❍ Neoplatonisme
❍ Aristotelianisme
❍ Penutup
❍ Penutup
Orang banyak tetap saja pada pendirian mereka, sampai akhirnya 'Umar datang dan
menyatakan: "Aku telah mendapatkan argumentasi terhadap mereka dengan bagian
akhir dari ayat-ayat al-Hasyr."
Di situ Tuhan merinci mereka yang berhak atas harta rampasan perang dengan firman-
Nya: "Sesuatu (harta kekayaan) yang diberikan Tuhan sebagai rampasan perang untuk
Rasul-Nya dari penduduk negeri adalah milik Tuhan, Rasul, para kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan ibn al-sabil, agar supaya harta itu tidak berkisar di antara
orang-orang kaya saja dari antara kamu..." Maksudnya supaya harta rampasan itu tidak
berputar di kalangan para orang kaya saja tanpa ikut sertanya para fakir-miskin, sampai
dengan firman Allah Ta'ala: "Bagi orang-orang miskin para Muhajirin yang diusir dari
rumah-rumah dan harta benda mereka ..." terus ke firman-Nya, "Dan mereka yang telah
menetap di negeri (Madinah) dan beriman sebelum (datang) mereka (Muhajirin) itu. . .,"
serta diakhiri dengan firman, "Dan mereka yang datang sesudah mereka itu ..."[8]
Kemudian kata 'Umar: "Aku tidak melihat ayat ini melainkan meliputi semua orang
manusia sampai termasuk pula seorang penggembala kampung Kidd'." Lalu 'Umar
berseru kepada orang banyak itu: "Apakah kalian menghendaki datangnya generasi
belakangan tanpa mendapatkan sesuatu apa pun? Lalu apa yang tersisa untuk mereka
sepeninggal kalian itu? Kalau tidak karena generasi kemudian itu, tidaklah ada suatu
negeri yang dibebaskan melainkan pasti aku bagi-bagikan sebagaimana Rasulullah s.a.
w. telah membagi-bagikan tanah Khaybar."[9]
Demikianlah 'Umar memutuskan untuk menyita tanah-tanah pertanian itu dan tidak
membagi-bagikannya kepada tentara pembebas, dan membiarkan tanah-tanah itu tetap
berada di kalangan para penduduk penggarap yang dari hasilnya mereka membayar
pajak untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan masyarakat Muslim pada umumnya, dan
orang-orang Muslim pun kemudian bersepakat dengan 'Umar.
Jelas bahwa tindakan bijaksana dari 'Umar r.a. yang menyimpang dari tindakan
Rasulullah s.a.w. bukanlah berarti peniadaan suatu Sunnah yang tetap yang dibawa oleh
Nabi s.a.w., melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu dengan dalil-dalil
berbagai nas yang lain mengikuti kemaslahatan umum. Jika Rasulullah membagi-bagi
antara orang-orang Muslim harta rampasan perang yang terdiri dari tanah-tanah
pertanian pada waktu itu tanpa menyisakan barang sesuatu untuk generasi yang datang
kemudian, maka hal itu ialah karena masalah zaman menghendaki hal demikian sesuai
dengan situasi yang ada, khususnya
Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, dan mereka
ini berselisih pendapat. Adapun Abd al-Rahman ibn 'Awf, maka pendapatnya ialah agar
diberikan kepada para tentara itu apa yang telah menjadi hak mereka. Sedangkan
pendapat 'Utsman, 'Ali, Thalhah dan Ibn 'Umar sama dengan pendapat Umar.
Kemudian 'Umar memanggil sepuluh orang dari golongan Ansar, lima orang dari suku
al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, terdiri dari para pembesar dan petinggi
mereka. Setelah mereka berkumpul, 'Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan,
kemudian berkata (penuturan al-Dawalibi ini tidak jauh berbeda dengan al-Khuli di atas):
"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam
amanatku dan dalam urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah
salah seorang saja dari kalian, dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan
benar: siapa saja yang hendak berbeda pendapat dengan aku, silakan ia berbeda, dan
siapa saja yang hendak bersepakat dengan aku, silakan ia bersepakat. Aku tidaklah ingin
kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini. Di tangan kalian
ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran. Dan demi Tuhan, kalau aku pernah
menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali
kebenaran."
Semuanya serentak berkata: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai
Amir al-Mu'minin."
"Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduh aku berbuat
zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari
melakukan kezaliman. Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan
sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku berikan kepada orang lain, maka benar-
benar telah celakalah diriku. Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri)
yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Raja Persia), dan Allah pun telah merampas
untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka, garapan-garapan
mereka, maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka
yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu,
dan aku sepenuhnya bertanggung jawab atas pengaturan itu. Tetapi aku berpendapat
untuk menguasai tanah-tanah pertanian beserta garapan-garapannya, dan aku terapkan
pajak atas para penggarap tanah-tanah itu, dan mereka berkewajiban membayar jizyah
sebagai fay' untuk orangorang Muslim, baik yang berperang maupun anak turun mereka,
dan untuk generasi yang kemudian. Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana
harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, kota-kota besar seperti
(di) Syam, al-Jazirah (Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu
memerlukan tentara untuk mempertahankan dan biaya besar untuk mereka. Dari mana
mereka diberi biaya itu jika semua tanah pertanian dan garapannya telah habis dibagi-
bagi?" Serentak semuanya menjawab: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu.
Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-
kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka kebutuhan-
kebutuhan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka." Kata
Mu'adz kepada 'Umar: "Jika engkau sampai membagi-baginya, maka akan terjadilah
kekayaan yang amat besar berada di tangan kelompok orang tertentu, kemudian mereka
akan mati, lalu harta itu akan bergeser ke tangan satu orang, baik laki-laki atau pun
perempuan, dan sesudah mereka itu muncul generasi yang benar-benar melihat adanya
kebaikan pada Islam --yaitu mereka mendapati dalam Islam suatu keuntungan-- namun
mereka tidak mendapatkan apa-apa. Karena itu carilah sesuatu yang menguntungkan
baik generasi pertama maupun generasi akhir."
Sungguh menakjubkan pernyataan Mu'adz itu: Jika tanah-tanah pertanian itu dibagi
habis, maka terjadilah kekayaan amat besar pada kelompok tertentu, dan kalau mereka
ini semuanya telah tiada, kekayaan itu akan pindah ke tangan satu-dua orang, sehingga
orang-orang (dari kalangan penduduk setempat) yang muncul sesudah itu dan memeluk
Islam tidak lagi mendapatkan sesuatu apa pun! Alangkah cemerlang pernyataannya itu!
Para sahabat Nabi itu terus melakukan pembicaraan sesama mereka selama beberapa
hari. Mereka yang berpendapat harus dibagi-bagi, berargumentasi dengan praktek Nabi s.
a.w. dalam membagi-bagikan tanah Khaybar di antara para tentara yang
membebaskannya, dan dengan firman Allah, "Ketahuilah bahwa apa pun dari sesuatu
(kekayaan) yang kamu rampas dalam peperangan maka seperlimanya adalah untuk
Allah, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang terlantar di
Sedangkan 'Umar, dalam menjawab 'Abd al-Rahman atas argumennya itu, menyatakan:
"Itu tidak lain hanyalah pendapatmu, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan,
tidak ada lagi sesudahku negeri yang dibebaskan yang di situ terdapat kekayaan yang
besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Maka jika aku
bagi habis tanah Irak dan garapannya, juga tanah Syam dan garapannya, maka
bagaimana membiayai pos-pos pertahanan? Dan apa yang tersisa untuk anak turun dan
janda-janda di negeri itu dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"
(sesudah)
"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam
amanat mengenai urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah
seorang saja dari antara kalian ... Dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan
dengan benar-siapa saja yang hendak berbeda pendapat denganku, silakan ia berbeda,
dan siapa saja yang hendak bersepakat denganku, silakan ia bersepakat ... Aku tidaklah
ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini ... Di tangan
kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran ... Dan demi Tuhan, kalau aku
pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali
kebenaran."
Kaum Ansar: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-
Mu'minin."
kemudian ... Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang
yang tinggal menetap. Tahukah kalian, negeri-negeri besar seperti Syam, al-Jazirah
(Lembah Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu harus diisi dengan
tentara dan disediakan perbekalan untuk mereka. Dari mana mereka mendapat
perbekalan itu jika semua tanah pertanian telah habis dibagi-bagi?"
Semua yang hadir: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang
kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan
personil-personil, serta disediakan bagi mereka perbekalan mereka, maka tentulah kaum
kafir akan kembali ke kota-kota mereka."
Kemudian terlintas dalam benak 'Umar suatu cahaya seperti biasanya jika kebenaran
datang ke lisan dan hatinya, lalu berkata:
'Sesuatu apa pun yang dikaruniakan Allah sebagai harta rampasan untuk
Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri (yang dibebaskan) adalah milik
Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang terlantar dalam perjalanan, agar supaya tidak berkisar diantara
orang-orang kaya saja dari kamu. Maka apa pun yang diberikan Rasul
kepadamu sekalian hendaklah kamu ambil, dan apa pun yang Rasul
melarangnya untuk kamu hendaklah kamu hentikan. Dan bertaqwalah
kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah itu keras dalam
siksaan.'"
'Dan bagi orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin yang diusir dari
rumah-rumah dan harta kekayaan mereka, guna mencari kemurahan Allah
dan Ridla-Nya, serta membantu Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar.'"
"Kemudian," kata 'Umar lagi, "Allah tidak rela sebelum Dia mengikutsertakan orang-
orang lain dan berfirman,
"Firman ini," jelas 'Umar, adalah khusus tentang kaum Ansar. Kemudian Allah tidak
rela sebelum menyertakan bersama mereka itu orang-orang lain (dari generasi
'Dan orang-orang yang muncul sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) itu
semuanya berdo'a: 'Oh Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara
kami yang telah mendahului kami dalam beriman, dan janganlah
ditumbuhkan dalam hati kami perasaan dengki kepada sekalian mereka
yang beriman itu. Oh Tuhan, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan
Maha Penyayang.'"[4]
"Ayat ini," kata 'Umar, "secara umum berlaku untuk semua orang yang muncul sesudah
mereka (kaum Muhajirin dan Ansar) itu, sehingga harta rampasan (fay') adalah untuk
mereka semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya untuk mereka
(tentara yang berperang saja), dan kita tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa
bagian? Kini menjadi jelas bagiku perkara yang sebenarnya." (Demikian 'Umar).
Para pembahas dapat menarik kesimpulan dari pendirian 'Umar itu tentang banyak
hukum sosial dan ekonomi. Di situ kita dapat melihat 'Umar sangat cermat
memperhatikan agar harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok
orang-orang kaya saja. Sebab penyerahan pemilikan atas berpuluh-puluh juta hektar
tanah pertanian di Irak, Syam, Persia dan Mesir kepada sekelompok tentara dan
bawahannya akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat harta
benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat kepada mereka saja. Hal itu
akan membawa dampak sosial dan moral yang akibatnya tidak terpuji.
Di dalamnya kita melihat 'Umar memandang harta sebagai hak semua orang dan
menempuh kebijaksanaan yang memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. Itu
adalah pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur'an diketemukan
sandaran yang sangat kuat.
Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi tanah-tanah pertanian atau yang
mendekati itu, yaitu ketika ia mencegah sekelompok orang-orang Muslim sezamannya
dari menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta rampasan (fay'), dan
ia tidak bergeser dari pendapatnya untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang
dari hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan hasil itu pula ia
menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa depan.
Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa pandangan-pandangan finansial
dan ekonomi yang menunjukkan luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya
cakup Islam yang hanif (secara alami selalu mencari yang benar dan baik) terhadap
masalah-masalah yang pelik ... Semoga Allah memberi kita petunjuk untuk menggali
dari agama kita berbagai kekayaan, hal-hal mendasar dan hakiki.
Penuturan kedua berjudul "Bagaimana Para Sahabat Nabi Menggunakan Akal Mereka
untuk Memahami al-Qur'an", oleh: Dr Ma'ruf al-Dawalibi:[5]
Barangkali dari antara banyak masalah ijtihad dan kejadian yang mucul di zaman para
sahabat setelah wafat Nabi, yang paling menonjol ialah masalah pembagian tanah-tanah
(pertanian) yang telah dibebaskan oleh tentara (Islam) melalui peperangan di Irak, Syam
Telah terdapat nas al-Qur'an yang menyebutk.an dengan jelas tanpa kesamaran sedikit
pun di dalamnya bahwa seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt al-
mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang ditentukan oleh ayat suci.
Allah telah berfirman dalam Surah al-Anfal, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa
apa pun yang kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka seperlimanya
adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan
orang yang terlantar dalam perjalanan (ibn al-sabil)."[6]
Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama antara mereka yang
merampas (dalam perang) itu, sebagai pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari
ayat suci tersebut dan praktek Nabi s.a.w. ketika beliau membagi (tanah pertanian)
Khaybar kepada para tentara.
Maka, sebagai pengamalan al-Qur'an dan al-Sunnah, datanglah para perampas (harta
rampasan perang) itu kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan meminta agar ia mengambil
seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat
(dimasukkan dalam bayt al-mal), kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah
merampasnya dalam perang. (Kemudian terjadi dialog berikut):
Kata 'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian?
Mereka mendapati tanah-tanah pertanian beserta garapannya telah habis terbagi-bagi,
dan telah pula terwariskan turun-temurun dan terkuasai? Itu bukanlah pendapat (yang
baik).
'Abd al-Rahman ibn 'Awf, menyanggah 'Umar: "Lalu apa pendapat (yang baik)? Tanah
pertanian dan garapannya itu tidak lain adalah harta rampasan yang diberikan Allah
kepada mereka!"
'Umar menjawab: "Itu tidak lain adalah katamu sendiri, dan aku tidak berpendapat
begitu. Demi Tuhan, tidak akan ada lagi negeri yang dibebaskan sesudahku yang di situ
terdapat kekayaan besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim.
Jika aku bagi-bagikan tanah-tanah di Irak beserta garapannya, tanah-tanah di Syam
beserta garapannya, maka dengan apa pos-pos pertahanan akan dibiayai? Dan apa yang
tersisa untuk anak cucu dan janda-janda di negeri itu dan ditempat lain dari kalangan
penduduk Syam dan Irak?"
(sesudah)
Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut dituangkan dalam
konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan),
dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat al-'ammah, al-maslahat al-
mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).
Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan
kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan
'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya, menolak keras ketokohan
'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih
melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari agama. Atau, seperti dikatakan
oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak
tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata
tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan
(madaniyyan la diniyyan).[1]
Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad 'Umar dan
kemelut yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan
terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori yang abstrak,
dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan
berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama
dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh 'Umar.
Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di Bidang
Ekonomi dan Keuangan, oleh: al-Ustadh al-Bahi al-Khuli,[2] sebagai berikut:
Berita-berita telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang
telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya
berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta benda musuh, yang terdiri
dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah)
di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah ... Dan tanah-tanah
pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.
Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan hukum Allah
mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya
kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta'ala, "Dan
ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang
dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk
Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil
(orang terlantar di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah
dan kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad)
pada hari penentuan, yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik)
bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu."[3]
Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di antara
mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai
rampasan (fay') kepada mereka.
