Anda di halaman 1dari 9

Struktur Modal Yang Optimal

Struktur modal adalah perimbangan / perbandingan hutang jangka panjang dengan modal sendiri
( Riyanto, 2001 ). Struktur modal merupakan cermin dari kebijaksanaan perusahaan dalam
menentukan jenis sekuritas yang dikeluarkan, karena masalah struktur modal adalah erat
hubungannya dengan masalah kapitalisasi, dimana disusun dari jenis-jenis funds yang
membentuk kapitalisasi adalah struktur modalnya. Keputusan struktur modal berkaitan dengan
pemilihan sumber dana baik yang berasal dari dalam maupun dari luar, sangat mempengaruhi
nilai perusahaan. Sumber dana perusahaan dari internal berasal dari laba ditahan dan depresiasi.
Dana yang diperoleh dari sumber eksternal adalah dana yang berasal dari para kreditur dan
pemilik perusahaan. Pemenuhan kebutuhan dana yang berasal dari kreditur merupakan utang
bagi perusahaan. Dana yang diperoleh dari para pemilik merupakan modal sendiri.
Kebijakan mengenai struktur modal melibatkan trade off antara risiko dan tingkat pengembalian.
Penambahan utang akan memperbesar risiko perusahaan tetapi sekaligus juga memperbesar
tingkat pengembalian yang diharapkan. Risiko yang makin tinggi akibat membesarnya utang
cenderung menurunkan harga saham, tetapi meningkatkan tingkat pengembalian yang
diharapkan akan menaikkan harga saham tersebut. Sruktur modal yang optimal adalah struktur
modal yang mengoptimalkan kesimbangan antara risiko dan pengembalian sehingga
memaksimumkan harga saham ( Brigham dan Houston, 2001). Menurut Brigham dan Houston
struktur modal yang optimal sebuah perusahaan adalah kombinasi utang dan ekuitas yang akan
memaksimalkan harga saham. Dalam hal ini perusahaan menganalisis sejumlah factor, kemudian
menetapkan suatu struktur modal sasaran (target capital structure).

Struktur modal yang optimal ditentukan oleh beberapa indikator. Indikator yang pertama adalah
biaya modal, apabila perusahaan mengeluarkan biaya modal yang tinggi maka mengindikasikan
struktur modal yang kurang baik. Menurut Martono dan Harjito (2003:240) “Struktur modal
yang optimal dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan biaya modal
keseluruhan atau biaya modal rata-rata sehingga akan memaksimalkan nilai perusahaan”.

STRUKTUR MODAL YANG OPTIMAL

Pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang optimal.
Struktur modal yang optimal dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan
biaya penggunaan modal keseluruhan atau biaya modal rata-rata sehingga akan memaksimalkan
nilai perusahaan (Martono, 2008:240). Menurut Warsono (2003:242) struktur modal yang
optimal dapat didefinisikan sebagai suatu struktur modal yang memaksimalkan nilai perusahaan
atau harga saham perusahaan, dan meminimumkan biaya modalnya.Suatu perusahaan dalam
pemenuhan kebutuhannya harus mengutamakan sumber internal perusahaan sehingga akan
mengurangi ketergantungan terhadap pihak luar. Namun apabila kebutuhan dana sudah
meningkat dan tidak dapat dipenuhi dari modal internal, maka tidak ada pilihan selain
menggunakan dana dari luar baik dari hutang (debt financing) maupun dengan mengeluarkan
saham baru (external equity financing).
Apabila dalam pemenuhan kebutuhan dana dari sumber eksternal tersebut lebih mengutamakan
pada hutang saja, maka ketergantungan pada perusahaan pada pihak luar akan semakin besar dan
risiko finansialnya akan semakin besar. Sebaliknya jika perusahaan hanya menggantungkan pada
saham saja, karena biayanya akan semakin mahal. Untuk mengatisipasi hal tersebut, perusahaan
perlu mengusahakan adanya keseimbangan yang optimal antara kedua sumber pendanaan
tersebut. Perusahaan harus berhati-hati dalam menentukan struktur modal yang optimal.
Perusahaan dalam keadaan apapun jangan sampai jumlah hutang lebih besar daripada jumlah
modal sendiri atau dengan kata lain jangan sampai lebih besar dari 50% sehingga modal yang
dijamin (hutang) tidak lebih besar dari modal yang menjadi jaminannya (modal sendiri).
Berdasarkan konsep cost of capital, perusahaan berusaha memiliki struktur modal yang optimal
dalam arti bahwa struktur modal yang dapat meminimumkan biaya penggunaan modal rata-rata
(average cost of capital) (Riyanto, 2013:294). Pada penghitungan cost of capital, besar kecilnya
average cost of capital adalah ketergantungan pada proporsi masing-masing sumber dana beserta
biaya dari masing-masing komponen sumber dana tersebut. Menurut Sartono (2012:254),
struktur modal yang optimal tersebut terjadi pada saat nilai perusahaan maksimal atau struktur
modal yang mengakibatkan biaya rata-rata tertimbang turun.

