Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN TOPIK 03

GD4102 - SISTEM KADASTER

Disusun oleh: Kelompok 4

Retno Dammayatri 15116058


Bryan Agrisendi M. 15116059
Dionisius Arung M.W 15116061
Aji Dwi Nugroho 15116062
Obedh Try S. Sidabutar 15116069
Samuel Van L.L.G 15116071

TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tentang “Pemanfaatan ruang pada penerapan
TOD sebagai titik awal pengembangan kadaster 3d di indonesia (Studi kasus: Perbandingan
konsolidasi lahan sebelum dan sesudah adanya jalur MRT di Dukuh Atas)”. Laporan ini
disusun dalam menyelesaikan tugas topik 3 Sistem Kadaster. Kami mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan saran selama keberjalanan Problem
Based Learning serta penyusunan laporan ini:

1. Dr.Ir. Irawan Soemarto M.Sc. dan Alfita Puspa Handayani ST,MT. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Sistem Kadaster Kelas 01.
2. Seluruh dosen pengampu mata kuliah Sistem Kadaster Kelas 01.
3. Seluruh anggota kelompok 4 kelas 01 mata kuliah Sistem Kadaster.
4. Seluruh rekan-rekan Teknik Geodesi dan Geomatika yang mengambil mata kuliah
Sistem Kadaster.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami terima untuk perbaikan kedepannya. Dan
semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Selasa, 28 November 2019


Kelompok 4

ABSTRAK

Meningkatnya kegiatan pembangunan khususnya di wilayah perkotaan menyebabkan


orientasi pembangunan mengarah secara vertikal pada pemanfaatan ruang baik diatas maupun
dibawah permukaan tanah. Transit Oriented Development (TOD) merupakan konsep
penataan ruang dan transportasi terintegrasi untuk menciptakan ruang yang kompak, guna
lahan tercampur dan kawasan transit publik yang berada dalam jarak berjalan kaki. Makalah
ini berfokus pada implikasi TOD ditinjau dari segi konsolidasi/penataan ruang secara 3
dimensi.
Kata Kunci: Transit Oriented Development, Konsolidasi, 3 Dimensi.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap tahun angka pertumbuhan penduduk selalu meningkat tidak terkecuali di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut data yang diterbitkan oleh Badan Busat
Statistik, diproyeksikan pada tahun 2020 penduduk Indonesia akan mencapai 269,6 juta jiwa.
Angka ini terdiri atas 135,34 juta jiwa laki-laki dan 134,27 jiwa perempuan. Dalam ilmu
ekonomi pertumbuhan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
keseimbangan antara penawaran dan permintaan (supply and demand). Tentunya dengan
bertambahnya jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah permintaan (supply) terhadap
segala kebutuhan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan
kelangsungan hidup manusia.

Peningkatan jumlah permintaan (supply) terhadap berbagai kebutuhan ini juga meliputi
permintaan terhadap lahan atau bidang tanah. Pentingnya pemenuhan kebutuhan terhadap
lahan sendiri tidak terlepas dari peranan lahan terhadap kehidupan dimana segala aspek
ekonomi, sosial-budaya, ilmu pengetahuan, politik berlangsung di atasnya. Seperti yang
diketahui juga bahwa luas daratan di Indonesia 1,905 juta km 2 dan luasan ini tentunya tetap
dan tidak bertambah sama sekali. Peningkatan permintaan terhadap lahan yang tidak
berbanding lurus dengan jumlah penawaran lahan yang tersedia ini mendorong pemanfaatan
ruang yang lebih efektif serta efisien. Pola pemanfaatan ruang seperti ini selain
memanfaatkan ruang pada lahan atau bidang tanah (2 dimensi) juga memanfaatkan ruang
yang berada di atas maupun di bawah lahan atau bidang tanah itu sendiri (3 dimensi).

Salah satu contoh penerapan pemanfaatan ruang secara 3 dimensi adalah penerapan
konsep Transit Oriented Development (TOD). Transit Oriented Development (TOD)
merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran
dan maksimalisasi penggunaan angkutan massal seperti Busway/BRT, Kereta api kota
(MRT), Kereta api ringan (LRT), serta dilengkapi jaringan pejalan kaki/sepeda. Tujuan
penerapan konsep TOD selain sebagai efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang secara 3
dimensi, juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi dan
kemudahan mobilitas. Kemudian menciptak aksesibilitas dari wilayah urban dan sub-urban
serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dengan adanya konsep TOD ini diharapkan terwujudnya konektivitas secara terpadu
melalui beragam moda transportasi modern. Hal ini juga bisa meningkatkan nilai properti
karena turut ditentukan oleh ketersediaan fasilitas transportasi publik dan konsep
pengembangannya. Semakin dekat dan mudah menjangkau fasilitas tersebut, maka nilai
investasi properti yang berada di kawasan tersebut akan menjadi lebih tinggi.

