Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KELOMPOK 9

KASUS-KASUS PELANGGARAN YANG TERBUKA DAN TERTUTUP


DALAM RUMPUN PROFESI

(Disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Profesi Konselor)

Dosen pengampu : Dr. Happy Karlina Marjo, M.Pd., Kons.

Disusun oleh :

Della Salsabila Najla 1106620065

Maheswari Ngesti 1106620102

KELAS B

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan pemilik alam


semesta karena hanya dengan rahmat-Nya, penelitian yang dirangkum dalam
sebuah makalah berjudul “Kasus-kasus pelanggaran yang terbuka dan tertutup
dalam rumpun profesi” ini bisa terselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Tidak lupa ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pengampu yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang
bermanfaat dalam proses penyusunan makalah ini. Rasa terima kasih juga hendak
diucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa/i prodi Bimbingan dan Konseling
Universitas Negeri Jakarta yang telah memberikan kontribusinya baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini dapat selesai pada waktu
yang telah ditentukan.

Meskipun sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang


penyusunan makalah ini. Namun, di dalam makalah yang telah di susun ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, mohon maaf apabila para pembaca
menemukan banyak kesalahan serta kekurangan dalam karya tulis ilmiah ini.
Akhir kata, terima kasih dan semoga karya tulis ilmiah ini dapat menambah
informasi para pembaca mengenai kasus-kasus pelanggaran yang terbuka dan
tertutup dalam rumpun profesi.

Jakarta, 25 Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5

1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................5

BAB II......................................................................................................................7

TINJAUAN KEPUSTAKAAN...............................................................................7

2.1 Pengertian Kode Etik.................................................................................7

2.2 Fungsi dan Tujuan Kode Etik....................................................................7

2.3 Kode Etik Bimbingan dan Konseling........................................................8

BAB III..................................................................................................................10

PEMBAHASAN....................................................................................................10

3.1 Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Profesi


Bimbingan dan Konseling..................................................................................10

3.2 Bentuk-bentuk Pelanggaran Etika Profesi Bimbingan dan Konseling....11

3.3 Contoh Kasus-kasus Pelanggaran Etika Profesi Bimbingan dan


Konseling...........................................................................................................12

3.4 Mekanisme Penerapan Sanksi.................................................................15

3.5 Permasalahan dalam Penerapan Kode Etik Profesi Bimbingan dan


Konseling...........................................................................................................16

BAB IV..................................................................................................................20

PENUTUP..............................................................................................................20

4.1 Kesimpulan..............................................................................................20

4.2 Saran........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Profesi adalah suatu hal yang harus dibarengi dengan keahlian dan etika.
Meskipun sudah ada aturan yang mengatur tentang kode etik profesi, namun
seperti kita lihat saat ini masih sangat banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran
ataupun penyalahgunaan profesi.Seperti layaknya sebuah pembelajaran
bimbingan dan konseling juga membutuhkan apa yang dinamakan strategi
dalam pelaksanaanya. Dalam hal ini,untuk mengetahui strategi apa yang tepat
untuk digunakan kepada seorang yang hendak dibimbing (konseli) itulah
seorang yang hendak membimbing (konselor) membutuhkan kode etik untuk
menjalankan profesinya tersebut.

Dalam masalah bimbingan dan konseling kode etik sangat dibutuhkan.


kode etik dibutuhkan ketika seseorang (konselor) hendak membimbing
seorang atau individu (konseli) kearah pengembangan pribadinya. peran kode
etik yaitu sebagai acuan dan tuntunan dalam memberikan masukan-masukan
kepada konseli agar masukan yang diberikan oleh konselor tidak
menyelewwng atau keluar dari aturan-aturan, norma-norma yang berlaku
dimasyarakat maupun di kalangan konselor sendiri.

Walaupun demikian, ternyata tidak sedikit juga pengguna pelayanan


konseling yang memiliki persepsi negatif terhadap profesi konselor, yang
sebenarnya bersumber dari kesalahankesalahan oknum konselor itu sendiri.
Seperti kurangnya kepercayaan siswa untuk konseling kepada guru BK di
sekolah dengan alasan khawatir rahasianya akan terbongkar, bahkan ada guru
BK/Konselor sekolah yang melaksanakan malpraktik pelayanan konseling.

