Anda di halaman 1dari 275

Case 1

Kasus – Tn. B

Tutorial 1 part 1

Seorang laki-laki Yn. B usia 67 tahun, pedagang bakso keliling, dating ke


puskesma Bedji Depok dengan keluhan timbul plenting bergerombol di dada
kanan, kulit sekitarnya berwarrna kemerahan disertai dengan demam, nyeri di
sekitar plenting dan panas seperti luka terbakar sejak 5 hari yang lalu, plenting
tidak menjalar ke bagian tubuh lain sebagian plenting pecah dan keluar cairan
jernih. Pasien ridak ingat apakah sewaktu kecil pernah sakit cacar air. Tidak ada
anggota keluarga yang sakit seperti ini.

Tutorial 1 part 2

Pada pemeriksaan fisi ditemukan:

a. Stratus generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Td : 130/80 mmHg
Pernapasan :20x/ menit
Nadi : 96x/menit
Suhu : 38ᵒC
Kepala : normocephal, rambut tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis -/- ikterik -/-
THT : normotia, deviasi septum (-), faring hiperemis (-)
Leher : kelenjar tiroid dan KGB tidak terasa membesar
Thorax : jantung-paru dbn, ada pembesaran kelenjar
limfe dan nyeri di aksila kanan.
Abdomen : datar, bising usus (+), normal, nyeri tekan (-)
Ektremitas : akral hangat, edema (-) kuku tidak ada kelainan
b. Pemeriksaan Dermatologis
Lesi di dada kanan dengan efloresensi berupa vesike;-vesikel
berkemlompok berwarna jernih di atas kulit eritema. Beberapa vesikel
sudah menyatu membentuk bula. Lesi bersifat unilateral (tidak melewati
garis tengah).

Tutorial 1 part 3

a. Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap :


Hb : 14 g/dl
Ht : 48,2%
Trombosit : 177.000/micro l
Leukosit : 9.000/ micro l
Diff count/ hitung jenis leukosit:
Basophil : 0 (0-0,75%)
Eosinophil : 3 (1-3%)
Batang : 4 (3-5%)
Segmen : 60 ( 54-62%)
Limfosit : 28 (25-33%)
Monosit : 5 (3-7%)
b. Pemerikasaan penunjang :
pada pemeriksaan Tzank smear dari lesi ditemukan giant cells yang
multinuclear

Tutorial 1 part 4

dokter mendiagnosis Tn.B menderita Hepes Zoster Thorakalis Dekstra

ia berika terapi :

1. Obat antivirus : asikvir 5 x 800 mg/ hari selama 7-10 hari.


2. Alagetik & antipiretik : asam mefenamat 3x 500 mg/ hari.
3. Bedak salisi 1% dengan mentol 0,5% untuk mencegah pecahnya vesikel/
bula dan untuk mengurangi gatal.
4. Slep antibiotic untuk lesi yang pecah.

Edukasi :

1. Memberikan penjelasan tentang penyebab, perjalanan penyakit, dan cara


penggunaan obat yang benar.
2. Pasien dianjurkan untuk bedrest
3. Pasien dianjurkan menggunting kuku dan jangan menggaruk serta minum
air putih yang banyak.
4. Pasien diminta dating kontrol tiga hari kemudian untuk menilai hasil
pengobatan
5. Pasien sudah berusia 67 tahun kemungkinan terjadi neuralgia
pascaherpetic.
BASIC SCIENCE KULIT

A. Definisi

Kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia dengan berat sekitar 5 kg
dan luas 2m2 pada seseorang dengan berat 70 kg (Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin UI)

Kulit terdiri dari :

1. Epidermis (bagian terluar kulit, lebih tipis)

2. Dermis (lapisan jaringan penyambung, lebih tebal)

3. Subkutis (lapisan sub kutan yang terdiri dari sel adiposit)

Adneksa kulit

• Rambut

• Kuku

• Kelenjar sebasea

• Kelenjar keringat (ekrin, apokrin)

Struktur lain : Sistem limfatik, Pembuluh darah, Saraf kulit

B. Embriologi Kulit
1) Lapisan superfisial (epidermis) terbentuk dari ectoderm permukaan

Pada awalnya (5 minggu) mudigah dilapisi oleh lapisan ectoderm, pada


bulan kedua (7 minggu) , epitel ini membelah dan terbentuk suatu sel gepeng
(periderm/epitrikum yang terdiri dari sel skuamosa dan lapisan basalis yang akan
membentuk stratum basalis dan sel kulit lainnya) di permukaaannya. Pada
proliferasi sel selanjutnya terbentuklah zona ke 3 (intermediet) pada bulan ke 4.

2) Lapisan dalam (dermis) berasal dari mesenkim di bawahnya

Berasal dari mesoderm lempeng lateral dan dermatom dari somit, selama
bulan ke 3 dan 4, selama itu korium membentuk banyak striktur papilar ireguler
(dermis yang menonjol ke epidermis) sebagian papilar ini mengandung kapiler
halus dan ujung saraf sensorik. Jaringan dermis yang lebih dalam (sub korium)
mengandung banyak jaringan lemak. Saat lahir, kulit dilapisi oleh pasta
keputihnan (vernikus kaseosa) yang dibentuk oleh sekresi kelenjar sebasea dan sel
epidermis dan rambut yg mengalam degenerasi. Lapisan ini mengandung
(melindungi) kulit dari efek maserasi cairan ketuban. (embriologi Langman)

C. Fisiologi Kulit

Fungsi Kulit Penjelasan

1. Fungsi Proteksi, • Gangguan fisik/mekanik terhadap


terhadap: tekanan, gesekan, tarikan
• Gangguan kimiawi, misal terhadap zat-zat
kimia yg bersifat iritan
• Gangguan yg bersifat panas, misal:
radiasi, sengatan UV
• Gangguan infeksi luar, misal bakteri atau
jamur

2. Fungsi Absorbsi • Cairan


• O2, CO2, uap air  ambil bagian dlm
fungsi respirasi

3. Fungsi Ekskresi • Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yg


tidak berguna lagi atau sisa metabolisme
di dlm tubuh berupa NaCl, urea, asam
urat, dan amonia
• Sebum  menahan penguapan air yg
berlebihan

4. Fungsi Persepsi • Kulit mengandung ujung2 saraf sensorik


di dermis & subkutis
• Panas  badan Ruffini di dermis
dan subkutis
• Dingin  badan Krause di dermis
• Rabaan  badan Meissner di
papila dermis
• badan Merkel
Ranvier di epidermis
• Tekanan  badan Pacini di
epidermis

5. Fungsi Pengaturan  Mengeluarkan keringat


Suhu Tubuh  Kontraksi Otot pembuluh darah kulit
(Termoregulasi)

6. Fungsi • Melanosit yang berlokasi di lapisan sel


Pembentukan basal memproduksi pigmen melanin
Pigmen dalam suatu organel yg disebut
melanosom.
• Melanin disebarkan merata pada stratum
korneum untuk membentuk lapisan yang
menyerap UV dan menurunkan radiasi yg
masuk ke kulit.
• Perbedaan pigmentasi pd tiap ras bukan
disebabkan krn perbedaan jumlah
melanosit, tetapi karena perbedaan jumlah
dan ukuran melanosom.
• Individu berkulit terang: - feomelanin >
eumelanin
• - bentuk
melanosom lbh bulat

7. Fungsi • Proliferasi dan diferensiasi sel basal 


Keratinisasi bergerak ke atas  membentuk korneosit
pada stratum korneum
• 14 hari  mencapai stratum korneum
• 14 hari  stratum korneum lepas

8. Fungsi • Keratinosit mengubah 7-dehidroksi-


Pembentukan kolesterol menjadi vitamin D dengan
Vitamin D pertolongan sinar matahari.

9. Lain-lain • Mencegah kehilangan cairan tubuh


• Permukaan untuk menggenggam
• Fungsi estetika
• Mengekspresikan emosi

Di kulit kita terdapat dua jenis kulit yaitu :

 Kulit glabrosa (kulit yang tidak berambut) ditemukan pada telapak


tangan , telapak kaki, kulit memiliki relief yang jelas (dermatoglypics), 10
kali lebih tebal, missal di daerah lipatan (fleksural) kaya akan kelenjar
keringat tapi miskis kelenjar sebasea.
 Kulit berambut (hairy skin) ditemukan
pada seluruh bagian tubuh kecuali telapak
tangan dan telapak kaki, labia minor, glans
penis, bibir, aerola mamae, memiliki
banyak folikel dan kelenjar sebasea.
Tipe kulit menurut Fitzpatrick

Type 1 always burn never tans


Type 2 Usually burns, tans with difficulty
Type 3 Sometime mild burns, tans graduallt to light
brown
Type IV Rarely burns, tans easly to moderate brown
Type V Never burns tans very easly deeply
pigmented

D. Histologi Kulit

1) Epidermis

 Komponen paling tipis dan terluar,


ketebalannya bervariasi
 0,05 mm  kelopak mata
 1,5 mm  telapak kaki
 rata-rata 0,1 mm
Dibagi 4 lapisan berdasarkan tahapan
maturasi keratin:

 Stratum basale
 Stratum spinosum
 Stratum granulosum
 Stratum korneum
Sel-sel penyusun epidermis :

 Keratinosit (utama)
 Melanosit
 Sel Merkel
 Sel-sel yang berpindah keluar-masuk kulit :
 Sel Langerhans
 Sel T intraepidermal
a) Stratum Bassale : tersusun dari sel-sel kuboid berbentuk palisade, aktif
bermitosis

Keratinosit terikat membran basalis oleh hemidesmosom

 Melanosit  5-10%  sintesis melanin


 Sel Merkel  jarang  sensasi
b) Stratum Spinosum (Lapisan Sel Prickle) : 8-10 sel polyhedral
(keratinosit), terlihat seperti duri

 Sel-sel polihedral  hasil pembelahan sel basal yg bergerak ke


atas  saling dihubungkan oleh desmosom
 Sel-sel Langerhans terutama dijumpai pada lapisan ini
c) Stratum Granulosum (Lapisan Sel Granuler) : 3-5 lapis sel, akumulasi
granula keratohyalin. KG mengandung profilagrin dan loricrin yang
penting dalam pembentukan CCE (Cornified Cell Envelope), profilagrin
akan dipecah menjadi filagin lalu bergabung dengan KIF menjadi
mikrofilamen, filagin akan dipecah menjadi asam urokanat untuk menjaga
kelembaban stratum korneum dan menyaring UV. Loricrin dan protein-
protein structural yang saling berdesmosom dengan lapisan membran
plasma keratinosit akan membentuk CCE (sawar stratum korneum) ,
berlangsung dalam 14 hari.

d) Stratum Korneum (Lapisan Sel Tanduk)

Hasil akhir maturasi keratinosit  sel-sel tanpa inti (korneosit) secara


terus menerus diganti (desquamation), merupakan pertahanan efektif
terhadap cahaya, panas, bakteri, memberi perlindungan terhadap trauma
mekanis, produksi sitokin untuk reaksi peradanga, permukaaan dapat
terkelupas (stratum disjungtum)

Taut Dermo-epidermal

Merupakan zona membran basalis yang membentuk perbatasan


antara epidermis dan dermis.

Fungsi utama:

 Melekatkan epidermis dan dermis satu sama lain


 Resistensi terhadap kekuatan merusak dari luar.
 Mempertahankan integritas struktur kulit  kerusakan taut dapat
menyebabkan penyakit berlepuh

2) Dermis

 Matriks jaringan ikat suportif di bawah


epidermis.
 Ketebalan bervariasi
 -0.6 mm  kelopak mata
3 mm / >>  punggung, telapak tangan dan telapak kaki

Dibagi 2 lapisan:

- Pars Papilare  atas  terdiri dari jaringan kolagen longgar


- Pars Retikulare  bawah kolagen yang lebih kasar dan tersusun
horizontal
 Serabut kolagen  70% dermis  untuk kekuatan dermis
 Serabut elastin elastisitas kulit
 Glikosaminoglikan (GAG)  matriks semi-solid
Sel-sel pada dermis :

 Fibroblas  sintesis kolagen, elastin, GAG


 Dendrosit dermis  sel dendritik  fungsi imun
 Sel mast, makrofag, limfosit
c) Subkutis

 Terdiri dari jaringan ikat longgar dan lemak.


 Kira-kira 10% BB
 Ketebalan mencapai 3 cm pada abdomen.
 Sel utama subkutis adalah adiposit, merupakan sel mesenkimal khusus
yang menjadi tempat penyimpanan lemak.
- Menyimpan panas

- Tempat penyimpanan energi yang penting

- Peredam benturan untuk organ-organ dan struktur di bawahnya

- Tempat metabolisme dan sintesis hormon steroid

- Produksi berbagai neurohormon dan neuropeptida

- Mengatur masukan makanan, metabolisme energi, resistensi atau sensitivitas


insulin

E. Jaringan Adneksa Kuilit

1) Kelenjar Sebasea

 = kelenjar palit, kelenjar holokrin


 Terletak di seluruh permukaan kulit manusia, kecuali telapak tangan
dan kaki.
 Biasanya terletak di samping akar rambut
dan muaranya terdapat pada lumen folikel
rambut
 Mensekresi sebum
 Dipengaruhi hormon androgen  pada
anak-anak jumlah kel. sebasea sedikit dan
kecil, pada pubertas menjadi lebih besar dan banyak, serta mulai
berfungsi secara aktif
2) Rambut

Terdapat di seluruh permukaan kulit kecuali


telapak tangan, telapak kaki, glans penis, dan
introitus vagina. Terdiri dari beberapa jenis yaitu :

 Lanugo : Halus dan panjang, terbentuk


pada fetus 20 mgg, umumnya rontok seblm
kelahiran, dpt dijumpai pd bayi prematur
 Velus : Pendek, halus, berwarna terang,
menutupi hampir seluruh permukaan tubuh,
medula (-)
 Terminal : Panjang, tebal, berwarna gelap, pada skalp, alis, bulu
mata, pubis, aksila, janggut, medula (+)
Lapisan Rambut
 Medula – Korteks – Kutikula
 Kutikula – Huxley – Henle
 Sarung Akar Luar
Pertumbuhan Rambut (-+ 1cm Per bulan)
 Fase Anagen (Pertumbuhan), Katagen (Degenerasi), Telogen
(Istirahat).
Mekanisme:
Warna Rambut:
Disebabkan karena Melanosit mentransfer melanin ke bagian Korteks &
Medula Rambut.
Eumelanin: Memberi warna Hitam – Coklat
Pheomelanin: Memberi warna Kuning – Merah
Otot Arektor Pili: Membuat bulu tegak

3) Kuku

Terletak pd aspek dorsal falang distal di setiap jari tangan dan kaki, kuku
(juga disebut sebagai lempeng kuku) merupakan struktur keras, konveks,
rektanguler, dan tembus pandang, dgn ketebalan kira-kira 0,3 – 0,5 mm,
Kecepatan pertumbuhan kuku  0,1 mm / 24 jam. Kuku mempunyai
beberapa fungsi:

 Melindungi falang terminal


 Memiliki fungsi estetika
 Menerima stimulus taktil halus
 Sebagai alat menggaruk kulit
 Sebagai pemegang benda kecil.

F. Histopatologi Kulit

Epidermis Dermis Subkutis


1) Hiperkeratosis 1) Peradangan
1) Papilomatosis: papil
 Parakeratosis: inti
yang memanjang melampaui
(+) c/psoriasis
batas permukaan kulit.
 Ortokeratosis: inti
c/psoriasis

(-)

2) Hipertrofi: epidermis yg 2) Fibrosis: kolagen <<, 2) Vaskulitis


menebal krn sel2nya bertambah fibroblas >>
besar.

3) Atrofi: penipisan epidermis krn 3) Sklerosis: kolagen >>, 3) Nekrosis


sel2nya mengecil dan fibroblas <<
berkurang.c/lupus

4) Hipergranulosis: 4) Proses
penebalan str. Granulosum degeneratif
c/veruka vulgaris

5) Spongiosis: penimbunan cairan


diantara sel2 epidermis. c/scabies

6) Akantosis: penebalan str.


Spinosum c/veruka, keratosis
seboroik

7) Akantolisis: hilangnya
kohesi antar sel2 epidermis,
shg terbentuk celah.
c/pemphigus

8) Eksositosis: sel2 radang yg msk


ke dlm epidermis

9) Diskeratotik: sel epidermis yg


mengalami keratinisasi lebih awal
c/KSS
BASIC SCIENCE VIRUS

A. PengertianVirus

Virus berasal dari bahasa yunani “Venom” yang berarti racun. Virus
adalah parasit mikroskopik yang menginfeksiselorganisme biologis.
Secara umum virus merupakan partikel tersusun atas elemen genetik
(genom) yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam
deoksiribonukleat (DNA) atau asam ribonukleat (RNA) yang dapat berada
dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara intraseluler dalam tubuh
inang dan ekstrseluler diluar tubuh inang. Virus memiliki sifat hidup dan
mati. Sifat hidup (seluler) yaitu memiliki asam nukleat namun tidak
keduanya (hanya DNA atau RNA), dapat bereproduksi dengan replikasi
dan hanya dapat dilakukan didalam sel inang (parasit obligat intraseluler).
Sifat mati (aseluler) yaitu dapat di kristalkan dan dicairkan. Struktur
berbeda dengan sel dan tidak melakukan metabolisme sel.

Partikel virus secara keseluruhan ketika berada di luar inang yang terdiri
dari asam nukleat yang dikelilingi oleh protein dikenal dengan nama
virion. Virion tidak melakukan aktivitas biosinteis dan reproduksi. Pada
saat virion memasuki sel inang, baru kemudian akan terjadi proses
reproduksi. Virus ketika memasuki sel inang akan mengambil alih
aktivitas inang untuk menghasilkan komponen-komponen pembentuk
virus.

B. Bentuk dan Ukuran Virus

Bentuk virus bervariasi dari segi ukuran, bentuk dan komposisi


kimiawinya. Bentuk virus ada yang berbentuk bulat, oval, memanjang,
silindariis, dan ada juga yang berbentuk T. Ukuran Virus sangat kecil,
hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron, ukuran
virus lebih kecil daripada bakteri. Ukurannya berkisar dari 0,02
mikrometer sampai 0,3 mikrometer (1 μm = 1/1000 mm). Unit pengukuran
virus biasanya dinyatakan dalam nanometer (nm). 1 nm adalah 1/1000
mikrometer dan seperjuta milimeter. Virus cacar merupakan salah satu
virus yang ukurannya terbesar yaitu berdiameter 200 nm, dan virus polio
merupakan virus terkecil yang hanya berukuran 28 nm.

C. SusunanTubuh

1. Kapsid
Kapsid adalah lapisan pembungkus tubuh virus yang tersusun atas
protein. Kapsid terdiri dari sejumlah kapsomer yang terikar satu
sama lain. Fungsi:
1. Memberi bentuk virus
2. Pelindung dari kondisi lingkungan yang merugikan
3. Mempermudah penempelan pada proses penembusan ke
dalam sel
2. Isi
Terdapat di sebelah dalam kapsid berupa materi
genetik/ molekul pembawa sifat keturunan yaitu
DNA atau RNA. Virus hanya memiliki satu asam
nukleat saja yaitu satu DNA/ satu RNA saja, tidak
kedua-duanya. Asam nukleat sering bergabung
dengan protein disebut nukleoprotein. Virus tanaman/ hewan berisi
RNA/ DNA, virus fage berisi DNA.
3. Kepala

Kepala virus berisi DNA, RNA dan diselubungi oleh kapsid.


Kapsid tersusun oleh satu unit protein yang disebut kapsomer.

4. Ekor

Serabut ekor adalah bagian yang berupa jarum dan berfungsi untuk
menempelkan tubuh virus pada sel inang. Ekor ini melekat pada
kepala kapsid. Struktur virus ada 2 macam yaitu virus telanjang
dan virus terselubung (bila terdapat selubung luar (envelope) yang
terdiri dari protein dan lipid). Ekor virus terdiri atas tabung
bersumbat yang dilengkapi benang atau serabut. Khusus untuk
virus yang menginfeksi sel eukariotik tidak memiliki ekor.

D. Pengembangbiakan Virus

Virus memanfaatkan metabolisme sel penjamu untuk membantu sintesis


protein virus dan virion baru; jenis sel yang dapat diinfeksi oleh virus
dapat sedikit dapat banyak. Untuk tujuan diagnosti, sebagian besar virus
ditumbuhkan dalam biakan sel, baik turunan sel sekunder atau kontinu;
pemakaian telur embrionik dan hewan percobaan untuk membiakan virus
hanya dilakukan untuk investigasi khusus. Jenis biakan sel untuk
mengembangbiakan virus sering berasal dari jaringan tumor, yang dapat
digunakan secara terus menerus.

Replikasi virus dalam biakan sel dapat di deteksi dengan Tahap-tahap


replikasi:

1. Peletakan/ Adsorpsi adalah tahap penempelan virus pada dinding


sel inang. Virus menempelkan sisi tempel/ reseptor site ke dinding
sel bakteri
2. Penetrasi sel inang yaitu enzim dikeluarkan untuk membuka
dinding sel bakteri. Molekul asam nukleat (DNA/RNA) virus
bergerak melalui pipa ekor dan masuk ke dalam sitoplasma sel
melalui dinding sel yang terbuka. Pada virus telanjang, proses
penyusupan ini dengan cara fagositosis virion (viropexis), pada
virus terselubung dengan cara fusi yang diikuti masuknya
nukleokapsid ke sitoplasma.
3. Eklipase: asam nukleat virus menggunakan asam nukleat bakteri
untuk membentuk bagian-bagian tubuh virus.
4. Pembentukan virus (bakteriofage) baru: bagian-bagian tubuh virus
yang terbentuk digabungkan untuk menjadi virus baru. 1 sel bakteri
dihasilkan 100 – 300 virus baru
5. Pemecahan sel inang: pecahnya sel bakteri. Dengan terbentuknya
enzim lisoenzim yang melarutkan dinding sel bakteri sehingga
pecah dan keluarlah virus-virus baru yang mencari sel bakteri lain

E. Klasifikasi Virus

Nama famili ditandai dengan akhiran viridae. Nama subfamili diberi


akhiran virinae Nama akhiran genus diberi akhiran virus. Lwoff, Horne &
Tournier adl ahli dlm taksonomi virus, berdasarkan kriteria

1. Jenis asam nukleat (DNA/ RNA) berantai ganda/ tunggal


2. Ukuran & morfologi tmsk tipe simetri kapsid
3. Adanya enzim spesifik, terutama polimerase RNA & DNA yang penting
bg replikasi genom
4. Kepekaan thd zat kimia & keadaan fisik
5. Cara penyebaran alamiah
6. Gejala2 yang timbul
7. Ada tidaknya selubung
8. Banyaknya kapsomer untuk virus ikosohedarial/ diameter nukleokapsid
untuk virus helikoidal
Saat ini telah lebih dari 61 famili virus diidentifikasi, 21 diantaranya
mempunyai anggota yang mampu menyerang mns & binatang.

Menurut RNA, famili virus dibagi menjadi:

1. Picontohrnaviridae
2. Caliciviridae
3. Togaviridae
4. Flaviviridae
5. Rhabdoviridae
6. Filoviridae
7. Paramyxoviridae
8. Orthomyxoviridae
9. Reoviridae
10. Retroviridae
11. Adenoviridae
12. Herpesviridae
13. Hepadnaviridae

Selain itu terdapat kelompok virus yang belum dapat diklasifikasikan


(unclassified virus) karena banyak sifat biologiknya belum diketahui,
seperti

1. Bunyaviridae
2. Arenaviridae
3. Contohronaviridae

Menurut DNA, famili virus dibagi menjadi:

1. Papovaviridae
2. Parvoviridae
3. Poxviridae

F. Peran Virus
Didalam kehidupan, virus memiliki 2 peran, yaitu peran virus sebagai
mikroorganisme yang menguntungkan, maupun yang merugikan.
Virus yang menguntungkan: Virus berperan penting dalam bidang
rekayasa genetika karena dapat digunakan untuk cloning gen (reproduksi
DNA yang secara genetis identik). Sebagai contoh adalah virus yang
membawa gen untuk mengendalikan pertumbuhan serangga. Virus juga
digunakan untuk terapi gen manusia sehingga diharapkan penyakit genetis,
seperti diabetes dan kanker dapat disembuhkan.

Virus yang merugikan: Virus yang dapat merugikan karena


menyebabkan berbagai jenis penyakit pada manusia, hewan dan
tumbuhan.
Human alphaherpesvirus 3 (varicella-zoster virus/VZV)

Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang menyebabkan cacar air (chicken pox)
dan herpes zoster (shingles). VZV memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut:

Phylum : incertae sedis

Class : incertae sedis

Order : Herpesvirales

Family : Herpesviridae

Genus : Varicellovirus

Species : Human alphaherpesvirus 3

Varicella-zoster virus adalah virus yang hanya dapat hidup di manusia dan primata
(simian). Pertikel virus (virion) Varicella zoster memiliki ukuran 180-300 nm berbentuk
spherical. Virus ini memiliki 69 daerah yang mengkodekan gen tertentu sedangkan genom virus
ini berukuran 125 kb (kilo-basa).

Varicella-zoster virus bermultiplikasi di paru-paru dan menyebabkan berbagai macam


gejala (symptoms). Setelah terkena cacar air, virus dalam tubuh penderita akan dorman di dalam
saraf trigeminal dan akar dorsal ganglia. Virus tersebut akan aktif kembali apabila ketahanan
tubuh penderita menurun. Virus ini memiliki periode inkubasi 10-21 hari dengan rata-rata 14
hari.

Komposisi virion adalah berupa kapsid, selubung virus, dan nukleokapsid yang
berfungsi untuk melindungi inti berisi DNA double stranded genom. Morfologi VZV sendiri
Hampir mirip dengan Herpes simplex virus (HSV) namun tidak dapat memproduksi LAT
(latency-asociated transcripts) yang memiliki peran penting dalam membentuk HSV latency.
DNA virus ini single, linear, dan memiliki molekul double-stranded sepanjang 125.000
nt . Kapsid virus dikelilingi protein tergabung lemah yang dinamakan tegumen yang berperan
penting dalam memulai proses reproduksi virus dalam sel. Setiap tegumen ditutupi envelope
lipid yang tergabung dengan glikoprotein dan terlihat pada exterior virion sepanjang kurang
lebih 8nm.

Nukleokapsid memiliki bentuk ikosahedral, memiliki diameter 100-110 nm, dan terdiri
dari 162 protein hexameric dan pentameric yang dikenal dengan istilah kapsomer. Virus ini
akan mengalami inaktivasi pada suhu 56-60 °C dan menjadi tidak berbahaya apabila bagian
amplop virus ini rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui pernapasan dan melalui
vesikel pada kulit pada penderita.

Basic Sciences of Virology

Definisi Virus

Merupakan makhluk peralihan (hanya bereproduksi) berdiameter 20-300 nm dan hanya dapat
dilihat oleh mikroskop elektron. Hanya dapat hidup dalam sel inang serta memiliki salah satu
asam nukleat saja (DNA atau RNA).

Taksonomi Virus

Family : Herpesviridae

Genus : Varicellovirus

Species : Human alphaherpesvirus 3 (penyebab cacar air/api)

Family : Picornaviridae

Genus : Enterovirus

Spesies : Poliovirus (penyebab polio)

Struktur Virus

a) Kapsomer: Kelompok polipeptida yang bergabung membentuk kapsid


b) Kapsid: lapisan menyelubungi asam nukleat, melindungi asam nukleat, injeksi
c) Asam Nukleat: DNA/RNA
d) Selubung (Envelope) : Membran lipid yang membungkus nukleokapsid
e) Spikes: tersusun dari karbohidrat dan protein untuk proses attachment virus

Morfologi Virus

a) Simetri Helix
Asam nukleat yang memanjang dikelilingi oleh molekul-molekul protein
yang tersusun seperti spiral sehingga hanya memiliki satu aksis rotasi. Contoh:
myxovirus dan rhadovirus
b) Simetri Ikosahedral

Bentuk tata ruang dibatasi 20 segitiga sama sisi, memiliki aksis rotasi
berganda. Contoh: porvovirus, papovavirus, adenovirus, herpesvirus.

c) Simetri Kompleks

Gabungan simetri helix dan ikosahedral. Contohnya bakteriofage T2.