Salah satu kota besar di Indonesia yang saat ini sedang menerapkan dan mengembangkan
konsep Transit Oriented Development (TOD) adalah Ibukota Negara Indonesia, DKI Jakarta.
Penerapan konsep TOD di DKI Jakarta diawali dengan pembangunan infrastruktur
transportasi massal. Mass Rapid Transit (MRT) atau lebih sering dikenal dengan kereta cepat
ini direncanakan menjadi sarana transportasi massal baru sebagai upaya untuk mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi oleh masyarakat Jakarta sehingga permasalahan kemacetan
dapat diatasi. Kedepannya Mass Rapid Transit (MRT) ini akan diintegrasikan dengan sarana
transportasi publik lainnya dalam lingkup area TOD serta menjadi stimulus pertumbuhan dan
kemajuan kawasan yang dilalui oleh jalur MRT. Dalam artikel ilmiah ini akan dibahas
mengenai pembangunan MRT itu sendiri sebagai salah satu penerapan pemanfaatan ruang
dalam konsep TOD dengan judul “Pemanfaatan Ruang pada Penerapan TOD Sebagai Titik
Awal Pengembangan Kadaster 3D di Indonesia : Perbandingan Konsolidasi Lahan Sebelum
dan Sesudah Adanya Jalur MRT”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang telah ditentukan terkait pembahasan mengenai topik
Transit Oriented Development adalah sebagai berikut.

a. Bagaimana implikasi penerapan Transit Oriented Development terhadap Rencana


Tata Ruang Wilayah?
b. Bagaimana keberjalanan Transit Oriented Development hingga saat ini? Apakah
sudah benar dan sesuai? (pengembangan infrastruktur MRT)
c. Apa saja kajian serta evaluasi yang dapat diberikan terhadap konsolidasi lahan dan
tata ruang pada konsep Transit Oriented Development?

1.3 Maksud dan Tujuan


Pada diskusi Problem Based Learning kali ini, setelah ditentukan rumusan masalah yang
diperoleh dari pembahasan mengenai konsep TOD, pembangunan infrastruktur MRT, dan
kadaster 3D selanjutnya ditentukan maksud dan tujuan penulisan artikel ilmiah ini. Dengan
rumusan masalah yang sudah disebutkan, ditentukanlah beberapa maksud dan tujuan
dilakukannya diskusi PBL sebagai berikut.

a. Menentukan implikasi penerapan Transit Oriented Development terhadap Rencana


Tata Ruang Wilayah.
b. Mengetahui keberjalanan Transit Oriented Development hingga saat ini.
c. Memberikan kajian dan evaluasi yang dapat diberikan terhadap konsolidasi lahan dan
tata ruang pada konsep Transit Oriented Development.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam diskusi Problem Based Learning pada borang pemicu ketiga ini
meliputi beberapa dasar teori dan isu pembelajaran sebagai berikut.

a. Konsep Transit Oriented Development (TOD)


b. Konsep kadaster 3D
c. Konsolidasi ruang disekitar jalur MRT
d. Konsep Land Tenure
e. Perubahan penataan ruang sebelum dan sesudah adanya Transit Oriented
Development (TOD)

1.5 Metode Penelitian

Dalam diskusi dan penelitian Problem Based Learning mengenai konsep TOD,
pembangunan infrastruktur MRT, dan kadaster 3D kami menggunakan metode penelitian
studi literatur, dan juga studi hasil wawancara langsung. Studi literatur dilakukan melalui
buku-buku penelitian, skripsi, undang-undang, dan secara daring.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan ini akan megikuti struktur sebagai berikut:

a. BAB I Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.

b. BAB II Metode dan Data

Bab ini berisikan tentang dasar teori yang berupa definisi dan pengertian yang
diambil dari kutipan buku yang berkaitan dengan kajian ini, serta berisi data-data
yang telah diperoleh sebelumnya terkait kajian ini. Dasar teori dapat diambil dari
buku literature, skripsi/penelitian, dan secara daring.

