Anda di halaman 1dari 12

Allah Menurunkan Penyakit dan 

Obatnya
Okt28

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Oleh : Ustadz Abu Adib

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya, dari shahabat Abu Hurairah 
bahwasanya Nabi  bersabda,

‫َما َأ ْن َز َل هللاُ دَا ًء ِإاَّل َأ ْن َز َل لَهُ َشفَا ًء‬

“Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”

Dari riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah  dia berkata bahwa Nabi  bersabda,

‫ بَ َرَأ بِِإ ْذ ِن هللاِ َع َّز َو َج َّل‬،‫اب ال َّد َوا ُء ال َّدا َء‬


َ ‫ص‬َ ‫ فَِإ َذا َأ‬،‫لِ ُك ِّل دَا ٍء د ََوا ٌء‬

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia
akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan pula dari musnad Imam Ahmad dari shahabat Usamah bin Suraik , bahwasanya
Nabi  bersabda,

َ ‫ تَد‬،ِ‫ نَ َع ْم يَا ِعبَا َد هللا‬:‫ َأنَتَدَا َوى؟ فَقَا َل‬،ِ‫ يَا َرسُوْ َل هللا‬:‫ فَقَا َل‬، ُ‫ت اَْأل ْع َراب‬
َ‫ فَِإ َّن هللا‬،‫َاووْ ا‬ ِ ‫ َو َجا َء‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ت ِع ْن َد النَّبِ ِّي‬
ُ ‫ُك ْن‬
ْ
‫ الهَ َر ُم‬:‫ال‬ ُ
َ َ‫ َما هُ َو؟ ق‬:‫ قَالوا‬.‫ض َع لَهُ ِشفَا ًء َغ ْي َر دَا ٍء َوا ِح ٍد‬ َ ‫ض ْع دَا ًء ِإالَّ َو‬
َ َ‫َع َّز َو َج َّل لَ ْم ي‬

“Aku pernah berada di samping Rasulullah b. Lalu datanglah serombongan Arab dusun.
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya,
wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah I tidaklah meletakkan sebuah penyakit
melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit
apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan
shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-
Jami’ Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486)

ari Ibnu Mas’ud , bahwa Rasulullah  bersabda:


ُ‫ َعلِ َمهُ َم ْن َعلِ َمهُ َو َج ِهلَهُ َم ْن َج ِهلَه‬،‫ِإ َّن هللاَ لَ ْم يَ ْن ِزلْ دَا ًء ِإالَّ َأ ْن َز َل لَهُ ِشفَا ًء‬

“Sesungguhnya Allah I tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula


obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh
orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau
menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini
dalam Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)

Para pembaca yang mulia, hadits-hadits di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa
semua penyakit yang menimpa manusia maka Allah  turunkan obatnya. Kadang ada orang
yang menemukan obatnya, ada juga orang yang belum bisa menemukannya. Oleh karenanya
seseorang harus bersabar untuk selalu berobat dan terus berusaha untuk mencari obat ketika
sakit sedang menimpanya.

Namun sangat disayangkan, di masa sekarang terkadang seorang terjatuh pada kesalahan
dalam mencari obat. Itu semua disebabkan karena lemahnya kesabaran dan kurangnya ilmu
pengetahuan, baik ilmu tentang agamanya maupun ilmu tentang pengobatan. Mereka berobat
dengan cara yang berseberangan dengan syari’at bahkan terjatuh dalam pelanggaran syari’at.
Bahkan ada pula yang sampai pada cara-cara kesyirikan dan kekufuran, yang mereka
istilahkan dengan “Pengobatan Alternatif.”

Dalam beberapa penanganan pasien, sang “dokter alternatif” kadang membacakan bacaan-
bacaan tertentu atau mantra-mantra tertentu yang semua mantra dan bacaan itu tidak dikenal
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (petunjuk Rasulullah). Mereka juga melakukan gerakan-
gerakan tertentu atau mungkin dengan syarat-syarat tertentu yang harus disiapkan sebelum
pengobatan.

