Datu Museng terperanjat. Ia tak menyangka kakek akan bertindak segegabah itu.
Maka Datu menghadang dan menyabarkannya.
“Kek, bukankah kakek telah berjanji padaku, tidak akan menggagalkan rencana
cucumu?” kata Datu Museng.
“Mereka terlalu kurang sopan. Akan kuperlihatkan kepada mereka apa seharusnya
imbalan yang pantas mereka peroleh dari kekurang-ajaran itu,” tambah kakek
Adearangang.
Raga pun mulai melayang ke udara. Raga itu melantik-lantik, dari kaki ke tangan,
kemudian ke kepala. Lalu melambung lagi ke atas, dan jatuh kembali ke kaki
pemuda yang lain.
Permainan mulai aman. Sorak cemooh tidak terdengar lagi. Dan bulan purnama
telah sudah menampakkan dirinya di antara bintang-bintang bertaburan. Maipa
Deapati sudah muncul di jendela atas, menghadap pekarangan di mana pemuda-
pemuda sedang asyik bermain raga.
Sebenarnya, inang pengasuh dan bunda permaisuri telah letih mengajaknya untuk
menonton pertandingan raga. Maipa selalu mengabaikannya. Ia memilih berdiam
diri di bilik. Padahal, biasanya hanya orang mengadu kerbau, sapi atau ayam, ia
gembira menyaksikan, apalagi jika gelanggang permainan raga yang
diselenggarakan. Ia pasti tidak ketinggalan menyaksikannya.
Adakah nama itu kuasa mengobat rindunya? Adakah Tuhan bermurah hati
mengantar penguasa hatinya itu ke gerbang jangkauannya kini? Sudah terkabulkah
pintanya yang tak berputus siang dan malam? Pujaan hatinyakah yang kini sedang
disorak-soraki di bawah sana?
“Oh… Tuhan-ku…, jangan kecewakan pinta hamba-Mu ini. Jangan siksa juga
badan yang tak kuasa lagi menanggung rindu. Tolonglah…., tolonglah….,” ratap
Maipa, sambil turun dari peraduannya.
Mata Maipa liar menyapu gelanggang. Ia meneliti para pemuda, satu per satu,
yang sedang bermain raga. Para pemuda itu, kini sedang asyik kembali
mempermainkan raga. Mereka mengeluarkan keahlian masing-masing, layaknya
sedang bersaing hebat, untuk merebut hati dara-dara ayu di atas sana.
Ketika itu, Datu Museng mencoba melontar pandang sekali lagi ke sekeliling
jendela, untuk memeriksa apakah siasatnya telah berbuah, setelah namanya sudah
beberapa kali diteriakkan oleh penonton.
Saat itu, ya saat itulah, kedua pasang mata yang menyorot haus dari arah
berlawanan, bertemu. Pandangan kedua makhluk saling merindu ini, terpaku
laksana tak ada di antara keduanya hendak mengalihkan pandangan. Kedua hati
turut berbicara dalam bahasanya sendiri.
Datu Museng segera mengirim senyum mesra yang diterima oleh Maipa laksana
mendapat hadiah tak ternilai dalam hidupnya. Rasanya, jika ia harus mati, maka
kematiannya sekarang tak menjadi soal lagi baginya.
Melalui pertemuan pandang inilah, serentak terbakar piala hatinya. Jiwanya hidup
kembali. Sesuatu telah membakar wajah nan jombang berseri. Rasanya tak kuasa
berdiri berlama-lama. Panas segala-galanya, resah dalam berdiri, halilintar terus
menyambar gemuruh ke dalam jiwanya, tak tertanggungkan.
Apa yang harus diperbuatnya? Ia seorang bangsawan tinggi, tidak sedarah dengan
Datu Museng. Ia pun sudah dijodohkan dengan Pangeran Mangngalasa. Apa
dayanya?
Hanya tangis pengobat hati yang pilu. Tubuhnya berguncang, menahan derita
jiwa. Peluh dingin membasahi sekujur raganya. Ia sakit? Entahlah. Ia hanya
tinggal seorang diri di dalam bilik, menjerit mengaduh di dalam hati.
(bersambung)