b. Teori Struktur Modal

1) Agency Theory

Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling pada tahun 1976
(Horne dan Wachowicz, 1998 dalam Saidi, 2004) ,yang menyebutkan bahwa manajemen
merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Para pemegang saham
berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan wewenang
kepada agen. Biaya yang ditimbulkan dari pengawasan yang dilakukan oleh manajemen disebut
biaya agensi. Biaya agensi menurut Horne dan Wachowicz dalam Saidi (2004) adalah biaya-
biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk menyakinkan bahwa manajemen
bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditur dan
pemegang saham.

2) Signaling Theory

Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (2001) adalah suatu tindakan yang diambil
manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen
memandang prospek perusahaan. Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan
mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan
dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan utang yang melebihi target struktur modal yang
normal. Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan merupakan suatu isyarat (signal)
bahwa manajemen memandang prospek perusahaan suram. Apabila suatu perusahaan
menawarkan penjualan saham baru lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan
menurun, karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian
dapat menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah.

3) Pecking Order Theory

Pecking order theory mengasumsikan bahwa perusahan bertujuan untuk memaksimumkan


kesejahteraan pemegang saham. Perusahaan berusaha menerbitkan sekuritas pertama dari
internal, retained earning, kemudian utang berisiko rendah dan terakhir ekuitas (Myers, 1984
dalam Perminas Pangeran, 2004). Pecking order theory memprediksi bahwa pendanaan utang
eksternal didasarkan pada defisit pendanaan internal.

Model pecking order theory memfokuskan pada motivasi manejer korporat, bukan pada prinsip-
prinsip penilaian pasar modal. Pecking order theory mencerminkan persoalan yang diciptakan
oleh asimetrik informasi. Dasar pemikirannya didasarkan pada penjelasan berikut ini, (Meyers,
1984 dalam Perminas Pangeran, 2004) :

1. Para manejer mengetahui lebih banyak tentang perusahaan daripada investor luar, namun
mereka enggan untuk menerbitkan saham ketika percaya saham mereka adalah undervalued.

2. Investor memahami bahwa para manajer mengetahui lebih banyak dan mereka mencoba
menerbitkan sesuai waktu yang tepat.

3. Para manejer menginterpresentasikan keputusan untuk menerbitkan ekuitas sebagai bad


news, dan perusahaan dapat menerbitkan ekiutas hanya pada harga discount.

4. Perusahaan yang bekerja berdasarkan filosofi pecking order theory dan membutuhkan
ekuitas eksternal kemungkinan tidak akan memanfaatkan kesempatan investasi yang baik, karena
saham tidak dapat dijual pada “fair Price”.

Menurut Myers (1996) dalam Saidi (2004) perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan
dari modal internal, yakni dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan dan depresiasi. Urutan
penggunaan sumber dana dengan mengacu packing order theory adalah internal fund (dana
internal), debt (utang), dan equity (modal sendiri) (Kaaro, 2003).

4) Trade Off Theory

Konsep trade off dalam balancing theory adalah menyeimbangkan manfaat dan biaya dari
penggunaan utang dalam struktur modal sehingga disebut pula sebagai trade off theory (Brigham
et al, 1999 dalam Kaaro, 2003). Berdasarkan teori Modigliani dan Miller (1996) dalam Adler
Haymans Manurung (2004), semakin besar utang yang digunakan, semakin tinggi nilai
perusahaan. Model Modigliani dan Miller mengabaikan faktor biaya kebangkrutan dan biaya
keagenan. Struktur modal yang optimal dapat ditemukan dengan menyeimbangkan antara
keuntungan penggunaan utang dengan biaya kebangkrutan dan biaya keagenan yang disebut
model trade off ( Myers, 1984 dalam Perminas Pangeran, 2004).

Perusahaan mendasarkan keputusan pendanaan pada struktur modal yang optimal. Struktur
modal optimal dibentuk dengan menyeimbangkan manfaat dari penghematan pajak atas
penggunaan utang terhadap biaya kebangkrutan. Penggunaan utang mengakibatkan peningkatan
EBIT yang mengalir ke investor, jadi semakin besar utang perusahaan, semakin tinggi nilainya
dan harga saham perusahaan. Berdasarkan makalah Modigliani-Miller dengan pajak, harga
saham perusahaann akan dimaksimumkan jika menggunakan utang 100 persen. Dalam
kenyatannya, jarang ada perusahaan yang menggunakan utang 100 persen karena perusahaan
membatasi penggunaan utang untuk menekan biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan
(Brigham dan Houston, 2001).