Terkadang pula kaum muslimin dalam berobat datang kepada orang pinter (paranormal).
Sebagian dari mereka tidak menamai diri mereka “dukun” atau “tukang santet”, tapi mereka
menamakan diri mereka dengan sebutan “kiyai”. Atribut keislaman yang mereka (kiyai)
sandang menjadikan sebab tertipunya kaum muslimin. Seperti jubah putih nan panjang,
tasbih yang dikalungkan di lehernya, atau dengan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka
baca atau yang lainnya menjadikan kaum muslimin tertipu. Kaum muslimin mengira mereka
sebagai orang yang pinter, shaleh dan sakti mandraguna, sehingga langsung
mempercayainya. Padahal Nabi kita yang mulia bersabda,

ً‫صاَل ةٌ َأرْ بَ ِع ْينَ لَ ْيلَة‬


َ ُ‫َم ْن َأتَي َعرَّافًا فَ َسَألَهُ ع َْن َش ْي ٍء لَ ْم تُ ْقبَلْ لَه‬

“Barang siapa yang mendatangi seorang dukun kemudian dia bertanya tentang sesuatu (dia
mempercayainya) maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari.”

Ini adalah peringatan sekaligus ancaman dari Rasulullah  tentang besarnya dosa perbuatan
tersebut.

Seorang muslim harus selalu berbaik sangka kepada Allah  dan selalu menyadari bahwa
Allah  akan memberikan pahala dan ampunan dari dosa dan kesalahannya manakala dia sabar
ketika musibah itu menimpa padanya dan harus selalu ingat sabda nabinya yang mulia,
dimana Nabi  pernah bersabda,

ُ‫ب َواَل هَ ٍّم َواَل َح َز ٍن َواَل َأ َذى َواَل َغ ٍّم َحتَّى ال َّشوْ َكةَ يُ َشا ِكهَا ِإاَّل َكفَ َر هللاُ بِهَا ِم ْن خَ طَايَاه‬
ٍ ‫ص‬ ٍ ْ‫ْب ْال ُم ْسلِ ُم ِم ْن نَص‬
َ ‫ب َواَل َو‬ َ ‫صي‬
ِ ُ‫َما ي‬
“Tidaklah menimpa seorang muslim satu kelelahan, kesakitan, kesusahan, kesedihan,
gangguan dan gundah gulana sampai terkena duri, maka itu semua menjadi penghapus dari
dosa dan kesalahannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain Nabi  juga bersabda,

ُ‫ُصبْ ِم ْنه‬
ِ ‫َم ْن ي ُِر ِد هللاُ خَ ْيرًا ي‬

“Barang siapa yang Allah   kehendaki kebaikan maka Allah akan menimpakan ujian musibah
kepadanya.”

Maka sikap yang paling tepat bagi seorang mukmin ketika diuji dengan suatu penyakit adalah
bersabar menjalani sakitnya dan terus berusaha untuk mencari obatnya. Tentu saja dengan
pengobatan-pengobatan yang sesuai dengan syari’at.

Para pembaca yang mulia… Lantas, bagaimana pengobatan yang syar’i itu? Alhamdulillah,
Allah  dan Rasul-Nya b telah mengajarkan kepada kita, diantaranya:

A.        RUQYATUL QUR’AN (Dibacakan Ayat-ayat Al-Qur’an).

Hal ini berdasarkan firman Allah ,

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian.” (QS. Al-Isra’ : 82)

Dijelaskan oleh para ulama bahwa obat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah obat
lahiriyah dan batiniah.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)

Al-Qur’an bisa menjadi obat lahiriyah dengan dibacakan kepada orang yang sakit jasadnya.
Adapun Al-Qur’an menjadi obat batiniyah yaitu dengan seorang mempelajarinya,
merenungkan makna-makna yang terkandung di dalamnya dan mengamalkan dengan penih
keyakinan menjadikan jiwanya tenang.

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim -rahimahullahu- dalam kitabnya Zadul Ma’ad, berkata,

“Al-Qur`an adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani,
demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan
taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat
dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan
yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit
apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit
tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi, yang seandainya
diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi,
maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun
jasmani, melainkan dalam Al-Qur`an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab
(kesembuhan) nya.” (Zadul Ma’ad, 4/287)

Pembaca yang budiman, agar lebih meyakinkan kita akan perjelas pernyataan di atas, berikut
ini kami sebutkan 3 riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan Al-Qur`an.

