Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KETERAMPILAN DALAM BK PASCA BENCANA


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah BK Pasca Bencana
Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Lilis Satriah. M.Pd.
Devi Eryanti, M.Pd.

Disusun oleh :
Maulida Zulfa Azizah 1164010089
Muhammad Alif Bin Razali 1164010100
Novia Fauziah Kurnia S 1164010113
Nurjanah 1164010117
Ratmawati 1164010125
Ratna Purnamasari 1164010126
Reksi Maenaki 1164010127
Rianudin 1164010131

BIMBINGAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...


Segala puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana
dengan rahmat dan segala karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan untuk
berkelana di alam dunia ini, tiada lain untuk megabdi pada-Nya. Shalawat dan
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada panutan kita, sang pemimpin
revolusioner, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang
terang benderang, yakni baginda Rasulullah SAW, kepada keluarganya,
sahabatnya, serta kita sebagai umat akhir zaman semoga mendapat syafaatnya.

Makalah ini kami susun dalam rangka menunaikan kewajiban kami untuk
memperluas khazanah keilmuan dan pengetahuan khususnya dalam mata kuliah
BK Pasca Bencana berkenaan dengan Keterampilan dalam BK Pasca Bencana
yang diampu oleh Ibu Dr. Hj. Lilis Satriah. M.Pd. dan Ibu Devi Eryanti, M.Pd.
Dengan segala kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Dosen dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam penulisan dan penyusunan makalah ini sangat banyak
kekurangannya, maka dari itu dengan senang hati dan lapang dada kami menerima
kritik, dan saran dari berbagai pihak. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat untuk kita semua, Aamiin...
Billaahit taufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum warahamatullahi wabarakatuh...

Bandung, 12 Oktober 2019

Penulis

2
Daftar Isi

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................5
1.3 Tujuan....................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................6
A. Keterampilan dalam Konseling Trauma.................................................................6
B. Keterampilan pada Konseling Krisis......................................................................9
C. Post Traumatik Stess Disorder (PTSD) : Gangguan Pasca Trauma................10
D. Konseling Untuk Korban Bencana.......................................................................11
1. Tujuan Konseling pada Korban Bencana.........................................................11
2. Keterampilan Dasar Konseling untuk Korban Bencana...................................11
3.   Proses Pemulihan Trauma pada Korban Bencana..............................................14
BAB III PENUTUP.......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring berjalannya waktu, proses konseli tidak bisa berjalan sendiri


perlu adanya dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan suasana
konseling yang representatif. Teknik dan ketrampilan konselor harus benar-
benar dimiliki oleh setiap konselor. Dalam menumbuhkan konseli pasca
trauma, seorang konselor harus dapat berorientasi pada konseli semaksimal
mungkin.

Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua


korban selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua
maupun anak-anak. Anak-anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa
depannya dan membangun harapan baru dengan kondisi yang baru pula.
Metode-metode yang digunakan konselor dalam menangani konseli juga
berbeda, hal ini wajar karena setiap orang berbeda-beda dalam memahami
orang lain. Dalam pendekatanya ada yang menggunakan pendekatan persuatif
ada juga yang menggunakan pola intensif dan lain-lain. Dalam hal ini,
kepiawaian seorang konselor ditunjukkan profesioalnya dalam menghadapi
konseli atau konseli.

Strategi konseling traumatik adalah upaya konselor dalam


merencanakan konseling untuk membantu konseli yang mengalami trauma
melalui proses hubungan pribadi sehinga konseli dapat memahami diri
sehubungan dengan masalh trauma yang dialaminya dan berusaha untuk
mengatasinya sebaik mungkin. Dalam menumbuhkan konseli pasca trauma,
konselor tidak hanya memiliki satu teknik dan strategi saja, namun harus
mengglobal dan mempunyai keterampilan dalam menangani trauma yang
dirasakan konseli, agar dalam menghadapi dan menyikapai konseli tepat
sesuai dengan yang diharapakan. Maka dari itu sangat diperlukan teknik dan
strategi yang relevan dalam menumbuhkan konseli pasca trauma

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana keterampilan dalam Konseling Trauma?


