Anda di halaman 1dari 47

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 107

©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.183

Artikel Penelitian
Analisis Kandungan Gizi, Nilai Energi, dan Uji Organoleptik Cookies Tepung
Beras dengan Substitusi Tepung Sukun
Nutrient Content Analysis, Energy Value, and Organoleptic Test of Rice Flour Cookies with Breadfruit Flour
Substitution
Fauzia Kusuma Wulandari, Bhakti Etza Setiani, Siti Susanti
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang
*
Korespondensi dengan penulis (fwulandari62@gmail.com)
Artikel ini dikirim pada tanggal 12 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 01 Oktober 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Penelitian cookies tepung beras yang disubstitusi dengan tepung sukun dilakukan untuk mengeksplorasi
karakteristik dari kandungan gizi, nilai energi, dan uji organoleptik yang dihasilkan oleh cookies. Parameter yang
diamati dalam penelitian ini adalah kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar abu, kadar serat
kasar, nilai energi, dan organoleptik. Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 6 perlakuan dan 3 kali ulangan dengan mensubstitusi bahan baku tepung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar air terendah pada konsentrasi 10% dan 50%, kadar protein terendah pada konsentrasi
50%, kadar lemak terendah pada konsentrasi 0%, kadar karbohidrat terendah pada konsentrasi 30%, kadar abu
terendah pada konsentrasi 0%, kadar serat kasar terendah pada konsentrasi 0%, dan nilai energi terendah pada
konsentrasi 30%. Uji organoleptik kesukaan yang paling disukai oleh panelis adalah cookies dengan konsentrasi
0%. Semakin besar konsentrasi substitusi tepung sukun menurunkan kesukaan secara keseluruhan terhadap
cookies tepung beras dengan substitusi tepung sukun yang dihasilkan.

Kata kunci: cookies, tepung sukun, tepung beras

Abstract
A study of cookies made from rice flour shich substituted by breadfruit flour was conducted. The objective of
this study was to explore the characteristic of the nutrient, energy value, and also consumer preferences, using
organoleptic test. The water, protein, fat, carbohydrate, ash, and crude fiber content were observed as nutrient
value of cookies. Another parameters suchas energy value and organoleptic test were also observed. Completely
Randomized Design (CRD) with 6 treatments and 3 replications were used as research design. The results showed
that the lowest water content levels at 10% and 50% of concentrations , the lowest protein content levels at 50% of
concentrations, the lowest fat content levels at 0% of concentrations , the lowest carbohydrate content levels at
30% of concentrations, the lowest ash content at 0% of concentrations. The lowest crude fiber content at 0% of
concentrations, and the lowest energy value at 30% of concentrations. The organoleptic tests which most preferred
by the panelists were cookies with 0 % concentrations. The higher concentration of breadfruit flour substitution
implicate the lower of overall preferences of cookies made from rice flour which substituted with breadfruit flour.

Keywords: cookies, rice flour, breadfruit flour

Pendahuluan penggunaan terigu ke non terigu (Fatkurahman et al.,


Cookies merupakan salah satu jenis makanan 2012). Salah satu alternatif untuk menggantikan tepung
ringan yang sangat digemari oleh masyarakat terigu menjadi non terigu adalah memanfaatkan tepung
Indonesia karena memiliki rasa dan bentuk yang lokal dalam produksi makanan sehingga dapat
menarik. Bentuk dan rasa dari cookies sangat beragam mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan
tergantung bahan yang ditambahkan pada impor. Cookies dapat diproduksi dengan menggunakan
pembuatannya. Semakin banyak permintaan akan berbagai macam tepung termasuk tepung yang tidak
produk cookies, penggunaan bahan baku pembuatan mengandung gluten karena cookies tidak
cookies yaitu tepung terigu akan terus meningkat dan membutuhkan pengembangan (Gayati, 2014). Dengan
harga tepung terigu yang tersedia di pasaran juga demikian, pembuatan cookies dapat menggunakan
semakin tinggi. Ketergantungan pada tepung terigu tepung beras dan tepung sukun sebagai pengganti
mengakibatkan meningkatnya jumlah impor untuk tepung terigu. Pemanfaatan tepung-tepung lokal seperti
komoditas gandum tersebut. Menurut data Badan Pusat tepung beras dan tepung sukun sebagai bahan baku
Statistik (2012) Indonesia merupakan negara pembuatan cookies diharapkan dapat mengurangi
pengimpor gandum dengan volume impor mencapai 6,3 ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan
juta ton. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk tepung terigu dan meningkatkan potensi pangan lokal
mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan yang tersedia di Indonesia.
tepung terigu yaitu dengan cara mengalihkan
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 108
©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.183

Tabel 1. Skor penilaian uji organoleptik


Rasa Rasa Coklat Warna Aroma Tekstur Kesukaan
1 = tidak manis 1 = tidak terasa 1 = sangat coklat 1 = tidak harum 1 = tidak renyah 1 = tidak suka
2 = agak manis 2 = agak terasa 2 = agak sangat coklat 2 = agak harum 2 = agak renyah 2 = agak suka
3 = manis 3 = terasa 3 = coklat 3 = harum 3 = renyah 3 = suka
4 = sangat manis 4 = sangat terasa 4 = coklat keemasan 4 = sangat harum 4 = sangat renyah 4 = sangat suka

Tepung sukun merupakan produk olahan sukun cara menghidrolisis sampel dengan asam kuat dan

yang diperoleh dari buah sukun yang berkarbohidrat basa kuat encer sehingga karbohidrat, protein, dan zat-
tinggi. Tepung sukun memiliki cita rasa yang khas dari zat lain terhidrolisis lalu larutan disaring dan dicuci
buah sukun dan kondisi tepung yang lebih baik dengan air panas yang mengandung asam dan alkohol.
dibandingkan tepung tapioka. Pemanfaatan tepung Nilai energi dihitung berdasarkan komposisi lemak,
sukun menjadi olahan makanan dapat mensubstitusi protein, dan karbohidrat. Uji organoleptik dilakukan
penggunaan tepung terigu hingga 75% tergantung jenis dengan memberi skor pada parameter rasa, rasa
produk atau olahan makanan yang dihasilkan (Suyanti coklat, warna, aroma, tekstur, dan kesukaan (Kartika,
et al., 2003). Tujuan dari penelitian ini adalah 1988). Skor penilaian uji organoleptik dapat dilihat pada
mengetahui pengaruh substitusi tepung sukun terhadap Tabel 1.
kandungan gizi, nilai energi, dan organoleptik cookies
tepung beras. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini Proses Pembuatan Cookies
adalah mensubstitusi bahan baku tepung pada Pembuatan cookies pada penelitian ini dilakukan
pembuatan cookies dan memberikan informasi yang dengan mengacu pada metode yang dilakukan oleh
akurat mengenai penggunaan optimal dari tepung Fatkurahman et al., 2012 dengan modifikasi. Langkah
sukun untuk substitusi cookies tepung beras. pertama melakukan penimbangan bahan yaitu tepung
beras 100 gram, tepung sukun (0%, 10%, 20%, 30%,
Materi dan Metode 40% dan 50%), margarin 40 gram, gula bubuk 60 gram,
Materi 1 butir kuning telur, susu skim 5 gram, garam 0,5 gram,
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini perisa coklat ½ sendok teh, air 15 ml dan baking soda 3
adalah tepung beras, tepung sukun, margarin, gula gram. Tepung beras disangrai selama 2-3 menit
bubuk, kuning telur, perisa coklat, sampel cookies, kemudian tambahkan margarin, gula bubuk, susu skim,
katalisator (selenium reagent mixture), aquades, asam dan garam. Dicampur dengan mixer selama 3-7 menit.
borat, HCl, H2SO4, NaOH, metilen red, dan metilen Ditambahkan air, perisa coklat, dan kuning telur
blue, pelarut, air panas, H2SO4, dan NaOH. Peralatan kemudian dicampurkan kembali dengan mixer selama
yang digunakan selama penelitian adalah oven, loyang, 1-3 menit. Ditambahkan tepung sukun, tepung beras,
baskom, mixer, penggilas adonan, cetakan cookies, dan baking soda lalu dicampur menggunakan mixer
timbangan, oven, cawan, timbangan, desikator, labu selama 3-5 menit. Adonan dicetak, diletakkan di dalam
o
destruksi, pemanas (kompor gas), labu destilasi, loyang dan dipanggang pada suhu 150 C selama 15
kondensor, buret, pipet tetes, alat ekstrkasi soxhlet, menit. Cookies yang telah masak diangkat dari oven
labu ekstraksi, kondensor, penangas air, tanur, kemudian didinginkan, dan disimpan dalam toples
erlenmeyer, autoklaf, dan kertas saring. kedap udara, kemudian di analisis.

Metode Analisis Statistik


Penelitian dilakukan pada bulan September – Data yang diperoleh, dianalisis dengan metode
November 2015. Penelitian meliputi proses pembuatan One-Way ANOVA dan Kruskal Wallis menggunakan
cookies, analisis kandungan gizi dan uji organoleptik. SPSS 16.0. Taraf signifikansi yang ditetapkan sebesar
Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian α = 0,05.
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan
dan 3 kali ulangan dengan mensubstitusi bahan baku Hasil Dan Pembahasan
tepung. Perlakuan yang diterapkan yaitu cookies tanpa Tepung Beras dan Tepung Sukun
substitusi tepung sukun (T0), cookies dengan substitusi Hasil analisis pada bahan baku dan bahan
tepung sukun 10% (T1), cookies dengan substitusi substitusi pada cookies berupa tepung beras dan
tepung sukun 20% (T2), cookies dengan substitusi tepung sukun (Tabel 2) menunjukkan kadar air dari
tepung sukun 30% (T3), cookies dengan substitusi tepung beras sebesar 12,83% dan tepung sukun
tepung sukun 40% (T4), dan cookies dengan substitusi sebesar 8,66%. Kadar air dari tepung beras sesuai
tepung sukun 50% (T5). Analisis kandungan gizi dengan SNI 3549-2009 yaitu maksimal 13%. Kadar abu
meliputi kadar air metode oven (Legowo dan yang diperoleh tepung beras adalah sebesar 0,22%
Nurwantoro, 2004), kadar protein metode Mikro dan tepung sukun sebesar 4,24%. Kadar abu
Kjeldhal (Legowo et al, 2005), kadar lemak metode menunjukkan besarnya jumlah mineral yang
ekstraksi soxhlet (Legowo et al, 2005), kadar terkandung dalam bahan. Kadar abu pada tepung
karbohidrat metode by difference (Apriyantono et al., beras sesuai dengan SNI 3549-2009 yaitu maksimal
1989), kadar abu (Apriyantono et al., 1989), kadar serat sebesar 1%. Sesuai dengan pernyataan Andarwulan et
kasar (Apriyantono et al., 1989), dan nilai energi al. (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi
(Almatsier, 2004). Kadar serat kasar dilakukan dengan kadar abu dalam cookies menandakan tingginya
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 109
©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.183

kandungan mineral yang terdapat dalam cookies telur dalam pembuatan cookies. Margarin mengandung
seperti kalsium, kalium, dan besi. Kadar lemak yang sejumlah lipid dan sebagian dari lipid itu terdapat
diperoleh pada tepung beras adalah sebesar 4,99% bentuk terikat sebagai lipoprotein dan bila margarin
dan tepung sukun sebesar 6,26%. Kadar protein yang ditambahkan pada adonan, maka adonan tersebut akan
diperoleh dari tepung beras adalah sebesar 7,78% dan memiliki kadar lemak yang tinggi. Sesuai dengan
tepung sukun sebesar 4,75%. Kadar serat kasar yang pendapat Oktavia (2008), lemak yang ada pada cookies
diperoleh dari tepung beras adalah sebesar 0,75% dan umumnya berasal dari margarin dan telur. Diperkuat
tepung sukun sebesar 6,16%. oleh pendapat Lopulalan et al. (2013) yang menyatakan
bahwa kadar lemak dalam cookies lebih banyak
Kandungan Gizi dan Nilai Energi Cookies disumbangkan oleh margarin dan kuning telur. Lemak
Kadar air cookies (Tabel 3) menunjukkan bahwa berfungsi sebagai shortening dan memberikan
substitusi tepung sukun memberikan pengaruh pada pengaruh pada teksur sehingga cookies yang
hasil kadar air (P<0,05). Kadar air cookies dengan dihasilkan menjadi lebih lembut dan lemak dapat
substitusi tepung sukun terendah pada perlakuan memperbaiki struktur fisik seperti pengembangan,
dengan konsentrasi 10 dan 50% sebesar 6,55% dan kelembutan tekstur, dan aroma.
yang tertinggi adalah pada perlakuan dengan Kadar karbohidrat cookies (Tabel 3)
konsentrasi 30% sebesar 8,33%. Kadar air cookies menunjukkan bahwa substitusi tepung sukun tidak
yang dihasilkan dipengaruhi oleh kadar air dari bahan memberikan pengaruh pada hasil kadar karbohidrat
baku cookies yang berupa tepung beras adalah (P>0,05). Kadar karbohidrat cookies dengan substitusi
sebesar 12,83% dan bahan substitusi cookies berupa tepung sukun terendah adalah pada perlakuan dengan
tepung sukun yaitu sebesar 8,65%. Menurut konsentrasi 30% sebesar 69,11% dan yang tertinggi
Fatkurahman et al. (2012) ada beberapa proses penting adalah pada perlakuan dengan konsentrasi 10%
selama pemanggangan yaitu pengembangan adonan, sebesar 70,50%. Kadar karbohidrat pada cookies
koagulasi protein, gelatinisasi pati, dan penguapan air. dihitung secara by difference dan dipengaruhi oleh
Proses pemanasan menyebabkan terjadinya proses komponen nutrisi lain yaitu kandungan protein, lemak,
gelatinisasi pati yang mengakibatkan granula pati air, dan abu. Sesuai dengan pendapat Fatkurahman et
membengkak karena adanya penyerapan air. al. (2012) yang menyatakan bahwa kadar karbohidrat
Pembengkakan granula pati terbatas hingga sekitar dihitung secara by difference dipengaruhi oleh
30% dari berat tepung dan apabila pembengkakan komponen nutrisi lain yaitu protein, lemak, air, dan abu,
granula pati telah mencapai batas, granula pati tersebut semakin tinggi komponen nutrisi lain maka kadar
akan pecah sehingga terjadi proses penguapan air. karbohidrat semakin rendah dan sebaliknya apabila
Tepung sukun memiliki kadar amilosa sebesar 26,76% komponen nutrisi lain semakin rendah maka kadar
dan kadar amilopektin sebesar 73,24%, sehingga akan karbohidrat semakin tinggi. Karbohidrat merupakan
mempermudah proses gelatinisasi pati (Setiani et al., sumber kalori utama yang berperan dalam menentukan
2013). karakteristik bahan makanan seperti warna, rasa, dan
Kadar protein cookies (Tabel 3) menunjukkan tekstur. Menurut Andarwulan et al. (2011), karbohidrat
bahwa substitusi tepung sukun memberikan pengaruh mengandung gula pereduksi yang berperan dalam
pada hasil kadar protein (P<0,05). Kadar protein reaksi pencoklatan non enzimatis (Maillard) apabila
cookies dengan substitusi tepung sukun terendah pada bereaksi dengan senyawa yang memiliki gugus amino
perlakuan dengan konsentrasi 50% sebesar 4,88% dan seperti protein.
yang tertinggi adalah pada perlakuan dengan Kadar abu cookies (Tabel 3) menunjukkan
konsentrasi 10% sebesar 6,09%. Semakin banyak bahwa substitusi tepung sukun memberikan pengaruh
tepung sukun yang ditambahkan cenderung pada hasil kadar abu (P<0,05). Kadar abu cookies
menyebabkan semakin rendahnya kadar protein dari dengan substitusi tepung sukun terendah adalah pada
cookies. Sesuai dengan pendapat Sukandar et al. perlakuan dengan konsentrasi 0 sebesar 1,77% dan
(2014) yang menyatakan bahwa protein yang yang tertinggi adalah pada perlakuan dengan
terkandung dalam tepung sukun memang rendah yaitu konsentrasi 50% sebesar 2,45%. Semakin tinggi
sebesar 3,64%. Menurut Murni et al. (2014) tepung konsentrasi tepung sukun yang disubstitusikan
sukun memiliki kadar protein yang lebih rendah menghasilkan kadar abu yang semakin tinggi. Besarnya
dibandingkan dengan tepung terigu yaitu 3,60% nilai kadar abu cookies dipengaruhi oleh besarnya
sehingga dengan peningkatan substitusi tepung sukun jumlah mineral yang terkandung dalam bahan. Sesuai
secara tidak langsung akan menurunkan kadar protein dengan pendapat Fatkurahman et al.(2012) yang
cookies. menyatakan bahwa besarnya kadar abu pada suatu
Kadar lemak cookies (Tabel 3) menunjukkan produk pangan bergantung pada besarnya kandungan
bahwa substitusi tepung sukun memberikan pengaruh mineral bahan yang digunakan dan apabila kadar abu
pada hasil kadar lemak (P<0,05). Kadar lemak cookies melebihi dari standar mutu yang ada maka akan
dengan substitusi tepung sukun terendah adalah pada mempengaruhi warna cookies yang dihasilkan. Tepung
perlakuan dengan konsentrasi 0% sebesar 14,51% dan sukun banyak mengandung mineral seperti kalsium dan
yang tertinggi adalah pada perlakuan dengan fosfor. Sesuai dengan pendapat Sukandar et al. (2014)
konsentrasi 40% sebesar 16,25%. Kadar lemak cookies tepung sukun merupakan tepung bebas gluten yang
dipengaruhi oleh adanya penambahan margarin dan
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 110
©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.183

dihasilkan dari buah sukun dan banyak mengandung pada hasil nilai energi (P<0,05). Niai energi cookies
mineral berupa kalsium dan fosfor. dengan substitusi tepung sukun terendah pada
Kadar serat kasar cookies (Tabel 3) perlakuan dengan konsentrasi 30% sebesar 433,05%
menunjukkan bahwa substitusi tepung sukun dan yang tertinggi pada perlakuan dengan konsentrasi
memberikan pengaruh pada hasil kadar serat kasar 40% sebesar 444,25%. Nilai energi dapat diperoleh dari
(P<0,05). Kadar serat kasar cookies dengan substitusi karbohidrat, lemak, dan protein yang terkandung dalam
tepung sukun terendah adalah perlakuan dengan cookies tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan
konsentrasi 0% sebesar 0,85% dan yang tertinggi pada Lopulalan et al. (2013) yang menyatakan bahwa energi
perlakuan dengan konsentrasi 50% sebesar 2,50%. dapat diperoleh dari karbohidrat, protein, dan lemak
Peningkatan kadar serat kasar pada cookies seiring yang terdapat dalam bahan makanan yang disimpan
dengan peningkatan substitusi tepung sukun karena dalam tubuh dan energi bagi manusia digunakan untuk
tepung sukun memiliki kadar serat kasar yang lebih tumbuh dan berkembang. Diperkuat oleh pernyataan
tinggi yaitu sebesar 6,1606%. Semakin tinggi serat Almatsier (2004) yang menyatakan bahwa manusia
yang terkandung maka semakin baik untuk membutuhkan energi untuk menunjang pertumbuhan,
pencernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lopulalan mempertahankan hidup, dan melakukan aktivitas fisik.
et al. (2013) yang menyatakan bahwa cookies yang Cookies biasanya dikonsumsi sebagai camilan atau
mengandung kadar serat kasar yang tinggi baik bagi snack dan kebutuhan energi yang harus dipenuhi saat
tubuh karena serat dapat mengatur terjadinya gerakan camilan adalah 20% dari kebutuhan energi selama satu
usus dan mencegah konstipasi (sulit buang air besar) hari (Almatsier, 2004).
karena serat memberikan muatan pada sisa makanan
yang ada di dalam usus besar. Serat kasar merupakan Uji Organoleptik
senyawa yang tidak dapat dicerna oleh organ Rasa cookies (Tabel 4) menunjukkan rasa yang
pencernaan manusia maupun hewan, serta tidak larut sangat manis pada konsentrasi 0% dan yang tidak
dalam asam (H2SO4) maupun basa (NaOH). Menurut manis pada konsentrasi 10%. Tepung sukun
Apriyantono et al. (1989), serat kasar merupakan residu memberikan sedikit rasa getir atau pahit disebabkan
bahan makanan setelah mengalami perlakuan dengan oleh rasa langu pada tepung sukun tersebut. Menurut
asam dan alkali mendidih dan terdiri dari selulosa Sukandar et al. (2014), senyawa yang menyebabkan
dengan sedikit lignin dan pentosa. timbulnya rasa pahit atau getir adalah kandungan tanin
Nilai energi cookies (Tabel 3) menunjukkan pada buah sukun. Rasa pada cookies juga dipengaruhi
bahwa substitusi tepung sukun memberikan pengaruh oleh penambahan margarin dan telur. Kandungan

Tabel 2. Hasil analisis tepung beras dan tepung sukun


Analisis Tepung Beras Tepung Sukun
Kadar Air 12,83% 8,66%
Kadar Abu 0,22% 4,24%
Kadar Lemak 4,99% 6,26%
Kadar Protein 7,78% 4,75%
Kadar Serat Kasar 0,75% 6,16%

Tabel 3. Kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar abu, kadar serat kasar, dan nilai energi cookies
tepung beras dengan substitusi berbagai konsentrasi tepung sukun
Parameter Konsentrasi tepung sukun
0% 10% 20% 30% 40% 50%
a b ab a b b
Kadar air 7,92 ± 0,75 6,55 ± 0,69 7,44 ± 0,51 8,33 ± 0,33 6,89 ± 0,19 6,55 ± 0,39
ab b ab bc bc c
Kadar protein 5,57 ± 0,31 6,09 ± 0,60 5,78 ± 0,30 5,26 ± 0,24 5,24 ± 0,08 4,88 ± 0,18
a a a ab c bc
Kadar lemak 14,51 ± 0,45 14,89 ± 0,26 14,74 ± 0,36 15,06 ± 0,34 16,25 ± 0,54 15,88 ± 0,69
ns
Kadar karbohidrat 70,26 ± 0,63 70,50 ± 1,13 69,98 ± 0,09 69,11 ± 0,23 69,26 ± 0,70 70,24 ± 0,73
a b b c cd d
Kadar abu 1,77 ± 0,05 1,96 ± 0,04 2,06 ± 0,07 2,23 ± 0,20 2,36 ± 0,05 2,45 ± 0,03
a b c c c d
Kadar serat kasar 0,85 ± 0,02 1,43 ± 0,19 1,99 ± 0,08 2,03 ± 0,04 2,19 ± 0,02 2,50 ± 0,20
ab bc ab a c c
Nilai energi 433,91 ± 5,24 440,40 ± 2,98 435,70 ± 3,69 433,05 ± 3,18 444,25 ± 2,41 443,36 ± 3,45
*
ns: non signifikan, notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata pada α = 0,05

Tabel 4. Organoleptik rasa, rasa coklat, warna, aroma, tekstur, dan kesukaan cookies tepung beras dengan substitusi
berbagai konsentrasi tepung sukun
Parameter Konsetrasi tepung sukun
Organoleptik 0% 10% 20% 30% 40% 50%
ns
Rasa 2,50 ± 0,51 2,10 ± 0,55 2,30 ± 0,73 2,35 ± 0,59 2,30 ± 0,80 2,15 ± 0,81
ns
Rasa coklat 2,20 ± 0,77 1,90 ± 0,72 2,05 ± 0,76 2,10 ± 0,72 2,05 ± 0,69 1,85 ± 0,59
ns
Warna 2,80 ± 0,61 2,80 ± 0,52 3,10 ± 0,55 2,95 ± 0,51 2,75 ± 0,64 2,65 ± 0,67
ac b ab c abc abc
Aroma 2,15 ± 0,74 1,65 ± 0,67 1,75 ± 0,72 2,30 ± 0,66 2,10 ± 0,79 2,05 ± 0,76
a b a a a a
Tekstur 2,05 ± 0,89 2,70 ± 0,57 2,10 ± 0,85 1,95 ± 0,76 2,25 ± 0,79 2,30 ± 0,66
a b b b c c
Kesukaan 2,90 ± 0,72 2,35 ± 0,87 2,30 ± 0,66 2,15 ± 0,81 1,65 ± 0,67 1,50 ± 0,69
*
ns: non signifikan, notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata pada α = 0,05
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 111
©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.183

lemak dan protein dalam adonan dapat membantu Kesukaan cookies (Tabel 4) menunjukkan
meningkatkan rasa produk yang dihasilkan. kesukaan yang sangat suka pada konsentrasi 0% dan
Rasa coklat cookies (Table 4) menunjukkan rasa yang tidak suka pada konsentrasi 50%. Pengujian
coklat yang sangat terasa pada konsentrasi 0% dan kesukaan keseluruhan merupakan penilaian terhadap
yang tidak terasa pada konsentrasi 50%. Adanya rasa semua faktor mutu meliputi warna, rasa, aroma, dan
coklat pada cookies disebabkan oleh adanya tekstur. Semakin besar konsentrasi substitusi tepung
penambahan perisa coklat. Rasa getir pada cookies sukun akan menurunkan kesukaan secara keseluruhan
dengan substitusi tepung sukun dapat ditutupi dengan terhadap cookies tepung beras dengan substitusi
adanya penambahan perisa coklat. Sesuai dengan tepung sukun yang dihasilkan.
pendapat Mileiva (2007) yang menyatakan bahwa
perisa coklat sangat tepat digunakan untuk menutupi Kesimpulan
rasa dan warna menyimpang yang muncul. Berdasarkan hasil penelitian analisis kandungan
Warna cookies (Tabel 4) menunjukkan warna gizi, nilai energi dan uji organoleptik pada cookies
yang coklat keemasan padakonsentrasi 20% dan yang tepung beras dengan subtitusi tepung sukun dapat
sangat coklat pada konsentrasi 50%. Semakin tinggi disimpulkan bahwa cookies dengan kadar air, kadar
konsentrai tepung sukun yang ditambahkan maka protein, dan kadar karbohidrat terbaik pada konsentrasi
semakin coklat warna cookies yang dihasilkan. Sesuai 10%, kadar lemak dan nilai energi terbaik pada
dengan pendapat Murni et al. (2014) yang menyatakan konsentrasi 40%, kadar abu dan kadar serat kasar
bahwa semakin banyak tepung sukun yang terbaik pada konsentrasi 0%. Semakin besar
ditambahkan maka semakin rendah penilaian terhadap konsentrasi substitusi tepung sukun akan menurunkan
warna cookies karena tepung sukun memiliki warna kesukaan secara keseluruhan terhadap cookies tepung
yang agak gelap. Warna yang diihasilkan oleh cookies beras dengan substitusi tepung sukun yang dihasilkan.
juga dipengaruhi oleh bahan yang digunakan dalam
pembuatan cookies dan karena adanya reaksi Maillard Daftar Pustaka
selama proses pemanggangan. Menurut Pato dan Andarwulan, N., F. Kusnandar dan D. Herawati. 2011.
Yusmarini (2004), penggunaan suhu tinggi dengan Analisis Pangan. Dian Rakyat. Jakarta
waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya reaksi Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia
browning non enzimatik (reaksi Maillard) dan Pustaka Utama. Jakarta.
karamelisasi, reaksi Maillard terjadi karena adanya Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, dan S,
reaksi gugus amino protein dengan gula. Budijanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis
Aroma cookies (Tabel 4) menunjukkan aroma Pangan. IPB-Press, Bogor.
yang sangat harum pada konsentrasi 30% dan yang Fatkurahman, R., W. Atmaka dan Basito. 2012.
tidak harum pada konsentrasi 10%. Aroma yang Karakteristik sensoris dan sifat fisikokimia
dipengaruhi oleh aroma khas yang dimiliki oleh tepung cookies dengan substitusi bekatul beras hitam
sukun. Menurut Murni et al. (2014), aroma yang (Oryza sativa L.) dan tepung jagung (Zea mays
terdapat pada suatu bahan pangan berasal dari sifat L.). Jurnal Teknosains Pangan. 1 (1): 49-57.
alami bahan tersebut dan ada yang berasal dari Gayati, I.A.P. 2014. Pemanfaatan Tepung Kacang Koro
berbagai macam campuran bahan penyusunnya. Pedang (Canavalia ensiformis [L.] DC) dan
Aroma yang dihasilkan oleh cookies juga ditentukan Tepung Mocaf (Modified Cassava Flour) Pada
oleh perpaduan bahan-bahan pembuatan cookies. Cookies Ditinjau dari Sifat Fisiko Kimia dan
Menurut Sitohang et al. (2015), bau khas adonan Sensori. Universitas Katolik Soegijapranata.
ditimbulkan dari komponen pada adonan seperti Semarang.
pencampuran margarin dan telur, aroma cookies juga Kartika, B. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan.
dipengaruhi oleh proses pemanggangan. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi UGM,
Tekstur cookies (Tabel 4) menunjukkan tekstur Yogyakarta.
yang sangat renyah pada konsentrasi 10% dan yang Legowo, A. M., dan Nurwantoro. 2004. Analisis
tidak renyah pada konsentrasi 30%. Tekstur pada Pangan. Program Studi Teknologi Hasil Ternak.
cookies ditentukan oleh kadar air, jumlah dan Fakultas Pertanian. Universitas Diponegoro.
kandungan lemak, karbohidrat, dan protein yang Semarang.
menyusunnya serta dipengaruhi oleh semua bahan Legowo, A. M., Nurwantoro, dan Sutaryo. 2005.
baku yang digunakan. Tekstur pada cookies substitusi Analisis Pangan. Badan Penerbit Universitas
tepung sukun disebabkan oleh tepung sukun Diponegoro, Semarang.
mengandung protein dalam jumlah kecil. Menurut Lopulalan, C. G. Ch., M. Mailoa, dan D. R. Sangadji.
Normasari (2010), selain dipengaruhi oleh kandungan 2013. Kajian formulasi penambahan tepung
protein, tekstur cookies juga dipengaruhi oleh ampas tahu terhadap sifat organoleptik dan kimia
kandungan pati. Air dalam adonan menyebabkan pati cookies. Agritekno. 1 (1): 130-138.
mengalami penyerapan air sehingga granula pati akan Mileiva, S. 2007. Evaluasi Mutu Cookies Garut yang
menggelembung dan jika dipanaskan, pati akan Digunakan pada Program Pemberian Makanan
tergelatinisasi kemudian gel pati akan mengalami Tambahan (PMT) Untuk Ibu Hamil. Institut
proses dehidrasi sehingga gel membentuk kerangka Pertanian Bogor. Bogor.
yang kokoh.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 112
©Indonesian Food Technologists http://dx.doi.org/10.17728/jatp.183

Murni, T., N. Herawati dan Rahmayuni. 2014. Evaluasi poliblend pati sukun-kitosan. Valensi. 3 (2): 100-
mutu kukis yang disubstitusi tepung sukun 109.
(Artocarpus communis) berbasis minyak sawit Sitohang, K. A. K., Z. Lubis dan L. M. Lubis. 2015
merah (MSM), tepung temope dan tepung udang Pengaruh perbandingan jumlah tepung terigu
rebon (Acetes erythraeus). JOM. 1(1). dan tepung sukun dengan jenis penstabil
Normasari, R. Y. 2010. Kajian Penggunaan Tepung terhadap mutu cookies sukun. Jurnal Rekayasa
Mocaf (Modified Cassava Flour) Sebagai Pangan dan Pertanian. 3 (3): 308-315.
Substitusi Terigu yang Difortifikasi dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) 3549-2009 tentang
Tepung Kacang Hijau dan Prediksi Umur Simpan Tepung Beras. 2009. Badan Standarisasi
Cookies. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Nasional. Jakarta.
Oktavia, R. D. 2008. Evaluasi Produk Good Time Sukandar, D., A. Muawanah, E.R. Amelia, dan W.
Cookies di PT. Arnott’s Indonesia sebagai Dasar Basalamah. 2014. Karakteristik cookies
Penentuan Nilai Tambah Produk. Skripsi. berbahan dasar tepung sukun (Artocarpus
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan communis) bagi anak penderita autis. Valensi. 4
Fakultas Teknologi Pertanian Insititut Pertanian (1) : 13-19.
Bogor. Bogor. Suyanti, S., Widowati dan Suismono. 2003. Teknologi
Pato, U. Dan Yusmarini. 2004. Gizi dan Pangan. UNRI pengolahan tepung sukun dan pemanfaatannya
Press. Pekanbaru. untuk berbagai produk makanan olahan. Jurnal
Setiani, W., T. Sudiarti dan L. Rahmidar. 2013. Warta Penelitian Pengembangan Pertanian. 25
Preparasi dan karakteristik edible film dari (2): 12-13.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 129
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

Artikel Penelitian
Ekstraksi dan Karakterisasi Klorofil dari Daun Suji (Pleomele Angustifolia)
sebagai Pewarna Pangan Alami
Extraction and Characterization of Chlorophyll from Suji Leaves (Pleomele Angustifolia) as Natural Food Colorant
Nita Aryanti, Aininu Nafiunisa, Fathia Mutiara Willis
Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang
*
Korespondensi dengan penulis (nita.aryanti@che.undip.ac.id)
Artikel ini dikirim pada tanggal 12 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 1 Oktober 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Pewarna pangan alami merupakan salah satu kontribusi untuk mewujudkan keamanan pangan di Indonesia
sebagaimana telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Klorofil adalah pigmen hijau yang dapat diperoleh dengan proses ekstraksi. Salah satu zat pewarna alami yang
paling sering digunakan adalah klorofil dari daun suji. Dalam penelitian ini, klorofil dari daun suji diekstraksi
menggunakan ekstraksi maserasi dengan penambahan zat penstabil NaHCO3. Ekstraksi klorofil umumnya
menggunakan solvent berbasis alkohol, namun dalam penelitian ini digunakan solvent aquadest. Tahapan
penelitian yang dilakukan meliputi ekstraksi, karakterisasi ekstrak, mikroenkapsulasi dan karakterisasi bubuk
klorofil. Ekstrak klorofil dianalisa konsentrasi klorofilnya menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Karakterisasi
bubuk klorofil meliputi kadar air, analisa nilai kelarutan pewarna klorofil, analisa intensitas warna dan uji gugus
fungsional spesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil dengan penambahan zat penstabil
NaHCO3 sebesar 3% merupakan konsentrasi penambahan terbaik dan menghasilkan konsentrasi klorofil sebesar
41,939 mg/L. Sedangkan tanpa penambahan NaHCO3 menghasilkan ekstrak klorofil cair dengan konsentrasi
klorofil sebesar 30,327 mg/L. Bubuk klorofil daun suji yang dihasilkan mempunyai kelarutan 96,15%, kadar air
11,29% dan nilai intensitas warna L*, a* dan b* sebesar 72,454, -12,222 dan 26,494. Analisa gugus fungsional dari
bubuk klorofil mengambarkan adanya puncak-puncak spesifik dari karakteristik stuktur klorofil.