1.         Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya dari hadits ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha. Beliau radhiallahu ‘anha berkata,

“Adalah Rasulullah  terkena sihir, sehingga beliau menyangka bahwa beliau mendatangi
istrinya padahal tidak mendatanginya. Lalu beliau berkata, ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu
bahwa Allah   telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku.
Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku. Yang di
sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’ Dijawab: ‘Terkena sihir.’
Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’  Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari
Banu Zuraiq sekutu Yahudi, ia seorang munafiq.’ (Yang satu) bertanya: ‘Dengan apa?’
Dijawab: ‘Dengan sisir, rontokan rambut.’ (Yang satu) bertanya: ‘Di mana?’ Dijawab:
‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”

‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- lalu berkata: “Nabi lalu mendatangi sumur tersebut hingga
beliau mengeluarkannya”. Beliau lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan
seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti kepala-kepala
setan’. Lalu dikeluarkan. Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya (dari
mayang korma jantan tersebut, pen.)?’ Beliau menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah
menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.” Hadits
ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya dalam kitab At-Thib, bab Hal
Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, dan diriwayatkan Imam Al-Lalaka`i dalam Syarah
Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272). Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah
radhiyallahu’anha berkata: “Dan turunlah (firman Allah ):

ِ َ‫…قُلْ َأ ُعوْ ُذ بِ َربِّ ْالفَل‬


َ َ‫ ِم ْن َشرِّ َما خَ ل‬.‫ق‬
‫ق‬

Hingga selesai bacaan surah tersebut.”

2.         Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri , beliau berkata,

“Sekelompok shahabat Nabi  berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh.
Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai
tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka. Selang beberapa waktu
kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan kalajengking. Penduduk kampung
tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikitpun tak
membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi
sekelompok orang itu (yaitu para shahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki
sesuatu.’ Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya
pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak
membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu?” Sebagian
shahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah
meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan
meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada kami.’ Mereka pun setuju
untuk memberi upah beberapa ekor kambing. Maka dia (salah seorang shahabat) pun
meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin…”
(Al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan
tanpa ada gangguan lagi. Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati.
Sebagian shahabat berkata: ‘Bagikanlah.’ Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan
kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah   lalu kita menceritakan kepadanya apa
yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau perintahkan kepada kita.’
Merekapun menghadap Rasulullah  kemudian melaporkan hal tersebut. Maka beliau
bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (Al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’ Lalu Nabi
berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama
kalian’, sambil beliau   tertawa.”

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah  bersabda:

ُ‫خَ ْي ُر ال َّد َوا ِء ْالقُرْ آن‬

“Sebaik-baik obat adalah Al-Qur`an.”

Dan hadits:

‫ْالقُرْ آنُ ه َُو ال َّد َوا ُء‬

“Al-Qur`an adalah obat.”

Keduanya adalah hadits yang dha’if, telah dilemahkan oleh Al-Allamah Al-Albani
rahimahullahu dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.

3.         Hadits dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi  melihat di rumahnya
seorang budak wanita dan di wajahnya terdapat warna (kehitaman) maka (beliau berkata),

‘Ruqyahlah dia, sesungguhnya dia terkena penyakit ‘ain (pandangan jahat).” (HR. Bukhari
no. 5739 dan Muslim no. 2197)

B.        DO’A

Nabi  bersabda,

ِ ْ‫ت َواَأْلر‬
‫ض‬ ِ ‫ال ُّدعَا ُء ِساَل ُح ْال ُمْؤ ِم ِن َو ِع َما ُد الد‬
َ ‫ِّين َونُوْ ُر ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬

“Do’a adalah senjatanya orang yang beriman dan tiangnya agama dan cahaya langit dan
bumi.”

Hadits ini dilemahkan oleh syaikh Al-Albani, akan tetapi secara makna dijelaskan dalam
riwayat yang shahih yaitu kisahnya seorang wanita hitam yang tertimpa penyakit asra’
(epilepsy). Dia datang kepada Nabi  dan berkata,

“Ya… rasulullah, saya menderita penyakit asra’. Tiap kali kambuh, auratku tersingkap.
Maka do’akanlah aku supaya Allah menyembuhkan penyakitku”, Nabi  pun bersabda,
“Kalau aku do’akan kepada Allah maka akan sembuh penyakitmu. Akan tetapi jika kamu
sabar, maka bagimu surga.” Kemudian wanita itu memilih untuk bersabar.
Juga dalam hadits di atas memberikan faidah tentang bolehnya seorang datang kepada Ahlul
Fadhli (orang yang mempunyai keutamaan) orang yang dikenal dengan ketaqwaannya kepada
Allah , keshalihannnya, ahli ilmu, untuk meminta dido’akan kepada Allah  atas kesembuhan
penyakitnya.