c. BAB III Hasil dan Pembahasan

Bab ini berisi hasil dan pembahasan dari masalah yang ditentukan, serta analisis
mendalam terkait solusi yang akan diberikan terkait rumusan masalah yang telah
dibuat.

d. BAB IV Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dari pemecahan masalah dan saran dari kelompok 4 untuk
studi selanjutnya.

e. Daftar pustaka

Berisi sumber-sumber literatur dalam pengerjaan artikel ilmiah.

f. Lampiran

Berisi lampiran-lampiran yang terkait dengan artikel ilmiah ini.

BAB II
METODE DAN DATA

2.1 Dasar Teori


2.1.1 Konsep Transit Oriented Development
Transit Oriented Development (TOD) merupakan konsep pengembangan atau
pembangunan kota yang memaksimalkan penggunaan lahan yang bercampur dan terintegrasi
dengan mempromosikan gaya hidup yang sehat (berjalan kaki dan bersepeda) dan
penggunaan angkutan umum massal (TOD guidebook, 2006).
Transit Oriented Development didefinisikan sebagai konsep yang menggunakan pola
ruang mixed-use (campuran) yang mendorong orang untuk tinggal berdekatan dengan
layanan transit serta untuk mengurangi ketergantungan orang terhadap mengemudi (atau
menjadi commuter). Konsep Transit Oriented Development dianggap sebagai salah satu
konsep perancangan kota yang berkelanjutan untuk masyarakat.
Konsep Transit Oriented Development dapat menjadi salah satu alternatif
perancangan kota untuk pertumbuhan daerah. Perkembangan kota yang berorientasi TOD
berpotensi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mengurangi biaya transportasi
rumah tangga sedangkan untuk wilayah dengan pola ruang mixed-use dapat mengurangi
dampak lingkungan dan memberikan alternatif untuk mengurangi kemacetan lalu lintas.
Konsep TOD diterapkan dengan memadukan kawasan hunian, perkantoran,pertokoan,
ruang terbuka, dan sarana umum dalam jangkauan jarak berjalan kaki yang nyaman. Dengan
konsep ini penghuni dan pekerja di kawasan tersebut akan mudah dan nyaman untuk
melakukan perjalanan dengan angkutan umum, sepeda, atau berjalan kaki.
Karakteristik dari suatu kawasan yang dibangun dengan konsep TOD umumnya adalah
sebagai berikut:
a. Merupakan pembangunan yang memadukan kawasan hunian dengan berbagai kategori
sosio-ekonomi, perkantoran, pertokoan, dan hunian komersial(apartemen/hotel).
b. Idealnya dibangun pada lahan yang dimiliki atau di bawah kewenangan lembaga yang
mengelola/mengoperasikan pelayanan angkutan massal.
c. Adanya insentif, promosi, dorongan, dan bahkan subsidi yang diberikan oleh lembaga
pengelola angkutan massal dan pemerintah (daerah).

2.1.2 Konsep kadaster 3 Dimensi


Menurut Stoter (2004), kadaster 3 dimensi merupakan sistem kadaster yang tidak
hanya membahas pendaftaran dan pengetahuan mengenai hak dan hambatan pada persil 2
dimensi, tetapi juga satuan properti 3 dimensi, di mana properti 3 dimensi ini merupakan
besaran ruang yang menjadi hak seseorang. Bahkan persil 2 dimensi tradisional termasuk ke
dalam properti 3 dimensi, walaupun seringkali batasnya tidak dijelaskan dengan gamblang.
Walaupun tumpang susun properti sudah dilakukan selama bertahun-tahun, belakangan
muncul pertanyaan apakah sudah saatnya kadaster merambah ke bentuk tiga dimensi.
Beberapa faktor yang memicu minat akan kadaster 3 dimensi :
a. Peningkatan nilai properti pribadi yang cukup signifikan akibat semakin
berkurangnya lahan
b. Bertambahnya jumlah fasilitas umum milik pemerintah serta bangunan publik lain
yang mengalami kenaikan jumlah tingkatan bangunan
c. Munculnya pendekatan 3 dimensi di bidang lain seperti sistem informasi geografis 3
dimensi yang memungkinkan pelaksanaan kadaster 3 dimensi
Pendekatan dua dimensi yang selama ini dianut masih memiliki keterbatasan,
diantaranya pada tidak adanya informasi spasial dalam bentuk ruang dari hak-hak yang
terdaftar, sehingga tidak diketahui apakah properti tersebut merupakan konstruksi yang
berada di atas maupun dibawah permukaan tanah. Untuk mengatasi keterbatasan dari
pendekatan dengan dua dimensi tersebut, maka dilakukan pendekatan dengan tiga dimensi
untuk mengakomodasi aspek ruang dari properti-properti yang kompleks tadi.
Dalam penerapan properti 3 dimensi, beberapa pengguna ruang menempati
ruangannya masing-masing (volume) yang didefinisikan secara 3 dimensi. Ruangan atau
volume ini biasanya ditempatkan saling bertumpangan satu sama lain, baik dalam satu persil
yang sama atau berpotongan melewati dua persil atau lebih. Hak kepemilikan diberikan bagi
setiap orang yang menempati setiap volume pada properti 3 dimensi.

