menyesuaikan diri, jenuh, tidak nyaman dengan keadaan di
tempat rantauan, akibatnya mereka mengalami culture shock, kepanikan,

9
kecemasan, hilangnya rasa percaya diri, daya tahan tubuh mengurang sehingga
mudah terserang penyakit ringan seperti flu, demam dan diare, bahkan stres
hingga depresi yang akhirnya menimbulkan rasa ingin selalu cepat pulang
kekampung halamannya yang dapat mengganggu konsentrasi berkuliah sebagai
tujuan utamanya merantau.
Mahasiswa perantauan kerap kali mengalami culture shock yang biasanya
juga dibarengi dengan kemunculan hal-hal yang tidak menyenangkan yang
disebabkan oleh adanya perbedaan dari segi sosial dan budaya, diantara
masyarakat lokal dengan mahasiswa rantau yang bertemu dalam satu tempat yang
sama (Devinta, 2015). Hal-hal tidak menyenangkan tadi disebutkan oleh Furnham
dan Bochner menyebutkan hal-hal yang tidak menyenangkan seperti masalah
perbedaan bahasa antara daerah asal dan daerah baru, perbedaan cara berbicara,
cara berbahasa dan kesulitan mengartikan ekspresi bicara seringkali menjadi
sumber atau penyebab dari munculnya permasalahan di lingkungan barunya.
Bentuk culture shock yang dialami oleh mahasiswa berupa perbedaan cara
berbahasa, gaya berpakaian, makanan dan kebiasaan makan, relasi interpersonal,
kondisi cuaca (iklim), waktu belajar, makan dan tidur, tingkah laku pria dan
wanita (Indrianie, 2012). Oleh karena itu mahasiswa rantau perlu melakukan
adaptasi pada lingkungan barunya karena pada dasarnya segala aktivitas yang
dilakukan mahasiswa rantau merupakan manifestasi dari kodrat sebagai makhluk
sosial.
Terjadinya culture shock Oberg (dalam Intan, 2019) biasanya dipicu oleh:
1) kehilangan tanda-tanda yang dikenalnya atau cues, padahal cues adalah bagian
dari kehidupan sehari- hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh,
ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada
seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi tertentu. Hal-hal ini dapat
dilihat dari perilaku-perilaku yang mahasiswa rantau ketika awal-awal datang
Madura seperti tidak membaur dengan orang lain serta tidak ada aktivitas yang
mereka lakukan karena merasa tidak nyaman. 2) Putusnya komunikasi antar
pribadi baik pada tingkat yang disadari maupun tak disadari yang mengarahkan
pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari

10
gangguan-gangguan, di awal memasuki dunia perkuliahan, mahasiswa Indonesia
Timur memilih berdiam diri dan tidak berbicara pada siapa pun, merasa gelisah
dan nafsu makannya pun berkurang karena berada di tempat baru dan jauh dari
orang-orang terdekatnya, mereka bisa dengan mudah akrab dengan teman-
temanya karena mereka berasal dari dari daerah yang sama dan lingkungannya
pun juga tidak ada perubahan seperti saat berkuliah di tanah rantau. 3) krisis
identitas, dengan pergi ke luar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi
gambaran tentang dirinya. Mereka juga mengatakan bahwa mereka sering menjadi
pusat perhatian ketika berjalan untuk pergi ke kampus dan ketika keluar untuk
beraktivitas, mahasiswa berinisial AN bercerita tentang pengalaman dirinya yang
pernah menjadi bahan pembicaraan dan ditertawakan oleh mahasiswa lain ketika
berjalan kaki pulang dari kampus, bahkan AN ini sampai menampar mahasiswa
tersebut karena kesal.
Penelitian Chapdelaine (2004) yang dilakukan di universitas internasional
Canada, menemukan bahwa hal yang mendasari munculnya culture shock adalah
adanya kesulitan-kesulitan sosial antara individu tersebut dengan penduduk asli
dari negara yang didatanginya. Semakin tinggi interaksi dengan penduduk asli
maka semakin rendah culture shock yang dialami individu, sebaliknya, semakin
rendah interaksi dengan penduduk asli, culture shock yang dialami semakin
tinggi. Dilanjut hasil Penelitian Pramudiana (2019) mengatakan bahwa semakin
tinggi gegar budaya maka semain rendah penyesuaian sosial demikian pula
sebaliknya. Mahasiswa rantau yang berasal dari latarbelakang daerah dan budaya
yang berbeda memerlukan upaya dan waktu lebih banyak untuk mengenal dan
berinteraksi dengan mahasiswa dan masyarakat lokal di tempat studinya.
Keberhasilan dalam menjalani proses interaksi dengan orang lain dari etnis dan
suku bangsa yang berbeda ini pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan
penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya, hambatan-hambatan yang dialami
individu dalam berinteraksi dengan orang dari berbagai latarbelakang yang
berbeda akan menimbulkan dampak yang negatif.
Berdasarkan pemamparan penelitian ini penting dilakukan karena
kemampuan penyesuaian sosial dibutuhkan oleh setiap individu ketika berada di

11
lingkungan baru supaya tidak terjadi kekagetan budaya dan bisa menghadapi
kesulitan dilingkungan barunya sehingga bisa hidup berdampingan dengan
masyarakat setempat. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “pengaruh adversity quotient dan culture shock terhadap mahasiswa
Indonesia Timur di Universitas Trunojoyo Madura”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu : “apakah ada pengaruh adversity quotient dan culture shock
terhadap penyesuaian sosial pada mahasiswa Indonesia Timur di Universitas
Trunojoyo Madura”.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu: “Untuk mengetahui apakah ada
pengaruh adversity quotient dan culture shock terhadap penyesuaian sosial pada
mahasiswa Indonesia Timur di Universitas Trunojoyo Madura”.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan khasanah keilmuan bagi
dunia Psikologi khususnya dalam bidang psikologi sosial, dan psikologi lintas
budaya. Serta dapat dijadikan sebagai referensi dan perbandingan untuk
mengetahui informasi mengenai adversity quotient, culture shock dan
penyesuaian sosial.
1.4.2 Manfaat Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi
bagi pihak-pihak di bawah ini:
a) Bagi mahasiswa perantau, Untuk membantu untuk mahasiswa perantau
memahami penyesuaian sosial yang baik dan berguna, yang bisa digunakan
dalam bersosialisasi dengan budaya dilingkungan barunya agar tidak terjadi
sebuah konflik karena adanya perbedaan budaya. Sehingga dapat dipakai
sebagai contoh dan bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari.

12
b) Bagi calon mahasiswa Indonesia Timur yang ingin melanjutkan kuliah di
Madura hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan informasi
sehingga mampu menghadapi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan atau
mampu beradaptasi dengan betuk coping yang positif.
c) Bagi Universitas Trunojoyo Madura informasi dalam penelitian ini dapat
dijadikan referensi mengenai culture shock dan adversity qoutient dan
penyesuaian sosial yang dialami mahasiswa perantauan mahasiswa Indonesia
Timur. Sehingga pihak kampus dapat lebih memperhatikan dalam
perkembangan bidang akademik atau non akademik dengan membantu
menyelesaikan hambatan-hambatan yang dialami mahasiswa perantauan
mahasiswa Indonesia Timur.
d) Bagi peneliti selanjutnya mampu memberikan referensi bagi peneliti berikutnya
terhadap penelitian terkait culture shock, adversity qoutient dan penyesuaian
sosial.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penyesuaian Sosial
2.1.1 Pengertian Penyesuaian Sosial
Penyesuaian sosial merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan
sosial individu secara umum bagi anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Penyesuaian
sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan individu terjadi dalam lingkup
hubungan sosial, mencangkup hubungan dengan masyarakat disekitar tempat
tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum bryne &
baron (2003). Schneiders (1964) mengatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan

13
kemampuan untuk bereaksi secara adekuat terhadap kenyataan, situasi, dan hubungan
sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat dipenuhi dengan cara yang dapat
diterima dan memuaskan (Kau & Idris, 2020).
Afifudin (1985) mengatakan penyesuaian sosial merupakan usaha untuk
menciptakan situasi dan kondisi yang serasi antara seorang individu dengan individu
lainnya atau seseorang dengan masyarakat sekitarnya sehingga terjadi hubungan yang
berbentuk timbal balik yang harmonis antara keduanya Menurut Gerungan (2010)
penyesuaian sosial adalah perilaku mengubah diri sendiri sesuai dengan keadaan
lingkungan tanpa menimbulkan konflik-konflik yang berarti, sehingga dapat diterima
keberadaannya dengan lingkungan sekitar.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyesuaian sosial merupakan kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif
terhadap kenyataan, situasi, dan hubungan sosial di lingkungan sekitar tempat
tinggalnya, yakni dengan keluarga, sekolah, teman, atau masyarakat luas secara
umum. Serta menghormati hak- hak orang lain, bersedia memperhatikan
kesejahteraan orang lain, dan bersedia memberikan pertolongan kepada orang lain,
tanpa menimbulkan konflik-konflik didalamnya.
2.1.2 Aspek-Aspek Penyesuaian Sosial
Menurut Schneiders (Gunarta, 2016), penyesuaian sosial memiliki
beberapa aspek- aspek sebagai berikut:
1. Recognition adalah menghormati dan menerima hak-hak orang lain. Dalam hal
ini individu tidak melanggar hak-hak orang lain yang berbeda dengan dirinya,
untuk menghindari terjadinya konflik sosial. Menurut Schneiders ketika kita
dapat menghargai dan menghormati hak-hak orang lain maka orang lain akan
menghormati dan menghargai hak-hak kita sehingga hubungan sosial antar
individu dapat terjalin dengan sehat dan harmonis.
2. Participation adalah Melibatkan diri dalam berelasi. Setiap individu harus
dapat mengembangkan dan melihara persahabatan. Seseorang yang tidak
mampu membangun relasi dengan orang lain dan lebih menutup diri dari relasi
sosial akan menghasilkan penyesuain diri yang buruk. Individu ini tidak
memiliki ketertarikan untuk berpartisipasi dengan aktivitas dilingkungannya

14
serta tidak mampu untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, sedangkan
bentuk penyesuaian akan dikatakan baik apabila individu tersebut mampu
menciptakan relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan
persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, serta menghargai nilai-
nilai yang berlaku dimasyarakat.
3. Social approval adalah minat dan simpati terhadap kesejahteraan orang lain.
Hal ini dapat merupakan bentuk penyesuaian diri dimasyarakat, dimana
individu dapat peka dengan masalah dan kesulitan orang lain disekelilingnya
serta bersedia membantu meringankan masalahnya. Selain itu individu juga
harus menunjukan minat terhadap tujuan, harapan dan aspirasi, cara pandang
ini juga sesuai dengan tuntutan dalam penyesuaian keagamaan.
4. Altruisme adalah Memiliki sifat rendah hati dan tidak egois. Rasa saling
membantu dan mementingkan orang lain merupakan nilai-nilai moral yang
aplikasi dari nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari penyesuaian moral yang
baik yang apabila diterapkan dimasyarakat secara wajar dan bermanfaat maka
akan membawa pada penyesuaian diri yang kuat. Bentuk dari sifat-sifat
tersebut memiliki rasa kemanusian, rendah diri, dan kejujujuran dimana
individu yang memiliki sifat ini akan memiliki kestabilan mental, keadaan
emosi yang sehat dan penyesuaian yang baik.
5. Conformity adalah Menghormati dan mentaati nilai-nilai integritas hukum,
tradisi dan kebiasaan. Adanya kesadaran untuk mematuhi dan menghormati
peraturan dan tradisi yang berlaku dilingkungan maka ia akan dapat diterima
dengan baik dilingkungannya.
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial
Faktor- Faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang
sangatlah rumit. Bagi mahasiswa, usaha penyesuaian itu dapat menjadi pelik
dalam perkembangan sosial pribadinya. Diungkapkan oleh Hurlock (1994) bahwa
salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan
dengan penyesuaian sosialnya.

15
Menurut Schneider (1984), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
penyesuaian sosial yaitu:
a. Kondisi fisik dan yang mempengaruhinya, mencakup hereditas, konstitusi
fisik, system syaraf, kelenjar dan otot, kesehatan, penyakit dan sebagainya.
b. Perkembangan dan kematangan, mencakup kematangan intelektual, sosial,
moral dan emosional.
c. Faktor psikologis, mencakup pengalaman, belajar, kebiasaan, self
determination, frustrasi dan konflik.
d. Kondisi lingkungan, mencakup lingkungan rumah, keluarga dan sekolah.
e. Faktor kebudayaan dan agama. Faktor budaya juga diprediksikan ikut andil
terhadap penyesuaian sosial individu, sebab latar belakang budaya akan
mempengaruhi pembentukan sikap, nilai, dan norma seseorang (Schneiders,
1984). Individu yang hidup dalam lingkup budaya tertentu akan mengadaptasi
nilai-nilai sosial yang didapat dari lingkungannya dan akan diterapkan dalam
kehidupannya.
Sunarto dan Hartono (dalam Kau & Idris, 2020), menjelaskan faktor
internal yang mempengaruhi penyesuaian sosial diantaranya:
1. Faktor Fisik
a. Kondisi jasmaniah
Struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku karena
sistem saraf, kelenjar, dan otot adalah faktor penting dalam proses
penyesuaian sosial.
b. Perkembangan, kematangan, dan penyesuaian diri
Dalam suatu proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon
yang bersifat instinktif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan
pengalaman yang telah dialaminya.
2. Faktor Psikologis
a. Pengalaman
Pengalaman yang mempengaruhi penyesuaian sosial yaitu diantaranya
pengalaman yang menyenangkan, cenderung menimbulkan penyesuaian

16
sosial yang baik, serta pengalaman traumatik, yaitu pengalaman yang
cenderung mengakibatkan kegagalan dalam suatu penyesuaian sosial.
b. Belajar
Melalui belajar akan berkembang pola-pola respon yang akan membentuk
suatu kepribadian.
c. Determinasi
Determinasi diri merupakan suatu faktor kekuatan yang mendorong individu
untuk dapat mencapai sesuatu yang baik maupun sesuatu yang buruk, yang
bertujuan untuk mencapai taraf penyesuaian yang tinggi atau yang dapat
merusak diri.
d. Konflik
Konflik yang dihadapi tiap individu memiliki berbagai efek yang
berpengaruh pada perilaku, namun efek konflik pada perilaku individu
tergantung pada sifat konflik, diantaranya yaitu merusak, mengganggu, dan
menguntungkan.
Faktor eksternal yang mempengaruhi penyesuaian sosial menurut Sunarto
dan Hartono (dalam Kau & Idris, 2020), yaitu faktor lingkungan yang mencakup:
1. Pengaruh rumah tangga dan keluarga
Keluarga adalah faktor yang sangat penting dalam mengkondisikan
penyesuaian sosial anak, anak belajar bersosialisasi pertama kali dengan
keluarganya, anak diberikan dan diajarkan bagaimana menjadi makhluk sosial
di dalam keluarga dan selanjutnya dikembangkan di masyarakat.
2. Hubungan orangtua dan anak
Proses penyesuaian sosial anak dipengaruhi oleh beberapa pola hubungan
antara orangtua dan anak, diantaranya yaitu:
a. Menerima (acceptance), merupakan situasi dimana orangtua dapat menerima
anaknya dengan baik, yang dapat menimbulkan suasana hangat, penuh kasih
sayang, dan rasa aman bagi anak.
b. Menghukum dan disiplin yang berlebihan. Disiplin yang diterapkan oleh
orangtua sebenarnya memiliki dampak positif yaitu dapat membantu untuk