Dengan melihat gejala-gejala tersebut, Konselor dalam melaksanakan


tugasnya, selain dituntut memiliki kompetensi profesional juga harus diiringi
oleh serangkaian etika. Oleh sebab itu, ABKIN selaku organisasi induk
Bimbingan dan Konseling di tanah air menyusun serangkaiankode etik profesi
bimbingan konseling yang harus diikuti oleh semua konselor yang
melaksanakan praktik konseling baik di sekolah maupun di luar sekolah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diperoleh beberapa rumusan masalah,


diantaranya yaitu:

1. Pengertian Kode Etik


2. Fungsi dan Tujuan Kode Etik
3. Kode Etik Bimbingan dan Konseling
4. Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Profesi
Bimbingan dan Konseling
5. Bentuk-bentuk Pelanggaran Etika Profesi Bimbingan dan Konseling
6. Contoh Kasus-kasus Pelanggaran Etika Profesi Bimbingan dan Konseling
7. Mekanisme Penerapan Sanksi
8. Permasalahan dalam Penerapan Kode Etik Profesi Bimbingan dan
Konseling

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini


adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan pemahaman mengenai definisi kode etik.


2. Untuk memberikan pemahaman mengenai tujuan dan fungsi kode etik.
3. Untuk memberikan pemaham mengenai isi dari kode etik bimbingan dan
konseling
4. Untuk memberikan pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan profesi bimbingan dan konseling
5. Untuk memberikan pemahaman mengenai bentuk-bentuk pelanggaran
etika profesi bimbingan dan konseling
6. Untuk memberikan pemahaman mengenai contoh kasus-kasus
pelanggaran etika profesi bimbingan dan konseling
7. Untuk memberikan pemahaman mengenai mekanisme penerapan sanksi
8. Untuk memberikan pemahaman mengenai permasalahan dalam penerapan
kode etik profesi bimbingan dan konseling
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Kode Etik

Terdapat beberapa pengertian kode etik menurut para ahli. Menurut


Sunaryo Kartadinata (2011:15) kode etik profesi merupakan regulasi dan
norma perilaku profesional yang semestinya diindahkan oleh seluruh anggota
profesi dalam menjalankan tugas serta dalam kehidupan di masyarakat.
ABKIN (2006:94) mendefinisikan kode etik sebagai suatu aturan yang
melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah, mencegah
ketidaksepakatan internal dalam profesi serta melindungi atau mencegah para
praktisi dari perilaku-perilaku malpraktik. Selain itu, ABKIN (2006:92)
menjabarkan bahwa eksistensi suatu profesi timbul dari kepercayaan publik.

Dari uraian penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa kode etik ialah
mekanisme norma atau aturan yang jelas tertulis serta tegas dan terperinci
tentang apa yang baik, tidak baik, apa yang benar, apa yang salah dan
perbuatan apa yang dapat dilakukan serta dilarang oleh seorang profesional.
Kedua, kode etik merupakan aturan-aturan susila, atau sikap yang ditetapkan
bersama dan ditaati bersama oleh para praktisi, yang tergabung dalam
kumpulan atau organisasi (organisasi profesi).

2.2 Fungsi dan Tujuan Kode Etik

Secara umum fungsi dari kode etik profesi adalah: a. Memberikan


pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan. Setiap anggota profesi harus menjalankan tugasnya sesuai dengan
kode etik/ aturan yang berlaku di dalam suatu organisasi. b. Sebagai sarana
kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksud dari
fungsi ini adalah bahwa setiap anggota profesi juga diawasi oleh masyarakat
dalam melakukan pekerjaannya. c. Mencegah campur tangan pihak di luar
organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Maksud
dari fungsi ini adalah untuk mencegah intervensi dari pihak lain/ pihak luar
yang tidak berkepentingan untuk masuk ke dalam organisasi, karena
dikhawatirkan merusak tatanan yang sudah ada.

Abkin (2006:94) mengemukakan bahwa penegasan identitas profesi


Bimbingan dan Konseling harus diwujudkan dalam implementasi kode etik
dan supervisinya. Sunaryo Kartadinata (2011:15) menjelaskan bahwa
penegakan dan penerapan kode etik bertujuan untuk:

(1) menjunjung tinggi martabat profesi;

(2) melindungi masyarakat dari perbuatan malpraktik;

(3) meningkatkan mutu profesi;

(4) menjaga standar mutu dan status profesi, dan

(5) penegakan ikatan antara tenaga profesi dan profesi yang disandangnya.