2. Bagaimana Keterampilan dalam Konseling Krisis?
3. Apa yang dimaksud dengan Post Traumatik Stess Disorder?
4. Bagaimana Konseling Untuk Korban Bencana?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui keterampilan dalam Konseling Trauma.


2. Untuk mengetahui Keterampilan dalam Konseling Krisis.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Post Traumatik Stress
Disorder.
4. Untuk mengetahui Konseling Untuk Korban Bencana.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keterampilan dalam Konseling Trauma

Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban


selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-
anak. Anak-anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa depannya dan
membangun harapan baru dengan kondisi yang baru pula. Bagi orang tua, layanan
konseling trauma akan membantu mereka memahami dan menerima kenyataan
hidup saat ini; untuk selanjutnya mampu melupakan semua tragedi dan memulai
kehidupan baru.

Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma


bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan
modal awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai
kapasitas yang dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka
bisa sesegera mungkin menjalani hidup secara mandiri sehingga mereka tidak
terus-menerus menyandarkan kehidupannya pada orang lain, termasuk pada
pemerintah. Untuk mencapai efektivitas layanan, konseling trauma dilakukan
dengan dua format, yaitu format individual (untuk korban yang tingkat stres dan
depresinya berat), dan format kelompok (untuk individu yang beban
psikologisnya masih pada derajat sedang).

Sebelum pelaksanaan layanan konseling diberikan, langkah pertama adalah


menciptakan rasa aman (Weaver, dkk. 2003). Bagi individu yang mengalami
trauma, dunia ini dirasa tidak aman dan nyaman. Oleh sebab itu, mereka
memerlukan orang lain yang bisa memberikan perlindungan dan rasa nyaman
pada

mereka, sehingga mereka merasa tidak sendirian dalam hidup ini. Penciptaan rasa
aman teresebut bisa dilakukan dengan mengadakan permainan yang bisa
mendorong individu untuk melupakan sejenak peristiwa traumatis yang
dialaminya.

6
Bagi individu yang mengalami trauma karena perampokan di tempat kerja,
penciptaan rasa aman bisa dilakukan dengan memberi izin untuk tidak masuk
kerja dalam beberapa hari; dan bagi yang kena rampok di rumah, bisa dilakukan
dengan pindah rumah buat sementara.

Pendekatan klasikal bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan


dengan rasa takut yang tidak adaptif (Prawitasari, 2011). Salah satu teknik yang
digunakan secara luas bagi konseli yang mengalami masalah kecemasan karena
peristiwa traumatis adalah disensitisasi sistematik (Holden, dalam Locke, Myers,
dan Herr, 2001; George dan Cristiani, 1995). Prawitasari (2011: 159)
menyebutnya dengan istilah “nirpeka beraturan”. Teknik ini didasarkan atas
prinsip classical conditioning.

Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah bahwa semua perilaku
individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar, dan untuk mengubah,
memodifikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga melalui belajar. Oleh
sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bisa dipelajari atau dikondisikan
(Wolpe, dalam Hock, 1999), dan proses ini disebut dengan terapi (Corey, 2012).

Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan konseling untuk


mengetahui informasi spesifik tentang kecemasan konseli guna memahami latar
belakang diri konseli secara komprehensif. Konselor harus mengidentifikasi
gejalagejala trauma atau PTSD yang dialami oleh konseli (Lawson, 2001) dengan
menanyakan kepada konseli tentang kondisi atau peristiwa khusus yang memicu
rasa takut tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika konseli merasa nyaman, dan rasa
nyaman itu diciptakan oleh konselor. Setelah penyulut kecemasan terdeteksi,
konselor bersama klein menyusun daftar urutan situasi yang menyulut kecemasan
dalam bentuk hirarki, mulai dari situasi yang menimbulkan kecemasan rendah
sampai tinggi (Wolpe, dalam Hock, 1999; Holden, dalam Locke, Myers, dan Herr,
2001). Jumlah tahapan atau hirarki urutan kecemasan yang disusun tergantung
pada tingkat kecemasan yang dialami konseli, biasanya sampai lima, enam, atau
lebih (Wolpe, dalam Hock, 1999). “Dalam teknik ini, konseli dilatih dulu untuk
relaksasi kemudian secara bertahap relaksasi ini dipasangkan dengan situasi yang

7
menakutkannya sampai akhirnya ia dapat mengatasi rasa takutnya” (Prawitasasi,
2011: 159).

