Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Ikterus obstruksi terjadi bila duktus biliaris intra dan ektra hepatik

mengalami obstruksi dan empedu yang di produksi oleh sel hati normal tidak

dapat dieksresi. Penyebab obstruksi dapat terjadi karena batu, tumor, infeksi,

striktur sfingter papilla vater, striktur biler, trauma, abses amuba pada lokasi

tertentu, divertikel duodenum, dan cacing. Batu empedu merupakan gabungan dari

beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan

dalam kandung empedu (cholesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu

(choledocholitiasis) atau pada kedua-duanya.1,2,3,4,5

Insiden choledocholitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka

kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara.

Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi

yang disebut ”4 F” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan,

fat (gemuk), dan forty (empat puluh tahun).2

Di seluruh dunia kira-kira 1,5 milyiar penduduk terserang cacing pada

saluran cerna. Asia, Afrika, Amerika tengah dan Amerika Selatan masih

merupakan daerah endemik. Cacing pada kandung empedu lebih jarang

ditemukan daripada cacing didalam duktus biliaris. Di Indonesia belum ada angka

insidens yang pasti. Suzantra, dkk di Bandung, tahun 1992-1994 dari 95 kasus

ikterus obstruksi hanya mendapatkan 3 kasus ikterus obstruksi akibat cacing.3,7

Pengobatan terpilih untuk ikterus obstruksi ini adalah pembedahan baik itu

bedah konvensional maupun laparoskopi. Tindakan pembedahan merupakan

penatalaksanaan utama.

1
LAPORAN KASUS

Gambar 1. Penderita

Perempuan, usia 42 tahun, suku makassar, pekerjaan ibu rumah tangga,

masuk rumah sakit dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas yang dirasakan

sejak 7 hari yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri dirasakan tembus ke

belakang. Penderita mengeluhkan mual, muntah, dan demam sejak 2 hari yang

lalu. Penderita juga mengeluhkan mata kuning yang hilang timbul dalam 3 bulan

terakhir. Riwayat BAB berwarna putih dempul ada. Riwayat BAK berwarna kuning

seperti teh ada. Riwayat konsumsi makanan berlemak dalam jumlah banyak ada.

Riwayat penurunan berat badan lebih dari 10 kg dalam 6 bulan terakhir disangkal.

Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada.

Dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan status generalis : Sakit sedang,

Gizi cukup, Sadar baik. Status Vitalis didapatkan Tekanan Darah : 120/80 mmHg,

Nadi : 84 x/menit, Pernapasan: 20 x/menit, Suhu aksilla : 37,2°C. Status lokalis

mata konjungtiva : tidak anemis, sklera : tampak ikterus. Abdomen didapatkan

Inspeksi : datar, ikut gerak napas, warna kulit sama sekitarnya, Auskultasi :

peristaltik ada kesan normal, Palpasi : nyeri tekan ada di daerah epigastrium dan

hypochondrium dekstra, murphy sign positif, tidak teraba massa tumor, dan

Perkusi : Tympani ada. Dari Rectal Toucher didapatkan sfingter mencekik,

2
ampulla kosong, mukosa licin, nyeri tekan tidak ada, dari handscoen didapatkan :

feses tidak ada, lendir tidak ada, dan darah tidak ada.

Pemeriksaan Laboratorium (30 Desember 2014) pasien didapatkan hasil

sebagai berikut :

Parameter Hasil Nilai normal

WBC 21,3 4,00-10,0 x 103

RBC 4,2 4,00-6,00 x 106

HGB 12,4 12,0-16,0 g/dL

HCT 37 37,0-48,0 %

PLT 298 150-400 x 103

GDS 85 <200 mg/dl

Ureum 27 10-50 mg/dl

Kreatinin 0,6 L(<1,3); P(<1,1) mg/dl

GOT 71 < 38 U/L

GPT 130 < 41U/L

Kolesterol total 144 <220 mg/dl

Kolesterol HDL 26 Pr>65,Lk>55 mg/dl

Kolesterol LDL 59 <150 mg/dl

Trigliserida 78 <150 mg/dl

Bilirubin total 2,7 <1,1 mg/dl

Bilirubin direk 1,8 <0,3 mg/dl

Bilirubin indirek 0,9 <0,75 mg/dl

Na 137 136-145 mmol

K 3.6 3,5-5,1 mmol

Cl 97 97-111 Mmol

Tabel 1. Hasil Laboratorium

3
Pada hasil pemeriksaan USG abdomen (29 Desember 2014), didapatkan

hasil sebagai berikut : Hepar : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal,