2.3 Kode Etik Bimbingan dan Konseling

Kode etik bimbingan dan konseling adalah ketentuan-ketentuan atau


peraturan-peraturan yang harus di taati oleh siapa saja yang ingin
berkecimpung dalam bidang bimbingan dan konseling demi kebaikan. Kode
etik didalam bidang bimbingan dan konseling dimaksudkan agar bimbingan
dan konseling tetap dalam keadaan baik, serta di harapkan akan menjadi
semakin baik. Kode etik mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak boleh
dilanggar atau diabaikan tanpa membawa akibat yang tidak menyenangkan.

Berdasarkan keputusan pengurus besar asosiasi bimbingan dan konseling


Indonesia (PBABKIN) nomor 010 tahun 2006 tentang penetapan kode etik
profesi bimbingan dan konsseling, maka sebaian dari kode etik itu adalah
sebagai berikut:

1. Kualifikasi konselor dalam nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan


wawasan.

a. Konselor wajib terus menerus mengembangkan dan menguasai dirinya. Ia


wajib mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada
dirinya sendiri, yang dapat mempengarui hubunganya dengan orang lain dan
mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan profesional serta merugikan klien.

b. Konselor wajib memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar,


menepati jajni, dapat dipercaya, jujur,tertib dan hormat.

c. Konselor wajib memiliki rasa tangggung jawab terhadap saran maupun


peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan–rekan seprofesi
dalam hubunyanga dengan pelaksanaan ketentuan-keteentuaan tingkah laku
profesional sebagaimana di atur dalam Kode Etik ini.

d. Konselor wajib mengutamakan mutu kerja setinggi mungkin dan tidak


mengutamakan kepentingan pribadi, termasuk keuntungan material, finansial,
dan popularitas.

e. Konselor wajib memiiki keterampilan menggunakan tekhnik dan prosedur


khusus yang dikembangkan ataas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah
ilmiah.

Kode etik bimbingan dan konseling adalah ketentuan-ketentuan atau


peraturan-peraturan yang harus di taati oleh siapa saja yang ingin
berkecimpung dalam bidang bimbingan dan konseling demi kebaikan. Kode
etik bagi pembimbing yaitu:

a. Kualifikasi konselor dalam nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan


wawasan.

b. Penyimpanan dan Penggunann Informasi.

c. Hubungan dengan Penberian pada Pelayanan.

d. Hubungan dengan Klien.

e. Konsultasi dengan Rekan Sejawat.

f. Alih Tangan Kasus.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Profesi


Bimbingan dan Konseling

Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan


Nasional (UUSPN) tempo dahulu. UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) disahkan bulan Maret 1989 di lingkungan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan (PPB). Timbul berbagai kegusaran dan rasa was-
was mengenai status tenaga bimbingan dalam UUSPN, juga kekhawatiran
mengenai implikasi dari pernyataan dalam UUSPN terhadap masa depan
jurussan PPB, nasib para lulusannya dan profesi bimbingan secara
keseluruhan. Hal ini disebabkan karena ada inkonsistensi antara Pasal 1 ayat 8
dengan Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3.4 Pasal 1 (8): “Tenaga pendidik adalah
anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih
peserta didik”. (catatan: disini kata membimbing disebut lebih dahulu)”. Pasal
27 (1): “Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar,
melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau memberikan layanan
teknis dalam bidang pendidikan”.

Pasal 27 (2): “Tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik pengelola


satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang
pendidikan, pustakawan, laboran, serta teknisi sumber belajar”. Pasal 27 (3):
“Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan
tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen”. Bimbingan
dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN)
tempo sekarang. Dengan disahkannya UU NO 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, memberikan makna tersendiri bagi pengembangan
profesi bimbingan dan konseling, dan melahirkan berbagai Peraturan
Pemerintah sebagai peletakan dasar pelaksanaan Undang-undang tersebut. PP
no 27, 28, 29, dan 30 tahun 1990 mengatur tata laksana pendidikan pra-
sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi serta
mengakui sepenuhnya tenaga guru dan tenaga lain yang berperan dalam dunia
pendidikan, selain guru. Peluang lain yang memberikan angin baru badi
pengembangan bimbingan dan konseling adalah SK.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 026/1989, yang


menyatakan, “adanya pekerjaan bimbingan dan konseling yang berkedudukan
seimbang dan sejajar dengan kegiatan belajar”. PP tersebut memberikan
legalisasi yang cukup mantap bagi keberadaan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah. Aspek legal keberadaan konselor juga dipeyung UURI
No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 yang
menyatakan, “Pendidik adalah tenaga kepandidikan yang berkualifikasi
sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan ke khususannya, serta
bepartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”.