2.1.3 Konsep Konsolidasi/Penataan Ruang Kota


Konsolidasi Tanah adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang, sekaligus menyediakan tanah untuk
pembangunan, untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan melibatkan partisipasi
aktif masyarakat.
Konsolidasi Tanah menurut Badan Pertanahan Nasional adalah Kebijaksanaan
pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan
dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat
(Peraturan KBPN No. 4 tahun 1991 pasal 1 ayat 1)
Ciri Pokok Konsolidasi Lahan Perkotaan adalah sebagai berikut:
a. Umumnya akan sangat tepat untuk memecahkan masalah pengembangan tanah di
bagian wilayah pinggiran kota.
b. Pengadaan tanah dan biaya konstruksi untuk prasarana dan fasilitas lingkungan
ditanggung bersama oleh pemilik tanah dengan menyumbangkan nilai lebih berupa
sebagian daripada tanahnya, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai pengatur dan
pembantu kelancaran penyelenggaraan Proyek Konsolidasi Tanah.
c. Prasarana umum yang tidak langsung merupakan kepentingan masyarakat dalam
wilayah yang dikonsolidasikan ditanggung oleh pengelola tanah.
d. Para pemilik tanah menerima kembali tanahnya dengan bentuk yang teratur dan siap
bangun
e. Mencakup perubahan fisik dan mendasar terhadap persil-persil tanah jaringan
prasarana dan fasilitas umum yang diperlukan
f. Pematangan tanah dan pembangunan prasarana dilakukan secara menyeluruh dan
sekaligus.
g. Setelah konsolidasi tidak ada persil-persil tanah yang tidak teratur bentuknya dan
tidak ada bagian tanah yang tidak bermanfaat
Dengan luas wilayah perkotaan yang relatif tetap, pada sisi lain kebutuhan ruangnya
(tanah) secara garis lurus terus-menerus meningkat maka peningkatan kebutuhan ruang
tersebut menimbulkan ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan tanah yang
diperlukan untuk perluasan ruang kota. Fenomena tersebut menimbulkan tumbuh dan
berkembangnya penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah secara tidak sah (liar),
lingkungan kumuh (slum area), dan timbulnya spekulan tanah karena harga tanah selalu naik
secara tidak wajar dan lain sebagainya.
Penyediaan tanah merupakan masalah utama pembangunan perumahan sebagai salah
satu pemenuhan kebutuhan hak dasar rakyat. Terbatasnya tanah di perkotaan menyebabkan
pemerintah kota dituntut untuk dapat memanfaatkan tanah secara efisien dengan
meningkatkan intensitas penggunaannya.
Konsolidasi tanah merupakan konsep pembangunan lingkungan permukiman yang
terpadu. Selain menata kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanahnya secara
optimal, tertib, dan teratur, proses ini juga melibatkan partisipasi masyarakat pemilik
tanahnya.
Konsep konsolidasi tanah perkotaan dengan pendekatan pemanfaatan ruang secara
horizontal (hamparan) sudah banyak diterapkan di Indonesia, tapi dengan model
pembangunan yang memanfaatkan ruang ke atas (vertikal) belum banyak dikenal. Konsep
konsolidasi tanah vertikal ini dirasakan semakin penting. Permasalahan ketersediaan tanah
yang ada di wilayah perkotaan, terutama di kota-kota besar semakin terbatas untuk
penyediaan tempat tinggal bagi warganya serta fasilitas lainnya.