permukaan reguler, tepi tajam, tampak dilatasi bile duct intra dan ekstra hepatik. Tidak

tampak dilatasi vaskular. Tidak tampak mass/cyst. GB : dinding tidak menebal, mukosa

reguler. Tampak echo batu ukuran 0.9 cm didalamnya. Pancreas, lien, ginjal kanan, ginjal

kiri, dan VU : tidak ada kelainan. Kesan : cholelithiasis, cholestatik intrahepatik dan

ekstrahepatik.

Gambar 2. USG Abdomen

Dengan dasar hasil USG abdomen tersebut, maka dilakukan beberapa

pemeriksaan penunjang tambahan yaitu CT Scan Abdomen (5 Januari 2015)

didapatkan hasil sebagai berikut : Hepar : Ukuran normal, outline licin, sudut lancip,

densitas parenkim normal, vaskuler normal, tampak cholestatic duct biliaris intrahepatik

dan ekstrahepatik sampai distal CBD, tak teridentifikasi batu maupun massa. GB :

dinding tidak menebal, tak tampak batu. Gaster, lien, pancreas, ginjal kanan, ginjal kiri,

buli-buli, uterus dan tulang-tulang yang terscan tidak tampak kelainan. Kesan :
4
Cholestatic ductus biliaris intra dan ekstrahepatik sampai distal CBD, tak tampak batu

maupun massa.

Gambar 3. CT Scan Abdomen

Berdasarkan anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang maka penderita didiagnosis ikterus obstruksi et causa

suspek choledocholithiasis disertai dengan cholangitis. Direncanakan operasi

eksplorasi CBD (common bile duct) pada tanggal 6 Januari 2014 di RS Islam

Faisal Makassar. Intraoperatif didapatkan batu di ductus choledochus ukuran

diameter ± 1 cm dan 1 ekor cacing pita ukuran ± 10 cm.

Gambar 4. Batu Empedu, Kandung Empedu, dan Cacing

5
Hasil pemeriksaan patologi anatomi suatu kolesistitis akut yang

merupakan komplikasi dini, serta didapatkan Taenia saginata. Diagnosis post

operasi adalah ikterus obstruksi et causa choledocholithiasis disertai dengan

cholangitis dan Taenia saginata. Post operasi hari ke-6 dilakukan kontrol

laboratorium yaitu : Bilirubin total 0,5 mg/dl, bilirubin direk 0,3 mg/dl, Bilirubin

indirek 0,72 mg/dl. Dan penderita direncanakan rawat jalan dengan keadaan

umum baik.

DISKUSI

Insiden choledocholitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka

kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara.

Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi

yang disebut ”4 F” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan,

fat (gemuk), dan forty (empat puluh tahun). Batu empedu dapat terjadi dengan

atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin banyak faktor resiko, semakin besar

pula kemungkinan untuk terjadinya batu empedu. Faktor resiko tersebut antara

lain :2

1. Genetik

Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu

empedu bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering

dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu.

Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit

6
hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan

Swedia.

2. Umur

Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat

sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu

dengan semakin bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk

mendapatkan batu empedu, sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya

adalah satu dari tiga orang.

3. Jenis Kelamin

Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan

perbandingan 2 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung

empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di

Indonesia jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Ini

dikarenakan oleh hormon estrogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi

kolesterol oleh kandung empedu.

4. Obesitas

Orang dengan obesitas mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi batu

empedu. Ini dikarenakan kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi,

dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan

kandung empedu

7
5. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi

gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu

dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

6. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar

dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.

7. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya

batu empedu. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit

berkontraksi.

8. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crohn

disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

9. Nutrisi intravena jangka lama

Mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk kontraksi, karena

tidak ada makanan/nutrisi yang melewati usus. Sehingga resiko untuk

terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

Kurang lebih 10% penderita batu empedu asimtomatik. Gejala yang timbul pada

ikterus obstruksi yaitu :3

1. Nyeri . Bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan dan

menjalar ke bahu kanan. Nyeri ini sering timbul terutama saat mengkonsumsi

makanan berlemak. Bila terjadi penyumbatan duktus sistikus atau kolesistitis

8
dijumpai nyeri tekan hipokondrium kanan, terutama pada waktu penderita

menarik napas dalam (MURPHY’S SIGN).

2. Mual dan muntah sering ditemukan.

3. Demam. Timbul peradangan. Sering disertai menggigil.

4. Trias Charcot, jika ada infeksi (Demam, Nyeri didaerah hati, Ikterus).

5. Hydrops vesica felea ( Couvousier Law ) : Teraba Vesica felea.

6. Pruritus. Kulit Gatal-gatal. Disebabkan oleh peningkatan garam empedu

dalam sirkulasi sistemik dan endapan garam empedu pada saraf di tepi kulit.

Cacing dewasa yang hidup didalam usus halus akan bermigrasi ke

duodenum kemudian masuk melalui ampulla Vateri. Sehingga timbul gejala klinis

yang diakibatkan oleh cacing didalam saluran biliaris, dapat berupa : nyeri akut

abdomen, muntah, ikterus dari yang ringan sampai berat sesuai dengan beratnya

obstruksi.12

Pada kasus ini ditemukan pada perempuan berusia 42 tahun, keluhan

berupa nyeri perut kanan atas yang dialami sejak 7 hari yang lalu yang dirasakan

hilang timbul, tembus ke belakang, mual, muntah, demam, dan mata kuning yang

dirasakan hilang timbul.

Batu merupakan penyebab terbanyak pada kasus ikterus obstruksi.

Choledocholithiasis adalah batu di duktus choledochus. Pada choledokolithiasis atau

batu CBD terdapat 2 macam batu empedu, yaitu : 6,9

1. Batu Primer

Batu primer pada yang terdapat pada ductus choledocus merupakan batu

empedu yang terbentuk secara langsung pada ductus choledocus.


9
Terbentuknya batu pada saluran empedu dapat disebabkan karena adanya

stasis bilier dan infeksi. Statis bilier yang menyebabkan terbentuknya batu

primer dapat disebabkan oleh striktur, stenosis papilla, tumor, batu sekunder

yang sudah ada sebelumnya.

2. Batu Sekunder

Batu sekunder berasal dari batu yang sudah terbentuk sebelumnya di Vesica

felea yang kemudian turun ke ductus choledocus.

Dikenal 2 jenis batu empedu, yaitu :1,3

a) Batu kolesterol : mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol dan

sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitat dan kalsium bilirubinat.

Terbentuk hampir selalu di dalam kandung empedu dapat berupa batu

soliter/multiple. Permukaannya dapat licin atau multifacet, bulat, berduri dan

ada yang seperti buah murbei dengan diameter 2-40 mm.

b) Batu pigmen : berbentuk tidak teratur, kecil-kecil dengan diameter 2-5 mm,

multiple, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan sampai hitam dan

berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Batu ini sering ditemukan

dalam ukuran besar karena batu-batu kecil ini bersatu.

Di seluruh dunia kira-kira 1,5 milyiar penduduk terserang cacing pada

saluran cerna. Asia, Afrika, Amerika tengah dan Amerika selatan masih

merupakan daerah endemik. Cacing pada kandung empedu lebih jarang

ditemukan daripada cacing didalam duktus biliaris.3 Cacing di dalam saluran

biliaris merupakan salah satu tipe dari infeksi cacing. Di Indonesia belum ada

angka insidens yang pasti. Suzantra, dkk di Bandung, tahun 1992-1994 dari 95

10
kasus ikterus obstruksi hanya mendapatkan 3 kasus ikterus obstruksi akibat

cacing.7

Pada kasus ini didapatkan batu di CBD diduga batu sekunder dengan jenis

batu pigmen dengan ukuran diameter ± 1 cm dan cacing dengan ukuran ± 10 cm.