Klasifikasi Virus

a) Berdasarkan asam nukleatnya menjadi:


1. Virus DNA
Memiliki satu materi genetik berupa DNA. Biasanya dirakit di dalam inti sel.
Misalnya: parvovirus, poliomavirus, papilomavirus, adenovirus, herpesvirus,
poxyvirus, hepadnavirus.
2. Virus RNA
Memiliki satu materi genetik yaitu RNA. Dapat membentuk DNA sendiri
diambil dari DNA sel inang dengan enzim reverse-transcription.
Misalnya :Picornavirus, flavivirus, rabdovirus, orthomyxovirus, paramyxovirus.
b) Berdasarkan ada tidaknya envelope/selubung
c) Berdasarkan simetri kapsid

Reproduksi Virus

1. Attachment (penempelan terhadap inang)


2. Penetrasi(virus menyusup ke sitoplasma sel inang)
3. Uncoating (pelepasan asam nukleat dari pembungkus luar)
4. Replikasi
5. Assemblying (perakitan kompoknen virus dan pembungkusan asam nukleat)
6. Release (pelepasan virus)

Reproduksi Virus di Laboratorium

1. Cara In-vitro
2. Cara In ovo
3. Cara In-vivo
EFLORESENSI KULIT

Definisi

Kelainan kulit yang dapat dilihat dengan mata telanjang (secara obyektif)

Ada 2 macam :

a. Primer : kelainan kulit yang terjadi pada permulaan penyakit


b. Sekunder : kelainan kulit yang terjadi selama perjalanan penyakit / pengaruh lingkungan

Efloresensi primer

1. Makula
Kelainan kulit yang mengalami perubahan warna yang tidak diserta penojolan kulit dan
tidak ada lekukan pada kulit. Biasanya berdiameter kurang dari 1 cm.

Contoh makula terdapat pada: Ephilide/Freckle, Henoch Schonlein Purpura. Dengue


Fever

Makula Hiperpigmentasi terjadi karena peningkatan sekresi melanin.


Makula Hipopigmentasi terjadi karena penurunan atau tidak adanya sintesis melanin.
Makula Eritem terjadi karena dilatasi pembuluh darah, ekstravasasi sel-sel darah merah
kepermukaan kulit.

2. Papula
Kelainan kulit dimana terdapat elevasi yang dapat diraba dari kulit yang bervariasi
diameternya yaitu kurang dari 0,5-1 cm. Terjadi karena peradangan yang sebagian besar
terjadi di dermis. Kemudian komponen-komponen peradangan tersebut membentuk
masa yang solid

Contoh papula terdapat pada: Lichen planus, secondary syphilis, nevus

3. Plaque
kelainan kulit seperti papula dengan permukaan datar dan diameter >1 cm. Plak dapat
terjadi karena perluasan suatu papula, tetapi dapat juga karena gabungan atau konfluensi
dari beberapa papula.

Contoh plaque terdapat pada: Psoriasis, Keratosis aktinik.

4. Nodule
Kelainan kulit dengan massa padat, teraba dalam, batas jelas, terletak di kutan atau
subkutan, ukuran sampai 1 cm (jika diameter <1 cm disebut nodulus). Bila dalam
keganasan disebut tumor.
Contoh nodule terdapat pada: lipoma, karsinoma sel skuamosa, dermatofibroma,
erythema nodosum,basal sel karsinoma.
5. Nodus
Massa padat, berbentuk bulat atau elips, dengan batas tidak jelas dengan diameter lebih
dari 1 cm.

Contoh nodus terdapat pada penyakit kusta.

6. Urtika
Kelainan kulit dengan gambaran penonjolan di atas kulit, sering tidak teratur, ukuran
dan warna bervariasi disebabkan oleh gerakan cairan serosa kedalam dermis tidak
mengandung cairan bebas dalam rongga, serta dapat hilang perlahan-lahan.
Terjadi karena edema atau pembekakan yang dihasilkan oleh kebocoran plasma melalui
dinding pembuluh darah di bagian atas dermis

Contoh urtika terdapat pada: dermatitis medikamentosa dan gigitan serangga.

7. Vesicle/Vesikel

Merupakan lepuh atau gelembung kecil yang dibentuk dengan akumulasi cairan dalam
epidermis, biasanya diisi dengan cairan serosa dan ditemukan pada anak-anak yang
menderita eksema. Ukuran biasanya < 1 cm (diameter). Jika berisi darah disebut vesikel
hemoragik. Terjadi karena plasma yang bocor dari pembuluh darah mengisi ruang epidemis
sehingga terjadi penumpukan cairan.

Jenis : Subcorneal, Intraepidermis, subepidermis

misalnya pada varisela, herpes zoster.

8. Bulla
Merupakan penonjolan kulit mirip dengan vesikel, berisi cairan yang terbendung oleh
lapisan epidermis dengan diameter lebih dari 1 cm, dan berbentuk gelembung. Jika
vesikel/bula berisi darah disebut vesikel/bula hemaragik . Jika bula berisi nanah disebut
bula purulen.

Contoh bulla terdapat pada penyakit pemfigoid bullosa, pemfigus, luka bakar.

9. Pustule/Pustula

Merupakan vesikel besar (bula) yang mengandung pus. Terjadi karena infeksi bakteri
menyebabkan penumpukan eksudat purulen yang terdiri dari pus, leukosit dan debris.
Biasanya ditemukan pada penyakit pemfigus neonatorum, variola, varisela, psoriasis
pustulosa, folikulitis.

10. Kista
Penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong yang berisi cairan serosa atau padat
atau setengah padat, serta berada dalam jaringan subkutan atau dermis. Terjadi karena
peradangan sehingga komponen-komponen peradangan tersebut membentuk masa yang
semisolid.

contoh : Kista sebasea, kista epidermoid.


Efloresensi Sekunder

1. Sikatriks

Sikatriks/scar adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis dan dermis yang sudah
hilang. Jaringan ikat ini dapat lebih cekung dari kulit sekitarnya (sikatriks atrofi), dapat
lebih menonjol (sikatriks hipertrofi), dan dapat normal (uetrofi/luka sayat). sikatriks tampak
licin, garis kulit dan adneksa hilang.

Terjadi karena proliferasi jaringan fibrosa digantikan oleh jaringan kolagen setelah
terjadinya luka atau ulserasi.

2. Erosi

Erosi adalah kerusakan kulit sampai stratum spinosum. kulit tampak menjadi merah dan keluar
cairan serosa, misalnya pada dermatitis kontakTerjadi karena adanya trauma sehinggga terjadi

pemisahan lapisan epidermis dengan laserasi rupture vesikel atau bula dan nekrosis epidermal.
3. Likenifikasi

Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan kulit tampak lebih jelas.
Terjadi karena perubahan kolagen pada bagian superficial dermis menyebabkan penebalan kulit.

4. Eksoriasi
Eksoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris sehingga kulit tampak merah
disertai bintik-bintik perdarahan. ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima. Terjadi
karena adanya lesi yang gatal sehingga di garuk dan dapat menyebabkan perdarahan.

5. Krusta

Krusta adalah onggokan cairan darah, nanah, kotoran, dan obat yang sudah mengering diatas
permukaan kulit misal impetigo krustosa. Krusta dapat berwarna hitam, merah atau
coklat.Terjadi karena ketika papul, pustule, vesikel bulla mengalami rupture atau pecah cairan
atau bahan-bahan yang terkandung di dalamnya akan mengering.
6. Atrofi
Atrofi adalah pengurangan ukuran sel, organ atau bagian tubuh tertentu. Penurunan
jaringan ikat retikuler dermis sehingga menyebabkan penekanan permukaan kulit yang
reversible.

7. Abses
Abses adalah efloresensi sekunder berupa kantong berisi nanah di dalam jaringan.
misalnya abses Bartholini dan abses banal. Terjadi akumulasi bahan-bahan purulen di
bagian dalam dermis atau jaringan subkutan
Efloresensi Khusus
1. Kanalikuli: Ruam berupa saluran pada Stratum Korneum yg timbul sejajar dengan
permukaan kulit.
2. Milia / Whitehead: Penonjolan warna putih diatas permukaan kulit akibat penyumbatan
Saluran Kelenjar Sebasea.
3. Komedo / Blackhead: Ruam berupa bitnik bitnik hitam akibat proses oksidasi udara
terhadap Kelenjar Sebasea di perumukaan kulit.
4. Eksantema: Ruam serentak dalam waktu singkat dan gak bertahan lama, biasanya didahului
demam.
5. Purpura: Pendarahan di dlm / bawah kulit yg tampak kemerahan & tak hilang pada
penekanan kulit.

SIFAT EFLORESENSI

A. Ukuran
1. Miliar: Segede kepala jarum pentul
2. Lentikular: Segede kacang hijau sampe jagung
3. Numular: Segede koin 100 an
4. Plakat: Lebih gede dari 100 an

B. Gambaran
1. Linear: Garis lurus
2. Sirsinar: Melingkar
3. Arsinar: Bulan Sabit
4. Polisiklis: Menyerupai bunga
5. Korimbiformis: Efloresensi besar yang dikelilingi sama efloresensi kecil

C. Bentuk
1. Impetigo: Lonjong
2. Serpiginosa: Proses menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan pada daerah yg ditinggal
3. Herpestiformis: Menyerupai dermatitis herpestiformis
4. Konfluen: Beberapa efloresensi bergabung jadi 1 efloresensi
5. Irisformis: Menyerupai iris
D. Lokalisasi / Penyebaran
1. Solitar: 1 Lesi
2. Multiple: Banyak leso
3. Regional: Menyerang 1 regio
4. Diskrit: Lesi” terpisah 1 dengan yang lainnya
5. Simetris: Mengenai kedua belahan badan yg sama
6. Talangiektasia: Pelebaran Pembuluh Darah dibawah kulit
7. Verukosa: Proliferasi non virus seperti Kutil
8. Universalis: Seluruh tubuh
9. Generalisata: Sebagian besar tubuh
10. Unilateral: Separuh badan
11. Bilateral: Menyerang kedua belahan badan
12. Spider Naevi: Jaringan Pembuluh Darah halus yg muncul di permukaan kulit seperti laba”.

Herpes Zoster

Definisi

Herpes zoter atau shingles adalah penyait neurokutan dengan manisfestasi erupsi vesicular
berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radicular unilateral yang umumnya
terbatas dis suatu dermatom.

Epidemiologi

 Penyakit herpes zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal musim.
 Lebih dari setangah jumlah keseluruhan kasus dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60
tahun dan komplikasi terjadi hampir 50% di usia tua.
 Resiko penyakit meningkat dengan adanya keganasan, atau dengan transplantasi
sumsum tulang atau ginjal atau infeksi HIV.

Etiopatogenesis

Imunitas terhadap verisella zoster virus berperan dalam pathogenesis herpes zoster terutama
imunitas selulernya. Mengikuti infeksi primer virus varisella zoster (varisela) partikel virus
dapat tetap tinggal didalam ganglion sensoris saraf spinalis, kranialis atau otonom selama
tahunan. Pada saat respon imun seluler dan titer antibody spesifik terhdap virus varisella zoster
menurun maka partikel virus varisela zoster yang laten tersebut mengalami reaktivasi dan
menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata disatu dermatom. Faktor lain seperti radiasi, trauma
fisis, obat-obat tertentu, infeksi lain atau stress dapat dia nggap sebagai pencetus walaupun
belum pasti.

Gejala klinis

Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa sensasi abnormal
seperto nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, paresthesia sepanjang dermatom, gatal, rasa
terbakar dari ringan sampai berat. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1-10 hari,
rata-rata 2 hari).

Setelah awitan gejala prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri terlokalisata
berupa makula kemerahan. Kemudian berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok
selama 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel ini menjadi keruh dan akhirnya menjadi krusta
(berlangsung selama 7-10 hari).

Erupsi kulit mengalami involusi setelah 2-4 minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster, erupsi
kulitnya menyembuh secara spontan tanpa gejala sisa. Pada sejumlah kecil pasien, dapat terjadi
komplikasi berupa kelainan mata (10-20% penderita). Bila menyerang di daerah mata, infeksi
sekunder, dan neuropati motorik. Kadang-kadang terjadi meningitis, enselfalitis, atau mielitis.
Komplikasi yang sering terjadi adalah neuralgia pasca herpes (NPH), yaitu nyeri yang masih
menetap di area yang terkena walaupun kelainan kulitnya sudah mengalami resolusi.

Perjalanan penyakit herpes zoster pada penderita immunokompremais sering rekuren,


cenderung persisten, lesi kulitnya lebih berat (terjadi bula hemoragik, nekrotik, dan sangat
nyeri) tersebar diseminata dan dapat disertai dengan keterlibatan organ dalam. Proses
penyembuhannya terjadi lebih lama.

Variasi Klinis

 Herpes Zoster sine herpete terjadi bila terjadi nyeri segmental yang diikuti dengan erupsi
kulit.
 Herpes Zoster abortif bila erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa vesikel
yang langsung mengalami resolusi sehingga perjalanan penyakitnya berlangusng
singkat.
 Herpes zoster aberans bila erupsi kulit melalui garis tengah.

Bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius terjadi Ramsay-Hunt yaitu erupsi
kulit timbul di liang telinga luar atau membrane timpani disertai paresis fasialis, gangguan
lakrimasi, ganguan pengecap 2/3 bagian depan lidah; tinitus, vertigo dan tuli. Terjadi herpes
zoster oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama nervus trigeminus. Bila mengenai anak
cabang nasosiliaris (timbul vesikel di puncak hidung yang di kenal sebagai tanda Hutchinson)
kemungkinan besar terjadi kelainan mata. Walaupun jarang dapat terjadi keterlibatan organ
dalam.

Diagnosis

A. Anamnesis :
Melakukan anamnesa yang teliti tentang keadaan penderita seperti adanya riwayat
seksual, penularan vertical ibu ke anak, riwayat adanya pemakaian obat ARV, tanda-
tanda konstitusi dan infeksi seperti infeksi akut, sindrom, diare, batuk, penurunan berat
badan, dan riwayat pemakaian obat kemoterapi steroid jangka panjang penyakit.
B. Pemeriksaan fisik :
Adanya predileksi di semua tempat terutama yang paling sering pada region thorax dan
lumbal. Adanya efloresensi vesikel yang berkelompok di daerah kulit eritema dan
bersifat unilateral.
C. Pemeriksaan Penunjang
Tes Tzanck Smear adanya perubahan sitologi sel epitel dimana terlihat multinuclear
giant cell. Identifikasi antigen atau asam nukleat VZV dengan metode PCR.

Komplikasi

A. Komplikasi kutaneus
B. Komplikasi neurologis
C. Komplikasi mata : dapat terjadi keratitis, episclaritis, iritis, papilitis, dan kerusakan saraf
(10-20% penderita)
D. Komplikasi THT

Pencegahan
1. Pemberian vaksinasi dengan pemberian vaksin VZV hidup yang dilemahkan
2. Varisela Zoster immune globin (VZIG) untuk pasien yang beresiko penyakit parah dan
komplikasi, seperti neonates dan pasien yang imunokompremais dan ibu hamil.

Tata Laksana

A. Farmakologi

1. Antivirus

Herpes Zoster pada para penderitanya diberikan anitvirus untuk mempersingkat


durasi penyebaran virus VZV dengan menghambat replikasi virus itu sendiri. Nama
obatnya adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Obat ini akan menjadi analog
nukleosida dan menghambat DNA polimerase virus dalam replikasi virus yang memiliki
bioavailabilitas 15-24%. Dosis asiklovir ini pada umunya diberikan 5x800 mg selama 7
hari bisa diberikan secara oral ataupun intravena.Untuk anak < 12 tahun diberikan
acyclovir dosis 30 mg/kgBB selama 7 hari dan Untuk anak > 12 tahun diberikan
acyclovir dosis 60 mg/kgBB selama 7 hariAkan tetapi, dalam kasus pasien luluh imun
bisa diberikan secara intravena saja untuk mempercepat kerja obat. Jika virus tetap
resisten terhadap asiklovir, maka bisa diberikan foskarnet intravena dengan dosis 0,5-1
cc/ hari hingga sembuh.

2. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid dalam penyakit herpes zoster sederhana masih


kontroversi. Beberapa uji klinis melaporkan bahwa penggunaan prednisone atau
prednisolone dapat mengurangi nyeri akut, meningkatkan kemudahan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, serta mempercepat masa penyembuhan. Tetapi pemberian
prednisone sebaiknya tidak diberikan pada pasien hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
ulkus peptikum, serta pada pasien usia tua. Prednison dan terapi antiviral biasanya
digunakan pada herpes zoster dengan komplikasi neurologis seperti Bell’s palsy, atau
disebut juga sindrom Ramsay Hunt. Pilihan yang dapat diberikan adalah prednisone 60
mg/hari selama 7 hari, kemudian dikurangi menjadi 30 mg/hari selama 7 hari, dan 15
mg/hari selama 7 hari.

3. Analgetik dan Antipiretik

Herpes zoster dengan nyeri ringan hingga sedang seringkali dapat diatasi dengan
analgesik non narkotik atau antipiretik seperti paracetamol dan golongan NSAID
(nonsteroidal anti-inflammatory drugs), pengobatan juga dapat dikombinasikan dengan
tramadol. Pada nyeri derajat sedang atau berat, diperlukan pemberian opioid terjadwal
menggunakan oxycodone atau morfin. Apabila nyeri tidak teratasi, dapat digunakan
nortriptilin, pregabalin, atau gabapentin. Namun, peran ketiga obat ini dalam
menurunkan intensitas nyeri akut herpes zoster masih belum didukung bukti ilmiah yang
banyak.Untuk antipiretik sendiri dalam menurunkan panas atau demam bisa digunakan
paracetamol, tromadol, ataupun ibuprofen.

4. Bedak Salisil 1% dan 0,5% menthol


Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk
mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder.

5. Salep Antibiotik Topikal : Kloramfenikol

Antibiotik yang bisa digunakan untuk mengobati infeksi serius yang disebabkan
oleh bakteri.Dalam kasus ini, diberikan secara topikal. Umumnya digunakan sebagai
pendukung pemulihan infeksi mata dengan kadar dosis 1% tiga hingga empat kali
sehari.

B. Non-Farmakologi

Tatalaksana nonfarmakologi dilakukan dengan memberikan edukasi kepada pasien


bahwa penyakit yang dideritanya disebabkan oleh virus dan dapat menular
menyebabkan penyakit cacar air pada orang/anak yang ditularkannya. Pasien juga
diberikan edukasi bahwa penyakit ini dapat kambuh sewaktuwaktu pada saat sistem
imun tubuh pasien sedang turun dan juga disarankan agar menghindari menggaruk lesi
agar tidak memperburuk kondisi kulit saat ini.Dan juga waspada komplikasi seperti
NPH, HZ Oftalmikus, Maupun Sindrome Ramsay-Hunt.

Patofisiologi

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varisella zoster (virus
DNA). Setelah seseorang terkena infeksi primer dari virus varisella zoster atau setelah
seseorang terkena penyakit cacar air. Virus varisella zoster akan menetap dalam kondisi
dorman pada ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis orang tersebut.
Apabila sistem imun orang tersebut rendah atau menurun misalnya karena pertambahan
usia pada pasien usia lanjut atau karena penyakit imunosupresif contohnya penyakit
AIDS, penyakit leukimia, dan penyakit limfoma maka virus varisella zoster tersebut
dapat aktif kembali dan menyebar melalui saraf tepi ke kulit sehingga menimbulkan
penyakit herpes zoster.

Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala predormal baik sistemik


(demam,pusing,malese), maupun gejala predormal lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal
dan sebagainya). Setelah itu virus varisella zoster akan memperbanyak diri (multipikasi)
dan membentuk eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok
dengan dasar kulit eritematosa dan edema, gejala ini akan terjadi selama 3-5 hari.
Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat
menjadi pustul dan krusta. Penyebaran vesikel bersifat dermatomal mengikuti tempat
persarafan yang dilaluivirus varisella zoster. Biasanya hanya satu saraf yang terlibat,
namun di beberapa kasus bisa jadi lebih dari satu saraf ikut terlibat. Vesikel akan pecah
dan berair, kemudian daerah sekitarnya akan mengeras dan mulai sembuh, gejala ini
akan terjadi 3-4 minggu. Pada sebagian kecil kasus, eritema tidak muncul tetapi ada rasa
sakit.

Herpes Simpleks

Herpes Simpleks Herpes Zoster

I. Definisi
Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I
atau II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer
maupun rekurans

II. Etiologi
✢ VHS tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA
berukuran 150-200 nm
✢ Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic marker, dan lokasi klinis.

III. Epidemiologi
✢ Penyakit ini tersebar kosmopolit dan tidak ada kekhususan untuk pria maupun wanita.
✢ Infeksi primer oleh VHS I biasa menyerang anak-anak
✢ Sedangkan VHS II terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan
aktivitas seksual.

IV. Gejala Klinis


Infeksi VHS berlangsung dalam 3 tahap :
1. Infeksi primer
2. Fase Laten
3. Infeksi Rekurens

1. Infeksi Primer
✢ Tempat predileksi VHS I  daerah pinggang ke atas terutama mulut dan
hidung, biasa terjadi pada anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan,
misalnya kontak kulit pada perawat, dokter, atau pada orang yang sering
menggigit jari (herpetic whit-low)
✢ Infeksi primer VHS II  daerah pinggang ke bawah, terutama daerah genital.
Tapi daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual
oro-genital.
✢ Infeksi primer lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik misalnya demam, malese, anoreksia, dan dapat
ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional.
✢ Terjadi pembentukan vesikel berkelompok dan eritem di tempat sembab 
seropurulen  krusta  ulserasi  sembuh tanpa sikatriks.
✢ Pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks biasanya disertai
infeksi sekunder. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80%
infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.

2. Fase Laten
✢ Fase ini berarti pada penderita tidak diemukan gejala klinis, tetapi VHS dapat
ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis

3. Infeksi Rekurens
✢ VHS pada ganglion dorsalis dalam keadaan tidak aktif menjadi aktif dengan
mekanisme pacu. Mekanisme pacu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi,
kurang tidur) maupun trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi) atau
juga karena makanan/minuman yang merangsang.
✢ Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan berlangsung
7-10 hari. Sering disertai gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel seperti
panas, gatal, dan nyeri.
✢ Infeksi recurens dapat timbul di tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat sekitarnya (non-loco)

V. Patofisiologis
VHS Tipe I VHS Tipe II
↓ ↓
Kontak Langsung Hubungan Seksual

Infeksi Primer
↓ ↓
Reaksi Inflamasi Menyebar melalui akson
↓ ↓
Mediator Kimiawi Dorman di ganglion dorsalis
↓ ↓
↓ ↓ ↓ Fase Latent
Histamin Prostaglandin Leukotrin ↓
↓ ↓ ↓ Mekanisme pemicu
Vasodilatasi Nyeri Permeabilitas Vaskular ↑ (gangguan fisik atau psikis)
↓ ↓ ↓
Aliran darah↑ Ekstravasasi Reaktivasi VHS
↓ ↓ ↓ ↓
Eritema Kalor Edema Infeksi rekurens
↓ ↓
Rasa Panas Vesikel

Krusta

Ulserasi dangkal

Sembuh tanpa sikatriks

VI. Diagnosis Penunjang


• PCR : Menentukan asam nukleat virus
• Tzanck smear : Ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear
VII. Tata Laksana
✢ Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal (tidak
mengobati episode rekurens secara tuntas)
✢ Pada lesi dini digunakan obat topikal berupa salep/krim yang mengandung asiklovir.
✢ Jika timbul ulserasi dapat dilakukan kompres.
✢ Pengobatan oral digunakan asiklovir, dapat menyebabkan penyakit berlangsung lebih
singkat dan masa rekurens lebih panjang. Dosis asiklovir oral : 5 x 200 mg sehari selama
5 hari.

VARISELA

1. Definisi
Varisela merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh varicella-zoster virus
(VZV) yang menyerang kulit dan mukosa, manifestasi klinis yang didahului gejala
konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.

2. Predileksi
Ruam biasanya dimulai dari muka dan kulit kepala, lalu menyebar dengan cepat
ke bagian torso (batang tubuh) dan ekstremitas.

3. Epidemiologi
Varisela tersebar kosmpolit, 90% menyerang anak-anak, 2% menyerang orang
dewasa, dan sisanya menyerang kelompok tertentu. Di daerah Eropa dan Amerika
Selatan yang belum mengalami vaksinasi, lebih dari 90% anak-anak di bawah 10 tahun
menderita varisela dan kurang dari 5% yang menderita varisela adalah anak-anak yang
berumur di atas 15 tahun.
Di negara tropis dan subtropis, angka penderita varisela tinggi dan yang lebih
rentan terserang adalah orang-orang dewasa. Sedangkan di negara-negara yang beriklim
sedang, penderita varisela lebih sedikit.
Varisela penularannya sangat tinggi. Telah dilaporkan bahwa 87% dari saudara
kandung yang tinggal serumah terserang, begitu juga 70% pasien di rumah sakit tertular
penyakit varisela.

4. Etiopatogenesis
Penyebab varisela adalah varicella-zoster virus (VZV) yang merupakan anggota
famili herpes virus, berbentuk bulat, berdiameter 150-200 nm, DNA terletak di antara
nukleokapsid, dan dikelilingi oleh selaput membrane luar dengan sedikitnya terdapat
tiga tonjolan glikoprotein mayor. Glikoprotein ini yang merupakan target imunitas
humoral dan seluler.
VZV masuk ke dalam tubuh melalui mukosa saluran pernapasan atas dan
orofaring. Virus bermultiplikasi di pintu masuk (port d’entry) lalu menyebar melalui
pembuluh darah dan limfe, mengakibatkan viremia primer.
Sel T yang terinfeksi akan membawa virus ke sistem retikuloendotelial yang
merupakan tempat utama replikasi virus selama sisa masa inkubasi dan ke kulit yang
merupakan tempat di mana sistem imun bawaan (innate immune system) menunda
replikasi VZV dan pembentukan ruam. Infeksi saat inkubasi sebagian mengandung
pertahanan imun bawaan (interferon, NK Cells, dll.) dan mengembangkan respon imun
spesifik terhadap VZV. Pada kebanyakan individu, replikasi virus lama kelamaan akan
memberatkan pertahanan imun spesifik terhadap VZV sehingga sekitar 2 minggu setelah
infeksi, viremia sekunder timbul serta gejala dan lesi yang terkait terjadi. Lesi kulit yang
terjadi muncul seperti successive crops (berturut-turut) mencermikan siklus viremia
yang pada inang normal dibatasi atau dihentikan setelah 3 hari oleh respon imun VZV
spesifik. Virus beredar di leukosit mononuklear, teruatama di limfosit. Selain itu,
bahkan pada penyakit varisela yang tidak rumit, viremia sekunder mengakibatkan
infeksi subklinis banyak organ selain kuilt.
Respon imun inang yang efektif menghentikan viremia dan membatasi
perkembangan lesi varisela di kulit dan organ lain. Kekebalan tubuh terhadap VZV
melindungi diri dari varisela. Orang dengan antibody serum yang terdeteksi akibat
infeksi VZV tipe liar biasanya tidak menjadi sakit setelah paparan eksogen. Imunitas
yang dimediasi sel terhadap VZV juga berkembang selama varisela, bertahan selama
bertahun-tahun dan melindungi diri dari infeksi yang parah.