2.1.3 Konsolidasi ruang disekitar jalur MRT

2.1.4 Konsep Land Tenure


Penguasaan Tanah (land tenure) menggambarkan tentang bagaimana sebuah hak atas
tanah dikuasai. Pola yang homogen dan terstruktur dari penguasaan tanah membentuk sistem
penguasaan tanah. Penguasaan tanah tidak berhenti dalam pengertian aspek kepemilikan saja,
namun juga terdapat aspek tanggung jawab dan batasan-batasan. Penguasaan tanah dalam arti
yanglebih lengkap adalah pola kepemilikan bidang tanah yang memenuhi aspek
Rights (hak), Responsibilities (tanggung jawab/kewajiban) dan Restrictions (batasan-
batasan).
Jenis penguasaan tanah terbagi dalam 4 kategori menurut Feder dan Feeny (1991)
dalam Dale(1999) :`
1. Open access/akses terbuka : terjadi ketika bidang tanah tidak terdapat
pemilik,aksesnya terbuka untuk siapa saja dan tidak ada kewajiban apapun sebagai
akibat penggunaannya.
2. Common propertytanah bersama : terjadi ketika bidang tanah dikuasai sekelompok
masyarakat dimana anggota masyarakatnya berhak menggunakan dan sekaligus
berkewajiban menjaga dan merawat tanah tersebut.
3. Private propertymilik perorangan : individu menguasai hak atas tanah dengandisertai
kewajiban dan batasan-batasan tertentu.
4. State property/milik negara : tanah-tanah yang dikuasai dan dikelola oleh badan-
badan pemerintahan dalam hal akses dan penggunaannya dimana anggota masyarakat
wajib mematuhinya.
Aspek penguasaan tanah adalah terdiri dari hak, kewajiban dan batasan (RRR).
Digambarkan dalam diagram berikut.
Menurut sifat, penguasaan tanah dibedakan menjadi tetap dan sementara.
Penguasaantanah tetap contohnya tanah yang dkuasai dari proses jual beli. Penguasaan tanah
sementara contohnya tanah garapan yang dikuasai dalam batas waktu atau tanah sewa.
Tatanan hukum dan norma sosial yang mendasari status pemilikan tanah, baik
menurut hukum positif maupun menurut masyarkat hukum adat, membentuk pola hubungan
tanah-individu-masyarakat-negara yang disebut Sistem Penguasaan Tanah.

2.1.5 Perubahan penataan ruang sebelum dan sesudah adanya TOD

2.2 Metodologi
Metodologi yang dilakukan dalam menyelesaikan laporan ini adalah studi literatur.
Adapun alur berpikir yang digunakan adalah sebagai berikut:
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Analisis
3.1.1 Implikasi penerapan Transit Oriented Development terhadap Rencana Tata Ruang
dan Wilayah
Dukuh atas merupakan area pusat perkantoran, perdagangan, dan jasa serta stasiun
terpadu dan titik perpindahan moda transportasi dengan konsep TOD. Pemilihan Dukuh Atas
sebagai tempat didirikannya TOD adalah karena memerhatikan dari segi Perpotongan koridor
angkutan massal (dua atau lebih), kawasan dengan nilai ekonomi tinggi atau yang diprediksi
akan memiliki nilai ekonomi tinggi kawasan yang direncanakan atau ditetapkan sebagai pusat
kegiatan.
Pengalihfungsian Dukuh Atas menjadi area TOD ini akan berimplikasi pada tataguna
atau penggunaan lahan di area sekitar TOD, apabila ditinjau dari segi konsolidasi lahan maka
pembangunan TOD ini dapat dianalisis melalui beberapa aspek yaitu:
1. Kepemilikan Ruang
Transit Oriented Development menggunakan konsep penggunaan lahan
secara bersusun atau bertingkat baik didalam permukaan tanah maupun diatas
permukaan tanah. Namun kebijakan yang mengatur mengenai kriteria dan
karakteristik kota/ perkotaan yang dapat mengembangkan TOD dan pusat
TOD secara khusus serta ketentuan kepadatan dan guna lahannya belum ada;
Belum adanya ketentuan yang seragam mengenai prasyarat simpul transit
yang dapat dikembangkan menjadi TOD; Intensitas pemanfaatan ruang belum
mempertimbangkan kebutuhan intensitas pengembangan dengan berbasis
transit dalam rangka meningkatkan demand transit; Zona campuran belum
menjadi guna lahan yang direkomendasikan dalam kawasan TOD; Belum
menjelaskan mekanisme TPZ secara rinci; Belum mengatur mengenai transisi
kepadatan pada area inti, sub inti dan penunjang; Perlu adanya kebijakan
mekanisme konsolidasi lahan untuk kawasan TOD; Perlu adanya kebijakan
penyediaan perumahan menengah ke bawah di dalam area TOD
2. Perubahan penggunaan ruang

