Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sakaratul Maut


Sebelum merasakan kematian, setiap manusia akan mengalami yang namanya sakratul maut.
Suatu keadaan dimana ruh perlahan berpisah dari jasad atau bisa kita sebut dengan proses
kematian. Hal-hal yang dirasakan selama proses tersebut tidak hanya dirasakan atau
terdeteksi oleh jiwa saja, melainkan oleh jasad atau kondisi biologis manusia itu sendiri.
Sekarat (dying) merupakan suatu kondisi pasien saat sedang menghadapi kematian, yang
memiliki berbagi hal dan harapan tertentu untuk meninggal.Kematian secara klinis
merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan
tekanan darah serta hilangnya respon terhadap stimulus eksternal, ditandaidengan aktivitas lis
trik otak  terhenti.  dengan perkataan lain, kematian merupakan kondisi terhentinya fungsi
jantung, paru-paru, dan kerja otak secaramenetap. Sekarat dan kematian memiliki proses atau
tahapan yang sama seperti pada kehilangan dan berduka. 

2.2 Tanda Gejala Sakaratul Maut


Secara umum, tanda-tanda manusia menjelang kematiannya berangsurangsur semakin
lelah dan mengantuk dengan kesulitan yang cukup besar untuk bangkit. Semakin sulit dan
terlihat kebingungan dengan waktu, mulai tidak mengenali orang-orang disekitarnya, tempat
dan benda yang familiar. Mengalami kesulitan mendengar dan melihat, mengalami
ketidakjelasan dalam berbicara. sehingga oranglain sulit untuk memahami. Beberapa orang
juga merasa sangat gelisah dan sangat cemas, bahkan sampai mengalami halusinasi.
Seseorang menjelang kematiannya, mengalami penurunan kebutuhan konsumsi baik itu
berupa makanan maupun minum. Orang tersebut mengeluarkan banyak keringat, kehilangan
kontrol pelepasan air kecil dan air besar. Air seni menjadi lebih gelap, dan jumlah air seni
yang dikeluarkan menjadi berkurang. Mulut seseorang yang dalam proses kematian menjadi
kering, pola dalam bernafas tidak terartur, kadang lebih lambat terkadang lebih cepat,
sehingga suara pernafasan terdengar lebih berat. Pada bagian ujung kaki dan tangan terasa
dingin, dan terlihat pucat.
Akhir dari proses kematian manusia ditandai dengan pernapasan berhenti secara
permanen, jantung berhenti berdetak, seseorang tersebut tidak lagi responsif terhadap
rangsangan yang diberikan, mata hanya terpaku pada satu titik, pupil mata membesar. Kulit
menjadi lebih cepat pucat, semakin dingin dan berujung kaku

2.3 Pandangan Berbagai Macam Aagama Tentang Sakaratul Maut

2.3.1 Islam

Sebelum meninggal dunia, manusia menjalankan proses kematian dimana proses itu adalah sakaratul
maut yang artinya penjelasan tentang sakitnya saat- saat menjelang kematian (ketika nyawa sampai
kerongkongan)." Penjelasan tentang sakitnya saat-saat kematian (sakaratul maut) juga dijelaskan oleh
Nabi Isa as. Diceritakan bahwa Nabi Isa pernah berkata kepada kaum Hawwariyin "wahai Hawwariyin,
berdoalah kalian kepada Allah SWT agar diringankan olehNya saat-saat kematian (sakaratul maut),
karena kematian itu lebih sakit dibandingkan dengan sabetan pedang, derecak gergaji dan sayatan 20
gunting.

Menurut tafsir al-Misbah sakaratul maut dipahami oleh banyak ulama' dalam arti kesulitan dan perih
yang dialami seseorang beberapa saat sebelum 21 ruhnya meninggalkan badan." Sedangkan menurut
tafsir al-Azhar, sakaratul maut adalah penderitaan ketika akan mati. ; 22 Dengan demikian pendapat
kedua penafsir tersebut sama-sama menunjukkan bahwasannya sakaratul maut itu proses terjadinya
kematian yang menyakitkan.