3.2 Bentuk-bentuk Pelanggaran Etika Profesi Bimbingan dan Konseling

Secara umum bentuk pelanggaran kode etik dapat dikelompokkan menjadi


tiga, yaitu :

1. Terhadap Konseli

a. Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait


dengan kepentingan konseli.

b. Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).

c. Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.


Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi,
dan tindak lanjut).

2. Terhadap Organisasi Profesi

a. Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi
profesi.

b. Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk


kepentingan pribadi dan atau kelompok).
3. Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait

a. Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak


untuk bekerja sama, sikap arogan).

b. Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai


dengan masalah konseli.

3.3 Contoh Kasus-kasus Pelanggaran Etika Profesi Bimbingan dan


Konseling

Terdapat beberapa kasus nyata yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan


pelanggaran kode etik profesi bimbingan dan konseling, diantaranya yaitu:

1. Pelanggaran Etis tentang Hubungan Ganda


Hubungan ganda tidak selalu tidak etis, namun hubungan ganda
memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan dampak yang negatif.
Pelanggaran etis dalam hal hubungan ganda yang ditemukan di SMKN 5
Sukabumi yakni saat konselor memberikan bimbingan kepada siswa agar
menerapkan disiplin diri namun disisi lain pihak kesiswaan selalu
menitipkan surat pernyataan sanksi untuk disampaikan kepada siswa yang
melakukan pelanggaran. Hal ini bertentangan dengan kode etik konselor.
Karena peran konselor adalah memberikan pemahaman kepada siswa agar
sadar akan dirinya untuk tidak melakukan pelanggaran sementara konselor
juga harus memberikan punishment atau sanksi yang diberikan kepada
siswa yang melanggar.
Ini sangat bertentangan dengan etik konselor. Dalam posisi ini
penelitian (Arcuri, 2018) menjelaskan hubungan ganda dapat
membahayakan hubungan konselor sekolah dengan siswa ketika tugas dan
fungsi konselor sekolah bersifat kontradiktif. Lebih lanjut, Sedangkan di
pelanggaran etis di SMPN 4 Bekasi adanya perlakuan berlebihan konselor
sekolah kepada siswa. Hal ini juga tidak sesuai dengan kode etik
Bimbingan dan Konseling. Analisis dari kasus di SMPN 4 Bekasi tentunya
hal ini melanggar kode etik professional guru bimbingan dan konseling
yang merujuk pada batasan tentang hubungan ganda tercantum dalam
kode etik APA. Dalam hal ini terdapat tiga kriteria yang membantu dalam
membuat keputusan tentang hubungan ganda: (1) risiko eksploitasi, (2)
hilangnya objektivitas konselor, dan (3) kerusakan pada hubungan
professional.
2. Penanganan Kasus Hukum Guru BK Dinilai Lamban
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru
bimbingan dan konseling di sekolah menengah kejuruan (SMK) yang ada
di kota Tangerang dikeluhkan. Kasus yang menjerat seorang guru di
SMKN 1 Tangerang ini bermula saat orang tua murid melaporkan ihwal
percakapan tak senonoh dikirim melalui aplikasi WhatsApp kepada
anaknya oleh sang guru tersebut. Saat itu orang tua murid yakni
Krisnawati sebagai pelapor merasa geram atas tingkah laku guru tersebut.
Alhasil, setelah mengantongi beberapa bukti Krisnawati membawa
guru BK ini ke ranah hukum. Namun begitu dirinya sempat
menyayangkan perlakuan dari pihak sekolah yang seolah malah memberi
tameng kepada guru tersebut untuk dampingan hukum.
3. Guru BK di sebuah SMP Jawa barat cabuli lima muridnya
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan anak
(P2TP2A) Jawa Barat menerima laporan soal kasus kekerasan seksual
dilakukan guru Bimbingan dan Konseling di salah satu sekolah menengah
pertama (SMP). Ketua P2TP2A, Netty Prasetyani mengatakan, perkara itu
kembali menambah rentetan kejahatan seksual dengan anak sebagai
korbannya.
4. Guru BK Cabuli Siswi SMP di Sekolah, Polisi: Pengakuannya Khilaf
HB (53), seorang guru SMP di Kabupaten Banyuasin, Sumatera
Selatan, nyaris menjadi korban amukan warga. Pasalnya, oknum guru
Bimbingan Konseling (BK) tersebut tega mencabuli muridnya sendiri
berinisial S (13) pada Senin (31/8/2020). Dari pemeriksaan polisi, pelaku
mengakui perbuatannya. Alasannya melakukan perbuatan bejat itu karena
khilaf.
5. Guru Bimbingan Konseling Ini Pukul Murid SMA 11 Kupang Hingga
Berdarah
CYL (17) murid SMA Negeri 11 Kota Kupang-NTT ini,
ditempeleng gurunya hingga telinganya berdarah dan bernanah. Kasus ini
sudah dilaporkan dan ditangani Polisi. CY mengaku kejadian itu terjadi
pada pertengahan November 2017 lalu. Saat itu sedang dilangsungkan
upacara bendera di sekolahnya dan CY hendak buang air kecil sehingga
dia keluar dari barisan upacara dan menuju ke toilet sekolah. Keluar dari
Toilet dia bertemu dengan gurunya, ARM. Saat itulah CY ditempeleng
dengan sangat keras oleh ARM, sebanyak satu kali.
6. Guru BK di Malang Cabuli 18 Siswa
Seorang guru di SMPN 4 Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa
Timur, Chusnul Huda, 38, ditangkap Polres Malang, pada Jumat, 6
Desember 2019. Guru bimbingan konseling (BK) itu ditangkap lantaran
diduga mencabuli 18 siswa laki-laki di sekolahnya.
Kapolres Malang, AKBP Yade Setiawan Ujung, mengatakan
penangkapan tersangka berawal saat salah satu korban melapor ke polisi
pada Selasa 3 Desember 2019 lalu. Korban melapor bahwa terdapat
seorang guru di SMPN 4 Kepanjen yang melakukan perbuatan cabul.
Kapolres Malang, AKBP Yade Setiawan Ujung, menuturkan jika
dugaan korban lebih dari 18 orang itu, dikuatkan dengan pengakuan
tersangka CH (inisial). Di hadapan penyidik, pria kelahiran 18 November
1981 itu mengaku jika perbuatan amoralnya itu terjadi selama 2 tahun. Hal
itu sekaligus membantah dugaan awal, jika tersangka sempat diduga
melakukan pencabulan dalam kurun waktu 1 tahun.