Proses disensitisasi dimulai dengan menyuruh konseli duduk dalam


keadaan santai dan nyaman sambil memejamkan matanya. Teknik ini disebut
latihan rileksasi, yaitu proses penegangan dan pengenduran berbagai otot, seperti
lengan, tangan, wajah, perut, kaki, dan lain sebagainya (Wolpe dalam Hock,
1999). Setelah konseli merasa rileks, ia diminta untuk membayangkan sesuatu
yang paling sedikit menimbulkan kecemasan sesuai dengan hirarki yang telah
disusun. Apabila konseli masih bisa santai dalam membayangkan peristiwa
tersebut, konselor bisa bergerak maju dalam hirarki selanjutnya sampai konseli
memberi isyarat bahwa pada situasi itulah dia mengalami kecemasan, dan pada
saat itu pula skenario dihentikan (Wolpe, dalam Hock, 1999). Konseli disuruh
membuka matanya dan disuruh duduh santai. Apabila konseli tidak bersedia
melanjutkan pada hirarki kecemasan yang lebih tinggi, konselor bersama konseli
membahas secara mendalam apa yang dialaminya, atau melanjutkannya pada
konseling berikutnya. Sebaliknya bila konseli bersedia melanjutkan konseling,
pengendoran ketegangan dimulai lagi dan dilanjutkan dengan hirarki kecemasan
yang lebih tinggi lagi. Konseling dihentikan manakala konseli sudah tidak
mengalami kecemasan lagi.

Dengan demikian, pada konseli yang mengalami PTSD yang tinggi, teknik
disensitisasi cenderung dilakukan berulang- ulang. Banyaknya individu yang
beresiko tinggi mengalami PTSD setelah peristiwa trauma mengindikasikan
mereka sangat membutuhkan layanan konseling trauma. Oleh sebab itu, kepada
konselor disarankan untuk memberikan layanan konseling trauma melalui
penciptaan rasa aman, dan konseling perorangan dengan penggunaan teknik
desensitisasi sistematis yang didahului dengan teknik rileksasi.

B. Keterampilan pada Konseling Krisis

Krisis adalah keadaan disorganisasi tujuan hidup atau siklus hidup anak usia
dini yang mengalami gangguan dan stes mendalam. Menurut Geldard (1993)
krisis menyatakan bahaya yang mana salah satu penyebabnya adalah bencana

8
alam seperti seperti gempa, badai, banjir, gunung meletus, badai tsunami. Empat
tahap dalam keterampilan konseling krisis adalah sebagai berikut:

(1) menilai atau menentukan kondisi konseli saat ini dan keparahan permasalahan;
(2) konselor kemudian harus memutuskan jenis konseling yang paling dibutuhkan
saat ini berdasarkan penilaian dari keterampilan penyesuaian konseli;

(3) bertindak secara langsung dalam pelaksanaan konseling; dan

(4) melakukan pemantauan tindakan nyata konseli menerapkan hasil konseling


dengan bertindak nyata dalam kehidupan sehari-hari (Brammer, 1979).

Salah satu bentuk layanan konseling krisis yang tepat untuk diterapkan
untuk meminimalisir tauma anak usia dini koKata bermain adalah istilah yang
sering digunakan sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti paling tepat dari
bermain ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan tanpa
mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara suka rela dan tidak ada
paksaan dari luar atau kewajiban (Hurlock, 1978).

Menurut Sukmaningrum (2001) play therapy merupakan terapi yang dalam


pelaksanaan terapi menggunakan media alat-alat bermain. Setiap permainan
memiliki makna simbolis yang dapat membantu terapis untuk mendeteksi sumber
permasalahan anak. Selain itu, Indiyani (2011) menyatakan bahwa play therapy
adalahpenggunaan media permainan (alat dan cara bermain) dalam pembelajaran
pada anak yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gangguan-
gangguan atau penyimpanganpenyimpangan, seperti gangguan dan penyimpangna
pada fisik, mental, sosial, sensorik, dan komunikasi korban bencana adalah play
therapy.