Adapun titik pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu
memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah
memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu
bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?' ... Demikian itu,
ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau
menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian
yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka
menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk
mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya
kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di
pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar tidak bisa menerimanya.
Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat
'Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan
telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.
Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay' (jenis
harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah
dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak pernah
melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar. Terutama Bilal r.a. sangat keras
terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan dada 'Umar
dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua
tangannya kepada Tuhan dan berseru, "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-
kawan." Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan
paham keagamaannya yang mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari
celah baris-baris dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua
golongan tunduk kepada kekuatannya.
Begitulah 'Umar yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa
Sa'd ibn Abi Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara
Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk membagi-bagi harta rampasan
di antara mereka dan tanah-tanah pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka
sebagai rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):
Sekelompok dari mereka berkata: "Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia membagi-
bagikan tanah itu antara mereka."
'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian sesudah
itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan, terwariskan dari
orang-orang tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat yang benar."
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu tidak lain
daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!" 'Umar:
"Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya begitu ... Demi Tuhan,
tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku melainkan mungkin akan menjadi
beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-
bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi
anak turun dan para janda di negeri ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam
dan Irak?"
Orang banyak: "Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kami
sebagai harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan
kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada anak-cucu mereka turun-
temurun yang belum ada?"
'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."
Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang
memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:
'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada
mereka itu hak-hak mereka."
'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-
Mu'minin!"
Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada
kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."
'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."
Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan terhadap
harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang beriman."
Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."
Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"
'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu.
Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."
Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang
telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."
'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan
kawan-kawan."
(sesudah)
Catatan kaki:
-------------
1 Hadits ini dikutip oleh Ibn Taymiyyah dalam kitabnya,
Minhaj al Sunnah fi Naqdl kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah,
4 jilid, (Riyadl: Maktab al-Riyadl al-Hadits, tanpa tahun),
jilid IV, h. 121.
2 Ibid
3 Sebuah hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kita
shahihnya, dari Abdullah ibn Umar, dikutip dan dijabarkan
oleh Ibn Taymiyyah. (Ibid., jilid II, h. 329).
4 Pandangan yang cukup umum di kalangan orang-orang Muslim
(sebelum)
(bersambung 3/3)
Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi dan
rasul, Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalam
melaksanakan tugas. Ketika beliau wafat, boleh dikatakan
seluruh Jazirah Arabia telah menyatakan tunduk kepada
Madinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan para
khalifah, daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepat
meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang
saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya
kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai
Sungai Amudarya (Oxus) di timur.
(bersambung 2/3)
Hal yang dicoba kemukakan di atas itu merupakan gambaran singkat pergumulan sulit
orang-orang Muslim dalam usaha memberi keterangan teologis atas peristiwa-peristiwa
dalam sejarah dini agamanya yang penuh anomali. (Untuk gambaran lebih lanjut, lihat
catatan no.[7] di bawah). Pergumulan sulit itu membawa kepada logika
"historisistik" (bersemangat historisisme, suatu pandangan bahwa sejarah dikuasai oleh
hukum yang tak terelakkan) demikian: Apa pun yang terjadi dalam sejarah dunia Islam
itu, ia menyangkut masyarakat yang semestinya bersifat teladan, sehingga tetap harus
dilihat dalam kerangka "kebenaran umum" yang serba meliputi semua, betapapun
berbagai kejadian itu saling bertentangan, bahkan menimbulkan pertumpahan darah.
Dan "kebenaran umum" yang serba meliputi itu ialah yang bersangkutan dengan
masalah akhlaq atau etika, yang dari sudut penglihatan itu setiap tindakan rinci dalam
kejadian sejarah tersebut harus dinilai sebagai timbul dari dorongan berbuat kebaikan.
Maka masuklah ke situ konsep ijtihad yang tanpa risiko itu, sebab jika keliru masih
mendapat satu pahala, sedangkan jika tepat mendapat dua pahala.
Maka hal berikutnya ialah pertanyaan, sampai dimana etika itu benar-benar ada secara
nyata pada semua pihak yang terlibat dan saling bertentangan tersebut, yang terdiri dari
para sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti jejak mereka sesudah itu?
Jawab atas pertanyaan itu, kalaupun menyangkut problema dalam berbagai fakta
kesejarahannya di atas, dapat dibuat dengan bertitik tolak dari asumsi tertentu. Asumsi
itu ialah bahwa kaum Salaf itu tentunya terdiri dari pribadi-pribadi yang sangat paham
akan ajaran agama mereka, yaitu Islam (lebih tepatnya, al-islam, ajaran tentang sikap
penuh pasrah kepada Tuhan), dan sangat bersungguh-sungguh melaksanakannya. (Dan
jika tidak begitu, lalu siapa lagi selain mereka?! Atau bersediakah kita melihat bahwa
mereka, jika bukannya Nabi sendiri, telah gagal?!).
Jika mereka paham benar agama mereka dan telah sungguh-sungguh melaksanakan al-
islam --dan memang begitulah yang semestinya telah terjadi-- maka tindakan penuh
pasrah kepada Tuhan itu tentu telah menjiwai keseluruhan tingkah laku mereka. Maka
karena al-islam itu, tentunya yang ada di hadapan mereka dan yang menjadi tujuan
tingkah laku mereka ialah perkenan Tuhan, sebagaimana digambarkan dalam firman
yang telah dikutip tentang mereka itu di atas. Dan pandangan ini mencocoki gambaran
Dan hendaklah ada dari kamu sekalian ini suatu umat yang mengajak
kepada keluhuran, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kejahatan.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung.[8]
Terhadap ayat di atas, dan dalam kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya,
A. Yusuf Ali memberi komentar menarik berikut:
Keinsafan orang-orang Muslim klasik akan gambaran diri mereka yang diberikan oleh
Kitab Suci, yang dalam gambaran diri itu sesungguhnya terkandung makna kualitas
normatif, yang harus diwujudkan, dan perintah, telah mendorong mereka untuk berjuang
membentuk sejarah dunia yang sejalan dengan ukuran-ukuran moral yang tertinggi dan
yang terbaik, yang terbuka untuk umat manusia. Usaha itu dijanjikan akan mendapat
pahala yang besar, berupa kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat nanti, namun juga
dengan risiko besar untuk salah dan keliru. Tetapi kesalahan dan kekeliruan menjadi
tidak relevan dalam kaitannya dengan tekad dan semangat Ketuhanan (rabbaniyyah,
ribbiyyah)[12] , dan harus dilihat sebagai segi kemanusiaan perjuangan itu. Maka
sejarah Islam pun memperoleh keutuhannya dan maknanya yang khas dari adanya
pandangan hidup dan perjuangan tersebut, yaitu pandangan hidup dan perjuangan untuk
pasrah kepada Kehendak Tuhan. Sebab pasrah kepada Kehendak Tuhan (al-islam) itu
antara lain berarti menerima tanggungjawab pribadi untuk ukuran-ukuran tingkah laku
yang dipandang sebagai memiliki keabsahan Ilahi, yakni, diridlai-Nya. Rasa tanggung
jawab pribadi karena semangat Ketuhanan dan taqwa itulah yang antara lain
dicontohkan dengan baik oleh 'Umar, ketika ia sebagai Khalifah harus memikul
sekarung gandum untuk dibawa kepada seorang janda dan anaknya yang kelaparan di
luar Madinah, karena ia melihat apa yang menimpa mereka itu sebagai berada di atas
pundaknya selaku pemimpin dan penguasa.
Maka agama yang mengajarkan al-islam ini adalah agama yang mengacu kepada sikap
keruhanian seorang individu, jauh di lubuk hatinya, ke arah kemauan dan niat yang baik,
tulus dan sejati, sebagaimana hal itu telah menjadi ajaran para nabi, yang dekat sebelum
Nabi Muhammad ialah Nabi-nabi 'Isa al-Masih, Musa, dan Ibrahim. Tetapi ketika al-
islam yang pada intinya bersifat pribadi itu memancar keluar dalam bentuk tindakan-
tindakan, dan ketika tindakan-tindakan dari banyak pribadi Muslim itu terkait, saling
menopang, dan kemudian menyatu, maka al-islam pun melandasi terbentuknya suatu
kolektiva spiritual (ummah, umat), dengan ciri-ciri yang khas sebagai pancaran cita-
citanya yang khas. Maka sampai batas ini al-islam mendorong lahirnya pola-pola ikatan
kemasyarakatan, dan itu intinya ialah hukum. Inilah Islam historis --yaitu al-islam yang
telah mewujud-nyata sebagai pengalaman bersama banyak individu dalam dimensi
waktu dan ruang tertentu yang bisa diidentifikasi-- suatu bentuk kesatuan
kemasyarakatan manusia beriman yang disebut umat, dengan kesadaran berhukum dan
berperaturan bersama sebagai intinya.
Karena itu salah satu karakteristik kuat umat ini ialah kesadaran hukumnya yang tinggi.
Kesadaran hukum itu merupakan kelanjutan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
kepada para pemegang kewenangan atau otoritas (ulu al-amr, wali al-amr).[13] Dengan
perkataan lain, kesadaran hukum itu tumbuh akibat adanya rasa iman yang melandasi
orientasi etis dalam hidup sehari-hari. Maka konsep tentang hukum dalam Islam tidaklah
seluruhnya sama dengan konsep di Barat, misalnya, yang merupakan kelanjutan konsep
hukum zaman Romawi kuna. Hukum dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari segi-segi
akhlaq atau etika. Sehingga pengertian syari'ah yang kemudian digunakan sebagai istilah
teknis untuk sistem hukum Islam itu mengandung hal-hal seperti ajaran kebersihan
(thaharah) dan masalah-masalah peribadatan, yang dalam sistem Barat (Romawi) tidak
termasuk hukum. Pada prinsipnya, syari'at mencakup setiap kebutuhan manusia, baik
pribadi maupun sosial, sejak dari lahir sampai mati, yang panggilannya tertuju kepada
setiap nurani yang lembut karena rasa kebenaran dan keadilan. Karena perkataan
syari'ah itu sendiri pada asalnya adalah berarti "jalan setapak menuju oase" di tengah
padang pasir, yang dalam Kitab Suci dijadikan metafor atau kiasan untuk jalan menuju
harapan, kehidupan, dan kebenaran, yang berakhir dengan ridla Allah s.w.t.
Maka dalam Islam orang tetap diharapkan agar tidak luput dalam melihat kaitan antara
hukum dan akhlaq atau etika. Bahkan diharapkan agar mereka tidak luput untuk melihat
keunggulan segi-segi akhlaqi atas segi-segi bukum, sebab pada dasarnya akhlaq
mendasari hukum,. dan hukum ditegakkan di atas landasan akhlaq. Sangat ilustratif
untuk pandangan ini ialah sebuah penuturan dalam hadits tentang dua orang yang
bersengketa dan datang menghadap kepada Nabi untuk memohon keputusan hukum:
Menurut Muhibb al-Din al-Khathib kedua orang itu sampai sekarang tidak diketahui
nama mereka, karena mereka dari kalangan orang kebanyakan di antara para sahabat
Nabi, tidak termasuk yang terkenal. Tetapi kejadian itu justru melukiskan, betapa pada
masyarakat zaman Nabi itu, di bawah bimbingan beliau, sangat diwarnai oleh semangat
etis yang kuat, yang membuat mereka lebih mendahulukan perbuatan baik dan
kemurahan hati daripada mempertahankan hak hukumnya yang sah. Kejadian serupa itu
cukup banyak di kalangan para sahabat Nabi, sampai ke masa-masa sesudah Nabi
sendiri telah tidak lagi bersama mereka. Al-Qur'an sendiri banyak mengajarkan
semangat serupa, yaitu semangat mendahulukan kemurahan hati dan kebajikan daripada
menuntut dan mempertahankan hak sendiri yang sah:
Dan mereka (orang-orang yang beriman) itu ialah yang apabila menjadi
sasaran kejahatan (orang lain), mereka membela diri.
Tetapi orang yang membela diri setelah dijahati, maka atas mereka itu
tidak ada jalan (untuk disalahkan).
Berkenaan dengan ayat-ayat suci yang difirmankan dalam kaitannya dengan ajaran
musyawarah, yang termaktub dalam surah al-Syura (musyarawah) itu, baik sekali kami
kemukakan di sini komentar panjang dari A. Yusuf Ali dalam tafsirnya yang amat
terkenal:
... Ada empat situasi yang mungkin timbul: seseorang boleh jadi berdiri
tegak melawan penindas (1) demi haknya sendiri yang diinjak-injak, atau
(2) demi hak orang-orang lain dalam kalangan keluarga sendiri, atau (3)
suatu masyarakat juga boleh jadi berdiri tegak demi hak-hak kolektif
mereka, atau (4) demi hak orang-orang lain. No. 2, 3, dan 4 dianggap
sangat berkebajikan untuk semua, meskipun sedikit orang yang berani dan
bersemangat untuk bangkit menuju ke nilai yang begitu tingginya. No. 1
terutama rawan terhadap penyalahgunaan, mengingat sifat manusia yang
mementingkan diri sendiri. No. 2, 3, dan 4 juga dapat disalahgunakan oleh
mereka yang berpura-pura bermotifkan kebaikan umum padahal mereka
hanya melayani kepentingan pribadi atau pandangan sempit mereka
sendiri; karena itu disebutlah nilai-nilai dalam empat ayat berikutnya .
... Jika Anda mempertahankan hak, baik atas dasar kepentingan pribadi
ataupun umum, mungkin hal itu terjadi lewat proses hukum, atau melalui
tindakan mempertahankan diri sepanjang hal itu diizinkan oleh hukum.
Tetapi dalam keadaan apa pun Anda tidak boleh mencari balasan yang
lebih besar daripada kejahatan yang Anda derita. Paling jauh yang Anda
bisa lakukan ialah meminta balasan setimpal, yaitu, kerugian setimpal
dengan kerugian yang ditimpakan orang kepada Anda. Ini pun dapat
memuaskan untuk menekan jiwa Anda yang cenderung untuk melakukan
balas dendam. Tetapi cara yang ideal bukanlah dengan memuaskan
kehausan Anda untuk membalasdendam, melainkan dengan mengikuti
jalan yang lebih baik menuju kepada pendidikan kembali si penjahat
kepada Anda itu atau rekonsiliasi kepadanya .
Begitulah kutipan firman-firman Ilahi dan komentarnya oleh seorang penafsir yang ahli
dan kompeten. Semoga hal itu cukup memberi gambaran tentang ide mengenai
masyarakat Salaf sebagai masyarakat etika, lebih daripada masyarakat hukum saja, yaitu
masyarakat yang harus dipandang dan diasumsikan sebagai yang telah benar-benar
paham akan ajaran Kitab Suci dan telah dengan sungguh-sungguh melaksanakannya.
CATATAN
1 Lihat majalah Tempo, (Jakarta) No., 13, Tahun XVIII, 25 Mei 1988 (rubrik "Agama",
h. 75).