Pada ikterus obstruksi terjadi : Bilirubin direk dan total meningkat,

kolesterol meningkat, Alkali fosfatase meningkat 2-3 kali, Gama glukuronil

transferase meningkat, Bilirubinuria (bilirubin dalam urine, urine seperti teh), dan

tinja alkolis (tinja berwarna keputihan seperti dempul).

Pemeriksaan pada cacing dilakukan pemeriksaan tinja secara :10

a. Makroskopis, yang diperhatikan dalam hal ini adalah bentuk proglotidnya

yang keluar bersama tinja. Bentuknya cukup khas, yaitu segiempat panjang

pipih dan berwarna putih keabu-abuan.

b. Mikroskopis untuk mendeteksi telurnya dapat dikerjakan dengan preparat tinja

langsung (directsmear) memakai larutan eosin. Pemeriksaan dikerjakan

dengan metoda konsentras (centrifugal flotation) atau dengan cara perianal

swab memakai cellophane tape.

Pada kasus ini sesuai dimana terjadi peninggian kadar bilirubin total,

bilirubin direk, bilirubin indirek, BAB berwana putih dempul dan BAK berwarna

kuning pekat seperti teh. Bilirubin total, direk, dan indirek meningkat terjadi

karena duktus biliaris intra dan ektra hepatic mengalami obstruksi dan empedu

yang diproduksi oleh sel hati tidak dapat dieksresi. BAB berwarna putih dempul

(akolis) menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus

akibat adanya obstruksi maka urobilinogen tidak akan disekresikan melalui feses.

11
Normalnya bakteri usus akan mereduksi bilirubin menjadi

urobilinogen/sterkobilin, zat ini akan memberi warna coklat pada feses. BAK

berwarna seperti teh menunjukkan adanya bilirubin dalam urin. Pada keadaan

normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin.

Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang

menyebabkan kolestasis. Pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran

duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis

apakah ada ikterus obstruksi atau ikterus non obstruksi.

Pada kasus choledocholithiasis, terdapat batu di dalam duktus koledokus.

Batu ini bisa satu maupun banyak. Batu yang tertanam biasanya terjadi di bagian

bawah duktus diatas ampula vateri. Intensitas ikterus biasanya fluktuasi dimana

batu bertindak sebagai katup (ball valve). Obstruksi partial masih mengeluarkan

cairan empedu ke dalam duodenum.

Secara sonografi terlihat Common Bile Duct (CBD) berdilatasi, tampak

bayangan hiper ekhoik dengan bayangan akustik. Batu akan mudah terlihat karena

dikelilingi oleh cairan empedu. Diagnosis akan lebih sulit katika seluruh saluran

empedu tertutup batu, dimana kontras antara cairan empedu dan batu menghilang,

serta tampak hanya sebagai bayangan akustik yang mungkin diduga sebagai gas

echo dari duodenum.

Sonografi merupakan pemeriksaan yang representative dan dapat

dipercaya dalam pendekatan diagnostik untuk cacing pada saluran biliaris.

Ferreyra di Brasil, dari 38 kasus infeksi cacing yang didiagnosis dengan sonografi

mendapatkan 37 pasien dengan komplikasi obstruksi usus, dilatasi duktus intra

12
dan ekstra hepatik, kolestitis akut, dan pakreastitis akut. USG memperlihatkan

echo non shadowing images, berupa garis tunggal dan multipel.

Visualisasi pada saluran cerna, cacing memberikan gambaran anekoik

inner tube atau fragmen yang amorf, dapat dikonfirmasi dengan Endoscopic

Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP). ERCP merupkan tindakan yang

langsung dan invasif untuk mempelajari traktus biliaris dan sistem duktus

pankreatikus. Ditangan yang berpengalaman ERCP mempunyai keberhasilan yang

cukup tinggi dan tingkat keakuratan atau ketepatan kurang lebih 90%. Pada

penyumbatan duktus biliaris ekstra hepatal oleh choledocholithiasis, tampak

gambaran defek pengisian yang radioluscen.

Gambar 5. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography(ERCP)

Pada kasus ini, USG memperlihatkan dilatasi bile duct intra dan ektra

hepatik, tampak echo batu ukuran 0,9 cm didalam gall bladder.

Pemeriksaan CT Scan mengenai traktus biliaris banyak dilakukan untuk

melengkapi data suatu pemeriksaan sonografi yang telah dilakukan sebelumnya.