17
mengkontrol anak, namun jika disiplin itu ditanamkan secara berlebihan
atau terlalu kaku, dapat berakibat buruk pada anak yaitu menimbulkan
suasana psikologis yang akan merugikan anak.
c. Memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan dapat mengakibatkan
perasaan tidak aman bagi anak, anak cenderung memiliki sikap rendah diri,
serta gejala-gejala buruk yang lainnya.
d. Penolakan, suatu pola dimana orangtua menolak kehadiran anaknya,
mengakibatkan hambatan dalam proses penyesuaian sosial anak, anak
mengalami kesulitan dalam bersosialisasi.
3. Hubungan saudara
Hubungan antar saudara memiliki pengaruh dalam proses penyesuaian sosial
anak. Apabila terjalin suasana hubungan saudara yang kooperatif, penuh
persahabatan, penuh kasih sayang, dan saling menghormati dapat memudahkan
tercapainya penyesuaian sosial yang lebih baik, begitupun sebaliknya apabila
terjadi suasana yang penuh dengan kebencian, perselisihan, permusuhan, dan
pertengkaran antara saudara akan menimbulkan kesulitan dan kegagalan dalam
mencapai penyesuaian sosial yang baik.
4. Masyarakat
Masyarakat merupakan suatu kelompok sosial yang paling besar dan
berpengaruh besar pada pola hidup anggotanya. Keadaan lingkungan
masyarakat adalah kondisi yang menentukan proses penyesuaian sosial.
2.1.4 Ciri-Ciri Penyesuaian Sosial Yang Baik
Menurut Daradjat (1994) ciri-ciri kepribadian individu yang memiliki
penyesuaian sosial yang baik adalah sebagai berikut :
a. Suka bekerja sama dengan orang lain dalam suasana saling menghargai
b. Adanya keakraban
c. Empati
d. Disiplin diri terutama dalam situasi sulit dan berhasil dalam situasi sulit
e. Berhasil dalam sesuatu hal di antara kawan-kawannya.

18
Schneiders juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki
penyesuaian diri yang baik (well adjustment person) adalah mereka dengan segala
keterbatasannya, kemampuannya serta kepribadiannya telah belajar untuk
bereaksi terhadap diri sendiri dan lingkungannya dengan cara efisien, matang,
bermanfaat, dan memuaskan. Efisien artinya bahwa apa yang dilakukan individu
tersebut dapat memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan tanpa
banyak mengeluarkan energi, tidak membuang waktu banyak, dan sedikit
melakukan kesalahan. Matang artinya bahwa individu tersebut dapat memulai
dengan melihat dan menilai situasi dengan kritis sebelum bereaksi. Bermanfaat
artinya bahwa apa yang dilakukan individu tersebut bertujuan untuk kemanusiaan,
berguna dalam lingkungan sosial, dan yang berhubungan dengan Tuhan.
Selanjutnya, memuaskan artinya bahwa apa yang dilakukan individu tersebut
dapat menimbulkan perasaan puas pada dirinya dan membawa dampak yang baik
pada dirinya dalam bereaksi selanjutnya. Mereka juga dapat menyelesaikan
konflik-konflik mental, frustasi dan kesulitan-kesulitan dalam diri maupun
kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya serta tidak
menunjukkan perilaku yang memperlihatkan gejala menyimpang.

2.2 Culture Shock


2.2.1 Pengertian Culture Shock
Istilah "culture shock" pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (1960)
untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi,
dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu
lingkungan budaya yang baru. Istilah culture shock awalnya terdokumentasi
dalam jurnal medis sebagai penyakit yang parah (berpotensi hilangnya nyawa
seseorang), yang diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba dipindah ke luar
negeri. Oberg dalam Irwin, (2007) lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh
kecemasan individu karena ia kehilangan symbol-simbol yang selama ini
dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam
budaya baru dalam jangka waktu yang relative lama.

19
Ward (2001) mendefinisikan culture shock adalah suatu proses aktif dalam
menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar. Proses aktif
tersebut terdiri dari affective, behavior, dan cognitive individu, yaitu reaksi
individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikir ketika menghadapi pengaruh
budaya kedua (Zain, 2020). Mulyana (2008) Culture shock didefinisikan sebagai
kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan
simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu
cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk
memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak
perlu merespon.
Dari definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
culture shock merupakan suatu permasalahan yang melibatkan perasaan, cara
berpikir dan berperilaku pada diri individu saat menghadapi perbedaan
pengalaman maupun budaya.
2.2.2 Dimensi Culture Shock
Ward (dalam Zain, 2020) membagi culture shock kedalam beberapa
dimensi yang disebut dengan ABC of Culture Shock, yakni:

1. Affective
Dimensi ini berhubungan dengan perasaan dan emosi yang dapat menjadi
positif atau negatif. Mahasiswa mengalami kebingungan dan merasa
kewalahan karena datang ke lingkungan yang tidak familiar. Individu merasa
bingung, cemas, disorientasi, curiga, dan juga sedih karena datang ke
lingkungan yang tidak familiar. Selain itu individu merasa tidak tenang, tidak
aman, takut ditipu ataupun dilukai, merasa kehilangan keluarga, teman-teman,
merindukan kampung
2. Behavior
Dimensi ini berhubungan dengan pembelajaran budaya dan
pengembangan keterampilan sosial. Mahasiswa mengalami kekeliruan aturan,
kebiasaan dan asumsi-asumsi yang mengatur interaksi interpersonal mencakup

20
komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi di seluruh budaya.
Mahasiswa yang datang dan kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan
sosial yang baik di budaya lokal akan mengalami kesulitan dalam memulai dan
mempertahankan hubungan harmonis di lingkungan yang tidak familiar.
Perilaku mahasiswa yang tidak tepat secara budaya dapat menimbulkan
kesalahpahaman dan dapat menyebabkan pelanggaran. Hal ini juga mungkin
dapat membuat kehidupan personal dan profesional kurang efektif. Biasanya
mahasiswa akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin buang air kecil,
mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lainlain. Dengan kata lain,
individu yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan.
Misalnya, mahasiswa yang lebih sering berinteraksi dengan orang yang berasal
dari kampung atau sukunya saja.
3. Cognitive
Dimensi ini adalah hasil dari aspek affectively dan behaviorally yaitu
perubahan persepsi individu dalam identifikasi suku dan nilai-nilai akibat
kontak budaya. Saat terjadi kontak budaya, hilangnya hal-hal yang dianggap
benar oleh individu tidak dapat dihindarkan. Individu akan memiliki
pandangan negatif, kesulitan bahasa karena berbeda suku, pikiran individu
hanya terpaku pada satu ide saja, dan memiliki kesulitan dalam interaksi sosial.
2.2.3 Faktor-Faktor Culture Shock
Menurut pendapat Parrillo (2008) yang diperoleh dari situs menyatakan
ada beberapa faktor yang mempengaruhi culture shock yaitu:
1. Faktor pergaulan. Pada faktor ini, individu cenderung mengalami ketakutan
akan perbedaan pergaulan disetiap tempat yang baru. Ketakutan ini menjadikan
individu merasa canggung dalam menghadapi situasi yang baru, tempat tinggal
yang baru dan suasana yang baru. Akibat ketidak pahaman mengenai pergaulan
ini, individu juga akan merasa terasing dengan orang-orang disekelilingnya
yang dirasa baru baginya.
2. Faktor teknologi. Perkembangan teknologi yang semakin mutakhir ini
menyebabkan masyarakat harus selalu ingin berusaha untuk mengikuti

