Anda di halaman 1dari 4

Memahami Amar Ma’ruf Nahi Munkar secara Benar

Pada hakikatnya amar ma’ruf nahi munkar merupakan bagian dari upaya menegakkan
agama dan kemaslahatan di tengah-tengah umat. Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar
lebih dititiktekankan dalam mengantisipasi maupun menghilangkan kemunkaran, dengan
tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di tengah masyarakat tanpa menimbulkan
dampak negatif yang lebih besar.

Menerapkan amar ma’ruf mungkin mudah dalam batas tertentu tetapi akan sangat
sulit apabila sudah terkait dengan konteks bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu
orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus mengerti betul terhadap perkara
yang akan ia tindak, agar tidak salah dan keliru dalam bertindak.

Syekh an-Nawawi Banten di dalam kitab beliau, Tafsir Munir berkata, “Amar ma’ruf
nahi munkar termasuk fardlu kifayah. Amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan
kecuali oleh orang yang tahu betul keadaan dan siasat bermasyarakat agar ia tidak tambah
menjerumuskan orang yang diperintah atau orang yang dilarang dalam perbuatan dosa yang
lebih parah. Karena sesungguhnya orang yang bodoh terkadang malah mengajak kepada
perkara yang batil, memerintahkan perkara yang munkar, melarang perkara yang ma’ruf,
terkadang bersikap keras di tempat yang seharusnya bersikap halus dan bersikap halus di
dalam tempat yang seharusnya bersikap keras.” (Syekh an-Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir,
Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan ketiga,  jilid II, halaman 59)

Terlebih dalam persoalan yang berpotensi menimbulkan problematika sosial


keamanan yang lebih besar. Dalam kemungkaran seperti ini kewenangan amar ma’ruf nahi
mungkar tidak diserahkan pada perseorangan ataupun kelompok, akan tetapi hanya
diserahkan kepada pemerintah. Dan pemerintah harus menerapkan kebijakan atas dasar
prinsip maslahat dengan tetap dilandasi nilai-nilai agama yang benar.

 Tahapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar 

Selain itu, beberapa tahapan atau prosedur harus dilakukan dalam realisasi
pelaksanaan amar ma’ruf. Tidak semudah kita menaiki tangga, akan tetapi harus melalui
tahapan yang paling ringan, baru kemudian melangkah pada hal yang agak berat. 

 
Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

‫ك َأضْ َعفُ اِإْل ْي َما ِن‬


َ ِ‫ َم ْن َرَأى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِّد ِه فَِإ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه َو َم ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬ 

“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia


menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang
yang tidak mampu _dengan lisannya_, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah
lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Maksud dari hadits ini bukanlah seperti yang banyak disalahpahami oleh orang-orang
yang beranggapan bahwa kalau mampu menghilangkan dengan tangan maka harus langsung
dengan tangan. Anggapan seperti ini salah besar dan bertentangan dengan nilai rahmat (belas
kasih) di dalam Islam. Akan tetapi pemahaman yang benar dari hadits di atas adalah,
seseorang yang melihat kemunkaran dan ia mampu menghilangkan dengan tangan, maka ia
tidak boleh berhenti dengan lisan jika kemungkaran tidak berhenti dengan lisan, dan orang
yang mampu dengan lisan, maka ia tidak boleh berhenti hanya dengan hati. 

Imam Muhyiddin an-Nawawi berkata di dalam kitab Raudlatut Thâlibîn:  

‫ وال تكفي كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان‬،‫وال يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد‬ 

“Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu menghilangkan kemunkaran
dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu mencegah
kemunkaran dengan lisan.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn,
Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan kelima, jilid V, halamann 123). 

Dalam proses amar ma’ruf nahi munkar, tetap harus mendahulukan tindakan yang
paling ringan sebelum bertindak yang lebih berat. Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani berkata
di dalam kitabnya, Hasyiyah asy-Syarwani:

‫ فإذا حصل التغيير بالكالم اللين فليس له التكلم‬.‫والواجب على اآلمر والناهي أن يأمر وينهى باألخف ثم األخف‬
‫بالكالم الخشن وهكذا كما قاله العلماء‬ 

“Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk bertindak yang
paling ringan dulu kemudian yang agak berat. Sehingga, ketika kemungkaran sudah bisa
hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan ucapan yang kasar. Dan begitu
seterusnya).” (Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani ala Tuhfahtil
Muhtaj, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 cetakan keempat, jilid 7, halaman 217)

Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang harus lebih arif dan bijak
karena terkadang dalam menghasilkan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang harus
menghilangkannya sedikit demi sedikit, tidak memaksakan harus hilang seluruhnya dalam
waktu seketika itu. Sayyid Abdullah ibn Husain ibn Tohir berkata:

‫ينبغي لمن أمر بمعروف أو نهى عن منكر أن يكون برفق وشفقة على الخلق يأخذهم بالتدريج فإذا رآهم تاركين‬
‫ألشياء من الواجبات فليأمرهم باألهم ثم األهم فإذا فعلوا ما أمرهم به انتقل إلى غيره وأمرهم وخوفهم برفق وشفقة مع عدم‬
‫النظر منه لمدحهم وذمهم وعطاءهم ومنعهم وإال وقعت المداهنة وكذا إذا ارتكبوا منهيات كثيرة ولم ينتهوا بنهيه عنها كلها‬
‫فليكلمهم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في غيرها وهكذا‬.

“Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus bersikap lembut dan
belas kasih kepada manusia, ia harus bertindak pada mereka dengan bertahap. Ketika ia
melihat mereka meninggalkan beberapa kewajiban, maka hendaknya ia memerintahkan pada
mereka dengan perkara wajib yang paling penting kemudian perkara yang agak penting.
Kemudian ketika mereka telah melaksanakan apa yang ia perintahkan, maka ia berpindah
pada perkara wajib lainnya. Hendaknya ia memerintahkan pada mereka dan menakut-nakuti
mereka dengan lembut dan belas kasih... begitu juga ketika mereka melakukan larangan-
larangan agama yang banyak dan mereka tidak bisa meninggalkan semuanya, maka
hendaknya ia berbicara kepada mereka di dalam sebagiannya saja hingga mereka
menghentikannya kemudian baru berbicara sebagian yang lain, begitu seterusnya.” (al-Habib
Zain bin Sumith, al-Minhaj as-Sawi, Jeddah, Dar al-Minhaj, 2006 cetakan ketiga, halaman
316-317) 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa:

 Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah.


 Pada kemunkaran tingkat tertentu, hak amar ma’ruf hanya bisa dimiliki pemerintah bukan
perseorangan atau kelompok.
 Dilakukan semampunya tanpa memaksakan di atas kemampuan.
 Pelaksanaannya harus bertahap dari hal yang paling ringan kemudian hal yang agak berat,
dan seterusnya.
 Tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar bagi diri maupun orang lain.
Ketika kita lihat amar ma’ruf yang ada di Indonesia, mayoritas persyaratan tidak bisa
terpenuhi dengan baik. Karena terkadang pelaksanaan yang seharusnya menjadi tugas
pemerintah, secara sewenang-wenang dilakukan oleh oknum individu maupun kelompok.
Belum cukup sampai di situ, cara, sasaran maupun media yang digunakan tidak
mencerminkan amar ma’ruf yang beretika Islam. Dengan realita seperti ini, amar ma’ruf tidak
akan menjadi kemashlahatan, namun justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar
dan menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat.
Wallahu a’lam. (M Sibromulisi)

Anda mungkin juga menyukai