13
Dalam hal ini CT Scan dinilai untuk membedakan antara ikterus obstruktif,

apakah intra atau ekstra hepatik dengan memperhatikan adanya dilatasi dari

duktus biliaris.

Dilatasi CBD dideteksi sebagai suatu bulatan atau struktur tubuler dekat

vena porta atau dekat daerah kaput pankreas. Kandung empedu sering berdilatasi

bila ada obstruksi duktus biliatis ekstra hepatik. Adanya gambaran dilatasi CBD

bagian caudal dari potongan yang berdampingan dengan vena porta diduga

adanya obstruksi bagian distal.

Pada kasus ini, CT Scan yang dilakukan menunjukkan cholestatik duktus

biliaris intra dan ektra hepatik sampai distal CBD, tidak tampak batu maupun

massa. Meskipun gambaran saluran empedu oleh CT Scan sudah sangat baik,

namun dalam mendeteksi batu saluran empedu hanya 20 sampai 40% saja dapat

terdeteksi.

Diagnosis ikterus obstruksi ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat

penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tetapi ada juga kasus

yang didiagnosis intra operatif. Pada kasus ini didiagnosis intra operatif.

Pilihan terapi dapat berupa konservatif dan pembedahan. Konservatif

dilakukan pada penderita yang menolak operasi atau penderita yang penanganan

bedah tidak dapat dilakukan. Pembedahan dapat dilakukan Eksplorasi CBD

(Common Bile Duct) dan kolesistektomi laparoskopi. Bedah laparoskopi sangat

efektif untuk kasus cacing dengan cholelithiasis.11

14
Pada kasus ini dilakukan tindakan eksplorasi CBD. Pada operasi ini

dilakukan kolesistektomi dan koledokolitotomi. Pasca operasi penderita diberikan

obat cacing dan edukasi pencegahan Taenia Saginata.

Penatalaksanaan pada Taenia saginata adalah medikamentosa :10

a. Praziquantel : dosis 10 mg/kg BB/hari dalam 3 kali selama 15 hari,

b. Mebendazole : dosis 600-1200 mg selama 3-5 hari

c. Albendazole :dosis 1×400/hari selama 3 hari

Komplikasi dini dapat berupa kolangitis supuratif akut, kolesistitis akut, abses

hepar, hemobilia, dan pancreatitis akut. Komplikasi lanjut berupa striktur

granulamatous dari duktus biliaris batu empedu dan granuloma hepatik.

Komplikasi yang terjadi jika batu empedu tidak dikeluarkan dan menghambat

duktus choledochus yaitu : Cholangitis dan kadang disertai sepsis, pancreatitis,

Bile duct injury dan sirosis, Liver dysfunction/failure, Fistula biliary enteric.

Prognosis choledocholithiasis tergantung pada gejala klinis dan beratnya

komplikasi. Choledocholithiasis dengan pembedahan, prognosisnya baik. Tanpa

pengobatan 55% pasien mengalami komplikasi. Prognosis taeniasis pada kasus ini

baik karena lokasinya di sistem biliaris.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam : Principles of

Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore : McGraw-

Hill, 1989. 1091-1099

2. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah.

Edisi 1. 1997. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 767-73.

3. Sarr, Michael G; Cameron, John. Sistem Empedu, dalam Sabiston, David C,

Buku Ajar Bedah,Jakarta : EGC 1994, hal 115-161

4. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8 th

edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.

5. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13 th

edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies, p544-55.

6. Lesmana L. Batu Empedu. In : Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid 1.

Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000 :

479-81.

7. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :

Sabiston Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.

8. Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Diunduh dari :http://emedicine.medscape.

com/article/175667-overview.

9. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2000. In : Color Atlas of

Pathophysiology. New York : Thieme,p:164-7.


16
10. Suroso, T., S. S. Margono, T. Wandra, dan A. Ito. Challenges for Control of

Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia. 2006. Parasitology International 55:

161–165.

11. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary

Surgery. In : Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington :

Lippincott Williams & Wilkins.

12. Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Alih Bahasa Adji Dharma. Edisi : II.P : 329-330.

17

Anda mungkin juga menyukai