2 Penyebutan tentang "Empat Khalifah" (istilah teknisnya dalam bahasa Arab ialah
tarbi') sebetulnya melewati proses bertahap yang panjang. Mula-mula dalam khutbah-
khutbah kaum Umawi menyebut tiga khalifah saja, yaitu selain 'Ali, dan kaum Syi'i
hanya menyebut 'Ali, tanpa yang lain-lain. Tetapi kaum Umawi di Maghrib dan
Andalusia terlebih dahulu dari yang lain-lain telah melakukan tarbi', hanya saja khalifah
yang keempat bukannya 'Ali, melainkan Mu'awiyah. Kemudian Khalifah 'Umar ibn 'Abd
'al-'Aziz dari Bani Umayyah meneruskan usaha Khalifah Marwan ibn 'Abd al-Malik
sebelumnya untuk menyatukan umat dengan mengakomodasi kaum Syi'ah dan
merehabilitasi 'Ali, dan menyebut 'Ali dalam tarbi' di khutbah-khutbah, serta mengakhiri
kebiasaan saling melaknat dalam khutbah-khutbah tersebut. Maka sejak itu tumbuh
kebiasaan pada umat Islam untuk menyebut al-Khulafa al-Rasyidin yang empat, dan
kelak kemudian hari masjid-masjid pun dihiasi dengan nama para khalifah yang empat
itu. (Lihat Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, 4 jilid [Riyadl: Maktabat al-Riyadl al-
Haditsah, tanpa tahun], jil. 2, hh. 187-8).
4 Q., s. al-Tawbah/9:100.
5 Al-Laqqani, h. 231.
6 Yaitu sabda Nabi yang sering dikutip orang, "Jika seorang hakim berijtihad dan tepat,
maka baginya dua pahala; dan jika ia berijtihad dan keliru, maka baginya satu pahala."
7 Berkenaan dengan hal ini cukup menarik keterangan yang dibuat oleh Ibn Taymiyyah,
demikian: "...'Ali adalah imam, dan ia benar dalam perangnya melawan orang-orang
yang memeranginya; begitu pula mereka yang memerangi 'Ali, yang terdiri dari para
sahabat seperti Thalhah dan al-Zubayr, semuanya adalah orang-orang yang melakukan
ijtihad dan benar. Inilah pendapat mereka yang berpandangan bahwa setiap orang yang
berijtihad itu benar, yaitu pendapat para tokoh Mu'tazilah dari kota Basrah yang terdiri
dari Abu al-Hudzayl, Abu 'Ali, dan Abu Hasyim, serta tokoh-tokoh lain yang sepakat
dengan mereka dari kalangan para pengikut Asy'ari seperti al-Qadli Abu Bakr (al-
Baqillani) dan Abu Hamid (al-Ghazali), dan itu pula pendapat yang terkenal dari Abu al-
Hasan al-Asy'ari. Mereka (para 'ulama) itu juga memandang Mu'awiyah sebagai seorang
yang berijtihad dan benar dalam perangnya (melawan 'Ali), sebagaimana 'Ali pun benar.
Ini juga menjadi pendapat para fuqaha' dari kalangan para pengikut Ahmad (ibn Hanbal)
dan lain-lain ..." (Minhaj, jil. 1, hh. 192-3).
10 A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary (Jeddah: Dar al-
Qiblah, tanpa tahun), h. 151, catatan 434.
11 Sebuah hadits Nabi yang sangat terkenal, "Sesungguhnya aku diutus hanyalah agar
aku menyempurnakan berbagai keluhuran budi."
12 Ini adalah dua istilah dalam Kitab Suci untuk semangat Ketuhanan, yaitu semangat
mencapai ridla Tuhan dalam wujud pola hidup penuh kesalehan dan penuh dedikasi
kepada cita-cita mewujudkan kehidupan bermoral, sebagaimana terdapat dalam Q., s.
Alu 'Imran/3:79 dan 146.
13 Dalam Kitab Suci ada perintah agar kita taat kepada para pemegang kewenangan atau
kekuasaan: "Wahai sekalian orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah,
dan taat pulalah kepada Rasul dan kepada para pemegang kekuasaan (ula al-amr, jamak
dari wali al-amr) dari antara kamu ..." (Q., s. al-Nisa /4:59).
14 Hadits diriwayatkan oleh Ahmad (ibn Hanbal) dalam kitab Musnad-nya oleh Abu
Dawud dalam kitab Sunan-nya, dikutip oleh Muhibb al-Din al-Khathib dalam kata
penutup untuk kitab.al-Muntaqa min Minhaj al-I'tidal (ringkasan Minhaj al-Sunnah oleh
Ibn Taymiyyah) oleh Abu 'Abdullah Muhammad ibn 'Utsman al-Dzahabi (Damaskus:
Maktabat Dar al-Bayan, 1374 H), h. 574.
15 Q., s. al-Nisa'/4:149.
16 Q., s. al-Syura/42:39-43.
(sebelum)
Dalam peralihan abad Hijri yang sering dikumandangkan sebagai Abad Kebangkitan
Islam sekarang ini, dan sudah pula dimulai sejak menjelang akhir abad yang lalu, kaum
Muslim di seluruh dunia didorong oleh proses sejarahnya sendiri untuk mencoba
mempertegas peranannya dalam sejarah umat manusia. Gejala-gejala terakhir seperti
keputusan Ziya ul-Haqq untuk menetapkan Syari'ah Islam sebagai hukum Pakistan, juga
perkembangan di Bangladesh yang menghendaki hal yang kurang lebih serupa (juga di
Mesir, Sudan, dan lain-lain) --jika bukan jelas-jelas merupakan sekedar usaha mencari
legitimasi politik rezim-rezim bersangkutan-- dapat dibaca sebagai bagian dari, dan
dalam rangka, penegasan peranan kesejarahan tersebut.
Namun sejak dari semula usaha-usaha serupa itu mengandung dan menghadapi banyak
problema. Disebabkan oleh kaitannya dengan usaha mendefinisikan kembali apa yang
disebut Islam atau bersifat keislaman (Islami) --dengan konotasi bahwa yang ada secara
riil sekarang ini tidak memadai atau malah telah mengandung berbagai penyimpangan--
maka usaha-usaha tersebut menghadapkan orang-orang Muslim yang serius kepada
persoalan "menemukan" kembali Islam dan yang bersifat keislaman. Persoalan ini
tampak di permukaan seperti mudah dipecahkan, yaitu dengan "kembali kepada al-
Qur'an dan al-Sunnah", suatu dalil yang sangat disenangi kaum reformis Islam,
khususnya di kalangan Sunni. Tetapi lepas dari kebenaran normatif dalil itu, namun
dalam pelaksanaan praktisnya ternyata sangat tidak mudah. Bahkan yang sudah terjadi
ialah bahwa dalil itu, sebegitu jauh, baru menghasilkan reformasi atau mungkin
"pemurnian" hal-hal yang sesungguhnya sangat bersifat pinggiran (peripheral), seperti,
misalnya, dicerminkan secara mencolok oleh kontroversi takbir tambahan dalam salat
'Idul Fitri di Surabaya baru-baru ini.[1] Meskipun hal serupa itu sangat penting bagi
banyak kalangan --sebagian kaum Muslim melihat dan mendapati di situ terletak inti
agama dan rasa keagamaan mereka-- namun sebetulnya sahamnya dalam usaha umat
Islam menemukan peran kesejarahannya kembali tersebut di atas paling untung marginal
saja, jika bukannya tidak ada sama sekali. Kalau masalah ini harus diungkapkan dalam
sebuah jargon, barangkali yang paling tepat ialah pesan almarhum Bung Karno, salah
seorang Bapak Bangsa Indonesia, agar kita berusaha menangkap "api" Islam, dan bukan
"abu"-nya. Pembahasan ini adalah dalam rangka mencoba menangkap "api" itu,
betapapun kecilnya kemungkinan hasil yang didapatkan.
Golongan Salaf
Salah satu yang dapat kita lakukan untuk menangkap "api" itu ialah mencoba memahami
hakikat golongan Salaf. Sesungguhnya ini sejalan saja dengan apa yang sudah terjadi,
yaitu kecenderungan kaum reformis dari kalangan orang-orang Muslim untuk mencari
model pada pengalaman sejarah umat Islam klasik. Tetapi sebelum hal itu kita lakukan,
ada baiknya kita memeriksa secukupnya pengertian "salaf" dalam pembahasan Islam.
Perkataan Arab "salaf" sendiri secara harfiah berarti "yang lampau." Biasanya ia
dihadapkan dengan perkataan "khalaf', yang makna harfiahnya ialah "yang belakangan".
Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan "salaf' memperoleh makna
sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau
berotoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa
lampau sebagai masa yang berotoritas. Ini melibatkan masalah teologis, yaitu masalah
mengapa masa lampau itu mempunyai otoritas, dan sampai dimana kemungkinan
mengidentifikasi secara historis masa salaf itu.
Dalam hal ini, para pemikir Islam tidak banyak menemui kesulitan. Masa lampau itu
otoritatif karena dekat dengan masa hidup Nabi. Sedangkan semuanya mengakui dan
meyakini bahwa Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, tetapi
sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Maka sangat logis
pandangan bahwa yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah
mereka yang berkesempatan mendengarnya langsung dari Nabi, dan yang paling baik
dalam melaksanakannya ialah mereka yang melihat praktek-praktek Nabi dan
meneladaninya. Selain logis, hadits-hadits pun banyak yang dapat dikutip untuk
menopang pandangan itu:
Demikian pula dalam mengidentifikasi secara historis masa salaf itu, para sarjana Islam
juga tidak mengalami kesulitan, meskipun terdapat beberapa pendapat tertentu di
dalamnya. Yang disepakati oleh semuanya ialah bahwa masa salaf itu, dengan
sendirinya, dimulai oleh masa Nabi sendiri. Kemudian mereka mulai berbeda tentang
"kesalafan" (dalam arti otoritas dan kewenangan) masa kekhalifahan Abu Bakar, 'Umar,
'Utsman dan 'Ali, untuk tidak mengatakan masa-masa sesudah mereka. Dalam hal ini
dapat kita kenali adanya empat pendapat:
(1) Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat khalifah itu adalah
benar-benar otoritatif, berwenang, dan benar-benar salaf. Kaum Sunni
boleh dikata kelanjutan langsung atau tidak langsung dari masyarakat
Islam masa Dinasti Umayyah, dengan berbagai unsur kompromi akibat
usaha rekonsiliasi keseluruhan umat Islam, mengatasi sisa-sisa
pengalaman traumatis fitnah-fitnah sebelumnya. (Usaha ini mengambil
bentuknya yang paling penting dalam tindakan yang telah dimulai oleh
Abd al-Malik ibn Marwan untuk merehabilitasi nama 'Ali, musuh
Mu'awiyah, pendiri Dinasti Bani Umayyah, dan sejak itu mulai dikenal,
secara historis, istilah al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat).[2]
(2) Bani Umayyah atau kaum Umawi sendiri, dalam masa-masa awalnya,
mengakui hanya masa-masa Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, tanpa 'Ali,
sebagai masa salaf yang berkewenangan dan otoritatif.
(4) Kemudian terdapat kaum Rafidlah dari kalangan Syi'ah yang menolak
keabsahan masa-masa kekhalifahan pertama itu kecuali masa 'Ali.
Sebagaimana telah disinggung, masalah definisi kesejarahan tentang siapa yang disebut
golongan Salaf dengan konotasi kewenangan dan otoritas di bidang keagamaan itu
membawa serta problema teologis. Karena itu pengkajian masalah salaf ini akan dengan
sendirinya melibatkan kita kepada berbagai kontroversi teologis yang berkepanjangan,
dan yang sampai sekarang praktis belum selesai secara tuntas. Dengan meletakkan
kontroversi teologis itu kesamping, maka kita terpaksa melakukan pilihan. Pilihan itu
pada permasalahan intinya bisa dinilai sebagai arbitrer, namun masih bisa dibenarkan
dengan melihat segi kepraktisan pembahasan, misalnya berkenaan dengan konteks ruang
dan waktu kita, di sini dan sekarang. Dalam hal ini pilihan kita lakukan untuk membahas
masalah salaf ini menurut pandangan Sunni, yaitu pandangan (1) di atas, mengingat
bahwa pandangan itu adalah yang paling meluas diikuti kaum Muslim, baik di dunia
maupun di tanah air.
Dalam perkembangan lebih lanjut paham Sunni, golongan Salaf tidak saja terdiri dari
kaum Muslim masa Nabi dan empat khalifah yang pertama, tetapi juga meliputi mereka
yang biasa dinamakan sebagai kaum Tabi'un (kaum Pengikut, yakni, pengikut para
sahabat Nabi, yang merupakan generasi kedua umat Islam). Bahkan bagi banyak sarjana
Sunni golongan salaf itu juga mencakup generasi ketiga, yaitu generasi Tabi'it al-Tabi'in
(para Pengikut dari para Pengikut). Pandangan ini digambarkan secara ringkas dalam
sebuah bait dari kitab kecil ilmu kalam Jawharat al-Tawhid, yang merupakan salah satu
kitab standar di pesantren-pesantren:
Sebagai sandaran ada kewenangan dan otoritas pada ketiga generasi pertama umat Islam
itu, kaum Sunni menunjuk kepada firman Allah:
Dan para perintis pertama yang terdiri dari kaum Muhajirun dan Anshar,
serta orang-orang yang mengikuti mereka itu dengan baik, Allah telah
ridla kepada mereka, dan mereka pun telah ridla kepada-Nya. Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah
kebahagiaan yang agung. [4]
Jadi firman Ilahi itu menegaskan bahwa kaum Muhajirun dan Anshar, yaitu para sahabat
Nabi yang berasal dari Makkah dan Madinah, serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik (kaum Tabi'un), telah mendapat ridla dari Tuhan dan, sebaliknya, mereka
pun telah pula bersikap ridla kepada-Nya. Untuk mereka itu disediakan oleh Tuhan
balasan surga yang akan menjadi kediaman abadi mereka. Dengan kata-kata lain, kaum
Salaf itu seluruh tingkah lakunya benar dan mendapat perkenan di sisi Tuhan, jadi
mereka adalah golongan yang berotoritas dan berwenang.
Konsep demikian itu, seperti telah disinggung, lebih sesuai dengan paham Sunni
ketimbang dengan paham Syi'i. Paham Sunni menyandarkan otoritas kepada umat atau
"kolektiva", sementara kaum Syi'i menyandarkannya kepada keteladanan pribadi
(examplary individual), dalam hal ini keteladanan pribadi 'Ali yang memang heroik,
saleh dan alim (pious).
Namun kedua konsep sandaran otoritas itu mengandung masalahnya sendiri. Masalah
pada konsep Sunni timbul ketika dihadapkan kepada tingkat pribadi-pribadi para sahabat
Nabi: tidak setiap pribadi masa Salaf itu, pada lahirnya, sama sekali bebas dari segi-segi
kekurangan. Jika seandainya memang bebas dari segi-segi kekurangan, maka bagaimana
kita menerangkan berbagai peristiwa pembunuhan dan peperangan sesama para sahabat
Nabi sendiri, selang hanya beberapa belas tahun saja dari wafat beliau? Padahal
pembunuhan dan peperangan itu melibatkan banyak sahabat besar seperti 'Utsman, 'Ali
(menantu dan kemenakan Nabi), 'A'isyah (isteri Nabi), Mu'awiyah (ipar Nabi dan salah
seorang penulis wahyu), 'Amr ibn al-Ash, Abu Musa al-Asy'ari, dan lain-lain?!