- pengaturan ruangnya jadi gimana

3.1.2 Pelaksanaan Transit Oriented Development


Dalam pelaksanaannya selama ini, pembangunan TOD sudah memiliki payung
hukum dan pedoman yang tertuang dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Republik Indonesia
Nomor 16 tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit.
Secara umum Peraturan Menteri ini membahas tentang panduan dalam penentuan dan
penetapan lokasi kawasan TOD, perumusan ketentuan pemanfaatan ruang dan ketentuan
teknis dalam penerapan teknik pengaturan zonasi kawasan TOD yang diatur dalam RDTR
dan PZ, serta perancangan tata bangunan dan lingkungan dalam RTBL.
Pengembangan lokasi Kawasan TOD dilakukan melalui tahapan penentuan lokasi
kawasan potensial TOD, penentuan tipologi Kawasan TOD, dan penetapan lokasi Kawasan
TOD yang dilakukan melalui beragam kajian dari berbagai aspek. Kemudian ditetapkan
kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu Kawasan TOD, yaitu :
1. Berada pada Simpul Transit jaringan angkutan umum massal yang berkapasitas
tinggi berbasis rel
2. Memenuhi persyaratan intermoda dan antarmoda transit
3. Dilayani paling kurang 1 (satu) moda transit jarak dekat dan 1 (satu) moda transit
jarak jauh
4. Sesuai dengan arah pengembangan pusat pelayanan dan kegiatan
5. Berada pada kawasan dengan kerentanan bencana rendah disertai dengan mitigasi
untuk mengurangi risiko bencana
6. Berada pada kawasan yang tidak mengganggu instalasi penting negara
Kemudian kawasan TOD dibagi menjadi beberapa kategori (tipologi) sesuai dengan
skala layanan sistem transportasi massal, pengembangan pusat pelayanan, dan kegiatan yang
dikembangkan pada kawasan tersebut. Pembagian tipologi tersebut adalah :
1. Kawasan TOD Kota (terletak di pusat pelayanan kota dalam wilayah kota dengan
fungsi pelayanan berskala regional atau Kawasan Perkotaan dalam wilayah
kabupaten yang ditetapkan sebagai pusat kegiatan)
2. Kawasan TOD Subkota (terletak di subpusat pelayanan kota dalam wilayah
daerah kota dengan fungsi pelayanan berskala kota/bagian kota atau Kawasan
Perkotaan dalam wilayah daerah kabupaten yang ditetapkan sebagai pusat
kegiatan)
3. Kawasan TOD Lingkungan (terletak di pusat pelayanan lingkungan dalam
wilayah daerah kota dengan fungsi pelayanan berskala lingkungan atau Kawasan
Perkotaan dalam wilayah daerah kabupaten yang ditetapkan sebagai pusat
kegiatan)
Lalu kawasan TOD ditetapkan dalam peraturan daerah mengenai RTRW
provinsi/kabupaten/kota yang diintegrasikan dengan rencana struktur ruang untuk tingkat
provinsi, serta rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan
zonasi untuk tingkat kabupaten/kota. Kawasan TOD akan diatur lebih rinci dalam RDTR dan
Peraturan Zonasi daerah kabupaten/kota dengan memuat lokasi dan batas Kawasan TOD,
peruntukan ruang, dan Peraturan Zonasi.

3.1.3 Kajian dan evaluasi terhadap Transit Oriented Development

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

Daftar Referensi

Stoter, J.E. 2004. 3D Cadastre. Ph.D Thesis, Delft: Delft University of Technology.
Lampiran

Foto Anggota Kelompok

Foto Identitas
Retno Dammayatri
15116058

Bryan Agrisendi M.
15116059

Dionisius Arung M.W


15116061

Aji Dwi Nugroho


15116062

Obedh Try S. Sidabutar


15116069
Samuel Van L.L.G
15116071

Kalau mau diganti, ganti ajaaa, ini ambil dari database

Anda mungkin juga menyukai