2.3.2 Kristen

Secara umum dalam Kitab Suci, kematian adalah peralihan status “hidup” kepada status “tidak hidup”,
tidak dipandang sebagai pemisahan jiwa dari badan melainkan sebagai hilangnya vitalitas: hidup
berhenti, tetapi bayang-bayang manusia masih hidup dalam Syeol (dunia bawah tanah). Orang-orang
yangmeninggal bukan lagi “jiwa yang hidup” sebagaimana statusnya sejak ia tercipta (1 Kor 15:45),
sebab ia sudah ditinggalkan oleh Roh yang kembali kepada Allah, satu-satunya yang tidak pernah mati
(Pkh 12:7; 1 Tim 6:16). Dalam Perjanjian Baru, kematian paling sering muncul dalam konteks
kebangkitan, bukan dalam konteks kebinasaan.

Kitab Suci menegaskan bahwa kehidupan dan kematian adalah dua realitas eksistensial yang harus
dijalani oleh setiap orang (2 Sam 1: 23; Ams 18: 21). Kematian dirumuskan hakekatnya sebagai
penarikan kebali nafas kehidupan atau Roh Allah dari dalam kehidupan manusia (Ayb 34: 14-15).
Manusia dianggap sudah mati, ketika nafas kehidupan sudah tidak ada lagi dalam tubuhnya (1 Raj 17:
17). Kenyataan tentang kematian ini secara tegas dapat ditemukan dalam kitab Pengkhotbah yang
mengatakan bahwa setiap makhluk sama dihadapan kematian (Pkh 2: 16).

Dalam konteks Perjanjian Baru, kematian lebih dimengerti sebagai mati bersama Kristus dengan harapan
akan bangkit bersama Kristus. Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi, mengungkapkan arti
kematian kristen, bahwa oleh Kristus kematian itu memiliki arti yang lebih positif “Bagiku hidup adalah
Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1: 21). Dengan ini Paulus menampilkan dimensi baru dari
kematian kita: “Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia (2 Tim 2: 11). Aspek yang baru
pada kematian kristen terdapat dalam kata-kata ini: “oleh pembaptisan warga kristen secara
sakramental sudah ‘mati bersama Kristrus’, supaya dapat menghidupi satu kehidupan baru”.

2.3.4 Hindu

Hindu percaya pada kelahiran kembali dan reinkarnasi dari jiwa (atman). Jiwa yang abadi dan langgeng.
Jiwa seseorang selama hidupnya akan mengalami suka dan duka serta dipengaruhi oleh hukum karma.
Oleh karena itu kematian bukanlah bencana besar, bukan akhir dari semua, tapi sebuah proses alami
dari sang Jiwa (atman) yang kemudian kembali lagi ke bumi untuk melanjutkan perjalanannya.

Dalam agama Hindu, Jiwa(atman) adalah kekal tidak mengalami kematian, dia abadi. Kematian hanya
dialami oleh badan fisik ini. Kematian adalah penghentian sementara aktivitas fisik dan merupakan
sarana bagi sang atman untuk meningkatkan tingkatannya lalu kemudian lahir kembali dalam badan
yang lain. Seperti halnya ketika kita berganti baju dari baju yang sudah usang menuju baju yang baru.

2.3.5 Buddha

Konsepsi kematian menurut Agama Buddha Theravada yaitu sesaat setelah kesadaran seseorang padam
atau hilang, seketika itu juga kesadaran tersebut membawa arus informasi karma-karma yang ketika
kondisinya tetap. Maka terjadilah kelahiran kembali pada salah satu dari enam alam menurut
kosmologis Buddhis. Kesadaran sebelum padam dan munculnya kesadaran tersebut bukanlah roh atau
jiwa yang sama, namun juga tidak berbeda, yang ada hanyalah suatu alur atau rangkaian kesadaran
(maranasannavithi) yang tidak terputus. Jadi, kematian dan kelahiran kembali menurut tradisi ini
berlangsung seketika.

Alur kesadaran menjelang ajal menurut tradisis Theravada terbagi menjadi dua, yaitu (1) Alur kematian
biasa dan (2) sesaat mendekati padamnya kesadaran (paccasannamarannavithi). Dalam alur kematian
ini, kesadaran yang biasa (bhavangacittuppada) akan menjadi kesadaran ajal (cuticitta). Ketika seseorang
akan meninggal dunia, kesadaran ajal (cuticitta) mendekati kepadaman dan didorong oleh kekuatan-
kekuatan kamma. Hal ini secara umum disebut pula suatu permulaan dari bentuk kehidupan baru.
Ketika kesadaran ajal padam, kehidupan seseorang dapat dikatakan telah habis (mati). Dalam hal ini
konsep dukha sangat penting.

2.4 Pendampingan Pada Pasien Sakaratul Maut


2.4.1 Pendampingan Pasien Sakaratul Maut Menurut Kesehatan
Perawatan kepada pasien yang akan meninggal oleh petugas kesehatan dilakukan
dengan cara memberi pelayanan khusus jasmaniah dan rohaniah sebelum pasien
meninggal. Tujuannya yaitu, :
- Memberi rasa tenang dan puas jasmaniah dan rohaniah pada  pasien dan
keluarganya
- Memberi ketenangan dan kesan yang baik pada pasien disekitarnya.
- Untuk mengetahui tanda-tanda pasien yang akan meninggal secara medis bisa
dilihat dari keadaan umum, vital sighn dan beberapa tahap-tahap kematian
2.4.2 Pendampingan dengan alat-alat medis
Memperpanjang hidup penderita semaksimal mungkin dan bila perlu dengan bantuan
alat-alat kesehatan adalah tugas dari petugas kesehatan. Untuk memberikan pelayanan
yang maksimal pada pasien yang hampir meninggal, maka petugas kesehatan
memerlukan alat-alat pendukung seperti :
- Disediakan tempat tersendiri
- Alat – alat pemberian O2
- Alat resusitasi
- Alat pemeriksaan vital sighnP
- Pinset
- Kassa, air matang, kom/gelas untuk membasahi bibir
- Alat tulis
2.4.3 Prosedur Petugas Kesehatan Pada Pasien Sakaraul Maut
Adapun prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan oleh petugas dalam
mendampingi pasien yang hampir meninggal, yaitu :
- Memberitahu pada keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan
- Mendekatkan alat
- Memisahkan pasien dengan pasien yang lain
- Mengijinkan keluarga untuk mendampingi, pasien tidak boleh ditinggalkan
sendiri
- Membersihkan pasien dari keringat
- Membasahi bibir pasien dengan kassa lembab, bila tampak kering menggunakan
pinset
- Membantu melayani dalam upacara keagamaan
- Mengobservasi tanda-tanda kehidupan (vital sign) terus menerus
- Mencuci tangan
- Melakukan dokumentasi tindakan
2.4.4 Pendampingan dengan bimbingan rohani
Bimbingan rohani pasien merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan
dalam upaya pemenuhan kebutuhan bio-Psyco-Socio-Spritual ( APA, 1992 ) yang
komprehensif, karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar
spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ). Pentingnya bimbingan
spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan bahwa
aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehataan
seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter, terutama perawat untuk
memenuhi kebutuhan spritual pasien 
Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis,
psikologis, dan spiritual pasien. Akan tetapi, kebutuhan spiritual seringkali dianggap
tidak penting oleh perawat. Padahal aspek spiritual sangat penting terutama untuk
pasien yang didiagnosa harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul
maut dan seharusnya perawat bisa menjadi seperti apa yang dikemukakan oleh
Henderson, “The unique function of the nurse is to assist the individual, sick or well
in the performance of those activities contributing to health or its recovery (or to a
peaceful death) that he would perform unaided if he had the necessary strength will or
knowledge”,maksudnya perawat akan membimbing pasien saat sakaratul maut hingga
meninggal dengan damai.
Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh perawat adalah
pasien terminal karena pasien terminal, pasien yang didiagnosis dengan penyakit
berat dan tidak dapat disembuhkan lagi dimana berakhir dengan kematian, seperti
yang dikatakan Dadang Hawari (1977,53) “orang yang mengalami penyakit terminal
dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis
spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang
ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”. Sehingga, pasien terminal biasanya
bereaksi menolak, depresi berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan
keputusasaan. Oleh sebab itu, peran perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi
pasien yang dapat meningkatkan semangat hidup pasien meskipun harapannya sangat
tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi kehidupan yang kekal.

2.4.5 Pendampingan Pasien Sakratul Maut Menurut Islam


Dalam konsep Islam, fase sakaratul maut sangat menentukan baik atau tidaknya
seseorang terhadap kematiannya untuk menemui Allah dan bagi perawat pun akan
dimintai pertanggungjawabannya nanti untuk tugasnya dalam merawat pasien di
rumah sakit. Dan fase sakaratul maut adalah fase yang sangat berat dan menyakitkan
seperti yang disebutkan Rasulullah tetapi akan sangat berbeda bagi orang yang
mengerjakan amal sholeh yang bisa menghadapinya dengan tenang dan senang hati.
Ini adalah petikan Al-Quran tentang sakaratul maut,” Datanglah sakaratul maut
dengan sebenar-benarnya.”(QS.50:19).“ Alangkah dahsyatnya ketika orang-orang
yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut.” (QS. 6:93). Dalam Al-
hadits tentang sakaratul maut. Al-Hasan berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
mengingatkan mengenai rasa sakit dan duka akibat kematian. Beliau bertutur,
“Rasanya sebanding dengan tiga ratus kali tebasan pedang.” (HR.Ibn Abi ad-Dunya)
Begitu sakitnya menghadapi sakaratul maut sehingga perawat harus membimbing
pasien dengan cara-cara,seperti ini:
1) Menalqin (menuntun) dengan syahadat. Sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
2) Hendaklah mendo’akannya dan janganlah mengucapkan dihadapannya kecuali kata-
kata yang baik.
Berdasarkan hadits yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda. Artinya : “Apabila kalian mendatangi
orang yang sedang sakit atau orang yang hampir mati, maka hendaklah kalian
mengucapkan perkataan yang baik-baik karena para malaikat mengamini apa yang
kalian ucapkan.” Maka perawat harus berupaya memberikan suport mental agar
pasien merasa yakin bahwa Allah Maha Pengasih dan selalu memberikan yang
terbaik buat hambanya, mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang terbuka
saat roh terlepas dari jasadnya.
3) Berbaik Sangka kepada Allah
Perawat membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT, seperti di
dalam hadits Bukhari“ Tidak akan mati masing-masing kecuali dalam keadaan
berbaik sangka kepada Allah SWT.” Hal ini menunjukkan apa yang kita pikirkan
seringkali seperti apa yang terjadi pada kita karena Allah mengikuti perasangka
umatNya.
4) Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
   Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang
yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian
disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena
bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit
untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas tersebut setidaknya dapat
meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami sakaratul maut, sehingga hal
itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat. (Al-
Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
5)  Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut
kearah kiblat. Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits
Rasulullah Saw., hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para
salafus shalih melakukan hal tersebut. Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua
cara bagaimana menghadap kiblat :
- Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya
dihadapkan kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar
ia menghadap kearah kiblat.
- Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap
ke kiblat. Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara
yang paling benar. Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka
biarkanlah orang tersebut berbaring kearah manapun yang membuatnya selesai.

2.4.6 Pendampingan Pasien Sakratul Maut Menurut Katolik


Dalam tradisi Gereja Katolik, pasien yang sakaratul maut diterimakan sakramen
Pengurapan. Sakramen Pengurapan juga biasa diberikan pada orang-orang yang
sudah tua, dalan kesempatan tertentu. Sakramen pengurapan bukanlah diartikan
sebagai tanda berakhirnya hidup pasien. Malah berkali-kali ternyata bahwa pasien
yang sudah menerima akramen pengurapan diberi kekuatan kembali dan sembuh dari
sakit. Sedangkan jika pasien kemudian meninggal dunia orang tersebut sudah
mendapat bekal untuk menghadap Sang Pencipta.

2.4.7 Pendampingan Pasien Sakratul Maut Menurut Kristen


Karena dalam sakramen-sakramen Kristiani diadakan tanda-tanda istimewa akan
kehadiran Kristus yang Bangkit, sepatutnyalah kita merayakannya juga pada masa
kita didera penyakit. Dalam sakit, dua sakramen mendapat tempat istimewa dalam
tradisi Katolik: Sakramen Pengurapan Orang Sakit dan Sakramen Ekaristi.
Dalam Sakramen Pengurapan Orang Sakit, Yesus yang Bangkit menawarkan
kepada mereka yang sakit kuasa, bukan hanya untuk menanggung penderitaan dengan
gagah berani, melainkan juga untuk melawannya. Sakramen ini dirayakan dengan
tanda-tanda yang sederhana namun penuh kuasa. Yesus biasa menjamah mereka yang
sakit; dalam sakramen ini, imam menumpangkan tangannya ke atas kepala si sakit
yang hendak diurapi. Doa-doa kesembuhan dipanjatkan. Kepala dan kedua tangan si
sakit diurapi imam dengan Minyak Orang Sakit (Oleum Infirmorum) yang terbuat
dari zaitun. Pengurapan dengan minyak ini merupakan tanda pengingat akan
pengurapan yang diterima dalam Sakramen Baptis dan Sakramen Penguatan.
Terkadang, jika memang berguna bagi keselamatan, sakramen akan memulihkan
kembali kesehatan jasmani si sakit. Tak peduli dampaknya yang kelihatan pada
kesehatan jasmani si sakit, Sakramen Pengurapan Orang Sakit senantiasa
menganugerahkan rahmat pertolongan Tuhan atas siapa saja yang menerimanya
dengan penuh iman.
“Semoga karena pengurapan suci ini Allah yang Maharahim menolong Saudara
dengan rahmat Roh Kudus,”
“Semoga Tuhan membebaskan Saudara dari dosa dan membangunkan Saudara di
dalam rahmat-Nya.”
Sakramen juga merupakan tanda persatuan kita dengan anggota Gereja yang
lainnya, maka keluarga si sakit yang diurapi, sahabat serta mereka yang terlibat dalam
perawatan si sakit hendaknya diundang untuk ikut ambil bagian dalam Sakramen
Pengurapan ini. Sakramen Pengurapan Orang Sakit dapat diterima oleh mereka yang
kesehatannya terganggu secara serius akibat penyakit atau usia lanjut, dan dapat
diulang jika keadaan pasien bertambah parah.
Sakramen Ekaristi, tanda terpenting yang Kristus berikan kepada GerejaNya
sebagai kenangan akan kehadiran-Nya, juga merupakan sakramen yang hendaknya
diterima sesering mungkin pada masa sakit. Meski tak dapat merayakan Ekaristi di
Gereja, umat Kristiani hendaknya berusaha menerima Komuni Kudus di rumah atau
di rumah sakit. Yesus meyakinkan kita:
Jikalau seorang makan dari roti ini,
Ia akan hidup selama-lamanya,
dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku,
yang akan Kuberikan untuk hidup dunia. (Yoh 6:51)

DAFTAR PUSTAKA

Dahyuningsih dan Subekti.2005. Pedoman Perawatan Pasien. Jakarta

Atmadja W, Beny, Fisiologi Tidur, Bag;lSMF. Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Unpad/RS.
Hasan Sadikin Bandung.
Fikri, Mumtazul, Pendidikan Kematian: Memahami Maut Menjadi Sebuah Kerinduan, Jurnal
Mudarissuna, Vol. 4 No. 1, Januari-Juli 2014.

Latif, Umar, Konsep Mati dan Hidup Dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep
Eksatologis), Jurnal Al-Bayan, Vol. 22 No. 34, Juli-Desember 2016.

Suryadi, Taufik, Penentuan Sebab Kematian Dalam Visum Et Repertum Pada Kasus Kematian
Kardiovaskuler, Jurnal Averrous, Vol.5 No.1, Mei 2019.

Na'ima, M. (2008). Sakaratul Maut dalam Al Quran: menurut penafsiran Hamka dalam Tafsir Al Azhar
(Doctoral dissertation, IAIN Sunan Ampel Surabaya).

Fitriyana, N., & Riani, P. (2019). SIKAP DALAM MENGHADAPI KEMATIAN MENURUT AJARAN BUDDHA
THERAVADA. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama, 20(1), 34-52.

Anda mungkin juga menyukai