C.   Post Traumatik Stess Disorder (PTSD) : Gangguan Pasca Trauma.

Tidak semua orang yang mengalami trauma akan mengalami PTSD. PTSD
terdiri atas tiga kluster simptom (tanda) utama, yaitu :

1.      Mengingat kembali kejadian traumatiknya.

Bentuknya, mimpi dalam pikiran atau flashback, mimpi buruk. Biasanya proses
pengingatan kembali itu disertai respons fisik dan emosional yang kuat.

9
2.      Penghindaran

Bentuknya, menghindari tempat, aktivitas, orang, benda-benda yang memiliki


asosiasi dengan kejadian traumatik.

3.      Tubuh secara otomatis bereaksi dengan sendirinya terhadap ancaman bahaya
yang tidak nyata.

Bentuknya, sangat waspada, mudah tersinggung, berkeringat dingin, mudah keget,


kesulitan tidur, kurang konsentrasi, tubuh mendingin, peningkatan denyut jantung,
nafas menjadi cepat, ingin kencing dan lainnya. Contohnya, melihat foto
kebakaran rumahnya,lantas tiba-tiba berkeringat dingin.

Untuk mengetahui bahwa gangguan termasuk gangguan pasca trauma atau


PTSD, maka ketiga simptom (tanda) di depan harus memenuhi syarat berikut:

1.      Sekurang-kurangnya 2 kluster simptom harus ada.

2.      Simptom khusus dari masing-masing kluster terjadi sekurang-kurangnya 1


bulan atau lebih.

3.      Siptom yang terjadi menyebabkan gangguan atau masalah dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam hubungan dengan orang lain dan segala aspek lainnya.

PTSD adalah gangguan yang nyata dan memerlukan pertolongan dan


penyembuhan, cara penyembuhan adalah dengan obat dan terapi. Kebanyakan
orang menderita PTSD setelah 3 bulan kejadian yang menimbulkan trauma
berlalu. Pada beberapa orang PTSD baru muncul bertahun-tahun kemudian. PTSD
bisa trjadi pada siapa saja, pada semua tingkatan umur, dari anak-anak, remaja,
dewasa, sampai orang tua.

D. Konseling Untuk Korban Bencana


1. Tujuan Konseling pada Korban Bencana

Tujuan konseling pada korban bencana adalah untuk mendengarkan


pengalaman trauma mereka dan memberikan bantuan yang mereka perlukan
dalam situasi sters pasca trauma.

2. Keterampilan Dasar Konseling untuk Korban Bencana

10
Konseling memerlukan keterampilan dasar yaitu:

a.    Keterampilan Membangun Hubungan Dengan Korban.

Keberhasilan konseli akan sangat ditentukan oleh sejauh mana hubungan


konselor dengan konseli berhasil dijalankan. Korban biasanya akan memberikan
respons baik jika konselor melakukan hal-hal benr berikut:

·         Konselor memberikan tatapan mata penuh iba.

·         Konselor tenang dalam menghadapi mereka.

·         Konselor bisa mendengarkan mereka dengan perhatian total.

b.      Keterampilan Bertanya Dengan Tepat.

Bercerita tentang pengalaman dan perasaan yang dialami pada saat


bencana atau peristiwa traumatik lain, diketahui sangat membantu proses
pemulihan trauma. Tugas konselor adalah membantu korban untuk bercerita atau
mengekspresikan pengalaman dan perasaan mereka sebaik-baiknya. Untuk itu
diperluka kemampuan bertanya yang tepat. Pertanyaan yang tepat dalam kondisi
ini adalah pertanyaan-pertanyaan terbuka, bukan pertanyaan tertutup yang
memungkinkan korban menjawab “ya” atau “tidak”

c.       Keterampilan Mendengarkan Secara Aktif

Mendengarkan secara aktif berarti memberikan perhatian total pada


korban, konselor harus mendengar dengan seksama apa yang dikatakannya dan
mampu menangkap informasi dari bahasa tubuhnya.