5. Gejala Klinis
Gejala klinis dimulai dengan gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu
tinggi, malese dan nyeri kepala. Pada anak-anak yang sangat muda, gejala prodromal
termasuk jarang. Gejala prodromal lebih sering terjadi pada orang dewasa dan anak-
anak yang berumur 9 tahun ke atas. Setelah itu disusul dengan timbulnya erupsi kulit
berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel.
Ciri yang mencolok dari lesi varisela adalah perkembangannya yang cepat, lebih dari 12
jam dari makula menjadi papula, vesikula, pustula, dan krusta. Vesikel dari verisela
biasanya berdiameter 2-3 mm.
Vesikula yang baru terbentuk berdinding tipis dan dikelilingi oleh area eritema
yang tidak teratur yang membuat vesikel seperti tetesan embun. Cairan vesikuler segera
menjadi keruh dengan masuknya sel-sel inflamasi yang mengubah vesikel menjadi
pustula. Kemudian dimulai dari tengah lesi mengering dan menjadi umbilicated dan
kemudian menjadi krusta. Krusta jatuh secara spontan dalam 1-3 minggu, meninggalkan
depresi merah muda dangkal yang secara bertahap menghilang. Jaringan parut jarang
terjadi kecuali lesi trauma dengan pasien atau superinfeksi dengan bakteri. Lesi
penyembuhan dapat meninggalkan tempat hipopigmentasi yang bertahan selama
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
Vesikel juga berkembang di selaput lender mulut, hidung, faring, laring, trakea,
salurang pencernaan, saluran kemih, dan vagina. Jika terdapat infeksi sekunder terdapat
pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal.
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang timbul dan lebih sering pada orang
dewasa berupa ensefailitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis dan kelainan darah.
6. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan hapus yang
diwarnai dengan Giemsa. Bahan diambil dari kerokand asar vesikel dan akan didapati
sel datia berinti banyak. Namun, hasil ini tidak spesifik untuk varisela. Selain itu, dapat
juga dilakukan pemeriksaan vesikel dengan PCR guna membuktikan DNA VZV.

7. Diagnosis Banding
Varisela biasanya dapat didiagnosis berdasarkan penampilan dan evolusi
ruamnya, terutama ketika ada riwayat pajanan 2-3 minggu sebelumnya. Herpes zoster
sering disalahartikan sebagai varisela ketika ada penyebaran luas VZV dari area kecil
herpes zoster yang tidak nyeri atau dari ganglion sensoris yang terkena dampak tanpa
adanya erupsi dematomal yang jelas. Diagnosis banding yang tersisa dari ruam varisela
tercantum dalam kotak di bawah ini. Karakter, distribusi, dan evolusi lesi, Bersama
dengan riwayat epidemiologi yang cermat, biasanya membedakan penyakit ini dari
varisela. Ketika ada keraguan, maka clinical impression harus menerima konfirmasi dari
laboratorium.

8. Tata Laksana
Pengobatan bersifat simtomatik dengan antipiretik dan analgesic, untuk
mengjilangkan rasa gatal dapat diberikan sedatif, atau antihistamin yang mempunyai
efek sedative. Antipiretik antara lain parasetamol, hindari salsilat atau aspirin karena
dapat menimbulkan sindrom Reye.

Terapi local ditujukan mencegah agar vesikel tidak pecah terlalu dini, karena itu
diberikan bedak yang ditambah denganzat anti gatal. Jika timbul infeksi sekunder dapat
diberikan antibiotic oral atau salap. Dapat pula diberikan obat-obat antivirus.

Indikasi pemberian antivirus adalah bila sebelumnya telah ada anggota keluarga
serumah yang menderita varisela atau pada pasien imunokompremais. Pemberian dosis
adalah sebagai berikut:

MAKALAH KASUS TUTORIAL BLOK DMS

KASUS 2

Tinea Versikolor
Disusun oleh Kelompok Tutorial A3:

Muhammad Hashfi Nazhari (1810211115)

Gefbar Faikar Aqbil (1810211067)

Muhammad Isran Aqsa N (1810211005)

Rajwa Zahra Mardhiyyah (1810211065)

Rahmah Salsah Hudriyah (1810211099)

Gracella Faustine (1810211117)

Sarah Veronika Sianipar (1810211131)

Alfrida Kurnia Ardhanti (1810211138)

Yuni Fajriati (1810211012)

Asih Liasari (1810211120)

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

Tahun Ajaran 2018/2019

Kasus – Ny.S

Tutorial 2 Part 1

Seorang ibu buruh cuci, Ny.S 30 Tahun, datang ke Puskesmas Limo, Cinere dengan keluhan
gatal di punggung sejak satu bulan. Keluhan semakin bertambah terutama jika berkeringat. Ia
melihat melalui cermin di punggungnya ada bercak putih kemerahan yang jumlahnya cukup
banya. Pasien mempunyai kebiasaan berganti pakaian sekali sehari dan menggunakan handuk
bersama anggota keluarga lainnya.Pasien belum pernah ke dokter.Ada anggota keluarga yang
mempunyai keluhan yang sama.Pasien tidak mempunyai riawayat alergi.

Selanjutnya dokter melakukan pemeriksaan fisis dan didapatkan :


Pemeriksaan Fisis
A.Status Generalis

 Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan


 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital :
1. TD : 120/80 mmHg Nadi : 90/Menit
2. Pernapasan : 22x/menit Suhu : 37oC
3. BB : 70 kg TB : 150 cm
 Kepala : Normocephal
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
 THT : Normotia, deviasi septum (-), faring hiperemis (-)
 Leher : Kelenjar Tiroid dan KGB tidak teraba membesar
 Thorax : Jantung – paru dbn
 Abdomen : Datar, bising usus, (+) normal, nyeri tekan (-)
 Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

B.Status Dermatologis

Didapatkan lesi di punggung dengan efloresensi berupa makula hipopigmentasi dalam


berbagai ukuran dengan skuama halus di atasnya.

Pemeriksaan Penunjang

A.Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap

Hb : 12g/dl

Ht : 45%

Trombosit : 150.000/ micro l

Leukosit : 6000/micro l
Diff Count / Hitung Jenis Lukosit : 0/3/4/59/28/6

GDS : 100 mg/dl

Urin Reduksi : (-)

B.Pemeriksaan Lampu Wood ( Wood’s Lamp )

Didapatkan fluoresensi kuning keemasan

C.Pemeriksaan KOH :

Pemeriksaan mikroskopik preparat KOH 10% dari kerokan kulit lesi : tampak kelompok
kelompok hifa pendek tebal 3-8 micro, dikelilingi spora berkelompok berukuran 1-2 micro
( spaghetti and meatballs )

Dokter mendiagnosis Ny.S menderita Tinea versikolor. Ia diberikan ketokonazole cream 2x


sehari, ketokonazole tablet 2 x 200 mg selama 14 hari dan Ctirizine 10 mg bila gatal. Kepada
pasien disarankan untuk mengganti pakaian jika kotor lembab, tidak menggunakan handuk
bersama , menjaga higienitas, menurunkan berat badan, mengobati anggota keluarga dengan
penyakit serupa, dan diminta datang untuk kontrol 1 minggu kemudian Setelah 7 hari terapi,
kondisi penyakitnya membaik.
BASIC SCIENCE : JAMUR
A.Definisi

Jamur adalah mikroorganisme yang termasuk golongan eukariotik dan tidak termasuk
golongan tumbuhan, bisa berbentuk sel atau benang bercabang dan berdinding sel yang
sebagian besar terdiri dari kitin dan glukan, sebagian kecil selulosan atau kitosan, mempunyai 1
protoplasma yang mengandung satu atau lebih inti, tidak berkrolofil, berkembang biak secara
aseksual, seksual atau keduanya.

Ilmu yang mempelejari jamur disebut mikologi. Mikologi kedokteran adalah ilmu yang
mempelajari tentang jamur serta penyakit yang ditimbulkannya. Penyakit yang disebabkan oleh
jamur disebut mikosis. Mikosis yang mengenai permukaan badan yaitu kulit, rambut, kuku,
disebut mikosis superfisialis.

B. Sifat Umum

 Tidak memiliki klorofil

 Tidak dapat membuat makanannya sendiri dan makanan diambil dari mahluk lain
(tumbuhan, hewan, serangga dll ) berupa zat organik sebagai Sumber energi è Jamur
bersifat HETEROTROF

 Jamur memiliki enzim hidrolase yang dapat memecah Zat organik menjadi zat
anorganik dan zat tersebut diserap sebagai makanannya

 Proses pengambilan zat organik dapat menimbulkan kerusakan pada benda, makanan,
tumbuhan,hewan dan manusia è Jamur bersifat saprofit/saproba,patogen dan oportunis.

 Jamur akan tumbuh dengan cepat pada tempat yang terdapat sumber karbohidrat dan
nitrogen

Kebutuhan substansi esensial untuk pertumbuhan jamur

1. Sumber karbohidrat

2. Oksigen : aerob , anaerob

3. Air è tumbuh baik di tempat lembab

4. pH (derajat keasaman): umumnya pH asam

5. Suhu
C. Morfologi Jamur

Bentuk umum jamur

 Bentuk uniseluler : sel ragi, spora

 Bentuk multiseluler : Hifa, Hifa semu

Mrfologi jamur terdiri dari

 Khamir, yaitu sel-sel yg berbentuk bulat, lonjong, atau memanjang, yg berkembangbiak


dgn membentuk tunas dan membentuk koloni yang basah atau berlendir

 Kapang, yg terdiri atas sel-sel memanjang dan bercabang yang di sebut hifa, hifa ada
yang bersekat dan tidak bersekat. Bila khamir membentuk tunas yang memanjang dan
membentuk tunas lagi di ujungnya secara terus menerus maka akan terbentuk hifa semu.
Hifa dapat bersifat vegetatif mengambil makanan untuk pertumbuhan/reproduktif
(membentuk spora), atau udara. Anyaman hifa disebut miselium
Spora dapat dibentuk scr seksual/aseksual . Spora
aseksual disebut talospora, yaitu spora yang langsung
dibentuk dr hifa reproduktif:

1. Blastospora : sel ragi yang bertunas (candida)


2. Artrospora : Dibentuk
dari fragmentasi hifa (Oidiodendron,
Geotricum)
3. Klamidospora : Spora dibentuk dari pelebaran hifa,
Diameter spora > diameter hifa Candida Albicans dan
Dermatofitosis.
4. Konidia : Dibentuk dari fragmentasi sterigma yang
terletak diujung konidiofor (Penicilium)
5. Aleuriospora (Makrokonidia, mikrokonidia) : Dibentuk di
ujung sporangifo (Fusarium, Curvularia, Dermatofita)
6. Sporangiospora :
Dibentuk didalam sporangium (Rhizopus, Mucor, Absidia)

Spora seksual :

1. Zigospora : berfusinya 2 hifa sejenis

Contoh: Basidiobolus

2. Oospora: berfusinya 2 hifa tidak sejenis

3. Askospora : spora
yang dibentuk didalam

askus sebagai hasil fusi 2


sel atau 2 hifa
Contoh: Piedraia hortai (Piedra hitam)

4. Basidospora: spora yang dibentuk pada basidium sebagai hasil fusi 2 jenis hifa

Contoh: Jamur tingkat tinggi: Jamur merang, jamur kuping, kancing dll.

Berdasarkan sifat koloni, hifa dan spora yang dibentuk kapang atau khamir, jamur dibagi
beberapa kelas:

1. Actinomycetes

2. Myxomicetes

3. Chytriomycetes

4. Zygomycetes

5. Ascmycetes

6. Basidiomycetes

7. Fungi imperfecti
D. Dermatomikosis

Kelainan kulit akibat jamur atau dermatomikosis digolongkan menjadi 2 kelompok yakni

 Mikosis superfisial adalah infeksi jamur yang mengenai jaringan mati pada kulit, kuku,
dan rambut, tidak terjadi inflamasi/bisa inflamasi ringan. Contohnya pada PV.

 Mikosis subkutan adalah kelainan akibat jamur yang melibatkan jaringan di bawah kulit.

-Kesimpulan Case 2 basic science : Jadi Malassezia spp. Ini adalah flora normal di kulit
yang bersifat saprofit (atau komensal artinnya berdiam diri tetapi tidak bersifat patogen). Ini
adalah jamur yang bersifat dimorfik (hidup di dua fase), kondisi komensal nya adalah ketika
jamur di fase khamir (ragi) lalu membentuk miselia (oportunis a.k.a patogen) kapan dia
berhasil menyerang dan jadi patogen? Ketika tubuh kita itu ada di kondisi
imunokompremais dan faktor predisposisi yang mendukung (sesuai di kasus). Malassezia
spp. Akan lebih mampu memperbanyak diri dan berkembang dari fase yang komensal (ragi)
ke fase oportunis (miselia) karena faktor-faktor tersebut lalu akan menimbulkan manifestasi
klinis berupa lesi ataupun keluhan gatal karena antigen telah menimbulkan respon imun
pada tubuh.

CLINICAL SCIENCE

Tinea versikolor

A. Definisi

Tinea versiokolor adalah infeksi jamur superfisial yang ditandai dengan adanya makula
pada kulit, skuama halus, dan disertai rasa gatal. (Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2,
2002, EGC)

Tinea versicolor is a common, benign, superficial cutaneous fungal infection usually by


hypopigmented or hyperpigmented macules and patches on the chest and the back. The fungal
infection is localized to the stratum corneum. (emedicine.medscape.com)

B. Etiologi
Tinea Versikolor disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur
lipofilik yang dahulu disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale,
tetapi saat ini telah diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Awalnya dianggap
hanya satu spesies, yakni M. furfur, namun analisis genetik menunjukkan berbagai
spesies yang berbeda dan dengan teknik molekular saat ini telah diketahui 14 spesies
yaitu M. furfur, M. sympoidalis, M. globosa, M. obtusa, M. restricta, M. slooffiae, M.
dermatis, M. japonica, M. yamotoensis, M. caprae, M. nana, M. equine, M cuniculi, dan
M. pachydermatis.

Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal pada
kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung banyak mengandung
lemak. Beberapa studi, menunjukkan spesies utama yang berhubungan dengan PV
adalah M. furfur, M. sympoidalis, dan M. globosa dengan perbedaan urutan spesies
predominan, yang tampaknya dipengaruhi lokasi geografis dan metode isolasi. Studi di
Indonesia melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis
dengan M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M.
globosa dan tidak terdapat predisposisi usia, jenis kelamin, maupun lokasi anatomi lesi
untuk spesies tertentu.

PV terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit berkembang menjadi
bentuk miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor - faktor yang
mempengaruhi proses tersebut antara lain lingkungan, kadar CO2 yang meningkat pada
kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis, penggunaan kortikosteroid
sistemik, penyakit Cushing, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.

C. Predisposisi

– Lingkungan yang hangat dan lembab


– Hygienitas yang buruk
– Penderita immunosurpression/compromised
– Malnutrisi dan DM
– Obesitas
– Cushing disease
D. Epidemiologi

Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab dan hanya
1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis terbanyak kedua di antara
dermatofitosis lain di Indonesia. 2,3 Lingkungan yang hangat dan lembab diperkirakan menjadi
salah satu faktor pencetus. Indonesia terletak pada garis ekuator dengan temperatur
sepanjang tahun sekitar 30°C dan kelembaban 70%. PV lebih banyak dijumpai pada kelompok
usia dewasa muda baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada
usia 21-25 tahun, sedangkan pada perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30 tahun. Di
daerah tropis, laki-laki cenderung lebih banyak menderita PV dibandingkan dengan
perempuan, yang dikaitkan dengan jenis pekerjaan.

E. Gejala Klinis
o Makula di daerah punggung, leher, intertriginosa, pubis, wajah
o Makula hiperpigmentasi (ragi menginduksi pelebaran melanosom pada melanosit
basal)
o Makula hipopigmentasi (fungsi melanosit terganggu oleh asam azelaic yang diproduksi
oleh jamur
o Batas jelas (diskret)
o Bentuk lesi tidak teratur perlahan-lahan menjadi teratur
o Gatal ringan
F. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih, merah atau
kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat berkeringat. Penggunaan
terminologi versikolor sangat sesuai untuk penyakit ini karena warna skuama bervariasi dari
putih kekuningan, kemerahan, hingga coklat. Pigmentasi lesi yang muncul bervariasi
bergantung dari warna pigmen normal pasien, paparan sinar matahari, dan derajat keparahan
penyakit.
Pada orang kulit putih, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan dengan kulit normal tetapi
tidak menjadi tan pada pajanan matahari; sementara pada orang-orang berkulit gelap, lesi
cenderung lebih putih atau hipopigmentasi. Pada lesi awal biasanya akan muncul area
hipopigmentasi sedangkan pada lesi yang lebih lama akan muncul area hiperpigmentasi, kedua
hal ini dapat muncul pada satu pasien. Lesi awal berupa makula atau patch berbatas tegas,
tertutup skuama halus yang terkadang tidak tampak jelas.
Untuk menunjukkan adanya skuama pada lesi yang kering dapat digores dengan ujung
kuku sehingga batas lesi akan tampak lebih jelas (finger nail sign) atau dengan menggunakan
kaca objek, scalpel, atau ujung kuku (coup d’ongle of Besnier).
Pada penyakit yang telah lanjut lesi akan menjadi bercak luas, berkonfluens atau tersebar.
Bentuk lesi bervariasi dan dapat ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.

o Pemeriksaan Penunjang KOH 10%

Pemeriksaan ini memperlihatkan kelompokan sel ragi bulat berdinding tebal dengan
miselium kasar dan sering terputus-putus(meatball and spaghetti)
Langkah pertama yaitu membersihkan kulit dengan kapas alkohol 70%, kemudian lesi
dikerok dengan scalpel dan diapuskan ke preparat. Setelah itu diberi pewarna tinta Parker
biru hitam 1-2 tetes. Dipanaskan sebentar lalu ditutup dengan object glass dan diamati di
mikroskop.
Dari hasil pengamatan ditemukan hifa pendek, bercabang, terpotong-potong, lurus
atau bengok, dengan spora berkelompok.

o Pemeriksaan Penunjang Menggunakan Lampu Wood

Lampu Wood menghasilkan sinar ultraviolet 360nm yang dapat digunakan untuk
mengamati efloresensi penyakit kulit dan rambut. Dengan lampu ini, pigmen fluoresen dan
perbedaan pigmentasi melanin dapat divisualisasikan
Cara Menggunakan:
1. Kulit yang mengalami lesi harus dibersihkan dahulu sebersih mungkin
2. Jarak lampu Wood dengan lesi 10-15 cm
3. Amati eflorsesensi pada lesi
4. Hasil pengamatan pada Tinea versikolor adalah kuning keemasan

G. Diagnosis Banding
o Ptiriasis rosea
o Ptiriasis alba
o Eritrasma
o Dermatitis seboroik
o Sifilis stadium II
o Vitiligo
o Psoriasis vulgaris
(Madani A, 2000)
H. Tatalaksana

o Farmakologi

-Topikal

Golongan azol (ketokonazol, bigonazol, tiokonazol)

 Bentuk Makular:

Salep Whitfield atau larutan Natrium tiosulfit 20%, dibiarkan 10-13


menit, dicuci 2-3 kali seminggu

 Bentuk folikular: Tiosulfat natrikus 20-30%

- Topikal lain:

Selenium sulfide 1,8% sampo, solusio sodium tiosulfait 20%, Tacrolimus


0,03%

- Sistemik
 Ketokonazol 200 mg/hari, 7-10 hari atau dosis tunggal 400 mg
 Itrakonazol 200 mg/hari, 5-7 hari (untuk yang tidak responsif thd obat
lain)
 Anti histamin Cetirizine 4 mg untuk menghilagi rasa gatal

o Non-Farmakologi
 Mengedukasi pasien pentingnya akan hygienitas seperti mandi 2 kali sehari, mengganti
pakaian yang kotor, basah, lembap, tidak saling bertukar handuk atau baju kotor
 Mengobati anggota keluarga lain apabila memiliki infeksi jamur ini juga
 Menurunkan BB bagi pasien obesitas
 Kontrol setelah 1 minggu pengobatan

PATOFISIOLOGI

PATOFISIOLOGI TINEA VERSIKOLOR

PV disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur lipofilik yang dahulu
disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale, tetapi saat ini telah
diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Awalnya dianggap hanya satu spesies, yakni M.
furfur, namun analisis genetik menunjukkan berbagai spesies yang berbeda dan dengan teknik
molekular saat ini telah diketahui 14 spesies yaitu M. furfur, M. sympoidalis, M. globosa, M.
obtusa, M. restricta, M. slooffiae, M. dermatis, M. japonica, M. yamotoensis, M. caprae, M.
nana, M. equine, M cuniculi, dan M. pachydermatis.1,5 Malassezia spp. merupakan ragi
saprofitik, dimorfik yang hidup komensal pada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher
yang cenderung banyak mengandung lemak. Beberapa studi, menunjukkan spesies utama yang
berhubungan dengan PV adalah M. furfur, M. sympoidalis, dan M. globosa dengan perbedaan
urutan spesies predominan, yang tampaknya dipengaruhi lokasi geografis dan metode isolasi. 3
Studi di Indonesia melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis
dengan M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. globosa dan
tidak terdapat predisposisi usia, jenis kelamin, maupun lokasi anatomi lesi untuk spesies
tertentu.

PV terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit berkembang menjadi bentuk
miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor - faktor yang mempengaruhi proses
tersebut antara lain lingkungan, kadar CO2 yang meningkat pada kondisi oklusif, sebum pada
dewasa muda, hiperhidrosis, penggunaan kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing, kondisi
imunosupresif, dan malnutrisi.1,2 Kehamilan serta penggunaan kontrasepsi oral juga dianggap
memudahkan terjadinya PV. Faktor genetik yang poligenik mungkin berpengaruh terhadap
kerentanan terhadap PV, dan hal tersebut cenderung mempengaruhi awitan yang lebih muda
pada pasien laki-laki, dan tingkat rekurensi yang tinggi pada pengobatan, serta durasi penyakit
yang lebih lama. 3 Sejauh ini belum diketahui gen yang berperan pada kerentanan terhadap PV.
Meskipun penyebab dianggap berasal dari organisme yang normal di kulit, diduga ada
kemungkinan transmisi dari individu lain. 1 Belum ada penjelasan mengenai gatal yang muncul
pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis bahwa lingkungan yang lembab dan basah
meningkatkan virulensi jamur sehingga muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar matahari,
berkeringat, maupun mandi.6 Crowson dan Magro, menjelaskan bahwa pada varian PV bentuk
atrofi tidak dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa proses
imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi histiosit dan
peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit juga akan meningkatkan
produksi elastase sehingga mungkin dapat menjelaskan terjadinya elastolisis pada kasus PV
yang disertai atrofi lesi. Faktor lain pada respon imun yang diperantai oleh Th-1 adalah
peningkatan produksi TNF-α yang akan mengakibatkan apoptosis keratinosit dan rete ridge
epidermis menjadi datar. Malassezia juga mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel
mononuklear. Pada populasi Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α cenderung
terpacu, sementara jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan terhambat. TNF-α akan
menekan melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB dengan menekan aktivitas promoter
tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pada kasus PV dengan lesi hipopigmentasi
umumnya organisme hanya dijumpai di bagian superfisial stratum korneum.

Perubahan Pigmen pada Pitiriasis Versikolor

Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan
kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya peran asam azeleat, suatu asam
dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase dalam alur
produksi melanin. Ukuran melanosom yang lebih kecil dan hanya sedikit termelanisasi
diproduksi, tetapi tidak ditransfer ke keratinosit dengan baik, hal ini terjadi pada orang dengan
kulit lebih gelap. 11 Hipopigmentasi akan menetap beberapa bulan bahkan tahun dan menjadi
lebih jelas pada musim panas dikarenakan kulit normal sekitar menjadi lebih gelap karena
paparan sinar matahari. Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol,
metabolit tryptophan-dependent yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala
inflamasi yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. Senyawa indol tersebut ada
yang mempengaruhi melanogenesis dan ada yang mampu menyebabkan downregulation proses
inflamasi, antara lain.
Ø Pitriacitrin yang mengabsorbsi sinar UV, sehingga berperan sebagai tabir surya. Penemuan
dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah
senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk
melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten
terhadap sinar matahari.4

Ø Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm memberikan warna


kuning-kehijauan.

Ø Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan menghambat aktivitas 5-


lipoksigenase.

Ø Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan apoptosis dalam


melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama.

Ø Indirubin dan indolo[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel dendritik dan
kemampuannya mempresentasikan antigen.

Mayser et al., menyatakan bahwa M. furfur menunjukkan sejumlah besar produksi pigmen
indol dan fluorochromes saat ditumbuhkan dengan tryptophan (Trp) sebagai sumber nitrogen,
yang dapat menjelaskan berbagai gejala klinis dari PV.9 Pada tanaman patogen Ustilayo
maydis, yang mewakili filogenetik dari Malassezia spp. akhir-akhir ini menunjukkan jalur
biosintetik dari produksi pigmen Trp adalah berdasarkan aktivitas suatu enzim yaitu
transaminase 1 (TAM 1).7,12 Trp aminotransferase mengubah Trp menjadi indolepyruvate (IP).
Lebih jauh lagi ditemukan bahwa pigmen indol dapat berkembang secara spontan dari IP dan
Trp tanpa melalui kerja enzim tambahan. Sintesis dari produksi pigmen dari Trp dikatalisa dari
biosintetik tunggal yaitu aktivitas TAM 1.Hal ini menunjukkan bawa penggunaan spontan dari
metabolit produk mampu mengkonstitusi salah satu jalur penting dalam patofisiologi PV.8 Pada
lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta penebalan stratum
korneum.13 Diduga faktor inflamasi sebagai stimulus melanositosis serta organisme penyebab
dalam jumlah besar turut berperan pada terjadinya hiperpigmentasi.1,14 Pada studi in vitro
terdapat indikasi bahwa Malassezia spp. dapat memproduksi pigmen serupa melanin, tetapi
secara in vivo pada lesi hiperpigmentasi hal ini belum terbukti. 14 2.1.3.2 Proses Repigmentasi
Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia yang memiliki efek toksik
pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan lipoperoksidase.15 Pada pemeriksaan
ultrastruktural ditemukan pula kerusakan berat dari melanosit, bervariasi mulai melanosom
hingga gangguan degenerasi mitokondria. Salah satu asam dikarboksilat yang diproduksi M.
furfur adalah asam azeleat yang mungkin menyebabkan efek sitotoksik. Kerusakan dari
melanosit ini mungkin dapat menjelaskan mengapa repigmentasi membutuhkan waktu yang
lama dari bulan hingga tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama dari PV
menghambat repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap hipopigmentasi untuk
periode waktu tertentu.
FARMAKOLOGI

FARMAKOLOGI TINEA VERSIKOLOR

Tata Laksana Farmakologi Tinea Versikolor :

1. Antijamur à Ketoconazole oral dan cream


2. Simtomatis à Cetrizine

1. ANTIJAMUR
Infeksi Jamur dapat berupa istemik dan topikal (dermatofit dan mukokutan). Beberapa
antijamur (Imidazol, triazol, dan antibiotik polien) bisa untuk kedua infeksi tsb. Ada juga infeksi
jamur topikal yang diobati dg sistemik maupun topikal.