Berdasarkan beberapa kasus nyata yang telah di paparkan di atas, dapat


diambil kesimpulan bahwa kasus-kasus yang sering terjadi di lingkungan
profesi bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut:

a. Memaparkan bahwa sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya
sebagai pendidik dan pengajar. Tugas mereka telah digantikan dengan
bimbingan belajar atau bimbel. Menurutnya, fenomena bimbel di sekolah
menunjukkan kenyataan, kepentingan siswa telah diperalat demi
kepentingan lain terutama demi kepentingan bisnis. Etika profesi pun
digadaikan demi uang. Tugasmendidik dan mengajar merupakan hak dan
kewajiban yang menjadi monopoli seorang guru. Ketika tugas tersebut
diserahkan oleh pihak lain yang tidak mempunyai kewenangan profesi,
maka etika profesi mulai tidak berada pada jalurnya. Dalam hal ini tugas
mendidik dan mengajar guru dilakukan secara tidak profesional.
b. Wacana yang belakangan mengemuka, persoalan pelanggaran etika
keilmuan/profesi sering hanya ditujukan kepada praktik-praktik
plagiarisme, yaitu penjiplakan, penggandaan, pengutipan, atau penyaduran,
manipulasi data, menjiplak, mengutip dari karya keilmuan/profesi orang
lain tanpa menyebutkan sumbernya. Pelanggaran etika keilmuan/profesi
hanya dipersepsi sebagai persoalan “plagarisme” semata. Seperti sudah
dikemukakan sebelumnya, etika keilmuan/profesi mencakup enam wilayah,
dan dari berbagai sumber yang sempat diakses, pelanggaran etika
keilmuan/profesi banyak jenisnya.
c. Seorang konselor yang dengan sengaja mempublikasikan data pribadi klien
kepada semua orang.
d. Ketika melakukan proses konseli, konselor yang mengambil keuntungan
dari masalah yang dihadapi klien