Gunakan bahasa nonverbal sebaik mungkin. Berikan kontak mata yang


teduh, tatapan yang penuh kasih, anggukkan kepala, ekspresikan kata-kata seperti,
ya.. ya..”,hmm..” dan lainnya buat konseli tau bahwa konselor betul-betul
memperhatikan. Parafrasekan. Sesekali ulangi kata-kata dari bahasa konselor
sendiri.

Refleksi perasaan. Jika dari bahasa tubuhnya ataupun dari kata-katanya


korban terlihat menunjukkan kecenderungan emosi tertentu, maka sebaiknya

11
konselor mempertegaskannya agar konseli betul-betul tau perasaan yang
dialaminya.

Terima ungkapan emosinya. Tetaplah tenang ketika korban menunjukkan


ungkapan emosinya, misalnya menangis terisak-isak karena sedih atau gemetar
ketakutan. Ketenangan konselor akan membuat konseli tahu bahwa yang dialami
normal belaka. Biarkan jika korban diam membisu untuk beberapa saat. Kadang
korban akan terdiam beberapa saat lamanya dan bisa terjadi berkali-kali selama
konseli karena korban perlu mengingat dan menyadari perasaanya pada saat
trauma.

Berbicara pada konseli harus berhati-hati. Salah-salah malah bisa


menimbulkan ketidak senangan klie dan memperparah stresnya. Berikut adalah
beberapa hal yang bisa dikatakan kepada konseli. Percayalah saudara tidak akan
menjadi hancur. Dan hal yang tidak boleh di katakan pada konseli misalnya,
akhirnya toh saudara selamat, semuanya akan baik-baik saja.

Konselor sebaiknya jangan membuat janji yang belum tentu dapat terjadi,
jangan mengatakan perasaan yang konselor pikirkan. Jangan mengatakan
bagaimana seseorang seharusnya bertindak. Jangan mengatakan hal-hal negatif
tentang bantuan yang tersedia.

d.      Keterampilan penyelesaian masalah

Kenali masalah-masalah yang dialami korban pastikan fokus pada salah


satu masalah yang dihadapi korban yang menurut konselor dapat diselesaikan
sendiri oleh konseli. Amatilah kondisi korban dalam menyelesaikan masalah itu.
Tunjukan kepada korban, kepada siapa mereka bisa mendapat berbagai akses
untuk membantu mereka. Seperti contoh, jika korban merasa takut masuk rumah
setelah peristiwa, tunjukan bahwa tidak ada masalah masuk rumah dengan
membiarkan dia melihat konselor memasuki rumahnya.

e.       Keterampilan memberdayakan korban

Tugas konselor adalah membuat korban atau konseli merasa mampu


mengontrol, lebih percaya diri lebih mampu, jadi lakukan secukupnya saja peran
ini.

12
Berikut hal-hal yang bisa diinformasikan pada konseli agar ia merasa lebih
berdaya:

1. Trauma bisa terjadi pada siapa saja. Tidak ada seorangpun mampu melindungi
diri mereka secara sempurna dari pengalaman traumatik

Mengalami gejala-gejala khusus setelah trauma bukan merupakan penanda


kelemahan diri.

c.       Seseorang tidak akan hancur gara-gara trauma yang dialaminya.

d.      Jika seorang bisa memahami dengan baik seluk beluk trauma dan gejala-
gejala stres maka ketakutan orang tersebut akan turun dan akan merasa lebih
mampu menanganinya.

e.       Orang lain banyak juga yang belum bisa pulih dalam waktu yang lama
setelah mengalami trauma.

3.   Proses Pemulihan Trauma pada Korban Bencana


Ada dua jenis pemulihan yaitu:

1.      Pemulihan trauma untuk menyembuhkan respon stres trauma dan mencegah
timbulnya PTSD tindakannya berupa:

a.       Pertolongan pertama pada trauma

Pertolongan pertama pada trauma adalah tindak pertolongan yang dilakukan atau
di berikan pertama kali kepada korban trauma dan dilakukan segera setelah
seorang mengalami trauma.