1.1 Amfoterisin B
Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi Streptomyces nodosus. Amfoterisin A
tidak digunakan untuk kepentingan klinis. Sifat kimianya yaitu : tidak larut air, polien
amfoterik (polien : mempunyai banyak ikatan rangkap), amfifatik, tidak tahan suhu diatas
37ºC, dan merupakan basa amfoter lemah.
Amfoterisin B kurang diserap di saluran cerna sehingga pemberian oral hanya efektif
untuk jamur di lumen saluran dan tidak bisa untuk sistemik, sehingga untuk efek sistemik
harus diberikan secara intravena (agar larut air dibuat dengan suspensi koloid amfoterisin B
dan natrium desoksikola).
Sifat antijamur amfoterisin B adalah selektif (memanfaatkan perbedaan komposisi
lemak membran sel jamur dan manusia). Sterol membran sel jamur adalah ergosterol,
sedangkan manusia adalah kolesterol. Cara kerjanya adalah dengan membentuk pori
amfifatik diantara ergosterol, dimana bagian dalam pori bersifat hidrofilik dan bagian luar
bersifat lipofilik. Hal ini menyebabkan bocornya ion dan berakhir dengan kematian sel.
Aktivitas antijamur amfoterisin B dan obat-obatan lain dapat dijelaskan oleh gambar
berikut :

Obat ini sebagian berikatan dengan sterol membran sel manusia sehingga dapat
bersifat toksik. Resistensi amfoterisin B dapat terjadi jika pengikatan ke ergosterol
terganggu. Merupakan antijamur berspektrum luas. Biasanya digunakan sebagai
terapi awal untuk infeksi jamur, lalu diganti dengan salah satu dari golongan Azol
utk terapi kronik/mencegah kambuh.
Infus amfoterisin B sering menimbulkan kulit panas, demam, menggigil, kejang
otot, dan nyeri kepala. Reaksi dapat dikurangi dengan memperlambat infus /
mengurangi dosis. Bisa juga dengan pemberian antipiretik, antihistamin, dan
kortikosteroid. Biasanya, dokter memberi dosis uji 1 mg secara intravena untuk
menilai keparahan reaksi.

1.2 Golongan Azol


Senyawa sintetik yang dapat diklasifikasikan sebagai imidazol atau triazol sesuai
jumlah atom N di cincin inti azol.
Golongan imidazol yaitu ketokonazol, mikonazol, klotrimazol (dua terakhir
adalah untuk pemakaian topikal), dan golongan triazol yakni itrakonazol, flukonazol,
varikonazol, dan posakonazol.
Sifat farmakologis masing2 azol unik dan berbeda sehingga menyebabkan variasi
pemakaian klinis, tapi pada dasarnya mekanisme kerja sama.

Aktivitas antijamur obat azol terjadi karena reduksi sintesis ergosterol oleh
inhibisi enzim-enzim sitokrom P450 jamur. Toksisitas selektif karena afinitas
terhadap enzim sitokrom P450 jamur lebih besar daripada manusia. Azol relative non
toksik. Reaksi samping yang terjadi pada umumnya gangguan pencernaan ringan.

1.2.1 Ketokonazole
Ketokonazole merupakan turunan imidazol sintetik dg struktur mirip mikonazol dan
klotrimazol. Dapat digunakan oral dan topikal, bersifat liofilik dan larut dalam air dalam pH
asam.
Penyerapan lewat sal. cerna berkurang pada pH tinggi atau bersama antasida. Dalam
plasma, ketokonazole 84% terikat bersama albumin, 15% terikat eritrosit, dan 1% bebas.
Sebagian besar mengalami metabolisme lintas pertama. Sebagian besar ketokonazole
diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus, sebagian kecil bersama urine.
Jika diberi bersama obat yang menginduksi enzim mikrosom hati (rifampisin, isoniazid,
fenitoin) dapat menyebabkan kadar ketokanazol menurun. Sebaliknya, ketokanazol dapat
meningkatkan kadar obat yang dimetabolisme enzim CYP 34A sitokrom P450 (siklosporin,
warfarin, midazolam).
Efek toksik ketokonazol lebih ringan daripada amfoterisin B Efek samping paling sering
adalah mual dan muntah. Selain itu dapat terjadi ginekomastia pada pria dan haid tidak teratur
pada 10% wanita. Karena efek penghambatan ketokonazol terhadap biosintesis steroid melalui
inhibisi enzim yang terkait sitokrom P450. Obat ini jangan diberi pada wanita hamil, percobaan
pada tikus dosis 80 mg/kgBB per hari menyebabkan cacat pada jari fetus hewan coba. Dan
hindari juga pemberian pada ibu menyusui karena obat ini diekskresikan melalui ASI.
Sebenarnya dibandingkan itokonazol, ketokonazol kurang selektif untuk P450 jamur, tapi
tetap dipakai karena lebih murah.
Sediaan : tablet 200 mg ; krim 2%, shampoo 2%. Dosis : Dewasa (1x200-400 mg/hari) ;
anak-anak (3,3-6,6 mg/kgBB/hari)

2. CETRIZINE
Cetirizine merupakan salah satu jenis antihistamin (AH 1). Histamin bekerja dengan
menduduki reseptor tertentu yang terdapat pada permukaan membran. Dewasa ini didapatkan
3 jenis reseptor histamin H1, H2, dan H3.
Cetirizine adalah antagonis Reseptor H1 generasi ke 2. Antagonis H1 dibedakan
menjadi obat generasi pertama dan kedua. Keduanya dibedakan oleh efek sedatif yang relative
kuat pada generasi pertama; generasi kedua kurang sedatif, karena distribusinya yang lebih
sedikit di SSP. Berikut merupakan penggolongan antihistamin :

Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi dengan baik. Efeknya
timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Tempat utama
biotransformasi AH1 adalah hati, ada juga di paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi
melalui urin setelah 24 jam.
Indikasi : AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi.
Farmakodinamik : Antagonis H1 mengurangi atau menghambat kerja histamin
secara reversibel dan kompetitif mengikat reseptor H1.
Dosis : 10 mg per hari untuk dewasa.
Efek samping yang paling umum adalah sedasi, efek samping lain ialah vertigo,
tinnitus, lelah, insomnia, mulut kering, hipotensi, dan sakit kepala.
DIAGNOSIS BANDING

1. Tinea Kapitis
2. Tinea Barbae
3. Tinea Fasialis
4. Tinea Korporis
5. Tinea Manus
6. Tinea Unguium
7. Tinea Kruris
8. Tinea Pedis
9. Pityriasis Vesikolor
10. Kandidosis Mukokutan Ringan
11. Pedikulosis Kapitis
12. Pedikulosis Pubis
13. Skabies
14. Insect Bites
Tinea Kapitis

Definisi :

Infeksi jamur Superficial yang meyerang kulit kepala

Etiologi :

Trycophython rubrum, Microsporum gypseum

Epidemiologi:

Umumnya anak SD

Laki laki lebih sering

Penyebaran di Daerah ber iklim tropis

Pengaruh higienitas dari Penderita

Penyebaran melalu kontak langsung dengan binatang peliharaan cth. Anjing dan kucing

Bisa karena lingkunan panas, Kotor, Lembap

Gejala:

Biasanya penderita mengeluh gatal dan nyeri

Efloresensi:

◎ 1. Gray patch ring Worm: papula-papula miliar sekitarmuara rambut, rambut mudah putus,
meninggalkanalopesia yang berwarna coklat.
◎ 2. Black dot ring Worm: infeksi jamur dalam rambut atau di luar rambut , rambut putustepat
pada permukaan kulit, meninggalkan makulacoklat berbintik-hitam, dan warna rambut
sekitarnyamenjadi suram.
◎ 3. Kerion: pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecildengan skuamasi akibat radang lokal,
rambut putus danmudah dicabut.
◎ 4. Tinea favosa: bintik-bintik berwarna merah kuning ditutupi oleh krusta yang berbentuk
cawan . Berbau busuk .rambut putus putus dan mudah dicabut.

Pemeriksaan dan Tatalaksana

Pemeriksaan:

◎ Wood: Jika disinari oleh Wood Lamp fluoresensi nya akan berwarna Kehijauan
◎ Pembiakan pada media Agar sabouaroud
◎ Pemeriksaan dengan cairan KOH 10% ditemukan Spora atau Hifa Misselium

Tatalaksana:

◎ Sistemik: Griseofulvin 10-25 mg/ke BB; dewasa 500 mg/hari. Ketokonazol 5-10mg/kg BB;
dewasa 200 mg/hari selama 7-14hari.
◎ Topikal: Mencuci kepala dan rambut dengan shampoo desinfektan antimikotik seperti larutan
asam salisilat, asam benzoat, dan sulfur presipitatum. Obatobat derivat imidazol 1-2% dalam
krim atau larutan dapat menyembuhkan demikian pula ketokonazol krim atau larutan 2%
Tinea Barbae

Definisi :

Bentuk infeksi jamur dermatofita, di daerah dagu jenggot yang menyerang kulit dan folikel rambut

Etiologi :

Trycophython & Microsporum

Epidemiologi:

Umumnya pada orang dewasa

Laki laki lebih sering

Orang kulit putih lebih ber resiko

Pengaruh higienitas dari penderita

Bisa karena Lingkunannya Kotor

Gejala:

Biasanya penderita mengeluh gatal dan nyeri di daerah yang terkena penyakit disertai bintik kemerahan

Efloresensi:

◎ Rambut yang terkena cenderung rapuh dan tak mengkilat


◎ Kadang kadang terdapat pustula
◎ Eritema pada daerah yang terkena jamur
◎ Pada keadaan kronik dapat ditemukan nanah, sel raksasa dan infiltrasi sel radang kronik

Pemeriksaan dan Tatalaksana

Pemeriksaan:

◎ Kerokan kulit dagu yang terserang + KOH 10 – 20 %


◎ Biakan pada agar sabouraud
◎ Wood Lamp: Kehijauan

Tatalaksana:

◎ Umum: Menjaga higienitas, Mencukur rambut jenggot


◎ Sistemik:
○ Ketokonazol 200mg/d 3 weeks
○ Itrakonazol 100mg/d 2 weeks
◎ Topikal:
○ Ketokonazol krim 2% 5-7 Days
○ Kompres dengan Solium As. Asetat 0,025% 3x/d

Tinea Fasialis
Definisi :

Infeksi jamur Superficial yang meyerang kulit bagian wajah

Etiologi :

Trycophython rubrum, Microsporum canis ( kucing, anjing)

Epidemiologi:

Umumnya anak anak ( 19% dari populasi anak dengan dermatofitosis )

Pada anak dan wanita, infeksi terlihat di setiap permukaan wajah termasuk dagu dan bibir bagian atas

Penyebaran melalu kontak langsung dengan binatang atau kontak langsung dgn keluarga yg kena
penyakit nya juga

Insidens bisa meningkat pada usia 20 – 40 Y.O

Gejala:

Biasanya penderita mengeluh gatal dan rasa seperti terbakar dan diperparah jika terpapar sinar matahari

Efloresensi

◎ Makula hingga plak sirkular


◎ Batas batas meninggi
◎ Terdapat regresi sentral yang bikin dia berbentuk seperti Ring atau cincin
◎ Eritema dan skuama tipis juga bisa ditemukan

Pemeriksaan dan Tatalaksana

Pemeriksaan:

◎ Wood: Jika disinari oleh Wood Lamp fluoresensi nya akan berwarna Kehijauan pucat
◎ Pembiakan pada media Agar sabouaroud
◎ Pemeriksaan dengan cairan KOH 20% ditemukan Spora atau Hifa Misselium

Tatalaksana:

◎ Itrakonazol 400mg u/ dewasa 7d


◎ Itrakonazol 5mg/kg/bb 1 week
◎ Flukonazol 150mg u/ dewasa 4weeks
◎ Flukonazol intravena 400mg
◎ Topikal
◎ Ketokonazol krim 2%
Tinea Kruris

Definisi

Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema marginatum, Dobie itch,

Jockey itch, Ringworm of the groin. yang termasuk golongan dermatofitosis pada lipat paha,
daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup .

Epidemiologi

Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan tinea kruris dan

tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Insidensi dermatomikosis di berbagai


rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang menunjukkan angka persentase terhadap
seluruh kasus dermatofitosis bervariasi dari 2,93% (Semarang) yang terendah sampai 27,6%
(Padang) yang tertinggi. Laki-laki pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita,
biasanya mengenai usia 18-25 tahun serta 40-50 tahun.

Etiologi

Trichophyton rubrum (T. Rubrum) merupakan penyebab utama, diikuti oleh Trichophyton
mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum (E. Floccosum).

Faktor Risiko

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim panas, lembab,
higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang berlebihan, trauma kulit, dan
lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio kruris memberikan kontribusi terhadap kondisi
kelembaban sehingga menyebabkan perkembangan infeksi jamur. Tinea kruris sangat menular
dan epidemik minor dapat terjadi pada lingkungan sekolah dan komunitas semacam yang lain.
Tinea kruris umumnya terjadi akibat infeksi dermatofitosis yang lain pada individu yang sama
melalui kontak langsung dengan penderita misalnya berjabat tangan, tidur ersama, dan
hubungan seksual. Tetapi bisa juga melalui kontak tidak langsung. melalui benda yang
terkontaminasi,”pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain”. Obesitas, penggunaan antibiotika,
kortikosteroid serta obat-obat imunosupresan lain juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
penyakit jamur.

Gambaran Klinis

Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri atas bermacam-
macam efloresensi kulit (polimorfik).Bentuk lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit
hiperpigmentasi dan skuamasi menahun.Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi
bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel
dan papul di tepi lesi. Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas terutama
pada pasien imunodefisiensi.

Diagonosis

Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan
mikroskopik langsung memakai larutan KOH 10-20%.Pemeriksaan KOH paling mudah
diperoleh dengan pengambilan sampel dari batas lesi. Hasil pemeriksaan mikroskopis KOH 10

30
% yang positif, yaitu adanya elemen jamur berupa hifa yang bercabang dan atau artrospora.
Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur di perlukan bahan klinis, yang dapat berupa
kerokan kulit, rambut, dan kuku.

Diagnosis Banding

a. Dermatitis seboroik

Dermatitis kronik yang terjadi pada daerah yang mempunyai banyak kelenajar sebasea.
Seperti pada muka, kepala, dada. Efloresensi : Plakat eritematosa dengan skuama
berwarna kekuningan berminyak dengan batas tegas

b. Psoriasis
Merupakan penyakit kulit yang bersidat kronik,residif, dan tidak infeksius. Efloresensi :
plakat eritematosa berbatas tegas ditutupi skuama tebal, berlapis- lapis dan berwarna
putih mengkilat. Terdapat tiga fenomena, yaitu bila digores dengan benda tumpul
menunjukan tanda tetesan lilin. Kemudian bila skuama dikelupas satu demi satu sampai
dasarnya akan tampak bintik-bintik perdarahan, dikenal dengan nama Auspits sign.
Adanya fenomena koebner / atau reaksi isomorfik yaitu timbul lesi-lesi yang sama

dengan kelainan psoriasis akibat bekas trauma / garukan.

c. Ptiriasisrosea
Merupakan peradangan kulit akut berupa lesi papuloskuamosa pada badan, lengan atas
bagian proksimal dan paha atas. Efloresensi : papul / plak eritematosa berbebntuk oval
dengan skuama collarette (skuama halus di pinggir). Lesi pertama ( Mother patch/Herald
patch) berupa bercak yang besar, soliter, ovale dan anular berdiameter dua sampai enam
cm. Lesi tersusun sesuai lipatan kulit sehingga memberikan gambaran menyerupai
pohon cemara (Christmas tree)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu higienis sanitasi dan terapi farmakologi.
Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat dihindari dengan mencegah faktor risiko seperti celana
dalam yang digunakan, hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti setiap hari. Selangkangan atau
daerah lipat paha harus bersih dan kering. Hindari memakai celana sempit dan ketat, terutama yang
digunakan dalam waktu yang lama agar daerah selangkangan atau lipat paha tetap kering dan tidak
lembab adalah salah satu faktor yang mencegah terjadinya infeksi pada tinea kruris.

Masa sekarang, Dermatofitisis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersifat
fungistatik. Bagan dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin dalam
bentuk fineparticle dapat di berikan denggan dosis 0,5-1 g badan. Lama pengobatan tergantung dari
lokasi penyakit dan keadaan imunitas penderita. Efek samping griseofulvin jarang di jumpai, yang
merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang di dapati pada 15% penderita. Efek samping yang lain
dapat berupa gangguan traktus digestifus ialah nausea, vomitus, dan diare.

(a) Topikal : salep atau krim antimikotik. Lokasi lokasi ini sangat peka , jadi konsentrasi obat harus
lebih rendah dibandingkan lokasi lain, misalnya asam salisilat,asam benzoat, sulfur dan sebagainya.
(b) Sistemik : diberikan jika lesi meluas dan kronik ; griseofulvin 500-1.000 mg selama 2-3 minggu
atau ketokonazole100 mg/hari selama 1 bulan.

Tinea Pedis

Definisi

Tinea pedis (sering disebut Athlete’s foot, Ringworm of the foot, kutu air) adalah infeksi jamur
superfisial yang termasuk golongan dematofitosis pada daerah tumit, telapak kaki, dan sela-sela
jari kaki. Infeksinya dapat menyebar ke daerah lain termasuk kuku yang bisa menjadi sumber
infeksi ke daerah lainnya.

Epidemiologi

◎ Lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan


◎ Lebih seirng terjadi pada orang dewasa
◎ Banyak pada orang-orang yang bekerja di tempat basah seperti tukang cuci, petani, atau
pada orang yang memakai sepatu tertutup seperti tentara

Etiologi

Disebabkan oleh Epidermatophyton floccosum, Trychophyton interdigitale, Trychophyton


rubrum.

Klasifikasi

1. Tipe Interdigitalis

Kelainan berupa maserasi (karena daerah ini lembab), ada di sela jari IV dan V. Aspek
klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh.

2. Moccasin Foot

Pada seluruh kaki terlihat kulit menebal dan bersisik, eritema ringan dan terlihat di
bagian tepi lesi, bersifat kronik dan sering resisten terhadap pengobatan, dibagian tepi
lesi kadang ditemukan vesikel dan papul.

3. Tipe Ulseratif Akut


Lesi berupa vesikulo-pustulosa dan ulkus purulent luas pada permukaan telapak kaki.

Diagnosis

Pemeriksaan Fisik:

Tinea pedis (kaki atlet) biasanya melibatkan kulit di antara jari-jari kaki, tetapi dapat menyebar ke
telapak kaki, sisi, dan dorsum kaki yang terlibat. Bentuk akut muncul dengan eritema dan maserasi di
antara jari-jari kaki, kadang disertai dengan vesikel yang nyeri.

Pemeriksaan Penunjang:

Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit memakai larutan KOH
10-20%.

Penatalaksanaan

◎ Pemberian Griseofulvin sebanyak 500 mg selama 1-2 bulan


◎ Salep whitefieId I atau II
◎ Obat-obat golongan azole dan terbinafin
Scabies

Definisi :

Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau Sarcoptes scabei. Skabies tidak
membahayakan bagi manusia. Adanya rasa gatal pada malam hari merupakan gejala utama yang
mengganggu aktivitas dan produktivitas (Siregar, 2005). Penyakit ini menular dari manusia ke manusia
melalui kontak langsung dengan kulit dan melalui tempat tidur serta pakaian. Skabies umumnya terjadi
pada penduduk dengan ekonomi menengah ke bawah yang kurang menjaga kebersihan diri atau higiene
yang buruk (Sungkar, 1995).

Etiologi

Penyebab penyakit skabies yaitu sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus
scabieiatau pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei termasuk
filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes (Djuanda, 2010).
Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-
kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina.
Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum. Bentuk betina
yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya (Handoko, 2009).

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva meninggalkan
terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang
akan menjadi parasit dewasa. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang merupakan
kaki depan dan 2 pasang lainnya kaki belakang. Siklus hidup dari telur sampai menjadi dewasa
berlangsung satu bulan. Sarcoptes scabiei betina terdapat cambuk pada pasangan kaki ke-3 dan
ke-4. Sedangkan pada yang jantan bulu cambuk tersebut hanya dijumpai pada pasangan kaki
ke-3 saja. Tungau skabies betina membuat liang di dalam epidermis dan meletakkan telur-
telurnya di dalam liang yang ditinggalkannya, sedangkan tungau skabies jantan hanya
mempunyai satu tugas dalam kehidupannya yaitu kawin dengan tungau betina, dan setelah
melaksanakan tugasnya masing-masing mereka akan mati (Graham-Brown dan Burns, 2005).

Telur yang dihasilkan skabies betina ditularkan melalui kontak fisik yang erat, misalnya melalui
pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur. Skabies dapat hidup di luar kulit hanya 2 -3 hari dan
pada suhu kamar 21°C dengan kelembaban relative 40-80%. Penyebaran terjadi dari satu orang ke orang
lain melalui kontak langsung atau dua orang yang menggunakan tempat tidur yang sama. Penyebaran
biasa terjadi di tempat-tempat yang padat populasi atau di rumah-rumah yang dihuni oleh banyak orang
(Harahap M., 2000).

Patofisiologi

Kelainan kulit yang disebabkan tidak hanya dari tungau scabies, akan tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Saat terjadi kontak kulit yang kuat yang menyebabkan lesi
timbul di pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap secret dan
eksret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan
kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, dan urtika. Dengan garukan
dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi
dapat lebih luas dari lokasi tungau. Infestasi dimulai saat tungau betina telah dibuahi tiba-tiba di
permukaan kulit. Tungau dan produk-produknya menyebabkan iritan yang akan merangsang
system imun tubuh untuk mengerahkan komponen-komponennya (Habif, 2003).

Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sel sistem imun spesifik lainnya belum
memberikan respon. Namun, terjadi perlawanan dari tubuh oleh sistem imun non spesifik yang
disebut inflamasi. Tanda terjadinya inflamasi ini antara lain timbulnya kemerahan pada kulit,
panas, nyeri, dan bengkak. Hal ini disebabkan karena peningkatan persediaan darah ke tempat
inflamasi yang terjadi atas pengaruh amin vasoaktif seperti histamine, triptamin dan mediator
lainnya yang berasal dri sel mastosit. Mediator-mediator inflamasi itu juga menyebabkan rasa
gatal di kulit. Molekul-molekul seperti prostaglandin dan kinin juga ikut meningkatkan
permeabilitas dan mengalirkan plasma dan protein plasma melintasi endotel yang menimbulkan
kemerahan dan panas. Faktor kemotaktik yang diproduksi seperti C5a, histamine, leukotrien
akan menarik fagosit. Peningkatan permeabilitas vaskuler memudahkan neutrofil dan monosit
memasuki jaringan tersebut. Neutrofil datang terlebih dahulu untuk menghancurkan/
menyingkirkan antigen. Meskipun biasanya berhasil, tetapi beberapa sel akan mati dan
mengeluarkan isinya yang juga akan merusak jaringan sehingga menimbulkan proses inflamasi.
Sel mononuklear datang untuk menyingkirkan debris dan merangsang penyembuhan
(Baratawidjaja, 2007).

Bila proses inflamasi yang diperankan oleh pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi
infestasi tungau dan produknya tersebut, maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme
pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa
bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Selanjutnya akan terjadi
antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat terjadi karena aktivasi
komplemen yang berikatan dengan bagian Fc antibodi (Kresno, 2007).

Lokalisasi

Sela jari tangan, pergelangan tangan, ketiak, sekitar pusat, paha bagian dalam, genitalia pria, dan
bokong.

Pada bayi: kepala, telapak tangan dan kaki.

Cara Penularan

Penularan penyakit skabies dapat


terjadi secara langsung maupun tidak
langsung, adapun cara penularannya
adalah:

1. Kontak langsung (kulit dengan


kulit) Penularan skabies terutama
melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada
orang dewasa hubungan seksual merupakan hal tersering, sedangkan pada anakanak penularan
didapat dari orang tua atau temannya.
2. Kontak tidak langsung (melalui benda) Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya
melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada
penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang
peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama
adalah selimut (Djuanda, 2010).

Terapi Farmakologi

Topikal

1. Permethrin 5% (Krim/Lotion)

Regimen: Permethrin cream digunakan untuk sekali pemakaian. Oleskan Permethrin


cream merata pada seluruh permukaan kulit. Lama pemakaian selama 8-12 jam,
kemudian dibersihkan dan diaplikasikan ulang. Dianjurkan pengolesan pada malam hari.

Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap Permethrin, Pirethroid sintetis atau Pirethrin.

Efek samping: Rasa gatal & terbakar

2. Benzyl Benzoate 10-25% (Lotion)

Regimen: Dioleskan secara merata pada permukaan kulit. Bilas setelah 24 jam lalu
oleskan kembali. Digunakan secara terus menerus selama 24 jam selama 2-3 hari.

Kontraidikasi: Ibu hamil, menyusui, dan infant kurang dari 2 tahun

Efek samping: Iritasi kulit, sensasi terbakar, konjungtivitis, dan reaksi post-scabies eczematous.

3. Precipitated sulphur 6-10 % (Petroleum base)

Regimen: Dioleskan secara merata pada permukaan kulit. Bilas setelah 24 jam lalu oleskan
kembali. Digunakan secara terus menerus selama 24 jam selama 3 hari.

Kontraidikasi: penderita alergi dan hipersensitivitas,toksisitas rendah

Efek samping: Iritasi kulit, dermatitis

4. Crotamiton 10% (oinment)

Regimen:
Skabies klasik: Dioleskan secara merata pada permukaan kulit. Bilas setelah 24 jam lalu oleskan
kembali. Digunakan secara terus menerus selama 24 jam selama 5-7 hari.

Kudis nodular: Oleskan ke nodul 3 kali sehari selama 7-14 hari

Kontraidikasi: hindari pemakaian jangka lama pada wanita hamil dan infant

Efek samping: Iritasi kulit, dermatitis

5. Lindane 1% (Gamma benzene hexachloride) (Lotion/krim)

Regimen:

Lindane digunakan untuk sekali pemakaian. Dioleskan secara merata pada permukaan kulit.
Lama pemakaian selama 6-8 jam, kemudian dibersihkan dan oleskan kembali.

Kontraidikasi: Ibu hamil & menyusui, bayi, anak <10 tahun, penderita gangguan kejang. Hindari
pemakaian setelah mandi air panas untuk mencegah berkurangnya penyerapan perkutan

Efek samping: Neurotoksisitas; Kram, pusing, kejang pada anak-anak, anemia.

Sistemik

1. Ivermectin

Regimen:

Obat oral 200 ug / kg selama 2 minggu

Kontraidikasi: Bukan untuk anak-anak di bawah 5 tahun atau dengan berat badan kurang dari 15
kg, hindari pada wanita hamil dan menyusui

Efek samping: Penggunaan dengan obat lain yang memperkuat aktivitas GABA dapat
menyebabkan aktivitas tambahan (valproat, barbiturat, benzodiazepin)

Terapi lain:

Pengobatan gatal pada skabies:

Rasa gatal biasanya berlangsung sekitar satu sampai dua minggu, harus dievaluasi jika berkepanjangan.
Pengobatannya meliputi:
1. Antihistamin: chlorpheniramine, hydroxyzine, diphenhydramine, Dexachlorpheniramine.
Antihistamin sedative harus digunakan dengan hati-hati pada anak kurang dari 2 tahun.
2. Kortikosteroid: steroid oral topical (0,5 mg/kg tergantung pada tingkat keparahannya).
3. Emolien: aplikasi emolien biasa untuk kulit kering dan eczematous.

Pengobatan infeksi skabies:

1. Mengobati dengan antibiotic sistemik minimal selama 7 hari


2. Gunakan sabun / anti septic KMnO4
3. Antibiotik topical tidak diindikasikan pada pasien yang sudah diobati dengan antibiotic sistemik

Pengobatan skabies nodular:

1. Agen anti inflamasi topikal; misalnya kortikosteroid topical durasi pendek 2 minggu.
2. Krim Crotamiton dua kali sehari selama 7 sampai 14 hari.