C.        IKHTIAR SYAR’IYAH (Melakukan Usaha Yang Dibenarkan Syari’at)

Artinya, seorang melakukan usaha yang dzahir (yang tampak) untuk mencari sebab
datangnya kesembuhan. Misalnya, datang ke dokter yang ahli, minum madu, melakukan
hijamah (bekam), atau usaha-usaha yang tidak dilarang oleh syari’at. Wallahu a’lam bish
Shawab.

Maraji’ : Riyadhus Shalihin karya Al-Imam Abu Zakaria bin Syaraf An-Nawawi Ad-
Dimasyqi (631-676 H) dan Ad-Daau wad-Dawaa karya Al-Imam Al-Muhaqqiq Al-’Alaamah
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.

Sesuatu yang tidak akan dipungkiri siapa pun adalah kehidupan ini tidak hanya dalam satu
keadaan. Ada senang, ada duka. Ada canda, begitu juga tawa. Ada sehat, namun juga
adakalanya sakit. Dan semua ini adalah sunnatullah yang mesti dihadapi orang manapun.

Di antara hal yang paling menarik dalam hal ini adalah di mana seorang manusia menghadapi
ujian berupa sakit. Tentu keadaan sakit ini lebih sedikit dan sebentar dibanding keadaan
sehat. Yang perlu diketahui oleh setiap muslim adalah tidaklah Allah menetapkan
(mentaqdirkan) suatu taqdir melainkan di balik taqdir itu terdapat hikmah, baik diketahui
ataupun tidak. Dengan demikian, hati seorang muslim harus senantiasa ridho dan pasrah
kepada ketetapan Rabb-nya.

Saat seseorang mengalami sakit, hendaknya ia menyadari bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬yang


merupakan manusia termulia sepanjang sejarah juga pernah mengalaminya.

Bahkan dengan adanya sakit, banyak orang menyadari kekeliruannya selama ini sehingga
sakit itu mengantarkannya menuju pintu taubat. Justru ketika sakit itu tidak ada, malah
membuat banyak orang sombong dan congkak. Lihatlah Fir’aun yang tidak pernah Allah
timpa ujian sakit sepanjang hidupnya, membuatnya sombong terlampau batas sampai-sampai
berani menyatakan, “Akulah tuhan tertinggi kalian!” (QS. An Nazi’at: 24)

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
(para rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan
kesengsaraan dan kemelaratan agar mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk
merendahkan diri.” (QS. Al An’am: 42)

Tidak heran jika ada sebagian orang saat tertimpa musibah malah justru bergembira
sebagaimana bergembira ketika mendapat kelapangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda, “…dan sesungguhnya salah seorang mereka benar-benar merasa
gembira karena mendapat cobaan, sebagaimana salah seorang mereka merasa senang
karena memperoleh kelapangan.” (HR Ibnu Majah dan Al Hakim, beliau berkata, “Shahih
menurut syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi)
Hiburan untuk Orang yang Tertimpa Musibah

Agar sakit itu berbuah kebahagiaan, bukan keluh kesah, hendaknya seorang muslim
mengetahui janji-janji yang Allah berikan, baik dalam Al Quran maupun melalui lisan Rasul-
Nya, Muhammad ‫ﷺ‬.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak akan menimpa
kami kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya
kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakal.’” (QS. At Taubah: 51). Juga firman-
Nya, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Al Hadid: 22-23)

Rasulullah  ‫ ﷺ‬bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang tertimpa gangguan berupa


penyakit atau semacamnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersama dengannya dosa-
dosanya, sebagaimana pohon yang menggugurkan dedaunannya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

“Bencana senantiasa menimpa seorang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya, dan
hartanya sampai ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada kesalahan pada
dirinya.” (HR. At Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hasan shahih.”, Imam Ahmad, dan
lainnya)

“Sesungguhnya besarnya pahala itu berbanding lurus dengan besarnya ujian. Dan
sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha,
baginya ridha(Nya), namun siapa yang murka, maka baginya kemurkaan(Nya).” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Masih banyak lagi janji-janji menggiurkan lainnya yang tersebar di dalam Al Quran dan As
Sunnah.