Sedangkan pada kaum Syi'i, masalah yang timbul dari konsep otoritas yang disandarkan
hanya kepada keteladanan pribadi 'Ali dan para pengikutnya yang jumlahnya kecil itu
ialah implikasinya yang memandang bahwa para sahabat Nabi yang lain itu tidak
otoritatif, alias salah, tidak mungkin mendapat ridla Allah, dan mereka pun --terbukti
oleh adanya perbuatan salah mereka sendiri-- tidak bersikap ridla kepada Allah. Jadi
pandangan Syi'i itu nampak langsung bertentangan dengan gambaran dan jaminan yang
disebutkan dalam firman di atas. Lebih lanjut, jika hanya sedikit saja jumlah orang yang
selamat dari kalangan mereka yang pernah dididik langsung oleh Nabi, apakah akhirnya
tidak Nabi sendiri yang harus dinilai sebagai telah gagal dalam missi suci beliau?
Pertanyaan tersebut secara keimanan sungguh amat berat, namun tidak terhindari karena
dari fakta-fakta sejarah yang mendorongnya untuk timbul. Upaya menjawab pertanyaan
itu dan mengatasi implikasi keimanan yang diakibatkannya telah menggiring para
pemikir Muslim di masa lalu kepada kontroversi dalam ilmu kalam (teologi dialektis)
yang tidak ada habis-habisnya. Masing-masing kaum Sunni dan Syi'i, yaitu dua
golongan besar Islam yang sampai sekarang bertahan, mencoba memberi penyelesaian
kepada problema tersebut. Contoh "penyelesaian" yang diberikan oleh para pemikir
Muslim Sunni klasik untuk problema itu ialah seperti diungkapkan dalam sebuah bait
dari kitab Jawharat al-Tawhid yang telah dikutip di atas:
Interpretasi atas berbagai peristiwa pertengkaran para sahabat itu, seperti dilakukan oleh
Ibn Taymiyyah, ialah dengan melihat bahwa semua mereka yang terlibat dalam
pertengkaran itu sebenarnya bertindak berdasarkan ijtihad mereka masing-masing dalam
menghadapi masalah yang timbul. Maka sebagai ijtihad, sebagaimana ditegaskan dalam
sebuah hadits yang terkenal,[6] tindakan para sahabat yang bertengkar --bahkan saling
membunuh itu-- tetap mendapatkan pahala, biarpun jika ternyata ijtihad mereka itu salah.
[7]
Ini adalah solusi yang banyak mengandung kelemahan, sehingga sama sekali tidak
memuaskan. Namun jika dikehendaki jalan keluar dari kerumitan teologis berkenaan
dengan berbagai peristiwa fitnah di antara para sahabat Nabi itu, maka modus solusi
seperti itu agaknya merupakan pilihan yang cukup baik. Dan itulah salah satu inti paham
ke-Sunni-an.
(sesudah)
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum
Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-
Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota
Basrah memang pusat pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia
meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam
yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham
Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling
berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut
pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan
bahwa "jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam
menganut al-Asy'ari.
Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-
Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M).
Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan
teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang
lebih besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni,
dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai "jalan keselamatan", bersama dengan
sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad
Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah
dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits
yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal
selamat:
(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua
golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh
puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang
selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka.
Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti
yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok
kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan
M'aturidiyyah).
Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya
mengenai pertikaian klasik antara kaum "liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum
"konservatif" dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad
ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh
klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan.
Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai
berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di
bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh
para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh
al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari
menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu
masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau
terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud menengahi antara keduanya,
al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-
kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan
dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan
dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap
bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau
acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu, dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak
bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus
sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-
Tawhid demikian:
(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah
bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.
Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak
seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).
Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut
Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:
... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone.Maka ana madshab
Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah,
metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li
al-syaribin.[12]
Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan
lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam
Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan
Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan,
sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang
tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa
dengan teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari,
melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap
Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang
menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah
yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan
mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:
... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang
menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn
Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka
ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak
masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum
Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum
Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum
Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang
ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab
adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]
Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak
sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia
sebutkan dirumuskan sebagai "sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya
kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi
dengan kemampuan tersebut"[14] Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu
disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn
Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai
salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.[15]
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali
dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu
Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional
('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, "salinan" atau "kutipan"), baik dari Kitab
Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum "liberal", seperti golongan Mut'azilah, cenderung
mendahulukan akal, dan kaum "konservatif" khususnya kaum Hanbali, cenderung
mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta'wil),
sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari
cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang
memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan "bi la
kayfa" (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) --
menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain.
Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.
Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang Hanbali
berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn
al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang "ahli Ilmu Kalam" terkemuka
kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan
bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya
dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.
[21]
Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu
ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah
pangkal iman .....pangkal ilmu.[22]
CATATAN
3 Ibid, h. 110.
4 Ibid.
8 Karena dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai
pusat kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi
ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu atau
teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah, mengatakan bahwa
ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum Mutakallim, sesuai dengan
makna harfiah perkataan kalam dan mutakallim (pembicaraan, hampir mengarah kepada
arti "orang yang banyak bicara"), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu
argumen melalui pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-
Manthiq, hh. 205-206).
polemik serupa itu tidak perlu mengejutkan kita, karena telah merupakan bagian dari
sejarah pertumbuhan pemikiran keagamaan itu sendiri.
10 Disini perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat
buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah
reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam "liberalisme" Islam atau
kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu'tazilah, melawan mereka yang dianggap
menghalangi "liberalisme" dan kebebasan itu, khususnya kaum "fundamentalis" (al-
Hasywiyyun, sebuah sebutan ejekan, yang secara harfiah berarti kurang lebih "kaum
sampah" karena malas berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap ketentuan
agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di Spanyol kemudian
Eropa pada umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama paham agama yang
fundamentalistik dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi paham para
pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu telah belajar banyak
dari warisan pemikiran Islam.
11 Hajj Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid 'ala Jawharat al-
Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang terkenal,
Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego, tanpa data penerbitan), hh. 27-28.
14 Ibid., h. 170.
15 Ibid.
17 Lihat Minhaj, jil. 1, hh. 235, 243, 254, 261, dan hh. 266. Juga Naqdl al-Manthiq, h.
25,164 dan 202.
21 Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi, al-Tawhid
(Qumm: Mu'assasat al-Nasyr al-Islami, 1398 H), hh. 22, 35, 82 dan 230.
(sebelum)
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi
yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis
penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni,
Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]),
dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita,
terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian
tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan.
Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu
Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran
agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan
pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan
pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu
pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu
Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin
dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi
masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan
yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya
khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan
menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced).
Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan
di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu
dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan
Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid),
mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh
seseorang bernama al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau
sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-
klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi
pemahaman agama yang lebih seimbang.
Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh
beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam
lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam
penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman
Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering
dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas,
merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang,
khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam
sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir
secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa
perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan
lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab
kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan
"pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan
yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah
rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai
ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti
"pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai
derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu
logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu
Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".
Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya
dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan,
mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian
bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia
pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan
(fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi
(disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia,
dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan
Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama
Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan
Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula
ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan
'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan,
maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh?
Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan)
padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan
(menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu
kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap
menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh
'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang
berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal
perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu,
yang baik dan yang buruk.
Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan
mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang
yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah
sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan
'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui
pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[1]
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul
perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa
Shiffin" di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan "de
jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang
kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau
Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang
'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan
yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan
Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu
Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa Shiffin" tersebut. Tapi kaum Khawarij,
melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan
Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi
mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya
mirip). [2]
Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij
akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam,
pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling
banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah
sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti
yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang
menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-
Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus
kaum Mu'tazilah.[4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan
paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama
Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa
manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan
Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme,
yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu
kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan
umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan
tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada
manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal
pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles
mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah
kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal.
Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap
mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha
tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan
menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai
hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu
dikenal sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah
("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).[5]
Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru
menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum
Mu'tazilah disebut sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum
Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang
mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam
metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang
berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal
ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang
dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan
buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah
pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong
munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[6]
Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu,
Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan
mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan
banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7] Salah satu masalah
yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim
(tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits
(terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8]
Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits,
sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara
kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu
qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena
masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali.
Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang
sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-
Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui
besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218
H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai
salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan
Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam."[10]
(bersambung)
Istilah ushul al-fiqh, selain digunakan untuk menunjuk Kitab Suci, Sunnah Nabi, Ijma'
dan Qiyas sebagai sumber-sumber pokok pemahaman hukum dalam Islam, juga
digunakan untuk menunjuk kepada metode pemahaman hukum itu seperti
dikembangkan oleh al-Syafi'i. Ushul al-fiqh dalam pengertian ini dapat dipandang
sebagai sejenis filsafat hukum Islam karena sifatnya yang teoretis. Ia membentuk bagian
dinamis dari keseluruhan ilmu fiqh, dan dibangun di atas dasar prinsip rasionalitas dan
logika tertentu. Karena pentingnya ushul al-fiqh ini, maka di sini dikemukakan beberapa
rumus terpenting berkenaan dengan hukum dalam Islam:Segala perkara tergantung
kepada maksudnya.
Penutup
Telah disebutkan pada bagian permulaan bahwa ilmu fiqh adalah cabang disiplin
keilmuan tradisional Islam yang paling banyak mempengaruhi cara pandang orang-
orang Muslim dan pemahaman mereka kepada agama mereka. Karena itu literatur dalam
ilmu fiqh adalah yang paling kaya dan paling canggih.
Disebabkan oleh kuatnya orientasi fiqh itu maka masyarakat Islam dimana saja
mempunyai ciri orientasi hukum yang amat kuat. Kesadaran akan hak dan kewajiban
menjadi tulang punggung pendidikan Islam tradisional, dan itu pada urutannya tercermin
dalam kuatnya kepastian hukum dan aturan di kalangan orang-orang Muslim.
Disebutkan bahwa salah satu yang menarik pada agama Islam sehingga orang-orang
Muslim dalam pergaulan sehari-hari (mu'amalat) sangat mementingkan kepastian
hukum, sehingga terdapat keteraturan dan predictability. Ini khususnya penting di
kalangan masyarakat perdagangan.[29]
Tetapi, disebabkan oleh wataknya sendiri, ilmu fiqh menunjukkan kekurangan, yaitu
titik beratnya yang terlalu banyak kepada segi-segi lahiriah. Di bidang keagamaan,
eksoterisisme ini lebih-lebih merisaukan, sehingga muncul kritik-kritik, khususnya dari
kaum Sufi. Tapi orientasi kedalaman (esoterisisme) kaum Sufi juga sering merisaukan,
karena tidak jarang terjerembab ke dalam intuisisme pribadi yang sangat subyektif.
Maka agaknya benarlah al-Ghazali yang hendak menyatukan itu semua dalam suatu
disiplin ilmu keagamaan yang menyeluruh dan padu.
CATATAN
2 Seperti halnya dengan Nabi Musa a.s. dan beberapa Nabi yang lain, Nabi Muhammad
dikenal dalam sosiologi agama sebagai "nabi bersenjata" (armed prophet). Tapi jauh
melampaui "prestasi" Nabi Musa a.s., Nabi Muhammad s.a.w. berhasil merampungkan
hal-hal yang berlipatganda lebih besar dari yang dirampungkan oleh Nabi Musa dan
generasi berikutnya sampai Nabi Daud a.s. Ketika Rasulullah wafat, praktis seluruh
Jazirah Arabia telah tunduk kepada Madinah, dan hanya selang beberapa tahun saja
sesudah itu wilayah kekuasaan politik Islam meluas sampai meliputi daerah inti
peradaban manusia saat itu.
3 Salah satu yang mendorong orang-orang Muslim itu keluar Jazirah Arabia dan
mengadakan bcrbagai ekspedisi militer ialah karena berita-berita yang telah beredar saat-
saat terakhir hidup Nabi bahwa orang-orang Byzantium yang telah merasa terancam
oleh munculnya gerakan Islam itu telah menyiapkan pasukan yang sangat besar di
perbatasan utara untuk menghancurkan masyarakat Islam. Bahkan sebelum wafatnya,
Rasulullah s.a.w. telah sempat mengirim ekspedisi militer ke sana. Ekspedisi yang
dikirim Nabi itu kemudian ditafsirkan sebagai semacam wasiat yang harus dilaksanakan,
dan itulah permulaan sekalian ekspedisi dan ekspansi militer yang terjadi selanjutnya.
4 Kedudukan Nabi sebagai hakim pemutus perkara ini antara lain dikukuhkan dalam
sebuah firman, Q., s. al-Nisa'/4:65, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman
sehingga mereka berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan
antara mereka, kemudian mereka tidak menemui kekerabatan dalam diri mereka atas
keputusan yang telah kau ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya." Firman ini dan
lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan kewajiban mengikuti Nabi
melalui Sunnah yang ditinggalkan beliau.
5 Ini bisa dipahami dari firman Allah, Q. s. Hud/11:88, yang menuturkan Nabi Syu'aib
dalam pernyataannya kepada kaumnya; "Aku hanyalah menghendaki perbaikan (ishlah,
reformasi) sedapatdapatku."
8 Sebuah Hadits yang terkenal bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Aku diutus hanyalah
untuk menyempurnakan budi pekerti luhur."
9 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kuwait: Dar al-Bayan, 1388 H/ 1968 M), j. 1, h. 13.
12 Di antara para khalifah Umawiyah yang terkenal sangat saleh ialah 'Umar ibn 'Abd
al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah mendamaikan pertikaian keagamaan antara
kaum Sunni dan kaum Syi'i. Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama
kali mendorong pembukuan Hadits, misalnya, adalah Khalifah ini, yang telah
memerintahkan usaha itu kepada antara lain al-Zuhrf. Lihat M.M. Azami, Studies in
Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), h. 18.
14 Mungkin karena rasa pertentangan yang laten kepada para pengikut 'Ali (kaum
Syi'ah), kaum Umawiyah di Damaskus banyak menaruh simpati kepada 'Umar ibn al-
Khaththab, dan mengaku bahwa dalam menjalankan beberapa segi pemerintahannya
mereka meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh Khalifah Rasul yang kedua itu.
15 Kutipan dari Kitab al-Kharaj akan memberi gambaran yang jelas tentang nuktah ini:
16 Al-Syaikh Muhammad al-Hudlarf Bek, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-
Fikr, 1387 H/1967 mO, h. 90-91.
17 Ibid., h. 93.
18 Ibid., h. 93-94.
20 Azami, Early Hadith, h. 24, mengutip dari Rasyid Ridla, Review on Early
Compilation, al-Manar, x, 767.
25 Kritik terhadap pembukuan Hadits juga dilakukan oleh antara lain Chirargh 'Ali dari
anak benua India, juga oleh para orientalis seperti Joseph Schacht yang banyak
mengundang reaksi dari para sarjana Muslim disebabkan baik metodologi maupun
kesimpulannya yang terlalu jauh.