Non-Farmakologi

1. Mencuci bersih (dry cleaned) atau merebusdengan air panas handuk, seprai maupun baju
penderita skabies (yg dipakai dalam 5 hari terakhir), kemudian menjemurnya hingga kering
(washed and dried in hot cycle).
2. Menghilangkan faktor predisposisi, antara lain dengan penyluhanmengenai higiene perorangan
dan lingkungan.
3. Menghindari pemakaian baju, handuk, seprai secara bersama-sama.
4. Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang terinfeksiuntuk memutuskan
rantai penularan. Hewan peliharaan tidak perlu diobati karena kutu skabies tidak hidup disana.
5. Pasien yang masih bersekolah disarankan istirahat terlebih dahulu selama beberapa hari agar
meminimalisir terjadinya penularan.
6. Edukasi pasien dan keluarga mengenai faktor risko penyebab dan pentingnya higenitas.

Gejala Singkat/KU & K. Tambahan

Penderita selalu mengeluh gatal, terutama pada malam hari. Kelainan kulit mula- mula berupa
papula, vesikel. Akibat garukan timbul infeksi sekunder sehingga terjadi pustula.

Efloresensi

Papula dan vesikel miliar sampai lentikular disertai ekskoriasi (scratch mark). Jika terjadi infeksi
sekunder tampak pustula lentikular.
Lesi yang khas adalah terowongan (kanalikulus) miliar, tampak berasal dari salah satu papula atau
vesikel, panjang kira-kira 1 cm, berwarna putih abu-abu. Akhir/ujung kanalikuli adalah tempat
persembunyian dan bertelur Sarcoptes scabiei betina.

Diagnosis Banding

1. Prurigo: biasanya berupa papula-papula yang gatal; predileksi pada bagian ekstensor
ekstremitas.
2. Gigitan serangga: biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan, efloresensinya urtikaria papular.
3. S. lolikutitis: nyeri, efloresensi berupa pustula miliar dikelilingi daerah yang eritema.

Penunjang Diagnosis

Cara menemukan tungau:

1. Cari mula-mula terowongan, kemudian pada ujung yang terlihat papul atau vesikel dicongkel
dengan jarum dan diletakkan di atas sebuah objek, lalu ditutup dengan kaca penutup dan
dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung di atas selembar kertas putih dan dilihat
dengan kaca pembesar.
3. Buat biopsi irisan. Caranya: lesi dijepit dengan 2 jari kemudian dibuat irisan tipis dengan pisau
dan diperiksa dengan mikroskop cahaya.
4. Dengan biopsi eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan hematoksilin eosin (H.E.).

Insect bite

Definisi :

Insect bite adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin
atau alergen yang dikeluarkan artropoda penyerang. Penyakit ini bisa terjadi pada semua umur dan
frekuensi pada wanita dan pria sama saja. Diperkebunan atau daerah perswaahan sering individunya .

Gejala Klinis dan Diagnosa


Gejala awal dapat berupa
eritema atau sampai papul eritem
atau edema setempat yang terasa
gatal dan nyeri. Cantarides
Dermatitis dapat menyebabkan
gejala sistemik berupa
discomfort, muntah, pusing dan
sampai syok. Dalam menentukan
diagnosa dapat dilihat dari
riwayat bersinggungan dengan
suatu jenis insekta, tetapi
terkadang penderita tidak
mengetahuinya karena
kemungkinan diserang sewaktu
penderita tidur. Penilaian ujud
kelainan kulit (UKK) yang khas
dalam Cantarides Dermatitis adalah berupa papul/pustul eritematous yang berbentuk linier atau
lentikuler. Terkadang UKK-nya hanya eritema atau bula yg kemudian bisa terjadi nekrosis. Daerah
predileksi untuk Cantarides Dermatitis dapat terjadi dimana saja di seluruh tubuh.

Etiologi

Insect bite disebabkan oleh artropoda kelas


insekta. Insekta memiliki tahap dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki, dan
tubuh bersegmen dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. Insekta merupakan golongan hewan
yang memiliki jenis paling banyak dan palingberagam. Oleh karena itu, kontak antara manusia dan
serangga sulit dihindari. Paparan terhadap gigitan atau sengatan serangga dan sejenisnya dapat berakibat
ringan atau hampir tidak disadari ataupun dapat mengancam nyawa. (Burns, 2012)
Efloresensi

Berupa eritema morbiliformis atau bula yang dikelilingi eritema dan iskemia, kemudian terjadi nekrosis
luas dan gangren. Kadang-kadang berupa pustula miliar sampai lentikular menyeluruh atau pada
sebagian tubuh.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang tuk diagnostik adalah pemeriksaan darah untuk melihat eosinofil dan juga tes
tusuk atau goresan bahan/zat alergen tersangka. Pada gambaran histopatologi dapat ditemukan edema
antar sel-sel epidermis, spongiosis, serta sebukan sel polimorfonuklear (pmn). Pada dermis ditemukan
pelebaran ujung pembuluh darah dan sebukan sel radang akut.

Penatalaksanaan

Pengobatan dan penanganan dilakukan berdasar reaksi individu terhadap toksin serangga, yaitu apakah
personal yang diserang memberikan reaksi sistemik atau hanya lokal. Jika memberikan reaksi sistemik,
seperti syok, maka diberikan adrenalin 1% dan corticosteroid sistemik diberikan jika penderita tak
tertolong dengan antihistamin atau adrenalin. Di sini menggunakan corticosteroid lokal seperti
hidrocortisone 2% sebagai antiinflamasi, asetamizol 10 mg sebagai antihistamin untuk menaggulangi
reaksi alergi dan as. salycyl 2% sebagai antipruritus. Dan sarannya untuk tidak menggaruk bagian yang
sakit, karena bisa mnyebabkan infeksi skunder.

Diagnosis Banding

1. Prurigo: Biasanya kronik, berbentuk papula/nodula kronik yang gatal.


2. Urtikaria: Tidak jelas ada gigitan/tusukan serangga.
3. Dermatitis kontak:Biasanya jelas ada bahan kontaktan, lesi sesuai dengan tempat kontak.

Tinea Unguium Tinea Korporis

Penyakit kulit yg disebabkan


Infeksi jamur oleh jamur dermatofita,
DEFINISI
dermatofita pd kuku menyerang daerah kulit tdk
berambut
Epidermophyton fluccosum
T.mentagro phytes dan T.rubrum
ETIOLOGI
dan T.rubrum

Umur : >> dewasa Umur : semua umur, >> orang


Jenis kelamin : laki- dewasa Jenis kelamin : laki-
lakidan perempuan laki dan perempuan sama
sama Daerah : tropis Daerah : tropis Iklim : insiden
Kebersihan :pada meningkat pada kelembapan
EPIDEMIO LOGI
orang >> bekerja udara yg tinggi Kebersihan :
dgn air kotor sangat besar pengaruhnya
Keturunan : tdk Keturunan : tidak
berpengaru h. berpengaruh Lingkungan :
Lembab kotor

-KU berupa Gejala subjektif : gatal, t.u


kerusakan kuku saat >>keringat Gejala
objektif : macula
- kuku menjadi
hiperpigmentasi, dengan tepi
GEJALA suram, lapuk dan
yg lebih aktif.
rapuh

- bagian atas tampak Oleh karena digaruk, lesi


makin meluas,t.u kulit lembap
menebal
Lokalisasi : semua
kuku jari tangan dan
Lokalisasi : wajah, anggota
kaki Efloresensi :
gerak atas dan bawah, dada,
-kuku menjadi rusak punggung Efloresensi : - lesi
dan rapuh serta berbentuk macula/plak/hiper
suram warnanya,p pigmentasi dgn tepi aktif &
ermukaan kuku penyembuhan sentral
menebal, dibwah
- Pada tepi lesi di
PEMERIKS AAN kuku tampak
jumpai papula
KULIT detritus yg
eritemato sa/vesikel
mengandun g
elemen jamur. . - Pada
perjalanan penyakit
- pada infeksi ringan
kronik bisa dijumpai
hanya di jumpai
likenifika si, gambaran
bercak- bercak putih
lesi dpt poliksikli
dan kasar
s,anular/geografis
dipermukaa n kuku
(leukonikia )

GAMBARA N
TIDAK KHAS TIDAK KHAS
HISTOPAT OLOGI

PEMERIKS AAN 1. kerokan kuku + Kerokan kulit + KOH 10% =


LAB KOH 40% 2. biakan hifa positif
kerokan skuama
dibawah /diatas
kuku menghasilk an
koloni jamur

1. Onikodistro fi
Candida Albicans2.
DIAGNOSI S
Onikodistro fi akibat 1. morbus Hansen 2. pitiriasis
BANDING
trauma3. psoriasis rosea 3. neurodermatitis
pada kuku sirkumskripta

UMUM :
meningkatk an
kebersihan penderita UMUM : - menigktakan
kebersihan badan
KHUSUS:
- Hindari pakaian yg tidak
SISTEMI K: -
Griseofulvi n : dosis menyerap keringat
anak 15-20
KHUSUS:
mg/hari/kg BB,
TALAK dewasa 500-1000 SISTEMIK : -Antihistamin-
mg/hari selama 2-4 Griseofulvin : anak-anak : 15-
minggu 20 mg/kgBB/hari, dewasa:
500-1000 mg/hari-
- Itrakonazol
Itrakonazol 100mg/hari
2x100mg/h ari slma
selama 2 minggu -
3-6 bulan
Ketokonazol 100 mg/hari
TOPIKAL selama 3minggu

: -salep

whitefield I,II -
kompres asam
salisilat 5%, asam
benzoate 10% dam
resolsinol 5%

PROGNOSI S BAIK BAIK


PEDIKULOSIS PUBIS

Definisi

Pedikulosis pubis adalah infeksi rambut di daerah pubis dan sekitarnya oleh. pthirus pubis

Epidemiologi

Penyakit ini menyerang orang dewasa dan dapat digolongkan dalam infeksi menular seksual
(IMS) serta dapat pula menyerang jenggot dan kumis. Infeksi ni juga dapat terjadi pada anak-
anak, yaitu di alis atau bulu mata (misalnya blefaritis) dan pada tepi batas rambut kepala.

Etilogi

kutu ini juga mempunyai 2 jenis kelamin, yang betina lebih besar daripada yang jantan, panjang
sama dengan lebar ialah 1-2 mm.

Patogenesis

kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan kulit untuk menghilangkan rasa gatal. Gatal
tersebut timbul karena pengaruh air liur dan ekskreta dari kutu yang masuk ke dalam kulit
waktu menghisap darah.

Gejala Klinis

Gejala yang terutama adalah gatal di daerah pubis dan sekitarnya. Gatal ini dapat meluas sampai
daerah abdomen dan dada, dijumpai bercak-bercak yang berwarna abu-abu atau kebiruan yang
disebut dengan macula serule. Kutu ini dapat dilihat dengan mata biasa dan sulit untuk
dilepaskan, karena kepala kutu masuk kedalam muara folikel rambut.

Gejala patignomonik lainnya adalah balck dot, artinya adanya bercak-bercak hitam yang
tampak jelas pada celana dalam berwarna putih dan yang dilihat oleh penderita pada waktu
bangun tidur. Bercak hitam ini merupaka krusta berasal dari darah yang sering salah intepretasi
sebagai hematuria. Kdang kadang terjadi infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional.

Diagnosis

Mencari telur atau bentuk kutu dewasa.

Pengobatan
Pengobatan sama dengan pengobatan pedikulosis korporis, yakni menggunakan krim gameksan
1% atau emulsi benzyl benzoate 25% yang dioleskan dan didiamkan selama 24 jam. Ika belum
sembuh, pengobatan diulangi 4 hari kemudian.

Sebaliknya rambut genital di cukur. Pakaian dalam dicuci dengan air panas atau disetrika. Mitra
seksual harus pula diperiksa dan jika perlu diobati.

Prognosis

Baik.
PEDIKULOSIS KAPITIS

Definisi

Pedikulus kapitis adalah penyakit kulit kepala akibat infestasi ektoparasit obligat spesies
pedikulus humanus var. capitis yang termasuk family pediculidae. Parasite ini termasuk parasite
yang menghisap araha dan menghabiskan seluruh siklus hidupnya dimanusia

Epidemiologi

Penyakit ini sering menyerang anak-anak terutama berusia 3-11 tahun. Penyakit ini lebih sering
menyerang anak perempuan dikarenakan memiliki rambut yang panjang dan sering memakai
aksesoris rambut. Kodisi higiene yang tidak baik sperti jarang membersihkan rambut juga
merupakan penyebab terkena penyakit ini. Penyakit ini menyerang semua ras dan semua
tingkatan sosial, namun status ekonomi yang rendah lebih banyak yang terkena penyakit ini.
Cara penularanya dapat langsung (rambut ke rambut) atau melalui perantara seperti topi, bantal,
kasur, sisir dan kerudung.

Etiopatogenesis

Pediculus humanus var capitis memiliki tubuh yang pipih dorsoventral, memiliki tipe mulut
tusuk hisap untuk menghisap darah manusia, badanya bersegmen-segmen, memiliki 3 pasang
kaki dan berwarna kuning kecoklatan atau outih ke abu-abuan. Tungau ini tidak memiliki sayap,
oleh karena itu parasite ini tidak bisa terbang dan penjalaran infeksi harus dari benda atau
rambut yang saling menempel. Tungau memiliki cakar di kaki untuk bergantung di rambut.
Bentuk dewasa betina lebih besar daripada jantan. Telur berbentuk oval/bulat lonjong dengan
panjang seitar 0,8 mm. berwarna putih sampai kuning kecoklatan. Telur diletakkan di sepanjang
rambut dan mengikuti tumbuhnya rambut, yang berarti makin keujung terdapat telur yang lebih
matang.

Tungau adalah ektoparasit obligat yang mengahbiskan seluruh siklus hiduonya yaitu telur,
larva, nimfa dan dewasa di rambut dan kulit kepala manusia. Penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa tungau ini hanya dapat bertahan hidup selama 1-2 hari jika tidak berada di
rambut atau kulit kepala manusia, lebih dari 95% orang yang terinfeksi penyakit terdapat tungau
dewasa.
Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh gigitan tungau dan garukan untuk menghilangkan
rasa gatal. Gatal timbul karena pengaruh air liur dan ekskresi tungau yang ikut masuk kedalam
kulit kepala ketika tungau sedang menghisap darah.

Gambaran Klinis

Gejala utama dari manisfestasi tungau kepala ialah rasa gatal, namun sebagian orang
asimtomatik dan dapat sebagian karier. Masa inkubasi sebelum terjadi gejalan sekitar 4-6
minggu. Tungau dan telur paling banyak terdapat di daerah oksipital kulit dan retroaulikuler.

Tungau dewasa ditemukan di kulit kepala berwarna kuning kecoklatan sampai putih keabu-
abuan, tetapi dapat berwarna lebih gelap pada orang yang berambut gelap. Telur berada di
rambut dan berwarna kuning kecoklatan atau putih, tetapi dapat berubah menjadi hitam gelap
bisa embryo didalamnya mati.

Gigitan tungau dapat menghasilkan kelainan kulit berupa eritema, macula, dan papula, tetapi
pemeriksaan seringnya hanya menemukan eritema dan ekskroriasi saja. Ada beberapa individu
yang mengeluh dan menujukan tanda demam serta perbesaran kelenjar limfa setempat.

Garukan pada kulit kepala dapat menyebabkan terjadinya erosi, ekskoriasi dan infeksi sekunder
berupa pus dan kruta. Keadaan ini disebut plica polonica yang dapat ditumbuhi jamur. Tungau
kepala adalah penyebab utama penyakit piodema sekunder di kulit kepala di seluruh dunia.

Diagnosis

Diagnosis pasti pada penyakit pediculosis capitis adalah menemukan Pediculus humanus
var. capitis dewasa, nimfa, dan telur di kulit dan rambut kepala. Telur (nits) sangat mudah
dilihat dan merupakan marker yang paling efisien dalam mendiagnosis penyakit tersebut.
Penemuan tungau dewasa merupakan tanda bahwa sedang mengalami infeksi aktif, tetapi
tungau dewasa sangat sulit ditemukan karena dapat bergerak sekitar 6-30 cm per menit dan
bersifat menghindari cahaya. Sisir tungau dapat membantu menemukan tungau dewasa
maupun nimfa dan merupakan metode yang lebih efektif daripada inspeksi visual.10
Gambar 6. Penggunaan sisir tungau untuk membantu diagnosis
pediculosis
capitis. Sumber : Skinsight

Tungau dewasa meletakkan telur di rambut kurang dari 5mm dari kulit kepala, maka seiring
bertumbuhnya rambut kepala, telur yang semakin matang akan terletak lebih jauh dari pangkal
rambut. Telur yang kecil akan sulit dilihat, oleh karena itu pemeriksa memerlukan kaca
pembesar. Telur-telur terletak terutama di daerah oksipital kulit kepala dan retroaurikular.
Ditemukannya telur bukanlah tanda adanya infeksi aktif, tetapi apabila ditemukan 0,7 cm dari
kulit kepala dapat merupakan tanda diagnostik infeksi tungau.

Warna dari telur yang baru dikeluarkan adalah kuning kecoklatan. Telur yang sudah lama
berwarna putih dan jernih. Untuk membantu diagnosis, dapat menggunakan pemeriksaan
lampu wood. Telur dan tungau akan memberikan fluoresensi warna kuning-hijau.

Sangat penting untuk dapat membedakan apakah telur tersebut kosong atau tidak. Adanya
telur yang kosong pada seluruh pemeriksaan memberikan gambaran positif palsu adanya
infeksi aktif tungau
Pengobatan

Pengobatan sama dengan pengobatan pedikulosis korporis, yakni menggunakan krim gameksan
1% atau emulsi benzyl benzoate 25% yang dioleskan dan didiamkan selama 24 jam. Ika belum
sembuh, pengobatan diulangi 4 hari kemudian.

Sebaliknya rambut genital di cukur. Pakaian dalam dicuci dengan air panas atau disetrika. Mitra
seksual harus pula diperiksa dan jika perlu diobati.

Prognosis

Dubia ad Bonam

REFERENSI

Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi


W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2017

Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis) versicolor, and Malassezia
(pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and
Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8 th ed. New York: McGraw-Hill;
2012. p. 2298-311.

Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar & Klinik, Vol.2, Edisi 12,
Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al., Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Goodman & Gilman, 2012, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G. Hardman & Lee E.
Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman, Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah
Farmasi ITB, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
MAKALAH KASUS TUTORIAL BLOK DMS

KASUS 3

Dermatitis Seboroik

Disusun oleh Kelompok Tutorial A3:

Muhammad Hashfi Nazhari (1810211115)

Gefbar Faikar Aqbil (1810211067)

Muhammad Isran Aqsa N (1810211005)

Rajwa Zahra Mardhiyyah (1810211065)

Rahmah Salsah Hudriyah (1810211099)

Gracella Faustine (1810211117)

Sarah Veronika Sianipar (1810211131)

Alfrida Kurnia Ardhanti (1810211138)

Yuni Fajriati (1810211012)

Asih Liasari (1810211120)

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

Tahun Ajaran 2018/2019


CASE 3 : DERMSTITIS SEBOROIK
Basic Science: Kulit, Hipersensitivitas, dan Kelenjar

Kulit

Definisi kulit

Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang terletak paling luar yang melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan hidup manusia dan merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas
ukurannya, yaitu kira-kira 15% dari berat tubuh dan luas kulit orang dewasa 1,5 m2. Kulit
sangat kompleks, elastis, dan sensitive, serta sangat bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks,
ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh serta memiliki variasi mengenai lembut, tipis, dan
tebalnya. Rata-rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki
dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis. Kulit merupakan organ yang vital dan esensial serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan.

Anatomi kulit secara histopatologik

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:

Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas:

1. Lapisan basal atau stratum germinativum. Lapisan basal merupakan lapisan


epidermis paling bawah dan berbatas dengan dermis. Dalam lapisan basal terdapat
melanosit. Melanosit adalah sel dendritik yang membentuk melanin. Melanin berfungsi
melindungi kulit terhadap sinar matahari.
2. Lapisan malpighi atau stratum spinosum. Lapisan malpighi atau disebut juga prickle
cell layer (lapisan akanta) merupakan lapisan epidermis yang paling kuat dan tebal.
Terdiri dari beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda
akibat adanya mitosis serta sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya.
Pada lapisan ini banyak mengandung glikogen.
3. Lapisan granular atau stratum granulosum (Lapisan Keratohialin). Lapisan granular
terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir (granul) keratohialin yang
basofilik. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki.
4. Lapisan lusidum atau stratum lusidum. Lapisan lusidum terletak tepat di bawah
lapisan korneum. Terdiri dari sel- sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang
berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
5. Lapisan tanduk atau stratum korneum. Lapisan tanduk merupakan lapisan terluar
yang terdiri dari beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin. Pada permukaan lapisan ini sel-sel mati
terus menerus mengelupas tanpa terlihat.

Tipe-Tipe Sel Epidermis

1. Keratinocytes

Subtansi terbanyak dari sel-sel epidermis, karena keratinocytes selalu mengelupas pada
permukaaan epidermis, maka harus selalu digunakan. Pergantian dilakukan oleh aktivitas
mitosis dari lapisan basal (di malam hari). Selama perjalanannya ke luar (menuju
permukaan. Keratinocyes berdeferensiasi menjadi keratin filamen dalam sitoplasma. Proses
dari basal sampai korneum selama 20-30 hari. Karena proses cytomorhose dari
keratinocytes yang bergerak dari basal ke korneum, lima lapisan dapat diidentifikasi. Yaitu
basal, spimosum, granulosum, losidum dan kornium.

2.      Melanocytes

Didapat dari ujung saraf, memproduksi pigment melanin yang memberikan warna coklat
pada kulit. Bentuknya silindris, bulat dan panjang. Mengandung tirosinase yang dihasilkan
oleh REG, kemudian tirosinase tersebut diolah oleh Aparatus Golgi menjadi oval granules
(melanosomes). Ketika asam amino tirosin berpindah ke dalam melanosomes, melanosomes
berubah menjadi melanin. Enzim tirosinase yang diaktifkan oleh sinar ultra violet.
Kemudian melanin meninggalkan badan melanicytes dan menuju ke sitoplasma dari sel-sel
dalam lapisan stratum spinosum. Dan pada akhirnya pigmen melanin didegradasi oleh
keratinocytes.
3.      Merkel Cells

Banyak terdapat pada daerah kulit yang sedikit rambut (fingertips, oral mucosa, daerah
dasar folikel rambut). Menyebar di lapisan stratum basal yang banyak mengandung
keratinocytes. 

4.      Langerhans Cells

Disebut juga dendritic cells karena sering bekerja di daerah lapisan stratum spinosum.
Merupakan sel yang mengandung antibodi. Banyaknya 2% – 4 % dari keseluruhan sel
epidermis. Selain itu, juga banyak terdapat di bagian dermis pada lubang mulut, esophagus,
dan vagina. Fungsi dari langerhans cells adalah untuk responisasi terhadap imun karena
mempunyai antibodi.

Dermis
Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis.
Terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.
Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni:

1. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis dan berisi ujung serabut saraf
dan pembuluh darah.
2. Pars retikulaare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan. Bagian
ini terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin, dan retikulin.
Lapisan ini mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar
sebasea.

Lapisan subkutis

Lapisan ini merupakan lanjutan dermis, tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan
subkutis. Terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak
merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah.
Jaringan subkutan mengandung syaraf, pembuluh darah dan limfe, kantung rambut, dan di
lapisan atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringat. Fungsi jaringan subkutan adalah
penyekat panas, bantalan terhadap trauma, dan tempat penumpukan energi.

Fungsi kulit

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Adapun


fungsi utama kulit adalah (Djuanda,2007):

1. Fungsi proteksi

Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanik (tarikan,
gesekan, dan tekanan), gangguan kimia ( zat-zat kimia yang iritan), dan gagguan bersifat
panas (radiasi, sinar ultraviolet), dan gangguan infeksi luar.

2. Fungsi absorpsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat tetapi cairan yang
mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulis
terhadap O2, CO 2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi
respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum.

3. Fungsi ekskresi

Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa metabolisme
dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.

4. Fungsi persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis sehingga kulit
mampu mengenali rangsangan yang diberikan. Rangsangan panas diperankan oleh
badan ruffini di dermis dan subkutis, rangsangan dingin diperankan oleh badan krause
yang terletak di dermis, rangsangan rabaan diperankan oleh badan meissner yang
terletak di papila dermis, dan rangsangan tekanan diperankan oleh badan paccini di
epidermis.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)

Kulit melakukan fungsi ini dengan cara mengekskresikan keringat dan mengerutkan
(otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Di waktu suhu dingin, peredaran darah di kulit
berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah
di kulit meningkat dan terjadi penguapan keringat dari kelenjar keringat sehingga suhu
tubuh dapat dijaga tidak terlalu panas.

6. Fungsi pembentukan pigmen

Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi
saraf. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes)
menentukan warna kulit ras maupun individu.

7. Fungsi kreatinisasi

Fungsi ini memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.

8. Fungsi pembentukan/sintesis vitamin D

Hipersensitivitas

A. Definisi

Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang menimbulkan cedera jaringan (abas). Pada
keadaan normal, reaksi membasmi organisme penyebab infeksi terkendali dan mencapai keseimbangan
pada reaksi yang menyebabkan jejas pada jaringan, ketika reaksi tersebut cukup tidak terkendali dan
tidak tepat sasaran pada jaringan maka reaksi tersebut bukan malah memberikan manfaat tetapi dapat
menjadi penyebab penyakit. (patologi robbins). Penyebab reaksi hipersensitivitas antaralain adalah:

 Autoimunitas : reaksi lesi terhadap antigen diri.


 Reaksi terhadap mikroba; virus, bakteri, parasit
 Reaksi penyebab antigen lingkungan; serbuk sari, bahan dari binatang, debu rumah.

Reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologis utama yang


bertanggung jawab pada jaringan cedera dan penyakit (abbas) atau berdasarkan mekanisme utama yang
terkait dengan jejas; tiga tipe merupakan variasi jejas yan berdasarkan reaksi antibody dan yang keempat
berdasarkan reaksi sel T. Seringkali suatu kondisi khusus (penyakit) dapat melibatkan lebih dari satu
tipe reaksi.

B. Macam-Macam Hipersensitivitas

1) Hipersensitivitas Tipe I (Anafilaktik, Tipe Cepat)

Hipersensitivitas segera adalah reaksi jaringan yang


terjadi secara cepat (menit) setelah interaksi antara antigen dan
antibody IgE pada permukaan pada permukaan sel mast pada
individu yang tersensitisasi (terpapar antigen) yang menyebabkan
kebocoran vaskuler, sekresi mukosa, sering diikuti dengan
inflamasi, sering disebut alergi, atau atopi. Hipersensitivitas tipe
1 ini adalah reaksi yang paling banyak terjadi. Ada gen yang
mempengaruhi Th2 menjadi lebih hipersensitif yang mana
produksi antibody IgE sangat bergantung pada limfosit T.

a) Fase sensitisasi (aktivasi sel Th2 dan produksi


antibody IgE)

 Antigen (alergen) masuk lewat inhalasi ,


ingesti, atau suntikan atau kontak dengan kulit (makanan, obat, sengatan
serangga, serbuk sari,lotion, sabun, dll)
 Dideteksi oleh APC (Sel Langerhans)
 APC bermigrasi ke kelenjar getah bening regional lalu antigen disajikan ke sel T
naïf (yang baru menangkap antigen baru)
 Sel T naïf berdiferensiasi menjadi sel T memori dan sel Th2
 Th2 memproduksi sitokin IL-4 (merangsang reaksi sel B yang spesifik terhadap
alergen dan memicu produksi IgE yang banyak), IL-5 (mengaktifkan eosinophil
dan didatangkan ke tempat reaksi), IL-13 (bekerja pada sel epitel dan
merangsang sekresi mukus), IL-10.
 IgE beredar di sirkulasi lalu IgE berikatan dengan FceRL (reseptor permukaan)
sel bergranula (terutama sel mast)

b) Pajanan Ulang Antigen (Fase Elisitasi) (Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator) :

 Sudah tersensitisasi, terjadi pajanan ulang oleh alergen yang sama


 Alergen berikatan dengan molekul IgE spesifik pada permukaan sel mast, lalu
berikatan silang (cross linked) akan memicu degranulasi (histamin dan protease)
sekaligus sekresi mediator lipid (Leukotrin dan prostaglandin) dan sitokin (IL-4,
IL-5, IL-1 13)

Histamin akan menempati H1 reseptor dan menyebabkan penyempitan bronkus dan


menyebabkan sulit bernafas (Asma bronkial), lalu akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabelitas vaskuler sehingga, kontraksi otot polos, dan sekresi mucus. Prostaglandin D2 (PGD2)
diproduksi oleh jalur siklooksigenase sel mast yang menyebabkan bronkopasme yang kuat dan sekresi
mucus dan leukotrin (LTC, LTD) zat yang dalam kadar molar lebih kuat dari efek histamine dan
kemotaktik pada leukosit. Ada juga reaksi tipe lambat yag terjadi setelah 2-8 jam ditandai oleh
kerusakan jaringan seperti kerusakan pada epitel mukosa, dimana sebabkan oleh kedatangan sel-sel
radang.