Contoh:
Katakanlah sebuah perusahaan baru saja memperoleh pesanan barang untuk diproduksi, dan
untuk merampungkan pesanan tersebut persahaan membutuhkan dana Rp 100 milyar.
Perusahaan meminjam Rp 100 miliar pada bank, dan berjanji untuk mengembalikan pokok Rp
100 miliar ditambah bunganya 5 milyar dalam satu tahun. Itu artinya perusahaan
menggantungkan sumber modalnya pada satu sumber saja, yaitu utang (debt). Perusahaan mulai
berproduksi dengan menggunakan dana pinjaman tersebut. Selanjutnya:
Jika dari Rp 100 milyar yang diinvestasikan perusahaan dapat menghasilkan uang kembali Rp
120 milyar, berarti Rp 105 milyar dikembalikan kepada bank (kreditur), dan perusahaan
menikmati keuntungan 15 milyar.
Jika perusahaan hanya menghasilkan Rp 105 milyar, berarti Rp 105 milyar seluruhnya
dibayarkan kepada kreditur, sementara perusahaan tidak dapat apa-apa.
Lebih parahnya, jika perusahaan hanya menghasilkan Rp 100 milyar, perusahaan tetap harus
mengembalikan Rp 105 milyar. Artinya perusahaan tombok (rugi) 5 milyar. Jika tidak kreditur
tentunya akan membawa kasustersebut ke wilayah hukum.
Dengan demikian (dalam contoh kasus ini), jika perusahaan memutar (menginvestasikan) dana
pinjaman tersebut dan memperoleh keuntungan lebih dari biaya atas pendaan (the cost of funds)
yang 5 milyar tersebut, maka perusahaan akan menikmati selisih tersebut seluruhnya. Tetapi jika
perusahaan hanya mampu menghasilkan keuntungan 5 milyar atau kurang, perusahaan masih
harus mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya!
Dari pertimbangan inilah ide dasar penerapan ‘financial leverage’ berawal, yaitu: sistim
pendanaan yang bersifat tetap, namun dengan pembayaran yang terbatas: Jika perusahaan
memperoleh keuntungan (earning) yang bagus, maka perusahaan dapat menikmati keuntungan
sepenuhnya, tentunya setelah pelunasan terhadap pinjaman dan bunga dilakukan. Jika earningnya
rendah, maka kreditor masih tetap harus dibayar tetapi tidak sepenuhnya, melainkan hanya
sebesar yang jatuh tempo saja. Sisanya masih tetap harus dibayar di periode berikutnya.
Gagal membayar pokok dan bunga yang jatuh tempo akan menciptakan suatu kedaan yang
disebut dengan ‘FINANCIAL DISTRESS’, yaitu: suatu keadaan dimana persahaan terpaksa
harus mengambil keputusan dibawah tekanan untuk memenuhi kewajiban legalnya terhadap
kreditur. Tentu saja model keputusan seperti ini sangat tidak diharapkan oleh manajemen
perusahaan manapun.
Di sisi lainnya. Dengan pendanaan ekuitas (equity financing) praktis tidak ada kewajiban legal
yang memaksa. Meskipun perusahaan dapat memilih untuk mendistribusikan dana kepada
pemilik dalam bentuk dividen tunai, tidak ada persyaratan hukum yang memaksa perusahaan
untk melakukan hal itu.
Salah satu alat untuk mengukur sejauh mana efektifitas utang digunakan untuk membiayai
perusahaan adalah DEBT RATIO, yaitu rasio utang terhadap ekuitas persahaan.