26 Lihat antara lain Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Qiyas fi al-Syar' al-
Islami (Kairo: Mathba'at al-Salafiyyah, 1346 H).
27 Lihat Ibn Taimiyyah, al-Muntaqa min Mintaj al-I'tidal (ringkasan. Ibn Taimiyyah,
Minhaj al-Sunnah yang dibuat oleh al-Dzahabi) (Kairo: Mathb'at al-Salafiyyah, 1374
H), h. 66-7.
29 Banyak buku tentang ushul al-fiqh ditulis para ahli, antara lain yang amat praktis oleh
Abd al-Hamid Hakim, Mabadi' Awwaliyyah (Padang-Panjang). Juga bisa disebut karya
yang lebih teoritis oleh 'Abd al-Wahhab al-Khallaf, 'Ilm Ushu al-Fiqh (Kuwait: al-Dar al-
Kuwaitiyyah, 1388 H/1968 M). Tentu saja dari masa klasik ialah karya al-Syafi'i, al-
Risalah (lih. terjemah Indonesianya).
(sebelum)
Hampir semasa dengan Abu Hanifah di Irak (Kufah), tampil pula Anas ibn Malik (715-
795) di Hijaz (Madinah). Aliran pikiran Abu Hanifah (madzhab Hanafi) banyak
menggunakan analogi (qiyas) dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah) dan tumbuh
dalam lingkungan pemerintah pusat, sama halnya dengan aliran pikiran al-Awza'i di
Syria (Damaskus) sebelumnya. Berbeda dengan keduanya itu, aliran pikiran Anas ibn
Malik (madzhab Maliki) terbentuk oleh suasana lingkungan Hijaz, khususnya Madinah,
yang sangat memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.
Anas ibn Malik mempunyai seorang murid, yaitu Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (wafat
204 H [820 M]. Al-Syafi'i meneruskan tema aliran pikiran gurunya dan
mengembangkannya dengan membangun teori yang ketat untuk menguji kebenaran
sebuah laporan tentang sunnah, terutama tentang hadits yang diriwayatkan langsung dari
Nabi. Tetapi al-Syafi'i juga menerima tema aliran pikiran Hanafi yang dipelajari dari al-
Syaibani (wafat 186 H [805 M]), yaitu penggunaan analogi, dan mengembangkannya
menjadi sebuah teori yang sistematika dan universal tentang metode memahami hukum.
Dengan demikian maka al-Syafi'i berjasa meletakkan dasar-dasar teoritis tentang dua
hal, yaitu, pertama, Sunnah, khususnya yang dalam bentuk Hadits, sebagai sumber
memahami hukum Islam setelah al-Qur'an, dan, kedua, analogi atau qiyas sebagai
metode rasional memahami dan mengembangkan hukum itu. Sementara itu, konsensus
atau ijma' yang ada dalam masyarakat, yang kebanyakan bersumber atau menjelma
menjadi sejenis kebiasaan yang berlaku umum (al-'urf), juga diterima oleh al-Syafi'i,
meskipun ia tidak pernah membangun teorinya yang tuntas. Dengan begitu pangkal
tolak ilmu fiqh (ushul al-fiqh), berkat al-Syafi'i, ada empat, yaitu Kitab Suci, Sunnah
Nabi, ijma' dan qiyas.
Kitab Suci al-Qur'an telah dibukukan dalam sebuah buku terjilid (mushhaf) sejak masa
khalifah Abu Bakr (atas saran 'Umar) dan diseragamkan oleh 'Utsman untuk seluruh
Dunia Islam berdasarkan mushhaf peninggalan pendahulunya itu. Dalam hal ini Hadits
berbeda dari al-Qur'an, karena kodifikasinya yang metodologis (dengan otentifikasi
menurut teori al-Syafi'i) baru dimulai sekitar setengah abad setelah al-Syafi'i sendiri.
Pelopor kodifikasi metodologi itu ialah al-Bukhari (wafat 256 H [870 M]), kemudian
disusul oleh Muslim (wafat 261 H [875 M]), Ibn Majah (wafat 273 H [886 M]), Abu
Dawud (wafat 275 H [888 M]), al-Turmudzi (wafat 279 H [892 M]) dan, akhirnya, al-
Nasa'i (wafat 308 H [916 M]). Mereka ini kemudian menghasilkan kodifikasi
metodologis Hadits yang selanjutnya dianggap bahan referensi utama di bidang hadits,
dan secara keseluruhannya dikenal sebagai al-Kutub al-Sittah (Buku yang Enam).
Masa yang cukup panjang, yang ditempuh oleh proses pembukuan hadits sehingga
menghasilkan dokumentasi yang dianggap final itu --berbeda halnya dengan masalah al-
Qur'an-- adalah disebabkan adanya semacam kontroversi mengenai pembukuan hadits
ini hampir sejak dari masa Nabi sendiri. Al-Syaikh Muhammad al-Hudlari Bek dalam
bukunya yang terkenal, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Sejarah Penetapan Hukum Syari'at
Islam) menyebutkan adanya delapan kasus tindakan menghambat pencatatan hadits,
lima di antaranya dihubungkan dengan 'Umar, dan tiga lainnya dengan masing-masing
Abu Bakr, 'Ali, dan 'Abdullah ibn Mas'ud, yang dihubungkan dengan Abu Bakr
dituturkan demikian:
Selain itu, al-Hudlari Bek juga menuturkan adanya lima kasus yang mendorong
periwayatan hadits, tiga diantaranya dikaitkan dengan 'Umar dan dua lainnya masing-
masing dengan Abu Bakr dan 'Utsman. Yang dikaitkan dengan Abu Bakr dituturkan
demikian:
" ... Seorang wanita tua datang kepada Abu Bakr meminta keputusan
mengenai waris. Maka dijawabnya, "Tidak kudapati sesuatu apa pun
untukmu dalam Kitab Allah, dan tidak kuketahui bahwa Rasulullah s.a.w.
menyebutkan sesuatu apa pun untukmu." Kemudian dia (Abu Bakr)
bertanya kepada orang banyak, maka berdirilah al-Mughirah dan berkata,
"Aku dengar Rasulullah s.a.w. memberinya seperenam." Lalu Abu Bakr
bertanya, "Adakah seseorang bersamamu?" Maka Muhammad ibn
Maslamah memberi kesaksian tentang hal yang serupa, kemudian Abu
Bakr r.a. pun melaksanakannya.[17]
" ... Diriwayatkan bahwa 'Umar berkata kepada Ubay, dan dia ini telah
meriwayatkan sebuah hadits untuknya, "Engkau harus memberikan bukti
atas yang kau katakan itu!" Kemudian Umar keluar, ternyata ada
sekelompok orang dari golongan Anshar, maka disampaikanlah kepada
mereka ini. Mereka menyahut,"Kami benar telah mendengar hal itu dari
Rasulullah s.a.w." Maka kata 'Umar, "Adapun sesungguhnya aku tidaklah
Oleh karena itu sesungguhnya sejak masa amat dini pertumbuhan umat Islam telah ada
catatan-catatan pribadi tentang hadits meskipun belum sistematis. Disebutkan bahwa
Khalifah Abu Bakr sendiri mempunyai koleksi sekitar 400 hadits, dan 'Umar sendiri
pernah terpikir untuk membuat rencana besar untuk mengumpulkan semua hadits,
sekurang-kurangnya dalam hafalan, yang sering dia bacakan di Masjid Agung Kufah di
masa kekhalifahannya. 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash juga dilaporkan mengumpulkan
banyak hadits atas persetujuan Rasulullah sendiri, dan dituliskan dalam sebuah buku
yang diberi nama al-Shahifat al-Shadiqah. Buku ini sempat beredar selama dua abad,
kemudian sebagiannya dihimpun dalam Musnad Ibn Hanbal.[19]
Sebelum adanya al-Kutub al-Sittah sebenarnya juga telah ada berbagai koleksi Hadits
yang cukup sistematik, meskipun tanpa metode otentifikasi al-Syafi'i. Selain Musnad
Ibn Hanbal yang telah disebutkan itu, yang paling terkenal dari banyak koleksi itu ialah
al-Muwaththa' oleh Malik ibn Anas dari Madinah.
Tetapi memang harus diakui bahwa mengenai persoalan Hadits ini, disebabkan oleh
masalah proses pembukuannya yang sedikit-banyak problematik itu, terdapat beberapa
hal kontroversial sejak dari semula. Seorang tokoh pembaharu Islam di abad moderen
dari Mesir, Rasyid Ridla, misalnya, menganut pandangan bahwa penulisan Hadits
memang pada mulanya dibenarkan (oleh Nabi atau para khalifah pertama), tetapi
kemudian dilarang.[20] Sebabnya ialah, menurut teori Rasyid Ridla, Nabi tidak
memaksudkan Hadits-hadits itu sebagai sumber hukum yang abadi atau pun sebagai
bagian dari agama.[21] Karena itu kemudian Nabi melarang menuliskan Hadits, yang
larangan itu, menurut Rasyid Ridla ditaati oleh para sahabatnya, khususnya para
khalifah empat yang pertama. Bahkan mereka ini katanya, dengan keras menentang
penulisan itu. Para Tabi'un (orang-orang Muslim dari generasi sesudah para sahabat
Nabi) tidak menemukan rekaman tertulis (shahifah) dari para sahabat, dan mereka itu
mencatat Hadits hanya jika ada permintaan dari penguasa seperti khalifah.[22] Karena
itu menurut Rasyid Ridla berbagai Hadits yang mengisyaratkan persetujuan atau apalagi
anjuran menuliskan Hadits adalah lemah dan dikemukakan hanya untuk tujuan tertentu
saja.[23] Teori Rasyid Ridla ini dibantah oleh Muhammad Musthafa al-A'dhami (M. M.
Azmi) dengan data-data dan analisa yang lebih lengkap.[24] Tetapi Rasyid Ridla hanya
salah satu dari banyak sarjana yang mempersoalkan kedudukan Hadits.[25]
Telah disebutkan bahwa al-Syafi'i adalah sarjana yang paling besar jasanya dalam
meletakkan teori tentang kritik dan otentifikasi catatan Hadits. Jalan pikiran al-Syafi'i
kemudian diikuti oleh para pemikir di bidang fiqh yang datang kemudian, khususnya
Ahmad ibn Hanbal (wafat 234 H [855 M]). Sebagai pengembangan lebih lanjut teori al-
Syafi'i, aliran pikiran Hanbali mempunyai ciri kuat sangat menekankan pentingnya
Hadits yang dipilih secara seksama. Tetapi, tanpa menolak metode analogi atau qiyas,
aliran Hanbali cenderung mengutamakan Hadits, biarpun lemah, atas analogi, biarpun
kuat, Mazhab Hanbali mempunyai teori tersendiri tentang analogi. Sebagaimana
dijabarkan oleh salah seorang tokohnya yang terbesar, Ibn Taimiyyah (wafat 728 H
[1318 M7).[26]
berpendapat bahwa ijma' hanyalah yang terjadi di zaman salaf, yaitu zaman Nabi
sendiri, para sahabat dan para tabi'un.[27]
(sesudah)
Salah satu karakteristik historis agama Islam ialah kesuksesan yang cepat luar biasa
dalam ekspansi militer dan politik.[2] Ada indikasi bahwa ekspansi militer ke luar
Jazirah Arabia itu mula-mula dilakukan dalam keadaan terpaksa dan untuk tujuan
pertahanan diri.[3] Tetapi dinamika gerakan perluasan itu kemudian seperti tidak dapat
dikekang, dan dalam tempo amat singkat orang-orang Muslim menguasai sepenuhnya
"daerah beradab" (Oikoumene, menurut sebutan orang-orang Yunani kuna), yang
membentang dari Lautan Atlantik di barat sampai Gurun Gobi di timur. Sebuah
kemaharajaan (empire) dunia telah lahir dengan keluasan wilayah yang tidak pernah
terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Disebabkan oleh ciri kekuasaan itu maka sejak dari semula, khususnya dikalangan kaum
Sunni, agama Islam dengan erat terkait dengan kemapanan politik. Di antara sekian
banyak implikasinya ialah bahwa para pemimpin Islam, baik yang berada pada
lingkungan kekuasaan maupun yang menekuni bidang pemikiran, banyak sekali
disibukkan oleh usaha-usaha mengatur masyarakat dan negara sebaik-baiknya. Ini
mendorong kepada curahan perhatian yang luar biasa besar untuk menggali dan
mengembangkan unsur-unsur dalam ajaran agama Islam yang berhubungan dengan
masalah pengaturan masyarakat dan negara.
Dari suatu segi, ilmu fiqh, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat
dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika "fiqh" dibatasi hanya kepada
pengertiannya sebagai "hukum" seperti yang sekarang umum dipahami orang, maka
akar "hukum" yang amat erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu
peranan Nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah),
khususnya selama periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin
Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus dipandang sebagai tak
terpisahkan dari fungsi beliau sebagai utusan Tuhan. Seperti halnya dengan semua
penganjur agama dan moralitas, Nabi Muhammad s.a.w. membawa ajaran dengan tujuan
amat penting reformasi atau pembabaruan dan perbaikan (ishlah)[5] kehidupan
masyarakat. Berada dalam inti reformasi itu ialah aspirasi keruhanian (sebagai
pengimbang aspirasi keduniawian semata) yang populis (cita-cita keadilan dengan
semangat kuat anti elitisme dan hirarki sosial) dan yang bersifat universal (berlaku untuk
semua orang, di semua tempat dan waktu).
Tetapi peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang diembannya tidaklah hanya
bersangkutan dengan hal-hal kemasyarakatan semata. Dalam kesanggupan menangkap
dan memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang serba segi itu ialah
sesungguhnya letak perbaikan dan peningkatan nilai kemanusiaan seseorang. Inilah
kurang lebih yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits yang
amat terkenal bahwa jika Tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah
ia menjadi faqih (orang yang paham) akan agamanya.[6] Demikian pula sebuah firman
Ilahi yang tidak jauh maknanya dari hadits itu, yang menegaskan hendaknya dalam
setiap masyarakat selalu ada kelompok orang yang melakukan tafaqquh (usaha
memahami secara mendalam) tentang agamanya. Diharapkan agar para "Spesialis" ini
dapat menjalankan peran sebagai sumber kekuatan moral (moral force) masyarakat.[7]
Maka suatu masyarakat tumbuh menjadi masyarakat hukum (legal society), namun dasar
strukturnya itu ialah hakikat suatu masyarakat akhlaq (ethical society).[8]
Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq, misalnya, mengatakan bahwa Allah
mengutus Muhammad s.a.w. dengan kecenderungan suci yang lapang (al-hanifiyyat al-
samhah). Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa "Agama yang paling disukai Allah ialah al-
hanifiyyat al-samhah." Kemudian kecenderungan suci yang lapang itu dilengkapi
dengan tata cara hidup praktis yang serba meliputi (al-syari'at al-jami'ah). Namun dalam
sifatnya yang menyeluruh itu masih dapat dikenali adanya dua hal yang berbeda: hal-hal
parametris keagamaan yang tidak berubah-ubah, dan hal-hal dinamis, yang berubah
menurut perubahan zaman dan tempat:
... Adapun hal-hal yang tidak berubah karena perubahan zaman dan
tempat, seperti simpul-simpul kepercayaan (al-'aqa'id) dan peribadatan
(al-'ibadat), maka diberikan secara terinci (mufashshal) dengan rincian
yang sempurna, serta dijelaskan dengan nas-nas yang serba meliputi.