2. Hipersensitivitas Tipe II atau Cytotoxic Hipersensitivity (Antibody mediated)


 Kelainan hipersensitivitas yang diperantarai antibody IgG atau IgM yang ditujukan
terhadap antigen sasaran pada permukaan sel atau unsur jaringan lain.
 Antigen bisa merupakan molekul normal bagian intrinsic dari memban sel atau pada
matriks ekstrasel (endogen) dan juga eksogen yang diserap (metabolit obat)
 Sel yang berperan adalah sel fagosit dan sel NK
 Self-reactive B cell dengan sel Th CD4+ memproduksi IgG dan IgM yang akan
mengikat sel sasaran (inilah yang menjadi reaksi abnormalitas yang diperantarai
antibody yang mana seharusnya antibody hanya menempel pada non self atau zat asing)
 Mekanisme:
o Sitotoksik 1 : Antigen (self) dipermukaan sel berikatan dengan antibody (IgG
dan IgM) dan mengaktivasi sistem komplemen, c3a, c4a, c5a (pemecahan
komplemen  kemotaktik faktor) dan memicu neutrophil, lalu neutrophil
terdregranulasi (peroksidase, mieloperoksidiase, proteinase, ROS) yang
bedampak toksik bagi sel. (Biasa Terjadi pada anemia hemolitik,
tromnositopenia, neutropenia, goodpastures syndrome, pemphigus vulgaris)
o Sitotoksik 2 : antibody berikatan di permuakaan sel sasaran, sistem komplemen
(c5b, c6, c7,c8,c9) membentuk MAC (Membrane Attack Complex) yang akan
menyerang dengan cara membuat chanel pada membrane sel yang akan
menyebabkan sel lisis.
o Sitotoksik 3 : complemen(c3b) berikatan pada
antibody di permukaan sel dan terjadi opsonisasi
dan akan difagosit.
o Sitotoksik 4 : diperantarai oleh ADCC (Antibody
Dependent Cell-Mediated) dimana ikatan antibody
dengan sel dikenali oleh sel NK dan dan
mensekresi granul (perforin yang akan membuat
pori-pori di membrane sel, granzyme yang akan
mengapoptosis sel) toksik.
o Non-cytotoxic mechanism : disfungsi sel perantara
antibody, dimana reaksi ini terjadi akibat antibody
reseptor mengganggu fungsi normal reseptor
(contohnya pada reseptor TSH), hormone
perangsang tiroid mengaktifkan sel tyroid pada
penyakit Graves, dan antibody terhadap reseptor
asetilkolin yang akan mengganggu transmisi neuromuscular.

3. Hipersensitivitas tipe III : Immune Complex Mediated

 Kompleks antigen-antibodi (kompleks imun) yang dibentuk di dalam sirkulasi yang


dapat mengendap diikuti aktivasi komplemen dan peradangan akut, bisa terjadi di
sirkulasi dan beberapa reaksi terjadi di jaringan.
 Antigen eksogen (mikroba) atau endogen (nucleoprotein dari sel yang rusak), antigen
tersebut larut dan tidak melekat pada organ yang terlibat
 Komponen utamanya komplek imun (IgG dan IgM) dan komplemen larut (C3a, C4a,
dan C5a)
 Mekanisme:
o Adanya antigen terlarut di pembuluh darah akan berikatan dengan antibody (IgG
dan IgM) yang bersifat less immunogenic (tidak cukup untuk memicu
makrofag), dan complex imun mengendap atau menempel di dinding endotel.
o Imun complex mengaktivasi komplemen (C1-C9), C1 terikat pada kompleks
imun, terjadi pembelahan sistem komplemen (C5a,C4a,c3a) anafilatoksin yang
menyebabkan peningkatan permeabelitas vaskuler (edema)
o Perbedaan nya dengan tipe II selain komplemen yang digunakannya lebih
banyak, lalu kemokin (c3a,c4a,c5a) memicu neutrophil ke tempat lalu berikatan
dengan komplek imun, neutrophil mencoba memfagosit tetapi yang terjadi
adalah degranulasi enzim lisosom dan ROS yang menyebabkan inflamasi
(vaskulitis)
o Kerusakan sel akibat peradangan akan menghasilkan lebih banyak nucleiprotein
dan reaksi bisa berlulang.

4. Hipersensitivitas Tipe IV: Lambat, diperantarai sel T

 Penyebab utama reaksi hipersensitivitas seluler adalah autoimunitas dan respons yang
berlebihan atau berlangsung terus terhadap antigen lingkungan.
 Kerusakan disebabkan oleh inflamsi yang dicetuskan oleh sitokin yang dihasilkan oleh
sel T CD4+ atau oleh pembunuhan sel inang oleh CTLs CD8+
 Mekanisme:
o Sel Dendritik (Langerhans) menyajikan antigen di permukaannya dalam bentuk
MHC II dan memicu sel T CD4+, lalu antigen dikenali.
o Sel T CD4+ juga menghasilkan protein permukaan CD 28 dan berikatan dengan
protein permukaan B7 pada sel Langerhans.
o Ikatan protein akan melepaskan IL-12 yang akan memicu diferensiasi sel T
CD4+ menjadi Th1. Th1 naif berdiferensiasi menjadi Th1 efektor yang akan
melepaskan IL-2, IL-2 akan memicu proliferasi sel Th1 lebih banyak
o Th1 juga melepaskan IFNgamma yang akan mengaktivasi makrofag dan
menghasilkan sel Th1 lebih banyak, Makrofag juga melepaskan mediator pro-
inflamasi (TNF IL-1, IL-6) yang akan menyebabkan kebocoran endothelial, dan
memicu sel imun lebih banyak, atau meyebabkan edema, dan kerusakan jaringan
akibat pelepasan enzim lisosom dan ROS.
o Th1 bisa juga berdiferensiasi menjadi Th17 yang akan menimbulkan respon sel
dendritic untuk melepaskan IL-6 dan TGFbeta, dan Th17 melepaskan IL-17
untuk merekrut neutrophil.
o Kerusakan jaringan juga bisa disebabkan karena Sel T sitotoksik (CTLs CD8+)
yang akan merusak sel secara langsung. CTLs CD8+ akan berikatan dengan
MHC I (menyajikan antigen dari intrasel) yang ada dipermukaan sel target.
CTLs CD8+ melepaskan perforin (membentuk celah pada membrane sel) dan
granzyme yang akan menginduksi apoptosis

Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV


Tipe Waktu Penampaka Histologi Antigen dan
Reaksi n Klinis Tempat Reaksi
Kontak 48-72 jam Eksim Limfosit disertai Epidermal (Senyawa
makrofag; edema dari organic, racun ivy,
epidermis logam berat dll)
Tuberkulin 48-72 jam Indurasi lokal Limfosit, monosit, Intradermal
makrofag (tuberculin,
lepromin, dll)
Granuloma 21-38 hari Pengerasan Makrofag, epitheloid, Antigen menetap
dan giant cells, fibrosis atau antigen asing
(tuberculosis atau
leprosi)
Perbandingan Tipe-Tipe Hipersensitivitas
Karakteristik Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV (Tipe
(anafilaktik) (Sitotoksik) (Kompleks Lambat
Imun)
Antibody/ IgE IgG, IgM IgG, IgM Th1, CTL
Immune
reactant
Antigen Eksogenus Endogenus > Antigen terlarut Berikatan
Eksogenus dengan jaringan
dan sel organ
Waktu Respon 15-30 menit menit-jam 3-8 jam 48-73 jam
Penampakan Weal&flare Lisis dan Eritema, edema, Eritema dan
nekrosis nekrosis indurasi
Histologi Basophil dan Antibody dan Komplemen dan Monosit dan
eosinofil komplemen neutrofil limfosit
Transfer antibodi antibodi antibodi sel
dengan
Contoh Alergi, asma, Anemia Autoimun Dermatitis
hay-fever hemolitik, kontak, TBC
Goodpasture
syndrome,
nefritis
Kelenjar

Di dalam lapisan kulit jangat terdapat dua macam kelenjar yaitu :

a. Kelenjar keringat (Sudorifera)

Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar) dan duet yaitu saluran semacam


pipa yang bermuara pada permukaan kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh
dilengkapi dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan telapak tangan,
telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar keringat mengatur suhu badan dan
membantu membuang sisa-sisa pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh
panas, latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu.

Ada dua jenis kelenjar keringat yaitu:

1)      Kelenjar keringat ekrin

Kelenjar keringat ini mensekresi cairan jernih, yaitu keringat yang mengandung 95-97 persen
air dan mengandung beberapa mineral, seperti garam, sodium klorida, granula minyak, glusida
dan sampingan dari metabolism seluler. Kelenjar keringat ini terdapat di seluruh kulit, mulai
dari telapak tangan dan telapak kaki sampai ke kulit kepala. Jumlahnya di seluruh badan sekitar
dua juta dan menghasilkan 14 liter keringat dalam waktu 24 jam pada orang dewasa.

Bentuk kelenjar keringat ekrin langsing, bergulung-gulung dan salurannya bermuara langsung


pada permukaan kulit yang tidak ada rambutnya.

2)      Kelenjar keringat apokrin

Hanya terdapat di daerah ketiak, puting susu, pusar, daerah kelamin dan daerah sekitar dubur
(anogenital) menghasilkan cairan yang agak kental, berwarna  keputih-putihan serta berbau
khas pada setiap orang. Sel kelenjar ini mudah rusak dan sifatnya alkali sehingga dapat
menimbulkan bau. Muaranya berdekatan dengan muara kelenjar sebasea pada
saluran folikel rambut. Kelenjar keringat apokrin jumlahnya tidak terlalu banyak dan hanya
sedikit cairan yang disekresikan dari kelenjar ini. Kelenjar apokrin mulai aktif setelah usia akil
baligh dan aktivitas kelenjar ini dipengaruhi oleh hormon.

b. Kelenjar palit (Sebacea)

Kelenjar palit terletak pada bagian atas kulit jangat berdekatan dengan kandung rambut terdiri
dari gelembung-gelembung kecil yang bermuara ke dalam kandung rambut
(folikel). Folikel rambut mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
rambut. Kelenjar palit membentuk sebum atau urap kulit. Terkecuali pada telapak tangan dan
telapak kaki, kelenjar palit terdapat di semua bagian tubuh terutama pada bagian muka.

Pada umumnya, satu batang rambut hanya mempunyai satu kelenjar palit atau kelenjar sebasea
yang bermuara pada saluran folikel rambut. Pada kulit kepala, kelenjar palit atau kelenjar
sebasea menghasilkan minyak untuk melumasi rambut dan kulit kepala. Pada kebotakan orang
dewasa, ditemukan bahwa kelenjar palit atau kelenjar sebasea membesar sedangkan folikel
rambut mengecil. Pada kulit badan termasuk pada bagian wajah, jika produksi minyak dari
kelenjar palit atau kelenjar sebasea berlebihan, maka kulit akan lebih berminyak sehingga
memudahkan timbulnya jerawat.
Dermatitis Seboroik

Definisi

Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa. Dengan predileksi di daerah


kaya kelenjar sebasea, scalp, wajah dan badan. Dermatitis ini dikaitkan dengan malasesia,
terjadi gangguan imunologis mengikuti kelembaban lingkungan, perubahan cuaca, ataupun
trauma, dengan penyebaran lesi dimulai dari derajat ringan, mislanya ketombe sampai
berbentuk eritderma.

Epidemiologi

Prevalensi dermatitis seboroik secara umum 3-5% pada populasi umum. Lesi ditemui
pada kelompok remaja, dengan ketombe sebagai bentuk yang lebih sering dijumpai. Pada
kelompok HIV, angka kejadian dermatitis seroboik lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
umum. Sebanyak 36% pasien HIV mengalami dermatitis seboroik. Umumnya diawali sejak
usia pubertas, dan memuncak pada umur 40 tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai bentuk
ringan, sedangkan pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle cap) jenis
kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.

Etiopatogenesis

Peranan kelenjar sebsea dalam pathogenesis dermatitis seboroik masih diberdebatkan,


sebab pada remaja dengan kulit berminyak yang mengalami dermatitis seboroik, menunjukkan
sekresi sebum yang normal pada laki-laki dan menurun pada perempuan. Dengan demikian
penyakit ini lebih tepat disbut dengan dermatitis di daerah sebasea. Namun demikian,
pathogenesis dermatitis seboroik dapat diuraikan sebagai berikut: Dermatitis seboroik dapat
merupakan tanda awal infeksi HIV. Dermatitis seboroik sering dotemukan pada pasien
HIV/AIDS. Transplantasi organ, malignasi, pankrearitis alkoholik kronik, hepatitis C juga
pasien Parkinson. Tetapi levoda kadang kala memperbaiki dermatitis ini. Kelainan ini sering
juga dijumpai pada pasien dengan ganguan paralisis saraf.

Meningkatnya lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respons imunologis terhadap
pityrosporum, degradasi sebum dapat mengiritasi kulit sehingga terjadi mekanisme eksema.
Jumlah ragi genus malassezia meningkat di dalam epidermis yang terkelupas pada ketombe
ataupun dermatitis seboroik. Diduga hal terjadi akibat lingkungan yang mendukung. Telah
banyak bukti yang mengaitkan titer antibody terhadap malassezia. Pasien dengan ketombe
menunjukkan peningkatan titer malassezia serta mengalami perubahan imunitas selular.
Kelenjar sebasea aktif pada sat bayi di lahirkan, namun dengan menurunkan androgen ibu,
kelenjar ini menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun.

Gambaran klinis

Lokasi yang terkena seringkali di daerah kulit kepala berambut: wajah: alis, lipat
nasolabial. Side bum: telinga dan liang telinga: bagian atas-tengah dada dan punggung, lipat
gluteus, inguinal, genital ketiak, sangat jarang menjadi luas. Dapat ditemukan skuama kuning
berminyak, eksematosa ringan, kadang kala disertai rasa gatal yang menyengat. Ketombe
merupakan tanda awal manifestasi dermatitis seroboik. Dapat dijumpai kemerahan perifolikular
yang pada tahap lanjut menjadi plak eritematosa berkonfluensi, bahkan dapat membentuk
rangkaian plak di sepanjang batas rambut frontal dan disebut sebagai korona seboroika.

Pada fase kronis dapat dijumpai kerontokan rambut. Lesi dapat juga dijumpai pada
aderah retroaulikular. Bila terjadi di liang telinga, lesi berupa otitis ekstrema atau di kelopak
mata sebagai blefaritis. Bentuk varian di tubuh yang dapat dijumpai pitiriasis (mirip pitiriasis
rosea) atau anular. Pada keadaan parah dermatitis seboroik dapat berkembang menjadi
eritderma. Obat-obatan memicu dermatitis seboroik antara lain: buspiron, klorpromazin,
simetidine, etionamid, fluorourasil, gold,griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, litium,
metoksalen, metildopa, fenotiazine, psoralen.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi khas lesi eksema dengan skuama kuning
berminyak di area predileksi. Pada kasus yang sulit perlu permeriksaan hispatologi.

Diagnosis banding

1. Psoriasis : skuama lebih tebal berlapis transparan seperti mika, lebih dominan di daerah
ekstensor.
2. Dermatitis atopic dewasa: terdapat kecenderungan stigma atopi
3. Dermatitis kontak iritan : riwayat ontak, misalnya dengan sabun pencuci wajah atau
bahan iritan lainnya untuk perawatan wajah (tretinoin, asam glikolat, asam alfa hidroksi)
4. Dermatofitosis : perlu pemeriksaan skraping kulit dengan KOH
5. Rosasea: perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih teliti

TATA LAKSANA DERMATITIS SEBOROIK

1. Farmakologi

 Obat anti inflamasi (immunomodulatory)

Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala dengan
steroid topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya dapat berupa
shampo seperti fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan pada
kulit kepala atau krim pada kulit.Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang
dihasilkan oleh korteks adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah
berkembang dengan pesat. Efek utama penggunaan kortikosteroid secara topikal pada
epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efek anti inflamasi, dan efek antimitosis.
Adanya efek vasokonstriksi akan mengakibatkan berkurangnya eritema. Adanya efek
anti inflamasi yang terutama terhadap leukosit akan efektif terhadap berbagai
dermatoses yang didasari oleh proses inflamasi seperti dermatitis. Sedangkan adanya
efek antimitosis terjadi karena kortikosteroid bersifat menghambat sintesis DNA
berbagai jenis sel
Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid topikal
satu atau dua kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo. Steroid topikal
potensi rendah efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi terletak di daerah
lipatan atau dewasa pada persisten recalcitrant seborrheic dermatitis. Topikal azole dapat
dikombinasikan dengan regimen desonide (dosis tunggal perhari selama dua minggu)3.
Akan tetapi penggunaan kortikosteroid topikal ini memiliki efek samping pada kulit
dimana dapat terjadi atrofi, teleangiectasi dan dermatitis perioral.
Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim
pimecrolimus (Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko atropi
kutaneus. Inhibittor calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan telinga terlibat,
tetapi efeknya baru bisa dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu.

 Keratolitik
Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik.
Keratolitik yang secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam salisiklik
dan shampo zinc pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti
fungi, dapat diberikan dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan
rambutnya dengan shampo tersebut selama lima menit agar shampo mencapai kulit
kepala. Pasien dapat menggunakannya juga untuk tempat lain yang terkena seperti
wajah.

 Anti fungi
Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan
dermatitis seboroik. Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua minggu,
satu kali sehari regimen desonide (Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik
pada wajah. Shampo yang mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat
dipakai. Shampo tersebut dapat diberikan dua sampai tiga kali seminggu. Ketokonazole
(krim atau gel foaming) dan terbinfin (Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal
lainnya seperti ciclopirox (Loprox) dan flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti
inflamasi juga.
Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan
topical terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik.

 Pengobatan Alternatif
Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil) merupakan
minyak essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan ditoleransi dengan
baik jika digunakan setiap hari sebagai shampo 5%3.
2. Non-Farmakologi

Prinsip dari terapi non farmakologis adalah mengingatkan pasien untuk


menghindari faktor pencetus seperti makanan yang berlemak, bahan-bahan yang
meningkatkan produksi sebasea, suhu, stress, dan emosianal yang harus di kontrol.
Diagnosis Banding

SEBOPSORIASIS

Definisi

Sebopsoriasis merupakan gabungan dari psoriasis dan dermatitis seboroik, skuama yang
biasanya kering menjadi agak lunak dan berlokasi pada tempat seboroik (kel.sebasea). Psoriasis
adalah suatu penyakit peradangan kulit, bersifat kronik residif, khas ditandai adanya bagian
kulit yang menebal, eritematus, dan berbatas tegas. Bagian atasnya tertutup skuama putih
seperti perak, sering terdapat pada daerah tubuh yang sering terkena trauma kulit, yaitu kepala,
bagian ekstensor dari ekstremitas, dan region sakralis. Luas kelainan kulit sangat bervariasi dari
lesi yang lokalisata dan terpisah sampai tersebar mengenai seluruh kulit.

Etiologi

Penyebab psoriasis belum diketahui secara pasti. Penyakit ini tidak menular, dan diduga
memiliki dasar penyebab penyakit autoimun, yaitu sistem kekebalan yang menyerang sel-sel
kulit yang sehat. Saat terserang sel yang semestinya melawan infeksi, sel-sel kulit
menggandakan diri dengan cepat sehingga menyebabkan penebalan kulit. Belum diketahui
kenapa sistem kekebalan tubuh bisa mengalami kinerja yang keliru, tapi para pakar menduga
ada pengaruh dari lingkungan dan gen.

Epidemiologi
Psoriaris sering ditemukan mengenai pada pada satu sampai tiga juta orang di Amerika Serikat.
Penyakit paling sering timbul pada orang muda berusia kurang dari 20 tahun, tetapi dapat terjadi
pada semua golongan umur. Pria dan wanita terkena dalam jumlah yang sama. Sekitar 30%
pasien mempunyai riwayat keluarga Psoriaris. Epidemiologi penyakit ini dapat ditemukan
diseluruh dunia dengan angka kesakitan yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.
Pada bangsa yang berkulit hitam seperti di Afrika jarang ditemukan. Sedangkan di Indonesia
belum didapatkan data angka insidensi yang jelas untuk penyakit ini.

Efloresensi

Penyakit ini tampak sebagai plak tebal eritema dan papula – papula yang tertutup oleh sisik
yang seperti perak. Plak ini biasanya terdapat di kepala, lutut dan siku. Psoriasis merupakan
penyakit yang diturunkan, meskipun cara penurunan penyakit ini belum dimengerti sepenuhnya.
Riwayat keluarga dapat ditemukan pada 66% pasien psoriasis.

Histopatologi

Menurut teori sebopsoriasis adalah kelainan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik
berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis, dan berwarna putih keperakan
yang berbatas pada daerah seboroik dan bila dilakukan pemeriksaan histopatologi
ditemukan parakeratosis dan akantosis.

Perbandingan Dengan Dermatitis Seboroik

Berdasarkan teori sebopsoriasis predileksinya sama dengan dermatitis seboroik yaitu pada
daerah seboroik (gland. Sebasea). Tetapi dermatitis seboroik berbeda karena skuamanya
berminyak kekuningan, sedangkan sebopsoriasis skuama putih kering, dalam pemeriksaan
sebopsoriasis dapat ditemui fenomena tetesan lilin dan fenomena auspitz.

Tata Laksana

Farmakologi

 Loratadin 1x10mg
 Desoximethason 0,25% krim
 Ketokonazole 2% krim

Sistemik :
 Kortikosteroid : Predinsolon 40-60 mg / hari
 Obat sitotoksik (metotreksat) dengan dosis

1) setiap hari, 2,2-5 mg/hari selama 14 hari, selanjutnya dengan dosis bertahan 1-2
mg / hari

2) Dosis tunggal 25 mg dan diikuti 50 mg per tiap minggunya

3) Dosis tunggal 25 mg per injeksi/minggu disusul dengan 50 mg setiap minggu


berikutnya
Pengobatan dengan penyinaran sinar UV yang dapat menghambat mitosis

Nonfarmakologi

Hindari cahaya matahari, sinar ultraviolet yang berlebihan

Hindari stres fisik dan jiwa

Perlunya kontrol penyakit/ observasi lebih lanjut


DERMATITIS NUMULARIS

A. Definisi
Dermatitis numularis (DN) atau nama lainnya eksim numular, eksim diskoid,
ataucneurodermatitis numular adalah peradangan kulit yang bersifat kronis, ditandai
dengan lesi berbentuk mata uang (koin) atau agak lonjong, berbatas tegas, dengan
efloresensi berupa papulkovesikel yang biasanya mudah pecah sehingga membasah
(oozing).

B. Epidemiologi
 Lebih sering ditemukan pada ornag dewasa.
 Jarang ditemukan pada bayi dan anak.
 Lebih sering pada iklim panas.
 Usia umumnya 50-65 tahun, wanita 15-25 tahun.

C. Etiopatogenesis
Patogenesis DN belum diketahui secara pasti, berbagai faktor diduga turut
berperan dalam kelainan ini.
Pada pasien usia lanjut dengan DN didapatkan kelembaban kulit yang menurun.
Peranan allergen lingkungan, misalnya tungau debu rumah dan Candida albicans, juga
telah diteliti. DN dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapat terapi isotretinoin dan
emas. DN generalisata pernah ditemukan pada pasien hepatitis C yang mendapat
pengobatan kombinasi interferon-α 2b dan ribavin. Tambalan gigi yang berasal dari
merkuri pernah dilaporkan sebagai penyebab DN. Defisiensi nutrisi, dermatitis kontak
alergi dan iritan, serta konflik emosional juga diduga menjadi penyebab kelainan ini.

D. Gambaran Klinis
Penderita DN umunya mengeluh sangat gatal yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Lesi akut berupa plak eritematosa berbentuk koin dengan batas tegas yang
terbentuk dari papul dan papulvesikel yang berkonfluens. Vesikel lalu pecah dan terjadi
eksudat berbentuk pinpoint. Selanjutnya eksudat mongering dan menjadi krusta
kekuningan. Dalam 1-2 minggu lesi memasuki fase kronik berupa plak dengan skuama
dan likenifikasi.
Distribusi lesi yang klasik adalah pada aspek ekstensor ekstremitas. Pada
perempuan, ekstremitas atas termasuk punggung tangan lebih sering terkena. Selain itu
kelainan dapat pula ditemukan di badan.

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Histopatologi
 Pada lesi akut, ditemukan spongiosis, vesikel intraepidermal, serta sebukan sel
radang limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah.
 Pada lesi sub-akut, ditemukan parakeratosis, scale-crust, hiperplasi epidermal,
dan spongiosis epidermis.
 Pada lesi kronik ditemukan hiperkeratosis dan akantosis.

b. Pemeriksaan Laboratorium
Tes temple dapat berguna bagi kasus kronik yang rekalsitran terhadap terapi. Tes ini
berguna untuk menyingkirkan kemungkinan adanya dermatitis kontak. Hasil tes
temple yang dilakukan positif terhadap colophony, nitrofurazon, neomisin sulfat, dan
nikel sulfat. Kadar IgE dalam darah dilaporkan normal.

F. Diagnosis Banding
Dermatitis kontak alergi, dermatitis atopik, neurodermatitis sirkumsripta,
dermatitis stasis, psoriasis, impetigo, dan dermatomikosis.

G. Komplikasi
Komplikasi DN adalah infeksi sekunder oleh bakteri.

H. Tata Laksana
a. Farmakologi
 Antihistamin sebagai sedatif dan mengurangi gatal.
 Kortikosteroid sistemik maupun topikal.
 Antibiotik seperti eritromisin, tetrasiklin 20-40 mg/kgBB selama 7-14 hari, atau
amoksilin 4 x 500 mg/hari selama 7-10 hari.

b. Non-farmakologi
 Menghindari penggunaan sabun yang berlebihan
 Menghindari penggunaan bahan kain yang menyebabkan iritasi
 Menjaga higienitas tubuh
 Bila kulit kering beri pelembab atau emoliens.

I. Prognosis
Kelainan ini biasnya menetap selama berbulan-bulan, bersifat kronik, dan timbul
kembali pada tempat yang sama.
Dermatitis Atopik

Definisi

Dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi pada dirinya sendiri
ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronkial, rhinitis alergi, dan reaksi alergi pada
serbuk tanaman.

Etiologi

Idiopati, Faktor keturunan merupakan dasar penyakit.

Epidemiologi

Bayi (2 bulan – 2 tahun), Anak (3-10 tahun), Dewasa (13-30 tahun). Lebih banyak pada
wanita.

Faktor – Faktor yang Memengaruhi Timbulnya Penyakit

Daerah yang panas, Panas dan lembab memudahkan timbunya penyakit, Genetik,
Lingkungan yang kurang mendukung (seperti lingkungan yang banyak
mengandung sensitizer, iritan, serta yang mengganggu emosi lebih mudah
menimbulkan penyakit.