Kata kunci: klorofil, ekstraksi, daun suji, mikroenkapsulasi, pewarna pangan

Abstract
Natural food colorant had a contribution for actualizing food safety in Indonesia as assigned in Regulation of
Republic of Indonesia Number of 18 in Year of 2012. Chlorophyll was a natural green extract produced by
extraction method. Pleomele angustifolia leaves had been frequently applied as traditional food colorant. This
research studied maceration extraction to extract chlorophyll from Pleomele angustifolia leaves by using distilled
water as a solvent and an addition of NaHCO3 as stabilizer. Further, the chlorohyll extract was microencapsulated
using Maltodextrin. Chlorophyll concentration of the extract was predicted by UV-Vis Spectrophotometry.
Characterization of microencapsulated chlorophyll comprised water content, solubility, color intensity and specific
functional group based on its FTIR spectrum. Research showed that concentration of NaHCO3 of 3% resulted on
the best chlorophyll concentration, 41,94 mg/L. In contrast, only 30,33 mg/L of chlorophyll cencentration was
obtained without stabilizer. Encapsulated chlorophyll of Pleomele angustifolia leaves had solubility of 96,15%,
water content of 11,29% and colour intensity of L*, a* and b* as 72,454, -12,222 and 26,494, respectively.
Functional groups of FTIR Spectra confirmed specific peaks of chlorophyll chemical structure characteristic.

Keywords : chlorophyll, extraction, suji leaves, microencapsulation food colorant

Pendahuluan umumnya berupa senyawa triarylmethane, misalnya


Penyediaan dan kebutuhan bahan tambahan Fast Green FCF yang mempunyai batasan Acceptable
pangan tidak terlepas dari usaha untuk memenuhi Daily Intake (ADI) sebesar 0-25 mg/kg berat badan.
keinginan dan harapan konsumen terhadap karakterisik Klorofil dan pewarna turunan klorofil telah
pangan tertentu. Hal tersebut ditetapkan berdasarkan terdaftar dalam Codex Alimentarius Commision di Uni
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Eropa sebagai pewarna alami dengan kode E140
keamanan, mutu dan gizi pangan. Zat pewarna pangan (Kendrick, 2012). Sedangkan sesuai dengan Peraturan
merupakan salah satu contoh bahan tambahan pangan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
(BTP) yang banyak digunakan dalam industri pangan. Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang Batas
Sebagai bahan tambahan pangan, penggunaan Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
pewarna sintetis merupakan salah satu hal yang diatur Pewarna, klorofil dan senyawa turunannya termasuk
dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan sebagai BTP alami. Klorofil adalah pigmen berwarna
Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 hijau yang terdapat dalam kloroplas bersama-sama
tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan dengan karoten dan xantofil pada semua makhluk
Tambahan Pangan Pewarna. BTP pewarna hijau hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Pada
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 130
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

semua tanaman hijau, sebagian besar klorofil berada blanching. Proses blanching dilakukan dengan
dalam dua bentuk yaitu klorofil a dan klorofil b. Klorofil a merendam daun suji pada aquadest dengan suhu
o
bersifat kurang polar dan berwarna biru hijau, 100 C selama 1 menit. Proses blanching bertujuan
sedangkan klorofil b bersifat polar dan berwarna kuning untuk menghambat kerja enzim klorofilase. Kemudian
hijau (Młodzińska, 2009). daun suji ditiriskan dan dipotong-potong dengan ukuran
Salah satu tanaman yang banyak digunakan 5-10 mm dan diblender dengan kecepatan medium
sebagai pewarna alami adalah daun suji (Pleomele selama 1 menit. Pada proses ektraksi klorofil, daun suji
angustifolia). Daun suji segar yang memiliki kadar air dan aquadest dengan rasio berat bahan dan solven 1:2
basis basah sebesar 73,25%, mengandung 3773,9 dan berbagai konsentrasi penstabil NaHCO3 (0%, 3%
ppm klorofil yang terdiri atas 2524,6 ppm klorofil a dan dan 4%) diekstraksi dengan metode maserasi pada
o
1250,3 ppm klorofil b (Prangdimurti et al., 2005). Klorofil suhu ruangan (27 C) selama 3 jam. Kemudian ekstrak
yang berwarna hijau sangat mudah mengalami proses yang diperoleh disaring menggunakan kain kasa.
degradasi menjadi berwarna hijau muda sampai hijau
kecoklatan (Comunian et al.,2011). Selain itu sediaan Analisa Klorofil
pewarna yang dihasilkan dari proses ekstraksi Ekstrak klorofil yang didapat dari proses ekstraksi
berbentuk konsentrat cair yang memiliki kelemahan kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm
umur simpan yang pendek (Tama et al., 2014). selama 10 menit, kemudian substansi supernatannya
Ekstraksi klorofil umumnya menggunakan solvent diambil. Ekstrak yang telah disentrifugasi kemudian
berbasis alkohol seperti aseton (El-Mouhty and El- diambil 1 ml untuk diencerkan ke dalam labu takar 10
Nagar, 2014; Kong et al., 2014; Hu et al., 2013; Putri et ml. Konsentrasi klorofil diperoleh dari pengukuran
al., 2012; Wu et al., 2002), metanol, etanol, DMF absorbansi ekstrak pada panjang gelombang 663 μm
(Hosikian et al., 2010) dan etanol (Yuniwati et al., dan 645 μm dengan spektrofotometer UV-Vis.
2012). Penggunaan solven yang mengandung alkohol Perhitungan konsentrasi klorofil dilakukan dengan
dapat menimbulkan keraguan bagi masyarakat muslim menggunakan persamaan (Zhang et al., 2009):
di Indonesia. Porrarud and Pranee (2010) telah
mengekstraksi klorofil dengan aquades dan C mg/L = 20,31. A ./0.1 34 + 8,05. A ..8.1 34
mengenkapsulasi dengan pengering semprot. Klorofil
dari daun suji diekstraksi dengan aquadest yang dimana C merupakan konsentrasi klorofil total (Klorofil a
disertai dengan proses blanching. Ekstrak klorofil yang dan klorofil b) dan 𝐴./0.1 :; dan 𝐴..8.1 :; adalah nilai
diperoleh kemudian dienkapsulasi menjadi pewarna absorbansi ekstrak klorofil pada panjang gelombang
bubuk yang diharapkan bersifat lebih stabil. 645,0 nm dan 663,0 nm.

Materi dan Metode Mikroenkapsulasi Klorofil


Materi Ekstrak klorofil dievaporasi dalam Rotary
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian Vacuum Evaporator pada tekanan 0,18 atm dan
o
ini adalah daun suji, NaHCO3 sebagai bahan penstabil, temperatur 50 C. Proses mikroenksulasi dilakukan
aquadest, maltodekstrin digunakan sebagai bahan dengan penambahan maltodekstrin 40% (w/w)
o
pengisi serta bahan-bahan kimia lain yang digunakan Kemudian ekstrak dibekukan pada suhu -35 C selama
dalam prosedur analisa. Sebagai bahan pembanding 24 jam (King et al., 2001). Selanjutnya, dilakukan
warna, digunakan bubuk teh hijau “Kabita” dan pewarna pengeringan menggunakan freeze dryer pada
o
pangan sintesis hijau “AmeriColor”. Peralatan yang temperatur -100 C tekanan vacuum selama ±48 jam
digunakan adalah blender “Vienta Vlb-460”, centrifuge (Pérez-Gregorio et al., 2011). Untuk memperoleh
“EBA 21-Hettich”, spektrofotometer UV-Vis “UV Mini klorofil dalam bentuk bubuk, produk hasil pengeringan
1240 Shimadzu”, rotary vacuum evaporator “IKA RV dihancurkan dengan menggunakan mortar.
10”, freeze drier “Heto Powerdry LL 1500”,
chromameter “Minolta Color Reader CR-400/410”, Analisa kadar air dengan metode oven
Fourier Transform Infrared Spectroscopy “Shimadzu”. Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama
15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10
Metode menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 3 gram sampel
Penelitian dilaksanakan selama periode Januari– dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam
Mei 2016. Tahap penelitian yang dilakukan meliputi oven bersuhu 105°C selama 6 jam. Cawan dikeluarkan
ekstraksi klorofil, analisa konsentrasi klorofil dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan
(Spektrofotometer), mikroenkapsulasi klorofil dan ditimbang. Cawan dimasukkan kembali dalam oven
karakterisasi bubuk klorofil. Karakterisasi bubuk klorofil sampai diperoleh bobot yang konstan (AOAC, 1995).
meliputi kadar air (metode oven), kelarutan (Metode Perhitungan kadar air dan total padatan dapat dilihat
Kainuma), intensitas warna (Chromameter) dan gugus pada persamaan:
fungsional spesifik (FTIR).
𝑎 − (𝑏 − 𝑐)
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 %𝑏𝑏 = 𝑥 100%
Ekstraksi Klorofil 𝑎
Daun suji dicuci dengan air mengalir untuk
dimana %bb adalah kadar air per bahan basah (%), a
menghilangkan kotoran, dilanjutkan dengan proses
merupakan berat sampel sebelum dikeringkan (g), b
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 131
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

adalah berat sampel + cawan kosong setelah dalam proses blanching pada sayuran hijau untuk
dikeringkan (g) dan c adalah berat cawan kosong meningkatkan pH dan mempertahankan klorofil setelah
kering (g). proses (Srilakhsmi, 2003; Koca et al., 2006). Reaksi
feofinitasi menjadi feofitin (stuktur pada Figur 2)
Analisa kelarutan dengan metode Kainuma menyebabkan perubahan warna hijau yang drastis.
Satu gram bubuk dilarutkan dalam 20 ml aquadest dan Reaksi ini merupakan penggantian ion Magnesium
dimasukkan ke dalam kuvet. Selanjutnya dilakukan dengan 2 proton membentuk feofitin. Kecepatan reaksi
pemanasan hingga suhu 60°C selama 30 menit dan feofinitasi mempunyai korelasi dengan keasaman dari
dilakukan pengocokan setiap 5 menit. Setelah lingkungannya dan tidak mudah terjadi pada pH lebih
pemanasan, kuvet yang berisi pewarna dan aquadest dari 7 (Galaffu et al., 2015 ). Reaksi feofinitasi pada
dimasukkan ke dalam centrifuge dengan kecepatan klorofil merupakan reaksi orde 1 dan perubahan warna
3000 rpm selama 20 menit, untuk memisahkan akan dipercepat dengan penurunan pH (Gunawan and
supernatant dan pasta yang terbentuk. Selanjutnya Barringer, 2000).
larutan pewarna dioven sampai kering dengan 50

Kadar Klorofil ekstrak (mg/L)


menggunakan oven pada suhu 105°C (Daramola and 45 41,93904

Osanyinlusi, 2006). Kemudian, larutan yang telah 40


34,52254
35 30,32698
kering ditimbang beratnya (dalam g) untuk dihitung 30
kelarutannya dengan persamaan: 25
20
mNOPO3QROSTUO3 VWSX3Y − mNOPO3 VZ[Z3Y 15
%𝑆𝑜𝑙𝑢𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 = ×100%
m\WPOS3O 10
5
0
0% 3% 4%
Analisa Intensitas Warna
Konsentrasi NaHCO3
Analisa intensitas warna dengan Chromameter Figur 1. Pengaruh Penambahan NaHCO3 terhadap Konsentrasi
berdasarkan sistem warna Hunter’s Lab Colorimetric klorofil Ekstrak Daun Suji
System. Sistem notasi warna Hunter dicirikan dengan
tiga nilai yaitu L (Lightness), a* (Redness), dan b*
(Yellowness). Nilai warna lightness, putih = 100, hitam
=0, nilai a*,(+a* = merah, -a* = hijau). Sedangkan nilai
2 1/2
b* (+b* = kuning, -b*= biru) , C= ((a*)2 +( b*) ) dan ho
-1
=(tan (b*/a*). Sebelum digunakan, alat kromameter
perlu dikalibrasi menggunakan kalibrasi plat putih (white
calibration plate). Sampel berupa bubuk sebanyak 25
gram ataupun larutan sebanyak 25 ml dimasukan ke
dalam wadah bening yang diusahakan rata dan tidak Rantai
( ( (
terlalu tebal. Kemudian mata cahaya kromameter phytyl
ditempelkan sedekat mungkin dengan sampel dan Figur 2. Struktur: (a) Klorofil (b) Feofitin a dan (c) Klorofilin
disinari. Pembacaan *L, *a dan *b dilakukan sebanyak (Srilakshmi, 2003)
5 kali untuk setiap sampelnya (Caliskan and Dirim,
2016). Menurut Srilakshmi (2003), NaHCO3 akan
bereaksi dengan klorofil dimana gugus phytyl dan metil
Hasil dan Pembahasan pada klorofil akan digantikan dan terbentuk klorofilin
Penambahan NaHCO3 terhadap Konsentrasi Klorofil yang bersifat larut dalam air. Figur 2. Menunjukkan
Zat warna klorofil memiliki beberapa faktor yang struktur klorofil dan struktur dari klorofilin. Selain itu
mempengaruhi kestabilan seperti pH, pengaruh solvent, NaHCO3 akan terdisosiasi dalam air menghasilkan ion
- -
intensitas cahaya, enzim, oksidator, dan suhu yang HCO3 yang merupakan asam lemah. Ion HCO3 ini
- -
digunakan (Vila et al., 2015). Degradasi kimia yang akan terhidrolisa membentuk ion OH . Adanya ion OH
utama yang terjadi pada klorofil adalah feofinitasi, didalam larutan dapat menggeser keseimbangan kimia
- +
epimerisasi, dan pirolisis, serta dengan hidroksilasi, reaksi bolak-balik H2O menjadi OH dan H . Nilai
oksidasi atau fotooksidasi, jika ada pengaruh sinar tetapan kesetimbangan air (Kw) akan tetap, maka jika
-
(Koca et al., 2006). Dalam penelitian ini digunakan dalam larutan jumlah ion OH meningkat maka jumlah
+
NaHCO3 sebagai bahan penstabil dan merupakan ion H akan semakin menurun karena keseimbangan
bahan yang umum digunakan sebagai bahan tambahan telah bergeser ke arah H2O. Pencegahan reaksi
pada makanan. Figur 1 menunjukan hasil uji feofitinasi dalam ekstrak klorofil dapat dilakukan dengan
+
konsentrasi klorofil pada berbagai penambahan zat pengurangan jumlah konsentrasi H dalam larutan.
penstabil NaHCO3. Larutan ekstrak dari jaringan tumbuhan secara alami
Hasil uji konsentrasi klorofil tersebut bersifat asam walaupun hanya asam lemah sehingga
+
menunjukkan bahwa penambahan NaHCO3 dapat mengandung ion-ion H yang bebas. Keasaman dari
meningkatkan konsentrasi klorofil yang dihasilkan. ekstrak ini akan terus bertambah seiring bertambahnya
Larutan NaHCO3 merupakan garam yang bersifat basa.
Zat yang bersifat alkali seperti NaHCO3 telah digunakan
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 132
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

waktu (Erniani et al., 2012). Keseluruhan proses yang reaksi ini akan menghasilkan feoforbida a, yang
terjadi dapat digambarkan sebagai berikut: terbentuk karena chlorophyllase feofitin a atau
Magnesium dechelatase dari klorofida a. Selanjutnya
+ -
NaHCO3 à Na + HCO3 feofobida a akan mengalami reaksi dioksigenase
- -
HCO3 + H2O à H2CO3 + OH menjadi senyawa fluoresen dan Rusty Pigmen 14 yang
- +
H2O ó OH + H tidak berwarna (Heaton and Marangoni, 1996).
`a [c`d ] -
Kw = , Kw tetap, OH bertambah,
[`f c] Karakterisasi Pewarna Klorofil
kesetimbangan bergeser ke arah H2O Tabel 2 menunjukkan analisa intensitas warna
- +
OH + H à H2O produk klorofil (bubuk dan ekstrak) yang dihasilkan
serta beberapa produk pembanding yang sering
Pada penelitian ini, penambahan NaHCO3 digunakan dalam industri pangan yaitu pewarna cair
sebanyak 3% merupakan titik optimum penambahan, sintesis, bubuk teh hijau dan bubuk pewarna pangan
karena pada semua variabel perbandingan solvent, sintesis.
penambahan sebanyak 3% menghasilkan konsentrasi Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa
klorofil terbesar dibandingkan penambahan 4% dan pewarna klorofil bubuk mempunyai kecenderungan
5%. berwarna hijau yang lebih terang dibandingkan dengan
pewarna bubuk sintesis dan bubuk teh hijau.
Analisa Kestabilan Klorofil Mikroenkapsulasi Zn-klorofil dari daun pandan dengan
Hasil pengujian stabilitas klorofil terhadap waktu bahan pengisi Maltodekstrin menunjukkan nilai L* 66,71
penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 1. ± 4,84, nilai a* sebesar -8,37 ± 1,31 dan nilai b*
Bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan sebesar 15,73 ± 1,34 (Porrarud and Pranee, 2010). Hal
konsentrasi klorofil dalam ekstrak. Hal ini terjadi ini menunjukkan bahwa nilai intensitas warna L* produk
disebabkan karena klorofil merupakan senyawa yang klorofil dari daun suji mempunyai nilai yang hampir
sangat mudah berubah (terdegradasi) menjadi sama dengan mikroenkapsulasi Zn-klorofil dari daun
turunannya setelah adanya pemrosesan. Degradasi pandan. Klorofil merupakan pigmen hijau yang
klorofil sebenarnya berjalan hingga produk menjadi cenderung gelap karenanya hasil pengukuran tingkat
tidak berwarna (Yilmaz and Gökmen, 2016) dan dimulai kecerahan akan berbanding terbalik dengan intensitas
dengan berubahnya warna hijau menjadi warna warna klorofil (Putri et al., 2012). Tingkat lightness (L*)
kekuningan sedikit demi sedikit. Mekanisme reaksi dari powder klorofil menunjukan nilai yang paling tinggi
degradasi klorofil pada tumbuhan terjadi karena adanya dibandingkan dengan larutan ekstrak, ataupun hasil
enzim Magnesium dechelatase dan enzim pengencerannya dalam air. Powder klorofil yang
chlorophyllase, yang akan mengkatalisis hidrolisis merupakan hasil dari proses enkapsulasi dengan
ikatan ester antara residu asam propionat pada cincin maltodekstrin dan proses pengeringan dengan freeze
makrosiklik dengan fitol pada klorofil, sehingga drying menunjukan peningkatan nilai L*. Hal ini dapat
2+
menyebabkan hilangnya ion Mg . Secara umum reaksi terjadi karena klorofil telah terenkapsulasi di dalam
degradasi klorofil berlangsung melalui dua jalur. Jalur maltodekstrin, sementara maltodekstrin sendiri
reaksi yang pertama merupakan perubahan klorofil a berwarna putih dengan nilai intensitas warna L*=98,18
menjadi Klorofilida a dengan adanya enzim ± 0,15; a* = -0,185 ± 0,05 dan b* = 2,91 ± 0,15
chlorophyllase. Sedangkan jalur reaksi kedua terjadi (Caliskan and Dirim, 2016). Proses enkapsulasi dapat
karena adanya proses enzim Magnesium dechelatase melindungi material inti dengan melapisi bagian
yang mengubah klorofil a menjadi feofitin a. Kedua jalur luarnya, sehingga akan mencegah paparan kondisi
Tabel 1. Uji Kestabilan Klorofil dengan dan Tanpa Penggunaan NaHCO3
Konsentrasi Klorofil
Hari ke Tanpa Penstabil 3% 4%
(0% NaHCO3) NaHCO3 NaHCO3
0 30,33 41,94 34,52
7 5,51 15,39 12,11
14 3,23 13,03 7,43

Tabel 2. Analisa Intensitas Warna Berbagai Produk Klorofil dan Pewarna Sintesis
Intensitas warna
Jenis pewarna
L* a* b*
Bubuk klorofil 72,454 -12,222 26,494
Enceran bubuk klorofil (10% w/v) 38,07 -11,41 24,012
Larutan ekstrak 31,002 -6,982 8,416
Pewarna Cair sintetis 24,217 0,170 0,193
Bubuk Teh hijau 61,780 -5,697 24,303
Bubuk pewarna pangan sintetis 53,34 -22,00 6,653
Enceran bubuk pewarna sintetis (10% w/v) 29,17 -8,94 6,65
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 133
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

lingkungan yang kurang menguntungkan (Saikia et al., (Laokuldilok and Kanha, 2015) dan ekstrak antosianin
2015). Nilai L* yang menandakan kecerahan bahan dari saffron, 1,88-3,13% (Jafari et al., 2016). Selain itu,
akan kembali turun dengan dilarutkannya kembali bubuk kimchi dengan freeze drying menghasilkan
klorofil powder dalam air, pelarutan dengan presentase produk dengan kadar air 7,86-8,77%, sementara
10% w/v akan menurunkan nilai L* hingga mendekati dengan hot spray drying menghasilkan produk dengan
nilai L* pada ekstrak klorofil cair. Maltodekstrin yang kadar air 9,95-10,82% (Park et al., 2016).
berperan sebagai encapsulating agent memiliki sifat
larut dalam air, kelarutannya lebih besar dari 75%
(Santiago-Adame et al., 2015). Sehingga ketika powder
klorofil dilarutkan dalam air klorofil akan keluar dari inti
powder dan melarut kedalam air.
Pengujian warna yang kedua adalah
berdasarkan intensitas kehijauan dan kekuningan Nilai
a* mengindikasikan warna hijau hingga merah, notasi
negatif pada hasil analisa a* menunjukan
bahwa,sampel yang diuji memiliki kecenderungan
warna hijau. Klorofil dalam bentuk powder menunjukan
nilai a* yang paling besar dibandingkan dengan bubuk
teh hijau, klorofil dalam bentuk ekstrak ataupun
enceran. Menurut Saikia et al. (2015) proses
enkapsulasi dengan metode freeze drying akan Figur 3. Spektrum FTIR Bubuk Klorofil Daun Suji
memberikan hasil powder yang homogen, halus dan
persebaran klorofil yang baik di seluruh bagian Analisa kelarutan merupakan salah satu
encapsulating agent. parameter yang perlu dilakukan untuk mengetahui
Namun analisa intensitas warna berdasarkan kualitas dari pewarna makanan. Semakin tinggi persen
nilai b* menunjukan hasil yang sebaliknya. Ketiga kelarutannya maka, semakin baik kemampuan
bentuk ekstrak klorofil memiliki nilai b* yang positif pewarnaannya pada makanan. Produk bubuk klorofil
dimana notasi ini dapat diartikan bahwa intensitas dari daun suji mempunyai nilai kelarutan yang
warna bahan cenderung berwarna kuning bukan biru. mendekati pewarna bubuk sintesis. Penambahan
Klorofil dalam bentuk bubuk memiliki nilai b* yang maltodekstrin akan memberikan kelarutan produk
paling tinggi, yang artinya dalam bentuk ini warnanya terhadap air yang semakin tinggi karena adanya
paling kekuningan. Dalam proses pembuatan powder peningkatan kadar air pada lapisan monolayer
klorofil dengan freeze drying terlebih dahulu ekstrak di sehingga kelarutannya juga lebih tinggi (Canuto et al.,
evaporasi dengan menggunakan vacum rotary 2014). Selain itu, penambahan maltodekstrin akan
o
evaporator pada suhu 50 ± 5 C, selama 3 jam. Klorofil menurunkan karakteristik higroskopis dari produk
merupakan senyawa yang sangat sensitif, klorofil akan padatan yang dihasilkan sehingga produk yang
sangat mudah terdegradasi pada paparan suhu tinggi dihasilkan akan lebih stabil (Mosquera et al., 2010).
dan cahaya, sehingga akan mengubah warnanya Mikroenkapsulasi dengan freeze drier akan
menjadi kekuningan (Du et al., 2014). menghasilkan produk yang lebih mudah larut dalam air
karena mempunyai luas permukaan spesifik yang tinggi
Karakteristik pewarna bubuk yang meliputi kadar (struktur porous) dan sangat beragam ukurannya (Fang
air dan kelarutan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 and Bhandari, 2012).
menunjukkan bahwa pewarna bubuk klorofil
mempunyai kadar air yang masih cukup tinggi (> 10%), Analisa Gugus Fungsional Spesifik
sedangkan kadar air pewarna bubuk sintesis Figur 3 menunjukkan karakteristik spektrum FTIR
mempunyai kadar kurang dari 10%. Umumnya, freeze dari bubuk klorofil daun suji. Berdasarkan Figur 3 dapat
drying akan menghasilkan produk dengan kadar air dilihat adanya puncak absorbansi pada beberapa
yang lebih besar dibandingkan dengan produk dengan panjang gelombang tertentu. Puncak absorbansi pada
-1
spray drying (Fang and Bhandari, 2012). 2927,89 cm menunjukkan adanya vibrasi C-H, dimana
Mikroenkapsulasi Zn-Klorofil dari daun pandan dengan vibrasi C-H akan muncul pada daerah puncak pada
-1
spray drying menghasilkan kadar air 8,45-9,43% 2916 atau 2927 cm (Ahmed et al., 2015; Dikio and
-1
(Porrarud and Pranee, 2010). Namun demikian, Isabirye, 2008). Pada puncak sekitar 1350 cm
beberapa produk dengan freeze drying mempunyai menunjukkan vibrasi C-N pada cincin tetrapirole,
kadar air yang cukup rendah seperti bubuk antosianin namun pada hasil ini munculnya puncak pada 1371,34
-1
dari beras ketan hitam mempunyai kadar air 3-8,73% cm sebagaimana penelitian dari Dikio and Isabirye
-1
(2008), yang mucul pada 1370 cm . Sedangkan pada

Tabel 3. Karakteristik Pewarna Bubuk Klorofil


Kelarutan (%) Kadar Air (%)
Pewarna bubuk klorofil 96,15 11,29
Pewarna bubuk sintesis 97 7,33
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 134
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

-1
1242 cm muncul vibrasi C-O. Spesifikasi dari gugus Comunian, Talita, A. Edneli. S. Monterrey-Quintero,
klorofil ditandai dengan adanya cincin vibrasi oksigen Marcelo Thomazini, Julio C. C. Balieiro, Pierpaolo
ketone dimana hidrogen yang terikat dengan air Piccone, Paola Pittia, and Carmen S. Favaro-
berkoordinasi dengan atom pusat Magnesium dari Trindade. 2011. Assessment of Production
klorofil. Kondisi ini akan memunculkan hidrogen terikat Efficiency, Physicochemical Properties and
-1
pada karbonil ester dengan puncak pada 3431,31 cm Storage Stability of Spray-Dried Chlorophyllide, a
(Konwar and Baruah, 2011). Aggregat klorofil-air akan Natural Food Colourant, using Gum Arabic,
-1
menghasilkan puncak pada 1643,30 cm (Konwar and Maltodextrin and Soy Protein Isolate-Based
-1
Baruah, 2011). Selain itu puncak 1643,30 cm juga Carrier Systems, International Journal of Food
dapat sebagai indikasi adanya koordinasi Oksigen Science Technology, 46, 1259-1265.
keton dengan Magnesium (Dikio and Isabirye, 2008). Daramola, B., and S.A. Osanyinlusi. 2006. Investigation
Deformasi gugus alkil C-H anti-symetric dan symetric on Modification of Cassava Starch using Active
-1
muncul pada 1417 cm (Dikio and Isabirye, 2008). Components of Ginger Roots (Zingiber officinale
-1
Sedangkan puncak pada 1155 cm menunjukkan Roscoe), African Journal of Biotechnology, 5(10),
adanya gugus C=N (Konwar and Baruah, 2011). 917-920.
Dikio, E. D., and D.A. Isabirye. 2008. Isolation of
Kesimpulan Chlorophyll a from Spinach Leaves, Bulletin
Ekstraksi klorofil dari daun suji telah dilakukan Chemical Society Ethiopia, 22(2), 301-304.
dengan ekstraksi maserasi dengan solvent aquadest Du, Lina, Xiaotang Yang, Jun Song, Zhuangzhuang
serta penambahan bahan penstabil NaHCO3. Ekstrak Ma, Zhaoqi Zhang, and Xuequn Pang. 2014.
cair klorofil yang dihasilkan mempunyai kadar klorofil Characterization of the Stage Dependency of
sebesar 30,33 mg/L – 41,94 mg/L. Konsentrasi klorofil High Temperature on Green Ripening Reveals A
tertinggi diperoleh pada penggunaan penstabil 3%. Distinct Chlorophyll Degradation Regulation in
Enkapsulasi klorofil dengan bahan pengisi Banana Fruit, Journal of Scientia Horticulturae,
maltodekstrin dan freeze drier menghasilkan klorofil 180, 139-146.
bubuk dengan kelarutan 96,15%, kadar air 11,29% dan El-Mouhty, Nadia, R. A., and Ashraf Yehia El-Naggar.
nilai intensitas warna L*, a* dan b* sebesar 72,454, - 2014. Extraction of Chlorophyll and Carotene
12,222 dan 26,494. Analisa gugus fungsional spesifik from Irradiated Parsley, International Journal of
dari bubuk klorofil yang diperoleh dari daun suji Innovative Research in Science, Engineering and
mengambarkan adanya puncak-puncak spesifik dari Technology, 3(1), 8522-8527.
karakteristik struktur kimia klorofil. Penelitian ini Erniani, Yaya, Agus Supriadi, dan Rinto. 2012.
menunjukkan bahwa klorofil dapat diekstraksi dengan Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Klorofil dan
menggunakan solvent non-alkohol. Namun demikian, Senyawa Fitokimia Daun Kiambang (Salvina
klorofil mudah mengalami degradasi sehingga molesta Mitchel) dari Perairan Rawa, Journal of
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meminimalisir Fishtech, I(01), 1-13.
degradasi klorofil. Fang, Z., and B. Bhandari. 2012. Spray drying, Freeze
Drying and Related Processes for Food
Ucapan Terima Kasih Ingredient and Nutraceutical Encapsulation in
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Encapsulation Technologies and Delivery
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro yang telah Systems for Food Ingredients and Nutraceuticals,
membiayai penelitian ini melalui Program Penelitian editor: N. Garti and D. J. McClements, Woodhead
Dasar Tahun 2016. Publishing, Oxford, 73-109.
Galaffu, N., K. Bortlik, and M. Michel. 2015. An Industry
Daftar Pustaka Perspective on Natural Food Colour Stability in
Ahmed, Jaleel Kareem, Zuhair J. Abdul Amer, and Colour Additives for Foods and Beverages,
st
Maha Jasim Mohammed Al-Bahate. 2015. Effect editor: M. Scotter, 1 ed., Wood Publishing,
of Chlorophyll and Anthocyanin on The Cambridge, 91-130.
Secondary Bonds of Poly Vinyl Chloride (PVC), Gunawan, Maria I., and Sheryl A. Barringer. 2000.
International Journal of Materials Science and Green Colour Degradation of Blanched Broccoli
Applications, 4(2-1), 21-29. (Brassica oleracea) due to Acid and Microbial
Caliskan, Gulsah, and S. Nur Dirim. 2016. The Effect of Growth, Journal of Food Processing and
Different Drying Processes and the Amounts of Preservation, 24, 253–263.
Maltodextrin Addition on the Powder Properties of Heaton, James W., and Alejandro G. Marangoni. 1996.
Sumac Extract Powders, Journal of Powder Chlorophyll Degradation in Processed Foods and
Technology, 287, 308-314. Senescent Plant Tissues, Journal of Trends in
Canuto, Canuto, Holivania Maria Pereira, Marcos Food Science and Technology, VII, 8-15.
Rodrigues Amorim Afonso, and José Maria Hosikian, Aris, Su Lim, Ronald Halim, and Michael K.
Correia da Costa. 2014. Hygroscopic Behavior of Danquah. 2010. Review Article Chlorophyll
Freeze-dried Papaya Pulp Powder with Extraction fromMicroalgae: A Review on the
Maltodextrin, Acta Scientiarum Technology Process Engineering Aspects, International
Maringá, 36(1), 179-185. Journal of Chemical Engineering, 2010, 1-11.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 135
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

Hu, Xueyun, Ayumi Tanaka, and Ryouichi Tanaka. Porrarud, S., and A. Pranee. 2010. Microencapsulation
2013. Simple Extraction Methods that Prevent the of Zn-chlorophyll Pigment from Pandan Leaf by
Artifactual Conversion of Chlorophyll to Spray Drying and its Characteristic, International
Chlorophyllide during Pigment Isolation from Leaf Food Research Journal, 17, 1031-1042.
Samples, Plant Methods, 9, 19-31. Prangdimurti, Endang, Deddy Muchtadi, Made
Jafaria, Seid-Mahdi, Katayoun Mahdavi-Khazaei, and Astawan, dan Fransiska R. Zakaria. 2005.
Abbas Hemmati-Kakhki. 2016. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Suji
Microencapsulation of Saffron Petal Anthocyanins (Pleomele Angustifolia N.E. Brown), Jurnal
with Cress Seedgum Compared with Arabic Gum Teknologi dan Industri Pangan, 17(2), 79-86.
through Freeze Drying, Carbohydrate Polymers Putri, Widya Dwi Rukmi, Elok Zubaidah, dan N.
140, 20–25. Sholahudin. 2012. Ekstraksi Pewarna Alami Daun
Kendrick, A. 2012. Natural food and Beverage Suji, Kajian Pengaruh Blanching dan Jenis Bahan
Colourings in Natural Food Additives, Ingredients Pengekstrak, Jurnal Teknologi Pertanian, 4(1), 13
st
and Flavourings, editor D. Baines and R. Seal, 1 - 24.
ed., Woodhead Publishing, Cambridge, 25-40. Saikia, Sangeeta, Nikhil Kumar Mahnot, and Charu
King, V. An-Erl, Chia-Fang Liu, and Yi-Jing Liu. 2001. Lata Mahanta. 2015. Optimisation of Phenolic
Chlorophyll Stability in Spinach Dehydrated by Extraction from Averrhoa
Freeze-Drying and Controlled Low-Temperature carambola Pomace by Response Surface
Vacuum Dehydration, Food Research Methodology and Its Microencapsulation by
International, 34, 167-175. Spray and Freeze Drying, Journal of Food
Koca, Nuray, Feryal Karadeniz, and Hande Selen Chemistry, 171, 144-152.
Burdurlu. 2006. Effect of pH on Chlorophyll Santiago-Adame, R., L Medina-Torres, J.A. Gallegos-
Degradation and Colour Loss in Blanched Green Infante, F. Calderas, R.F. Gonzalez-Laredo, N.E
Peas, Food Chemistry, 100, 609–615. Rocha-Guzman, L.A. Ochoa-Martinez, and M.J.
Kong, Weibao, Na Liu, Ji Zhang, Qi Yang, Shaofeng Bernad-Bernad. 2015. Spray Drying-
Hua, Hao Song, and Chungu Xia. 2014. Microencapsulation of Cinnamon Infusions
Optimization of Ultrasound-assisted Extraction (Cinnamomum zeylanicum) with Maltodextrin.
Parameters of Chlorophyll from Chlorella vulgaris LWT-Food Science and Technology, 64, 571-
Residue after Lipid Separation using Response 577.
rd
Surface Methodology, Journal of Food Science Srilakhsmi, B., (2003), Food Science, 3 ed., New Age
Technology, 51(9), 2006–2013. International, New Delhi, pp.171-211.
Konwar, Mitali, and G. D. Baruah. 2011. On The Nature Tama, Janur Bisma, Sri Kumalaningsih, dan Arie
of Vibrational Bands in the FTIR Spectra of Febrianto Mulyadi. 2014. Studi Pembuatan Bubuk
Medicinal Plant Leaves, Archives of Applied Pewarna Alami dari Daun Suji (Pleomele
Science Research, 3(1), 214-221. Angustifolia N.E.BR.) Kajian Konsentrasi
Laokuldilok, Thunnop, and Nattapong Kanha. 2015. Maltodekstrin dan MgCO3, Jurnal Industri, 3(1),
Effects of Processing Conditions on Powder 73 - 82.
Properties of Black Glutinous Rice (Oryza sativa Vila, Marta M.D.C., Marco V. Chaud, and Victor M.
L.) Bran Anthocyanins Produced by Spray Drying Balcão. 2015. Microencapsulation of Natural Anti-
and Freeze Drying, LWT - Food Science and Oxidant Pigments in Microencapsulation and
Technology, 64, 405-411. Microspheres for Food Applications, editor L. M.
Młodzińska, Ewa. 2009. Survey of Plant Pigments: C. Sagis, Academic Press, London, 369-390.
Molecular and Environmental Determinants of Yilmaz, C., and V. Gökmen. 2016. Chlorophyll in
Plant Colors, Acta Biologica Cracoviensia Series Encyclopedia of Food and Health Volume 2,
Botanica, 51(1), 7-16. editor B. Caballero, P. M. Finglas and F. Toldrá,
Mosquera, L. H., G. Moraga, and N. Martínez- 1st ed., Academic Press, Oxford, 37-41.
Navarrete. 2010. Effect of Maltodextrin on the Yuniwati, Murni, Ari Wijaya Kusuma, dan Fajar
Stability of Freeze-Dried Borojó (Borojoa patinoi Yunanto. 2012. Optimasi Kondisi Proses
Cuatrec) Powder, Journal of Food Engineering, Ekstraksi Zat Pewarna dalam Daun Suji dengan
97, 72–78. Pelarut Etanol, Prosiding Seminar Nasional
Park, Hyeon-Jin, Yongjae Lee, and Jong-Bang Eun. Aplikasi Sains dan Teknologi (SNAST), ISSN :
2016. Physicochemical Characteristics of Kimchi 1979-911X, A257-A263.
Powder Manufactured by Hot Air Drying and Zhang, Jinheng, Chao Han, and Zhiheng Liu. 2009.
Freeze Drying, Biocatalysis and Agricultural Absorption Spectrum Estimating Rice Chlorophyll
Biotechnology, 5, 193–198. Concentration: Preliminary Investigations, Journal
Pérez-Gregorio, M.R., J. Regueiro, C. González- of Plant Breeding and Crop Science, 1(5), 223-
Barreiro, R. Rial-Otero, and J. Simal-Gándara. 229
2011 Changes in Antioxidant Flavonoids During
Freeze-Drying of Red Onions and Subsequent
Storage, Journal of Food Control, 22(7), 1108–
1113.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 136
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.198

Artikel Penelitian
Kajian Karakteristik Karboksimetil Selulosa (CMC) dari Pelepah Kelapa
Sawit sebagai Upaya Diversifikasi Bahan Tambahan Pangan yang Halal
The Study of Carboxymethyl Cellulose (CMC) Characteristics from Palm Midrib As Halal Food Additives
Diversification
1* 2 2
Mokhamad Khoiron Ferdiansyah , Djagal Wiseso Marseno , Yudi Pranoto
1
Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas PGRI Semarang
2
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
*)
Korespondensi dengan penulis (khoironstp@yahoo.com)
Artikel ini dikirim pada tanggal 12 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 13 Oktober 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Penggunaaan bahan tambahan pangan (BTP) menjadi salah satu kebutuhan dalam industri pengolahan
pangan. Bahan penstabil pangan, seperti gelatin merupakan bagian dari BTP yang rawan bersumber dari bahan
haram. Oleh karena itu diperlukan alternatif bahan penstabil lain yang bisa dimanfaatkan dalam pengolahan
pangan yang bersumber dari bahan halal. Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan bahan tambahan pangan
dengan kode E 466 yang mempunyai peranan sebagai penstabil pangan. CMC dapat disintesis dari pelepah
kelapa sawit yang mengandung selulosa dengan kadar 89%. Sebelum diaplikasikan dalam pengolahan pangan,
perlu dilakukan kajian karakteristik CMC dari sumber pelepah kelapa sawit. Hasil karakterisasi CMC pelepah
kelapa sawit telah memenuhi standar untuk diaplikasikan dalam pangan. Hasil karakterisasi tersebut antara lain,
mempunyai nilai DS 0,75; kadar air 7,65%; dan nilai pH 6,72. Sedangkan hasil karakterisasi yang lain seperti nilai
kemurnian 91,12% dan viskositas 11,65 cps belum memenuhi standar FAO. Data lain menunjukkan CMC pelepah
kelapa sawit mempunyai nilai WHC 6,76 (g/g); OHC 1,69 (g/g) dan tingkat kecerahan 70,46.

Kata kunci: karakteristik, karboksi metil selulosa, pelepah kelapa sawit, bahan tambahan pangan, halal

Abstract
The use of food additives be one of the necessities at the food processing industry. Food stabilizers such as
gelatin was part of the food additives that were prone sourced from illicit material. Therefore it was necessary an
alternative other stabilizers can be used in food processing derived from halal ingredients. Carboxymethyl cellulose
(CMC) was a food additive with the code E466 which has a role as a stabilizing food. CMC can be synthesized
from palm midrib that contain cellulose content of 89%. Before applied in food processing, necessary to study the
characteristics of the CMC from palm midrib. The results of characterization palm midrib CMC has met the
standards to be applied in food. The characterization results include a DS value of 0.75; water content of 7.65%;
and a pH value of 6.72. While the results of the other characterizations such as the value of purity of 91.12% and a
viscosity of 11.65 cps not meet FAO standards. Other data show the CMC palm midrib WHC has a value of 6.76 (g
/ g); OHC 1.69 (g / g) and 70.46 lightness degree.

Keywords: characteristics, carboxymethyl cellulose, palm midrib, food additive, “halal”

Pendahuluan dengan penstabil pangan yang lain, yaitu dapat larut


Penggunaaan bahan tambahan pangan (BTP) air dalam kondisi suhu panas maupun suhu dingin.
menjadi salah satu kebutuhan dalam industri Karboksimetil selulosa disintesa dari bahan nabati,
pengolahan pangan. Bahan penstabil merupakan sehingga status kehalalannya bisa lebih
bagian dari bahan tambahan pangan yang sering dipertanggungjawabkan.
digunakan pada proses pengolahan produk pangan Karboksimetil selulosa dapat disintesa dari
seperti pada ice cream, minuman kemasan, saos pelepah kelapa sawit. Pelepah kelapa sawit mempunyai
sambal, dan masih banyak lagi. Keberadaan penstabil kandungan selulosa sebesar 89%. Selulosa merupakan
diperlukan agar bentuk fisik produk lebih kental dan bahan utama sintesa karboksimetil selulosa. Agar dapat
tingkat homogenitasnya lebih stabil. Bahan penstabil diaplikasikan lebih luas lagi, maka karboksimetil
pangan, seperti gelatin merupakan bagian dari bahan selulosa dari pelepah kelapa sawit harus dikarakterisasi
tambahan pangan yang rawan bersumber dari bahan terlebih dahulu agar dapat diketahui dan dibandingkan
haram. Oleh karena itu diperlukan alternatif bahan dengan kontrol produk karboksimetilselulosa yang
penstabil lain yang bisa dimanfaatkan dalam sudah komersial di pasaran. Kajian karakterisasi
pengolahan pangan yang bersumber dari bahan halal. karboksimetil selulosa juga harus diacu dari FAO
Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan bahan sebagai salah satu standar pangan di tingkat dunia.
tambahan pangan dengan kode E 466 yang Selain karakterisasi yang dilakukan dengan parameter
mempunyai peranan sebagai penstabil pangan. yang ada dalam FAO, diperlukan juga karakterisasi
Karboksimetil selulosa memiliki kelebihan dibandingkan dengan paramater tambahan seperti analisis spektra
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 137
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.198

FTIR, WHC, OHC, dan lightness sebagai data Metode


pendukung. Kajian karakteristik karboksimetil selulosa Tahapan penelitian meliputi isolasi selulosa dari
(CMC) dari pelepah kelapa sawit ini bertujuan sebagai pelepah kelapa sawit, sintesis CMC dari selulosa
upaya diversifikasi bahan tambahan pangan yang halal pelepah kelapa sawit, dan analisis CMC. Analisis
dengan aplikasi yang luas dalam industri pengolahan kualitas CMC meliputi derajat substitusi (DS),
pangan. viskositas, pH, kemurnian, kadar air, WHC, OHC,
lightness, dan gugus fungsional (FTIR).
Materi dan Metode
Materi Isolasi Selulosa dari Pelepah Kelapa Sawit
Penelitian ini menggunakan pelepah kelapa Isolasi selulosa dilakukan dengan tahap awal
sawit yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit di penepungan pelepah kelapa sawit. Penepungan
Dusun Ngrendeng, Desa Sumberoto, Kecamatan pelepah kelapa sawit dimulai dengan pemotongan dan
Donomulyo, Kabupaten Malang. Bahan yang pengeringan pelepah. Setelah dikeringkan, potongan
digunakan untuk proses isolasi selulosa adalah NaOH pelepah kelapa sawit kering kemudian dihancurkan
(technical grade), aquades, NaCl, asam asetat, NaOCl dengan menggunakan mesin penggiling dan
(klorin), dan Na-metabisulfit. Bahan yang digunakan selanjutnya dilakukan pengayakan dengan ukuran 60
untuk proses sintesis CMC adalah NaMCA (Merck), mesh. Tepung pelepah sawit dimasak dengan larutan
isopropanol (Brataco Chemical), NaOH, dan aquades NaOH 12%, suhu 100ºC selama 3 jam yang bertujuan
sebagai pelarut. Sedangkan bahan yang digunakan untuk melarutkan komponen non selulosa. Padatan
untuk karakterisasi CMC adalah NaOH, etanol, yang tertinggal kemudian dilakukan pencucian dengan
H2SO4, serta CMC teknis komersial sebagai air bersih dari sisa NaOH, Perendaman dengan
pembanding. aquades yang dicampur dengan NaCl dan Asam
Peralatan yang digunakan untuk proses isolasi asetat. Padatan yang tertinggal saat dilakukan
selulosa pelepah sawit antara lain erlenmeyer 1 L, pencucian kemudian dilakukan bleaching dengan
waterbath yang dilengkapi pengatur suhu, dan NaOCl dan Na metabisulfit, kemudian pencucian
pengering kabinet. Proses sintesis CMC dengan air bersih sampai ampas (selulosa) yang
menggunakan peralatan antara lain erlenmeyer 500 diperoleh tidak berbau hipoklorit. Selulosa yang
ml, waterbath yang dilengkapi dengan pengontrol suhu diperoleh selanjutnya dikeringkan dengan
dan shaker (Kottermann). Untuk karakterisasi CMC menggunakan oven.
menggunakan peralatan gelas (buret, erlenmeyer,
gelas beaker, batang pengaduk, pipet volume, corong Sintesis CMC dari Selulosa Pelepah Kelapa Sawit
dan labu ukur), viskometer Brookfield (Brookfield Tepung selulosa pelepah sawit sebanyak 5
Engineering Laboratories, Inc) yang dilengkapi dengan gram, ditambahkan dengan 100 ml isopropanol dan
spindle (LV 1, kecepatan 60 rpm), Fourier Transform dialkalisasi dengan 20 ml larutan NaOH 10%
Infra Red Spectroscopy (FT-IR) (Shimadzu FTIR- Campuran tersebut kemudian di shaker dalam
Prestige 21) waterbath pada suhu 25ºC selama 1 jam. Setelah
dilakukan alkalisasi kemudian dilakukan proses
Tabel 1. Hasil karakterisasi CMC pelepah kelapa sawit dan CMC komersial
No Karakteristik CMC Pelepah Kelapa Sawit CMC Komersial Standar FAO
1 DS 0,75 0,84 0,2 – 1,5
2 Kadar Air (%) 7,65 10,57 ≤ 12
3 pH 6,72 8.79 6,0 – 8,5
4 Viskositas (cps) 11,65 7.574,67 ≥ 25
5 Kemurnian (%) 91,12 99,63 ≥ 99,5
6 WHC (g/g) 6,76 9,83 -
7 OHC (g/g) 1,69 1,42 -
8 Lightness 70,46 83,81 -

Tabel 2. Hasil spektra FTIR CMC komersial dan CMC pelepah kelapa sawit
-1
Bilangan gelombang (cm )
CMC CMC pelepah kelapa Gugus Ikatan
Komersial sawit
- 3448 - 3417 - OH stretching
- 2924 - 2924 - CH streching CH2 & CH3 group
- 1604 - 1604 - C=O region (konstituen CMC)
- 1419 - 1419 - CH2 scissoring (konstituen CMC)
- 1327 - 1327 - OH bending
- 1111 - 1111 - C-O –C asymmetry bridge stretching
- 1056 - 1064 - CH – O – CH2 streching
- 902 - 902 - 1,4-β glikosidik
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 138
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.198

karboksimetilasi dengan menambahkan NaMCA 4,57 awal pembuatan CMC komersial masih belum diketahui
gram. Proses ini dilakukan di dalam water bath yang secara jelas sumbernya. Menurut Adinugraha (2004),
dilengkapi dengan shaker selama 3 jam pada suhu selama ini pembuatan CMC komersial umumnya
46,59 C. Selanjutnya dilakukan penetralan dengan berasal dari pulp selulosa kayu atau cotton linter saja.
asam asetat. Setelah slurry tersebut netral maka Tingginya nilai pH CMC komersial dapat disebabkan
dilakukan pencucian dengan larutan alkohol 96%. oleh proses netralisasi yang belum sempurna. Ditinjau
Padatan yang diperoleh dari hasil penyaringan dari viskositasnya, CMC pelepah kelapa sawit termasuk
kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pada golongan CMC dengan viskositas rendah
dengan suhu 60ºC. Padatan yang kering kemudian dibandingkan dengan viskositas CMC batang semu
dilakukan penepungan dengan menggunakan blender pisang 4033,33 cps (Adinugraha et al., 2005) nanas
sehinga diperoleh tepung CMC. 81,67 cps (Susana, 2009), dan pod husk cacao 206,10
cps (Hutomo et al., 2012). Akan tetapi, pada penelitian
Karakterisasi CMC CMC pelepah kelapa sawit mempunyai viskositas yang
Analisis kualitas CMC meliputi derajat substitusi lebih tinggi jika dibandingkan dengan CMC enceng
(DS), viskositas, pH, kemurnian, kadar air, WHC, OHC, gondok (Wijayani et al., 2005) yang mempunyai
lightness, dan gugus fungsional. Metode yang viskositas sekitar 7-9 cps. Menurut Imeson (2010),
digunakan untuk analisis antara lain Cellogen merujuk viskositas CMC dipengaruhi oleh panjang rantai atau
pada metode yang dilakukan oleh Wijayani et al. derajat polimerisasi (DP) selulosa. Semakin tinggi nilai
(2005); anasilis derajat substitusi (DS), ASTM standard derajat polimerisasi (DP) selulosa, maka viskositas
D-1439-94 untuk menganalisis tingkat kemurnian, CMC akan meningkat. Nilai viskositas CMC pelepah
viskositas dan kadar air merujuk pada Valencia et al. kelapa sawit yang tidak terlalu tinggi dimungkinkan
(2007) dan Ambriz et al. (2008) untuk analisis WHC dan disebabkan oleh derajat polimerisasi (DP) selulosa
OHC, serta Rossel et al. (2009) untuk analisis tingkat yang rendah. Hutomo (2012) menyebutkan bahwa
kecerahan (lightness). SII 0674-82 menjadi acuan untuk kemurnian CMC yang masih rendah disebabkan teknik
analisis pH. Analisis struktur menggunakan FTIR pemurnian yang masih sederhana, sehingga diperlukan
menggunakan prosedur dari Lii et al. (2002). teknik pemurnian CMC yang lebih baik untuk
mendapatkan kemurnian yang lebih tinggi. WHC (Water
Hasil dan Pembahasan Holding Capacity) CMC memiliki nilai yang sebanding
Berdasarkan acuan dengan menggunakan dengan nilai DS dan berbanding terbalik dengan nilai
standar FAO, hasil karakterisasi CMC pelepah kelapa OHC (Oil Holding Capacity). Hal ini dikarenakan
sawit telah memenuhi standar untuk diaplikasikan semakin tinggi nilai DS, maka polaritas CMC juga
dalam pangan. Hasil karakterisasi tersebut antara lain meningkat sehingga kemampuan CMC dalam mengikat
nilai DS 0,75; kadar air 7,65%; dan nilai pH 6,72. air menjadi lebih baik. Oleh sebab itulah, nilai OHC juga
Sedangkan hasil karakterisasi yang lain seperti nilai menurun. Tingkat kecerahan (lightness) CMC pelepah
kemurnian 91,12% dan viskositas 11,65 cps belum kelapa sawit lebih rendah dibandingkan dengan CMC
memenuhi standar FAO. Data lain menunjukkan CMC komersial. Hal ini dimungkinkan terjadi karena masih
pelepah kelapa sawit mempunyai nilai WHC 6,76 (g/g); ada sisa lignin pada bahan baku selulosa yang bereaksi
OHC 1,69 (g/g) dan lightness 70,46. Adapun detail hasil dengan NaOH pada proses sintesis CMC. Tingkat
karakterisasi CMC pelepah kelapa sawit ditunjukkan kecerahan berpengaruh pada aplikasi CMC, dimana
pada Tabel 1. semakin cerah penampakan CMC maka daya terima
Derajat substitusi (DS) CMC pelepah kelapa konsumen cenderung lebih tinggi.
sawit maupun CMC komersial memiliki nilai yang
memenuhi standar FAO. CMC pelepah kelapa sawit
dan komersial memiliki nilai DS 0,75 dan 0,84. Selisih
nilai DS CMC pelepah kelapa sawit dan komersial tidak
terlalu tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat kelarutan
CMC dalam air yang hampir sama. DS merupakan
salah satu parameter utama keberhasilan proses
sintesis CMC dari bahan baku awal selulosa. Semakin
tinggi nilai DS maka polaritas CMC juga meningkat.
Namun, dalam aplikasinya pada pengolahan pangan,
DS CMC dibatasi dalam range 0,2-1,5. Kadar air CMC
pelepah kelapa sawit maupun komersial memenuhi
standar FAO, yaitu kurang dari 12%. Kadar air
berpengaruh terhadap sifat alir dan daya simpan CMC.
Gambar 1. Spektra FTIR CMC Pelepah Sawit (A) dan CMC
Semakin tinggi kadar air suatu bahan maka umur
Komersial (B)
simpannya menjadi tidak terlalu panjang. Hal ini
disebabkan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh
Gambar 1 menunjukkan hasil analisis spektra
faktor fisik, kimiawi, maupun mikrobiologis. Parameter
FTIR kedua jenis sampel memiliki pola yang sama.
pH dari CMC komersial mempunyai nilai yang tidak
Secara umum ciri khas spektra CMC yaitu pada puncak
memenuhi standar. Hal ini disebabkan bahan baku -1
di bilangan gelombang 1604 cm yang mencirikan
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 139
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.198

gugus karbonil (-C=O) dan bilangan gelombang 1419 Daftar Pustaka


-1
cm yang menunjukkan adanya ikatan –CH2 dari Ambriz, S.L.R., Hernandes, J.J.L., Acevedo, E.A.,
konstituen karboksimetil. Bilangan gelombang 3417 cm- Tovar, J., dan Perez, L.A.B, (2008),
1
menunjukkan –OH stretching dan bilangan gelombang Characterization of a fibre-rich powder prepared
-1
2924 cm merupakan puncak ikatan –CH atau –CH2 by liquefaction of unripe banana flour. Journal
-1
atau –CH3 dari AGU. Bilangan gelombang 1327 cm of Food Chemistry 107, pp. 1515-1521
merupakan puncak ikatan gugus –OH bending Anonim, (1994), Standard Test Methods for Sodium
-1
vibration, sedangkan bilangan gelombang 1064 cm Carboxymethylcellulose. Philadelphia: ASTM
menunjukkan CH – O – CH2 streching. Bilangan Committee on Standards pp. 291-298. (ASTM :
-1
gelombang 902 cm menunjukkan adanya ikatan 1,4-β- D1439-94).
glikosidik. Hutomo, G. S., (2012), Sintesis dan Karakterisasi
Hasil analisis spektra FTIR ditunjukkan pada Turunan Selulosa Dari Pod Husk Kakao
Tabel 2. Dari tabel tersebut terlihat bahwa kedua jenis (Theobroma cacao L.).
sampel memiliki pola yang sama. Secara umum ciri Disertasi. Program Pasca Sarjana UGM.
khas spektra CMC yaitu pada puncak di bilangan Yogyakarta.
-1
gelombang 1604 cm yang mencirikan gugus karbonil Imeson, A., (2010), Food Stabilisers, Thickeners and
-1
(-C=O) dan bilangan gelombang 1419 cm yang Gelling Agents. Willey Blackwell. United Kingdom
menunjukkan adanya ikatan –CH2 dari konstituen Lii, C., Tomasik, P., Zaleska, H., Liauw, H. dan Lai,
1
karboksimetil. Bilangan gelombang 3417 cm- V.M.F., (2002), Carboxymethylcellulose – Gelatin
menunjukkan –OH stretching dan bilangan gelombang Complexes. Carbohydrate Polymers. 50, pp. 19-
-1
2924 cm merupakan puncak ikatan –CH atau –CH2 26
-1
atau –CH3 dari AGU. Bilangan gelombang 1327 cm Rossel, C.M., Santos, E., dan Collar, C., (2009),
merupakan puncak ikatan gugus –OH bending Physico-chemical Properties of Commercial
-1
vibration, sedangkan bilangan gelombang 1064 cm Fibers from Different Sources : A Comparative
menunjukkan CH – O – CH2 streching. Bilangan Approach. Journal of Food Research
-1
gelombang 902 cm menunjukkan adanya ikatan 1,4-β- International, 42, pp. 176-184
glikosidik. Valencia. N.V., Perez, E.G., Acevedo, E.A., Tovar, J.,
Ruales, J., dan Perez, L.A.B., (2007), Fibre
Kesimpulan Concentrate from Mango Fruit : Characterization,
Hasil karakterisasi CMC pelepah kelapa sawit Associated Antioxidant Capacity and Application
telah memenuhi standar untuk diaplikasikan dalam as a Bakery Product Ingredient. Journal of LWT,
pangan. Hasil karakterisasi tersebut antara lain nilai DS 40, pp. 722-729
0,75; kadar air 7,65%; dan nilai pH 6,72. Sedangkan Wijayani, A., Ummah, K., dan Tjahjani, S., (2005),
hasil karakterisasi yang lain seperti nilai kemurnian Karakterisasi Karboksimetil Selulosa (CMC)
91,12% dan viskositas 11,65 cps belum memenuhi dari Enceng Gondok (Eichornia crassipes
standar FAO. Data lain menunjukkan CMC pelepah (Mart) Solms). Indo. J. Chem., 2005, 5 (3), pp.
kelapa sawit mempunyai nilai WHC 6,76 (g/g); OHC 228 – 231
1,69 (g/g) dan lightness 70,46.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 140
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.202

Artikel Penelitian
Natrium Metabisulfit sebagai Anti-Browning Agent pada Pencoklatan
Enzimatik Rebung Ori (Bambusa Arundinacea)
Sodium Metabisulfite as Anti-Browning Agent in Enzymatic Browning of Bamboo Shoot (Bambusa
Arundinacea)
*
Dyah Hesti Wardhani , Ardha Eri Yuliana, dan Atiqoh Sabrina Dewi
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang
*
Korespondensi dengan penulis (dhwardhani@undip.ac.id)
Artikel ini dikirim pada tanggal 19 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 13 Oktober 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Rebung mengandung senyawa fenolik mencapai 0,204 EAG/gr rebung dan aktivitas enzim polifenol
oksidase (PPO) mencapai 0,333 Unit, sehingga rawan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis pada suhu kamar.
Pencoklatan enzimatis disebabkan oleh teraktifkannya enzim PPO dengan bantuan oksigen. Sodium metabisulfit
(SMB) sebagai anti-browning agent membentuk ikatan disulfida dengan enzim PPO sehingga menghambat
pengikatan dengan oksigen. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit,
waktu perendaman, dan pH terhadap derajat putih, total fenol, dan aktivitas enzim PPO pada rebung selama
penyimpanan. Penelitian ini menggunakan rebung ori (Bambusa arundinacea) yang diiris bentuk chip bulat dengan
ketebalan 0,5 cm kemudian direndam larutan SMB (0, 1000, 2000 dan 3000 ppm) selama 15, 30, 45, 60 menit
dengan variabel pH perendaman (3, 4, 6 dan 8). Respon yang diamati berupa derajat putih, total fenol dan aktivitas
enzim PPO pada rebung yang disimpan beberapa hari. Hasil penelitian menunjukan aktivitas enzim PPO semakin
kecil sedangkan total fenol dan derajat putih semakin besar, seiring dengan bertambahnya konsentrasi SMB dan
waktu perendaman. Konsentrasi SMB terbaik untuk mencegah pencoklatan adalah 3000 ppm dengan perendaman
selama 45 menit. Perendaman pada pH 3 mampu menekan aktifitas enzim PPO sehingga bisa didapatkan derajat
putih tertinggi meskipun telah disimpan selama 3 hari.

Kata kunci: derajat putih, pencoklatan, enzim PPO, rebung, natrium metabisulfit, total fenolik.

Abstract
Bamboo shoot contained up to 0.204 EAG / gr fresh bamboo shoots and 0.333 units of the enzyme
polyphenol oxidase (PPO) activity. Therefore, it susceptible for enzymatic browning reaction at room temperature.
The browning activities were due to activated of the PPO enzymes with the aid of oxygen. Sodium metabisulphite
(SMB) as an anti-browning agent was formed a disulfide bond with the PPO enzyme thus inhibited the binding of
the oxygen. The purpose of this research was to study the effect of concentration of SMB, soaking time, and the pH
on degree of whiteness, total phenolics and PPO activity of the bamboo shoots during storage. This study used ori
bamboo shoots (Bambusa arundinacea) which was sliced round chip shape with a thickness of 0.5 cm and then
soaked in a solution of SMB (0, 1000, 2000 and 3000 ppm) for 15, 30, 45, 60 min with varied in pH immersion (3, 4,
6 and 8). Responses were observed in degree of whiteness, total phenolics and PPO activity of bamboo shoots.
Increasing SMB concentration and soaking time affected PPO activity negatively but retained the total phenolics
and degree of whiteness. Soaking the bamboo shoot using 3000 ppm of SMB for 45 min at pH 3 were able to
suppress the PPO activity and maintained the highest degree of whiteness even after stored for 3 days.

Keywords: degree of whiteness, browning, PPO enzyme, bamboo shoot, sodium metabisulphite, total
phenolics.

Pendahuluan rebung menjadi material yang berharga untuk diolah


Rebung merupakan tunas muda tanaman menjadi makanan sehat, material farmasi maupun aditif
bambu dengan salah satu ujungnya meruncing yang (Chongtham et al., 2011, Choudhury et al., 2012).
muncul di permukaan dasar rumpun, memiliki panjang Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan
20-30 cm. Umur pemanenan tergantung spesies, berat, kualitas rebung adalah munculnya pencoklatan di
ukuran yang dipengaruhi lingkungan sekitar. Hampir permukaannya.
semua rebung dapat dimakan. Rebung dikenal rendah Reaksi pencoklatan secara enzimatik merupakan
lemak dan kolesterol, rendah kalori dan kaya nutrisi. reaksi yang terjadi antara enzim polyfenoloksidase
Nutrisi utama rebung adalah protein dan karbohidrat, (PPO) dan peroksidase (POD) dengan polifenol yang
asam amino, mineral, fiber dan garam inorganik. membentuk quinon yang kemudian terpolimerisasi
Mineral utama pada rebung meliputi kalium, kalsium, menghasilkan warna coklat. Pencoklatan secara
mangan, zink, besi dan kromium. Selain itu rebung enzimatik tidak hanya berpengaruh secara
mengandung antioksidant seperti flavones, phenol dan penampakan, tetapi juga rasa dan nutrisi makanan
steroid. Dengan tingginya nutrisi yang dikandung, (Cortez-Vega et al., 2008)
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 141
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.202

Pada kondisi normal, polifenol yang merupakan 200, UV-VIS Spectrophotometer SP 300 Optima, dan
substrat bagi reaksi pencoklatan dan enzim baik PPO kromameter Minolta CR 300,
maupun POD menempati bagian sel yang berbeda.
Polifenol ditemukan di bagian vakuola sel sedangkan Metode Penelitian
PPO dan POD berlokasi di sitoplasma. Reaksi Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu
pencoklatan akan terjadi manakala substrat dan enzim kajian i) konsentrasi SMB dan waktu perendaman, dan
bercampur dan melibatkan oksigen dalam reaksinya. ii) pH perendaman. Pada tahapan pertama, rebung
Pengirisan, pengupasan, tumbukan dan pembusukan dalam bentuk chips direndam dengan SMB (1000 ppm,
merupakan beberapa proses yang memicu dimulainya 2000 ppm dan 3000 ppm) dengan rasio 1:5 (g/ml).
reaksi pencoklatan. Untuk menghindari fenomena ini, Setelah waktu perendaman tertentu (15, 30, 45 dan 60
beberapa metode dilakukan diantaranya dengan menit) rebung ditiriskan dan dicuci untuk kemudian diuji
menonaktifkan enzim atau dengan menambahkan agen derajat putih, total fenolik dan aktifitas enzim PPO
anti pencoklatan yang dapat memghindari terjadinya (Nastiti et al., 2014). Simpan rebung pada suhu ruang
kontak antara enzim dengan substrat (Ioannou and dan setiap waktu tertentu sampel diambil untuk
Ghoul, 2013). dianalisa. Untuk kajian pengaruh pH, rebung direndam
Cara penonaktifan PPO bisa dilakukan dengan kondisi terbaik yang diperoleh dari tahapan
didasarkan pada mekanisme reaksi pencoklatan sebelumnya (3000 rpm, 45 menit) pada pH 3, 4, 6 dan
misalnya, melalui penghilangan oksigen yang 8. Selanjutnya sampel mengalami perlakuan yang
merupakan reaktan dalam reaksi pencoklatan, sama dengan sampel pada tahapan sebelumnya.
denaturasi protein enzim, melindungi interaksi dengan
gugus prostetik tembaga dan interaksi dengan senyawa Analisa
fenolik ataupun quinon (Mesquita and Queiroz, 2010). Derajat Putih. Rebung yang sudah dihaluskan,
Salah satu senyawa yang digunakan dalam dianalisis warnanya berdasarkan sistem warna Hunter
menonaktifkan PPO adalah sulfit. Sulfit merupakan menggunakan Konica Minolta Chromameter CR-300.
inhibitor kuat yang efektif dalam menghambat Derajat putih dinyatakan dengan L*.
pencoklatan dan sudah lama digunakan dalam industri Total fenolik. Uji konsentrasi total fenolik
makanan. Akan tetapi penggunaan yang berlebihan dilakukan mengikuti metode dari Luo et al., (2012) yang
dilarang oleh WHO karena akan berdampak negatif menggunakan asam galat sebagai standar. Lima gram
khususnya bagi penderita asma (Tan et al., 2015). rebung disuspensikan dengan 20 ml etanol 80%.
Dalam pengolahan setelah panen, rebung Setelah 60 detik, suspensi disentrifugasi 4000 rpm
mengalami perlakuan seperti pengupasan dan selama 15 menit. Satu ml supernatant yang didapatkan,
pemotongan yang dapat memicu terjadinya perubahan direaksikan dengan 1 ml reagen Folin-Ciocalteu, 10 ml
degenaratif dalam bentuk pencoklatan. Untuk itu perlu Na2(CO)3 (7%) kemudian ditambah aquades hingga
dilakukan usaha untuk menunda dan mengurangi volume 25 ml dan kemudian divortek. Setelah dibiarkan
reaksi pencoklatan secara enzimatik yang diharapkan selama 1 jam, absorbansi sampel dibaca pada panjang
akan memperpanjang dan menjaga kualitas rebung gelombang 750 nm. Konsentrasi total fenolik
kupasan. dinyatakan sebagai mg ekuivalen asam galat (mg EAG)
Sodium metabisulfit (SMB) sebagai anti-browning per berat rebung segar.
sudah digunakan pada berbagai buah maupun sayuran Aktifitas enzim PPO. Metode uji aktifitas enzim
(Ioannou and Ghoul, 2013), tetapi penelitian PPO mengikuti metode Gardjito et al., 2006. Enzim
penggunaan natrium metabisulfit untuk mencegah diekstraski dari 15 g rebung menggunakan 60 ml
pencoklatan pada rebung masih belum banyak aquades selama 1 menit kemudian disaring dengan
dipelajari. Karenanya tujuan dari penelitian ini adalah cepat. Filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi yang
untuk mempelajari pengaruh perlakuan SMB terhadap direndam dalam es yang mulai mencair. Ekstrak enzim
rebung khususnya waktu perendaman, konsentrasi (1 ml) ditempatkan pada tabung reaksi bersama
SMB, dan pH terhadap derajat putih, total fenol dan dengan 2,6 ml buffer Na asetat-asam asetat 0,01 M pH
aktivitas enzim PPO pada rebung. Penelitian ini 5 dan 3 ml asam galat 0,5 M. Setelah 15 menit, larutan
diharapkan memberikan data kondisi perlakuan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420
menggunakan SMB yang efektif untuk menahan nm. Aktifitas enzim PPO (1 unit) dinyatakan sebagai
pencoklatan pada rebung. kemampuan enzim untuk mereaksikan 1 ppm asam
galat per satuan waktu.
Materi dan Metode
Materi Hasil dan Pembahasan
Rebung ori yang diiris bentuk chip setebal 0,5 Setelah sampel ditreatmen pada kondisi variasi
cm, sodium metabisulfit (SMB) sebagai anti-browning tertentu menggunakan konsentrasi SMB (1000, 2000
agent (1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm), aquades, dan 3000 ppm), waktu perendaman (0, 5, 30, 45 dan 60
etanol, natrium karbonat, reagen Folin-Ciocalteu, asam menit) dan pH (3, 4, 6 dan 8) sampel disimpan pada
galat dan buffer Na asetat-asam asetat 0,01 M pH 5. suhu ruang hingga waktu tertentu untuk diuji warna,
Peralatan yang dipakai dalam penelitian ini vortex, total fenolik dan aktifitas enzim PPOnya. Warna suatu
blender Miyako BL-151 PR/PA, Sentrifuge Hettich EBa bahan makanan dinyatakan dalam L*a* b* yang
merupakan standar untuk pengukuran warna. L*
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 142
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.202

menyatakan lightness atau derajat putih yang ke-0 penyimpanan, rebung tanpa perlakuan mempunyai
dinyatakan dalam rentang 0 (hitam) -100 (putih). aktifitas enzim PPO 0,333 U dan total fenolik 0,2043 mg
Semakin tinggi nilai L* menunjukan sampel semakin EAG/g rebung. Semakin lama waktu penyimpanan
putih (Nems et al., 2015). derajat putih rebung yang tanpa diberi perlakuan
menurun dengan cepat. Hal ini sesuai dengan hasil
Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman yang ditunjukan pada Tabel 2. dimana aktifitas enzim
Tabel 1, 2 dan 3 menunjukan pengaruh PPO rebung yang tanpa perlakuan meningkat dengan
konsentrasi SMB dan waktu perendaman terhadap cepat selama waktu penyimpanan.
derajat putih, total senyawa fenolik dan aktivitas PPO Tabel 1 menunjukan kecepatan pencoklatan
rebung setelah disimpan selama 3 hari. Tabel 1 rebung berbeda-beda dipengaruhi oleh konsentrasi
menunjukan sampel tanpa perlakuan mengalami SMB dan waktu perendaman. Secara umum
penurunan derajat putih dengan cepat pada hari ke 2. konsentrasi dan waktu perendaman dengan SMB
Hal ini disebabkan karena sampel tanpa perlakuan berpengaruh positif dalam menurunkan laju
mengalami pencoklatan. Pengupasan dan pemotongan pencoklatan rebung. Perendaman selama 45-60 menit
rebung menyebabkan rusaknya jaringan sel dimana menggunakan konsentrasi 3000 ppm paling efektif
PPO berada yang menyebabkan enzim dapat bereaksi dalam menurunkan kecepatan pencoklatan rebung.
dengan senyawa fenolik yang juga dilepaskan oleh Penambahan waktu hingga 60 menit tidak berpengaruh
vakuola yang terkoyak (Iannou and Ghoul, 2013). terhadap derajat putih rebung. Hal ini kemungkinan
Pengupasan menyebabkan PPO mengkatalis dua disebabkan pada perendaman selama 45 menit, rebung
reaksi dengan adanya oksigen yaitu hidroksilasi sudah mendekati kondisi jenuhnya sehingga
monofenol dan oksidasi o-diphenol menjadi o-quinon perendaman untuk waktu yang lebih lama relatif tidak
yang diikuti dengan polimerisasi non-enzimatik quinon meningkatkan derajat putihmya. Hasil serupa juga
menghasilkan melanin pigmen dengan warna gelap dilaporkan oleh Prabasini et al. (2013) pada tepung
(Queiroz, 2008). Tabel 2 dan 3 menunjukan pada hari labu kuning. Penetrasi SMB akan efektif pada material

Tabel 1. Pengaruh waktu dan konsentrasi SBM terhadap derajat putih sampel rebung yang disimpan selama waktu tertentu
pada suhu kamar
Konsentrasi Derajat Putih
Waktu
Natrium
perendaman Waktu penyimpanan (hari)
Metabisulfit
(menit) 0 1 2 3
(ppm)
(kontrol) 0 71,59 70,63 59,25 59,25
1000 71,59 70,63 59,25 59,25
15 2000 71,59 70,63 59,25 59,25
3000 71,59 70,63 59,25 59,25
1000 71,59 70,63 69,69 59,25
30 2000 71,59 70,63 69,69 59,25
3000 71,59 70,63 69,69 69,69
1000 71,59 71,59 69,69 59,25
45 2000 71,59 71,59 69,69 69,69
3000 71,59 71,59 70,63 70,63
1000 71,59 71,59 69,69 69,69
60 2000 71,59 71,59 69,69 69,69
3000 71,59 71,59 70,63 70,63

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit dan waktu perendaman terhadap aktifitas enzim PPO pada rebung yang
disimpan selama waktu tertentu pada suhu kamar
Waktu Aktifitas Enzim PPO (Unit)
Konsentrasi Natrium
perendaman Waktu penyimpanan (hari)
Metabisulfit (ppm)
(menit) 0 1 2 3
(kontrol) 0 0,333 0,739 0,856 0,856
1000 0,333 0,527 0,856 0,856
15 2000 0,333 0,527 0,739 0,856
3000 0,333 0,527 0,739 0,856
30 1000 0,333 0,527 0,739 0,856
2000 0,333 0,527 0,527 0,739
3000 0,333 0,527 0,527 0,739
45 1000 0,333 0,527 0,739 0,739
2000 0,333 0,333 0,527 0,739
3000 0,333 0,333 0,527 0,527
60 1000 0,333 0,527 0,739 0,739
2000 0,333 0,527 0,527 0,527
3000 0,333 0,333 0,527 0,527
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 143
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.202

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit dan waktu perendaman terhadap total fenol pada rebung
Waktu perendaman Konsentrasi Natrium Total Fenolik (EAG/gr rebung)
(menit) Metabisulfit (ppm)
Waktu penyimpanan (hari)
0 1 2 3
- 0 0,2043 0,2043 0,1568 0,1568
15 1000 0,2043 0,2043 0,1568 0,1568
2000 0,2043 0,2043 0,1568 0,1568
3000 0,2043 0,2043 0,1568 0,1568
30 1000 0,2043 0,2043 0,1568 0,1568
2000 0,2043 0,2043 0,1568 0,1568
3000 0,2043 0,2043 0.1684 0,1568
45 1000 0,2043 0,2043 0,1684 0,1568
2000 0,2101 0,2043 0,1684 0,1568
3000 0,2101 0,2043 0,1684 0,1568
60 1000 0,2101 0,2101 0,1684 0,1568
2000 0,2101 0,2101 0,1684 0,1684
3000 0,2101 0,2101 0,1684 0,1684

yang lunak. Konsentrasi SBM yang semakin tinggi serta Reaksi ini sendiri melibatkan senyawa fenolik sehingga
waktu perendaman yang semakin lama akan semakin lama penyimpanan berarti senyawa fenolik
meninggalkan residu sulfit yang semakin banyak pada yang ada semakin berkurang. Horwarth et al. (2013)
kelapa muda (Mohpraman and Siriphanich, 2012). mendapatkan hasil yang serupa dimana salah satu
Pada saat terlarut SMB akan membentuk turunan senyawa fenolik yaitu total antosianin menurun
2- -5
campuran dissosiasi SO3 dan HSO3 . Ada 3 setelah strawberi tanpa perlakuan disimpan hingga
mekanisme inhibisi pencoklatan oleh sulfite, yaitu: waktu tertentu.
inhibisi reaksi searah PPO, reduksi o-quinon sehingga Tabel 3 menunjukan perendaman rebung
membalikan arah reaksi enzimatik, dan pembentukan menggunakan SMB menyebabkan konsentrasi total
produk tambahan antara sulfite dan o-quinon, sehingga fenolik yang terdeteksi setelah penyimpanan lebih tinggi
mencegah terjadinya reaksi pencoklatan lebih lanjut dibanding total fenolik rebung tanpa perlakuan.
lagi (Kuijpers et al., 2012). Produk disosiasi tersebut Konsentrasi SMB dan waktu perendaman mampu
juga bisa bereaksi dengan aldehid, keton, dekstrin, dan menurunkan konsentrasi total fenolik yang terlibat
senyawa lain di buah yang dilindunginya (Coskun et al., dalam pencoklatan rebung. Hasil ini menunjukan bahwa
2013). oksidasi senyawa fenolik pada rebung dapat
Tabel 2 menunjukkan perendaman dengan SMB diperlambat dengan perendaman menggunakan SMB.
menurunkan aktifitas PPO dibanding rebung tanpa Hal serupa juga dilaporkan Mishra et al. (2012) pada
perlakuan. Hasil serupa dilaporkan oleh Amiour and pencoklatan terong. Total senyawa fenolik pada buah
Hambaba (2016) pada perendaman buah kurma kurma yang direndam dengan SMB juga dilaporkan
dengan SMB. Tabel 2. juga memperlihatkan waktu meningkat (Amiour and Hambaba, 2016).
penyimpanan yang semakin lama menyebabkan
aktifitas enzim PPO semakin tinggi. Hal ini sejalan Pengaruh pH
dengan kajian Cortez-Vega et al. (2008) dan Holzwarth Pada tahap penelitian selanjutnya, perendaman
et al. (2013). Perendaman rebung dengan larutan SMB dilakukan dengan variasi pH yaitu 3, 4, 6, dan 8 pada
tidak menghilangkan aktivitas enzim PPO. Perendaman konsentrasi SMB 3000 ppm selama 45 menit. Efek
hanya menurunkan aktifitas enzim PPO jika perendaman rebung pada berbagai pH ditunjukan pada
dibandingkan dengan aktifitas enzim pada rebung Gambar 1, 2 dan 3. Gambar 1 menunjukan sampel
tanpa perlakuan di waktu yang sama. Senyawa sulfit dengan pH larutan selama perendaman tidak dikontrol
yang terkandung pada natrium metabisulfit tidak dapat mengalami penurunan derajat putih secara signifikan.
secara mutlak menghentikan reaksi pencoklatan tetapi Sedangkan pada pH larutan perendaman yang
hanya memperlambat reaksi pencoklatan (Rahman, dikontrol, penurunan tercepat terjadi secata berturutan
2007). Hal ini disebabkan penambahan larutan adalah derajat putih pada perlakuan pH 8, 4 dan 3.
metabisulfit sebagai senyawa anti-browning bekerja
dengan cara membentuk ikatan disufida dengan enzim
PPO sehingga menghambat pengikatan dengan
oksigen (Candra et al., 2013). Akibatnya terbentuknya
ikatan dengan disulfide menyebabkan aktifitas enzim
menurun. Perendaman yang paling efektif menurunkan
aktifitas enzim PPO dilakukan selama 45 menit
menggunakan konsentrasi SMB 3000 ppm.
Sementara itu, Tabel 3. menunjukan rebung
tanpa perlakuan mengalami penurunan total fenolik
setelah disimpan. Hal ini kemungkinan karena selama
penyimpanan, reaksi pencoklatan terus berlangsung. Gambar 1. Pengaruh pH terhadap Derajat Putih
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 144
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.202

Derajat putih ditentukan oleh kombinasi


beberapa faktor termasuk diantaranya aktifitas enzim
PPO dan konsentrasi dan jenis senyawa fenolik.
Nemenyi et al. (2015) melaporkan rebung dari taksa
yang sama mempunyai total senyawa fenolik yang
sangat bervariasi. Masing-masing turunan senyawa
fenolik mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
aktifitas PPO. Mengingat sampel pada penelitian ini
diambil dari satu jenis rebung maka dapat diasumsikan
kandungan jenis senyawa fenoliknya sama. Gambar 1
menunjukkan sampel dengan perlakuan basa memberi
Gambar 2. Pengaruh pH terhadap Aktivitas Enzim PPO
warna lebih coklat dibanding sampel dengan perlakuan
asam. Gomes et al. (2014) mendapatkan pH dan jenis
substrat saling mempengaruhi pencoklatan pada buah
pir. Pada substrat jenis asam kafeik, katesin dan
pirogallol, pencoklatan akan meningkat dari pH netral
ke pH basa. Hal ini mengindikasikan rebung yang
digunakan pada penelitian ini kemungkinan
mengandung asam kafeik, katesin dan pirogallol. Park
et al. (2010) melaporkan ditemukannya senyawa fenolik
pada rebung seperti asam p-hydroxybenzok, katesin,
asam kafeik, asam klorogenik, asam siringik, asam p-
coumarik dan asam ferulik.
Lebih lanjut Tan et al. (2015) menerangkan Gambar 3. Pengaruh pH terhadap Total Fenolik
pencegahan pencoklatan oleh sulfit disebabkan oleh
reaksi antara sulfit dengan quinin, dan perendaman Sementara itu, semua sampel menunjukan
dengan larutan bisulfit efektif dalam mempertahankan kecenderungan total fenolik yang sama (Gambar 3).
timbulnya warna coklat pada buah dan sayur. Oksigen Setelah penyimpanan 1 hari, konsentrasi total fenolik
yang membantu reaksi pencoklatan diikat oleh radikal menunjukan penurunan yang signifikan di hari ke 2
·
SO , sehingga reaksi pencoklatan dapat diturunkan diikuti penurunan yang lebih landai hingga hari ke 3.
kecepatannya. Selain itu, Park et al. (2010) melaporkan Sampel yang direndam pada pH 4 dan 6 mengalami
rebung mengandung asam askorbat yang merupakan penurunan yang lebih cepat dibanding sampel yang
senyawa antioksidan mencapai 230 mg/ 100 g basis lain. Turunnya total fenolik ini disebabkan karena
kering. Keberadaan senyawa ini dapat menunda semakin lama waktu penyimpanan maka semakin
pencoklatan karena ikut berperan dalam mengikat banyak senyawa fenolik yang teroksidasi menjadi o-
oksigen. quinon.
Secara umum aktifitas enzim PPO semua
sampel baik kontrol maupun sampel dengan perlakuan Kesimpulan
mengalami penurunan aktifitas enzim yang signifikan Konsentrasi SMB, waktu dan pH perendaman
setelah disimpan selama satu hari. Setelah melewati berpengaruh dalam mempertahankan derajat putih
satu hari, aktifitas enzim PPO menurun tetapi lebih rebung. Konsentrasi SMB yang terbaik untuk mencegah
perlahan (Gambar 2). Kontrol dan sampel yang pencoklatan rebung adalah 3000 ppm dengan
direndam pada pH 8 menunjukan kecepatan penurunan perendaman selama 45 menit. Perendaman pada pH 3
yang lebih besar dibanding sampel yang lain. Hasil ini dapat mempertahankan derajat putih rebung hingga
sejalan dengan hasil yang diperoleh pada Gambar 1. bertahan disimpan selama 3 hari.
Amiour and Hambaba (2016) melaporkan
aktifitas PPO buah kurma tertinggi terjadi pada pH 6,4- Daftar Pustaka
7,2, dengan stabilitas tertinggi pada pH 7. Stabilitas Amiour, S. D., and Hambaba, L. 2016. Effect of pH,
enzim ini masih tinggi (>80%) pada pH 5,6-8. Di luar temperature and some chemicals on
rentang pH ini, aktifitas PPO menurun dengan drastis. polyphenoloxidase and peroxidase activities in
Sementara itu, Mizobutsi et al. (2010) mendapatkan harvested Deglet Nour and Ghars dates,
aktifitas tertinggi PPO kulit buah leci dicapai pada pH Postharvest Biology and Technology, 111, 77–
6,5-7.5. Perbedaan kondisi pH yang memberikan 82.
aktifitas PPO tertinggi antara hasil penelitian ini dengan Chandra, A., Inggrid, H. M., dan Verawati. 2013.
penelitian yang sudah ada kemungkinan disebabkan Pengaruh pH dan jenis pelarut pada perolehan
oleh perbedaan sumber enzim, metode ekstraski, dan karakterisasi pati dari biji alpukat, LPPM
kemurnian enzim, buffer dan substrat yang dipakai. UNPAR, Bandung.
Selain itu, Mizobutsi et al. (2010) menyarankan variasi Chongtham, N., Bisht, M. S., and Haorongbam, S.
aktifitas PPO pada berbagai pH ini menunjukan adanya 2011. Nutritional properties of bamboo shoots:
perbedaan isoenzim yang terlibat dan mengakibatkan potential and prospects for utilization as a health
perbedaan sifat kinetik.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 145
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.202

food, Comprehensive Reviews in Food Science 2010 Effect of pH and temperature on peroxidase
and Food Safety, 10 (3), 153–168. and polyphenoloxidase activities of litchi pericarp,
Choudhury, D., Sahu, J. K., and Sharma, G. D. 2012. Science Agriculture (Piracicaba, Braz.), 67 (2),
Bamboo shoot: microbiology, biochemistry dan 213-217.
technology of fermentation-a review, Indian Mishra, B. B., Gautam, S., and Sharma, A. 2012.
Journal of Traditional Knowledge, 11 (2), 242- Browning of fresh-cut eggplant: impact of cutting
249. and storage, Postharvest Biology and
Cortez-Vega, W. R., Becerra-Prado, A. M., Soares, J. Technology, 67, 44–51.
M., and Fonscca, G. G. 2008. Effect of L-ascorbic Mohpraman, K. and Siriphanich, J. 2012 Safe use of
acid and sodium metabisulfite in the inhibition of sodium metabisulfite in young coconuts,
the enzymatic browning of minimally processed Postharvest Biology and Technology, 65, 76-78.
apple, International Journal of Agricultural Nastiti, M. A., Hendrawan, Y., dan Yulianingsih, R.
Research, 3 (3), 196-201. 2014. Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit
Coskun, A. L., lmaz, M. T., Aksu, O. T., Koç, B. E., (Na2S2O5) dan suhu pengeringan terhadap
Yemis, O., and Özkan, M. 2013. Effects of karakteristik tepung ampas tahu, Jurnal
various sulphuring methods and storage Bioproses Komoditas Tropis, 2 (2), 100–106.
temperatures on the physical and chemical Nemenyi, A, Stefanovitsne-Banyai, E., Pek, Z.,
quality of dried apricots, Food Chemistry, 141, Hedegus, A., Gyutica, C, Barocsi, Z., and Helyes,
3670–3680. L. 2015. Total antioxidant capacity and total
Gardjito, M., Adnan, M., dan Trenggono. 2006. Etilen phenolics contents of phyllostachys taxa shoots,
luka, aktivitas enzim peroksidase, polifenol Noe Boe horti Agrobo, 43 (1), 61-69.
oksidase, dan fenil alanin liase pada irisan Nemś, A.,Peksa, A., Kucharska, A. Z., Sokół-Łętowska,
mesokarp labu kuning, Agritech, 26 (1), 14–23. A., Kita, A., Drożdż, W., and Hamouz, K. 2015.
Gomes, M. H., Vieira, T., Fundo, J. F., and Almeida, D. Anthocyanin and antioxidant activity of snacks
P. F. 2014. Polyphenoloxidase activity and with coloured potato, Food Chemistry, 172, 175–
browning in fresh-cut ‘Rocha’ pear as affected by 182.
pH, phenolic substrates, and antibrowning Park, E-J. and Jhon, D-Y. 2010. The antioxidant,
additives, Postharvest Biology and Technology angiostensin converting enzyme inhibition
91, 32–38. activity, and phenolic compounds of bamboo
Holzwarth, M., Wittig, J., Carle, R., and Kammerer, D. shoot extracts, LWT-Food Science and
R. 2013. Influence of putative polyphenoloxidase Technology, 43, 655-659.
(PPO) inhibitors on strawberry (Fragaria x Prabasini, H., Ishartani, D., dan Rahadian, D. 2013.
ananassa Duch.) PPO, anthocyanin and color Kajian sifat kimia dan fisik tepung labu kuning
stability of stored purées, LWT - Food Science (cucurbita moschata) dengan perlakuan
and Technology, 52, 116-122. blanching dan perendaman dalam natrium
Ioannou, I. and Ghoul, M. 2013 Prevention of enzymatic metabisulfit (Na2S2O5), Jurnal Teknosains
browning in fruit and vegetables, European Pangan, 2 (2), 93-102.
Scientific Journal, 9 (30), 310-341. Queiroz, C., Lopes, M. L. M., Fialho, E., and Mesquita,
Kuijpers, T. F. M., Verloop, A. J. W., Narvaez-Cuenca, V. L. V. 2008. Polyphenol oxidase: characteristics
C-E., van Berkel, W. J, H., Vincken, J-P., and and mechanisms of browning control, Food
Gruppen, H. 2012. Inhibition of enzymatic Reviews International, 24, 361–375.
browning of chlorogenic acid by sulfurcontaining Rahman, F. 2007. Pengaruh konsentrasi natrium
compounds, Journal of Agriculture Food metabisulfit (Na2S2O5) dan suhu pengeringan
Chemistry, 60, 3507-3514. terhadap mutu pati biji alpukat (Persea
Luo, Z., Wu, X., Xie, Y., and Chen, C. 2012 Alleviation americana mill.), Skripsi, USU, Medan.
of chilling injury and browning of postharvest Tan, T. C., Cheng, L. H., Bhat, R., Rusul, G., and Easa,
bamboo shoot by salicylic acid treatment, Food A. M. 2015. Effectiveness of ascorbic acid and
Chemistry, 131 (2), 456–461. sodium metabisulfite as anti-browning agent and
Mesquita, V. L. V. and Queiroz, C. 2013. Enzymatic antioxidant on green coconut water (Cocos
rd
browning, Biochemistry of Foods, 3 Ed, Editor nucifera) subjected to elevated thermal
Eskin, N. A. M. and Shahidi, F., Academic Press, processing, International Food Research Journal,
Amsterdam, 387-418. 22 (2), 631-637.
Mizobutsi, G. P., Finger, F. L., Ribeiro, R. A.,
Puschman, R., Neves, L. L. M., and Mota, W. F.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 114
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

Artikel Penelitian
Pemanfaatan Nanokalsium Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada
Beras Analog dari Berbagai Macam Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)
Utilization of Tilapia (Oreochromis niloticus) Bone Nanocalcium into Artificial Rice from Various Sweet
Potato (Ipomoea batatas L.)
Novia Anggraen*, Yudhomenggolo Sastro Darmanto, Putut Har Riyadi
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Perikanan, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Diponegoro, Semarang
*Korespondensi dengan penulis (noviaanggraeni9@yahoo.com)
Artikel ini dikirim pada tanggal 24 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 1 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Perkembangan konsumsi masyarakat terhadap pangan semakin meningkat. Pengkayaan produk pangan
menjadi poros utama yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah penyediaan pangan yang memiliki
kandungan gizi tinggi, menyehatkan, dan diterima konsumen. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat
yang rendah kalori dan tulang ikan yang melimpah juga memiliki kandungan protein dan kalsium yang tinggi yang
diperlukan oleh tubuh. Beras analog merupakan beras tiruan yang dapat mengatasi permasalahan kebutuhan
beras nasional yang semakin menurun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan
konsentrasi nanokalsium tulang ikan terhadap kandungan kalsium dan fosfor beras analog ubi jalar. Materi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tulang ikan Nila (Oreochromis niloticus), ubi jalar (Ipomoea batatas L.) putih,
kuning, dan ungu, dengan desain percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan yang
dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Parameter pengujian yaitu uji SEM, PSA, proksimat, kalsium, fosfor,
hedonik, dan indeks glikemik Data dianalisis menggunakan ANOVA, dilanjutkan dengan uji BNJ untuk
menementukan beda nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan ubi jalar berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap kadar kalsium, fosfor, dan sensori. Beras analog ubi ungu dengan penambahan nanokalsium 5% memiliki
hasil terbaik dari semua parameter, dengan IG (Indeks Glikemik) 19,19 (kategori rendah) dan BG (Beban Glikemik)
7,21 (kategori rendah).

Kata kunci: beras analog ,kalsium, indeks glikemik, tulang ikan, ubi jalar

Abstract
The development of domestic consumption on food is developing. The food enrichment becomes principal
axis to be done to overcome the problem of food supply which has high nutritional ingredients, healthy, and broadly
accepted by consumers. Sweet potato is one source of carbohydrates which has low calories. Fish bones contain
high protein and calcium for the human consumption. Currently, the national rice supply decreases. Artificial rice is
artificial rice that can overcome the problems of the national rice supply. The aim of this study were to determine
the effect of fish bone nano calcium concentration into the calcium and phosphorus content of sweet potato analog
rice. The material used in this study were tilapia (Oreochromis niloticus) bone, sweet potato (Ipomoea batatas L.)
white, yellow, and purple, with completely randomized design with triplication. All samples were analysed for SEM,
PSA, proximate calcium, phosphorus, sensory test, and index glycemic. Data were analyzed using ANOVA,
followed by HSD test for determining a real difference. The results showed that the various sweet potato
significantly affects (P <0.05) into: calcium content, phosphorus content, and sensory test. The purple sweet potato
analog rice with the addition of 5% nanocalsium was the best results of all the parameters, with Glycemic Index of
19.19 (low category) and Glycemic Load of 7.21 (low category).

Keywords: artificial rice, calcium, fish bone, glycemic index, sweet potato

Pendahuluan fisiologis dan pemeliharaan jaringan tulang.


Produksi perikanan budidaya ikan nila Nanokalsium adalah kalsium yang dihasilkan
mengalami peningkatan tiap tahunnya. Menurut data dengan memanfaatkan teknologi nano sehingga sangat
Kementrian Perikanan dan Kelautan (2014) pada tahun efisien dalam memasuki suhu tubuh karena ukuran
-9
2011, jumlah produksi ikan nila mencapai 22.534 ton yang super kecil mencapai 500X10 nm sehingga
dan pada tahun 2012 mencapai 27.386 ton. Menurut dapat terabsorbsi secara cepat dan sempurna ke dalam
beberapa peneliti sebelumnya, produksi pengolahan tubuh dan menurut Mohanraj dan Chen (2006)
ikan nila umumnya menghasilkan limbah mencapai Nanopartikel adalah partikel yang berukuran 10-1000
15%, dengan kandungan mineral 60-70% dalam bentuk nm. Nanokalsium memiliki biovaibilitas yang lebih tinggi
garam organik terutama kalsium fosfat, kreatin fosfat, dibandingkan kalsium yang berukuran makro, sehingga
dan hidroksiapatit yang berbentuk kristal yang melekat nanokalsium yang terbuang melalui urin lebih rendah.
pada kolagen fibril dan kalsium tulang ikan berbentuk Menurut peneliti terdahulu aplikasi teknologi nano
kompleks dengan fosfor yang merupakan mineral dalam bahan pangan meliputi peningkatan rasa, warna,
berbagai komponen metabolisme pada proses biokimia flavour, tekstur, dan konsistensi produk pangan, serta
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 115
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

meningkatkan penyerapan biovalidinitas nutrisi dan baskom, ekstruder, mixer “Philips”, blender kering
senyawa bioaktif. Nanokalsium dapat ditambahkan “Panasonic MXJ1G”, water bath, oven “Memmert”.
dalam produk makanan, salah satunya beras analog.
Beras analog merupakan sebutan lain dari beras Metode
tiruan (artificial rice). Beras analog disebut juga beras Penelitian berlangsung selama periode
cerdas adalah beras yang dibuat dari bahan non padi September- Januari 2016. Penelitian meliputi proses
dengan kandungan karbohidrat yang menyerupai beras pembuatan nanokalsium dan pembuatan beras analog.
pada umumnya. Pembuatan beras analog dilakukan Analisis yang dilakukan adalah fisikokimia nanokalsium
dengan metode granulasi dan ekstruksi. Beberapa hal meliputi rendemen nanokalsium yang dihasilkan,
yang perlu diperhatikan dalam mutu rasa beras analog analisa proksimat, kalsium, ukuran partikel (PSA),
sebagai pengganti beras adalah tekstur, morfologi dan komponen nanokalsium (SEM-EDS).
pengembangan volume, dan nilai gizi. Sedangkan analisis pada beras analog meliputi kadar
Salah satu bahan non padi yang dapat kalsium, fosfor, hedonik, dan Indeks Glikemik.
dimanfaatkan untuk pembuatan beras analog adalah
ubi jalar. Nilai produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun Proses Pembuatan Nanokalsium
2008 adalah 1.880.977 ton dengan luas panen sebesar Proses pembuatan nanokalsium diawali dengan
174,561Ha dan produktivitasnya mencapai proses ektraksi tepung tulang ikan nila menggunakan
107,75Ku/Ha. Beberapa peneliti menyatakan bahwa ubi metode basa yang dikembangkan oleh Lekahena et al.
jalar merupakan tanaman dengan kandungan nutrisi (2014) dengan modifikasi. Bubuk kasar tulang ikan nila
yang tingggi yang kaya akan vitamin (B1, B2, C dan E), diekstraksi dengan NaOH 1 N dengan suhu 100°C.
mineral (kalsium, potasium, magnesium, dan zinc), Hasil ekstraksi selanjutnya dilakukan pendinginan,
dietary fiber, dan karbohidrat. Oleh karena itu, perlu filltrasi dan netralisasi. Setelah hasil ekstraksi netral,
adanya alternatif untuk mencukupi kebutuhan beras di selanjutnya dilakukan proses pengeringan dengan suhu
Indonesia, serta memiliki kandungan yang baik untuk 50°C hingga menjadi serbuk putih halus yang disebut
kesehatan, yaitu dengan melakukan penelitian nanokalsium.
Pemanfaatan Nanokalsium Tulang Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) pada Beras Analog dari Proses Pembuatan Beras Analog
Berbagai Macam Ubi Jalar (Ipomoea batatas L). Proses pembuatan beras analog diawali dengan
proses penepungan bahan baku dengan hammer mill
Materi dan Metode yang dikembangkan oleh Mishra et al. (2012) dengan
Materi modifikasi. Tepung ubi jalar putih, kuning, dan ungu
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dimasukkan kedalam baskom dengan menambahkan
adalah tepung ubi jalar ungu, ubi jalar kuning, dan ubi nanokalsium dengan konsentrasi yang berbeda yaitu
jalar putih yang diproses di UKM Putri 21 Gunungkidul, 5%, 10%, dan 15%. Proses selanjutnya menambahkan
Jogjakarta. Tulang ikan nila (O. niloticus) merupakan air sebanyak 30% dan GMS 2% untuk mempermudah
bahan baku pembuatan nanokalsium diperoleh dari PT proses pengadonan. Langkah terakhir yaitu proses
Aquafarm, Semarang. GMS (Gliserol monostearat) ekstruksi dengan suhu 70°C untuk menghasilkan bulir
diperoleh dari Laboratorium Fateta IPB, Bogor. beras yang sempurna.
Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah

Tabel 1. Komposisi Kimia Nanokalsium


Parameter Nanokalsium Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Rendemen (%) 5,84
Ukuran Partikel (nm) 729,69
Air (%) 3,52±0,17
Abu (%) 78,82±1,23
Protein (%) 0,21±0,02
Lemak (%) 1,21± 0,10
Kalsium (%) 19,27±0,53
Fosfor (%) 8,65±0,50

Tabel 2. Hasil Penilaian Hedonik Beras Analog Nanokalsium dengan Perbedaan Ubi Jalar
Parameter Beras analog nanokalsium
Putih Kuning Ungu
a b c
Warna 2,07±0,83 2,63±1,03 4,50±0,57
a b c
Aroma 2,13±0,68 2,87±0,82 4,47±0,63
a b c
Kelengketan 1,77±0,63 2,77±0,92 4,77±0,55
a b c
Rasa 1,70±0,75 2,53±0,94 4,57±0,57
Selang
0,81 < µ < 2,03 1,92 ≤ μ ≤ 3,42 4,52 ≤ μ ≤ 4,58
Kepercayaan
Overall 2,33±0,48 3,07±0,64 4,70±0,47
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 116
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

Tabel 3. Pengujian Proksimat Nasi Analog


No Analisa Nasi analog ungu dengan nanokalsium 5%
1. Kadar air (%bb) 52,65±0,13
2. Kadar abu (%bb) 2,15±0,01
3. Kadar protein (%bb) 7,41±0,02
4. Kadar lemak (%bb) 0,20±0,01
5. Kadar karbohidrat by diff 37,59±0,17
6. Cooking time(menit) 4,78±0,015

Tabel 4. Indeks Glikemik dan Beban Glikemik Nasi Analog Ubi Jalar Ungu
Karbohidrat/s
Sampel Indeks Glikemik Kategori IG Beban Glikemik Kategori BG
aji (g)
Nasi analog ubi
19,19±14,05 Rendah 37,59 7,21 Rendah
ungu

Analisis Statistik Ukuran partikel pada penelitian ini masih berukuran


Data yang diperoleh, dianalisis dengan metode lebih besar dibandingkan hasil penelitian Lekahena et
One-Way ANOVA menggunakan SPSS 16.0 Statistic al. (2014) yang menghasilkan nanokalsium dengan
Software. Level signifikan sebesar α = 0,05. ukuran partikel 235,93 nm. Hal tersebut dikarenakan
tidak dilakukan proses penggilingan serbuk
Hasil dan Pembahasan menggunakan milling. Sintesis nano material dapat
Komposisi Kimia Nanokalsium dilakukan secara top down. Top down merupakan
Komposisi kimia nanokalsium tersaji pada Tabel pembuatan struktur nano dengan memperkecil ukuran
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen material dengan proses penggilingan menggunakan
nanokalsium sebesar 5,84%. Rendemen yang milling. Distribusi ukuran partikel menggunakan PSA
dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan hasil (Particle Size Analyzer) dapat dilihat pada Figur 2.
penelitian (Lekahena et al., 2014) yang menyatakan
bahwa rendemen nanokalsium tulang ikan nila dengan
ekstraksi basa sebesar 5,91% dan dengan ekstraksi
asam sebesar 4,41%. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan lama waktu ekstraksi karena semakin lama
waktu ekstraksi, maka rendemen yang dihasilkan
semakin bertambah hingga terjadi kesetimbangan
konsentrasi dalam larutan atau titik jenuh. Penelitian
Brojer et al. (2002) menyebutkan bahwa semakin lama
waktu ekstraksi maka rendemen yang dihasilkan
semakin tinggi, karena kesempatan kontak antara
bahan dan pelarut semakin besar, namun apabila
waktu ekstraksi terlalu lama, rendemen akan menurun (A)
kemungkinan karena larutan sudah mencapai titik
jenuh. Rendemen adalah persentase bahan baku
utama (tulang ikan) yang diproses menjadi produk akhir
(nanokalsium).
Analisis ukuran partikel nanokalsium
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy)
dan PSA (Particle Size Analyzer). Hasil pengukuran
partikel dengan menggunakan SEM pada perbesaran
500x sampai 10.000x menunjukkan bahwa ukuran
partikel serbuk nanokalsium yang dihasilkan berkisar
500-1000 nm. Menurut Mohanraj dan Chen (2006)
nanopartikel didefinisikan sebagai partikel yang (B)
berukuran kisaran 10-1000 nm. Komponen Figur 1. Morfologi dan Komponen Nanokalsium (A) Hasil
nanokalsium dapat diketahui melalui analisa EDS. Scanning Electron Microscopy Nanokalsium Perbesaran
10.000x, dan (B) Elektron Dispersi.
Berdasarkan hasil analisa EDS, nanokalsium terdiri dari
massa karbon sebanyak 20,23%, oksigen 20%, fosfor
Hasil penelitian menunjukkan kadar abu
28%, dan kalsium 32%. Morfologi dan komponen
nanokalsium yang dihasilkan sebesar 78,82 %. Kadar
nanokalsium tersaji pada Figur 1. Berdasarkan hasil
abu yang tinggi disebabkan oleh kandungan mineral
pengujian dengan PSA (Particle Size Analyzer),
yang ada pada nanokalsium. Kadar abu pada penelitian
diperoleh ukuran rerata ukuran partikel sebesar 729,69
Lekahena et al. (2014) sebesar 85,44% jauh lebih tinggi
nm. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini sudah
dibandingkan nanokalsium pada penelitian ini. Hal ini
berukuran nanopartikel karena ukurannya masih
disebabkan lebih tingginya kandungan mineral pada
dibawah 1000 nm. Nanopartikel adalah partikel yang
nanokalsium tersebut. Menurut Ferazumma et al.
berukuran 10-1000 nm (Mohanraj dan Chen, 2006).
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 117
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

(2011) kandungan abu pada bahan pangan dipengaruhi terdapat pada matriks tulang, sehingga meningkatkan
oleh jumlah mineral yang ada didalamnya. Salah satu kadar kalsium dan fosfor pada sampel.
contoh dari mineral adalah kalsium.
Kadar protein nanokalsium dengan metode basa Kadar Kalsium Beras Analog
yang dilakukan pada penelitian ini sebesar 0,21% lebih Hasil dari analisa keragaman didapatkan hasil
rendah dibandingkan kandungan nanokalsium dengan bahwa perbedaan tepung ubi jalar berpengaruh nyata
metode asam pada penelitian Lekahena et al. (2014) terhadap nilai kadar kalsium beras analog. Perbedaan
yaitu 7,03%. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan antar perlakuan diakibatkan karena perbedaan bahan
metode ekstraksi asam dan basa. Menurut Ferazumma baku pada beras analog. Nilai kadar kalsium terendah
(2011) kadar protein tepung tulang ikan dengan terdapat pada beras analog ubi jalar kuning yaitu
hidrolisis basa (NaOH) lebih rendah karena diduga sebesar 0,350% dan tertinggi pada beras analog ubi
NaOH dapat menghidrolisis protein dalam tulang ikan. ungu yaitu 0,880%. Kandungan tertinggi kalsium
Menurut Wardani et al. (2012) menjelaskan bahwa terdapat pada beras analog ubi jalar ungu dikarenakan
untuk meningkatkan kadar kalsium pada tepung tulang ubi jalar ungu memiliki kadar kalsium tertinggi jika
tuna diperlukan pemisahan protein dengan kalsium dibandingkan dengan ubi jalar putih, dan kuning.
melalui proses deproteinase. Hal ini dapat dibuktikan Kandungan kalsium ubi jalar ungu, putih, dan kuning
pada perlakuan autoklaf selama 1 jam, kadar kalsium menurut peneliti sebelumnya adalah 57mg, 30 mg, dan
tepung tulang tuna semakin meningkat seiring 30 mg/100 gram bahan segar. Pengaruh perbedaan
menurunnya kadar protein. jenis ubi jalar terhadap nilai kadar kalsium beras analog
tersaji pada Figur 3.
1.000 0,880±0,017c

Kadar Kalsium (%) 0.800


0.600 0,470±0,030b
0.400 0,50±0,030a

0.200
0.000
Putih Kuning Ungu
Perlakuan Perbedaan Jenis Ubi Jalar
Figur 3. Pengaruh Perbedaan Jenis Ubi Jalar terhadap Nilai
Figur 2. Distribusi Ukuran Partikel menggunakan PSA Kadar Kalsium Beras Analog. Data Merupakan Hasil rata-rata
(Particle Size Analyzer). dari tiga kali ulangan ± standar deviasi. Huruf superscript
yang berbeda menyatakan setiap perlakuan berbeda nyata
Kadar air nanokalsium tulang ikan nila sebesar (P<0,05). Keterangan: putih adalah beras analog ubi
3,52%, dengan metode ekstraksi basa, sedangkan jalar putih, kuning adalah beras analog ubi jalar kuning,
menurut ISA (International Seafood of Alaska) ungu adalah beras analog ubi jalar ungu.
kandungan air pada tepung tulang ikan yaitu 3,6% dan
menurut hasil penelitian Lekahena et al. (2014) Berdasarkan hasil pengujian diperoleh kadar
kandungan kadar air nanokalsium yaitu sebesar 4,34%. kalisum beras analog dari penambahan nanokalsium
Perbedaan kadar air pada nanokalsium dipengaruhi 5%, diperoleh kadar kalsium sebesar 0,880% atau
oleh cara pengeringan yang berbeda. Penelitian ini 880/100g takaran saji nasi perhari. Kadar kalsium ini
menggunakan pemanasan oven dengan suhu 70°C sesuai dengan AKG (Angka Kebutuhan Gizi) Kalsium
saat pembuatan nanokalsium, yang berbeda dengan menurut Kemenkes (2014) yang menyatakan bahwa
penelitian Lekahena et al. (2014) yaitu menggunakan anak-anak pada usia 4-6 tahun memerlukan kalsium
sinar matahari. Menurut Rachmawan (2001) 1000mg/hari. Menurut Winarno (2004) tubuh kita
pengeringan menggunakan oven akan menghasilkan mengandung lebih banyak kalsium dari pada mineral
suhu yang stabil dan lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya, diperkirakan sekitar 2% berat badan orang
sinar matahari. Semakin tinggi suhu dan kecepatan dewasa atau sekitar 1,0-1,4 kg. Jumlah ini, 99% berada
aliran udara pengeringan, semakin cepat pula dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi. Kebutuhan
pengeringan berlangsung, sehingga dapat kalsium dalam tubuh manusia per hari untuk anak-anak
menghasilkan kadar air yang lebih rendah. dan orang dewasa sangat berbeda. Orang dewasa
Kadar kalsium dan fosfor pada penelitian ini memerlukan kalsium per hari 800-1000 mg/hari dan
sebesar 19,27% dan 8,65%, dengan rasio anak-anak 500-700 mg/hari, maka dapat disimpulkan
perbandingan 2,2:1. Berbeda dengan kadar kalsium bahwa penambahan nanokalsium pada komposisi
dan fosfor pada penelitian Lekahena et al. (2014) yaitu beras analog dapat dijadikan salah satu alternatif untuk
pada nanokalsium ekstraksi asam 21,48% dan 11,78%. perbaikan kadar kalsium pada produk, dan peningkatan
Perbedaan kadar kalsium dan fosfor ini disebabkan nilai tambah pada tulang ikan.
oleh perlakuan ekstraksi yang berbeda. Perlakuan Hasil kadar kalsium pada penelitian ini lebih
ekstraksi yang berbeda menggunakan asam dan basa tinggi jika dibandingkan dengan kadar kalsium
mengakibatkan terhidrolisisnya protein dan lemak yang penelitian Permana et al. (2012) tentang fortifikasi
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 118
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

tepung cangkang udang kedalam cone ice cream pada Hedonik Beras Analog
konsentrasi 5% dengan kadar kalsium 1,24% dan lebih Uji hedonik dilakukan untuk membandingkan
tinggi jika dibandingkan dengan penelitian yang tampilan fisik dan rasa pada beras analog yang telah
dilakukan oleh Justicia et al. (2012) tentang fortifikasi dibuat dengan parameter yaitu kenampakan, bau, rasa
tepung tulang nila merah kedalam roti tawar pada dan tekstur pada beras analog. Beras analog yang diuji
konsentrasi 5% menghasilkan kadar kalsium 0,476%. hedonik yaitu beras analog dengan perlakuan ubi jalar
Konsumsi kalsium per hari hendaknya tidak lebih dari putih, kuning dan ungu. Hasil penilaian uji hedonik
2500 mg. Menurut Almatsier (2004) kelebihan kalsium beras analog nanokalsium dengan perbedaan ubi jalar
dapat menimbulkan batu ginjal dan gangguan ginjal. dapat dilihat pada Tabel 2.
Selain itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang
air besar). Kalsium yang terdapat pada beras analog Warna
cukup untuk memenuhi kebutuhan harian kalsium hal Hasil uji kenampakan pada perlakuan beras
ini dikarenakan penyerapan kalsium dipengaruhi umur analog menggunakan Kruskal Wallis diperoleh nilai Chi-
dan kondisi tubuh. Menurut Winarno (2004) pada usia square hitung (55,679) ˃ nilai Chi-square tabel 5%
anak-anak atau masa pertumbuhan, sekitar 50%-70% (5,991), sehingga disimpulkan perbedaan penambahan
kalsium yang dicerna diserap. Tetapi pada usia tepung ubi jalar memberikan pengaruh berbeda nyata
dewasa, hanya sekitar 10-40% yang mampu diserap terhadap kenampakan beras analog. Hasil uji hedonik
tubuh. Penyerapan kalsium terjadi pada usus kecil parameter kenampakan beras analog didapatkan nilai
bagian atas, tepat setelah lambung. Penyerapan tertinggi yaitu 4,50 pada perlakuan ubi jalar ungu. Beras
kalsium dapat dihambat apabila ada zat organik yang analog dengan perlakuan ubi jalar putih mempunyai
dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk nilai terendah yaitu 2,07. Hal ini diduga karena
garam yang tidak larut. penambahan tepung ubi jalar putih, kuning, dan ungu
memberikan pengaruh terhadap beras analog sehingga
0.900
kenampakan beras analog yang dihasilkan memberikan
0,780±0,010c warna yang disuka oleh konsumen. Menurut Saputra et
0.800
al. (2014) konsumen akan lebih menyukai produk
Kadar Fosfor (%)

0.700
0.600 dengan bentuk yang rapi, bagus dan utuh dibandingkan
0.500 0,457±0,042b dengan produk yang kurang rapi dan tidak utuh. Warna
0.400 merupakan atribut yang pertama kali diterima oleh
0.300 0,230±0,044 a
indera manusia dan perbedaan warna meskipun sedikit
0.200 memberikan efek yang berbeda terhadap penerimaan
0.100
setiap individu.
0.000
Putih Kuning Ungu Warna ungu pada beras analog ubi ungu
Perlakuan Perbedaan Jenis Ubi Jalar disebabkan oleh kandungan antosianin. Menurut
Leighton et al. (2010) kandungan antosianin pada ubi
Figur 4. Pengaruh Perbedaan Jenis Ubi Jalar terhadap Nilai
jalar juga berpotensi sebagai bahan pewarna alami
Kadar Fosfor Beras Analog. Data Merupakan Hasil Rata-Rata untuk makanan ataupun minuman. Stabilitas warna
dari Tiga Kali Ulangan ± Standar Deviasi. Huruf Superscript antosianin terhadap pengaruh panas dan sinar UV lebih
yang Berbeda Menyatakan Setiap Perlakuan Berbeda Nyata tinggi pada ubi jalar ungu dibandingkan antosianin yang
(P<0,05). Keterangan: putih adalah beras analog ubi berasal dari strawberry, raspberry, apel dan kedelai
jalar putih, kuning adalah beras analog ubi jalar kuning, hitam. Antosianin adalah metabolit sekunder dari famili
ungu adalah beras analog ubi jalar ungu. flavonoid, dalam jumlah besar ditemukan dalam buah-
buahan dan sayur-sayuran. Antosianin adalah suatu
Kadar Fosfor Beras Analog kelas dari senyawa flavonoid, yang secara luas terbagi
Kadar fosfor tertinggi yaitu pada beras analog ubi dalam polifenol tumbuhan. Berdasarkan beberapa
ungu, dengan kadar fosfor sebesar 0,780%. Menurut peneliti antosianin pada ubi jalar ungu memiliki
Basmal et al. (2000) perbandingan antara kalsium dan perbedaan aktivitas antioksidan yang terletak pda jenis
fosfor pada tulang adalah 2:1. Perbandingan antara zat warna. Ubi jalar kuning ditemukan dominan adalah
kalsium dan fosfor 1:1 sampai 3:1 pada proses jenis pelargonidim-3-rutinoside-5-glucoside, sedangkan
penyerapan kalsium didalam rongga usus merupakan pada ubi jalar ungu adalah antosianin dan peonidin
perbandingan yang terbaik. Perbandingan kalsium dan glikosida yang mempunyai aktivitas dan zat warna lebih
fosfor yang lebih besar dari 3:1 akan menimbulkan kuat.
penyakit desiensi kalsium yaitu rakhitis. Hasil pengujian
fosfor pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan Aroma
hasil penelitian Indrasari (2006) yang menunjukkan Hasil uji aroma pada perlakuan beras analog
bahwa beras komersial IR64 mempunyai kandungan menggunakan Kruskal Wallis diperoleh nilai Chi-square
fosfor sebesar 3500 ppm atau setara dengan 3,5%. hitung (59,440) > nilai Chi-square tabel 5% (5,991),
Namun, menurut Kemenkes (2014) angka kecukupan sehingga disimpulkan perbedaan ubi jalar memberikan
gizi pada fosfor maksimal 1200 mg. Pengaruh pengaruh berbeda nyata terhadap bau beras analog.
perbedaan jenis ubi jalar terhadap nilai kadar fosfor Hasil uji hedonik parameter aroma beras analog
beras analog tersaji pada Figur 4. didapatkan nilai tertinggi yaitu 4,47 pada perlakuan ubi
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 119
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

jalar ungu dan terendah ubi jalar putih yaitu 2,13 yang beras IR 36. Menurut Moretti et al. (2006) kepulenan
memberikan pengaruh berbeda nyata antar perlakuan. dan kelengketan nasi sebagian besar dipengaruhi oleh
Hal ini diduga karena perbedaan tepung ubi jalar kadar amilosa dan amilopektin.
mempengaruhi bau pada beras analog, sehingga bau
yang dihasilkan dari setiap perlakuan tidak memberikan Rasa
bau yang berbeda. Menurut Suwikatmono et al. (2013) Hasil uji rasa pada perlakuan beras analog
perbedaan ubi jalar terhadap bihun berpengaruh menggunakan Kruskal Wallis diperoleh nilai Chi-square
terhadap aroma yang dihasilkan. Berdasarkan hitung (63,456) ˃ nilai Chi-square tabel 5% (5,991),
penelitian Leksrisompong et al. (2012) aroma terbaik sehingga disimpulkan perbedaan tepung ubi jalar
pada uji hedonik aneka ubi jalar terdapat pada ubi jalar memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap rasa
ungu. beras analog. Hasil uji hedonik parameter rasa beras
Penambahan tepung ubi jalar putih, kuning, dan analog didapatkan nilai tertinggi yaitu 8,3 pada
ungu berpengaruh terhadap bau beras analog. Hal ini perlakuan ubi jalar ungu dan ubi jalar putih mempunyai
disebabkan oleh bau dari tepung ubi jalar ungu memiliki nilai terendah yaitu 7,67. Hal ini diduga karena
bau yang lebih wangi. Menurut Winarno (2004) aroma perbedaan ubi jalar memberikan pengaruh terhadap
makanan dalam banyak hal dapat menentukan enak rasa beras analog sehingga rasa yang dihasilkan pada
atau tidaknya makanan, bahkan lebih kompleks dari beras analog menjadi lebih disukai oleh konsumen.
pada rasa dan kepekaan indera pembauan yang Menurut Suryaningrum et al. (2002) cita rasa makanan
biasanya lebih tinggi dari indera pencicipan bahkan dipengaruhi oleh komponen-komponen yang terdapat di
industri pangan menganggap sangat penting terhadap dalam makanan seperti protein, lemak, dan karbohidrat
uji bau karena dapat dengan cepat memeberikan hasil yang menyusunnya. Uji rasa lebih banyak melibatkan
penilaian apakah produk disukai atau tidak. Aroma indera lidah yang dapat diketahui melalui kelarutan
makanan juga salah satu indikator penting dalam bahan makanan dalam kontak dengan syaraf perasa.
menentukan kualitas bahan pangan untuk menentukan
kelezatan bahan makanan tersebut. Umumnya Nilai Indeks dan Beban Glikemik Beras Analog
konsumen akan menyukai bahan pangan jika Berdasarkan hasil pengujian kalsium, fosfor, dan
mempunyai aroma khas yang tidak menyimpang dari hedonik yang telah dilakukan, didapatkan produk
aroma normal. terpilih yaitu perlakuan penambahan nanokalsium 5%
pada ubi ungu. Jumlah relawan yang memenuhi syarat
Kelengketan sebagai subjek pengukuran indeks glikemik sebanyak
Hasil uji kelengketan pada perlakuan beras 20 orang yang terdiri atas 7 orang laki-laki dan 13 orang
analog menggunakan Kruskal Wallis diperoleh nilai Chi- wanita. Tidak dilakukan perbandingan yang seimbang
square hitung (65,355) ˃ nilai Chi-square tabel 5% antara jumlah relawan laki-laki dan perempuan. Hal
(5,991), sehingga disimpulkan perbedaan ubi jalar tersebut dikarenakan relawan laki-laki banyak yang
memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap merasa tidak sanggup memenuhi persyaratan yang
kelengketan beras analog. Hasil uji hedonik parameter diwajibkan antara lain berpuasa dan diambil darahnya.
kelengketan beras analog, didapatkan nilai tertinggi Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) perbedaan
yaitu 4,77 pada perlakuan ubi jalar ungu dan ubi jalar antara jumlah laki-laki dan wanita tidak terlalu
putih mempunyai nilai terendah yaitu 1,77. Hal ini berpengaruh signifikan terhadap hasil pengujian nilai
disebabkan oleh kandungan protein dalam beras indeks glikemik produk, sehingga memungkinkan
analog ubi jalar ungu cukup tinggi. Sifat fungsional adanya ketidaksamaan jumlah subjek laki-laki dan
protein menentukan atribut hedonik produk pangan perempuan. Dari data 20 orang tersebut kemudian
yang dihasilkan. Menurut Pratiwi et al. (2012) diseleksi dan didapatkan 10 data yang ditampilkan
karakteristik fungsional protein dari bahan pangan pada penelitian ini. Penggunaan data 10 orang
berpengaruh terhadap kualitas suatu produk pangan. dikarenakan adanya beberapa data yang bias. Data
bias antara lain dikarenakan nilai kurva melebihi kurva
Karakteristik fungsional apabila mengalami standar maupun hasil perhitungan data sampel yang
proses pengolahan akan menentukan atribut produk terlalu rendah dibandingkan dengan data standar.
pangan seperti tekstur, hedonik dan nutrisi. Sebagian
besar sifat fungsional antara lain akan berpengaruh Karakteristik Sampel Uji Indeks Glikemik
pada kualitas tekstur bahan pangan dan memegang Analisa proksimat nasi analog digunakan untuk
peranan penting dalam analisa sifat fisik bahan pangan perhitungan kesetaraan karbohidrat (berdasarkan
selama proses pengolahan. Proses pemanasan dalam karbohidrat by difference) pada analisis indeks glikemik.
ekstruder merupakan proses yang dapat berpengaruh Pengujian proksimat nasi analog tersaji pada Tabel 3.
pada sifat fungsional protein. Tekstur merupakan salah Hasil ini menunjukkan bahwa kadar karbohidrat by
satu parameter yang penting dalam penerimaan nasi, different dari beras analog ubi ungu dengan perlakuan
yang meliputi kepulenan dan kelengketan. Beras penambahan nanokalsium 5% adalah 37,59±0,17.
analog ubi jalar ungu memiliki kelengketan yang paling Beras analog ubi ungu dengan perlakuan nanokalsium
disukai dengan karakteristik tidak terlalu lunak dan 5% menggunakan perbandingan air dan beras sebesar
pera, dengan kata lain beras analog ubi jalar ungu 1,8:1. Perbandingan beras dan air diperoleh dari
memiliki kepulenan menyerupai beras biasa seperti terlihatnya nasi yang sudah matang tidak memiliki
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 120
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

butiran tepung lagi. Jika perbandingan air kurang dari Venn et.al. (2014) bahwa mengkonsumsi pangan IG
yang ditentukan, maka nasi yang dihasilkan akan rendah mampu memperbaiki sensitivitas insulin,
memiliki tekstur bertepung dan menimbulkan nilai menurunkan laju penyerapan glukosa, serta bermanfaat
hedonik yang rendah saat dimakan karena terasa dalam pengendalian glukosa darah sehingga dapat
belum matang dan keras. menurunkan risiko komplikasi pada penderita diabetes
Jumlah sampel nasi yang akan dikonsumsi oleh melitus tipe 2. Beban glikemik beras analog ubi jalar
relawan, dari beras analog ubi ungu dengan perlakuan ungu dengan penambahan nanokalsium 5% yaitu 7,21
penambahan nanokalsium 5% sebanyak 66,51 g. (termasuk kategori BG rendah). Pada perhitungan BG,
Jumlah tersebut didapat dari kesetaraan 25 g digunakan jumlah sajian untuk beras analog perlakuan
karbohidrat pangan acuan dan karbohidrat sampel penambahan nanokalsium sebanyak 100 g.
masing-masing nasi. Menurut Ranawana et al. (2009) Berdasarkan peneliti sebelumnya bahwa jumlah sajian
penggunaan kesetaraan 25 g karbohidrat bertujuan untuk nasi putih dan nasi merah di Indonesia umumnya
untuk mengurangi bias yang terjadi saat sebesar 150 g. Beban glikemik beras analog
pengonsumsian sampel. Hal ini dikarenakan faktor menunjukkan bahwa konsumsi nasi analog sejumlah
hedonik nasi beras analog yang kurang manis seperti 100 g dengan jumlah karbohidrat per saji sebesar 66,51
nasi pada umumnya saat dikonsumsi, sehingga dapat g lambat untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hal
menyebabkan relawan merasa mual saat ini dipengaruhi pula dengan IG nasi analog
mengkonsumsi nasi analog. nanokalsium 5% yang termasuk pada kategori rendah.
Penelitian ini menggunakan pangan acuan Berdasarkan hasil pengambilan gula darah,
berupa roti tawar. Alasan penggunaan roti tawar adalah indeks glikemik nasi analog ubi jalar ungu dengan
IG yang sama dengan IG glukosa murni yaitu 100. penambahan nanokalsium 5% adalah 19,19±14,05.
Menurut Mssallem et al. (2011) pangan acuan lain yang Penelitian Arif et al. (2013) menunjukkan bahwa beras
dapat digunakan adalah roti tawar. Alasannya roti tawar IR 36 memiliki IG (Indeks Glikemik) sebesar 45. IG
lebih mencerminkan mekanisme fisiologis dan (Indeks Glikemik) beras IR 36 lebih tinggi jika
metabolisme daripada glukosa murni. Hal ini selaras dibandingkan IG beras analog ubi jalar ungu. Hal ini
dengan penelitian yang dilakukan oleh Gutiérrez et al. disebabkan oleh perbedaan kadar lemak dan protein.
(2012) bahwa untuk mendapatkan respon indeks Berdasarkan penelitian Purwani et al. (2007)
glikemik dapat menggunakan roti tawar sebagai pangan menunjukkan bahwa beras IR 36 memiliki kadar protein
kontrol karna memiliki IG yang sama dengan glukosa sebesar 7,39% dan kadar lemak sebesar 0,19%.
murni. Menurut Widanagamage et al. (2009) kandungan
protein dan lemak dapat mempengaruhi tinggi
Indeks dan Beban Glikemik Nasi Analog Terpilih rendahnya IG (Indeks Glikemik). Semakin tinggi kadar
Pengambilan darah relawan dilakukan melalui protein dan lemak maka semakin rendah nilai IG
pembuluh darah kapiler yang terdapat di ujung jari (Indeks Glikemik). Kurva perubahan gula darah
tangan. Hal ini dikarenakan darah yang diambil dari ditampilkan pada
pembuluh darah ini memiliki variasi kadar glukosa
darah yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil 160
dari pembuluh vena. Glukosa darah yang diambil 140
Kadar gula darah (mg/dL)

bereaksi dengan enzim glucose oxydase (GOD) dan


120
potassium ferricyanide yang terdapat pada test strip
100 Roti tawar
pengujian. Reaksi tersebut menghasilkan potrassium
80
ferrocyanide. Jumlah potrassium ferrocyanide yang
dihasilkan setara dengan jumlah glukosa yang 60
Beras analog ubi
terkandung pada sampel (Raben, 2014). Data indeks 40 ungu dengan
nanokalsium 5%
glikemik yang disajikan adalah data indeks glikemik 20
rata-rata 10 orang dari 20 orang subjek yang 0
berpartisipasi. Indeks glikemik dan beban glikemik nasi 0 30 60 90 120

analog ubi jalar ungu tersaji pada Tabel 4. Penyajian Waktu (menit)
data 10 subjek dari total 20 subjek dikarenakan
banyaknya bias data. Bias data tersebut adalah glukosa Figur 5 Kurva Perubahan Kadar Gula Darah
darah yang tidak stabil pada rentang waktu pengujian,
terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Selain itu adanya Faktor lain yang mempengaruhi IG (Indeks
subjek relawan yang menghasilkan nilai indeks glikemik Glikemik) penelitian ini adalah kandungan kalsium.
yang terlalu besar dibandingkan relawan lainnya (data Semakin tinggi kalsium maka cooking time dan suhu
pencilan/ outliner). Berdasarkan penelitian Thompson et gelatinisasi akan semakin rendah. Hal ini didukung oleh
al. (2012) relawan yang diperlukan pada pengujian penelitian Ribeiro et al. (2014) beras dengan merek
indeks glikemik pada kacang dan beras sejumlah 17 Xamego memiliki kadar kalsium tertinggi sebesar
orang dengan 9 laki-laki dan 8 perempuan, namun 1,64% menghasilkan cooking time terendah yaitu 17
hanya diambil 10 relawan terbaik. menit. Menurut Truong et al. (2014) bahwa tinggi
Indeks glikemik nasi analog ubi jalar ungu rendahnya Indeks Glikemik dapat dipengaruhi juga oleh
tergolong kedalam IG kategori rendah (<55). Menurut cooking time dan suhu gelatinisasi. Hal ini diperkuat
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 121
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

pula oleh Wariyah et al. (2014) yang menyatakan Calcium Salts and The Relationship with
bahwa beras Ciherang dan IR 42 yang diberikan Chemical, Texture and Thermal Properties in
perlakuan penambahan kalsium memiliki suhu Masa and Tortilla. Journal of Food Process
gelatinisasi terendah yaitu 80°C dengan cooking time Engineering.35 (2012):772–783.
10 menit. Penelitian Purwani et al. (2007) menunjukkan Justicia, H.A., Hamdani., dan E. Liviawaty. 2012.
bahwa beras IR 36 memiiki suhu gelatinisasi paling Fortifikasi tepung tulang nila merah sebagai
rendah yaitu 81°C menghasilkan IG (Indeks Glikemik) sumber kalsium terhadap tingkat kesukaan roti
dengan kategori rendah sebesar 45. tawar. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3 (4):17-
27.
Kesimpulan Indrasari, Siti. 2006. Kandungan mineral padi varietas
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh unggul dan kaitannya dengan kesehatan. Jurnal
penambahan nanokalsium tulang ikan nila Iptek Tanaman Pangan 1 (1): 88-99.
(Oreochromis niloticus) dengan konsentrasi 5% Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2014. Data
berpengaruh terhadap kadar kalsium dan fosfor pada Ekspor Ikan Nila.http://. kkp.go.id. (diakses pada:
ubi jalar putih, kuning, dan ungu. Uji BNJ pada kadar 1 November 2015).
kalsium dan fosfor beras analog menunjukkan bahwa Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,05) pada semua 2012.“Perilaku Cerdik Mencegah
perlakuan yaitu kuning-ungu, putih- ungu, dan putih- Osteoporosis”.http://www.depkes.go.id. (diakses
kuning. Kadar kalsium dan fosfor tertinggi terdapat pada: 1 November 2015).2014.Angka
pada beras analog ubi jalar ungu yaitu masing-masing Kecukupan Gizi. http://www.depkes.go.id.
0,88% dan 0,78%. Hasil penerimaan para konsumen (diakses pada: 1 November 2015).
menunjukkan bahwa beras analog ubi jalar ungu paling Leighton, C.S., Schoenfeldt., And Kruger. 2010.
disukai oleh konsumen dengan kriteria yaitu warna, Quantitative descriptive sensory analysis of five
aroma, kelengketan dan rasa. Berdasarkan analisa different cultivars of sweetpotato to determine
hedonik terdapat perbedaan sangat nyata pada sensory and textural profiles. J. Sensory Studies
perlakuan ubi jalar putih terhadap ubi jalar kuning, ubi 25: 2–18.
jalar putih terhadap ubi jalar ungu, dan ubi jalar kuning Lekahena, V., D. N. Faridah., R. Syarief, dan R.
terhadap ubi jalar ungu. Ubi jalar terbaik pada penelitian Peranginangin. 2014. Karakterisasi fisikokimia
ini adalah ubi jalar ungu karena memiliki nilai hedonik, nanokalsium hasil ekstraksi tulang ikan nila
fosfor, dan kalsium tertinggi. Beras analog ubi jalar menggunakan larutan basa dan asam. Jurnal
ungu memiliki nilai indeks glikemik 19,19 (kategori Teknologi dan Industri Pangan. 25(1): 57-64.
rendah) dan beban glikemik 7,21 (kategori rendah). Leksrisompong, P., Whitson., Truong., and Drake.
2012. Sensory attributes and consumer
Ucapan Terima Kasih acceptance of sweet potato cultivars with varying
Penelitian ini disponsori oleh PT Indofood Sukses flesh colors. Journal of Sensory Studies Issn
Makmur Tbk dalam kerangka Program Indofood Riset 0887-8250
Nugraha 2015/ 2016 Mishra, A., Mishra, H.N., and Rao, P.S. 2012.
Preparation of rice analogues using extrusion
Daftar Pustaka technology. Int. J. Food Sci. Tech 47: 1789–
Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Imu Gizi. Gramedia 1797.
Pustaka Utama. Jakarta. Mohanraj VJ, Chen Y. 2006. Nanoparticels-a review.
AOAC. 2007. Official Methods of Analysis of The Trop J Pharm Res 5: 561-573.
Association of Official Analytical Chemist. Inc., Moretii, D., Michael, B.Z., Sumithra, M., Prashanth, T.,
Washington, DC. Tung-Ching L., Anura RK, and Richard FH. 2006.
Arif, Abdullah., Agus, Budiyanto., dan Hoerudin. 2013. Extruded rice fortified with micronized ground
Nilai indeks glikemik produk pangan dan faktor- ferric pyrophosphate reduces iron defi ciency in
faktor yang memengaruhinya. Jurnal Litbang indian schoolchildren: a double-blind randomized
Pertanian. 32 (3): 91-99. controlled the american. Journal of Clinical
Brojer, J., Stamfli, H., and Graham, T. 2002. Effect of Nutrition 84: 822-829.
extraction time and acid concentration on the Mssallem, Al., H. Frost., and JE Brown. 2011. A study
separation of proglycogen and macroglycogen in of hassawi rice (Oryza Sativa L) in terms of its
horse muscle samples. Canadian Journal of carbohydrate hydrolysis (in vitro) and glycaemic
Veterinary Reasearch 66(3):201-206. and insulinaemic indices (in vivo). European
Ferazumma, H., Sri, A. M., Amalia, dan Leily, A. 2011. Journal of Clinical Nutrition 65: 627–634.
Subsitusi tepung kepala ikan lele dumbo (clarias Permana, Azhari., E. Liviawaty., dan Inskandar. 2012.
gariepinus) untuk meningkatkan kandungan Fortifikasi tepung cangkang udang sumber
kalsium crackers. Jurnal Gizi dan Pangan 6 kalsium terhadap tingkat kesukaan cone es krim.
(1):18-27. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3 (4): 29-39.
Gutiérrez, Ruiz., Q. Ramos., M. Pizarro., T. Abbud., Pratiwi, A. R., Hartayanie, L., dan Tabita, A. 2012. Sifat
Barnard., M. Meléndez1., And L. Gutiérre. 2012. fungsional protein spirulina platensis. Jurnal
Nixtamalization in Two Steps with Different Teknologi Pangan. Universitas Katolik
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 122
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.187

Soegijapranata. Semarang. Penelitian Perikanan Indonesia (Edisi Pasca


Purwani, E. Y., Yuliani, S., Indrasari, S. D., Nugraha, S., Panen) 8 (6).
dan Thahir, R. 2007. Sifat fisikokimia beras dan Suwikatmono, Adi., G. Himawan., dan J. Kato. 2013.
indeks glikemiknya. Jurnal Teknologi dan Industri Modifikasi fisik tepung ubi jalar dan aplikasinya
Pangan 18(1). dalam pengembangan produk bihun. Jurnal
Raben, Anne. 2014. Glycemic Index and Metabolic Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30(5):
Risks: How Strong Is The Evidence? Am J Clin 120-130.
Nutr 100:1–3 Thompson, Sharon., D. Winham., and A. M Hutchins
Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan, dan .2012. Bean and rice meals reduce postprandial
Pengemasan Komoditi Pertanian. Buletin glycemic response in adults with type 2 diabetes:
Departemen Pendidikan. Jakarta a cross-over study. Nutrition Journal 11(23).
Ranawana, V., Leow., and Henry. 2014. Mastication Truong, V.D., Wei, Cheng Yuet, and Micki D. Hall. 2014.
Effects on the glycaemic index: impact on Glycemic index of american-grown jasmine rice
variability and practical implications. European classified as high. Int J Food Sci Nutr 65 (4):
Journal of Clinical Nutrition 68:137–139. 436–439.
Regina. 2012. Daftar indeks glikemik makanan. Pusat Venn, Bernard., M. Kataoka, and J. Mann. 2014. The
Informasi tentang Penyakit Diabetes (Internet). use of different reference foods in determining
(diunduh 20 Agustus 2015). Tersedia pada: the glycemic index of starchy and non-starchy
http://diabetesmelitus.org. test foods. Nutrition Journal 13.
Ribeiro, Nerineira., J. Rodrigues., M. Prigol., C. Wayne., Wardani, Dini., E. Liviawaty., dan Junianto. 2012.
and L. Storck. 2014. Evaluation of special grains Fortifikasi tepung tulang ikan tuna sebagai
bean lines for grain yield, cooking time and sumber kalsium terhadap tingkat kesukaan
mineral concentrations. Crop Breeding and donat. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3 (4): 41-
Applied Biotechnology 14: 15-22. 50.
Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Wariyah, C., A. Astuti, M., and Supriyadi. 2014. Pasting
Pangan.Penebar Swadaya. Jakarta. properties of calcium-fortified rice. International
Saputra, J. S. E., A. Tri Winarni., dan E. Nurcahyadewi. Food Research Journal 21(3): 989-993
2014. Pengaruh penambahan biomassa serbuk Widanagamage, Rahal., S. Ekanayake., and J.
spirulina platensis terhadap sifat fisik, kimia dan Welihinda. 2009. Carbohydrate-rich foods:
sensori pada tablet hisap (Lonzenges). glycaemic indices and the effect of constituent
JPHPI.17(3). macronutrients. International Journal of Food
Suryaningrum, D. T., Murdinah., dan Arifin, M. 2002. Sciences and Nutrition 60: 215-223.
Penggunaan kappa-karaginan sebagai bahan Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT
penstabil pada pembuatan fish meat loaf dari Gramedia. Jakarta.
ikan tongkol (Euthynnus pelamys. L). Jurnal
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 123
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194

Artikel Penelitian
Perubahan Konsentrasi Biomassa, Kadar Asam Sianida (HCN), pH dan
Tampilan Sensori dari Koro Pedang Selama Proses Fermentasi 4 Hari
The Changes in Biomass Concentration, Concentration of Cyanide Acid (HCN), Texture Objective and
Sensory of Canavalia ensiformis during Fermentation for Four Days
Felia Wahono*, Setya Budi Muhammad Abduh, Nurwantoro
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang
*Korespondensi dengan penulis (feliawahono@gmail.com)
Artikel ini dikirim pada tanggal 12 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 1 Oktober 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan biomassa, kadar asam sianida, pH, tekstur objektif dan
tampilan sensori koro pedang yang difermentasi dengan jumlah inokulum yang berbeda selama 4 hari. Koro
pedang kering, direndam dalam air selama 2 hari kemudian dikukus selama 30 menit sebelum ditambahkan
inokulum berupa ragi tempe yang telah diketahui kepadatan selnya, sebanyak 1%, 2% dan 3% (b/b). Koro
kemudian dibungkus dengan plastik yang telah dilubangi sekitar 10% dari luas areanya. Koro lalu diinkubasi
selama 4 hari pada suhu 27°C. Mutu koro pedang diamati setiap 24 jam. Biomassa ditentukan secara TPC (Total
Plate Count), kadar asam sianida ditentukan secara spektrofotometri, dan tampilan sensori dilakukan secara visual.
Selama fermentasi hingga 4 hari, koro pedang dengan inokulum 1%, biomassanya semakin banyak, asam
sianidanya semakin rendah, pH-nya semakin rendah, tampilannya semakin kompak dan berwarna putih. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi inokulum 1% menghasilkan pola fermentasi yang konsisten dan mudah
dipahami sesuai teori dengan mutu hingga hari ke-4 yang masih dapat diterima. Penurunan kadar asam sianida
yang terjadi mengindikasikannya sebagai efek dari dihasilkannya produk metabolit primer.

Kata kunci: biomassa, kadar asam sianida, pH, tampilan visual

Abstract
This study was purposed observe the changes in some paramaters i.e. biomass, concentration of cyanide
acid (HCN), pH, and sensory characteristic of Canavalia ensiformis during fermentation for four days. An amount of
sun-dried Canavalia ensiformis were soaked in water for 2 days and then steamed for 30 minutes prior to addition
of inoculum in 1%, 2% and 3% (w/w). Samples then were wrapped in 10%-hollowed transparetnt plastic bags and
incubated for 4 days at 27°C. Every 24 hours, the quality of the fermented Canavalia ensiformis were observed.
Biomass concentration was determined by mean of TPC (Total Plate Count), cyanide acid was determined by
mean of spectrophotometry, whereas the visual appearance was determined by sensory assessment. During
fermentation, Canavalia ensiformis with 1% inoculum resulted in a lowering concentration of cyanide, lowering
concentration of biomass, lowering in pH, and more compact and white visual appearance. The results indicated
that 1% inoculum yielded a consistent pattern in fermentation and easily understood in accordance with some
theories. It also resulted in an acceptable final product. The lowering concentration in cyanid indicated that it was
influenced by the production of primary metabolites.

Keywords: biomass, cyanide acid (HCN), pH, visual appearance

Pendahuluan kontraproduktif dengan kepentingan kemandirian
Fermentasi dalam pembuatan produk pangan pangan. Upaya menggantikan kedelai impor dengan
telah dikenal secara tradisional. Di Indonesia, salah kacang-kacangan lokal telah dilakukan, misalnya
satu produk yang populer adalah tempe. Tempe yang dengan cara substitusi (Samson et al.,1987). Salah
biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah tempe satu jenis kacang yang telah dicoba digunakan adalah
yang menggunakan bahan baku kedelai. Tempe ini koro pedang. Koro pedang merupakan salah satu jenis
mengandung protein sebanyak 40% - 43% (Handayani, kacang-kacangan yang memiliki kandungan protein
2001). Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan sebesar 27,4%, yaitu relatif lebih besar dibandingkan
tempe menyebabkan perubahan kimia maupun fisik dengan kacang lainnya seperti kacang hijau, kacang
pada biji kedelai, menjadikan tempe lebih mudah tanah, kacang tolo, dan kacang gude (Ekanayake,
dicerna oleh tubuh (Sarwono, 2005). 2006).
Peningkatan akan konsumsi kedelai terkhusus Upaya memanfaatkan kacang koro pedang
tempe yang begitu pesat belum diimbangi dengan sebagai bahan baku pembuatan tempe menemui
peningkatan produksi kedelai dalam negeri. kendala dengan adanya senyawa toksik yang
Kesenjangan itu ditutup dengan kedelai impor yang dikandung di dalamnya. Salah satunya adalah senyawa
banyak menyita devisa (Amang, 1993). Kondisi ini asam sianida yang cukup tinggi dan sangat berbahaya
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 124
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194

apabila masuk ke dalam tubuh manusia. Senyawa ini Pengujian Kadar Asam Sianida (HCN)
termasuk senyawa atau faktor anti gizi yang ditemukan Kadar asam sianida diuji dengan metode
pada koro pedang. Sianida yang dihasilkan oleh bahan spektrofotometri (Sudarmadji et al., 1997). Kadar asam
nabati tersebut biasanya sekitar 100-800 mg/100 g sianida dianalisis pada sampel di setiap tahap
(Ariani, 2003). percobaan yaitu koro pedang yang akan difermentasi,
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk koro pedang yang sudah dilakukan perendaman dan
mengetahui perubahan biomassa, kadar asam sianida, pengukusan, koro pedang yang sudah difermentasi
dan tekstur objektif serta tampilan sensori dengan dengan 5 titik waktu yang berbeda. Sampel koro
perlakuan jumlah inokulum yang berbeda selama pedang sebanyak 1 gram dihaluskan dan dimasukkan
fermentasi berlangsung. Manfaat dari penelitian ini ke dalam beker glass. Kemudian, sampel dilarutkan
adalah memberikan informasi teknis untuk dasar dalam NaOH 0,1 N hingga 100 ml dalam labu takar lalu
fermentasi koro pedang yang aman dan efisien sebagai didiamkan selama 1 jam di dalam lemari pendingin.
sumber lauk pauk nabati. Dengan demikian, Larutan disaring dengan kertas saring whatman 42.
masyarakat dapat menerapkan jumlah inokulum dan Filtrat diambil sebanyak 2 ml lalu dimasukkan ke dalam
substrat yang digunakan dalam pembuatan tempe koro tabung reaksi dan ditambah 3 ml NaH2PO4 15M, 1 ml
pedang. asetat buffer 0,1 M pH 5,6; 0,4 ml Chloramine T 0,15%
dan 0,4 methyl barbiturate dan ditambahkan 0,2 ml
Materi dan Metode iodine. Kemudian tabung reaksi dimasukkan dalam
Materi pendingin selama 30 menit. Perubahan warna ungu
Materi yang digunakan untuk penelitian yaitu, kemudian diamati dengan spektrofotomer pada panjang
koro pedang biji putih, inokulum ragi tempe, medium gelombang 587,6 nm dan dicatat absorbansinya.
Plate Count Agar (PCA), kloramfenikol, aquadest steril,
NaCl fisiologis, NaH2PO4 15M, NaOH 0,1 N, asetat Pengujian pH
buffer 0,1 M pH 5,6, chloramine T 0,15%, 0,4 methyl Nilai pH diuji dengan menggunakan metode alat
barbiturate, dan iodine. Peralatan yang digunakan yaitu pH meter (Apriyantono dan Fardiaz, 1989). Sampel
tempat plastik, timbangan analitik, pisau, panci tempe yang diuji disiapkan sebanyak 1 g untuk
pengukus, plastik pembungkus, inkubator, cawan spetri, kemudian diencerkan dengan aquades hinga 10 ml.
gelas ukur, labu takar, buret, statip, rak tabung, tabung Elektrode pH meter lalu dicelupkan ke dalam sampel.
reaksi, pipet mikro, tip pipet mikro, kertas saring Nilai pH yang terbaca dan ditampilkan pada panel pH
whatman 42, erlenmeyer, bunsen, aluminium foil, kapas, meter dicatat. Pada tiap sampel yang diencerkan,
penangas air, beaker glass, pH meter, kamera dan pengujian dilakukan 3 kali.
lemari pendingin.
Pengujian Tampilan Sensori
Metode Tampilan sampel diuji secara visual atau sensori
Metode yang dilakukan terdiri dari beberapa (Setyaningsih et al., 2010). Parameter uji secara visual
tahapan yaitu persiapan pembuatan sampel tempe yaitu meliputi warna dan kekompakan miselium.
dengan ditambahkan perlakuan jumlah inokulum yang Parameter warna dinilai dengan cara memberi skor 1 -
berbeda dan lama fermentasi 4 hari, kemudian diuji 4 dengan atribut sangat putih, putih, agak putih, tidak
menurut variabel yang sudah ditentukan yaitu kadar putih sedangkan skor pada kerapatan miselium (1 - 4)
asam sianida, total biomassa, pH, dan tampilan sensori adalah sangat kompak, kompak, agak kompak, tidak
serta kadar air. kompak.

Pengujian Total Biomassa Analisis Data


Kepadatan inokulum diuji dengan teknik Data penelitian yang didapat kemudian disusun
perhitungan secara total kapang (Pelczar dan Chan, dalam tabulasi dan di analisis dalam bentuk ordinat
2008). Pengujian dimulai dengan cara mempersiapkan untuk mendapatkan pola fermentasi yang representatif
2,25 gram medium PCA dan menambahkan dan berkesinambungan dengan variabel lainnya.
kloramfenikol sebanyak 0,01 gram sebelum proses Kemudian diamati setiap ordinatnya di tiap jumlah
sterilisasi basah dengan autoklaf. Kemudian inokulum yang berbeda dan setiap titik waktu proses
menyiapkan 1 gram sampel, larutkan dalam 9 ml fermentasi berlangsung. Data yang sudah ada dalam
larutan NaCl Fisiologis 0,85%. Selanjutnya, sampel bentuk ordinat kemudian diinterpretasikan dengan pola
dihomogenisasi dan diencerkan dengan tingkat sehingga dapat menyimpulkan dan membuat
pengenceran sampai dengan 10 .
-5
Pencawanan pembahasan dan disesuaikan dengan teori yang ada.
dilakukan secara duplo pada tiga tingkat pengenceran
terakhir. Selanjutnya, menuangkan 1 ml sampel pada Hasil dan Pembahasan
cawan petri lalu ditambahkan medium sebanyak + 15 Perubahan Biomassa Selama Fermentasi
ml, segera dilakukan gerakan dipermukaan meja Kepadatan biomassa sel diamati setiap hari pada
membentuk pola angka 8 sehingga suspensi tersebar jumlah inokulum yang berbeda yaitu 1%, 2% dan 3%
merata. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu dengan metode pengujian menggunakan Total Plate
°
ruang yaitu 27 C selama 24 jam. Jumlah koloni yang Count (TPC) pada koro pedang yang diamati selama 4
tumbuh diamati dan dihitung. hari. Biomassa sel (cfu/g) fermentasi kacang koro
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 125
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194

Tabel 1. Biomassa sel (CFU/g) selama Fermentasi Kacang Koro Pedang hingga 4 Hari
Konsentrasi Lama Fermentasi (Hari)
Inokulum 0 1 2 3 4
3 4 3 5 5
1% 3,00 x 10 4,05 x 10 1,50 x 10 1,03 x 10 1,20 x 10
4 4 4 4 4
2% 1,75 x 10 5,03 x 10 2,25 x 10 2,65 x 10 9,70 x 10
4 4 4 5 4
3% 2,50 x 10 6,65 x 10 3,25 x 10 1,12 x 10 9,60 x 10

Tabel 2. Kadar Asam Sianida (ppm/bk) Selama Fermentasi Kacang Koro Pedang hingga 4 Hari
Konsentrasi Lama Fermentasi (Hari)
Inokulum 0 1 2 3 4
1% 7,61 12,93 9,84 1,89 1,48
2% 13,88 8,06 13,11 3,09 2,11
3% 13,28 7,41 6,10 1,58 2,56

pedang dapat dilihat Tabel 1. Koro pedang yang diberi terbentuk dalam proses pembelahan belum sempurna
jumlah inokulum awal sebanyak 1%, 2% dan 3% pada fase logaritmik sehingga dinding sel mudah rusak
mengalami fase pertumbuhan kapang yang sama dan dan terjadi kematian.
terdapat fenomena puncak/ fase logaritmik yang
berulang. Setelah mengalami fase adaptasi dan Perubahan Kadar HCN selama Fermentasi
logaritmik (thropophase) pada hari ke-0 hingga ke-1, HCN adalah senyawa toksik yang berada dalam
diantara ketiga perlakuan inokulum yang ditambahkan, koro pedang secara alami. Apabila dikonsumsi secara
semua mengalami fase penurunan padahal seharusnya langsung akan menyebabkan bahaya bagi yang
belum mencapai tahap tersebut. Hal ini dimungkinkan mengonsumsi. Oleh karena itu dilakukan perlakuan
dari sampah metabolit yang dihasilkan dari proses fermentasi untuk mengurangi jumlah HCN pada koro
fermentasi terlalu banyak sehingga menyebabkan pedang. Fermentasi dilakukan selama 4 hari dengan
banyak inokulum yang tidak dapat bertahan hidup pada melakukan penambahan inokulum yang berbeda yaitu
hari ke-2 dan mengalami penurunan yang tajam, sebanyak 1 %, 2% dan 3%. Dengan demikian, setiap
namun tidak sampai mencapai garis nol cfu/g. Hal lain titik waktu dan proses fermentasi diamati dan dihitung
yang menyebabkan penurunan drastis adalah karena jumlah asam sianida yang berkurang. Data hasil
terjadinya fluktuasi suhu pada sistem. Koro pedang pengamatan dan perhitungan kadar asam sianida
yang difermentasi akan menghasilkan uap air dan CO2 (ppm/bk) selama fermentasi kacang koro pedang
yang kemudian menjadikan suhu di dalam tempe hingga 4 hari dapat dilihat pada Tabel 2.
menjadi panas. Akibatnya, beberapa kapang yang Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, dapat
hidup di dalamnya mengalami kematian karena suhu disimpulkan dari grafik yang dihasilkan dengan
yang terlalu ekstrim sehingga tidak dapat bertahan inokulum yang berbeda yaitu 1%, 2% dan 3% memiliki
hidup. kesamaan fase yaitu mengalami kenaikan kadar HCN
Setelah mengalami penurunan pada hari yang hingga mengalami penurunan. Namun pada
ke-2, masih ada beberapa kapang yang masih mampu konsentrasi inokulum 1% mengalami kenaikan jumlah
bertahan hidup dengan ditunjukkan kepadatan asam sianida yang sangat signifikan. Hal ini
inokulum yang masih diatas populasi 0 cfu/g. Keadaan dimungkinkan pada pengujian ada beberapa senyawa
yang baru dan proses adaptasi membuat populasi yang terikut yang menyumbang nilai pada pengujian
kapang mengalami kenaikan kembali hingga mencapai spektrofotometri hingga menghasilkan nilai yang tinggi
puncak yang ke-2 dan akhirnya mengalami fase pada absorbansi dalam satuan ppm. Setelah
stasioner atau bisa disebut dengan fase idiophase mengalami fenomena kenaikan yang cukup signifikan
dimana pertumbuhan mulai mengalami perlambatan. pada hari yang ke-2 mulai mengalami penurunan
Namun dalam mencapai puncak yang ke-2 masing- kembali hingga hari ke-4.
masing inoukulum memiliki waktu yang berbeda yaitu 1 Tabel 2 menampilkan informasi bahwa jumlah
dan 3% yang mencapai puncak kedua pada hari ke-3, inokulum dan lama proses fermentasi yang
dan 2% mencapai puncak yang ke-4. Hal ini berlangsung menyebabkan asam sianida yang terdapat
dimungkinkan terjadi, karena setelah proses adaptasi pada koro pedang mengalami penurunan hingga hari
yang dilakukan setelah terjadinya fluktuasi suhu dan ke-4 meskipun ada beberapa kenaikan pada titik
sampah metabolit menyebabkan kapang menjadi tertentu. Penurunan asam sianida pada proses
terhambat pertumbuhannya. Penyebab lain bisa fermentasi dipengaruhi oleh inokulum ragi tempe yang
diakibatkan karena populasi inokulum pada 1% dalam ditambahkan yaitu Rhizopus oligosporus. Kapang ini
keadaan awal lebih sedikit sehingga pada saat hari ke- mampu memanfaatkan unsur N bukan protein dari HCN
2 mengalami penurunan yang sangat signifikan karena sendiri sehingga mampu menurunkan kadar HCN pada
antara kapang satu dengan yang lain tidak mampu koro pedang yang difermentasi. Menurut Kobawila et al.
bertahan hingga akhirnya mati. Menurut Richard dan (2005) pada proses fermentasi cassava asam sianida
Dale (1984) keadaan populasi mikroba yang terlalu mampu diturunkan dengan adanya aktivitas
sedikit pada saat fermentasi menyebabkan mikroba pertumbuhan kapang dimana mampu merombak
menjadi rentan terhadap faktor eksternal seperti suhu senyawa nitrogen yang lebih sederhana dibandingkan
dan kelembaban khususnya pada dinding sel yang dengan senyawa kompleks protein. Nilai asam sianida
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 126
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194

semakin menurun dapat dipengaruhi dengan adanya fermentasi kacang koro pedang. Tope (2014)
kemampuan kapang dalam mendegradasi zat anti menambahkan pertumbuhan dan aktivitas fermentasi
nutrisi yang ada dalam koro pedang. Menurut Tope dari mikroorganisme dalam hal ini kapang mampu
(2014) kapang Rhizopus oligosporus sebagai agen menurunkan kadar asam sianida pada bahan.
fermentasi mampu mendegradasi zat anti nutrisi pada Pola perubahan dari kadar asam sianida dan
kedelai. Salah satunya adalah senyawa asam fitat dan biomasa dapat disimpulan bahwa semakin lama
asam posfat. Fermentasi dalam hal ini mampu fermentasi, mampu menurunkan asam sianida. Total
mengurangi senyawa pengganggu dalam suatu bahan biomassa yang semakin tinggi mampu menurunkan
pangan untuk memperbaiki produk akhir. asam sianida hingga level terendah dibawah 2 ppm.
Kondisi ini dapat ditunjukkan dari hari ke-0 hingga hari
Hubungan Biomassa dengan Perubahan Kadar HCN ke-2 dimana antara total biomassa dalam menurunkan
Proses fermentasi mampu menurunkan kadar asam sianida masih mengalami fase adaptasi yang
asam sianida hingga level tertentu selama proses cukup hingga akhirnya dapat menunjukkan pola
fermentasi dan dengan peran inokulum ragi yang penurunan yang maksimal pada hari ke-3 hingga ke-4
ditambahkan. Kadar asam sianida menurun seiring dengan populasi di atas 10 cfu/g dalam ln mampu
dengan lama fermentasi. Hal ini dapat disimpulkan total menurunkan hingga dibawah 2 ppm. Pada hari ke-4
biomassa kapang dalam proses fermentasi inilah secara maksimal total biomassa mampu
mempengaruhi kadar asam sianida. Grafik hubungan menurunkan asam sianida. Hal ini disebabkan pada
antara total biomassa dan kadar HCN selama fase stasioner hari ke-4 banyak produk metabolit primer
fermentasi dapat dilihat pada Figur 1. yang dihasilkan khususnya enzim yang mampu
mereduksi asam sianida sehingga mampu hingga ke
titik level terendah.

Perubahan Nilai pH Selama Fermentasi Koro Pedang


Parameter pH menjadi salah satu komponen
penting yang perlu dilakukan pengujian. Hal ini
dilakukan karena dari proses fermentasi biasanya
menghasilkan senyawa alkalin dan amino dari
pemecahan senyawa kompleks protein menjadi
senyawa- senyawa yang lebih sederhana. Untuk
melihat potensi agen fermentasi secara optimal dalam
Figur 1. Grafik Hubungan antara Total Biomassa dengan memecah senyawa kompleks menjadi senyawa yang
Kadar HCN Selama Fermentasi Kacang Koro Pedang. lebih sederhana. Oleh karena itu, dilakukan
pengamatan dan pengukuran pH di setiap proses
Berdasarkan grafik hubungan antara total fermentasi setiap titik waktu dan inokulum berbeda.
biomassa dengan kadar HCN dapat disimpulkan ada Nilai pengukuran pH selama fermentasi kacang koro
keterkaitan antara satu dengan yang lain dan ada pedang hingga 4 hari disajikan pada dan Tabel 3.
beberapa fase yang terjadi di dalamnya. Dapat diamati Berdasarkan dari hasil penelitian ditunjukkan
pada hari ke-0 hingga hari ke-2 mengalami adaptasi bahwa nilai pH dari perlakuan 1%, 2%, dan 3 %
dalam menurunkan asam sianida. Hal ini pertumbuhan mengalami siklus nilai pH yang tidak stabil. Pada titik
kapang masih menyesuaikan dengan faktor-faktor lain tertentu bersifat basa dan kemudian kembali ke asam.
seperti suhu, kelembaban udara dan substrat yang Hal ini terjadi karena perombakan protein yang
dimanfaatkan seperti yang dibahas sebelumnya. dilakukan oleh mikroba melalui proses fermentasi yang
Dengan kondisi yang sudah sesuai, kapang mulai kemudian memecah oligopeptida menjadi senyawa
mengalami pertumbuhan yang maksimal sehingga yang lebih sederhana yaitu asam amino yang bersifat
dapat menurunkan asam sianida pada level tertentu. asam dan basa. Menurut Ariani (2003), menyatakan
Pertumbuhan yang maksimal juga dapat disebabkan bahwa yang paling banyak dihasilkan dari proses
senyawa metabolik primer yang dihasilkan dari proses fermentasi adalah asam amino bersifat asam yaitu
fermentasi sehingga mampu memicu pertumbuhan glutamat dan aspartam yang dihasilkan dari hidrolisis
biomassa hingga level tertinggi pada fase stasioner. protein sehingga menyebabkan pH cenderung asam.
Senyawa metabolik primer yang dihasilkan, salah Hal ini ditambahkan Sulchan dan Endang (2007) bahwa
satunya adalah berupa enzim tertentu yang mampu nilai pH yang cenderung basa dan tidak stabil di
berperan dan merombak HCN menjadi senyawa yang keadaan asam karena hasil metabolit primer berupa
tidak toksik sehingga dalam hal ini fase stasioner CO2 atau karbondioksida yang dihasilkan dari proses
menghasilkan produk enzim yang cukup banyak hingga fermentasi sehingga pH menjadi naik dan menjadi lebih
mampu menurunkan asam sianida hingga level basa pada jumlah inokulum dan titik waktu tertentu.
terendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Kobawilla Proses fermentasi juga mengamati perubahan
(2005) yang menyatakan bahwa proses fermentasi pH yang terjadi. Penambahan konsentrasi inokulum 1%,
mampu menurunkan asam sianida dan enzim tertentu 2% dan 3% mengalami perubahan siklus yan tidak
seperti linamarase pada cassava. Sehingga stabil. Ada beberapa yang menuju ke arah sangat basa
pendekatan ini dimungkinkan, enzim berperan di dalam dan menuju ke arah sangat asam. Hal ini ditunjukkan
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 127
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194

Tabel 3. Nilai Pengukuran pH Selama Fermentasi Kacang Koro Pedang hingga 4 Hari
Konsentrasi Lama Fermentasi (Hari)
Inokulum 0 1 2 3 4
1% 6,62 4,5 6,38 8,45 5,29
2% 6,79 4,15 4,54 5,41 5,45
3% 6,23 7,72 4,59 5,57 5,61

Tabel 4. Sifat Sensori Warna Selama Fermentasi Kacang Koro Pedang hingga 4 Hari
Konsentrasi Lama Fermentasi (Hari)
Inokulum 0 1 2 3 4
1% agak putih agak putih putih Putih agak putih
2% agak putih putih sangat putih agak putih tidak putih
3% agak putih putih sangat putih agak putih tidak putih

Tabel 5. Sifat Sensori Kepadatan Miselium selama Fermentasi Koro Pedang hingga 4 Hari
Lama Fermentasi (Hari)
Konsentrasi Inokulum
0 1 2 3 4
1% tidak kompak agak kompak kompak kompak agak kompak
2% tidak kompak agak kompak kompak kompak agak kompak
3% tidak kompak agak kompak sangat kompak kompak agak kompak


pada konsentrasi inokulum 1% pada hari ke-3 pH hingga 4 hari dapat dilihat pada Tabel 5. Hal ini
mampu mencapai 8,45 sedangkan keadaan asam dipengaruhi oleh konsentrasi inokulum awal yang
dicapai pada konsentrasi inokulum 2% pada hari ke-1. ditambahkan pada pembuatan tempe. Menurut
Siklus pH yang tidak stabil disebabkan karena dari Sarwono (2005) Rhizopus oligosporus sebagai agen
proses pemecahan perombakan protein menjadi asam fermentasi membentuk spora terlebih dahulu baru
amino yang bersifat asam dan basa sehingga ada yang kemudian muncul hifa-hifa yang menembus biji dari
bersifat asam. Keadaan yang sangat basa juga kacang koro dan tumbuh mengambil substrat dari biji
dipengaruhi hasil fermentasi yaitu berupa tersebut. Sehingga tempe semakin lunak dan terbentuk
karbondioksida. jaringan miselium yang kompak, karena sebagian
substrat dimanfaatkan untuk membentuk hifa-hifa jamur.
Sifat Sensori Selama Fermentasi Cahyadi (2006) berpendapat bahwa struktur yang
Hasil fermentasi mengubah keadaan awal dari sangat kompak pada tempe yang dihasilkan dari
bahan pangan menjadi lebih lunak dari aslinya fermentasi hanya terjadi pada titik optimal fermentasi.
sehingga tampilan sensori menjadi salah satu Setelah itu akan mengalami pematangan sehingga
perubahan yang dapat dilhat dengan mudah selama akhirnya mengalami proses pembusukan sehingga
proses fermentasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, sering dikatakan tempe busuk.
tempe koro pedang diamati tampilan sensori di setiap
titik waktu dan jumlah inokulum yang ditambahkan dari Kesimpulan
segi warna dan kepadatan miselium. Berdasarkan dari hasil penelitian dapat
Berdasarkan dari hasil pengamatan secara disimpulkan bahwa konsentrasi inokulum ragi tempe 1%
sensori berdasarkan warna yang dihasilkan dari di awal fermentasi merupakan inokulum yang paling
fermentasi adalah pada perlakuan 2% dan 3% inokulum mudah dipahami pola fermentasinya dan menjadi
lebih cepat mengalami perubahan warna menjadi putih. perlakuan paling efisien dalam menurunkan asam
Sifat sensori warna selama fermentasi kacang koro sianida hingga level terendah yaitu mencapai angka
pedang hingga 4 hari dapat dilihat pada Tabel 4. Hal ini 1,48 ppm dengan total biomassa yang tertinggi yaitu
5
dikarenakan terbentuknya hifa-hifa yang berasal dari 1,20 x 10 cfu/g. Penurunan kadar asam sianida seiring
miselia kapang yang tumbuh pada permukaan kedelai dengan petumbuhan biomassa sehingga diduga
sehingga memunculkan warna putih. Menurut Samson penurunan tersebut disebabkan dari senyawa metabolik
et al. (1987) bahwa seiring dengan pertumbuhan hifa- primer yang dihasilkan. Dengan kadar asam sianida
hifa pada tempe maka miselium akan semakin kompak yang cukup rendah, konsentrasi inokulum 1% juga
dan membentuk warna putih yang sebenarnya hingga mampu mempertahankan mutu produk tempe hingga
proses fermentasi yang optimal. Sarwono (2005) hari ke-4 dilihat dari parameter tekstur objektif dan
menambahkan bahwa pada proses pembuatan tempe, tampilan sensori yang masih dapat diterima. Dengan
ragi memegang peranan penting dalam membentuk demikian, Konsentrasi ragi 1% menjadi konsentrasi
benang-benang halus yang nampak berwarna putih. inokulum yang polanya mampu mereduksi sianida
Berdasarkan hasil dari pengamatan tampilan seiring dengan pertumbuhan biomassa. Artinya,
sensori berdasarkan kepadatan miselium, dapat dilihat mengindikasikan bahwa reduksi merupakan efek dari
bahwa pada konsentrasi inokulum 2% dan 3% lebih adanya metabolit primer dalam fermentasi, yang belum
cepat membentuk struktur yang kompak. Sifat Sensori ditentukan secara spesifik karena perlu dilakukan
Kepadatan Miselium selama fermentasi koro pedang penelitian lebih lanjut.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 128
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.194

Daftar Pustaka Larmond, E. 1987. Laboratory Methods for Sensory


Amang, B. 1993. Ekonomi Perberasan, Jagung dan Analysis of Food. Canada: Department
Minyak Sawit di Indonesia, PT Dharma Karsa Agriculture
Utama, Jakarta Pelczar, M., and J. Chan. 2008. Dasar-Dasar
Apriyantono, A., dan D. Fardiaz. 1989. Petunjuk Mikrobiologi. UI Press, Jakarta.
Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Richard, D.M., and Dale W.G. 1984. Germination of
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Rhizopus oligosporus Sporangispore. App and
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Environt Microbio 48(6): 1067-1071.
Pangan dan Gizi. Insitut Pertanian Bogor, Rosenthal, A.J. 1999. Food Texture Measurement and
Bandung. Perception. An Aspen Publication. Gaithersburg,
Ariani, S.R.D. 2003. Pembuatan keju kedelai yang Maryland.
mengandung senyawa faktor hasil biokonversi Samson, R.A., J.A. Van Kooij, and E.S. De Boer. 1987.
isoflavon pada tahu oleh Rhizopus oligosporus. Microbiological quality of commercial tempeh in
BioSmart 5(1): 8-12. nederlands. J. Food Protect 50 (2): 92-94.
Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Sarwono, B. 2005. Membuat Tempe dan Oncom.
Bumi Aksara, Bandung. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ekanayake, S. 2006. Canavanine content in Setyaningsih, D., A. Apriyantono, dan Sari. 2010.
swordbeans (Canavalia gladiata): analyis and Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Argo.
effect of processing. Department of Biochemistry, Bogor: IPB Press.
Faculty of Medical Sciences, University of Sri Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997.
Jayewardenepura, Nugegoda. Srilanka. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan
Handayani, S. 2001. Indigenous Mucuna Tempe as Pertanian. Liberty: Yogyakarta.
Functional Food. Department of Agriculture, Sulchan, M dan Endang N. 2007. Nilai gizi dan
University of Sebelas Maret. Surakarta. komposisi asam amino tempe gembus serta
Kobawila SK, Louembe, Keleke, Hounhouigan J, and pengaruhnya terhadap pertumbuhan tikus. Maj
Gamba C. 2005. Reduction of the cyanide Kedokt Indon 57(3).
content during fermentation of cassava roots and Tope, A.K. 2014. Effect of fermentation on nutrient
leaves to produce bikedi and ntoba mbodi, two composition and anti-nutrient contents of ground
food products from Congo. Academic J 4(7): 689- Lima bean seeds fermented with Aspergillus
696. fumigatus, Rhizopus stolonifer and
Saccharomyces cerevisiae. Intern J of Advanced
Research 2 (7): 1208-1215


Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 151
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.184

Catatan Penelitian
Deteksi Cepat Residu Tetrasiklin melalui STARTEC (Smart Tetracycline
Residual Kit Detection)
Tetracyclin Rapid Detection by STARTEC (Smart Tetracycline Residual Kit Detection)
1* 1 2 1 1
Bekti Sri Utami , Hana Razanah , Puspita Diah Pravitasari , Fitri Indah Permata , Annisa Rizqi Rafrensca
1
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang
2
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Kimia, Universitas Brawijaya, Malang
*Korespondensi dengan penulis (bektisriutami@gmail.com)
Artikel ini dikirim pada tanggal 5 Juni 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 13 Oktober 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Residu antibiotik pada daging masih menjadi problem khusus pada kualitas daging yang beredar di
Indonesia saat ini. Salah satu antibiotik yang sering dijumpai adalah tetrasiklin. Sehingga, konsumen harus
cermat untuk mengetahui apakah dalam daging ayam masih mengandung residu tetrasiklin atau tidak. Oleh
karena itu, perlu adanya inovasi untuk membantu deteksi cepat adanya residu tetrasikli, pada daging. Penelitian
ini bertujuan untuk membuat inovasi deteksi tetrasiklin dengan cepat melalui STARTEC (Smart Tetracycline
Residual Kit Detection). Cara kerja kit deteksi ini sangat praktis yaitu dengan mereaksikan daging ayam yang
telah dihaluskan dengan asam sulfat kemudian diamati perubahan warna yang terjadi dengan trayek warna
indikator yang telah diatur sesuai konsentrasi tetrasiklin yang terkandung dalam daging. Namun sebelum
direaksikan dengan asam sulfat, sampel daging direaksikan dengan EDTA untuk mendenaturasi protein yang
terikat pada tetrasiklin. STARTEC dapat dioperasikan dengan mudah, cepat, dan aman untuk mendeteksi residu
tetrasiklin pada daging broiler.

Kata kunci: antibiotik, daging, asam sulfat, tetrasiklin

Abstract
Tetracycline is the commonly antibiotic that was found in broiler meat. Tetracycline can be added in feed
that was provide a residue in checken meat, thus the consumer should be smart to identify tetracycline residue in
meat. Therefore, the innovation to detect tetracycline is needed. This research was done to generate e new
product of STARTEC (Smart Tetracycline Residual Kit Detection) to help consumer to detect the residue of
tetracycline in broiler meat. STARTEC used the principle of reaction between tetracyclines and sulfuric acid. This
detector work simply since it only was needed to put the grined meat into a glass, then was reacted by EDTA to
denature protein. Through this reaction, a pure tetracycline should be obtained. Subsequently, sulfuric acid was
added into the glass to identify the change of color in the sample. STARTEC could be operated easily, fast, and
safely to detect the residue of tetracycline in meat of broiler.

Keywords: antibiotic, meat, sulfuric acid, tetracycline

Pendahuluan tubuh konsumen (Lee et al., 2001). Sehingga, untuk


Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memastikan produk pangan aman untuk dikonsumsi,
menjaga kesehatan ayam broiler adalah dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN 2000) menetapkan
menggunakan feed additive seperti antibiotik dan batas maksimal residu (BMR) yang tercantum dalam
upaya ini telah marak digunakan, terutama pada pakan SNI 01-6366-2000 yang menetapkan bahwa batas
komersial. Hal ini terbukti pada data Ditjennak (2006) cemaran residu tetrasiklin pada produk hewan ternak
yang menyatakan bahwa kebutuhan antibiotika untuk ialah 100 ppb pada daging, 50 ppb pada telur, dan 50
pakan mengalami peningkatan dan penggunaan ppb pada susu (Goetting et al., 2011).
antibiotika dalam dunia peternakan berkisar 80% Inovasi kreatif yang ditawarkan untuk
digunakan untuk unggas. Antibiotik digunakan sebagai mendeteksi kandungan residu tetrasiklin yaitu dengan
pencegah infeksi penyakit dan pemacu pertumbuhan menggunakan STARTEC (Smart Tetracycline Residual
pada ayam broiler. Salah satu antibiotik yang banyak Kit Detection). Alat ini mengkombinasikan larutan
digunakan di Indonesia adalah golongan tetrasiklin acidium sulfuricum pada Kit detektor yang dapat
(Widiastuti et al., 2010). bereaksi dengan tetrasiklin sehingga menyebabkan
Penggunaan antibiotik apabila menyalahi aturan, timbulnya perubahan warna. Perubahan warna yang
akan menimbulkan dampak negatif, baik dampak pada terjadi sebagai indikator bahwa terdapat residu
ayam broiler maupun pada konsumen. Dampak dari titrasiklin pada karkas ayam broiler. Dengan
penggunaan antibiotik pada ayam yaitu akan mempertimbangkan kelebihan instrumen ini diharapkan
meninggalkan residu pada karkas ayam dan dapat STARTEC (Smart Tetracycline Residual Kit Detection)
menimbulkan masalah resistensi pada konsumen juga dapat digunakan oleh masyarakat awam secara
menimbulkan alergi, hipersensitivitas, dan toksik dalam mudah, praktis, dan cepat. Sehingga diharapkan dapat


Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 152
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.184

tercapainya keamanan pangan asal hewan yang dapat Hasil dan Pembahasan
menjamin kesejahteraan manusia. Proses pembuatan alat diawali dengan
merancang desain alat sesuai yang diinginkan,
Materi dan Metode kemudian melakukan proses pembelian bahan-bahan
Materi atau komponen penyusun alat. Proses pembuatan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian dilakukan pada bengkel khusus pembuatan alat
ini adalah tetrasiklin, asam sulfat pekat, EDTA, sampel berbahan dasar stanlessteel. Untuk hasil reaksi antara
ayam, aquadest. Peralatan yang digunakan selama tetrasiklin dengan asam sulfat pekat memberikan warna
penelitian adalah plat stanlessteel 304B, batang tuas, violet. Hal ini dikarenakan panjang gelombang senyawa
mortar, pegas, gelas kaca, spiut 5CC, kertas bufallo, tetrasiklin (390 nm) pada sinar UV-Vis berada pada
plastik packaging, tabung reaksi, gelas sampel, dan daerah panjang gelombang 400-420 nm. Namun pada
gunting. saat hasil reaksi ditambahkan dengan aquadest, warna
reaksi berubah menjadi warna kuning. Perubahan
Metode warna tersebut dikarenakan terjadinya pergeseran
Penelitian berlangsung selama periode Februari - panjang gelombang ke panjang gelombang yang lebih
Juni 2016. Penelitian meliputi proses pembuatan alat tinggi yaitu 440 nm. Panjang gelombang ini
STARTEC, pengujian reaksi antara tetrasiklin dengan memberikan warna kuning pada senyawa yang
asam sulfat, pengujian pada sampel ayam, pembuatan terbentuk. Senyawa yang terbentuk yaitu
trayek indikator, dan pembuatan buku petunjuk manual anhidrattetrasiklin (Mohammed, 2012). Berikut adalah
penggunaan alat. struktur senyawa tetrasiklin pada suasana asam yang
merujuk pada Gambar 1.
Proses Pembuatan STARTEC (Smart Tetracycine
Residual Kit Detection)
STARTEC terdiri atas 2 komponen, yaitu alat
STARTEC dan trayek indikator. Proses pembuatan
STARTEC diawali dengan perancangan alat dilakukan
pada bengkel yang telah bekerjasama dengan tim.
Komponen alat yang digunakan pada pembuatan
STARTEC adalah plat stanlessteel 304B, batang tuas,
mortar, pegas, gelas kaca, spiut 3CC, besi, dan akrilik. Gambar 1. Struktur Senyawa Anhidrattetrasiklin
Kemudian percobaan mereaksikan tetrasiklin dengan
asam sulfat dengan kadar tetrasiklin yang berbeda- Hasil dari reaksi tetrasiklin dengan asam sulfat
beda antara 10 – 110 ppm. Proses pereaksian pekat selanjutnya akan digunakan untuk pembuatan
dilakukan dengan cara menimbang tetrasiklin sebanyak trayek indikator. Trayek tersebut dapat digunakan untuk
2 mg kemudian direaksikan dengan asam sulfat 3 mL menentukan kadar tetrasiklin yang terdapat pada
dan dilarutkan dengan aquadest 200 mL untuk kadar 10 karkas ayam broiler. Kadar tetrasiklin pada karkas
ppm dan penimbangan tetrasiklin dilakukan secara ayam yang dapat terdeteksi dengan STARTEC yaitu
berkala dengan komposisi asam sulfat dan aquadest pada kadar 10, 30, 50, 70, 90, dan 110 ppm. Hasil
yang sama untuk kadar 30, 50, 70, 90, dan 110 ppm. trayek indikator dengan STARTEC dapat dilihat pada
Hasil yang diperoleh selanjutnya akan digunakan untuk Gambar 2. Untuk ambang batas tetrasiklin pada karkas
pembuatan trayek indikator. Pembuatan trayek ayam yaitu 0,1 ppm. Oleh karena itu, pembuatan trayek
dilakukan dengan mengambil foto hasil reaksi dengan indikator ini masih perlu proses optimasi agar dapat
kadar tetrasiklin yag berbeda kemudian diolah dengan mendeteksi kadar tetrasiklin hingga 0,1 ppm.
software. Pembuatan trayek indikator dengan kadar
tetrasiklin yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Setelah itu pembuatan buku panduan dilakukan untuk
petunjuk penggunaan alat. Uji terakhir yaitu pengujian
secara langsung terhadap sampel karkas ayam yang
telah dikondisikan dan tanpa dikondisikan tetrasiklin
untuk menyesuaikan hasil warna pada trayek indikator.

Tabel 1. Pembuatan Trayek Indikator dengan Kadar Tetrasiklin yang Berbeda


Kadar (ppm) Komposisi
Tetrasiklin (mg) Asam Sulfat (mL) Aquadest (L)
10 2 3 0,2
30 6 3 0,2
50 10 3 0,2
70 14 3 0,2
90 18 3 0,2
110 22 3 0,2


Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 153
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.184

Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini dibimbing oleh drh. Dyah Ayu
Oktavianie A.P., M. Biotech.

Daftar Pustaka
Ditjennak. 2006. Buku Statistik Peternakan.
Direktorat Produksi Peternakan, Deptan.
Goetting, V., K. A. Lee, dan L. A. Teel. 2011.
Pharmacokinetics of veterinary drugs in laying
hens and residues in egg: a review of literature.
Journal Veterinary Pharmacol Therapi 34(6):
521-56.
Lee, M.H., H.J. lee and P.D. Ryu. 2001. Public health
Gambar 2. Hasil Trayek Indikator dengan STARTEC risks. Chemical and antibiotic residues. Asian
Aust J. Anim. Sci. 14: 297-446.
Kesimpulan Mohammed, A, M. A. J. 2012. Stability study of
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, tetracycline drug in acidic and alkaline solutions
STARTEC dapat mendeteksi kadar tetrasiklin pada by colorimetric method. J. Chem. Pharm. Res 4
rentang kadar 10, 30, 50, 70, 90, dan 110 ppm. Hasil (2): 1319-1326.
warna yang diperoleh dari reaksi antara tetrasiklin dan Widiastuti, Raphaela, T.B. murdiati dan Y. Anastasia.
asam sulfat yaitu kuning. Semakin tua warrna kuning 2010. Residu Tetrasiklin pada Daging Ayam
yang dihasilkan menunjukkan semakin banyak kadar Pedaging dari Wilayah Jakarta, Depok, dan
tetrasiklin yang terdapat pada karkas ayam broiler. Bekasi yang Dideteksi Secara Kromatografi Cair
Senyawa yang dihasilkan pada reaksi ini yaitu Kinerja Tinggi. Seminar Nasional teknologi
anhidrattetrasiklin. Peternakan dan Veteriner. Balai Besar Penelitian
Veteriner:Bogor.


Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 146
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.219

Catatan Penelitian
Hardness dan Optical Properties dari Itik Asap dengan Variasi Penggunaan
Suhu Oven
1 1 2 3
Ahmad Ni’matullah Al-Baarri* , Bhakti Etza Setiani , Risa Fazriyati Siregar , Wulan Sumekar
1
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang
2
UPT Laboratorium Terpadu, Universitas Diponegoro, Semarang
3
Program Studi Agribisnis, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang
*Korespondensi dengan penulis (albari@undip.ac.id)
Artikel ini dikirim pada tanggal 15 September 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 10 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online
melalui www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hardness dan optical properties pada karkas itik yang diasap
dengan menggunakan oven pengasap. Oven pengasap adalah dibuat secara mandiri dan diatur suhunya agar
mencapai suhu 120 dan 160 ˚C. Bahan dasar oven ini adalah tempurung kelapa sebanyak 1,5 kg. Sebanyak
empat buah karkas itik dibagi menjadi empat bagian dan dilakukan marinasi sebelum dilakukan pengovenan. Lama
pengovenan adalah 20 menit untuk masing-masing suhu. Hardness diamati dengan menggunakan texture
analyzer dan optical properties berupa nilai L*a*b* diamati dengan menggunakan digital color meter. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hardness itik yang dioven dengan menggunakan suhu 160˚C lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dioven pada suhu 120˚C. Suhu 160˚C memberikan perbedaan nilai delta E sebesar
11,225. Kesimpulan dari penelitian ini adalah suhu 160˚C dapat memberikan hardness lebih keras dibandingkan
dengan suhu 120˚C dan memberikan efek lebih gelap. Hardness dan optical properties ini perlu disesuaikan
dengan daya terima konsumen, sehingga perlu dipelajari lagi lebih lanjut mengenai daya terima konsumen.

Kata kunci: itik, marinasi, oven, hardness, optical properties

Abstract
The aim of this research was to analyze the hardness and optical properties of smoked duck carcass using
the smoked oven. Smoked oven was handmade separately and set the temperature at 120°C and 160°C. The
basic material for smoked oven was coconut shell (1.5 kg). Four duck carcass was divided into four parts and
marination was done prior to 20 minutes of smoking in the oven. Hardness was measured using texture analyzer
and optical properties i.e. L * a * b * was measured using digital color meter. The results showed hardness smoked
duck carcass at 160°C higher than that of 120°C. The oven process at 160°C exhibited delta E value of 11.225. As
conclusion, smoking process at 160°C generated higher hardness and a darker effect than 120°C. Hardness and
optical properties need to be adjusted to consumer acceptance to fulfil consumer need.

Keywords: duck, marination, oven, hardness, optical properties

Pendahuluan bonggol jagung. Hingga saat ini produk itik asap masih
Itik dikenal sebagai ternak unggas air yang belum lazim dijumpai dan belum banyak penelitian
banyak ditemui di beberapa wilayah di Indonesia mengenai produk ini. Oleh karena itu, penelitian
seperti Tegal, Bali, dan Mojosari sehingga sebutan tentang itik asap masih sangat diperlukan.
untuk jenis itik akan berbeda – beda menyesuaikan Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
tempat. Dalam jangka waktu 5 tahun mulai dari dari kualitas itik yang diasap dengan menggunakan oven
tahun 2012, itik pedaging di Jawa Tengah mengalami berbahan dasar batok kelapa dengan menggunakan
peningkatan sebesar 3,22% (Direktorat Jendral sebuah oven yang dibuat mandiri oleh Tim Penelitian
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2016), namun dan Pengabdian Program Studi Teknologi Pangan,
kurang diikuti dengan peningkatan variasi pengolahaan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas
produk itik. Kurangnya variasi olahan yang berasal dari Diponegoro. Manfaat penelitian ini untuk mendapatkan
daging itik disebabkan sifat daging yang berbau amis informasi tentang kualitas yang baik pada itik asap
dan tekstur dagingnya yang keras. Selain itu, produk dengan menggunakan oven.
itik lain seperti telur, dinilai sulit dipasarkan sampai ke
pelosok nusantara. Materi dan Metode
Cara pengolahan daging dengan metode Materi
pengasapan dinilai dapat memberikan rasa yang unik Materi yang digunakan dalam penelitian ini
dan spesifik (Widiastuti et al., 2012). Disamping itu, adalah oven berbahan aluminium dengan ukuran tinggi
juga dapat memperpanjang masa simpan (Simanjuntak x panjang x lebar adalah 165 x 75 x 60 cm. Oven
et al., 2013), sehingga dapat digunakan untuk terbagi menjadi dua kompartemen, yaitu bagian bawah
kepentingan distribusi sampai ke pelosok daerah. yang digunakan untuk tempat arang dan bagian atas
Model pengasapan yang lazim digunakan adalah yang digunakan untuk meletakkan daging dengan
dengan berbahan dasar kayu, tempurung kelapa, atau bantuan 5 buah rak yang tersusun vertikal. Dua
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 147
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.219

kompartemen tersebut dihubungkan dengan sebuah Hasil dan Pembahasan


pipa untuk menyalurkan panas yang dihasilkan dari Nilai Tekstur
kompartemen bagian bawah. Proses penyaluran panas Berdasarkan Tabel 1 dapat digambarkan bahwa
dibantu dengan menggunakan blower dengan kekuatan pengovenan pada suhu 160˚C akan mencapai nilai
¼ PK. Gambar oven terdapat pada Gambar 1. hardness atau kekerasan daging yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pengovenan 120˚C. Semakin
Persiapan Daging tinggi temperatur yang diterapkan untuk memanaskan
Karkas itik tegal yang diperoleh dari pasar daging, berakibat pada semakin tingginya hardness
modern di sekitar kampus Universitas Diponegoro. pada daging (Bailey dan Light, 1989). Namun
Persiapan ini dilakukan berdasarkan petunjuk dari peningkatan hardness ini tidak selamanya terjadi
penelitian sebelumnya (Suradi et al., 2011). Setelah seiring dengan peningkatan suhu yang diterapkan
karkas diperoleh, maka langsung dibawa ke untuk memanaskan daging. Wang et al. (2013)
laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Program Studi menjelaskan bahwa telah terjadi penurunan nilai
Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, hardness pada daging ketika dipanaskan mulai dari
Universitas Diponegoro. Satu ekor karkas itik (berat suhu 50˚C sampai 70˚C. Hal ini dianggap sebagai hal
1,15±0,23, n=4) dibagi menjadi 4 bagian yang terdiri yang lazim pada daging yang dipanaskan dan telah
dari 2 bagian sayap dan 2 bagian paha. Karkas yang banyak dibuktikan oleh para peneliti, selain terjadi
telah dipotong, kemudian dimarinasi dengan berbagai peningkatan hardness, juga ada kalanya terdapat
macam bumbu dapur yang terdiri dari bawang merah, penurunan hardness pada suhu tertentu (Wang et al.,
bawang putih, ketumbar, gula, dan kecap selama 8 jam 2013). Fenomena ini dimungkinkan karena terjadi
dalam suhu ruang. dehydration rate yang bervariasi seiring dengan
peningkatan suhu.
Persiapan Oven
Oven pengasap diletakkan di ruangan terbuka Tabel 1. Hardness Karkas Itik Asap dengan Menggunakan
untuk memperlancar proses pengapian. Tempurung Suhu Pengovenan Sebesar 120 dan 160˚C
kelapa seberat 1,5 kg dimasukkan ke dalam Suhu (˚C)
Parameter
120 160
kompartemen bawah lalu dibakar untuk menghasilkan
Hardness (N) 3,80±0,33 3,57±0,54
bara api. Setelah bara api terbentuk, maka Keterangan: data adalah rata-rata ± standar deviasi dari 16 kali
kompartemen ditutup dan tombol blower dihidupkan. ulangan
Ventilasi udara diatur agar bara api menyala
semaksimal mungkin. Katup inlet pada kabinet Ledesma et al. (2016) menyatakan bahwa lama
pengasap dibuka 1/3 dan katup outlet dibuka ¼. proses pengasapan dapat meningkatkan nilai hardness
walaupun dilakukan pada suhu rendah, yaitu 17˚C.
Proses Pengasapan Pengasapan selama 7 hari dapat meningkatkan
Penelitian ini menggunakan dua macam suhu: kekerasan hampir 4 kali lipatnya, yaitu dari 2,5 N
120 dan 160°C. Suhu dapat dimonitor dengan baik menjadi 9,8 N. Ledesma et al., 2016 juga menyatakan
melalui alat ukur yang berada di pintu oven. Lama bahwa nilai hardness yang optimal, sangat
pengovenan dilakukan masing-masing selama 20 mempengaruhi tingkat kesukaan pada produk akhir,
menit. Potongan karkas dimasukkan ke dalam oven sehingga perlu diatur agar nilainya dapat optimum.
pada saat pertama kali dilakukan persiapan bara api. Yusnaini et al. (2015) telah melakukan penelitian
pengovenan daging dengan menggunakan oven listrik
dan gas dan berdasarkan hasil penelitian tersebut
bahwa pemasakan daging dengan menggunakan oven
listrik menyebabkan nilai hardness yang lebih tinggi,
yaitu sebesar 3,55 N dibandingkan dengan pemanasan
dengan menggunakan oven gas, yaitu sebesar 3,15 N.

Tabel 2. Optical properties pada komponen karkas itik setelah


dipanaskan dengan menggunakan oven pada suhu 120 dan
160˚C
Suhu (˚C)
Parameter
120 160
L* 46,80±3,50 35,69±2,94
a* 5,13±1,22 6,15±1,33
b* 21,76±4,29 19,73±3,06
Keterangan: data adalah nilai rata-rata ± standar deviasi yang
diperoleh dari 16 kali ulangan.

Tabel 2 menggambarkan tingkat keputihan (nilai


L*), tingkat kemerahan (nilai a*) dan tingkat kekuningan
Gambar 1. Desain Oven Pengasap untuk Menghasilkan Itik
(nilai b*) pada karkas itik yang dipanaskan dengan
Asap oven pada suhu 120 dan 160˚C. Berdasarkan hasil
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 148
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.219

yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa nilai L* Dai, Y., J. Miao, S.Z. Yuan, Y. Liu, X.M. Li, R.T. Dai.
dan b* semakin menurun seiring dengan semakin 2013. Colour and sarcoplasmic protein
tingginya suhu oven, yaitu masing-masing menurun evaluation of pork following water bath and ohmic
dari 46 menjadi 35 untuk nilai L* dan dari 21 menjadi 19 cooking. Meat Science, 93(4) 898–905.
untuk nilai b*, sedangkan nilai a* terdeteksi meningkat Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
dari 5 ke 6. Berdasarkan nilai optical properties 2016. Populasi Itik Menurut Provinsi 2012-2016.
tersebut, maka dapat diketahui nilai delta E sebesar http://www.pertanian.go.id/NAK-
11,225. 2016fix/Pop_Itik_Prop_2016.pdf. Diakses pada
Perubahan nilai L*, b*, serta delta E oleh karena tanggal 11 Januari 2017.
proses termal dapat disebabkan karena adanya Khan, M.A., S. Ali; M. Abid, H. Ahmad. L. Zhang, R.K.
aktivitas presipitasi dari komponen protein miofibrilar Tume, G. Zhou. 2014. Enhanced texture, yield
dan protein sarkoplasmik (Dai et al., 2013). Perubahan and safety of a ready-to-eat salted duck meat
nilai a* dapat dikaitkan dengan proses denaturasi product using a high pressure-heat process.
myoglobin (Cheah dan Ledward, 1997). Khan et al., Innovative Food Science and Emerging
(2014) menyatakan bahwa lamanya pemanasan sangat Technologies 21:50–57
berpengaruh terhadap delta E. Perlakuan kombinasi Ledesma, Estefanía, A. Laca, M. Rendueles, M. Díaz.
antara tekanan dan pemanasan dapat mempertinggi 2016. Texture, colour and optical characteristics
nilai delta E. Hasil penelitian ini mengindikasikan nilai of a meat product depending on smoking time
delta E yang lebih kecil dari pada hasil yang penelitian and casing type. LWT - Food Science and
Khan et al., 2014 yang menghasilkan nilai delta E Technology 65:164–172.
sebesar 55,57–61,29. Hal ini dapat dipastikan adanya Simanjuntak, O. Estrada, S. Wasito, K. Widayaka.
perbedaan suhu dan lama waktu pengovenan. 2013. Pengaruh lama pengasapan telur asin
dengan menggunakan serabut kelapa terhadap
Kesimpulan kadar air dan jumlah bakteri telur asin asap.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (1): 195 -200.
maka peningkatan suhu dari 120˚C ke 160˚C terdeteksi Suradi, Kusmajadi, L. Suryaningsih, B. Bararah. 2011.
dapat meningkatkan kekerasan tapi menurunkan Keempukan dan akseptabilitas daging ayam
tingkat kecerahan menjadi arah gelap. Hardness dan broiler asap pada berbagai temperatur dan lama
optical properties ini perlu disesuaikan dengan daya pengasapan. Jurnal Ilmu Ternak. 11 (1); 53-56.
terima konsumen, sehingga perlu dipelajari lagi lebih Wang, D, H. Dong, M. Zhang, F. Liu, H. Bian, Y. Zhu,
lanjut mengenai daya terima konsumen. W. Xu. 2013. Changes in actomyosin
dissociation and endogenous enzyme activities
Ucapan Terimakasih during heating and their relationship with duck
Ucapan terimakasih disampaikan kepada meat tenderness. Food Chemistry 141:675–679
Kemenristekdikti sehingga penelitian ini dapat Widyastuti, S., S. Saloko, Murad, Rosmilawati. 2012.
terlaksana dengan baik melalui skema IbM dari DRPM Optimasi Proses Pembuatan Asap Cair dari
Ristekdikti. Tempurung Kelapa sebagai Pengawet Makanan
dan Prospek Ekonomisnya. Agroteksos Vol. 22
Daftar Pustaka (1): 48–58
Bailey, A. J., N. D. Light. 1989. Connective tissue in Yusnaini, Soeparno, E. Suryanto, R. Armunanto. 2015.
meat and meat products. London: Elsevier The Effect of Heating Process using Electric and
Applied Science. Gas Ovens on Chemical and Physical Properties
Cheah, P., D. Ledward. 1997. Inhibition of of Cooked Smoked-Meat. Procedia Food
metmyoglobin formation in fresh beef by Science 3:19–26.
pressure treatment. Meat Science 45(3) 411–
418.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 154
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

Catatan Penelitian
Total Bakteri Asam Laktat, Kadar Asam Laktat, dan Warna Yogurt Drink
dengan Penambahan Ekstrak Bit (Beta Vulgaris L.)
Total Lactic Acid Bacteria, Lactic Acid Levels, and Color Yogurt Drink with Adding Extract Bit (Beta
Vulgaris L.)
Fransisca Pramiarti Pasca, Nurwantoro, dan Yoyok Budi Pramono
Program Studi Teknologi Pangan, Jurusan Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro Semarang
Korespondensi dengan penulis (fransisca_pasca@rocketmail.com)
Artikel ini dikirim pada tanggal 12 Mei 2016 dan dinyatakan diterima tanggal 1 November 2016. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.jatp.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists® ©2016

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jumlah total bakteri asam laktat (BAL), kadar asam laktat, dan
warna pada yogurt drink dengan adanya penambahan ekstrak bit. Bahan yang digunakan berupa bit dan susu
9
skim. Metode yang dilakukan yaitu pembuatan ekstrak bit; pembuatan starter kerja dengan kepadatan 2,5 x 10
CFU/ml; dan fermentasi yogurt dengan penambahan ekstrak bit diinkubasi selama 6 jam. Hasil penelitian
menunjukkan penambahan esktrak bit berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total BAL, kadar asam laktat, dan
9 8
warna. Hasil total BAL 2,3x10 -1,7x10 CFU/ml; kadar asam laktat 0,97-0,52%; dan terjadi peningkatan warna
ungu menjadi semakin pekat. Penambahan ekstrak bit terbaik pada 4%.

Kata kunci : yogurt drink, total BAL, kadar asam laktat, warna

Abstract
The purpose of this research was to determine the amount of total LAB, lactic acid levels, and color of the
yogurt drink with the addition of beet extract. Materials used in the form of beet and skim milk. Methods
9
undertaken, the manufacture of beet extract; the manufacture of work starter on 2.5 x 10 CFU/ml; and addition of
yogurt fermented beet extracts are incubated for 6 hours. The results show the addition of the extract beet effected
9 8
in (P < 0.05) against total LAB, lactic acid levels, and color. Result of total LAB is 2,3x10 -1,7x10 CFU/ml; lactic
acid levels are 0,97-0,52%; and an additon in the color purple become increasingly concentrated. The addition of
the best extract beet happens on 4%.

Keywords: yogurt drink, total of LAB, lactic acid levels, color

Pendahuluan untuk menambahkan ekstrak bit pada pembuatan


Saat ini masyarakat semakin peduli akan yogurt, sehingga yogurt yang dihasilkan memiliki rasa
kesehatan. Salah satu upaya untuk menjaga kesehatan manis dan warna yang menarik sehingga meningkatkan
adalah pengonsumsian minuman probiotik yaitu yogurt. nilai kesukaannya.
Yogurt merupakan produk koagulasi susu yang Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
dihasilkan melalui proses fermentasi oleh bakteri asam jumlah total BAL, kadar asam laktat, dan organoleptik
laktat dengan penambahan bahan lain yang diizinkan. warna. pada yogurt drink dengan adanya penambahan
Yogurt memiliki banyak jenis yang dikenal dipasaran ekstrak bit. Penelitian ini diharapkan memberikan
namun harus sesuai dengan standar yang ditetapkan. informasi mengenai penambahan ekstrak bit terhadap
Salah satu jenis yogurt dipasaran adalah yogurt karakteristik total BAL, kadar asam laktat, organoleptik
drink.Yogurt drink memiliki kekentalan yang rendah warna pada yogurt drink.
karena kandungan padatannya yang lebih rendah
dibandingkan dengan jenis yogurt lainnya sehingga Materi dan Metode
memudahkan konsumen untuk meminumnya. Yogurt Materi
memiliki berbagai manfaat yaitu bagi penderita lactose Bahan yang digunakan dalam pembuatan yogurt
intolerance, menjaga kesehatan lambung, mencegah drink dengan penambahan ekstrak bit yaitu bit (Beta
kanker saluran cerna (Ginting dan Pasaribu, 2005). vulgaris L.), air, susu skim cair, bakteri asam laktat
Berbagai inovasi terus dikembangkan untuk (BAL) yaitu Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus
meningkatkan nilai kesukaan yogurt yang dihasilkan. acidophillus, dan Streptococcus thermophillus, Nutrient
Salah satunya dengan penambahan ekstrak bit. Agar (NA), alkohol, phenolpthalein (PP) 1%, NaOH 0,1
Bit merupakan umbi-umbian yang mengandung N, aquadest. Alat yang digunakan dalam pembuatan
pemanis alami berupa sukrosa. Sukrosa memberikan yogurt drink dengan penambahan ekstrak bit yaitu
rasa manis sehingga mempengaruhi penerimaan pisau, juicer, gelas ukur, erlenmeyer, inkubator,
masyarakat terhadap yogurt. Umbi bit kaya akan refrigerator, botol kaca 500 ml, panci, kompor,
pigmen betalain yang menghasilkan warna keunguan. termometer, mikro pipet, microtube, microtip, cawan
Rata-rata bit mengandung betalain sebesar 380 mg/100 petri, cup kecil, dan kuesioner organoleptik.
g bobot basah (Attia et al.,2013). Hal ini memungkinkan
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 155
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

Metode Whitney U. Semua data diolah dengan bantuan


Penelitian dilakukan pada bulan September – computer program SPSS 16.0 for windows.
Oktober 2015. Penelitian dirancang dengan Rancangan
Acak Lengkap yang terdiri dari 5 taraf perlakuan yaitu Hasil dan Pembahasan
tanpa penambahan ekstrak bit (T0), penambahan Total BAL
ekstrak bit 1% (T1), penambahan ekstrak bit 2% (T2), Rata-rata nilai total BAL yogurt drink dengan
penambahan ekstrak bit 3% (T3), dan penambahan penambahan ekstrak bit disajikan pada Tabel. 1.
ekstrak bit 4% (T4). Penambahan ekstrak bit sebelum Analisis total BAL menunjukkan bahwa penambahan
proses pasteurisasi dan setiap perlakuan diulang ekstrak bit berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai
sebanyak 4 kali. total BAL yogurt. Nilai tertinggi total BAL pada
9
Penelitian terdiri dari beberapa langkah yaitu presentase 0% yaitu 2,3x10 ±0,06 dan terendah pada
8
pembuatan ekstrak bit, pembuatan starter kerja, presentase 4% yaitu 1,7x10 ±0,02. Secara umum,
fermentasi yogurt drink dengan penambahan ekstrak semakint tinggi konsentrasi bit yang ditambahkan
bit, dan pengujian variable yang meliputi jumlah total semakin menurunkan populasi BAL. Terjadi penurunan
bakteri asam laktat (BAL), kadar asam laktat, dan sifat nilai BAL setiap penambahan ekstrak bit. Penurunan ini
organoleptik warna. Pembuatan ekstrak bit dengan cara terjadi karena diduga BAL lebih mudah mencerna
umbi bit diambil ekstraknya dengan menggunakan laktosa, yang merupakan habitat asli dari BAL yaitu
juicer. Starter kerja yang digunakan, dipersiapkan susu.
dengan menginokulasikan 5% mother starter pada 37 Pada prinsipnya, proses fermentasi menguraikan
°C selama 6 jam hingga diperoleh F3 atau yang disebut laktosa menjadi asam laktat dan berbagai komponen
dengan starter kerja (Hariyanti et al., 2013). Sedangkan aroma dan citarasa. Laktosa dimanfaatkan oleh BAL
mekanisme pembuatan yogurt drink dengan selama proses fermentasi dan diubah menjadi asam
penambahan ekstrak bit yaitu susu skim sebanyak 10 laktat. Streptococcus memecah laktosa susu menjadi
liter dibagi menjadi 20 unit masing-masing 500 ml; lalu glukosa dan galaktosa (monosakarida) kemudian
ditambah dengan ekstrak bit sebanyak 0%, 1%, 2%, Lactobacillus memetabolisme monosakarida menjadi
3%, dan 4% dari volume susu skim (sesuai perlakuan) asam laktat (Prayitno, 2006). Selain itu, diduga
dan dipasteurisasi pada suhu 80 °C selama 15 detik peningkatan jumlah persentase ekstrak bit dalam susu
kemudian diturunkan suhunya hingga 43 °C pada suhu menyebabkan persentase laktosa menurun dan
ruang; susu pasteurisasi tersebut diinokulasi dengan kandungan sukrosa bit tidak dapat dimanfaatkan oleh
starter BAL sebanyak 5% v/v dengan kepadatan 2,5 x BAL. Akibatnya substrat yang digunakan oleh BAL
9
10 CFU/ml; kemudian diinkubasi dengan suhu 37 °C dalam proses fermentasi semakin rendah. Walaupun
selama 6 jam. Yogurt yang telah jadi disimpan pada mengalami penurunan, namun rata-rata nilai total BAL
suhu 4 °C (Legowo et al., 2009 dengan modifikasi). pada yogurt dengan penambahan ekstrak bit sesuai
Yogurt drink yang telah siap, diuji dilakukan pengujian dengan standar total bakteri BSN (SNI 01-2981-2009)
7
total BAL dengan cara total plate count (Jannah et al., yaitu 10 CFU/ml.
2014), pengujian kadar asam laktat dengan cara titrasi
(Nawangsari et al., (2012), organoleptik warna Kadar Asam Laktat
menggunakan panelis (Jannah et al., 2014). Rata-rata nilai kadar asam laktat yogurt drink
dengan penambahan ekstrak bit disajikan pada Tabel.
Analisis Data 1. Analisis terhadap nilai kadar asam laktat
Data yang diperoleh dari pengukuran total BAL, menunjukkan bahwa penambahan ekstrak bit
kadar asam laktat, dan kadar protein dianalisis dengan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar asam
analisis diskriptif dengan Analysis of Varians (ANOVA) laktat yogurt. Kadar asam yogurt drink dengan
pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan perlakuan penambahan ektrak bit yang didapatkan sesuai dengan
penambahan ekstrak bit terhadap total bakteri, dan standar BSN (SNI 01-2981-2009) yaitu 0,5%-0,2%.
kadar asam laktat. Apabila terdapat pengaruh maka Semakin tinggi konsentrasi bit yang ditambahkan maka
dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Duncan’s Multi terjadi penurunan kadar asam laktat pada yogurt drink.
Range Test). Uji Duncan ini digunakan untuk Adanya pengaruh penurunan kadar asam laktat pada
mengetahui jenis perlakuan konsentrasi starter yang penambahan ekstrak bit diduga karena penambahan
menunjukkan perbedaan secara nyata. Sedangkan ekstrak bit meningkatkan volume yogurt sehingga
untuk pengolahan data uji warna menggunakan uji non berakibat menurunkan presentase laktosanya sehingga
parametrik yaitu Kruskal Wallis. Apabila terdapat produksi asam laktat menurun karena
pengaruh maka dilanjutkan dengan uji lanjut Mann- ketidakmampuan BAL untuk menggunakan sukrosa bit

Tabel 1. Rata-rata Nilai Total BAL, Kadar Asam Laktat, dan warna Yogurt Drink dengan Penambahan Ekstrak Bit (n=4)
Perlakuan
Variabel
T0 T1 T2 T3 T4
9e 9d 8c 8b 8a
Total BAL (CFU/ml) 2,3x10 ±0,06 1,8x10 ±0,09 2,9x10 ±0,02 2,8x10 ±0,01 1,7x10 ±0,02
e d c b a
Kadar asam laktat (%) 0,97 ±0,02 0,93 ±0,02 0,83 ±0,02 0,71 ±0,03 0,52 ±0,03
a b c d e
Warna (skor) 2,84 ±0,37 3,24 ±0,44 3,52 ±0,51 4,00 ±0,00 4,60 ±0,50
Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5 (4) 2016 156
©Indonesian Food Technologists https://doi.org/10.17728/jatp.183

dan hanya mampu memanfaatkan laktosa (gula susu). Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2009. SNI 01-
Semakin sedikit jumlah dan semakin rendah 2981-2009. Syarat Mutu Yogurt. Standar
kemampuan BAL memproduksi asam laktat, maka Nasional Indonesia, Jakarta.
semakin rendah keasaman yang terbentuk maka Gad, A.S., A.M. Kholif and A.F. Sayed. 2010.
semakin tinggi nilai pH yang dihasilkan. Aktifitas BAL Evaluation of the nutritional value of functional
mempengaruhi tingkat keasaman yogurt karena yogurt resulting from combination of date palm
produksi metabolit berupa asam laktat (Gad et al., syrup and skim milk. J. Food Technol. 5: 250-
2010). 259.
Garci, F.A., C.R. Reynoso, and E. Gonza. 1998.
Sifat Organoleptik Warna Estabilidad de las betalai’nas extrai’das del
Rata-rata nilai sifat organoleptik warna yogurt garambullo (Myrtillocactus geometrizans). J.
drink dengan penambahan ekstrak bit disajikan pada Food Sci. and Technol. International. 4 :115-
Tabel. 1. Analisis statistik terhadap nilai warna 120.
menunjukkan bahwa penambahan ekstrak bit Ginting, N., dan E. Pasaribu. 2005. Pengaruh
berpengaruh nyata terhadap nilai warna (P<0,05). temperatur dalam pembuatan yogurt dari
Semakin meningkatnya presentase bit maka semakin berbagai jenis susu dengan menggunakan
pekat warna ungu yogurt yang dihasilkan. Bit kaya akan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
pigmen betalain yang menghasilkan warna merah violet thermophilus. J. Agribisnis Peternakan. 1 (2):
cenderung ungu. Rata-rata bit mengandung betalain 73-77.
sebesar 380 mg/100 g bobot basah (Attia et al., 2013). Hariyanti, M. D., Y. B. Pramono, dan S. Mulyani. 2013.
Kelemahan dari pewarna alami adalah ketidakstabilan Total asam, viskositas, dan kesukaan pada
warna saat mengalami pemanasan. Betalain yogurt drink dengan sari buah mangga
merupakan pewarna alami yang akan mengalami (Mangifera indica) sebagai perisa alami. J.
degradasi apabila dilakukan pemanasan dengan suhu Aplikasi Teknologi Pangan. 2 (2): 104-107.
0
diatas 40 C. Suhu dianggap faktor yang paling pada Jannah, A. M., A. M. Legowo, Y. B. Pramono, A. N. Al-
stabilitas betalain selama pemrosesan dan Baarri, dan S. B. M. Abduh. 2014. Total bakteri
penyimpanan (Garci et al.,1998) asam laktat, pH, keasaman, citarasa, dan
Berdasarkan semua parameter uji, kadar bit kesukaan yogurt drink dengan penambahan
terbaik adalah 4% karena rasa yang dihasilkan tidak ekstrak buah belimbing. J. Aplikasi Teknologi
terlalu asam dan warna yang dihasilkan semakin ungu. Pangan. 3 (2): 7-11.
Menurut penelitian Nurhossain et al. (2012) yogurt Legowo, A. M., Kusrahayu dan S. Mulyani. 2009. Ilmu
dengan penambahan jus buah lebih diterima baik dari dan Teknologi Susu. Badan Penerbit
segi kualitas maupun organoleptiknya. Universitas Diponegoro, Semarang.
Nawangsari, D. N., A. M. Legowo, dan S. Mulyani.
Kesimpulan 2012. Kadar Laktosa, Keasaman, dan total
Penambahan ekstrak bit paling optimal adalah bahan padat pada whey fermentasi dengan
pada presentase 4%. Hal ini karena pada penambahan penambahan jus kacang hijau. J. Aplikasi
ekstrak bit sebanyak 4%, nilai total BAL paling rendah, Teknologi Pangan. 1 (1): 12-14.
nilai kadar asam laktat paling rendah, dan warna ungu Nurhossain, M., M. Fakruddin, and M. N. Islam. 2012.
yogurt drink paling ungu. Development of fruit dahi (yogurt) fortified with
strawberry, orange, and grapes juice. American
Daftar Pustaka J. Food Tech. 7 (9): 562-570.
Attia, Y. Gamalia., M. E. M. Moussa and E. R. Prayitno. 2006. Kadar asam laktat dan laktosa yogurt
Sheashea. 2013. Characterization of red hasil fermentasi menggunakan berbahgai rasio
pigmen extracted from red beet (Beta vulgaris jumlah sel bakteri dan presentase starter. J.
L) and its potential uses as antioxidant and Animal Production. 8 (2):131-136.
natural food colorants. J. Agri. Res. 91 (3):
1095-1110.

Anda mungkin juga menyukai