Dua Jenis Penyakit

Menurut anggapan mayoritas orang, yang dianggap penyakit hanyalah penyakit yang
menimpa badan secara nyata seperti demam, batuk, flu, dan seterusnya. Namun tahukah
Anda, bahwa ada penyakit lain yang seharusnya lebih mendapatkan perhatian dan
penanganan? Itulah penyakit hati. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan dalam sebuah pertemuannya dengan para dokter, “Wahai saudara-saudaraku,
penyakit itu ada dua, yaitu penyakit hati, inilah penyakit maknawi (abstrak), dan yang kedua
adalah penyakit jisim, inilah penyakit hissi (kongkrit). Jenis pertama harus lebih utama
diperhatikan dan ditangani karena ia mengakibatkan kebinasaan abadi.” (Irsyadat lith
Thabibil Muslim 05: 34 – 06: 04)

Al ‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan firman


Allah, “ ٌ‫( فِي قُلُوبِ ِه ْم َم َرض‬di dalam hati mereka terdapat penyakit)”, berkata, “Yang dimaksud
dengan penyakit di sini adalah penyakit keraguan, syubhat, dan kemunafikan. Karena hati
akan menghadapi dua penyakit yang akan mengeluarkannya dari kesehatan dan
keseimbangannya, yaitu penyakit syubhat yang bathil dan penyakit syahwat yang
membinasakan. Kekufuran, kemunafikan, keraguan, dan kebid’ahan semuanya termasuk
penyakit syubhat. Sedangkan zina, menyukai kekejian dan kemaksiatan serta melakukannya
termasuk penyakit syahwat, sebagaimana firman Allah, ‘…sehingga bangkit nafsu orang
yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS Al Ahzab: 32) yaitu syahwat zina. Dan orang yang
sehat adalah orang yang terselamatkan dari kedua penyakit ini. Maka jadilah ia memperoleh
keyakinan, keimanan, dan kesabaran dari segala maksiat.” (Taisirul Karimirrahman)

Maka penyakit hati itu pangkalnya ada dua, yaitu syubhat dan syahwat. Dari kedua hal inilah
bercabang semua penyakit, dan amat sedikit orang yang mengetahuinya kecuali yang
dirahmati Robb-nya. Ibnu ‘Utsaimin berkata, “…penyakit-penyakit (yang menyerang) agama
yang porosnya adalah syubhat dan syahwat.”

Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya

Hal lain yang seyogyanya diketahui oleh seorang muslim adalah tidaklah Allah menciptakan
suatu penyakit kecuali Dia juga menciptakan penawarnya. Hal ini sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah ‫ﷺ‬:

‫َما َأ ْن َز َل هللاُ دَا ًء ِإاَّل َأ ْن َز َل لَهُ ِشفَا ًء‬

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR
Bukhari).

Imam Muslim ‘merekam’ sebuah hadits dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dari
Rasulullah ‫ﷺ‬, bahwasannya beliau bersabda,

‫ْب َد َوا ُء ال َّدا ِء بَ َرَأ بِِإ ْذ ِن هللاِ َع َّز َو َج َّل‬ ِ ‫ فَِإ َذا ُأ‬،‫لِ ُك ِّل دَا ٍء َد َوا ُء‬
َ ‫صي‬

 “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat itu tepat untuk suatu penyakit, penyakit itu akan
sembuh dengan seizin Allah ‘Azza wa Jalla.”

Kesembuhan Itu Hanya Datang dari Allah

Allah berfirman menceritakan kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam,

‫ت فَهُ َو يَ ْشفِي ِْن‬


ُ ْ‫َو ِإ َذا َم ِرض‬

 “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.” [QS Asy Syu’ara: 80]

Di surat Al An’am (ayat: 17), “Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan
kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia
mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”