Menurut Maness (1988), ada beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan struktur modal
yang optimal, yaitu :
1. Stabilitas Penjualan
Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil dapat lebih aman memperoleh lebih banyak
pinjaman dan menanggung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang
penjualannya tidak stabil.
2. Operating Leverage
Perusahaan yang mengurangi leverage operasinya lebih mampu untuk menaikkan penggunaan
leverage keuangan ( hutang ).
3. Corporate Taxes
Karena bunga tax-deductable, ada sebuah keuntungan jika menggunakan hutang. Marginal tax
rate perusahaan yang lebih tinggi, maka keuntungan menggunakan hutang akan lebih tinggi,
semua yang lainnya dianggap sama.
4. Kadar resiko dari aktiva
Tingkat atau kadar resiko dari setiap aktiva didalam perusahaan adalah tidak sama. Makin
panjang jangka waktu penggunaan suatu aktiva didalam perusahaan, makin besar derajat
resikonya. Dan perkembangan dan kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan yang tiada henti,
dalam artian ekonomis dapat mempercepat tidak digunakannya suatu aktiva, meskipun dalam
artian teknis masih dapat digunakan.
5. Lenders dan rating agencies
Jika perusahaan menggunakan hutang semakin berlebih, maka pihak lenders akan mulai meminta
tingkat bunga yang lebih tinggi dan rating agencies akan mulai menurunkan rating pada tingkat
hutang perusahaan.
6. Internal cash flow
Tingkat internal cash flow yang lebih tinggi dan lebih stabil dapat menjastifikasi sebuah tingkat
leverage lebih stabil.
7. Pengendalian
Banyak perusahaan sekarang meningkatkan tingkat hutangnya dan memulai dengan menerbitkan
hutang baru hingga repurchase outstanding commonstock. Tujuan dari peningkatan hutang
tersebut adalah untuk mendapatkan return yang lebih tinggi., sedangkan pembelian kembali
saham bertujuan untuk lebih meningkatkan tingkat pengendalian.
8. Kondisi ekonomi
Kondisi ekonomi seperti sekarang ini dan juga kondisi pada pasar keuangan dapat
mempengaruhi keputusan struktur modal. Ketika tingkat suku bunga tinggi, mungkin keputusan
pendanaan lebih mengarah pada short-term debt, dan akan dilakukan refinance dengan long-term
debt atau equity jika kondisi pasar memungkinkan.
9. Preferensi pihak manajemen
Preferensi manajemen terhadap resiko dan gaya manajemen mempunyai peran dalam
hubungannya dengan kombinasi debt-equity perusahaan pada struktur modalnya.
10. Debt covenant
Uang yang dipinjam dari sebuah bank dan juga penerbitan surat hutang dan terwujud melalui
serangkaian kesepakatan (debt covenant).
11. Agency cost
Agency cost adalah sebuah biaya yang diturunkan guna memonitor kegiatan pihak manajemen
untuk menjamin bahwa kegiatan mereka selaras dengan persetujuan antara manajer, kreditur dan
juga para shareholders.
12. Profitabilitas
Perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi, dan penggunaan internal financing yang lebih besar
dapat menurunkan penggunaan hutang (rasio hutang).

Pada kasus tertentu ternyata kondisinya dapat dikelompokan pada 4 faktor yang dominan
terhadap penentuan struktur modal, yaitu:
• Faktor 1: Stabilitas pendapatan dan kebutuhan modal, komponen variabelnya: Stabilitas
penjualan dan kebutuhan modal. Dengan variabel yang dominan adalah kebutuhan modal.
• Faktor 2: Struktur pasar industri yang terdiri variabel; struktur saingan, tingkat bunga,
tingkat pertumbuhan penjualan, dan kadar risiko dari aktiva. Variabel dominannya adalah
struktur saingan.
• Faktor 3: Risiko usaha dan keuangan, yang terdiri variabel; sikap pemberi pinjaman,
susunan aktiva, dan sikap manejemen. Variabel dominannya adalah sikap pemberi pinjaman.
• Faktor 4: Situasi perekonomian yang hanya terdiri variabel keadaan pasar modal,
sehingga variabel dominannya adalah variabel keadaan pasar modal.

Contoh:
Katakanlah sebuah perusahaan baru saja memperoleh pesanan barang untuk diproduksi, dan
untuk merampungkan pesanan tersebut persahaan membutuhkan dana Rp 100 milyar.
Perusahaan meminjam Rp 100 miliar pada bank, dan berjanji untuk mengembalikan pokok Rp
100 miliar ditambah bunganya 5 milyar dalam satu tahun. Itu artinya perusahaan
menggantungkan sumber modalnya pada satu sumber saja, yaitu utang (debt). Perusahaan mulai
berproduksi dengan menggunakan dana pinjaman tersebut. Selanjutnya:
 Jika dari Rp 100 milyar yang diinvestasikan perusahaan dapat menghasilkan uang kembali
Rp 120 milyar, berarti Rp 105 milyar dikembalikan kepada bank (kreditur), dan perusahaan
menikmati keuntungan 15 milyar.
 Jika perusahaan hanya menghasilkan Rp 105 milyar, berarti Rp 105 milyar seluruhnya
dibayarkan kepada kreditur, sementara perusahaan tidak dapat apa-apa.
 Lebih parahnya, jika perusahaan hanya menghasilkan Rp 100 milyar, perusahaan tetap harus
mengembalikan Rp 105 milyar. Artinya perusahaan tombok (rugi) 5 milyar. Jika tidak
kreditur tentunya akan membawa kasustersebut ke wilayah hukum.
Dengan demikian (dalam contoh kasus ini), jika perusahaan memutar (menginvestasikan) dana
pinjaman tersebut dan memperoleh keuntungan lebih dari biaya atas pendaan (the cost of funds)
yang 5 milyar tersebut, maka perusahaan akan menikmati selisih tersebut seluruhnya. Tetapi jika
perusahaan hanya mampu menghasilkan keuntungan 5 milyar atau kurang, perusahaan masih
harus mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya!
Dari pertimbangan inilah ide dasar penerapan ‘financial leverage’ berawal, yaitu: sistim
pendanaan yang bersifat tetap, namun dengan pembayaran yang terbatas: Jika perusahaan
memperoleh keuntungan (earning) yang bagus,  maka perusahaan dapat menikmati keuntungan
sepenuhnya, tentunya setelah pelunasan terhadap pinjaman dan bunga dilakukan. Jika earningnya
rendah, maka kreditor masih tetap harus dibayar tetapi tidak sepenuhnya, melainkan hanya
sebesar yang jatuh tempo saja. Sisanya masih tetap harus dibayar di periode berikutnya.
Gagal membayar pokok dan bunga yang jatuh tempo akan menciptakan suatu kedaan yang
disebut dengan ‘FINANCIAL DISTRESS’, yaitu: suatu keadaan dimana persahaan terpaksa
harus mengambil keputusan dibawah tekanan untuk memenuhi kewajiban legalnya terhadap
kreditur. Tentu saja model keputusan seperti ini sangat tidak diharapkan oleh manajemen
perusahaan manapun.
Di sisi lainnya. Dengan pendanaan ekuitas (equity financing) praktis tidak ada kewajiban legal
yang memaksa. Meskipun perusahaan dapat memilih untuk mendistribusikan dana kepada
pemilik dalam bentuk dividen tunai, tidak ada persyaratan hukum yang memaksa perusahaan
untk melakukan hal itu.

Salah satu alat untuk mengukur sejauh mana efektifitas utang digunakan untuk membiayai
perusahaan adalah DEBT RATIO, yaitu rasio utang terhadap ekuitas persahaan.

Debt to equity ratio (DR) rasio ini menunjukan perbandingan antara hutang yang diberikan oleh
kreditur dengan jumlah modal sendiri yang diberikan oleh pemilik perusahaan. Salah satu rasio
yang paling banyak digunakan ialah rasio hutang terhadap ekuitas. Besarnya hutang terdapat
dalam struktur modal perusahaan sangat penting untuk memahami perimbangan antara resiko
dan laba yang didapat. Hutang membawa resiko karena setiap hutang pada umumnya akan
menimbulkan keterkaitan yang tetap bagi perusahaan berupa kewajiban membayar beban bunga
beserta cicilan kewajiban pokoknya (principal) secara periode. Kewajiban bukan suatu yang
jelek jika dapat memberikan keuntungan kepada pemiliknya, jika kewajiban dimanfaatkan
dengan efektif dan laba yang didapat cukup untuk membayar bunga secara periodik. Dengan DR
yang tinggi perusahaan menanggung resiko kerugian yang tinggi tetapi juga berkesempatan
untuk memperoleh laba yang meningkat. DR yang tinggi berdampak pada peningkatan
perubahan laba, berarti memberikan efek keuntungan bagi perusahaan.

Total Aset Turn Over (TATO) menujukan tingkat efisiensi penggunaan keseluruhan aktiva
perusahaan dalam mengerjakan sumber sumber dananya. Semakin tinggi rasio tato berarti
semakin efisien penggunaan keseluruhan aktiva didalam menghasilkan penjualan. Dengan
perkataan lain, jumlah asset yang sama dengan memperbesar volume penjualan apabila tato
ditingkatkan atau diperbesar. Tato ini penting bagi para kreditur dan pemilik perusahaan, tetapi
akan lebih penting lagi bagi para manajemen perusahaan, karena hal ini akan menunjukan
efisien tidaknya penggunaan seluruh aktiva didalam perusahaan. Tingkat penjualan yang tinggi,
maka semakin tinggi tingkat penjualan di masa yang akan datang sehingga perubahan laba
semakin tinggi pula. Semakin tinggi tato maka semakin tinggi perubahan labanya.

Anda mungkin juga menyukai