TINJAUAN PUSTAKA
2.3.1 Islam
Sebelum meninggal dunia, manusia menjalankan proses kematian dimana proses itu adalah sakaratul
maut yang artinya penjelasan tentang sakitnya saat- saat menjelang kematian (ketika nyawa sampai
kerongkongan)." Penjelasan tentang sakitnya saat-saat kematian (sakaratul maut) juga dijelaskan oleh
Nabi Isa as. Diceritakan bahwa Nabi Isa pernah berkata kepada kaum Hawwariyin "wahai Hawwariyin,
berdoalah kalian kepada Allah SWT agar diringankan olehNya saat-saat kematian (sakaratul maut),
karena kematian itu lebih sakit dibandingkan dengan sabetan pedang, derecak gergaji dan sayatan 20
gunting.
Menurut tafsir al-Misbah sakaratul maut dipahami oleh banyak ulama' dalam arti kesulitan dan perih
yang dialami seseorang beberapa saat sebelum 21 ruhnya meninggalkan badan." Sedangkan menurut
tafsir al-Azhar, sakaratul maut adalah penderitaan ketika akan mati. ; 22 Dengan demikian pendapat
kedua penafsir tersebut sama-sama menunjukkan bahwasannya sakaratul maut itu proses terjadinya
kematian yang menyakitkan.
2.3.2 Kristen
Secara umum dalam Kitab Suci, kematian adalah peralihan status “hidup” kepada status “tidak hidup”,
tidak dipandang sebagai pemisahan jiwa dari badan melainkan sebagai hilangnya vitalitas: hidup
berhenti, tetapi bayang-bayang manusia masih hidup dalam Syeol (dunia bawah tanah). Orang-orang
yangmeninggal bukan lagi “jiwa yang hidup” sebagaimana statusnya sejak ia tercipta (1 Kor 15:45),
sebab ia sudah ditinggalkan oleh Roh yang kembali kepada Allah, satu-satunya yang tidak pernah mati
(Pkh 12:7; 1 Tim 6:16). Dalam Perjanjian Baru, kematian paling sering muncul dalam konteks
kebangkitan, bukan dalam konteks kebinasaan.
Kitab Suci menegaskan bahwa kehidupan dan kematian adalah dua realitas eksistensial yang harus
dijalani oleh setiap orang (2 Sam 1: 23; Ams 18: 21). Kematian dirumuskan hakekatnya sebagai
penarikan kebali nafas kehidupan atau Roh Allah dari dalam kehidupan manusia (Ayb 34: 14-15).
Manusia dianggap sudah mati, ketika nafas kehidupan sudah tidak ada lagi dalam tubuhnya (1 Raj 17:
17). Kenyataan tentang kematian ini secara tegas dapat ditemukan dalam kitab Pengkhotbah yang
mengatakan bahwa setiap makhluk sama dihadapan kematian (Pkh 2: 16).
Dalam konteks Perjanjian Baru, kematian lebih dimengerti sebagai mati bersama Kristus dengan harapan
akan bangkit bersama Kristus. Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi, mengungkapkan arti
kematian kristen, bahwa oleh Kristus kematian itu memiliki arti yang lebih positif “Bagiku hidup adalah
Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1: 21). Dengan ini Paulus menampilkan dimensi baru dari
kematian kita: “Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia (2 Tim 2: 11). Aspek yang baru
pada kematian kristen terdapat dalam kata-kata ini: “oleh pembaptisan warga kristen secara
sakramental sudah ‘mati bersama Kristrus’, supaya dapat menghidupi satu kehidupan baru”.
2.3.4 Hindu
Hindu percaya pada kelahiran kembali dan reinkarnasi dari jiwa (atman). Jiwa yang abadi dan langgeng.
Jiwa seseorang selama hidupnya akan mengalami suka dan duka serta dipengaruhi oleh hukum karma.
Oleh karena itu kematian bukanlah bencana besar, bukan akhir dari semua, tapi sebuah proses alami
dari sang Jiwa (atman) yang kemudian kembali lagi ke bumi untuk melanjutkan perjalanannya.
Dalam agama Hindu, Jiwa(atman) adalah kekal tidak mengalami kematian, dia abadi. Kematian hanya
dialami oleh badan fisik ini. Kematian adalah penghentian sementara aktivitas fisik dan merupakan
sarana bagi sang atman untuk meningkatkan tingkatannya lalu kemudian lahir kembali dalam badan
yang lain. Seperti halnya ketika kita berganti baju dari baju yang sudah usang menuju baju yang baru.
2.3.5 Buddha
Konsepsi kematian menurut Agama Buddha Theravada yaitu sesaat setelah kesadaran seseorang padam
atau hilang, seketika itu juga kesadaran tersebut membawa arus informasi karma-karma yang ketika
kondisinya tetap. Maka terjadilah kelahiran kembali pada salah satu dari enam alam menurut
kosmologis Buddhis. Kesadaran sebelum padam dan munculnya kesadaran tersebut bukanlah roh atau
jiwa yang sama, namun juga tidak berbeda, yang ada hanyalah suatu alur atau rangkaian kesadaran
(maranasannavithi) yang tidak terputus. Jadi, kematian dan kelahiran kembali menurut tradisi ini
berlangsung seketika.
Alur kesadaran menjelang ajal menurut tradisis Theravada terbagi menjadi dua, yaitu (1) Alur kematian
biasa dan (2) sesaat mendekati padamnya kesadaran (paccasannamarannavithi). Dalam alur kematian
ini, kesadaran yang biasa (bhavangacittuppada) akan menjadi kesadaran ajal (cuticitta). Ketika seseorang
akan meninggal dunia, kesadaran ajal (cuticitta) mendekati kepadaman dan didorong oleh kekuatan-
kekuatan kamma. Hal ini secara umum disebut pula suatu permulaan dari bentuk kehidupan baru.
Ketika kesadaran ajal padam, kehidupan seseorang dapat dikatakan telah habis (mati). Dalam hal ini
konsep dukha sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja W, Beny, Fisiologi Tidur, Bag;lSMF. Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Unpad/RS.
Hasan Sadikin Bandung.
Fikri, Mumtazul, Pendidikan Kematian: Memahami Maut Menjadi Sebuah Kerinduan, Jurnal
Mudarissuna, Vol. 4 No. 1, Januari-Juli 2014.
Latif, Umar, Konsep Mati dan Hidup Dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep
Eksatologis), Jurnal Al-Bayan, Vol. 22 No. 34, Juli-Desember 2016.
Suryadi, Taufik, Penentuan Sebab Kematian Dalam Visum Et Repertum Pada Kasus Kematian
Kardiovaskuler, Jurnal Averrous, Vol.5 No.1, Mei 2019.
Na'ima, M. (2008). Sakaratul Maut dalam Al Quran: menurut penafsiran Hamka dalam Tafsir Al Azhar
(Doctoral dissertation, IAIN Sunan Ampel Surabaya).
Fitriyana, N., & Riani, P. (2019). SIKAP DALAM MENGHADAPI KEMATIAN MENURUT AJARAN BUDDHA
THERAVADA. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama, 20(1), 34-52.