Anda di halaman 1dari 2

Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh.

Malahayati mendapat anugerah Gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor
115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan
Nasional.

Nama aslinya adalah Keumalahayati. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah.
Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan
Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah
adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri
Kerajaan Aceh Darussalam.

Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia
dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah
tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September
1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak
kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih
dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.

Pendidikan Kemiliteran

Pada masa Malahayati masih gadis remaja, Kerajaan Aceh telah memiliki Akademi Militer yang
bernama Mahad Baitul Maqdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut, dengan para
instrukturnya sebagian berasal dari Turki.

Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk
memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di meunasah, dan
dayah.

Malahayati berniat mengikuti karir ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana.
Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi
pelaut yang tangguh.

Selepas dari pesantren, Malahayati mengenyam pendidikan militer dan masuk jurusan angkatan
laut akademi militer Kerajaan Aceh, Ma'had Baitul Makdis. Akademi militer kenamaan Kerajaan
Aceh yang dibangun atas dukungan Sultan Selim II, penguasa Turki Utsmaniyah.

Di akademi militer itu, Malahayati tumbuh sebagai sosok brilian. Di situ is bertemu dengan kakak
angkatan yang kemudian menjadi suaminya. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi
Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam. Sang suami menjadi
laksamana.

Membentuk Armada Perang

Tak lama berselang, suami Malahayati gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis.
Kemudian Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari
1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang
gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.

Kerajaan Aceh yang saat itu tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis
akhirnya mengabulkan usul Malahayati untuk membentuk armada, Malahayati diangkat jadi
Panglima Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda.

Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi
sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa
dilihat di Aceh.
Tak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal
perang. Pasukan yang semula hanya seribu, lama-lama bertambah hingga mencapai dua ribu
orang. Armada asing yang melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar.

Pertempuran

Pada 21 Juni 1599, pasukan ekspedisi dari Belanda yang baru selesai berperang dengan
Kesultanan Banten tiba di Aceh. Rombongan yang dipimpin Cornelis dan Frederick de Houtman
itu disambut baik. Namun armada asing itu malah menyerbu pelabuhan Aceh.

Kerajaan Aceh melawan. Laskar Inong Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan.
Pasukan janda itu sangatlah tangguh. Armada Belanda dilibas. Bahkan pada 11 September, de
Houtman tewas di tangan Malahayati. Frederick de Houtman ditawan selama dua tahun.

Selanjutnya, pada 21 November 1600 Belanda mengirim pasukannya kembali di bawah


komando Paulus van Caerden. Mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh
rempah-rempah di pantai Aceh.

Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck,
yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat
diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.

Negosiator Ulung

Tak hanya sebagai laksamana, Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung.
Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits
van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan
gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi
penyerbuan yang dilakukan van Caerden.

Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga
negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu
Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk
membuka jalur pelayaran menuju Jawa.

Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah
Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumber sejarah
menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Dia kemudian
dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari
Banda Aceh.

Penghargaan

Selain dinamakan sebagai nama jalan di berbagai wilayah di Indonesia, nama Malahayati juga
banyak diabadikan dalam berbagai hal.

Pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar dinamakan dengan Pelabuhan Malahayati.
Selain itu, salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut dinamakan dengan KRI Malahayati.

Dalam dunia pendidikan terdapat Universitas Malahayati yang terdapat di Bandar Lampung.
Sebuah serial film Laksamana Malahayati yang menceritakan riwayat hidup Malahayati telah
dibuat pada tahun 2007.

Anda mungkin juga menyukai