Maka obat dan dokter hanyalah cara kesembuhan, sedangkan kesembuhan hanya datang dari
Allah. Karena Dia sendiri menyatakan demikian, “Dialah yang menciptakan segala sesuatu.”
Semujarab apapun obat dan sesepesialis dokter itu, namun jika Allah tidak menghendaki
kesembuhan, kesembuhan itu juga tidak akan didapat. Bahkan jika meyakini bahwa
kesembuhan itu datang dari selain-Nya, berarti ia telah rela keluar dari agama dan neraka
sebagai tempat tinggalnya kelak jika tidak juga bertaubat. Dan fenomena ini kerap dijumpai
di banyak kalangan, entah sadar atau tidak. Seperti ucapan sebagian orang, “Tolong
sembuhkan saya, Dok .” Meski kalimat ini amat pendek, namun akibatnya sangat fatal, yaitu
dapat mengeluarkan pengucapnya dari Islam. Sepantasnya setiap muslim berhati-hati dalam
setiap gerak-geriknya agar ia tidak menyesal kelak.

Berobat dengan Wahyu

Banyak orang ketika tertimpa sakit lari kesana-kemari mencari kesembuhan. Setiap orang
akan mencari dokter sepesialis terhebat di negerinya bahkan di seluruh dunia sekalipun demi
mendapatkan kesembuhan. Berapa pun biayanya akan dibayarnya meski harus berhutang.
Celakanya ada sebagaian orang yang masih percaya kepada dukun si penipu yang malah
menjerumuskannya ke dalam lobang kesyirikan yang mengeluarkan dari agama. Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah ‫ﷺ‬, beliau bersabda:

‫ فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما ُأ ْن ِز َل َعلَى ُم َح َّم ٍد‬،ُ‫ص َّدقَهُ بِ َما يَقُوْ ل‬


َ َ‫ َم ْن َأتَا َعرَّافًا َأوْ َكا ِهنًا ف‬ 

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lantas ia membenarkan


perkataannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan pada Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Ahmad dalam Al Musnad, Al Hakim dalam Al
Mustadrak –dan ia menilainya shahih dengan syarat Al Bukhari & Muslim-, dan Al Baihaqi)

Tentu usaha untuk mendapatkan kesembuhan itu, selama usaha-usaha itu ‘sehat’,  sangat
diperlukan, karena ini merupakan bagian dari tawakal. Syaikh Shafiyyurrahma bin ‘Abdullah
Al Mubarakfuri rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits: “Setiap penyakit ada
obatnya…” dsb., “Di dalamnya (hadits di atas) terdapat dorongan untuk berobat dan
mengambil sebab, dan bahwasannya yang demikian itu termasuk dari taqdir Allah. Bahkan ia
termasuk menuntut taqdir-Nya jika ia berkeyakinan ia akan sembuh dengan seizin-Nya. Yaitu
seperti menolak rasa lapar dengan makan dan haus dengan minum.” (Minnatul Mun’im syarh
Shahih Muslim, 3: 457)

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyediakan obat yang lebih baik dari itu. Semua orang
dapat memperolehnya jika ia yakin dengan sepenuhnya. Inilah yang disebut dengan “berobat
dengan wahyu.” Allah lah yang telah menciptakan penyakit, maka tentu Dia lebih tahu apa
penawar dan obatnya. Oleh karena ada dua jenis penyakit, maka berikut adalah masing-
masing obat yang ditawarkan syariat, tentu secara ringkas.

Al ‘Allamah Ibnu Qayyimil Jauziyyah rahimahullah berkata, “Siapa yang tidak dapat
disembuhkan oleh Al Quran, berarti Allah tidak memberikan kesembuhan kepadanya. Dan
siapa yang tidak dicukupkan oleh Al Quran, Allah tidak akan memberikan kecukupan
kepadanya.” (Zaadul Ma’ad fi Hady Khairil ‘Ibad)

Pertama, obat hati. Sebagaimana yang telah diterangkan di atas bahwa penyakit hati haruslah
lebih utama untuk diperhatikan dan ditangani secara serius karena jika tidak ia akan berakibat
kebinasaan abadi, di dunia maupun di akhirat. Maka obat untuk penyakit yang satu ini hanya
didapat di dalam Al Quran Al Karim dan hadits-hadits yang sah dari Nabi ‫ﷺ‬.