3.4 Mekanisme Penerapan Sanksi

Secara umum sanksi pelanggar kode etik diklasifikasikan menjadi dua


yaitu sanksi moral dan sanksi dikeluarkan dari organisasi. Sanksi moral
misalnya merasa bersalah, krisis atau hilang rasa percaya diri, tidak berani
tampil di publik, pudarnya reputasi dan kredibilitas (kepercayaan publik),
rendahnya permintaan jasa layanan konseling, dikucilkan oleh komunitas
profesi dan sebagainya. Sanksi moral demikian berlaku relatif, artinya tidak
semua pelanggar kode etik akan merasakan adanya sanksi moral tersebut.
Sanksi moral hanya berlaku bagi orang yang mempunyai hati yang bening
atau Qolbun salim.
Bagi orang yang ‘hatinya telah tertutup noda’ sulit merasakan adanya
sanksi moral. Berbeda dengan sanksi organisasi yang sifatnya formal, kasat
mata dan pasti sehingga bentuk sanksi ini lebih efektif dan mudah dikontrol.
Oleh karena itu, yang dimaksud bentuk sanksi pelanggaran kode etik di sini
adalah sanksi organisasi. Sanksi organisasi ini diatur dalam beberapa
tingkatan, mulai tingkat ringan, sedang sampai berat.
Dengan demikian, pemberian bentuk sanksi akan bergantung pada tingkat
pelanggarannya. Sesuai dengan hakekat pemberian sanksi yaitu untuk
memberikan efek jera agar tidak mengulang tindak pelanggaran kode etik
maka pemberian sanksi harus didasarkan pada pertimbangan rasa keadilan.
Sekurang-kurangnya ada lima bentuk sanksi bagi pelanggara kode etik profesi
konselor yaitu:
a. Memberikan teguran secara lisan
b. Memberikan surat peringatan (SP 1,2, dan 3) secara tertulis
c. Pencabutan keanggotan ABKIN dengan tidak hormat
d. Pencabutan lisensi bagi yang berpraktik mandiri atau dikeluarkan dari
lembaga tempat ia bekerja.
e. Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan
diserahkan pada pihak yang berwenang.
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas maka mekanisme
penerapan sangsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mendapatkan pengaduan dan informasi dari konseli dan atau masyarakat
b. Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik di tingkat daerah
c. Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan
makapenyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di tingkat daerah.
d. Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang
disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
e. Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode
etikdaerah terbukti kebenarannya maka diterapkan sangsi sesuai dengan
masalahnya.
Setiap pelanggaran terhadap kode etik dapat menyebabkan kerugian bagi
diri konselor sendiri maupun pihak yang dilayani. Bahkan Abkin menegaskan
bahwa setiap pelanggaran terhadap kode etik akan mendapatkan sanksi
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (Bab V kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling).
3.5 Permasalahan dalam Penerapan Kode Etik Profesi Bimbingan dan
Konseling

Kode etik profesi bimbingan dan konseling seperti yang telah dipaparkan
di atas belum sepenuhnya terimplementasikan secara baik. Masih banyak
terjadi kekeliruan dalam pelaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling
yang justru dilakukan oleh guru BK/Konselor sekolah itu sendiri. Seperti
penelitian yang dilakukan Suhertina (2010) terkait dengan implementasi kode
etik bimbingan dan konseling, ditemukan hasil bahwa Guru BK atau konselor
sekolah memiliki pemahaman yang relatif rendah terkait dengan kode etik
BK, bahkan yang mengejutkan yakni sebagian konselor sekolah tidak
mengenal kode etik BK.

Hartono (2009) juga mengatakan bahwa di sekolah beberapa kali terjadi


kebijakan birokrasi yang justru mengaburkan eksistensi dan peran bimbingan
dan konseling sebagai layanan ahli, seperti adanya penugasan menjadi guru
pembimbing (konselor sekolah) bagi seseorang guru yang tidak memiliki
kompetensi bimbingan dan konseling tanpa pendidikan dan pelatihan yang
memadai. Padahal berdasarkan kode etik profesi konseling, tercantum secara
jelas bahwa seorang guru BK harus memiliki kualifikasi yang memadai yang
meliputi nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang
Bimbingan dan Konseling, serta memperoleh pengakuan atas kemampuan dan
kewenangan sebagai Konselor.