Karena itu tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi.
Sedangkan hal-hal yang berubah dengan perubahan zaman dan tempat,
seperti berbagai kemaslahatan sipil (al-mashalih al-madaniyyah) serta
berbagai perkara politik dan perang, maka diberikan secara garis besar
(mujmal) agar bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di setiap masa,
dan dengan ketentuan itu para pemegang wewenang (ulu al-amr, jamak
dari wali al-amr, pemegang kekuasaan, yakni, pemerintah) dapat mencari
petunjuk dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan.[9]
Maka ilmu fiqh dalam makna asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara
Dari definisi dan penjelasan tentang hakikat ilmu fiqh itu nampak dengan jelas titik berat
orientasi fiqh kepada masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan
sosialnya, yang inti kerangka pengaturan itu ialah masalah-masalah hukum. Bahkan
meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk ke dalam ilmu fiqh --justru merupakan
yang pertama-tama dibahas-- namun cara pandang ilmu fiqh terhadap ibadat pun tetap
bertitikberatkan orientasi hukum. Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima:
wajib mandub, mubah, makruh dan haram. Disamping itu terdapat cara penilaian kepada
sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan
rukunnya terpenuhi atau tidak.[11]
sistematik ilmu fiqh itu dan kodifikasinya berkembang menjadi seperti yang sebagian
besar bertahan sampai sekarang.[13]
Pada masa peralihan dari dinasti Umawiyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang
sarjana fiqh yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran
(madzhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan suasana
pemerintahan Abbasiyah. Tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif
bagi pertumbuhan ilmu fiqh, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain, ialah
masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H [786-809 M]). Pada masa
pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu
Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]). Harun al-Rasyid meminta kepada
Abu Yusuf untuk menulis baginya buku tentang al-kharaj (semacam sistem perpajakan)
menurut hukum Islam (fiqh). Abu Yusuf memenuhinya, tetapi buku yang ditulisnya
dengan nama Kitab al-Kharaj itu menjadi lebih dari sekedar membahas soal perpajakan,
melainkan telah menjelma menjadi usaha penyusunan sistematik dan kodifikasi ilmu
fiqh yang banyak ditiru atau dicontoh oleh ahli-ahli yang datang kemudian. Lebih jauh
lagi, menyerupai jejak pemikiran al-Awza'i dari Syria di masa Umawiyah tersebut di
atas, Abu Yusuf dalam Kitdb al-Kharaj menyajikan kembali sistem hukum yang
dipraktekkan di zaman Umawiyah, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn
Marwan (64-85 H [685-705 M]), yang dalam memerintah berusaha meneladani praktek
Khalifah 'Umar ibn al-Khaththab.[14] Oleh karena itu Kitab al-Kharaj banyak
mengisahkan kembali kebijaksanaan Khalifah 'Umar, yang agaknya juga dikagumi oleh
Harun al-Rasyid sendiri. (Dalam pengantar untuk karyanya itu, Abu Yusuf dengan tegas
dan tandas menasehati dan memperingatkan Harun al-Rasyid untuk menjalankan amanat
pemerintahannya dengan adil, seperti yang telah dilakukan oleh 'Umar).[15]
(sesudah)
Penutup
Sekalipun begitu masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme
dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai
paham Tasauf. Ibn Sina, misalnya, dapat dikatakan seorang Neoplatonis, disebabkan
ajarannya tentang mistik perjalanan ruhani menuju Tuhan seperti yang dimuat dalam
kitabnya, Isharat. Dan memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak
mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi. Yang paling menonjol ialah yang
ada dalam ajaran sekelompok orang-orang Muslim yang menamakan diri mereka
Ikhwan al-Shafa (secara longgar: Persaudaraan Suci).[17]
Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah mustahil melihat falsafah Islam sebagai
carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi semua pemikir
Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan, karena itu,
mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibn
Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan
banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat
padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen.
Para failasuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa,
tanggungjawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme),
asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan bagian integral
dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.[18]
Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam. Meski begitu, lagi-lagi,
tidaklah benar memandang ilmu kalam sebagai jiplakan belaka dari falsafah. Justru
dalam ilmu kalam orisinalitas kaum Muslim tampak nyata. Seperti dikatakan William
Lane Craig,
... the kalam argument as a proof for God's existence originated in the
minds of medieval Arabic theologians, who bequeathed to the West,
where it became the center of hotly disputed controversy. Great minds on
both sides were raged against each other: al-Ghazali versus Ibn Rushd,
Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus Aquinas. The central
issue in this entire debate was whether the temporal series of past events
could be actually infinite.[19]
(...argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal dari dalam pikiran
para teolog Arab zaman pertengahan, yang menyusup ke Barat, di mana ia
menjadi pusat kontroversi yang diperdebatkan secara hangat. Pemikir-
pemikir dari dua pihak berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn
Rusyd, Saadia lawan Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas.
Persoalan pokok dalam seluruh debat itu ialah apakah rentetan zaman dari
kejadian masa lampau itu dapat secara aktual tak terbatas).
Ilmu kalam adalah unik dalam pemikiran umat manusia. Ia merupakan sumbangan Islam
dalam dunia kefilsafatan yang paling orisinil. Argumen-argumen yang dikembangkan
dalam ilmu kalam menerobos dunia pemikiran Barat, sebagaimana banyak pikiran-
pikiran Islam yang lain, meskipun hanya sedikit dari orang-orang Barat yang
mengakuinya. Berkenaan dengan ini, Craig mengatakan lebih lanjut:
The Jewish thinkers fully participated in the intellectual life of the Muslim society,
many of them writing in Arabic and translating Arabic works into Hebrew. And the
Christians in turn read and translated works of these Jewish thinkers. The kalam
argument for the beginning of the universe became a subject heated debate, being
opposed by Aquinas, but adopted and supported by Bonaventure. The falsafa argument
from necessary and possible being was widely used in various forms and eventually
became the key Thomist argument for God's existence. Thus it was that the
cosmological argument came to the Latinspeaking theologians of the West, who receive
in our Western culture a credit for originality that they do not fully deserve, since they
inherited these arguments from the Arabic theologians and philosophers, whom we tend
unfortunately to neglect.[20]
Sebagaimana telah menjadi pokok pembicaraan buku William Craig yang dikutip itu,
argumen-argumen kosmologis kalam ternyata kini banyak mendapatkan dukungan
temuan-temuan ilmiah moderen. Teori big bang dari Chandrasekhar (pemenang hadiah
Nobel), dan dikatakan dengan temuan-temuan astronomi moderen, begitu pula konsep
waktu dari Newton dan Einstein, semuanya itu, menurut Craig, mendukung argumen
kosmologi ilmu kalam tentang adanya Tuhan dan "personal", yang telah menciptakan
alam raya ini:
Adakah membuktikan adanya Tuhan yang personal itu yang menjadi titik perhatian
sentral falsafah dan kalam? Setelah membuktikan dengan dalil-dalil dan argumen-
argumen yang mantap, para failasuf dan mutakallim beralih ke usaha memahami makna
wujudnya Tuhan itu bagi manusia, kemudian dikembangkan menjadi dalil-dalil dan
argumen-argumen untuk mendukung kebenaran agama. Seperti ditegaskan oleh Ibn
Rusyd dalam Fashl al-Maqal, kegiatan berfalsafah adalah benar-benar pelaksanaan
perintah Allah dalam Kitab Suci. Maka, kata Ibn Rusyd, falsafah dan agama atau
syari'ah adalah dua saudara kandung, sehingga merupakan suatu kezaliman besar jika
antara keduanya dipisahkan. Hanya memang, kata Ibn Rusyd lagi, terdapat halangan
agama yang karena ketidak-tahuannya memusuhi falsafah, dan terhadap kalangan
falsafah yang juga karena ketidak-tahuannya memusuhi syari'ah. Ibn Rusyd sendiri
CATATAN
1 R.T. Wallis, Neo Platonism (London: Gerlad Duckworth & Company Limited, 1972),
h. 164.
2 C A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World (London: Croom Helm,
1988). h. 28.
3 Istilah "Hellenisme" pertama kali diperkenalkan oleh ahli sejarah dari Jerman, J. G.
Droysen. Ia menggunakan perkataan "Hellenismus" sebagai sebutan untuk masa yang
dianggapnya sebagai periode peralihan antara Yunani kuna dan dunia Kristen. Droysen
lupa akan peranan Roma dalam agama Kristen (dan membatasi seolah-olah hanya
Yunani saja yang berperan). Namun ia diakui telah berhasil mengidentifikasi suatu
kenyataan sejarah yang amat penting. Biasanya yang disebut zaman Hellenik yang
merupakan peralihan itu ialah masa sejak tahun 323 sampai 30 S.M. atau dari saat
kematian Iskandar Agung sampai penggabungan Mesir kedalam kekaisaran Romawi.
Sebab dalam periode itu muncul banyak kerajaan di sekitar Laut Tengah, khususnya
pesisir timur dan selatan seperti Syria dan Mesir, yang diperintah oleh bangsa
Makedonia dari Yunani. Akibatnya, mereka ini membawa berbagai perubahan besar
dalam banyak bidang di kawasan itu, antara lain bahasa (daerah-daerah itu didominasi
Bahasa Yunani) dan pemikiran (ilmu pengetahuan Yunani, terutama filsafatnya, diserap
oleh daerah-daerah itu melalui berbagai cara). (Lihat Britannica. s.v. "Hellenic Age").
4 "Sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad) seperti yang telah
Kami wahyukan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya, dan seperti yang telah Kami
wahyukan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan kelompok-kelompok (para nabi),
serta kepada 'Isa Ayyub, Yunus, Harun dan Sulayman. Telah pula Kami berikan kepada
Dawud (kitab) Zabur. Juga kepada para rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu
kepadamu (Muhammad) sebelumnya, dan para rasul yang tidak Kami kisahkan mereka
itu kepadamu. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) kepada Musa." (Q., s. al-
Nisa /4:163-165).
5 Abraham S, Halkin, "The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion" dalarn Leo W.
Schwarz, ed., Great Ages & Ideas of the Jewish People (New York: The Modern
Library, 1956), hh. 218-219.
7 Drs. Hasyim Asy'ari MA, Bahasa Arab dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
(makalah dalam seminar tentang Bahasa Arab, Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta, 15-
16 Oktober 1988).
11 I.R. Netton, Muslim Neoplatonists (London: George Allen & Unwin, 1982), h. 34.
15 F.E. Peters. Aristotle and the Arabs (New York: New York University Press, 1986),
h. 7.
17 Pembahasan tentang kelompok ini yang cukup lengkap ialah yang dilakukan Netton.
op. cit.
19 William Craig, Kalam Cosmological Argument (London: The Macmillan Press Ltd,
1979), "preface".
20 Ibid., h. 18.
21 Ibid., h. 152.
(sebelum)
Neoplatonisme
Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme) adalah salah
satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri
merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan suatu agama
wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi sebagai ajaran yang berpangkal pada
pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang
memberi kesan tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang
Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep
tentang "yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab,
cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak. dalam arti
"irrasionalis", "occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang
terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan
dengan Tuhan atau "Kenyataan Mutlak."[9] Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran
Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato,
Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.
Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles) dan yang
bersifat "inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang
sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang
akali itu ialah konsep tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut
sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). "Yang Baik" ini
kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang tak terjangkau dan tak mungkin
diketahui.
Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu
"seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali
sebagai model karyanya. Disamping membentuk dunia fisik, demiurge juga membentuk
jiwa kosmis dan jiwa atau ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa
individu yang immaterial dan substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat
ada sejak semula (pre-existence) dan akan ada untuk selamanya (post-existence
immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi.
Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal
(nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya
Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk"
luar, sehingga tidak mungkin mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga
menerangkan bahwa "dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung
dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi,
karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan tindakan
Akal untuk menjangkau wujud itu.
Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya
kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau
Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.[11]
Aristotelianisme
Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu bergulat dan
berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama Kristen itu tidak
mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah seorang tokohnya yang harus
disebut di sini ialah pendeta Nestorius, patriark Konstantinopel, yang karena menganut
Neoplatonisme dan melawan ajaran gereja terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke
Jundisapur di Persia.[13]
The Arab version of the arrival of the Aristotelian corpus in the Islamic
world has to do with the discovery of manuseripts in a deserted house.
Even if true, the story omits two very important details which may be
supplied from the sequel: first, the manuseripts were certainly not written
in Arabic; second, the Arabs discovered not only Aristotle but a whole
series of commentators as well.[15]
Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai ke tangan orang-orang Muslim
sudah tidak "asli" lagi, melainkan telah tercampur dengan tafsiran-tafsirannya. Karena
itu, meskipun orang-orang Muslim sedemikian tinggi menghormati Aristoteles dan
menamakannya "guru pertama", namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya pikiran-
pikiran dia sendiri saja, melainkan justru kebanyakan adalah pikiran, pemahaman, dan
tafsiran orang lain terhadap ajaran Aristoteles. Singkatnya, memang bukan Aristoteles
sendiri yang berpengaruh besar kepada falsafah dalam Islam, tetapi Aristotelianisme.
Apalagi jika diingat bahwa orang-orang Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus
tahun setelah fase terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah dua ratus
tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen Syria. Menurut Peters
lebih lanjut, paham Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial" filsafat Yunani,
sehingga ketika diwariskan kepada orang-orang Arab Muslim, filsafat itu menjadi lebih
berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan metafisik.
Khususnya logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh kepada
pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan penalaran logis
menurut metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak sekitar abad
VIII dan menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga sebagai suatu versi teologi
alamiah (natural theology, al-kalam al-thabi'i, sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di
kalangan orang-orang Muslim.[16]
(sebelum, sesudah)
Sebelum yang lain-lain, di sini harus ditegaskan bahwa sumber dan pangkal tolak
falsafah dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an
dan Sunnah. Para failasuf dalam lingkungan agama-agama yang lain, sebagaimana
ditegaskan oleh R.T. Wallis, adalah orang-orang yang berjiwa keagamaan (religious),
sekalipun berbagai titik pandangan keagamaan mereka cukup banyak berbeda, jika tidak
justru berlawanan, dengan yang dipunyai oleh kalangan ortodoks.[1] Dan tidak mungkin
menilai bahwa falsafah Islam adalah carbon copy pemikiran Yunani atau Hellenisme.[2]
Meskipun begitu, kenyataannya ialah bahwa kata Arab "falsafah" sendiri dipinjam dari
kata Yunani yang sangat terkenal, "philosophia", yang berarti kecintaan kepada
kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata "falsafah" itu di-Indonesia-kan
menjadi "filsafat" atau, akhir-akhir ini, juga "filosofi" (karena adanya pengaruh ucapan
Inggris, "philosophy"). Dalam ungkapan Arabnya yang lebih "asli", cabang ilmu
tradisional Islam ini disebut 'ulum al-hikmah atau secara singkat "alhikmah" (padanan
kata Yunani "sophia"), yang artinya ialah "kebijaksanaan" atau, lebih tepat lagi,
"kawicaksanaan" (Jawa) atau "wisdom" (Inggris). Maka "failasuf' (ambilan dari kata
Yunani "philosophos", pelaku filsafat), disebut juga "al-hakim" (ahli hikmah atau orang
bijaksana), dengan bentuk jamak "al-hukama".