Allah Ta’ala berfirman,

َ‫َو نُنَ ِّز ُل ِمنَ القُرْ آ ِن َما هُ َو ِشفَا ٌء َو َرحْ َمةٌ لِ ْل ُمْؤ ِمنِ ْين‬
“Dan Kami turunkan dari Al Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang beriman.” (QS Al Isra’: 82)

Juga firman-Nya, “Katakanlah, Al Quran adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
mukmin.” [QS Fushshilat: 44]

Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ٌ‫ِشفَا ٌء َو َرحْ َمة‬
َ‫لِ ْل ُمْؤ ِمنِ ْين‬, “Artinya menghilangkan apa yang ada di dalam hati dari penyakit-penyakit berupa
keraguan, kemunafikan, kesyirikan, keberpalingan, dan kecondongan (kepada kebatilan).
Maka Al Quran dapat menyembuhkan dari semua (penyakit) itu.” (Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 9: 70)

Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata, “Obat penawar yang dikandung Al


Quran itu umum untuk penawar hati berupa syubhat, kebodohan, pemikiran rusak,
penyelewengan yang rusak, dan tujuan-tujuan buruk.” (Taisirul Karimirrahman)

Kesembuhan hati dari penyakit-penyakit ini ditandai dengan hilangnya penyelewengan dan
kerusakan yang ditimbulkan penyakit tersebut. Dan Al Quran yang Allah turunkan ini dapat
menghilangkan kebodohan, keraguan, kesesatan, pemikiran nyeleneh, dan penyakit-penyakit
non fisik (abstrak) lainnya. Maka siapa saja yang memiliki uneg-uneg buruk dalam dirinya,
akan segera dapat ia hilangkan manakala ia mengambil obatnya dalam Al Quran dan juga
sunnah. “Yang demikian itu tidak untuk setiap orang, namun hanya untuk orang-orang
beriman kepadanya, membenarkan ayat-ayatnya, dan yang mengamalkannya.” (Taisirul
Karimirrahman)

Adapun syahwat, maka janji (targhib) dan ancaman (tarhib) di dalam Al Quran dan As
Sunnah adalah obatnya. Apabila ada seseorang yang hendak condong kepada dunia,
hendaknya ia memikirkan kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak. Rasulullah  ‫ ﷺ‬pernah
bersabda,

ُ‫َّضهُ هللاُ خَ ْيرًا ِم ْنه‬


َ ‫ك َش ْيًئا هلِل ِ َعو‬
َ ‫َم ْن ت ََر‬

“Siapa yang meninggalkan sesuatu (yang haram) karena Allah, Allah akan menggantikannya
dengan yang lebih baik darinya.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan Ibnu ‘Asakir dalam
kitab tarikhnya dengan lafazh “ ‫ إال عوضه هللا منه ما هو خير له في دينه‬،‫ما ترك عبد شيئا هلل ال يتركه إال له‬
‫”ودنياه‬. Dalam musnad Imam Ahmad dengan lafazh “ ‫ك هَّللا ُ بِ ِه َما هُ َو‬
َ َ‫ِإنَّكَ لَ ْن تَ َد َع َشيْئا ً هَّلِل ِ َع َّز َو َج َّل ِإالَّ بَ َّدل‬
ُْ‫)”خَ ْي ٌر لَكَ ِمنه‬

Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri apabila ditakjubkan oleh kesenangan dunia, segera berdoa,

َ ‫ ِإ َّن ْال َعي‬، َ‫لَبَّ ْيك‬


‫ْش َعيْشُ اأْل ِخ َر ِة‬

“Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, sesungguhnya kehidupan (hakiki) adalah kehidupan


di akhirat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Tentu hadits ini tidak cukup hanya dibaca, namun juga harus dicontoh dan dipraktekkan. Jika
Rasulullah yang jelas-jelas dijamin masuk surga saja masih khawatir terjerumus ke dalam
kenikmatan semu dan menghibur diri dengan kenikmatan akhirat, bagaimana pula dengan
kita yang belum ada yang menjaminnya, tentu lebih ditekankan lagi.
Kedua, yaitu obat penyakit kongkrit (hissi). Untuk obat penyakit yang menyerang fisik,
syariat telah menyediakan dua cara pengobatan yang boleh digabungkan sekaligus, yaitu
pengobatan yang bersifat abstrak ruhani dan pengobatan dengan materi-materi tertentu.

Pengobatan pertama adalah dengan membacakan Al Quran dan doa yang ma’tsur kepada si
sakit atau yang lebih dikenal dengan ruqyah. Yang dimaksud ruqyah di sini tidak hanya
sebatas ruqyah untuk orang yang terkena sihir dan guna-guna, akan tetapi untuk setiap
penyakit. Pengobatan macam ini boleh jadi lebih manjur dan cepat reaksinya.