Prayitno & Erman Amti (2004) menjelaskan bahwa masih banyak


kesalahpahaman tentang Bimbingan dan Konseling. Salah satu penyebabnya
adalah bidang bimbingan dan konseling digeluti oleh pihak yang bukan
berlatar belakang dari pendidikan bimbingan dan konseling. Pelaksanaan
Bimbingan dan konseling umumnya hanya untuk mengurusi siswa-siswa yang
bermasalah, baik yang dipanggil langsung oleh Konselor maupun dirujuk oleh
pihak lain, sehingga wajar apabila siswa tidak mau memanfaatkan pelayanan
Bimbingan dan Konseling. Mereka memiliki anggapan bahwa apabila apabila
datang ke ruangan BK maka menunjukan ia mengalami ketidakberesan
tertentu.
Ika Kusuma Wardani dan Retno Tri Hariastuti (2009) melakukan survei
sederhana dengan cara menyebarkan angket terbuka kepada siswa dengan
hasil bahwa 60% siswa mempunyai pandangan bahwa konselor sekolah
merupakan guru yang galak, suka memarahi dan menghukum siswa yang
melanggar tata tertib sekolah, serta terkadang kurang tegas dalam menghadapi
siswa. Data juga menunjukkan bahwa polisi sekolah merupakan image yang
sering disandang oleh seorang konselor sekolah. Persepsi tersebut tampaknya
telah membentuk pikiranpikiran negatif siswa sehingga mempengaruhi
pemahaman siswa tentang hakikat keberadaan konselor sekolah.

Berdasarkan penjelasan di atas terkait dengan permasalahan dalam


penerapan kode etik, penulis dapat merumuskan sumber permasalahannya
antara lain:

1. Pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling yang kurang memiliki


kompetensi. Hal ini dikarenakan banyak guru BK yang tidak berlatar belakang
pendidikan Bimbingan dan Konseling. Selain itu kemauan guru BK untuk
mengembangkan kompetensi seperti mengikuti pelatihan/ seminar/ worskhop
atau melanjutkan pendidikan yang linear masih rendah. Implikasi dari
rendahnya penguasaan kompetensi tersebut yakni buruknya pelayanan yang
diberikan kepada pengguna pelayanan konseling, seperti ada guru BK yang
menjadi polisi sekolah, guru BK yang pemarah/galak, guru BK yang tidak
mampu menyusun program BK, guru BK yang tidak mampu melakukan
kerjasama dengan rekan sejawat, di luar profesi atau hubungan dengan
lembaga, ketidakmampuan guru BK dalam menerapkan ilmu pendidikan
ketika melaksanakan pelayanan, ketidakmampuan guru BK dalam melakukan
evaluasi dan melakukan tindak lanjut dari evaluasi, serta masih banyak lagi.

2. Pihak di luar BK. Bimbingan dan Konseling merupakan bagian dari sistem
pendidikan itu sendiri, sehingga bagaimana dukungan dari sistem akan
memberikan warna postif pada terlaksananya pelayanan konseling. Namun
seperti yang kita lihat bahwa beberapa kebijakan yang dibuat oleh pihak
tertentu justru mengaburkan hakikat pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan para pembuat kebijakan
mengenai pelaksanaan pelayanan konseling yang ideal. Contohnya seperti
yang telah dipaparkan di atas, bahwa ada kebijakan yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang untuk mengangkat guru mata pelajaran menjadi guru
Bimbingan dan Konseling dikarenakan lebihnya guru mata pelajaran. Dapat
dibayangkan bagaimana pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling
yang dilaksanakan oleh tenaga yang tidak mengerti mengenai bimbingan dan
konseling. Demikian kompleksnya permasalahan terkait implementasi kode
etik profesi Bimbingan dan Konseling, menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan konseling. Banyak masyarakat
yang masih “kabur” mengenai apa itu konseling, siapa yang memberikan
pelayanan konseling, permasalahan apa saja yang dapat ditangani oleh
konselor, dan apa saja kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang konselor.
Persepsi seperti itu justru akan menghambat konseling untuk menjadi profesi
yang bermartabat. Kita lihat saja beberapa profesi lain yang telah kokoh
menunjukkan eksistensinya, sebut saja profesi Dokter, Advokat, Akuntan,
Psikolog, dan masih banyak lagi. Masyakarat akan berbondong-bondong
untuk mendatangi profesi-profesi tersebut ketika berhadapan dengan
permasalahan-permasalahan tertentu. Pada hakikatnya untuk menjadikan
profesi bimbingan dan konseling lebih bermartabat, di mana kode etik profesi
ditegakkan, harus dimulai dari kesadaran pada diri pelaksana pelayanan
bimbingan dan konseling. Guru BK/Konselor haruslah bersikap idealis dengan
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara benar. Mereka hendaknya
menumbuhkan perilaku altruistik, yakni keinginan membantu orang lain untuk
menjadi yang lebih baik dibandingkan menuntut haknya.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Etika profesi bimbingan dan konseling adalah kaidah-kaidah periaku yang


menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung
jawabnya memberi layanan bimbingan dan konseling kepada konseli. Bentuk
pelanggaran yang sering terjadi berbagai macam, ada terhadap konseli,
terhadap organisasi profesi, terhadap rekan sejawat dan profesi lain yang
terkait.

Penerapan kode etik profesi bimbingan dan konseling di Indonesia masih


belum tercapai secara maksimal. Masih banyak guru BK/Konselor yang tidak
mengetahui rincian kode etik profesi serta tidak mampu melaksanakannya.
Selain itu, pihak luar juga memiliki andil pada terhambatnya penerapan kode
etik profesi bimbingan dan konseling. Permasalahan tersebut tentunya harus
segera dapat diatasi.

Langkah pertama yang harus dilakukan yakni menumbuhkan kesadaran


pada diri masing-masing guru BK/Konselor bahwa mereka harus senantiasa
menjalankan tugas pokoknya secara benar, mereka juga secara
berkesinambunan harus mengembangkan diri baik secara formal maupun
berdiskusi dengan rekan sejawat. Bagi para pembuat kebijakan, hendaknya
dapat menyusun regulasi yang jelas dan benar disertai dengan petunjuk teknis
pelaksanaannya. Pelaksanaan regulasi tersebut seharusnya senantiasa diawasi
baik dalam proses pelaksanaanya maupun pasca pelaksanaan pelayanan.

4.2 Saran

Dengan adanya makalah ini, diharapkan para pembaca setelahnya dapat


memanfaatkan adanya materi-materi terkait teori bimbingan dan konseling
dan mengenai kasus-kasus pelanggaran yang terbuka dan tertutup dalam
rumpun profesi ini sebagai sebuah bentuk untuk menambah wawasan
mengenai kode etik bimbingan dan konseling serta dalam mengembangkan
diri sebagai calon konselor yang lebih profesional.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, N., Kurniawati, S. Z., & Marjo, H. K. (2021). Pelaksanaan Kode Etik
Konselor dalam Hubungan Ganda di Sekolah. Jurnal Ilmiah Bimbingan
Konseling Undiksha, 73-77.

Anggara, W. (2014). Makalah Kasus-kasus Pelanggaran Etika Profesi BK. Materi


Tentang Bimbingan dan Konseling.
http://widiaanggara.blogspot.com/2014/06/makalah-kasus-kasus-
pelanggaran-etika.html

Corey, G., Corey, M. S., & Callanan, P. (2011). Issues and Ethics in the Helping
Professions. Beimont, USA: Brooks/Cole, Cengage Learning.

Hikmawati, F. (2016). Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rajawali Pers.

Hunainah. (2013). Etika Profesi Bimbingan Konseling. Bandung: RIZQI PRESS.

Indonesia, P. B. (2018). Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia.


Yogyakarta: abkin.

Nurmaulidya, A., Nurbaeti, & Marjo, H. K. (2021). PENGETAHUAN


KONSELOR DALAM ETIKA PROFESIONAL PADA KONSELING
SETTING KOMUNITAS. JURNAL EDUKASI Jurnal Bimbingan
Konseling, 53-63.

Nuzliah, & Siswanto, I. (2019). STANDARISASI KODE ETIK PROFESI


BIMBINGAN DAN KONSELING. JURNAL EDUKASI Jurnal
Bimbingan Konseling, 64-75.

Sujadi, E. (2018). KODE ETIK PROFESI KONSELING SERTA


PERMASALAHAN DALAM PENERAPANNYA. Jurnal Tarbawi:
Jurnal Ilmu Pendidikan, 69-77.

Wibowo, M. E. (2018). Profesi Konseling Abad 21. Semarang: UNNES PRESS.


Referensi Kasus-kasus:

https://cnnbanten.id/2019/05/14/penanganan-kasus-hukum-guru-bk-dinilai-
lamban/

https://www.merdeka.com/peristiwa/guru-bk-di-sebuah-smp-jawa-barat-
cabuli-lima-muridnya.html

https://regional.kompas.com/read/2020/09/01/12533631/guru-bk-cabuli-siswi-
smp-di-sekolah-polisi-pengakuannya-khilaf?page=all

https://kupang.tribunnews.com/2018/02/16/sadis-murid-sma-di-kupang-
ditempeleng-guru-hingga-telinganya-bernanah

https://www.medcom.id/nasional/daerah/5b2AxJ6N-guru-bk-di-malang-
cabuli-18-siswa

https://www.malangtimes.com/baca/46913/20191207/165800/aksi-
pencabulan-dilakukan-selama-2-tahun-korban-cabul-guru-bk-diperkirakan-
lebih-dari-18-siswa

Anda mungkin juga menyukai