Dari sepintas riwayat kata "filsafah" itu kiranya menjadi jelas bahwa disiplin ilmu
keislaman ini, meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam
sendiri, banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia
pemikiran Yunani.[3] Disinilah pangkal kontroversi yang ada sekitar falsafah: sampai di
mana agama Islam mengizinkan adanya masukan dari luar, khususnya jika datang dari
kalangan yang tidak saja bukan "ahl al-kitab" seperti Yahudi dan Kristen, tetapi malahan
dari orang-orang Yunani kuna yang "pagan" atau musyrik (penyembah binatang).
Sesungguhnya beberapa ulama ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-
Suyuthi (salah seorang pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk kemusyrikan orang-orang
Yunani itu sebagai salah satu alasan keberatan mereka terhadap falsafah. Tetapi sebelum
membahas lebih jauh segi-segi polemis ini, lebih dahulu dibahas pertumbuhan falsafah
dalam sejarah pemikiran Islam.
Pertumbuhan
Falsafah tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan
bangsa-bangsa sekitarnya. Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada
di sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia.
Toleransi dan keterbukaan orang-orang Islam dalam melihat kaum agama lain,
khususnya Ahli Kitab tersebut mendasari adanya interaksi intelektual yang positif di
kalangan mereka, dengan sedikit sekali kemasukan unsur prasangka yang berlebihan.
Disamping itu, dan sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan kita tentang
Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan yang lalu, kelebihan orang-orang Muslim
Arab itu ialah kepercayaan kepada diri sendiri yang sedemikian mantap. Kemantapan itu
kemudian memancar pada sikap-sikap mereka yang positif kepada bangsa-bangsa dan
budaya-budaya lain, dengan kesediaan yang besar untuk menyerap dan mengadopsinya
sebagai milik sendiri. Posisi psikologis yang menguntungkan itu berada tidak hanya
dalam hubungannya dengan kaum Ahli Kitab yang memang dekat dengan orang-orang
Muslim, tetapi juga dengan kelompok-kelompok keagamaan lain seperti kaum Majusi
(orang-orang Persi pengikut ajaran Zoroaster) dan kaum Sabean dari Harran, di utara
Mesopotamia. Sebab sekalipun ilmu pengetahuan Yunani merupakan bagian paling
penting ilmu pengetahuan yang diserap orang-orang Muslim Arab, namun mereka ini
juga dengan penuh kebebasan dan kepercayaan diri menyerap dari orang-orang Majusi
dan Sabean tersebut tadi, bahkan juga dari orang-orang Hindu dan Cina. Karena futuhat,
bangsa-bangsa non-Muslim itu berada dibawah kekuasaan politik orang-orang Arab
Muslim. Tetapi biarpun orang-orang Arab itu memiliki keunggulan militer dan politik,
mereka tetap menunjukkan sikap-sikap penuh penghargaan dan pengertian kepada
bangsa-bangsa dan budaya-budaya (termasuk agama-agama) yang mereka kuasai.
Hasilnya ialah, seperti dikatakan Halkin sebagai berikut (kutipan yang penting untuk
memahami pembahasan):
...It is to the credit of the Arabs that although they were the victors
militarily and politically, they did not regard the civilization of the
vanquished lands with contempt. The riches of Syrian, Persian, and Hindu
cultures were no sooner discovered than they were adapted into Arabic.
Caliphs, governors, and others patronized scholars who did the work of
translation, so that a vast body of non-Islamic learning became accessible
in Arabic. During the ninth and tenth centuries, a steady flow of works on
Greek medicine, physics, astronomy, mathematics, and philosophy,
Persian belles-lettres, and Hindu mathematics and astronomy poured into
Arabic.[5]
Suatu hal yang patut sekali mendapat perhatian lebih besar di sini ialah suasana
kebebasan intelektual di zaman klasik Islam itu. Interaksi positif antara orang-orang
Arab Muslim dengan kalangan bukan-Muslim itu dapat terjadi hanya dalam suasana
penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan. Sebab meskipun orang-orang Arab itu
mempunyai ajaran agamanya yang sangat tegas dan gamblang, dengan penuh lapang
dada membiarkan semua kegiatan intelektual di pusat-pusat yang ada sejak sebelum
kedatangan dan pembebasan oleh mereka. Seperti dikatakan oleh C.A. Qadir:
Interaksi intelektual itu memperoleh wujudnya yang nyata semenjak masa dini sekali
sejarah Islam. Disebut-sebut bahwa al-Harits ibn Qaladah, seorang Sahabat Nabi,
sempat mempelajari ilmu kedokteran di Jundisapur, Persia, tempat berkumpulnya
beberapa failasuf yang dikutuk gereja Kristen karena dituduh telah melakukan bid'ah.
Disebut-sebut juga bahwa Khalid ibn Yazid (ibn Mu'awiyah) dan Ja'far al-Shadiq
sempat mendalami alkemi (al-kimya) yang menjadi cikal-bakal ilmu kimia moderen.[7]
Bahkan seorang khalifah Bani Umayyah, Marwan ibn al-Hakam (683-685 M),
memerintahkan agar buku kedokteran oleh Harun, seorang dokter dari Iskandaria Mesir,
diterjemahkan dari bahasa Suryani (Syriac) ke bahasa Arab.[8]
Harus diketahui bahwa dalam pembagian ilmu pengetahuan zaman itu, baik ilmu
kedokteran maupun alkemi, sebagaimana juga metafisika, matematika, astronomi,
bahkan musik dan puisi, dan seterusnya, termasuk falsafah. Sebab istilah falsafah itu,
dalam pengertiannya yang luas, mencakup bidang-bidang yang sekarang bisa disebut
sebagai "ilmu-pengetahuan umum", yakni, bukan "ilmu pengetahuan agama", yaitu
dunia kognitif yang dasar perolehannya bukan wahyu tetapi akal, baik yang dari
penalaran deduktif maupun yang dari penyimpangan empiris. Ini penting disadari, antara
lain untuk dapat dengan tepat melihat segi-segi mana dari sistem falsafah itu yang
kontroversial karena dipersoalkan oleh kalangan ortodoks. Umumnya mereka ini, seperi
Ibn Taymiyyah dan lain-lain, menolak yang bersifat penalaran murni dan deduktif,
dalam hal ini khususnya metafisika (al-falsafah al-ula), karena dalam banyak hal
menyangkut bidang yang bagi mereka merupakan wewenang agama. Tetapi mereka
membenarkan yang induktif dan empiris.
(sesudah)
(3) Argumen dari adanya akhir untuk gerak, waktu, dan obyek-obyek
temporal: gerak tidak mungkin berasal dari masa tak berpermulaan, sebab
mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga
(4) Argumen dari keterhinggaan jagad: karena jagad ini tersusun dari
bagian-bagian yang terhingga, maka ia pun terhingga pula; segala sesuatu
yang terhingga adalah sementara; oleh karena itu jagad adalah sementara,
yakni, mempunyai suatu permulaan dan diciptakan.
Sudah diisyaratkan di atas bahwa sebagian dari argumen itu diwarisi para pemikir
Muslim dari falsafah Yunani. Beberapa failasuf Islam seperti Ibn Rusyd dan al-
Suhrawardi memang menyebutkan nama Yahya al-Nahwi (Yahya si Ahli Tatabahasa,
yaitu John Philoponus, meninggal sekitar tahun 580 M.), seorang pemikir Nasrani dari
Iskandar, Mesir, telah merintis argumen "kalami" untuk adanya Tuhan dan terciptanya
alam raya. Namun di tangan kaum Muslim, khususnya para penganut paham Asy'ari,
dan lebih khusus lagi al-Ghazali pribadi, argumen itu berkembang seperti ringkasan al-
Alousi di atas, dan menjadi salah satu segi kontribusi alam pikiran Islam yang paling
orisinal kepada alam pikiran umat manusia.
Karena itu semua, maka Ilmu Kalam menjadi karakteristik pemikiran mendasar yang
amat khas Islam, yang membuat pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari
yang ada dalam agama lain mana pun, baik dari segi isi maupun metodologi. Sungguh
sangat menarik bahwa dalam perkembangan teologis umat manusia, Ilmu Kalam seperti
yang dipelopori oleh al-Asy'ari dan dikembangkan oleh al-Ghazali itu telah
mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan
Islam, yaitu Yahudi dan Kristen, sebegitu rupa. Sehingga banyak para pemikir Yahudi
sendiri memandang bahwa agama Yahudi seperti yang ada sekarang ini adalah agama
Yahudi yang dalam bidang teologi telah mengalami "pengislaman", seperti tercermin
dalam pembahasan buku Austryn Wolfson, Repercussion of Kalam in Jewish
Philosophy ("Pengaruh Kalam dalam Falsafah Yabudi").[5]
Dan William Craig mengisyaratkan bahwa berbagai polemik teologis dan filosofis
dalam Yahudi dan Kristen adalah karena pengaruh, dan merupakan kelanjutan, dari
polemik teologis dan filosofis dalam Islam. Seperti kita ketahui, dalam Islam terjadi
polemik antara Kalam (ortodoks) dengan falsafah, diwakili oleh polemik posthumous
antara al-Ghazali (Tahafut al-Falasifah, "Kerancuan para Failasuf') dan Ibn Rusyd
(Tahafut al-Tahafut, "Kerancuannya Kerancuan"). Dalam Yahudi, polemik yang paralel
juga telah terjadi, yaitu antara Saadia (pengaruh Kalam al-Ghazali) dengan Maimonides
(pengaruh falsafah Ibn Rusyd), dan dalam Kristen polemik serupa ialah antara
Bonaventure (pengaruh Kalam al-Ghazali) dan Thomas Aquinas (pengaruh falsafah Ibn
Rusyd).[6]
Sekarang ini, di zaman Moderen, para pengikut paham Asy'ari boleh merasa lebih
mantap dan berbesar hati, sebab, sepanjang pembahasan William Craig, seorang ahli
filsafat moderen dari Berkeley, California, ilmu pengetahuan mutakhir, khususnya teori-
teori tentang asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar dalam Astronomi
moderen, sangat menunjang argumen-argumen Ilmu Kalam, khususnya dalam
pandangan bahwa alam raya berpermulaan dalam suatu titik waktu di masa lampau, dan
bahwa ia diciptakan dari tiada. Sebagai seorang failasuf non-religi, Craig tetap skeptis
tentang apakah Tuhan itu mempunyai sifat-sifat seperti yang dibicarakan dalam Ilmu
Kalam. Namun ia menyimpulkan pembahasannya dengan mengakui validitas argumen
Kalam tentang adanya Tuhan:
Jadi telah disimpulkan tentang adanya suatu Khaliq yang personal bagi
alam raya yang ada tanpa berubah dan lepas sebelum penciptaan dan
dalam waktu sesudah penciptaan. Inilah inti pusat apa yang oleh kaum
Ketuhanan dimaksudkan dengan "Tuhan". Kita tidak melangkah lebih
jauh dari itu. Argumen kosmologis kalam membimbing kita kepada
adanya Khaliq yang personal bagi alam raya, namun perkara apakah
Khaliq ini Mahakuasa, baik, sempurna, dan seterusnya, kita tidak akan
membahas.[7]
Meskipun skeptis tentang sifat-sifat Tuhan, namun, juga sebagai seorang failasuf non-
religi, William Craig mengisyaratkan bahwa setelah terjadi kesimpulan mantap tentang
adanya Tuhan, sepatutnya kita melihat apakah Tuhan itu "pernah" menyatakan Diri
melalui wahyu-Nya seperti dikatakan dalam agama-agama, ataukah tidak. Jika jawabnya
afirmatif, itu berarti landasan keabsahan bagi agama. Dan kalau negatif, maka
barangkali Aristoteles benar bahwa Tuhan itu adalah penggerak yang tak tergerakkan,
dan bahwa Dia tetap jauh dan lepas dari jagad raya yang telah diciptakanNya.[8]
Tentu saja para ahli Ilmu Kalam menolak konsep Aristoteles itu. Namun tetap bahwa
kesimpulan failasuf moderen tersebut membuktikan segi paling tangguh dari paham
Asy'ari sebagai doktrin 'aqidah Islamiah. Paham Asy'ari dengan deretan argumennya itu,
seperti telah disebutkan, telah berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan dalam
agama-agama besar, khususnya Islam sendiri, serta Yahudi dan Kristen. Dan jika Craig
benar, paham Asy'ari juga akan berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan bagi
manusia zaman mutakhir dengan ilmu-pengetahuan dan astronomi moderennya.
Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas itu, pembicaraan tentang
paham Asy'ari tidak mungkin lepas dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para
pemikir Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy'ari, maupun dari dalam pandangan para
pemikir lainnya. Dalam batasan ruang dan waktu, kita akan hanya menyinggung satu
segi saja yang paling relevan dan juga paling banyak dijadikan sasaran kritik, yaitu
pandangan dalam sistem paham Asy'ari tentang perilaku manusia berkenaan dengan
masalah sampai di mana manusia mampu menentukan sendiri kegiatannya dan sampai
di mana ia tidak berdaya dalam masalah penentuan kegiatan itu berhadapan dengan
qudrat dan iradat Tuhan.
Dari kutipan tentang paham Ahl Al-Sunnah yang dijabarkan al-Asy'ari di muka --dan
yang ia dukung dan anut sepenuhnya-- dapat kita baca pandangan tentang perilaku
manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya, yang bernada sikap
pasrah kepada nasib (fatalisme).
Sesungguhnya al-Asy'ari bukanlah seorang Jabari 'sehingga dapat disebut fatalis. Tetapi
ia juga bukan seorang Qadari yang berpaham tentang kemampuan penuh manusia
menentukan perbuatannya, seperti kaum Mu'tazilah dan Syi'ah. Al-Asy'ari ingin
menengahi antara kedua paham yang bertentangan itu, sebagaimana dalam bidang
metodologi ia telah menengahi antara kaum Hanbali yang sangat naqli (hanya berdasar
teks-teks suci dengan pemahaman harfiah) dan kaum Mu'tazili yang sangat 'aqli
(rasional).
Dalam usahanya menengahi antara jabariah dan qadariah itu, Abu Hasan al-Asy'ari
tampil dengan konsep kasb (perolehan, acquisition) yang cukup rumit. Berikut ini tiga
bait syair tentang pengertian kasb, dari kitab Jawharat al-Tawhid, salah satu buku teks
dalam paham Asy'ari:
Artinya:
Jadi, jelasnya, manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya,
namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada
kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia bukanlah dalam
keadaan tak berdaya seperti kata kaum Jabari, tapi karena usahanya toh tidak
berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk bebas yang
menentukan sendiri kegiatannya seperti kata kaum Qadari. Dan jika Allah memberi kita
pahala (masuk surga), maka itu hanyalah karena kemurahan-Nya (bukan karena amal
perbuatan kita), dan jika dia menyiksa kita (masuk neraka) maka itu hanyalah karena
keadilan-Nya (juga bukan karena semata perbuatan kita).
Kutipan itu menggambarkan betapa sulitnya memahami konsep kasb dalam paham
Asy'ari. Maka tidak heran konsep itu menjadi sasaran kritik tajam para pemikir lain,
termasuk Ibn Taymiyyah yang menganggapnya sebagai salah satu keanehan atau
absurditas Ilmu Kalam. Ibn Taymiyyah malah menggubah syair yang dapat dipandang
sebagai tandingan konsep kasb:
Artinya:
Begitulah, Ibn Taymiyyah melihat bahwa dalam proses perkembangan paham Asy'ari,
konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang
lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya. Ibn Taymiyyah
sendiri, karena menolak baik Qadariah maupun Jabariah, juga tampil dengan konsepnya
jalan tengah, yaitu, sebagaimana ternyata dari syair tersebut, konsep bahwa Allah telah
menciptakan dalam diri manusia kehendak (iradah), yang dengan iradah itu manusia
mampu memilih jalan hidupnya, baik maupun buruk.
CATATAN
1 William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (New York: Barnes &
Noble, 1979), h. 4.
2 Abd al-Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-
Mushallin, edisi Muhammad Muhy-al-Din 'Abd-al Hamid 2 jilid (kairo: Maktabat al-
Nahdlat al-Mishriyyah, 1969), jil, 1, hh. 345-50.
3 Ibid., h. 350.
7 "We have thus concluded to a personal Creator of the universe who exists
changelessly and independently prior to creation and in time subsequent to creation.
This is a central core of what theists mean by "God". Further than this we shall not go.
The Kalam cosmological argument leads us to a personal Creator of the universe, but as
to whether this Creator ia omniscient, good, perfect, and so forth, we shall not inquire".
(Ibid., h. 152).
9 Tarjamah Sabil al-'Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (karangan Ibrahim al-Laqqani) oleh
H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, (tanpa data penerbitan), hh. 146, 149, 150
don 156.
Relevansi pembicaraan ini ialah bahwa sebagian besar kaum Muslimin Indonesia, jika
tidak seluruhnya, menganut paham Asy'ari di bidang 'aqidah. Pertama, karena Islam di
Indonesia beraliran Sunni, sehingga tidak menganut aqidah Syi'ah atau Mu'tazilah.
Kedua, karena Islam di Indonesia bermazhab Syafi'i dan seperti di mana-mana, kaum
Syafi'i kebanyakan menganut 'aqidah Asy'ari. Ini berbeda dengan kaum Sunni
bermazhab Hanafi (di Asia Daratan) yang kebanyakan menganut 'aqidah Maturidi, dan
dari kaum Sunni bermazhab Hanbali (di Arabia) yang tidak menganut Asy'ari maupun
Maturidi, melainkan mempunyai aliran sendiri khas Hanbali. Pembela paling tegas
paham Sunnah (lengkapnya, Ahl Sunnah wa al-Jama'ah -- baca: "Ahlusunnah
waljama'ah") di negeri kita, yaitu Nahdlatul 'Ulama', dalam muktamarnya di Situbondo
akhir 1984 yang lalu merumuskan dan menegaskan bahwa paham Sunnah ialah paham
yang dalam 'aqidah menganut al-Asy'ari atau al-Maturidi. Sedangkan kelompok-
kelompok lain, seperti Muhammadiyah sebagai yang pertama-tama dan terbesar, yang
biasanya oleh Nahdlatul 'Ulama' dipandang sebagai tidak tegas berpaham Ahl al-Sunnah
wa al jama'ah (namun sebenarnya dalam banyak hal malah sangat Sunni), juga masih
tetap menganut al-Asy'ari dalam 'aqidah, tanpa banyak mengambil alih kritik para
pemikir modernis Islam seperti Muhammad 'Abduh, ataupun pemikir reformis seperti
Ibn Taymiyyah dan, apalagi, Muhammad ibn 'Abd-al-Wahhab, terhadap beberapa segi
paham Asy'ari itu. Maka membicarakan paham Asy'ari berarti membicarakan pandangan
kepercayaan agama yang paling kuat dan luas di negeri kita.
Imam al-Asy'ari
Jika disebut paham Asy'ari, kita maksudkan keseluruhan penjabaran simpul ('aqidah)
atau simpul-simpul ('aqa'id) kepercayaan Islam dalam Ilmu Kalam yang bertitik tolak
dari rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari
Basrah, Iraq, yang lahir pada 260 H./873 M. dan wafat pada 324 H./935 M. Jadi dia
tampil sekitar satu abad setelah Imam al-Syafi'i (wafat pada 204 H./819 M.), atau
setengah abad setelah al-Bukhari (wafat pada 256 H./870 M.) dan hidup beberapa belas
tahun sezaman dengan pembukuan hadits yang terakhir dari tokoh yang enam, yaitu al-
Tirmidzi (wafat pada 279 H./892 M.). Dengan kata lain, al-Asy'ari tampil pada saat-saat
konsolidasi paham Sunnah di bidang hukum atau fiqh, dengan pembukuan hadits yang
menjadi bagian mutlaknya, telah mendekati penyelesaian. Dan penampilan al-Asy'ari
membuat lengkap sudah konsolidasi paham Sunnah itu, yaitu dengan penalaran
ortodoksnya di bidang keimanan atau 'aqidah.
Penalaran al-Asy'ari disebut ortodoks karena lebih setia kepada sumber-sumber Islam
sendiri seperti Kitab Allah dan Sunnah Nabi daripada penalaran kaum Mu'tazilah dan
para Failasuf. Meskipun mereka ini semuanya, dalam analisa terakhir, harus dipandang
secara sebenarnya tetap dalam lingkaran Islam, namun, dalam pengembangan argumen-
argumen bagi paham yang mereka bangun, mereka sangat banyak menggunakan bahan-
bahan falsafah Yunani. Banyaknya penggunaan bahan falsafah Yunani itu memberi ciri
pokok pemikiran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf sehingga mereka melakukan
pendekatan ta'wil atau interpretasi metaforis terhadap teks-teks dalam Kitab dan Sunnah
yang mereka anggap mutashabihat karena, misalnya, mengandung deskripsi tentang
Tuhan yang antropomorfis (Tuhan menyerupai manusia seperti punya tangan, mata,
bertahta di atas Singgasana atau Arasy, bersifat senang atau ridla, murka atau ghadlab,
dendam atau intiqam, terikat waktu seperti menunggu atau intidhar, dan seterusnya).
Disebabkan kuatnya peranan dan unsur logika dan dialektika dalam penalaran kaum
Mu'tazilah dan para Failasuf ini, maka sistem mereka disebut Ilmu Kalam, yakni, Ilmu
Logika atau Dialektika. Maka jika penalaran mereka itu merupakan sebuah teologi, lebih
tepat disebut Teologi Rasional, Teologi Dialektis atau Teologi Spekulatif, kadang-
kadang disebut Teologi Skolastik, juga disebut Teologi Alami (Natural Teology),
bahkan Teisme Falsafati (Philosophical Theism).[1]
Tetapi penggunaan argumen-argumen logis dan dialektis tidak terbatas hanya kepada
kaum Mu'tazilah dan para Failasuf saja. Kaum Asy'ari juga banyak menggunakannya,
meskipun metode ta'wil yang menjadi salah satu akibat penggunaan itu hanya
menduduki tempat sekunder dalam sistem Asy'ari. Kemampuan Abu al-Hasan 'Ali al-
Asy'ari menggunakan argumen-argumen logis dan dialektis ia peroleh dari latihan dan
pendidikannya sendiri sebagai seorang Mu'tazili. Ia memang kemudian, pada usia empat
puluh tahun, menyatakan diri lepas dari paham lamanya, dan bergabung dengan paham
kaum Hadits (Ahl al-Hadits) yang dipelopori kaum Hanbali, yang bertindak sebagai
pemegang bendera ortodoksi, sehingga sering diisyaratkan sebagai kaum Sunni par
excellence. Namun al-Asy'ari nampak tidak mungkin melepaskan diri sepenuhnya dari
metode logis dan dialektis, yang kali ini ia gunakan justru untuk mendukung dan
membela paham Ahl al-Hadits. Disebabkan oleh metodologinya itu mula-mula al-
Asy'ari tetap mencurigakan bagi kaum Hadits pada umumnya, sehingga ia merasa perlu
membela diri melalui sebuah risalahnya yang sangat penting, Istihsan al-Khawdl fi 'Ilm
al-Kalam ("Anjuran untuk Mendalami Ilmu Kalam", yakni, Ilmu Logika). Karena ilmu
logika formal, atau silogisme, dipelajari orang-orang Muslim dari Aristoteles (maka
dalam bahasa Arab disebut secara lengkap sebagai al-manthiq al-aristhi, logika
Aristoteles), pemikiran Ilmu Kalam adalah juga dengan sendirinya bersifat Aristhi atau
Aristotelian, dengan ciri utama pendekatan rasional-deduktif. (Segi ini pada umumnya,
dan segi-segi tertentu konsep dalam Kalam pada khususnya, merupakan alasan kritik
dan penolakan oleh kaum Hanbali atas Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh kaum
Asy'ari, dengan kontroversi dan polemik yang masih berlangsung sampai hari ini).
Walaupun demikian, sungguh sangat menarik bahwa dalam pergumulan pemikiran yang
sengit di bidang teologi itu akhirnya Imam Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari Basrah
tersebut memperoleh kemenangan besar, jika bukan terakhir atau final. Ini terutama
sejak tampilnya Imam al-Ghazali sekitar dua abad setelah al-Asy'ari, yang dengan
kekuatan argumennya yang luar biasa, disertai contoh kehidupannya yang penuh zuhud,
mengembangkan paham Asy'ari menjadi standar paham Ortodoks atau Sunni dalam
'aqidah. Karena itu, seperti telah disinggung di atas, pada saat sekarang ini, untuk
sebagian besar kaum Muslim seluruh dunia, paham Asy'ari adalah identik dengan paham
Sunni, dan, lebih dari itu, bahkan Ilmu Kalam pun sekarang menjadi hampir terbatas
hanya kepada metode penalaran Asy'ari. Maka dilihat dari kadar penerimaannya oleh
sedemikian besar kaum Muslim, dan dari bagaimana penerimaan itu melintasi batas-
batas kemazhaban dalam fiqh, paham Asy'ari adalah paham yang paling luas menyebar
dalam Dunia Islam, sehingga al-Asy'ari bisa disebut sebagai pemikir Islam klasik yang
paling sukses. Tidak ada tokoh pemikir dalam Islam yang dapat mengklaim sedemikian
banyak penganut dan sedemikian luas pengaruh buah pikirannya seperti Abu al-Hasan
'Ali al-Asy'ari. Maka sebutan yang paling umum untuk tokoh ini ialah Syaykh Ahl al-
Sunnah wa al-Jama'ah, sebagaimana senantiasa digunakan pada lembaran judul karya-
karyanya yang cukup banyak dan kini telah diterbitkan.
Sesungguhnya letak keunggulan sistem Asy'ari atas lainnya ialah segi metodologinya,
yang dapat diringkaskan sebagai jalan tengah antara berbagai ekstremitas. Maka ketika
menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidaklah menggunakannya
sebagai kerangka kebenaran itu an sich (seperti terkesan hal itu ada pada para Failasuf),
melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam
urutan sekunder. Sebab bagi al-Asy'ari, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang
primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari Kitab maupun yang dari Sunnah,
menurut makna harfiah atau literernya. Oleh karena itu kalaupun ia melakukan ta'wil, ia
lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan
penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali
dan metode ta'wili kaum Mu'tazili. Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat
polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh
al-Asy'ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan
utama penerimaan paham Asy'ari hampir secara universal, dan itu pula yang
membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang.
Meskipun begitu, inti pokok paham Asy'ari ialah Sunnisme. Hal ini ia kemukakan
sendiri dalam bukunya yang sangat bagus dan sistematis, yaitu Maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin ("Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum
Bersembahyang"), sebuah buku heresiografi (catatan tentang berbagai penyimpangan
atau bid'ah) dalam Islam yang sangat dihargai karena kejujuran dan obyektifitas dan
kelengkapannya. Dalam meneguhkan pahamnya sendiri, terlebih dahulu al-Asy'ari
menuturkan paham Ahl al-Hadits seperti yang ada pada kaum Hanbali, kemudian
mengakhirinya dengan penegasan bahwa ia mendukung paham itu dan menganutnya.
Untuk memperoleh gambaran yang cukup lengkap tentang hal yang amat penting ini, di
sini dikutip beberapa persoalan mendasar dari keterangan al-Asy'ari yang dimaksud:
turun, bahwa nama-nama Allah adalah Allah itu sendiri (bukan sesuatu yang wujudnya
terpisah), bahwa seseorang yang berdosa besar tidak mesti dihukumi masuk neraka,
sebagaimana seseorang yang bertauhid tidak mesti dihukumi masuk surga sampai Allah
sendiri yang menentukan, dan bahwa Allah memberi pahala kepada siapa yang
dikehendaki dan memberi siksaan kepada siapa saja yang dikehendaki, bahwa apa saja
yang sampai ke tangan kita dari Rasulullah s.a.w. melalui riwayat yang handal harus
diterima, tanpa boleh bertanya: "Bagaimana?" ataupun "Mengapa?", karena semuanya
itu bid'ah.
Juga bahwa Allah tidak memerintahkan kejahatan, melainkan melarangnya; dan Dia
memerintahkan kebaikan dengan tidak meridlai kejahatan, meskipun Dia menghendaki
kejahatan itu.
Dan bahwa keunggulan para sahabat Nabi seperti manusia pilihan Allah harus diakui,
dengan menghindarkan diri dari pertengkaran tentang mereka, besar maupun kecil, dan
bahwa urutan keunggulan Khalifah yang empat ialah pertama-tama Abu Bakr, kemudian
'Umar, disusul 'Utsman, dan diakhiri dengan 'Ali.
Selanjutnya, menurut al-Asy'ari, paham Sunni juga mengharuskan taat mengikuti imam
atau pemimpin, dengan bersedia bersembahyang sebagai ma'mum di belakang mereka,
tidak peduli apakah mereka itu orang baik (barr) ataupun orang jahat (fajir).
Disebutkan pula bahwa kaum Sunni mempercayai akan munculnya Dajjal di akhir
zaman, dan bahwa 'Isa al-Masih akan membunuhnya. Lalu ditegaskannya pula bahwa
Ahl al-Sunnah itu berpendapat harus menjauhi setiap penyeru bid'ah; harus rajin
membaca al-Qur'an, mengkaji Sunnah dan mempelajari fiqh dengan rendah hati, tenang,
dan budi yang baik; harus berbuat banyak kebaikan dan tidak menyakiti orang; harus
meninggalkan gunjingan, adu domba dan umpatan, dan terlalu mencari-cari makan dan
minum!
Demikian kutipan sebagian dari keterangan al-Asy'ari yang panjang-lebar. Pada akhir
keterangannya itu, al-Asy'ari menyatakan: "Dan kita pun berpendapat seperti semua
pendapat yang telah kita sebutkan itu, dan kepadanyalah kita bermazhab."[3]
(sesudah)