21
perkembangan teknologi agar mampu bersaing di dunia global. Teknologi juga
merupakan faktor penting dalam mempengaruhi timbulnya masalah culture
shock. Individu merasa takut tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi di
tempat tinggal barunya sehingga individu cenderung akan merasakan
ketakutan. Individu disini dituntut untuk berpikir keras bagaimana caranya
untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi serta mampu
mengaplikasikannya dikehidupannya.
3. Faktor geografis. Faktor geografis ini merupakan faktor lingkungan secara
fisik, misalnya perbedaan cuaca, perbedaan letak wilayah seperti daerah pantai
dengan daerah pegunungan. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut
mengalami gangguan kesehatan.
4. Faktor bahasa keseharian. Bahasa merupakan cerminan dari sebuah kebudayaan
yang beradab. Individu yang mengalami kekagetan terhadap budaya baru
sering kali dihubungkan dengan faktor bahasa sebagai salah satu ketakutan
yang cukup besar ketika akan menetap ditempat yang baru. Tidak menguasai
atau bahkan tidak mengerti sama sekali bahasa merupakan suatu hal yang
wajar yang menyebabkan timbulnya culture shock.
5. Faktor ekonomi. Ketakutan terhadap biaya hidup yang berbeda yang memiliki
kemungkinan lebih tinggi merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya
culture shock. Perbedaan inilah yang menyebabkan individu guncang ketika
dihadapkan pada permasalahan tempat tinggal yang baru. Individu harus mulai
berusaha, bersiap serta berwaspada mengantisipasi agar mampu bertahan hidup
ditempat tinggal yang baru.
6. Faktor adat istiadat. Faktor ini merujuk pada tradisi-tradisi yang biasa
dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah yang notebene memiliki ciri khas
kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Untuk itu mahasiswa harus mampu
beradaptasi dengan adat istiadat di daerahnya yang baru. Namun beradaptasi
dengan adat istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi seorang
mahasiswa, maka individu cenderung mengalami kekagetan budaya terutama
dalam hal adat istiadat tersebut.

22
7. Faktor agama. Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam
usahanya menyesuaikan di tempat tinggal yang baru. Individu mengalami
ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi perbedaan yang sangat
rentan dan tidak bisa disatukan dengan mudahnya.
2.2.4 Tahap-Tahap Culture Shock
Samovar menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan
culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U,
sehingga disebut U–Curve (Devita, 2015).
1. Fase optimistik, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas
dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia
sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Masalah kultural, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai
berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah
baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan
ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi
bingung dan tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan
mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan
bahkan menjadi tidak kompeten.
3. Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya
barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan
perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orangorang dan
peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu
menekan.
4. Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengerti
elemen kunci dari budaya barunya seperti nilai-nilai, adab khusus, pola
komunikasi, keyakinan, dan lain-lain.
2.2 Adversity Quotient
2.3.1 Pengertian Adversity Quotient
Adversity Qoutient diukur dan ditafsirkan dalam bentuk adversity qoutient
untuk memahami keadaan dan pola dari individu yang bersangkutan dalam

23
menghadapi kehidupan dan mengembangkan dirinya menuju kearah pencapaian
tingkatan kehidupan. Menurut Stoltz adversity quotient adalah suatu kemampuan
untuk mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan mencapai tujuan.
Adversity quotient mengungkap seberapa jauh seseorang mampu bertahan
menghadapi kesulitan yang dialaminya. adversity quotient juga mengungkap
bagaimana kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan tersebut. adversity
quotient memprediksi siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu dalam
mengatasi kesulitan. Adversity quotient juga memprediksi siapa yang akan gagal
dan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensinya.
adversity quotient juga memprediksi siapa yang akan menyerah ataupun bertahan
(Dara, 2020).
Menurut Agustian (dalam Nurhayati, 2020) Adversity Quotient adalah
kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan bertahan
hidup. Secara sederhana Adversity Quotient dapat didefinisikan sebagai
kecerdasan individu dalam menghadapi kesulitan dan bertahan dari kesulitan
tersebut. Jika seseorang berhadapan dengan berbagai kesulitan hidup, maka
kecerdasan yang digunakan adalah Adversity Quotient.
Adversity Qoutient mempunya tiga bentuk yaitu, Pertama adversity
qoutient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan kesuksesan, kedua adversity qoutient adalah suatu ukuran untuk
mengetahui respons terhadap kesulitan, dan ketiga adversity qoutient adalah
serangkaian perlatan yang memiliki dsasar ilmiah untuk memperbaiki respons
terhadap kesulitan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa adversity quotient
adalah ukuran untuk mengetahui kecakapan seseorang dalam merespon dan
mengatasi kesulitan, tantangan, hambatan yang ada serta bertahan sampai
menemukan jalan keluar dan mencapai tujuannya dengan mencari solusi atas
permasalahan atau rintangan yang dihadapi.
2.3.1 Aspek-Aspek Adversity Quotient
Aspek-aspek Adversity Quotient, dikemukakan oleh Paul G. Stoltz sering
disingkat menjadi CO2RE, yaitu (Iqbal & Verdaningrum, 2016):

24
1. Control/Kendali: sejauh mana seseorang mampu mengelola sebuah peristiwa
yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang.
2. Origin-Owenership /Asal Usul: sejauh mana seseorang mempersalahkan
dirinya tidak mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau
sejauh mana seseorang mempersalahkan orang lain atau lingkungan yang
menjadi sumber kesulitan atau kegagalan seseorang.
3. Reach/Jangkauan: sejauh mana kesulitan ini akan merambah kehidupan
seseorang, menunjukkan bagaimana suatu masalah menganggu aktivitas
lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi.
4. Edurance/Daya Tahan: makin tinggi daya tahan seseorang, makin mampu
menghadapi berbagai kesukaran yang dihadapinya.
2.3.3 Faktor-Faktor Yang Memegaruhi Adversity Quotient
Stoltz (2008) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi
Adversity Qoutient yaitu (Iqbal & Verdaningrum, 2016):
1. Daya saing, menurut Martin Seligman (Stoltz, 2000) seseorang yang memiliki
Adversity Qoutient rendah ketika mengalami ketidakberdayaan, akan
kehilangan kemampuan untuk menghadapi tantangan tersebut.
2. Produktivitas, penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2004) menunjukkan
bahwa seseorang yang merespon kesulitan secara konstruktif memiliki
peningkatan kinerja lebih baik ketimbang orang yang merespon secara
destruktif.
3. Motivasi, dalam penelitian yang dilakukan oleh Stoltz (2000) menemukan
bahwa orang-orang yang memiliki Adversity Qoutient tinggi merupakan orang-
orang yang memiliki motivasi tinggi.
4. Mangambil risiko, Satterfield dan Seligman (2000) menemukan bahwa orang-
orang yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif bersedia mengambil
lebih banyak risiko sehingga dapat mengatasi hambatan-hambatan dengan
lebih baik.
5. Perbaikan, perbaikan secara terus-menerus akan membantu seseorang bertahan
mengalami kegagalan-kegagalan yang dihadapi.

25
6. Ketekunan, ketekunan adalah kemampuan untuk terus-menerus berusaha.
7. Belajar, menurut Carol Dweck (Stoltz) membuktikan bahwa anak-anak yang
merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi
dibandingkan anak-anak yang memiliki pola lebih pesimistis.
8. Merangkul perubahan, dalam penelitian Stoltz menemukan bahwa orang-orang
yang memeluk perubahan cenderung merespon kesulitan secara lebih
konstruktif,
9. Keuletan, psikolog anak Emmy Werner (Stoltz) menemukan bahwa anak-anak
yang ulet adalah perencana-perencana, mereka yang mampu menyelesaikan
masalah dan mereka yang bisa memanfaatkan peluang.
2.4 Mahasiswa Indonesia Bagian Timur
Kuntarto (2015) menjelaskan mahasiswa merupakan makhluk
multidimensional. Mereka secara hakiki memiliki empat dimensi yaitu
individualitas, sosialitas, moralitas, dan religiusitas. Hartaji dan Damar (2012)
berpendapat mahasiswa ialah seseorang yang sedang melakukan proses mencari
ilmu atau belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada suatu institusi
seperti universitas, politeknik, maupun institusi pendidikan lainnya. Sedangkan
perantau memiliki pengertian meninggalkan kampung halaman dengan tujuan
tertentu, menuntut ilmu, dan mencari pengalaman namun suatu saat akan kembali
pulang ke kampung halamannya atau biasa dikatakan tidak menetap. Merantau
dapat pula diartikan sebagai kegiatan meninggalkan daerah asal atau tanah
kelahiran yang bertujuan untuk mencari penghidupan atau melanjutkan
pendidikan (Hersdi, 2021). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa mahasiswa rantau adalah individu yang meninggalkan kampung halaman
atau daerah asal untuk menuntut ilmu dan mencari pengalaman pada suatu
perguruan tinggi.
Salah satu perguruan tinggi Negeri di Indonesia yaitu Universitas
Trunojoyo Madura dimana terdapat banyak mahasiswa rantau yang berasal dari
berbagai daerah untuk melanjutkan pendidikannya. Banyak faktor yang
menyebabkan mahasiswa memilih melanjutkan pendidikannya ke Madura seperti

26
halnya Mahasiswa Indonesia Timur yang memilih untuk melanjutkan
pendidikannya ke Pulau Jawa karena beberapa faktor yaitu, rendahnya kualitas
pendidikan di daerah tempat tinggal mereka, apalagi yang berada di daerah yang
terpencil, seperti di wilayah Indonesia bagian Timur, sarana dan prasarana yang
kurang dan belum memadai, kualitas dari guru dan tenaga pengajar yang dirasa
masih belum kompeten menjadi salah satu alasan merantau ke Pulau Jawa untuk
mendapatkan pendidikan lebih layak (Kompasiana.com, 2016).
Indonesia Timur adalah kawasan ekonomi yang berbasis kemaritiman,
meliputi provinsi-provinsi sebelah timur Republik Indonesia yaitu, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo,
Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan
Papua (indonesiatimur.com, 2022). Para mahasiswa dari Indonesia Timur memilih
untuk melanjutkan pendididkannya keluar dari daerah tempat tinggalnya tidak lain
untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
2.5 Pengaruh Culture Shock Dan Adversity Quotient Terhadap Penyesuaian
Sosial Pada Mahasiswa Indonesia Timur Di Universitas Trunojoyo
Madura
Alasan remaja meninggalkan kampung halamannya atau biasa disebut juga
dengan merantau salah satunya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi di
perguruan tinggi dengan menjadi mahasiswa. Mahasiswa rantau adalah individu
yang meninggalkan kampung halaman atau daerah asal untuk menuntut ilmu dan
mencari pengalaman pada suatu perguruan tinggi (Herdi, 2021). Mahasiswa
rantau yang memilih kuliah di Madura berasal dari berbagai daerah mulai dari
daerah Jawa Timur hingga daerah luar Jawa. Dalam penelitian ini yang di angkat
adalah mahasiswa rantau khususnya dari Indonesia Timur yang sedang
menempuh pendidikan khususnya di Universitas Trunojoyo Madura. Berdasarkan
data dari BAAK Universitas Trunojoyo Madura, tercatat sejak tahun 2017 hingga
tahun 2022 jumlah mahasiswa yang berasal dari daerah Indonesia Timur di
Universitas Trunojoyo Madura berjumlah 91 mahasiswa. Sementara itu
mahasiswa yang berasal dari pulau Jawa berjumlah 14.499 dan mahasiswa yang
berasal dari Madura berjumlah 8.833.

27
Mahasiswa sebagai makhluk sosial supaya kebutuhannya terpenuhi harus
menyesuaiakan diri dengan lingkungan sosialnya yang lebih dikenal dengan
istilah penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial adalah suatu proses alami dan
dinamis yang dilakukan seseorang dengan maksud mengharmonisasikan diri
dengan orang lain di lingkungan sekitarnya agar tercapai hubungan seperti yang
diingkan. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan interaksi dengan
manusia lainnya, untuk itu maka setiap orang harus dapat menyesuaikan dirinya
dengan baik di lingkungannya sehingga dapat berinteraksi dengan baik pula.
Namun dalam melakukan penyesuaian sosial tentu ada faktor-faktor tertentu yang
mempengaruhinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial
yaitu culture shock.
Culture shock adalahrespon negatif yang dialami individu ketika
memasuki dunia baru. Mahasiswa perantau yang memasuki lingkungan atau
daerah baru disuguhkan dengan berbagai budaya baru yang tidak pernah ia
ketahui sebelumnya juga memiliki lebih banyak tuntutan, selain harus melakukan
penyesuaian sosial sebagai mahasiswa, mereka juga harus mampu melakukan
penyesuaian sosial sebagai pendatang dengan lingkungan barunya baik dari segi
norma, adat atau kebiasaan maupun aturan-aturan lainnya. Jika tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dengan baik, maka mahasiswa
perantauan akan mengalami kesulitan lainnya yang berhubungan dengan
lingkungan sosialnya.
Tidak hanya mahasiswa perantau, namun setiap orang pasti pernah
menghadapi permasalahan, kendala, maupun rintangan dalm hidupnya. Untuk
mengatasi kesulitan dalam hidup seseorang, dibutuhkan daya juang atau dalam
istilah psikologi dikenal dengan adversity quotient. Adversity quotient diartikan
sebagai suatu ukuran untuk mengetahui kecakapan seseorang dalam merespon dan
mengatasi kesulitan, tantangan, hambatan yang ada serta bertahan sampai
menemukan jalan keluar dan mencapai kesuksesannya dengan mengubah cara
berfikir dan bersikap terhadap rintangan tersebut. Manusia memiliki adversity
quotient yang berbeda-beda, Stoltz membagi jenis manusia menjadi tiga
berdasarkan tingkat adversity quotientnya, yaitu quitters, campers, climbers.

28
Mulai dari yang paling rendah yaitu; quitters ialah mereka yang keluar bahkan
sebelum memulai perjuangan, campers adalah mereka yang merasa puas ketika
berada di titik tertentu dan tidak melanjutkan perjalanan yang belum selesai, dan
yang terakhir climbers yaitu mereka yang terus melakukan perjalanan demi tujuan
tertentu meskipun harus melalui halangan dan rintangan. Sebagai seorang
pendatang yang menghadapi daerah baru dengan lingkungan sosial yang baru
juga, mahasiswa perantau seharusnya memiliki adversity quotient yang tinggi
untuk terus bertahan sehingga dapat mencapai tujuannya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa
perantau seharusnya memiliki penyesuaian sosial yang baik sehingga dapat
menyatu dengan lingkungan baru dan bertahan untuk mencapai tujuannya.
Seseorang yang mempunyai penyesuaian sosial yang baik seharusnya memiliki
culture shock yang rendah dan adversity quotient yang tinggi, karena dalam
menyesuaikan diri pasti kita dihadapkan dengan berbagai hambatan, kesulitan,
dan tantangan. Mahasiswa perantau dengan adversity quotient yang tinggi
memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah, mampu melewati tantangan,
rintangan, dan hambatan tersebut dengan suka cita bahkan membuat tantangan
menjadi peluang baginya.
2.6 Kerangka Konseptual

Mahasiswa

Mahasiswa lokal Mahasiswa rantau


Indonesia Timur

Sebagai makhluk sosial membutuhkan


hubungan sosial dengan orang lain

Untuk memenuhi kebutuhannya


sebagai makluk sosil harus berinterasi
dan menjalin hubungan dengan orang
lain yang akan menemukan beraneka
keragaman budaya (Laila, 2016)

29
Penyesuaian sosial Supaya tidak menimbulkan konflik dan
Aspek-aspek penyesuaian diterima oleh masyarakat lokal maka
sosial menurut Schneiders perlu menyesuaiakan diri dengan
(1964) yaitu: Recognition, lingkungan yang dikenal dengan
participation, social approval, penyesuaian sosial
altruisme, conformity.

Faktor yang mempengaruhi


penyesuaian sosial

Culture Shock Adversity Quotient


Ward (2001) mengatakan Stoltz (2000) menyatakan
bahwa culture shock suatu bahwa adversity quotient
proses aktif dalam adalah suatu kecerdasan
menghadapi perubahan saat dalam mengatasi dan
berada di lingkungan yang menyelesaikan berbagai
tidak familiar. masalah yang dihadapi

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual “apakah ada pengaruh culture shock dan
adversity quotient terhadap penyesuaian sosial pada mahasiswa Indonesia Timur
di Universitas Trunojoyo Madura”
2.7 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ apakah ada pengaruh
culture shock dan adversity quotient terhadap penyesuaian sosial pada mahasiswa
Indonesia Timur di Universitas Trunojoyo Madura”

30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Menurut
Sugiyono (2017), metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti
pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya
dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian,
analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis
yang telah di tetapkan.
Sugiyono (2014) berpendapat bahwa variabel penelitian adalah segala
sesuatu yang berbentuk apa saja yang di tetapkan oleh peneliti untuk di pelajari
sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik
kesimpulannya. Dalam penelitian ini terdapat dua jenis variabel yaitu variabel
bebas dan variabel terikat. Variabel bebas (X) adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
terikat. Variabel terikat (Y) adalah variael yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2014).

Adversity Qoutient
(X1)
Penyesuaian Sosial
(Y)
Culture shock
(X2)

Gambar 3.1 Paradigma Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh adversity quotient dan
culture shock sebagai variabel bebas (X) terhadap penyesuaian sosial sebagai
variabel terikat (Y). Tanda anak panah hitam pada skema diatas menggambarkan
pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat.

31
3.2 Variabel Penelitian
3.2.1 Definisi Konseptual
a. Schneiders (1964) mengatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan
kemampuan untuk bereaksi secara adekuat terhadap kenyataan, situasi, dan
hubungan sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat dipenuhi dengan cara
yang dapat diterima dan memuaskan (Kau & Idris, 2020).
b. Ward (2001) mendefinisikan culture shock adalah suatu proses aktif dalam
menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar. Proses
aktif tersebut terdiri dari affective, behavior, dan cognitive individu, yaitu
reaksi individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikir ketika menghadapi
pengaruh budaya kedua (Zain, 2020).
c. Stoltz (2000) mendifinisikan adversity quotient adalah suatu kemampuan untuk
mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan mencapai tujuan (Dara,
2020).
3.2.2 Definisi Operasional
a. Penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif
terhadap kenyataan, situasi, dan hubungan sosial di lingkungan sekitar tempat
tinggalnya, yakni dengan keluarga, sekolah, teman, atau masyarakat luas secara
umum. Serta menghormati hak-hak orang lain, bersedia memperhatikan
kesejahteraan orang lain, dan bersedia memberikan pertolongan kepada orang
lain, tanpa menimbulkan konflik-konflik didalamnya. Penyesuaian sosial
diukur menggunakan skala penyesuaian sosial yang dikembangkan dari lima
aspek yaitu: Recognition, participation, social approval, altruisme,
conformity.
b. Culture shock adalah suatu respon negativ yang daialami individu ketika
menghadapi perbedaan pengalaman maupun budaya baru. Culture Shock
diukur menggunakan skala culture shock yang dikembangkan dari tiga dimensi
yaitu: Affective, behavior, cognitive.
c. Adversity quotient adalah kemampuan individu dalam mengamati kesulitan dan
mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga

32
menjadi sebuah tantangan untuk diselesaiakan. Adversity quotient diukur
menggunakan skala adversity quotient yang terdiri dari empat aspek yaitu:
Control, origin-ownership, reach, dan endurance.
3.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah gerneralisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2017). Definisi
lain populasi diungkapkan oleh Azwar (2017) yang mendefinisikan bahwa
populasi penelitian sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi
yang mana sebagai suatu populasi, kelompok subjek tersebut harus memiliki
beberapa karakteristik bersama yang membedakannya dengan kelompok subjek
yang lain. Adapun populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur yang meliput daerah Nusa
Tenggara, Gorontalo, Sulawesi, Maluku dan Papua yang sedang menempuh
pendidikan di Universitas Trunojoyo Madura baik laki-laki ataupun perempuan.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2017). Bila populasi besar dan penelitian tidak
mungkin mempelajari semua yang ada di populasi, misalnya karena keterbatasan
dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil
dari populasi tersebut. apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan
dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi
harus betul-betul representatif (mewakili). Adapun sampel yang diambil adalah
mahasiswa yang berasal dari mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur yang
meliput daerah Nusa Tenggara, Gorontalo, Sulawesi, Maluku dan Papua yang
sedang menempuh pendidikan di Universitas Trunojoyo Madura baik laki-laki
ataupun perempuan.

33
Tabel 3.1 jumlah subjek

Asal Daerah Jumlah


Nusa Tenggara 29
Gorontalo 3
Sulawesi 11
Maluku 6
Papua 41
Total 90
3.3.3 Teknik Sampling
Sugiyono (2014) teknik sampling adalah teknik yang digunakan untuk
pengambilan sampel. Pada dasarnya teknik pengambilan sampel dibagi menjadi 2,
yaitu probability sampling dan Nonprobability Sampling. Pada penelitian ini
menggunakan teknik pengambilan nonprobability sampling. Teknik
nonprobability sampling terdiri dari sampling sistematis, sampling kuota,
sampling aksidental, purposive sampling, sampling jenuh dan snowball sampling.
Pada penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling dengan jenis
sampling jenuh.
Sugiyono (2014) mendefinisikan nonprobability sampling sebagai teknik
pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang atau kesempatan sama bagi
setiap unsur atau populasi yang dipilih untuk menjadi sampel. Penelitian ini
menggunakan teknik sampling jenuh, maksudnya adalah teknik penentuan sampel
bila semua anggota populasi dijadikan sampel. Hal ini dilakukan bila jumlah
populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang atau penelitian yang ingin membuat
generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil dengan istilah lain sampel jenuh
adalah sensus, dimana semua populasi dijadikan sampel (Sugiyono, 2014).
Adapun sampel dalam dalam penelitian ini adalah semua anggota populasi yaitu
sebanyak 90 sampel.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan menggunakan metode kuesioner dengan skala
pengukuran menggunakan skala ordinal Likert. Kuesioner merupakan alat teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.

34
Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu
pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden
(Sugiyono, 2017). Skala pengukuran adalah kesepakatan yang digunakan sebagai
acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur,
sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan
data kuantitatif (Sugiyono, 2017). Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorangatau kelompok orang tentang fenomena sosial
(Sugiyono, 2017). Skala yang digunakan pada penelitian ini adalah Skala
Penyesuaian Sosial dan Skala Culture Shock.
Skala disajikan dalam pernyataan favorable dan unfavorable. Untuk
penilaian skala adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2 Cara Penilaian Skala Culture Shock, Skala Adversity Qoutient dan
Skala Penyesuaian Sosial

Favorable Unfavorable
Respon Skor Respon Skor
SS 5 STS 1
S 4 TS 2
N 3 N 3
TS 2 S 4
STS 1 SS 5
3.4.1 Skala Penyesuaian Sosial
Penyusunan skala penyesuaian sosial didasarkan pada aspek-aspek
penerimaan sosial menurut Schneiders (1964) yaitu: Recognition, participation,
social approval, altruisme, conformity. Dengan jumlah item sebanyak 20 butir
pernyataan, meliputi 10 pernyataan favorable dan 10 pernyataan unfavorable.
Berikut ini kisi-kisi dan blue print dari skala penyesuaian sosial
Tabel 3.3 Kisi-kisi Skala Penyesuaian Sosial

No Dimensi Indikator Presentas


e
1 Recognition  Menghargai orang lain 20%
 Menerima hak-hak orang lain
2 Participation  Menciptakan dan membangun relasi 20%
dengan orang lain

35
 Aktif berperan dalam kegiatan sosial
3 Social  Membantu kesulitan orang yang ada 20%
Approval disekitar
 Menunjukkan sikap empati pada
orang lain
4 Altruisme  Rendah hati dan tidak egois 20%
 Menunjukkan kesediaan membantu
orang lain
5 Confirmity  Mentaati nilai-nilai integritas 20%
hukum, tradisi, dan kebiasaan
 Menginternalisasi nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat
Total 100%

Tabel 3.4 Blue Print Skala Penyesuaian Sosial


No Dimensi Indikator Item Total
Favorable Unfavorable
1 Recognition  Menghargai orang lain 1, 10 6, 13 4
 Menerima hak-hak orang
lain
2 Participation  Menciptakan dan 7, 12 2, 15 4
membangun relasi dengan
orang lain
 Aktif berperan dalam
kegiatan sosial
3 Social  Membantu kesulitan orang 3, 14 8, 17 4
Approval yang ada disekitar
 Menunjukkan sikap empati
pada orang lain
4 Altruisme  Rendah hati dan tidak 9, 16 4, 19 4
egois
 Menunjukkan kesediaan
membantu orang lain
5 Confirmity  Mentaati nilai-nilai 5, 18 11, 20 4
integritas hukum, tradisi,
dan kebiasaan
 Menginternalisasi nilai-
nilai yang berlaku dalam
masyarakat
Total 10 10 20

36
3.4.2 Skala Culture Shock
Penyusunan skala culture shock dalam penelitian ini didasarkan pada
dimensi culture shock menurut Ward (2001) yaitu: Affective, behavior, cognitive.
Dengan jumlah item sebanyak 24 butir pernyataan, meliputi 12 pernyataan
favorable dan 12 pernyataan unfavorable. Berikut ini kisi-kisi dan blue print dari
skala culture shock
Tabel 3.5 Kisi-kisi Skala Culture Shock
No Dimensi Indikator Presentase
1 Affective  Perasaan cemas di lingkungan yang 33,3%
tidak familiar
 Perasaan tidak aman tinggal di
lingkungan yang tidak familiar
 Perasaan disorientasi berada di
lingkungan yang tidak familiar
 Perasaan bingung, khawatir dn curiga
 Perasaan sedih di lingkungan yang
tidak familiar
 Perasaan tidak tenang
 Rindu kampung halaman (homesick)
2 Behavior  Perasaan kehilangan identitas diri 33,3%
 Behavior Sulit tidur
 Sakit fisik
 Interaksi komunikasi
 Mengurangi interaksi dengan orang
lokal
 Pembelajaran budaya
 Tidak nafsu makan
 Ketidakmampuan individu
mengembangkan keterampilan sosial
3 Cognitive  Pandangan negatif dan berbeda 33,3%
berupa penafsiran secara fisik
 Pikiran terpaku hanya pada sebuah
ide saja, yang biasanya berhubungan
dengan keadaan yang bernada
emosional
 Kesulitan interaksi dengan penduduk
lokal
 Kesulitan bahasa karena berbeda dari
negara asal
Total 100%

37
Tabel 3.6 Blue Print Skala Culture Shock
N Dimensi Indikator Item Total
o Favorable Unfavorable
1 Affective  Perasaan cemas di 1, 8, 13, 2, 7, 16, 20 8
lingkungan yang tidak 19
familiar
 Perasaan tidak aman
tinggal di lingkungan yang
tidak familiar
 Perasaan disorientasi
berada di lingkungan yang
tidak familiar
 Perasaan bingung, khawatir
dan curiga
 Perasaan sedih di
lingkungan yang tidak
familiar
 Perasaan tidak tenang
 Rindu kampung halaman
(homesick)
2 Behavior  Perasaan kehilangan 3, 10 15, 4, 9, 18, 24 8
identitas diri 21
 Behavior Sulit tidur
 Sakit fisik
 Interaksi komunikasi
 Mengurangi interaksi
dengan orang lokal
 Pembelajaran budaya
 Tidak nafsu makan
 Ketidakmampuan individu
mengembangkan
keterampilan sosial
3 Cognitiv  Pandangan negatif dan 5, 12, 17, 6, 11, 14, 20 8
e berbeda berupa penafsiran 23
secara fisik
 Pikiran terpaku hanya pada
sebuah ide saja, yang
biasanya berhubungan
dengan keadaan yang
bernada emosional
 Kesulitan interaksi dengan
penduduk lokal
 Kesulitan bahasa karena
berbeda dari negara asal
Total 12 12 24

38
3.4.3 Skala Adversity Quotient
Penyusunan skala adversity quotient dalam penelitian ini didasarkan pada
dimensi adversity quotient menurut Stoltz (2001) yaitu: Control, origin-
ownership, reach, edurance dengan jumlah item sebanyak 24 butir pernyataan,
meliputi 12 pernyataan favorable dan 12 pernyataan unfavorable. Berikut ini kisi-
kisi dan blue print dari skala adversity quotient
Tabel 3.7 Kisi-kisi Skala Adversity Quotient
No Dimensi Indikator Presentase
1 Control  Mampu mengendalikan diri dalam 25%
menghadapi kesulitan
 Berani mengambil resiko
 Mudah bangkit dari ketidakberdayaan
2 Origin-  Menempatkan rasa bersalah secara 25%
Owenership wajar
 Memandang kesuksesan sebagai hasil
kerja keras yang telah dilakukan
 Bertanggung jawab atas terjadinya
situasi sulit

3 Reach  Melakukan pemetaan masalah 25%


dengan tepat
 Mampu memaksimalkan sisi positif
dari situasi sulit
4 Edurance  Menilai kesulitan atau kegagalan 25%
bersifat sementara
 Mempunyai sifat optimisme
Total 100%
Tabel 3.8 Blue Print Skala Adversity Quotient
N Dimensi Indikator Item Total
o Favorable Unfavorable
1 Control  Mampu mengendalikan 1, 9, 17 6, 12, 20 6
diri dalam menghadapi
kesulitan
 Berani mengambil resiko
 Mudah bangkit dari
ketidakberdayaan
2 Origin-  Menempatkan rasa 3, 11, 19 2, 14, 18 6
Owenersh bersalah secara wajar
ip  Memandang kesuksesan
sebagai hasil kerja keras

39
yang telah dilakukan
 Bertanggung jawab atas
terjadinya situasi sulit

3 Reach  Melakukan pemetaan 5, 15, 21 4, 20, 24 6


masalah dengan tepat
 Mampu memaksimalkan
sisi positif dari situasi sulit
 Tolong menolong dan
memiliki relasi dalam
kesulitan yang dihadapi
4 Edurance  Menilai kesulitan atau 7, 13, 23 8, 16, 22 6
kegagalan bersifat
sementara
 Mempunyai sifat
optimisme
 Waktu yang dibutuhkan
dalam bertahan di dalam
kesulitan
Total 12 12 24
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau
sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah:
mengelompokkan data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan
data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis
yang telah diajukan (Sugiyono, 2017).
3.5.1 Uji Validitas
Validitas berasal dari validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan
dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi pengukurannya. Indikator
dikatakan valid apabila indikator tersebut mampu mencapai tujuan pengukuran
dari konstruk amatan dengan tepat. Kecermatan pengukuran baik dalam bidang
eksak, sosial maupun psikologis masih didapati suatu kesalahan. Kesalahan
tersebut berupa hasil yang terlalu tinggi (overesitimate) atau terlalu rendah
(underestimate). Kesalahn-kesalahan ini dikenal dengan istilah measurement
error (Herawati dan Edi, 2016).
Azwar (2016) menjelaskan bahwa valid tidaknya suatu pengukuran
tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut dalam mencapai tujuan

40
pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Sisi lain terdapat dalam pengertian
validitas adalah aspek kecermatan pengukuran yang mana suatu hasil ukur disebut
valid, tidak sekedar merupakan data yang tepat menggambarkan aspek yang
diukur akan tetapi juga memberikan gambaran yang cermat mengenai variabel
yang diukur.
Pengukuran validitas dan reliabilitas penelitian menggunakan uji terpakai.
Dalam penelitian ini reliabilitas menggunakan teknik Corrected item-Total
Correlation dengan bantuan SPSS 23.0 for Windows. Azwar menyatakan apabila
item yang memiliki indeks daya diskriminasi sama dengan atau lebih besar dari
pada 0,30 jumlahnya melebihi jumlah item yang direncanakan untuk dijadikan
skala, maka kita dapat memilih item-item yang memiliki indeks daya diskriminasi
tertinggi. Sebaliknya apabila jumlah yang diinginkan, kita dapat
mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas 0,30 menjadi 0,25 atau
paling tidak disarankan 0,20, maka jumlah item yang diinginkan dapat tercapai
(Herawati dan Edi, 2016).
3.5.2 Uji Reliabilitas
Realiabilitas merupakan serangkaian indikator gagasan laten yang
konsisten dalam pengukurannya. Reliabilitas adalah tingkatan keterpercayaan
hasil suatu pengukuran (Herawati dan Edi, 2016). Azwar (2016) mengungkapkan
bahwa walaupun istilah reliabilitas memiliki berbagai nama lain seperti
konsistensi, keterandalan, keterpercayaan, kestabilan, keajegan dan sebagainya,
namun gagasan pokok reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu proses
pengukuran dapat di percaya. Suatu yang mampu menghasilkan data yang
memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel.
Pengukuran yang hasilnya tidak reliabel tentu tidak dapat dikatan akurat karena
konsistensinya menjadi syarat bagi akurasi.
3.5.3 Uji Asumsi
1. Uji Normalitas

41
Menurut susanto dan sugiyono (2015) uji normalitasdigunakan untuk
mengetahui apakah sampel yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi
normal. Dasar pengambilan keputusan dalam uji normalitas yaitu:
a. jika nilai sig. > 0,05, maka data berdistribusi normal.
b. Jika nilai sig. < 0,05, maka data tidak berdistribusi normal.
2. Uji Linieritas
Herawati dan Edi (2016) menjelaskan bahwa uji linieritas bertujuan untuk
mengetahui apakah diantar variabel mempunyai hubungan linier secara signifikan
atau tidak. Dasar pengambilan keputusan dalam uji linieritas adalah:
a. Jika nilai sig. > 0,05, maka hubungan antara variabel X dan Y adalah linier.
b. Jika nilai sig. < 0,05, maka hubungan antara variabel X dan Y adalah tidak
linier.
3.5.4 Uji Regresi Linier Berganda
Penelitian ini menggunakan analisis regresi untuk melihat pengaruh
culture shock pdan adversity quotient terhadap penyesuaian sosial pada
mahasiswa Indonesia Timur. Menurut Herawati dan Edi (2016) analisis regresi
menjadi salah satu cara untuk memprediksi seberapa besar perubahan padaa
variabel terikat (dependent) akibat pengaruh variabel bebas (independent). Jenis
analisis regresi yang digunakan dalam penelitian ini analisis regresi linier
berganda. Herawati dan Edi (2016) mendefinisikan analisis regresi linier ganda
adalah alat analisis peramalan nilai pengaruh antara dua variabel bebas atau lebih
(X) terhadap satu variabel terikat (Y) dalam rangka membuktikan ada tidaknya
hubungan fungsional atau kausal antara dua variabel bebas atau lebih (X) terhadap
satu variabel terikat (Y). Teknik analisis penelitian ini dibantu dengan
menggunakan aplikasi SPSS 23.0 for Windows.
3.5.5 Uji Statistik
Jika ditinjau dari bentuk parameternya, terdapat dua kelompok analisis
statistik yaitu parametrik dan nonparametrik. Statistik parametrik digunakan untuk
menganalisis data interval atau data rasio, yang diambil dari populasi yang
berdistribusi normal. Sedangkan statistik nonparametrik digunakan uantuk

42
menganalisis data nominal dan ordinal dari data populasi yang bebas dari
distribuinya, artinya distribusinya tidak harus normal (Herawati, 2020). Penelitian
ini menggunakan statistik parametrik karena jenis skala datanya adalah data
interval. Data interval merupakan data yang berupa angka atau dapat diangkakan.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, K., Psikologi, F., & Diponegoro, U. (n.d.). HUBUNGAN ANTARA


ADVERSITY INTELLIGENCE DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA
MAHASISWA TAHUN.
Dahrul, A., Eva, N., & Dwiastuti, I. (2021). Penyesuaian Sosial Mahasiswa Baru
Tahun 2016 dari Daerah Indonesia Bagian Timur. 1(6), 441–446.
https://doi.org/10.17977/um070v1i62021p441
Dara, Y. P., Dewi, S. H., Faizah, F., & Rahma, U. (2020). Penyesuaian Sosial
Berdasarkan Adversity Quotient pada Mahasiswa Rantau. Jurnal Psikologi
Teori Dan Terapan, 10(2), 139. https://doi.org/10.26740/jptt.v10n2.p139-149
Devita, M., Hidayah, N., & Hendrastomo, G. (2015). Fenomena Culture Shock
(Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta. Jurnal
Pendidikan Sosiologi, 5(3), 1–15. https://adoc.pub/nur-hidayah-dan-grendi-
hendrastomo-uny.html
Estiane, U. (2015). Pengaruh Dukungan Sosial Sahabat Terhadap Penyesuaian
Sosial Mahasiswa Baru di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi
Klinis Dan Kesehatan Mental, 4(1), 29–40.
Gunarta, M. E. (2016). Konsep Diri, Dukungan Sosial dan Penyesuaian Sosial
Mahasiswa Pendatang Di Bali. Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 4(02).
https://doi.org/10.30996/persona.v4i02.560
Indrianie, E. (2012). Culture adjustment training untuk mengatasi culture shock
pada mahasiswa baru yang berasal dari luar jawa barat. Insan, 14(65), 149–
158.
Intan, T. (2019). Gegar Budaya Dan Pergulatan Identitas Dalam Novel Une

43
Année Chez Les Français Karya Fouad Laroui. 163 | Jurnal Ilmu Budaya,
7(2), 163–175.
Iqbal, M., & Verdaningrum, A. (2016). The Effect of Culture Shock and
Adversity Quotient on Indonesian Labor Satisfaction in Hong Kong. Jurnal
Kajian Wilayah, 7(2), 101.
Kau, M. A., & Idris, M. (2020). Deskripsi Penyesuaian Sosial Siswa Kelas X
SMA Negeri 1 Kota Gorontalo. Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal,
4(3), 265. https://doi.org/10.37905/aksara.4.3.265-274.2018
Kristina, A. Y., Eva, N., & Bisri, M. (2018). Pengaruh Kematangan Emosi
Terhadap Penyesuaian Sosial Pada Mahasiswa Baru Politeknik Negeri
Malang. Jurnal Sains Psikologi, 8(1), 187–192.
https://doi.org/10.17977/um023v8i12019p187
Nadlyfah, A. K., & Kustanti, E. R. (2018). Hubungan Antara Pengungkapan Diri
Dengan Penyesuaian Diri Pada Mahasiswa Rantau Di Semarang. Empati,
7(1), 136–144.
Novianti, D., & Tripambudi, S. (2014). Studi Fenomenologi : Tumbuhnya
Prasangka Etnis di Yogyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(2), 119–135.
Puspasari, D. A., Kuwato, T., & Wijaya, H. E. (2012). Dukungan Sosial Dan
Adversity Quotient Pada Remaja Yang Mengalami Transisi Sekolah.
Psikologika : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 17(1), 69–76.
https://doi.org/10.20885/psikologika.vol17.iss1.art8
Studi, P., Matematika, P., & Teknik, F. (n.d.). PENGARUH ADVERSITY
QUOTIENT ( AQ ) DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA. 3(1), 72–77.
Sulistyoningrum, E., & Kireida Kusnadi, S. (2020). Self Efficacy, Penyesuaian
Diri Pada Mahasiswa Nusa Tenggara Timur di Surabaya 18. Jurnal Psikologi
Wijaya Putra, 1(2), 18–25.
Zain, M. R. (2020). Penyesuaian Diri dan Komunikasi Interpersonal Pada
Mahasiswa Asing yang Mengalami Gegar Budaya. Psikoborneo: Jurnal
Ilmiah Psikologi, 8(1), 90. https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v8i1.4863

44
45

Anda mungkin juga menyukai