Langkah-langkah pertolongan pertama pada trauma adalah:

§  Secapat mungkin jauhkan korban dari peristiwa traumatik

Jauhkan dari lokasi kekerasan, kecelakaan, bencana dan dari semua bentuk
peristiwa traumatik lainnya.

§  Buat fisik korban trauma merasa nyaman.

13
Memeluk korban yang ketakutan kadang bisa membantu, memberi minum,
membaringkan atau menyandarkan korban dalam posisi rilek serta membantu
korban membantu nafas.

§  Pertemukan segera dengan orang-orang terdekat korban

Jika korban trauma adalah anak-anak pertemukan segera dengan orang tua atau
pengasuhnya. Jika korban trauma sendirian dan tidak di kenal, upayakan mencari
nomer telepon salah satu orang yang dikenal korban dan segera menghubunginya.

b.      Pemulihan stres paska trauma

Konsep dasar ini, trauma mempengaruhi fisik, emosi dan kognitif. Oleh sebab itu,
pemulihan trauma yang dilakukan atau diberikan pada korban, mencangkup
ketiganya.

Teknik pemulihan stres paska trauma pada prinsipnya bisa digunakan


untuk semua jenis trauma apapun penyebabnya meskipun lebih terfokus pada
trauma akibat bencana dan kecelakaan. Teknik pemulihan stres paska trauma
terutama untuk di berikan pada korban dimulai hari H sampai kurang lebih tiga
bulan setelah peristiwa traumatik terjadi.

Apabila tidak ada perubahan positif dalam waktu tiga bulan maka gejala
stres tersebut di katagorikan sebagai gangguan stres paska trauma atau PTSD.

2.      Pemilihan trauma untuk menyembuhkan PTSD

a.  Pemulihan trauma

§  Langkah pertama dan terbaik untuk membuat konseli pulih dari trauma adalah
mengakui bahwa konseli memilki kesulitan dan memerlukan bantuan.

§  Penyembuhan trauma membutuhkan orang lain

Di butuhkan kekuatan dari dalam diri sendiri tetapi proses emulihannya tidak bisa
di lakukan sendiri.

§  Trauma adalah gangguan konektifitas dengan dunia luar. Jadi tidak akan
membantu jika mengisolasi diri. Untuk memulihkannya harus membutuhkan
orang lain.

14
§  Dengan bantuan konselor dan pihak-pihak lain dalam membantu permasalahan
itu sama sekali bukan bertanda bahwa itu suatu kelemahan dan tak berdaya. Tidak
semua hal itu bisa di tangani sendiri.

§  Mengakui konseli memerlukan bantuan menandakan bahwa konseli cukup kuat


dan berani

§  Tenangkan dan buat nyaman kondisi fisik konseli.

b. Pemulihan fisik

Menenangkan fisik adalah langkah pertama yang menentukan. Membuat fisik


konseli menjadi nyaman akan memudahkan untuk memulihkan traumanya.
Apabila konseli tidak nyaman misalnya nafas tersenggal-senggal berkeringat
dingin gemetaran dan sebagainya maka bisa di lakukan setidaknya ada beberapa
hal yang bisa di lakukan:

Mengatur pernafasan. Ambil nafas dalam-dalam melalui hidung sampai terasa


memenuhi rongga dada, tahan sebentar, lalu hembuskan berlahan-lahan melalui
mulut.

Segeralah dibawa ke dokter atau balai pengobatan jika konseli mengalami cedera
fisik. Dokter bisa memberikan beberapa obat yang menyembuhkan simptom sakit
itu misalnya untuk meredakan sakit perut, sakit kepala, dapat di beri obat tidur
dan sebagainya.

Penuhilah kebutuhan fisik dengan segera misalnya, jika telah tiba


waktunya makan diperlukan makan, jika perlu minum, jika kedinginan diperlukan
jaket selimut penghangat, jika merasa perlu istirahat ( jika di perlukan maka di
persiapkan tenda pengungsian), jika sudah waktunya tidur usahakan untuk tidur
meskipun sulit.

§  Melakukan aktifitas fisik

Aktifitas fisik sangat membantu proses pemulihan trauma. Contoh: jalan-


jalan, berenang, senam, joging dan lain-lain.

15
Membantu orang lain yang sama-sama menjadi korban bencana selain
mengurangi tegangan fisik, aktifitas yang berbau fisik bisa membantu
mengalihkan perhatian dari memory yang menyakitkan atau melepaskan
kecemasandan emosi negatif konseli di ketahui aktifitas fisik juga dapat
meningkatkan rasa kontrol terhadap konseli sendiri.

c.  Pemulihan Emosi

§  Segera cari informasi tentang orang-orang terdekat, mengetahui kabar orang-


orang yang konseli sayangi akan membantu proses pemulihan emosi, mengetahui
keberadaan mereka akan membuat konseli lebih tenang.

§  Ekspresikan perasaan.

Konseli dapat mengekspresikan emosi dengan cara yang sesuai dengan budayanya
seperti menulis sensasi dan perasaan yang dialami.

§   Berbicara dengan orang lain yang dipercaya tentang perasaan dan apa yang
terjadi.

§   Jangan mengisolasi diri.

Konseli memerlukan orang lain untuk mendengarkan dan memaklumi apa yang
terjadi. Konseli harus menjalin interaksi dengan orang lain. Jangan menghindari,
pengertian dan dukungan dari orang-orang yang dicintai akan membantu untuk
pulih.

§  Ambil waktu untuk bersenang-senang

Temukan cara untuk membuat konseli merasa rileks dan takperlu merasa bersalah
karena sante. Itu dalam aktifitas yang menyenangkan seperti mengikuti acara
liburan keluarga, teman-teman memancing, menonton bersama dan lain-lain.

§   Relaksasi

Beberapa teknik relaksasi yang bisa konseli lakukan diantaranya: berenang santai
dan menikmatinya, berdoa, beribadah, mendengarkan musik yang lembut,
menikmati relaksasi aroma, otot, menikmati film da menikmati pemandangan
alam.

16
d.   Pemulihan Kognitif

 Terus mengaktifkan otak

Dengan tetap sibuk dan memiliki kegiatan yang teratur dan terarah. Jangan
hanya diam dan jangan biarkan konseli melakukan aktivitas yang tidak jelas.
Contoh: jika rumah konseli runtuh karenagempa, maka konseli diajak
mengumpulkan puing-puingnya, saling bergotong royong dengan tetangga sekitar
membenahi kekacauan, sebisa mungkin melakukan aktivitas rutin.

·      Jangan menjauhkan diri dari situasi, orang dan tempat yang mengingatkan
pada trauma terjadi. Pemulihan akan cepat apabila konseli berani untuk
mengkonfrontasikan rasa takutnya.

 Berfikir positif

Konseli diajak berfikir realistis bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan.

 Selalu memiliki harapan.

Konseli harus memiliki harapan. Jika konseli benar-benar depresi dan


kehilangan harapan, maka konselor harus mampu membangkitkan harapan konseli
dengan meminjamkan harapan orang lain, dengan meyakinkan konseli bahwa
orang-orang yang disayangi masih berharap akan menjadi lebih baik maka konseli
harus memenuhi harapan mereka.

 Mengambil tanggung jawab.

Ketika trauma terjadi konseli kehilangan kontrol terhadap hidupnya, maka


secara alamiah konseli diarahkan kembali meraih kontrol dan memastikan bahwa
semua orang memberikan bantuan dan dukungan pada apa yang menjadi pilihan
konseli.

 Belajar tentang trauma

Dengan memberikan pemahaman tentang trauma pada kilen maka ia akan


tahu bahwa : konseli tidak sendirian dan lemah. Banyak orang yang mengalami
trauma.

17
 Penuhi kebutuhan spiritual.

Setiap orang memiliki kebutuhan spiritual yakni kebutuhan untuk merasa


terhubung dengan sesuatu dan memaknai sesuatu, kebutuhan spiritual dapat
diperoleh melalui agama, maka konseli diberikan arahan untu berdoa atau
beribadah sesuai dengan agama yang diyakini.

D.    Pemulihan Trauma Untuk Anak-anak

Prinsip utama ialah untuk membantu anak pulih dari trauma dengan mengakui
bahwa anak memiliki kesulitan dan memerlukan bantuan. Karena kecemasan
berlebihan pada orang tua akan menular pada anak-anak dan bisa menambah stres
anak.

a.       Pemulihan fisik anak.

Teknik pemulihan stres pasca trauma untuk anak-anak, diantaranya ialah:

1.      Tenangkan dan buat nyaman kondisi fisik anak-anak

Jika gemetar ketakutan, menangis meraung raung atau terisak-isak, panik


dan ingin lari teanangkan dan peluk erat. Peluk erat dan hangat akan memberikan
perasaan aman, nyaman dan terlidungi yang sangat dibutuhkan anak setelah
trauma.

2.      Segera bawalah kedokter atau balai pengobatan jika anak mengalami cedera
fisik.

Kadang kala membawa anak yang cidera fisik ke dokter atau layanan
kesehatan cukup bermanfaat. Hal itu akan membuat anak lebih tenang karena tahu
dirinya akan baik-baik saja.

3.      Penuhi kebutuhan fisik anak dengan segera.

Pemenuhan kebutuhan fisik anak terbukti berperan sangat penting dalam


proses pemulihan stres akibat trauma pada anak. Makin cepat kebutuhan fisiknya
terpenuhi makin baik bagi proses pemuliha traumanya.

4.      Perhatikan tidurnya.

18
Jika anak sulit tidur, upayakan untuk membuatnya tidur, akan tetapi jika ia
mengalami gangguan tidur maka sebaiknya di konsultasikan ke dokter.

b.      Pemulihan emosi anak

1.      Kenali perasaan anak-anak

Pada prinsipnya jangan hawatir untuk membiarkan anak-anak


membicarakan bencana yang terjadi sebelum anak siap.

Dengarkan dan pahami sudut pandang anak terhadap bencana yang terjadi
dan peristiwa yang mengikutinya. Bertannyalah mengenai perasaannya tentang
bencana itu dengan pertannyaan terbuka tertutup sehingga ia betul-betul bisa
mengekspresikan perasaannya.

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan materi yang telah dipaparkan diatas, dengan makalah yang berjudul ‘’
Keterampilan Dalam BK Pasca Bencana’’ jika ditarik kesimpulan bahwa bahwa
keterampilan bk dalam menangani korban pasca sarjana yaitu dengan berbagai
pendekatan seperti pendekatan klasikal bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang
berhubungan dengan rasa takut yang tidak adaptif Salah satu teknik yang
digunakan secara luas bagi konseli yang mengalami masalah kecemasan karena
peristiwa traumatis adalah disensitisasi sistematik Teknik ini didasarkan atas
prinsip classical conditioning. Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah

19
bahwa semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar,
dan untuk mengubah, memodifikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga
melalui belajar. Oleh sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bisa dipelajari
atau dikondisikan. Dan untuk menghilangkan traumatik bagi anak bisa dengan
dengan alat-alat bermain. Setiap permainan memiliki makna simbolis yang dapat
membantu terapis untuk mendeteksi sumber permasalahan anak. bertujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan atau
penyimpanganpenyimpangan, seperti gangguan dan penyimpangna pada fisik,
mental, sosial, sensorik, dan komunikasi korban bencana adalah play therapy.

Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan
di atas. 

DAFTAR PUSTAKA

http://mauntus.blogspot.com/2013/05/makalah-ilmiah-konseling-
dan.html diakses pada Selasa, 15 Oktober 2019 pukul 19.40

Dr. Kusno Effendi, M.Si., M.Pd. Jurnal Prosiding Seminar Nasional


Bimbingan dan Konseling “Konseling Krisis”. Universitas Ahmad
Dahlan. 2018.

Herman Nirwana. Konseling Trauma Pasca Bencana. Universitas


Negeri Padang.

20
21

Anda mungkin juga menyukai