Ketika Rasulullah ‫ﷺ‬  mendapati ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu saat perang Khaibar
dalam keadaan sakit matanya, beliau pun meludahi kedua mata ‘Ali dan mendoakan
kesembuhan untuknya, maka seketika itu pula sembuh seakan-akan tidak ada sakit
sebelumnya. [HR Al Bukhari]

Hal yang sama juga dialami oleh sekelompok shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in yang
ada salah satu di antara mereka yang meruqyah dengan membacakan surat Al Fatihah kepada
penghulu suatu kampung yang tersengat kala jengking, setelah dibacakan surat Al Fatihah,
seketika itu juga sembuh. Berita itu pun akhirnya diceritakan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, lalu
beliau berkomentar, “Apa yang membuatmu tahu bahwa Al Fatihah adalah ruqyah?” (HR.
Bukhari)

Yang menarik di sini adalah pengalaman dan pengakuan Ibnul Qayyim dalam kedua
bukunya, Zadul Ma’ad (4: 178) dan Ad Da’ wad Dawa’ (hal. 23), “Suatu ketika aku pernah
jatuh sakit namun aku tidak menemui dokter atau obat penyembuh. Lantas aku berusaha
mengobati diriku dengan surat Al Fatihah, aku pun melihat pengaruh yang sangat
menakjubkan. Aku mengambil segelas air zamzam dan membacakannya surat Al Fatihah
berulang kali, lalu aku meminumnya sehingga aku mendapatkan kesembuhan total.
Selanjutnya aku bersandar dengan cara seperti itu dalam mengobati berbagai penyakit dan
aku mendapatkan manfaat besar. Kemudian aku beritahukan orang banyak yang
mengeluhkan suatu penyakit dan banyak dari mereka yang sembuh dengan cepat.”

Contoh meruqyah dengan dzikir yang diajarkan Rasulullah ‫ﷺ‬:

‫ يُ ْشفَى َسقِ ْي ُمنَا بِِإ ْذ ِن َربِّنَا‬،‫ْضنَا‬ ِ ْ‫بِس ِْم هللاِ تُرْ بَةُ َأر‬
ِ ‫ بِ ِر ْيقَ ِة بَع‬،‫ضنَا‬

“Dengan menyebut asma Allah, tanah bumi ini dengan air ludah sebagian di antara kami
dapat menyembuhkan penyakit di antara kami dengan seizing Robb kami.” (HR. Bukhari).
Doa tersebut dibaca Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam jika ada seseorang yang
mengeluhkan sakit atau luka pada tubuhnya, beliau pun mengisyaratkan jarinya ke tanah,
sebagaimana keterangan Sufyan, kemudian beliau mengangkatnya kembali lalu diusapkan ke
tempat yang sakit.

Pengobatan kedua dengan memanfaatkan berbagai materi tertentu yang disebutkan oleh
syariat. Di antaranya adalah berobat dengan jinten hitam atau habbatu sauda’. Rasulullah ‫ﷺ‬
bersabda, “Sesungguhnya di dalam habbatu sauda’ terdapat obat untuk semua penyakit
kecuali kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim). Begitu juga dengan madu, sebagaimana
firman Allah Jalla wa ‘Ala, “Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An
Nahl: 69)
Selain itu, ada pula pengobatan dengan cara mengeluarkan darah kotor dengan alat tertentu
semacam tanduk atau alat yang modern lagi yang biasa dikenal dengan bekam (hijamah).
Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian perbuat untuk
mengobati penyakit adalah dengan berbekam.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
lainnya)

Dan masih banyak lagi obat-obat yang datang dari syariat yang tentu tidak diragukan lagi
kebenaran dan khasiatnya. Untuk lebih luas pengetahuan tentang pengobatan macam ini,
Ibnul Qayyim rahimahullah telah mengumpulkan pengobatan-pengobatan ini dalam satu
kitab yang bertajuk Ath Thibb An Nabawi yang berarti pengobatan ala Nabi, buku ini adalah
bagian dari kitab Zaadul Ma’ad karya beliau (ed). Allahu a’lam.

Semoga shalawat beserta salam tetap tercurah kepada Muhammad, keluarga, shahabat, serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai