Anda di halaman 1dari 7

REFLEKSI KASUS

“TONSILITIS AKUT”

Pembimbing:
dr. Yuliono Trika Nur Hasan, Sp. M

Oleh:
Muhammad Aldyan 220702110049

DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
RSU KARSA HUSADA BATU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2023
Diagnosis Pasien dengan Tonsilitis Akut Disertai Perikondritis Aurikula

Muhammad Aldyan Yudha, S. Ked, dr. Yuliono Trika Nur Hasan, Sp.M

Program Studi Profesi Dokter, FKIK UIN Maulana Malik Ibrahim

Malang Email: putray035@gmail.com

Abstrak: Penyakit infeksi sangat sering diderita oleh manusia, salah satunya tonsilitis dan
perikondritis. Tonsilitis sendiri sering diderita oleh pasien usia muda. Pasien dengan diagnosis
tonsilitis akut juga menderita perikondritis aurikula sinistra ini memiliki alergi pada obat,
yaitu obat cefadroxil dan erysanbe (eritromisin). Pada kondisi pasien tersebut dokter
memberikan obat yang menghindari alergi pada pasien. Pasien dengan pemeriksaan tonsil
(T3/T3) juga disarankan untuk operasi tonsilektomi apabila tidak terdapat perbaikan selama
seminggu kemudian. Selain itu pasien yang berada di pondok diantar ke poli THT RS Karsa
Husada Batu bersama gurunya dan orang tua tidak dapat mendampingi pasien. Orang tua akan
diminta hadir pada kondisi tertentu misalnya saat pasien meminta untuk ditemani oleh orang
tua.

PENDAHULUAN

Infeksi virus maupun bakteri merupakan ancaman yang seringkali dihadapi oleh
manusia. Serangan virus maupun bakteri pada manusia tidak sedikit pula yang memberikan
dampak buruk hingga kualitas hidup penderitanya terganggu. Penyakit infeksi yang
menyerang manusia mempunyai berbagai jenis, salah satunya menyerang pada daerah tonsil
yaitu tonsilitis (Ramadhan et al., 2017).

Tonsilitis merupakan penyakit radang tonsil palatina yang sering ditemui pada anak-
anak atau penderita dengan usia muda dan tidak jarang dikaitkan dengan kebiasaan konsumsi
makanan pada penderita (Ramadhan et al., 2017). Namun hampir keseluruhan penderita
tonsilitis memiliki sistem imun tubuh yang rendah. Tonsil palatina sendiri merupakan bagian
dari cincin Waldayer yang tersusun atas kelenjar limfa yang terdapat pada daerah mulut,
seperti: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucal), tonsil lingual (tonsil pada
pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (Gerlach’s tonsil). Infeksi pada tonsilitis dapat
menyebar melalui udara, sentuhan dan air liur (Soepardi et al., 2012).

Tonsilitis akut dapat terjadi selama kurang dari tiga bulan akibat infeksi bakteri
maupun virus. Tonsilitis viral lebih menyerupai demam biasa, namun disertai dengan nyeri
tenggorok (Dhingra & Dhingra, 2018). Virus yang menyebaban tonsilitis merupakan etiologi
paling sering ditemui pada pasien tonsilitis akut. Virus yang sering ditemui adalah virus
Epstein Barr, hemofilus influenza yang sering menyebabkan tonsilitis akut supuratif, virus
coxsackie yang
menyebabkan luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri, rhinovirus, influenza
A, adenovirus, herpes simplex virus, metapneumovirus, dan parainfluenza serta virus
sinsitium saluran pernapasan, yaitu kalangan paramyxovirus yang menyebabkan penyakit
pada saluran pernapasan. Ini adalah penyebab utama bronkiolitis dan pneumonia. (Soepardi et
al., 2012; Walijee et al., 2017).

Sedangkan tonsilitis bakteri yang paling sering disebabkan oleh bakteri streptococcus
beta hemolitikus grup A dan non grup A, neiserria gonorrhea, mycoplasma pneumoniae,
chlamydia pneumoniae, dan corynebacterium diphteriae (Walijee et al., 2017). Infeksi terjadi
pada tonsil yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga muncuk radang jaringan
limfoid (folikel), edema, hiperemi, dan muncul eksudat saat mikroorganisme
berkembangbiak. Eksudat yang terus-menerus keluar permukaan menimbulkan adanya
penumpukan pada kripte yang disebut detritus. Tonsilitis akut yang disertai detritus
merupakan tonsilitis folikularis. Sedangkan apabila tonsilitis folikularis tersebut membentuk
kanal-kanal maka disebut dengan tonsilitis lakunaris. Detritus dapat melebar dan membentuk
membran semu (pseudomembran) hingga menutupi tonsil (Dhingra & Dhingra, 2018).

Perikondritis merupakan peradangan heliks atau tragus yang mungkin sekunder akibat
trauma, luka bakar, infeksi atau benda asing seperti tindik telinga. Perikondritis dapat
berkembang menjadi nekrosis tulang rawan dan deformitas permanen pada pinna jika tidak
segera diobati (Hospital, n.d.). Perikondritis tampak aurikula berwarna merah (hiperemi)
dengan edema serta rasa hangat apabila disentuh. Hiperemis yang terlihat merupakan tempat
infeksi berada. Bakteri yang paling umum menyebabkan perikondritis adalah pseudomonas
aeruginosa, selain itu juga dapat diakibatkan karena cedera pada telinga akibat operasi telinga,
tindik telinga (terutama tindik tulang rawan), atau olahraga kontak. Tindik telinga melalui
tulang rawan mungkin merupakan faktor risiko yang paling signifikan. Pembedahan, luka
bakar, dan akupunktur juga meningkatkan risiko infeksi (Darshan & Liji, 2019).

DESKRIPSI KASUS

Seorang pasien, anak M, berusia 14 tahun tahun datang ke Rumah Sakit Umum Karsa
Husada dengan keluhan sakit menelan sejak 5 hari yang lalu dan telinga sebelah kiri
membengkak sejak tadi pagi. Selan itu, pasien juga merasakan demam dan tidur mengorok.
Sebelum ini, pasien pernah mengalami sakit amandel sebulan yang lalu kemudian sembuh
setelah diberi obat. Sebelum datang ke poli THT, pasien sudah mengonsumsi obat yaitu
cefixime, parasetamol, dan prednisolone. Setelah dilakukan pemeriksaan, didapatkan
bahwa memang tonsil membesar dikedua bagian (T3-T3), tampak hiperemis dan kripte
melebar (+/+) namun tidak ada detritus serta terdapat post nasal drip di hidung sebelah kanan.
Selain itu, pada aurikula pasien sebelah kiri walaupun tidak terasa nyeri saat ditekan namun
terdapat edema dan hiperemis hampir seluruh bagian.

Diagnosis dari dokter THT untuk pasien tersebut adalah tonsilitis akut D/S karena
frekuensi kambuh hanya sekali perbulan selama dua bulan terakhir, serta perikondritis
aurikula sinistra. Karena pasien memiliki riwayat alergi obat yaitu pada obat cefadroxil dan
erysanbe (eritromisin), maka pasien diberikan terapi untuk tonsilitis akut, yaitu obat cefixime
dilanjutkan minum 2x1 namun untuk parasetamol dan metilprednisolon dihentikan dan
diganti dengan Na dikolfenak dan tremenza yang masing-masing diminum 2x1. Sedangkan
untuk telinga kiri yang membengkak, pasien cukup diminta untuk kompres dengan cairan
infus pada kasa. Telinga terus menerus dijaga untuk tetap basah dengan kasa dan cairan infus
tersebut. Pasien kemudian diberikan edukasi untuk telinga jangan digaruk dan untuk tonsilitis
akut pada pasien, apabila seminggu kemudian belum ada perbaikan maka disarankan untuk
operasi tonsilektomi.

PERASAAN TERHADAP KASUS

Melihat keluhan pada pasien, muncul rasa penasaran tentang apakah ada hubungan di
mana pasien memiliki tonsilitis dengan adanya perikondritis pada telinga kanan atau ada
kemungkinan saat pasien batuk/bersin kemudian tidak mencuci bersih tangannya saat
batuk/bersin lalu pasien menggaruk telinga. Selain itu melihat tonsil pasien yang membesar
(T3/T3) merasa kasihan bagaimana pasien sangat tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Hal
itu juga diperkuat dengan cara pasien bernapas yang terdengar mengorok walaupun pasien
dalam keadaan sadar. Tipe tonsilitis hingga T3 pada kedua bagian sangat mendekati untuk
dilakukan tonsilektomi. Hal ini memunculkan rasa iba saat mengetahui pasien berada di
pondok dan jauh dengan orang tua, sedangkan saat COVID-19 masih berlangsung, pihak
pondok masih belum berani mendatangkan orang tua untuk menjemut anaknya. Sehingga saat
melakukan pemeriksaan ke poli THT, pasien didampingi oleh gurunya.

EVALUASI KASUS

Pada kasus ini memang ada kemungkinan bakteri yang ada pada tonsilitis pasien
keluar melalui batuk/bersin lalu pasien menggaruk telinga tanpa cuci tangan. Namun pada
umumnya kedua diagnosis tersebut lebih mungkin didapatkan karena pasien memiliki imun
yang lemah dan mudah terserang bakteri ataupun virus. Pasien yang memiliki alergi juga
harus dipertimbangkan untuk pengobatan yang tidak menimbulkan keparahan atau kerugian
yang
lebih sehingga pasien dapat sembuh. Pada kondisi pasien juga didapatkan keluhan dirasakan
oleh orang sekitar yaitu gurunya, karena pasien kemungkinan sering tidak mengikuti
pembelajaran dan izin sakit atau pasien sulit untuk konsentrasi disebabkan oleh keluhan
tersebut. Maka sudah sewajarnya guru yang memahami pasien dan mengantarkan pasien
untuk berobat saat orang tua tidak dapat menemani.

PEMBAHASAN

1. Medikolegal

Tindakan pemberian terapi sudah seharusnya memiliki berbagai alternatif, khususnya


apabila terdapat pasien dengan alergi obat. Sehingga tetap dapat menyembuhkan penyakit
pada pasien tanpa menimbulkan penyakit lain. Hal ini dijelaskan dalam profesi kedokteran
yang dikenal dengan 4 prinsip moral utama, yaitu (Sofia, 2020):

1) Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination),
2) Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien;
3) Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau
“above all do no harm”,
4) Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).

Terlihat pada prinsip keempat yaitu dilarang melakukan tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Dalam kasus ini yaitu alergi pada pasien, maka kita dianjurkan untuk
memilih tindakan atau memberikan obat yang tidak terdapat kandungan alergi pada pasien.

2. Keislaman

Selain itu, menimba ilmu memang tidak selamanya akan terus bisa dekat dengan orang
tua. Para orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di pondok memiliki pertimbangan
yang matang untuk mendidik anaknya tidak hanya pada akademik namun juga agamanya. Hal
ini disebutkan juga dalam hadist yang menyatakan menuntut ilmu itu wajib dan walaupun
harus ke ujung dunia.

Al-Baihaiqi juga meriwayatkan hadis kewajiban menuntut ilmu ini dari Anas ra yang
artinya: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim” (As-Suyuŝi: 317) (Lubis, 2016).
“Abu `Abdillah al-Hafiᶎ memberitakan kepada kami juga Abu al-Hasan Ali bin
Muhammad bin `Uqbah as-Syaibani bahwa Muhammad bin `Ali bin `Affân menceritakan
kepada kami begitu jua Abu Muhammad al-Aşbahani memberitakan bahwa Abu Sa`id bin
Ziyad memberitakan kepada kami bahwa Ja`far bin `Amir al-`Askari berkata Hasan bin
`Aţ`iyah menceritakan dari Abi `Atikah dan diriwayat lain dari Abu Abdillah ia berkata Abu
`Atikah meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwasanya ia berkata : Rasul saw pernah
bersabda: tuntutlah ilmu meskipun di China karena sesungguhnya menuntut ilmu wajib bagi
setiap muslim”. Hadis ini adalah Hadis yang menyerupai Hadis masyhur namun sanadnya
ᶁa`if. Hadis ini walaupun sanadnya da’if atau lemah namun maksud dari walaw bi as-Şîn
menunjukkan jarak yang sangat jauh maksdunya tuntutlah ilmu meskipun harus ke ujung
dunia pada kitab Faiᶁul Qadir dijelaskan bahwa maksud. (Al-Manawi, 1994: 893) (Lubis,
2016).

KESIMPULAN

Ditinjau dari beberapa aspek diatas baik medikolegal maupun keislaman, dokter tidak
diperbolehkan untuk memeperburuk kondisi pasien ketika pasien memiliki alergi sehingga
dianjurkan memilih terapi yang sebisa mungkin menghindari alergi tersebut. Kemudian hal
yang wajar apabila pasien yang bersekolah di pondok tidak dating bersama keluarga namun
bersama gurunya. Apabila memang terdapat kondisi yang mengharuskan pasien didampingi
keluarga seperti pasien yang meminta sendiri untuk didampingi keluarga, maka dokter dapat
meminta kepada guru atau pendamping tersebut untuk mendatangkan orang tua.
DAFTAR PUSTAKA

Darshan, S., & Liji, G. (2019). Perichondritis. Int J Case Rep Images 2019, 10, Page 1, 10(2),
1. https://doi.org/10.5348/101023Z01SD2019CL
Dhingra, P., & Dhingra, S. (2018). Diseases of Ear, Nose and Throat: & Head and Neck
Surgery. In Self Assessment and Review: ENT (7th ed.). Elsevier.
https://doi.org/10.5005/jp/books/12861_7
Hospital, E. (n.d.). CLINICAL PRACTICE GUIDELINE Perichondritis of the Pinna
Description : How to Assess : Acute Management : Follow up : 2–5.
Lubis, Z. (2016). Kewajiban Belajar. 2, 229–242.
Ramadhan, F., Sahrudin, S., & Ibrahim, K. (2017). Analisis Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis
Kronis Pada Anak Usia 5-11 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 2(6), 198127.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2012). Buku Ajar Penyakit
Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (6th ed.). BP FKUI.

Anda mungkin juga menyukai