Predileksi

· Bayi : kedua pipi, kepala, badan, lipat siku, lipat lutut

· Anak : tengkuk, lipat siku, lipat lutut

· Dewasa : Tengkuk, lipat lutut, lipat siku, punggung, kaki


Efloresensi

· Bayi : eritema berbatas tegas, papula/vesikel miliar disertai erosi dan eksudasi serta

krusta

· Anak : papula miliar, likenikfikasi, tidak eksudatif

· Dewasa : biasanya hiperpigmentasi, kering dan likenifikasi

Gambaran Histopatologik

Tidak khas

Diagnosis

 Dermatografisme putih, untuk melihat perubahan dari rangsangan goresan terhadap kulit.

 Percobaan asetilkolin, akan menimbulkan vasokonstriksi kulit yang tampak sebagai garis
pucat selama satu jam.

Diagnosis Banding

 Dermatitis kontak (dengan tipe bayi): biasanya lokalisasi sesuai dengan tempat kontaktan,
lesi berupa papula miliar dan erosi.

 Dermatitis numularis: biasanya pada orang dewasa, eksudatif; lokalisasi di ekstremitas


inferior, tidak ada stigmata atopic.
Patofisiologi dan Patogenesis

Patofisiologi dan patogenesis dermatitis atopik (DA) merupakan gabungan dari serangkaian
interaksi rumit antara kerentanan genetik yang menyebabkan sawar epidermis yang cacat atau
tidak sempurna, kelainan pada sistem imun, dan respon imun yang meningkat terhadap
alergen dan antigen mikrobial.

Disfungsi dari sawar epidermis (skin barrier) merupakan faktor patogen utama terjadinya
DA. Pada pasien DA dapat ditemukan mutasi atau defek dari gen FLG yang akan meyandi
Protein (pro)-filaggrin yang merupakan protein penting pada sawar epidermis.
Defek genetik dari FLG (Filaggrin gene) akan mengganggu epidermis dan menyebabkan
kontak antara sel imun di dermis dengan antigen dari lingkungan eksternal. Proses ini akan
mengarah pada rasa gatal yang kuat, garukan, dan inflamasi. Proses menggaruk dapat
menyebabkan gangguan dan inflamasi pada pembatas kulit epidermal, yang dideskripsikan
sebagai itchscracth cycle. Kerusakan pembatas kulit menyebabkan migrasi dari antigen-
presenting cells yang teraktivasi ke dalam kelenjar getah bening dan migrasi dari sel T naif
menjadi sel T helper 2 (Th2). Peningkatan sitokin Th2 bersamaan dengan Tumor Necrosis
Factor α (TNF-α) dan IFN-γ menyebabkan kerusakan pembatas kulit lebih lanjut dengan cara
menginduksi apoptosis keratinosit, merusak fungsi tight junction dan meningkatkan respon
Th2 dengan cara meningkatkan ekspresi thymic stromal lymphopoetin (TSLP) dari sel
epithelial.
Selain daripada faktor genetik yang menyebabkan proses di atas, pada DA dapat terjadi defek
respon imun bawaan (innate immunity) yang menyebabkan pasien DA lebih rentan terhadap
infeksi virus dan bakteri. Pada fase awal, respon sel T didominasi oleh Th2, namun
selanjutnya terjadi pergeseran dominasi menjadi respon Th1 yang akan mengakibatkan
pelepasan sitokin dan kemokin pro inflamasi, yaitu interleukin (IL) 4, IL 5, dan TNF yang
merangsang produksi IgE dan respon inflamasi sistemik. Serangkaian kejadian tersebut akan
menimbulkan tanda dan gejala dari DA seperti pruritus.
Penatalaksanaan

Non farmako :

 Hindari factor luar yang menimbulkan manifestasi klinis

 Menjauhi allergen pencetus

Farmako : Sistemik
Topikal

: antihistamin, kortikosteroid, antibiotic (infeksi sekunder)

: Kortikosteroid dengan efek samping sedikit, hidrokortison 1 – 1,5% (bayi).

Kortikosteroid kuat, betametason dipropionat 0,05% dapat dikombinasi

dengan asam salisilat 1 – 3% (anak dan dewasa)

Prognosis

Baik
TINEA KAPITIS

A. PENDAHULUAN
Infeksi jamur dapat superfisial, subkutan dan sistemik, tergantung pada
karateristik dari host. Dermatofita merupakan kelompok jamur yang terkait secara
taksonomi. Kemampuan mereka untuk membentuk lampiran molekul keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi memungkinkan mereka untuk berkoloni pada
jaringan keratin, masuk kedalam stratum korneum dari epidermis, rambut, kuku dan
jaringan pada hewan. Infeksi superfisial yang disebabkan oleh dematofit yang disebut
dermatofitosis, dimana dermatimicosis mengacu pada infeksi jamur.
Banyak cara untuk mengklasifikasikan jamur superfisial, tergantung habitat dan
pola infeksi. Organisme geofilik berasal dari tanah dan hanya sesekali menyerang
manusia, biasanya memalui kontak langsung dengan tanah.
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit kepala yang disebabkan oleh jamur
dermatofit. Tinea kapitis biasanya terjadi terutama pada anak – anak, meskipun ada juga
kasus pada orang dewasa yang biasanya terinfeksi Trichophyton tonsurans. Tinea kapitis
juga dapat dilihat pada orang dewasa sengan AIDS.
Tipe Tinea Kapitis:

• Meradang - M.audouinii, M.canis, M.gypseum, M.nanum, T.mentagrophytes, T.tonsurans

• Tidak meradang - M.audouinii, M.canis, T.tonsurans

• Black dot - T.tonsurans, T.violaceum

• Favus- M.gypseum, T.schonleinii, T.violaceum

B. EPIDEMOLOGI
Insiden penyakit ini sepertinya meningkat di Amerika utara dan Eropa. Di Negara
seperti Ethopia, dimana akses perawatan medis yang sulit tingkat infeksi telah mencapai
lebih dari 25%. Pathogen yang dominan bervariasi sesuai lokasi geografis. Di Amerika
utara dan Inggris jamur antropolitik seperti Trichophiton tonsurans ditemukan pada 90%
kasus. Jamur zoofilik seperti Microsporum canis ditemukan di Eropa, terutama di
Mediterania dan Eropa tengah.
Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki resiko yang tinggi untuk menderita Tinea Kapitis yaitu anak-anak prapubertas, wanita

dengan perubahan hormon yang drastic, pasien immunocompromised dan orang dengan status social ekonomi yang rendah.
C. ETIOLOGI
Dermatofit ectothrix biasanya menginfeksi pada perifolikuler stratum korneum,
menyebar keseluruh dan kedalam batang rambut dari pertenganahan sampai akhir rambut
sebelum turun ke folikel untuk menembus folikel rambut dan diangkut keatas pada
permukaannya. Dan biasanya disebabkan spesies dermatofita seperti golongan
Trichopiton dan Microsporum.

D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran tinea kapitis tergantung dari etiologinya.
1. Grey patch ringworm
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum
dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah yang
kecil disekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pusat
dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu – abu
dan tidak berkilat lagi. Rambut mulai patah dan terlepas dari akarnya, sehingga
mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut
terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat. Tempat – tempat
ini terlihat sebagai grey patch.

2. Kerion
Adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan
yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat disekitarnya.
Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum gypseum, pembentukan
kerion ini lehih sering dilihat. Agak kurang bila penyebabnya Tricophyton tonsurans,
dan sedikit sekali bila penyebabnya adalah Tricophyton violaceum. Kelainan ini
dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan
parut yang menonjol kadang – kadang dapat terbentuk.

3. Black Dot Ringworm


Terutama disebabkan oleh Tricophyton tonsurans dan Tricophyton violaceum.
Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang disebabkan
oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah tepat pada muara
folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut
yang hitam didalam folikel rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black dot.
Ujung rambut yang patah, kalau tumbuh kadang – kadang masuk ke bawah
permukaan kulit. Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapat bahan
biakan jamur.4
E. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis dari infeksi dermatofit dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
mikroskopis dapat membuktikan infeksi jamur dalam beberapa menit, tidak sering kali
memungkinkan untuk spesiasi atau untuk mengidentifikasi kerentanan terhadap agen.
Evaluasi mikroskopis juga dapat menghasilkan hasil negatif palsu, dan kultur jamur
sebaiknya dilakukan ketika diduga adanya infeksi klinisdermatofit.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan lesi yang melibatkan kulit kepala atau jenggot dengan
menggunakan lampu wood mungkin memperlihatkan gambaran pteridin dari
pathogen tertentu. Jika demikian, rambut dengan flouresensi tersebut harus diperiksa
lebih jauh. Perlu diketahui bahwa organisme ektotrik seperti Microsporum canis dan
Microsporum audouinii akan tampak flouresensi pada pemeriksaan lampu wood,
sedangkan organisme endotrik, Tricophyton tonsurans tidak tampak flouresensi.
Flouresensi positif terinfeksi oleh Microsporum audouinii, Microsporum canis,
Microsporum femgineum, Microsporum distorturn, dan Trichopiton schoenleinii.
Pada ruangan yang gelap kulit dibawah lampu ini berflouresensi agak biru. Ketombe
umumnya cerah putih kebiruan. Rambut yang terinfeksi berflouresensi hijau terang
atau kuning kehijauan.
Pada pemeriksaan mikroskopi, rambut harus dicabut tidak di potong melihat di
mikroskop dengan pemeriksaan KOH 10 – 20%.
- Pemeriksaan Kultur
Spesiasi jamur didasarkan pada karakteristik mikroskopik, makroskopik
danmetabolisme organisme. Saboraud dextrose agar (SDA) adalah media isolasi
yang paling umum digunakan dan sebagai basis untuk gambaran yang paling
morfologi. Namun kontaminasi saprobes tumbuh pesat pada media ini.

G. DIAGNOSA BANDING
1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh
faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Kelainan kulit
terdiri dari eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan.

2. Folikulitis
Radang folikel rambut yang disebabkan Staphilococcus aureus. Kelainan
berupa papul dan pustule yang eritematosa dan ditengahnya terdapat rambut,
biasanya multiple.

3. Dermatitis atopik
Keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya
sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita.
Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan
likenifikasi, distribusinya di daerah lipatan.

H. PENATALAKSANAAN
Anti jamur sistemik dan topical memiliki beberapa khasiat melawan dermatopit.
Infeksi yang melibatkan rambut dan kulit memerlukan antijamur oral untuk menembus
dermatofit yang menembus folikel rambur. Pengobatan standar tinea kapitis di amerika
serikat masih menggunakan grisofulvin, triazole oral (itrakonazole, flukonazol) dan
terbinafin merupakan antijamur yang aman, efektif dan memiliki keuntungan karena
durasi pengobatan yang lebih pendek.1
 Pengobatan topical
- Selenium sulfide
- Iodine
- Ketoconazole
 Pengobatan sistemik
- Grisofulvin 20-25mg/kg/hr/8minggu
- Fluconazole 6 mg/kg/hr/20hr
- Itraconazole 3-5mg/kg/hr/4-6minggu
- Terbinafine 3-6mg/kg/hr/2-4minggu

PATOFISIOLOGI DERMATITIS SEBOROIK


MAKALAH KASUS TUTORIAL BLOK DMS

KASUS 4
LUKA BAKAR

Disusun oleh Kelompok Tutorial A3:

Muhammad Hashfi Nazhari (1810211115)

Gefbar Faikar Aqbil (1810211067)

Muhammad Isran Aqsa N (1810211005)

Rajwa Zahra Mardhiyyah (1810211065)

Rahmah Salsah Hudriyah (1810211099)

Gracella Faustine (1810211117)

Sarah Veronika Sianipar (1810211131)

Alfrida Kurnia Ardhanti (1810211138)

Yuni Fajriati (1810211012)

Asih Liasari (1810211120)

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

Tahun Ajaran 2018/2019

CASE II (LUKA BAKAR)


ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI LUKA BAKAR

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas dan suhu tinggi atau suhu yang sangat rendah. Secara terminologi, luka bakar
diambil dari Bahasa Yunani yaitu Combustio adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan
disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu sangat tinggi.

Luka bakar di klasifikasikan berdasarkan :

1. Berdasarkan penyebab
2. Berdasarkan kedalaman dan kerusakan jaringan

A. Etiologi Luka Bakar


Berdasarkan penyebab, luka bakar dibedakan menjadi :

a. Luka bakar karena api


 Kontak langsung dengan api terbuka
 Kontak langsung dengan benda panas
b. Luka bakar karena minyak panas
c. Luka bakar karena air panas
d. Luka bakar karena bahan kimia (asam kuat atau basa kuat)
Bahan kimia, terutama asam menyebabkan kerusakan yg hebat akibat reaksi jaringan
sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan

e. Luka bakar karena listrik dan petir


f. Luka bakar karena radiasi
g. Cedera akibat suhu sangat rendah

Kerusakan jaringan karena api lebih berat dibanding air panas; kerusakan jaringan disebabkan bahan
koloid lebih berat daripada air panas.

Luka bakar akibat listrik memiliki kekhususan. Kerusakan jaringan tubuh disebabkan beberapa hal,
diantaranya :
a) Aliran listrik (arus bolak-balik, alternating current / AC) merupakan energi dalam jumlah
besar yang menimbulkan panas. Berasal dari sumber listrik, melalui bagian tubuh yang
kontak dengan sumber listrik (disebut ‘luka masuk’) dialirkan melalui bagian tubuh yang
memiliki resistensi paling rendah (yaitu cairan, darah/pembuluh darah) dan serabut saraf;
melalui bagian tubuh yang kontak dengan bumi (ground). Luka di bagian tubuh yang
kontak dengan bumi disebut ‘luka keluar’. Aliran listrik dalam tubuh menyebabkan
kerusakan akibat panas yang ditimbulkan resistensi jaringan.
b) Loncatan energi yang ditimbulkan oleh udara, yang berubah menjadi api (sumber panas).
Ledakan. Selain menimbulkan luka bakar, ledakan juga menyebabkan kerusakan organ
dalaman akibat daya ledak (eksplosif).

B. Epidemiologi Luka Bakar


 Penyebab paling umum :
a. Kebakaran atau api (44%)
b. Melepuh karena air panas (33%)
c. Benda panas (9%)
d. Listrik (4%)
e. Zat Kimia (3%)
 Dapat terjadi pada semua usia
 Banyak terjadi di rumah dan tempat kerja
 Kebanyakan akibat kecelakaan, sisanya dapat berupa serangan ataupun percobaan
bunuh diri.

Klasifikasi luka bakar

Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:

- Luka bakar karena api


- Luka bakar karena minyak panas
- Luka bakar karena air panas
- Luka nakar karena air panas
- Luka bakar karena bahan kmia (yang bersifat asam kuat atau basa kuat)
- Luka bakar karena listrik dan petir
- Luka bakar karena radiasi
- Luka bakar karena cedera akibat suhu sangat rendah (frost bite)

Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan

1. Luka bakar derajat I

o Kerusakan terbatas pada bagian permukaan (superfisial) epidermis


o Kulit keirng, hiperemik memberikan efloresensi berupa eritama
o Tidak di jumpai bula
o Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
o Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 2-10 hari
o Contoh luka bakar derajat I adalah luka bakar akibat sengatan matahari (sun burn)
2. Luka bakar derajat II
o Kerusakan meliputi ketebalan epidermis dan sebagian dari lapisan dermis
o Respon yang timbul berupa rekasi inflamsi akut disertai proses eksudasi (bila
terdapat kehiangan epidermis, luka terlihat ‘basah’)
o Dijumpai bula, yang merupakan karakteristik dari luka bakar derajat dua dangkal.
Bula merupakan suatu bentuk epidermolisi disertai proses eksudasi, dimana cairan
ini berkumpul di ruang yang terbentuk akibat proses epidermolisis.
o Dasar luka bewarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas
permukaan kulit normal (karena adanya edema).
o Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
o Dibedakan menjadi 2 (dua): derajat dua dangkal dan derajat dua dalam

a. Derajat II dangkal (superficial partial thickness burn)

 Kerusakan mengenai sebagian (bagian superficialis) dari dermis


 Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
masih utuh.
 Penyembuhan terjadi secara spontan umumnya dalam waktu 10-14 hari,
hal ini dimungkinkan karena lamina bsalis masih utuh, ditunjang dengan
keutuhan apendises kulit.
b. Derajat II dalam (deep partial-thickness burn)

 Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis


 Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
sebagian masih utuh.
 Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari tiga minggu atau
lebih lama
3. Luka bakar derajar III (full thickness burn)

o Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam.
o Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea,
mengalami kerusakan
o Tidak dijumapi bula
o Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, kering, letaknya lebih rendah
dibandingkan kulit sekitar akibat koagulasi (denaturasi) protein pada lapis
epidermis dan dermis (dikenal dengan sebutan eskar)
o Secara teoritis tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-
ujung serabut saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
o Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari
dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit.

Berdasarkan luas luka bakar

i. Dewasa, dihitung menggunakan rumus Sembilan (rule of nine oleh Wallace), yang
didasari atas perhitungan kelipatan 9,1% adalah telapak tangan penderita.
ii. Anak-anak, dihitung menggunakan tabel lund and bowder yang mengacu pada ukuran
bagian tubuh terbesar penderita yaitu kepala.

Pembagian zona kerusakan jaringan


akibat dengan sumber termis, jaringan mengalami kerusakan yang dibedakan atas 3 (tiga) area
kerusakan menurut Jackson:

1. Zona koagulasi, zona nekrosis


Daerah yang langusng mengalami kerusakan (koagulasi, atau denaturasi protein) akibat
pengaruh cedera dermis, hmapir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis
beberapa saat setelah kontak, karenanya disebut juga sebagia zona nekrosis.
2. Zona statis
daerah yang langsung berada di luar/disekitar zona koagulasi. Didaerah ini terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, diikuti
perubahan permeabilitas kapiler dan respons inflamasi local. Akibatnya terjadi gangguan
perfusi, dan proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera: mungkin berakhir
dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Daerah di luar zona statis, ikut megalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak
melibatkan rekasi seluler. Tegantung keadaan umum dan terapi yang di berikan, zona
ketiga dapat mengalami pernyumebuhan spontan: atau berubah menjadi zona kedua
bahkan zona pertama (degenerasi luka).
Perhitungan Total Body Surface Area pada Luka Bakar

Ada tiga metode yang umum digunakan dari perkiraan luas daerah luka bakar, dan masing-masing
metode memiliki peran dalam keadaan yang berbeda. Eritema tidak boleh disertakan ketika menghitung
luas daeran yang terbakar. Adapun metode tersebut, yaitu

Luas permukaan palmar (Palmar surface)

Permukaan tangan pasien (termasukjari) kira-kira 0,8% dari total luas


permukaan tubuh. Permukaan palmardapat digunakan untuk
memperkirakan luka bakar yang relatif kecil (<15% dari total luas
permukaan) atau luka bakar yang sangat luas (> 85%). Untuk luka bakar
berukuran sedang, metode ini tidak akurat.
Rumus 9 (Wallace rule of nine) untuk orang dewasa

Metode ini sangat baik, dan umumnnya dipakai dalam memperkirakan persentase luas permukaan luka
bakar (total body surface area - TBSA). Cara perkiraan sangat cepat untuk perkiraan luka bakar sedang
sampai berat pada orang dewasa. Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9
yang dikenal dengan rule of nine atau rule of Wallace. Luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang
dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha
kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki
kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia.

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan
kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian
tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus
10-15-20 untuk anak.

Metode Lund dan Browder

Metode ini jika digunakan dengan benar merupakan metode paling akurat. Metode ini mengkompensasi
variasi tubuh bentuk dengan usia sehingga dapat memberikan penilaian yang daerah luka bakar yang
akurat pada anak-anak.

Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan
‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:

Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan persentasenya
sama dengan dewasa.
Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan turunkan persentasi kepala
sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Kulit berpigmen biasanya sulit untuk dinilai, dan dalam kasus seperti ini mungkin perlu untuk
menyingkirkan semua lapisan epidermis longgar untuk menghitung ukuran luka bakar.

Sangatlah penting untuk menilai semua bagian tubuh yang terkena luka bakar. Selama penilaian,
lingkungan harus tetap hangat. Tutup permukaan yang terpapar luka bakar ini berguna untuk mencegah
kehilangan panas dan mengurangi resiko infeksi. Penutupan luka bakar juga sangat perlu sebab dengan
adanya aliran udara di atas permukaan luka bakar akan memperberat nyeri.

Pada pasien ini dalam mengitung luas permukaan luka bakar sebagai dasar resusitasi cairan digunakan
Rumus 9 (Wallace rule of nine). Hal ini dikarenakan metode ini sangat baik, dan umumnnya banyak
digunakan oleh praklinisi. Selain itu cara perkiraannya juga sangat cepat untuk memperkirakan luas luka
bakar pada pasien dengan luka bakar sedang sampai berat pada orang dewasa.
PERHITUNGAN CAIRAN TUBUH PADA LUKA BAKAR
Pasien luka bakar sudah dapat dipastikan mengalami dehridrasi. Resusitasi cairan pada pasien luka
bakar harus segera dilakukan. Jika didapatkan tanda-tanda syok pada pasien, harus segera dilakukan
resusitasi cairan. Pada kasus luka bakar, resusitasi cairan diberikan dengan cairan RL (Ringer Lactate)
melalui jalur intravena (IV).

1. Rumus Baxter
Formula Baxter :
4 cc/24jam x BB x %LB

Cara pemberian :
–  8 jam pertama 50%  (sejak kejadian LB)
–  16 jam kedua 50%

Untuk anak-anak :    2 cc x BB x % LB  =  a cc


<  1 tahun    : BB x 100 cc
1 – 3 tahun  : BB x   75 cc
3 – 5 tahun  : BB x   50 cc
Kebutuhan total  =  a x b , memakai lar RL : Dextran  = 17:3

2. Rumus Konsensus
Lart RL ( lart saline seimbang lainnya)
Besar Cairan = 2-4 ml x kg BB x % luas luka bakar.

Separuh diberikan dalam 8 jam pertama


Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.

3. Cara Evans
1. Koloid: 1 ml x kg BB x % luas luka bakar.
2. Elektrolit (salin): 1 ml x kg BB x % luas luka bakar.
3. Glukosa (5% dalam air): 2000 ml untuk kehilangan insensibel.
Hari 1 : separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam
berikutnya.
Hari 2 : Separauh dari cairan elektrolit dan koloid yang diberikan pada hari sebelumnya,
seluruh penggantian cairan insensibel. Maksimum 10.000 ml selama 24 jam. Luka bakar
derajat dua dan tiga yang melebihi 50% luas permuakaan tubuh dihitung berdasarkan
50% luas permukaan tubuh.
4. Brooke-Army
1. Koloid: 0,5 ml x kg BB x % luas luka bakar
2. Elektrolit (lart RL) : 1,5 ML X kg BB x % luas luka bakar
3. Glukosa (5% dalam air) : 2000 ml untuk kehilangan insensibel.

Hari 1 : Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam
berikutnya.
Hari 2 : Separuh dari cairan koloid, separuh elektrolit, seluruh penggantian cairan
insensibel. Luka bakar derajat dua dan tiga yang melebihi 50% luas permukaan tubuh
dihitung berdasarkan 50% luas permukaan tubuh.

 Sesuai dengan kasus Tutorial Luka bakar :

Tn.C, 40 tahun mengalami luka bakar sebesar 18% 1 jam yang lalu. Diketahui BB Tn.C
adalah 80 kg. Berapa besar cairan yang dibutuhkan Tn.C ?

Jawaban :

Rumus Baxter :
4 cc x 80 kg x 18 = 5.760 cc
Artinya pasien membutuhkan 5,76 liter per 24 jam.
Pada 8 jam pertama : 1/2 x 5760 = 2880 ml/8 jam
Pada 16 jam kedua : 1/2 x 5760 = 2880 ml/16 jam
Tetesan infus : jika 20 tetesan/ml
8 jam pertama :
Jumlah tetesan : 2880x20/8x60 = 120 tetes/menit
16 jam pertama :
Jumlah tetesan : 2880x20/16x60 = 160 tetes/menit

Resusitasi Cairan dan Monitor

Resusitasi cairan itu bertujuan untuk mengembalikan perfusi jaringan supaya tidak edema yang
disebabkan perpindahan cairan dari vaskuler ke kompartemen ekstraseluler.

Macam-macam cairan terdiri dari :

 Cairan Kristaloid : komposisi cairan mirip CES, waktu paruh di intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Kristaloid akan akan lebih banyak menyebar ke ruangan intertisial dibandingkan dengan koloid
(baik dipilih untuk resusitasi)

 Cairan koloid : cairan pengganti plasma, ada zat yg memiliki berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan bertahan agak lama 3-6 jam di intravaskuler. Digunakan
untuk resusitasi cairan secara cepat pada syok hipovolemik/hemoragik/kehilangan banyak protein
(hipoalbumenia) Co. Dextran, albumin 5%

Terapi Cairan

Pasien yang melakukan resusitasi cairan :

 Dewasa >20% TBSA

 Anak-anak >10% TBSA

Menggunakan formula resusitasi cairan kristaloid.

Formula yang umum dipakai dalam memulai resusitasi cairan kristaloid (Parkland/Baxter Formula) yaitu
3-4 ml/kgBB/%TBSA dalam 24 jam pertama

 Ringer Asetat : Di metabolisme di otot, lebih cepat 3-4 kali di metabolisme

 Ringer Laktat : Di metabolisme di hati, di metabolisme lebih lambat,

 RA lebih baik daripada RL karena bisa memperbaiki asidosis neonatus (Onizuka dkk,1999)
 Pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel (Hahn dan Drobin)

 Formula 4 ml/kgBB/%TBSA diberkan pada pasien dengan trauma inhalasi, full thickness injury,
trauma multiple, trauma listrik, dan pasien yang terlambat di resusitasi.

 Resusitasi cairan kristaloid : Penggunaan yang cukup populer yaitu RL yang mengandung 130
meq/L sodium.

 Rumus maintenance anak (Post Resusitasi fase akut 24 jam pertama) : 100 ml/kg pada 10 kg
pertama berat badan + 50 ml/kg untuk setiap kenaikan kg diatas 10 kg & <20 kgBB + 20 ml/kg
untuk kenaikan setiap 20kgBB

 Rumus maintenance dewasa(Post Resusitasi fase akut 24 jam pertama : (1500 x TBSA) +
((25+LB)xTBSA))

Monitor Kecukupan Resusitasi

 Pengawasan resusitasi : UO (Urine Output) adalah parameter pertama keberhasilan resusitasi


dengan target 0.5-1.0 ml/kgBB/jam pada dewasa dan 1.0-.15ml/kgBB/jam pada anak

 Lakukan pemeriksaan diagnosis laboratorium


Tata Laksana Luka Bakar

A. Farmakologi
1. Pemberian Oksigen 4L/menit dengan nasal canule
 Aliran oksigen menggunakan nasal canule adalah sekitar 1-6L/menit dengan
konsterasi oksigen 24-44%.
 Indikasi: untuk pasien yang membutuhkan terapi oksigen jangka pendek
dengan konsentrasi rendah-sedang
 Kontraindikasi: fraktur tengkorak kepala, trauma maksilofasial dan obstruksi
nasal

2. Pemberian IVFD Ringer Acetate


 Carian pengganti kehhilangan cairan akut pada luka bakar
 Ringer acetate digunakan karena metabolism asetat lebih cepat daripada
laktat. Penggunaan ringer laktat juga dapat menyebabkan asidosis karena
pasien luka bakar mengalami deprivasi oksigen
 Diberikan dengan dosis yang dihitung menggunakan metode Baxter atau
metode Evans-Brooke
3. Cefotaxim 2x1gr IV bolus, skin test first
 Cefotaxim merupakan antibiotic cephalosporin generasi ketiga. It has broad
spectrum activity against Gram positive and Gram negative bacteria
 Dosis Maks: 12g/hari
 Kontraindikasi:  hypersensitivity to penicillins, history of gastrointestinal
disease, particularly colitis, renal impairment
 Mekanisme: Cephalosporins exert bactericidal activity by interfering with
bacterial cell wall synthesis and inhibiting cross-linking of the peptidoglycan.
The cephalosporins are also thought to play a role in the activation of
bacterical cell autolysins which may contribute to bacterial cell lysis.
4. Tramadol IV drip 100mg pada Ringer acetate
 Tramadol merupakan golongan obat analgesic opioid sebagai Pereda rasa
nyeri
 Dosis= 50-100mg IM/IV
 Kontraindikasi: hipersensitivitas, in patients who are receiving monoamine
oxidase (MAO) inhibitors or who have taken them within the last 14 days
 Tolerance, psychic and physical dependence may develop, especially after
long-term use.
 Tramadol is metabolised by the liver enzyme CYP2D6.
 Mekanisme: reseptor µ yang memperantarai efek analgesic seperti euphoria,
depresi napas dan berkurangnya motilitass saluran cerna
5. Ketorolak 3x30mg IV bolus
 Ketorolak merupakan obat golongan Non Steroid Anti Inflammatory Drugs
(NSAID)
 Mekanisme: the inhibition of prostaglandin synthesis by competitive blocking
of the enzyme cyclooxygenase (COX)
 Metabolisme: hepatik dengan metabolites konjugat glucuronide
 Interaksi:
-Ketorolac may decrease the excretion rate of Tramadol which could result in
a
higher serum level
-The risk or severity of nephrotoxicity can be increased when Ketorolac is
combined
with Cefotaxime
-Ketorolac may decrease the excretion rate of Omeprazole which could result
in a
higher serum level
 Dosis:
o IV: 30 mg as single dose or 30 mg q6hr; not to exceed 120 mg/day
o IM: 60 mg as single dose or 30 mg q6hr; not to exceed 120 mg/day
o PO: 20 mg once after IV or IM therapy, THEN 10 mg q4-6hr; not to
exceed 40 mg/day
6. Omeprazole 2x40mg IV bolus
 Mampu menurunkan kadar asam yang diproduksi lambung
 Terapeutic indication:
-Treatment of duodenal and gastric ulcers
-Treatment of NSAID-associated gastric and duodenal ulc
 Omeprazole is a CYP2C19 moderate inhibitor -> R-warfarin and other
vitamin K antagonists, cilostazol, diazepam and phenytoin
 Metabolisme: enzim CYP2C19 dan CYP3A4
 Mekanisme: inhibits the enzyme H+, K+-ATPase - the acid pump
 Kontraindikasi: hypersentivity, penggunaan nelfinavir
 Dosis:
PO: 0.5–1.5 mg/kg/dose daily
IV: 0.5 mg/kg/dose daily
max daily dose: 1.5 mg/kg/dose
7. Vaksin Tetanus Toxoid
 Diberikan secara intramuscular, tiap 10 tahun
 Pemberian vaksin tetanus karena luka bakar merupakan luka terbuka yg
memungkinkan adanya organisme asing menginfeksi
 Efek samping: demam, gatal/swelling/eritema, nausea, hipotensi,
 Dosis: 0.5 mL IM; repeat at 4-8weeks after first dose and at 6-12 months after
second dose
Booster: 0.5 mL IM q10Years
B. Non Farmakologi
1. Kateter Foley
Diberikan dengan tujuan memantau keseimbangan cairan pasien -> urinalisa
mikroskopik maupun makroskopik

2. Perawatan Luka
Merawat luka dengan Normal saline dan menutup luka dengan kasa steril. Normal
saline merupakan campuran garam dan air, maka dari itu bersifat isotonic. Peberian
kasa steril adalah untuk menutup luka untuk mencegah infeksi mikroorganisme.

3. Pemeriksaan chest xray AP dan lateral


Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan tidak ada cedera pada rongga thorax
Alur kerja Luka Bakar

1. Pertolongan pertama pada luka bakar

Menghentikan proses luka bakar

• Bahan kimia  melepaskan pakaian yang terkontaminasi secepatmungkin dan melakukan irigasi
pada daerah terpapar
• Arus listrik  sumber arus listrik harus dimatikan terlebih dahulu dan pasien dipindahkan dari
sumber menggunakan bahan yang non-konduktif
• Api  memadamkan sumber luka bakar dengan menggulungkan pasien ke tanah kemudian
diberikan air / busa pemadam
• Air mendidih  dialiri air / diberikan es batu (pendingin)

Survei Primer

• Survei primer adalah penilaian cepat dari pasien untuk menentukan pertolongan segera

1. Airway with Cervical Spine Protection


Gangguan napas yang dapat timbul secara total / mendadak dan dapat timbul pelahan
Takhipnea merupakan tanda awal yang samar mengenai gangguan pernapasan

2. Breathing and Ventilation

Ventilasi yang baik bergantung pada fungsi paru, dinding dada, dan diafragma disebabkan jalan
pernapasan baik dan lancar belum pasti ventilasi baik

3. Circulation with Haemorrhage Control

Keadaan dimana pasien mengalami kehilangan darah yang cukup banyak

. Disability and Neurogical Status

Menilai kesadaran dan pupil penderita

 A  Alert
 V  respon to Vocal stimulation
 P  respon only to Paintful stimulation
 U  Unresponsive
5. Exposure/Enviromental control

Pada tahap ini semua pakaian pasien dibuka. Untuk mencegah terjadinya hipotermia pasien diberikan
selimut

Perilaku sekunder :

- Melibatkan pemeriksaan dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk memastikan tidak ada luka
- Jika memungkinkan mencari AMPLE history

2.Pemeriksaan di departemen kecelakaan rumah sakit

Determinan kritis :

• Kedalaman luka bakar


• Area dari luka bakar

3. Resusitasi cairan

• Syok hipovolemik  perpindahan cairan dari vascular ke kompartemen ekstravaskular


• Luka bakar melebihi 10% BSA harus diberikan resusitasi secara IV menggunakan rumus Baxter
dan Evan Brooke
• Jenis resusitasi cairan :
1. Kristaloid  isotonic, efektif untuk mengisi volume cairan kedalam pembuluh darah dengan
segera
2. Koloid  hipertonik, ukuran molekul cukup besar sehingga tidak keluar dari membrane kapiler
dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah

4. Pengeluaran urin

• Pengeluaran urine merupakan indicator terbaik dari resusitasi cairan


• Kateter foley hidrasi  mengukur urine yang akurat
0,5 mL/kg/jam  orang dewasa

1,0 mL/kg/jam  anak – anak

5. Perawatan luka bakar

• Perawatan luka bakar tertutup


- Balutan  menutup luka agar tidak terjadi kontaminasi dan ditutup sedemikian rupa sehingga masih
terdapat ruang untuk terjadinya penguapan

- Balutan harus memiliki daya serap yang tinggi dan diganti setiap 8 – 24 jam

- Keuntungan : immobilisasi luka secara sempurna

• Debridement
- Usaha untuk menghilangkan jaringan mati dan jaringan yang sangat terkontaminasi dengan
mempertahankan secara maksimal struktur anatomi yang penting

- Jaringan mati  menghalangi penyembuhan luka, infeksi daerah luka, infeksi sistemik, sepsis,
amputasi, dan kematian
• Skin grafting
- Tindakan memindahkan sebagian kulit / seluruh tebal kulit dari suatu tempat ke tempat yang lain secara
bebas dan untuk menjamin kehidupan jaringan tsb yang bergantung pada pertumbuhan pembuluh darah
kapiler yang baru di jaringan penerima (resipien)
MAKALAH KASUS TUTORIAL BLOK DMS

KASUS 5

FRAKTUR

Disusun oleh Kelompok Tutorial A3:

Muhammad Hashfi Nazhari (1810211115)

Gefbar Faikar Aqbil (1810211067)

Muhammad Isran Aqsa N (1810211005)

Rajwa Zahra Mardhiyyah (1810211065)

Rahmah Salsah Hudriyah (1810211099)

Gracella Faustine (1810211117)

Sarah Veronika Sianipar (1810211131)

Alfrida Kurnia Ardhanti (1810211138)

Yuni Fajriati (1810211012)

Asih Liasari (1810211120)

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

Tahun Ajaran 2018/2019


OVERVIEW CASE
BASIC SCIENCE: TULANG

 Anatomi

 Diafisis : Bagian tengah tulang, pusat osifikasi primer


 Epifisis : Bagian ujung2 tulang (proksimal&distal), pusat osifikasi
sekunder
 Metafisis : Diantara diafisis dan epifisis
 Kartilago artikular : Tempat melekatnya sendi
 Periosteum : Jaringan ikat pembungkus os (tulang keras)
 Medullary cavity : Rongga dalam diafisis berisi sumsum tulang kuning dan
pembuluh darah
 Endosteum : Membran tipis pembentuk medullary cavity
 Tulang kompak
 Tulang spongiosa : Bagian dalam memiliki rongga berisi sumsum tulang merah
 Fungsi
1. Support : untuk menopang tubuh
2. Protection : melindungi organ dalam (ex : costae melindungi
paru-paru)
3. Assistance in movement : sebagai alat gerak pasif
4. Mineral storage : tempat penyimpanan mineral (kalsium & fosfat)
5. Blood cell production : tempat produksi sel darah merah di sumsum tulang
merah

 Klasifikasi

 Komponen
 Sel
 Matriks

Anorganik Organik
Kristal kalsium hidroksiapatit Serat Kolagen tipe 1
(kalsium dan fosfor) Substansi dasar:
Kalsium fosfat Proteoglikan: kondroitin
sulfat & keratan sulfat
Glikoprotein: osteonektin,
osteokalsin, osteopontin,
sialoprotein

 Osifikasi
 Osifikasi Endokondral
Osifikasi melewati tahap tulang rawan (kartilago) dan terjadi pada tulang panjang
seperti femur dan humerus

1. Pembentukan bakal tulang rawan.


Mediator kimiawi spesifik merangsang sel mesenki untuk bergabung
membentuk kondroblas. Kondroblas mensekresi matriks ekstraseluler untuk
memproduksi bakal tulang rawan yang berisi kartilago hialin. Terbentuk
jaringan ikat yang melapisi bakal tulang rawan disebut perikondrium.

2. Pertumbuhan bakal tulang rawan.


Kondroblas yang terbenam dalam matriks ekstarseluler disebut kondrosit.
Terjadi dua pertumbuhan :
 Pertumbuhan interstisial (pertumbuhan panjang)
Kondrosit berproliferasi dan meningkatan sekresi matriks ekstraseluler
 Pertumbuhan aposisional (pertumbuhan ketebalan)
Kondrosit membesar dan matriks terkalsifikasi. Kondrosit di dalam
matriks ekstraseluler mati, karena nutrien tidak bisa berdifusi melewati
matriks ekstraseluler yang sudah terlkalsifikasi. Ruang yang
ditinggalkan oleh kondrosit yang telah mati, bergabung membentuk
rongga kecil yang disebut lacuna

3. Pembentukan pusat osifikasi primer


Arteri nutrien berpenetrasi ke perikondrium dan kartilago yang
terkalsifikasi, lalu akan menstimulasi sel osteoprogenitor di perikondrium,
berdiferensiasi menjadi osteoblas. Perikondrium mulai digantikan oleh
perioesteum..
Kapiler periosteal tumbuh ke kartilago yang terkalsifikasi untuk
merangsang pertumbuhan pusat osifikasi primer (daerah dimana jaringan
tulang keras akan menggantikan kartilago).
Osteoblas mensekresi matriks ekstraseluler di atas sisa-sisa kartilago yang
terkalsifkasi membentuk trabekula tulang spongiosa. Pusat osifikasi primer
terbentuk dari permukaan luar tulang ke arah dalam dan meluas dari diafisis
menuju ke epifisis.

4. Pembentukan medullary cavity (rongga sumsum tulang)


Osteoklas menghancurkan beberapa trabekula yang baru terbentuk. Ruang
yang ditinggalkan oleh trabekula yang telah hancur tersebut, akan menjadi
rongga sumsum tulang di diafisis. Dinding diafisis kemudian akan digantikan
oleh tulang kompak.

5. Pembentukan pusat osifikasi sekunder


Saat cabang arteri masuk ke epifisis akan terbentuk pusat osifikasi
sekunder yang terbentuk dari pertengahan epifisis ke arah luar. Tahap
selanjutnya sama seperti pada pembentukan pusat osifikasi primer, yaitu
cabang arteri menstimulasi sel osteoprogenitor di perikondrium,
berdiferensiasi menjadi osteoblas. Perikondrium mulai digantikan oleh
perioesteum.
Osteoblas mensekresi matriks ekstraseluler di atas sisa-sisa kartilago yang
terkalsifkasi membentuk trabekula tulang spongiosa. Namun, disini tidak
terbentuk medullary cavity (rongga sumsum tulang) dan tulang spongiosa
tidak digantikan oleh tulang kompak.

6. Pembentukan kartilago artikular dan lempeng epifisis


Kartilago hialin yang tersisa pada epifisis akan menjadi kartilago artikular dan
lempeng epifisis. Saat masa pubertas berakhir, lempeng epifisis menutup,
menghilang, dan menyisakan garis epifisis. Tulang keras akan menggantikan
semua sisa kartilago.

Histologi pada lempeng epifisis :

1. Zona Rehat (Resting Zone)


Terlihat seperti tulang rawan
2. Zona Proliferasi
Kondrosit tersusun seperti koin yang berdiri
3. Zona Kartilago Hipertrofi / Pematangan / Maturasi
Kondrosit membesar
4. Zona Pengapuran / Kalsifikasi
Matriks ekstraseluler yang disekresikan kondroblas, terkalsifikasi
menjadi warna kebiruan
5. Zona Degenerasi
Kondrosit mati
6. Zona Penulangan / Osifikasi
Penetrasi pembuluh darah dan tulang keras akan menggantikan
kartilago

 Osifikasi Desmal (Intramembranosa)


Osifikasi yang langung menjadi tulang keras tanpa melewati tahap tulang rawan
(kartilago) dan terjadi pada tulang pipih seperti cranium

1. Pembentukan pusat osifikasi


Mediator kimiawi spesifik merangsang sel mesenkim berkelompok dan
berdiferensiasi menjadi osteoprogenitor yang akan berdiferensiasi menjadi
osetoblas dan mensekresi matriks ekstraseluler sampai osteoblas dikelilingi
matriks. Daerah osteoblas berkelompok disebut sebagai pusat osifikasi.
2. Kalsifikasi
Sekresi matriks ekstraseluler berhenti, osteoblas terbenam dalam matriks
ekstraseluler disebut osteosit. Osteosit berada dalam lakuna dan
memperpanjang sitoplasma yang sempit dengan pola radial yang disebut
kanalikuli. Setelah beberapa hari, kalsium dan mineral lain masuk dan matriks
ekstraseluler terkalsifikasi.
3. Pembentukan trabekula
Matriks ekstraseluler berkembang menjadi trabekula yang akan saling
bergabung membentuk tulang spongiosa di sekitar pembuluh darah. Jaringan
ikat bergabung dengan pembuluh darah di trabekula dan berdiferensiasi
menjadi sumsum tulang merah.
4. Pembentukan periosteum
Mesenkim berkondensasi (memadat) di daerah perifer tulang dan
berkembang menjadi periosteum. Tulang kompak akan menggantikan tulang
spongiosa yang berada di pinggir, tapi tulang spongiosa tetap berada di
tengah.

 Histologi
 Osteon / Sistem havers : satu unit fungsional tulang keras
 Kanalis havers : saluran berisi pembuluh darah dan saraf
 Lakuna : ruang berisi osteosit di antara lamella
 Lamela :lempeng tulang yang tersusun konsentris
mengelilingi lakuna
 Kanalikuli : bagian sitoplasma memanjang dari osteosit untuk
difusi nutrisi ke osteon
 Kanalis volkman : saluran penghubung kanalis havers

 Fisiologi
BASIC SCIENCE : Anatomi Articulatio Genu
Sendi ini dibentuk dari sendi engsel antara os femur dengan os tibia dan os femur dengan patella.
Ada 3 articulatio yang menyusun genus :

1. Articulation tibiofemoralis lateralis

Antara condylus lateralis femoris,meniscus lateralis,dan condylus lateralis tibiae

2. Articulation tibiofemoralis medialis

Antara condylus femoris,meniscus medialis dan condylus medialis tibiae

3. Articulation patellofemoralis

Antara patella dengan fascies patellaris femuris


Bursa synovial : kantong yang berisi cairan yang memudahkan terjadinya gesekan dan gerakan
• Bursa prepatellaris diantara kulit dan patella
• Bursa infrapatellaris superficialdiantara kulit dan tuberositas tibia
• Bursa infrapatellaris profunda diantara tibia dan ligamentum patellae
• Bursa suprapatellaris diantara femur dan quadriceps femoris
Histologi
• Articulatio genu à diarthrosis ; memiliki pergerakan yg luas

• Ujung tulang pada persendian dilapisi cartilago hyalin

• Mempunyai ruangan yg disebut Cavum Articularis dan dilengkapi o/ Capsula Articularis

• Capsula Articularis terdiri dari 2 lapisan

• Lapisan fibrosa : disebelah luar sbg jaringan pengikat padat

• Lapisan (membran) synovial : disebelah dalam, banyak pembuluh darah

• Terdapat 2 macam sel

• Sel tipe A : sel fagosit à makrofag yg memfagosit debri pada ruang sendi

• Sel tipe B : mirip fibroblas à sekresi cairan sendi yg mengandung asam hyaluron,
lubricin (glikoprotein) dan filtrat plasma

• Cairan sendi berf/ memberi nutrisi pada cartilago & untuk lubrikasi sendi

FRAKTUR
Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. 

Etiologi
Menurut Apley, A.Graham, alih bahasa Edi Nugroho Fraktur dapat terjadi akibat

1. Trauma
Disebabkan kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan. Dapat berupa
pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.

a. Trauma langsung
 Tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan lunak rusak.

b. Trauma tak langsung


 Tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena ,
kerusakan jaringan lunak pada fraktur mungkin tidak ada.

2. Kelelahan/Tekanan
Akibat dari tekanan yang berulang-ulang sehingga dapat menyebabkan retak yang terjadi
pada tulang.

3. Patologik 
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor atau tulang yang sudah rapuh atau lemah seperti osteoporosis.

Determinan Fraktur
A. Faktor Manusia
1. Umur
Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang berat daripada
kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan cenderung mengalami kelelahan tulang dan
jika ada trauma benturan atau kekerasan tulang bisa saja mengalami fraktur.
Insidens kecelakaan yang menyebabkan fraktur lebih banyak pada kelompok umur muda
pada waktu berolahraga, kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dari ketinggian.

2. Jenis Kelamin
Laki – laki pada umumnya lebih banyak mengalami kecelakaan yang menyebabkan
fraktur karna pada umumnya laki – laki lebih aktif dan lebih banyak melakukan aktivitas
daripada perempuan. Misalnya aktivitas di luar rumah untuk bekerja sehingga mempunyai
risiko lebih tinggi mengalami cedera.

3.Aktivitas Olahraga
Aktivitas yang berat dengan gerakan yang cepat pula dapat menjadi risiko penyebab
cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat berolah raga seperti hentakan, loncatan atau
benturan dapat menyebabkan cedera dan jika hentakan atau benturan yang timbul cukup besar
maka dapat mengarah pada fraktur.
3. Massa Tulang
Massa tulang yang rendah akan cenderung mengalami fraktur daripada tulang yang padat.
Pada masa dewasa kemampuan mempertahankan massa tulang menjadi berkurang seiring
menurunnya fungsi organ tubuh. Pengurangan massa tulang terlihat jelas pada wanita yang
menopause.

B. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya fraktur dapat berupa kondisi jalan
raya, permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang, lantai yang licin dapat menyebabkan
kecelakaan fraktur akibat terjatuh.

Manifestasi Klinis
 Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang intuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
 Hilangnya fungsi tubuh
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
tidak alamiah(gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen
pada fraktur lengan atau tungkai menyebabakan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
 Pemendekan Ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
 Krepitus
Saat ekstremitas diperiksa dengan palpasi, teraba adanya derik tulang(krepitus) yang teraba
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang lebih berat.
 Pembengkakan dan perubahan warna
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cedera

Klasifikasi fraktur

1. Klasifikasi etiologis
 Fraktur traumatic
 Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit di atasnya.
 Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
 Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
 Fraktur patologis
 Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
1) Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin
D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau
fosfat yang rendah.
 Fraktur stress
 Kerusakan tulang karena kelemahan yang terjadi sesudah berulang-ulang ada
tekanan berlebihan yang tidak lazim, karena itu terjaidnya trauma yang terus
menerus pada tempat tertentu.
2. Klasifikasi klinis
 Fraktur tertutup
 Biasa diesbut “fraktur simple” karena tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.

 Fraktur terbuka
 Terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo),
yaitu:
1) Derajat 1
 Luka <1 cm
 Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
 Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
 Kontaminasi minimal
2) Derajat 2
 Laserasi >1 cm
 Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
 Fraktur kominutif sedang
 Kontaminasi sedang
3) Derajat 3
 Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur terbuka derajat III terbagi atas:

I. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,


meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur
segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
II. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi masif.
III. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
 Fraktur dengan komplikasi
 Fraktur yang disertai dengan komplikasi, misalnya malunion, delayed union,
nonunion, infeksi tulang

3. Klasifikasi radiologis
 Lokalisasi
 Diafisial
 Metafisial
 Intra-artikuler 
 Fraktur dengan dislokasi

 Konfigurasi
 Fraktur transversal
 Faktur oblik 
 Fraktur spiral
 Fraktur Z
 Fraktur segmental
 Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
 Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
 Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo misalnya fraktur
epikondilus humeri, fraktur patela
 Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang tengkorak
 Fraktur impaksi
 Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah pada fraktur
vertebra, patela, talus, kalkaneus
 Fraktur epifisis
 Menurut ekstensi
 Fraktur total
 Fraktur tidak total (fraktur crack)
 Fraktur buckle atau torus
 Fraktur garis rambut
 Fraktur green stick
 Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
 Tidak bergeser (undisplaced)
 Bergeser (displaced)
Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara :
a)Bersampingan
b)Angulasi
c)Rotasi
d)Distraksi
e)Over-riding
f)Impaksi

Fase Peyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki
kerusakan – kerusakan yang dialaminya.
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang mengalami frakur tsb dan
jumlah gerakan di tempat fraktur.
Penyembuhan dari fraktur sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik.
Faktor lokal:
 Lokasi fraktur
 Jenis tulang yang mengalami fraktur.
 Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
 Adanya kontak antar fragmen.
 Ada tidaknya infeksi.
 Tingkatan dari fraktur.
Faktor sistemik :
 Keadaan umum pasien
 Umur
 Malnutrisi
 Penyakit sistemik.

Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah dibagi atas penyembuhan
fraktur primer dan fraktur sekunder.

 Fraktur Primer
Terjadi internal remodelling yang meliputi upaya langsung oleh korteks untuk membangun
kembali dirinya ketika kontinuitas terganggu.
Tidak ada hubungan dengan pembentukan kalus. Terjadi internal remodelling dari haversian
system dan penyatuan tepi fragmen fraktur dari tulang yang patah.
Remodeling haversian aktif terlihat pada sekitar minggu ke-4 fiksasi.
Fraktur yang terjadi tidak menyebabkan perubahan posisi pada tulang dan juga tidak menimbulkan
luka pada jaringan lunak.

 Fraktur Sekunder
Terjadi meliputi respon dalam periostium dan jaringan-jaringan lunak eksternal.
Proses penyembuhan fraktur ini secara garis besar dibedakan atas 5 fase, yakni:
1. fase hematom (inflamasi)
2. fase proliferasi,
3. fase kalus,
4. fase osifikasi dan
5. remodelling.
(Buckley, R.,2004, Buckwater J. A., et al,2000).
a) FASE HEMATOMA (INFLAMASI)
o Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan
hematoma di tempat patah tulang.  Periosteum.
o Periosteum terdorong dan robek akibat tekanan  ekstravasasi
darah ke jar. lunak
o Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya
pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi
ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan migrasi
menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan.
o Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.

b) FASE PROLIFERASI
o Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan
terbentuklah:
benang-benang fibrin untuk revaskularisasi
invasi fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit,
sel endotel, dan sel periosteum)  menghasilkan kolagen
dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan
tulang.
o Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar.  kalus eksterna belum mengandung tulang
o Pada fase ini berakhir pada minggu ke 4 – 8 pasca fraktur.

c) FASE KALUS
o Mulai terbentuk jaringan tulang kondrosit (jaringan tulang
rawan).
o Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang
imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal.
o Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrous, tulang rawan, dan tulang serat matur.
o Regulasi dari pembentukan kalus selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari
faktor-faktor pertumbuhan. : Transforming Growth Factor-Beta1 (TGF-B1)
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
o Terjadi pada minggu 8-9 pasca fraktur, selama 2- 3 minggu.

d) FASE KONSOLIDASI
o Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus
 tulang yang immature (woven bone)  mature (lamellar bone).
o Keadaan tulang lebih kuat osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan
diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru.
o Proses 3 minggu- 8 bulan, hingga tulang sudah cukup kuat untuk menerima beban yang normal.

e) REMODELLING
o Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat
(dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal.)
o Berbulan- bulan terjadi proses pembentukan dan penyerapan
tulang yang terus menerus
Lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi.
Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran
semula.
o Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama pada anak-anak.
o Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi dalam 6- 12 bulan
Waktu Peyembuhan Fraktur

• Penyembuhan tulang merupakan proses yang kompleks, umum yang membutuhkan


waktu 3- 4 bulan untuk menyembuhkan ke tingkat yang signifikan. Penyembuhan pada
anak secara kasar setengah dari waktu penyembuhan dewasa.
• Bervariasi secara individual danberhubungan dengan faktor penting pada penderita,
seperti:
1. Umur
2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
3. Pergeseran awal fraktur
4. Vaskularisasi di kedua fragmen
5. Waktu imobilisasi
6. Adanya infeksi
7. Cairan synovia

Abnormalitas pada Peyembuhan Fraktur


Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara klinis dan union
secara radiologik.
Penilaian secara klinis dilakukan dengan pemeriksaan daerah fraktur dengan melakukan
pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan kompresi  mengetahui adanya gerakan
atau perasaan nyeri pada penderita.
Pemeriksaan secara radiologik dinilai dengan pemeriksaan rontgen pada daerah fraktur.

Komplikasi Awal
1. Kerusakan Arteri
Ditandai dengan  tidak adanya nadi, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas, dsb
2. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
3. Avaskuler Nekrosis (AVN)
4. Shock

Komplikasi Jangka Panjang


1. Malunion
Fraktur sembuh tepat waktu, tapi terdapat deformitas (ex: angulasi, varus/ valgus, rotasi,
kependekan dsb)
• Etiologi:
1) Fraktur tanpa pengobatan
2) Pengobatan tidak adekuat
3) Reduksi dan imobilisasi tidak baik

2. Delayed union
Fraktur telat sembuh setelah selang waktu 3- 5 bulan; 3 bulan (ekstrimitas atas) dam 5 bulan
(ekstrimitas bawah).

3. Nonunion
Fraktur tidak menyembuh antara 6 – 8 bulan dan tidak didapatkan konsolidasi  didapat
pseudoarthrosis (sendi palsu).
• Etiologi :
1) Kurang vaskularisasi
2) Reduksi tidak adekuat
3) Imobilisasi tidak adekuat dan waktu tidak cukup
4) Infeksi
5) Fiksasi interna tidak sempurna
6) Jarak antar fragmen terlalu jauh
7) Delayed union tidak diobati
8) Pengobatan salah atau tidak sama sekali

Patofisiologi
Penatalaksanaan
Prinsip Pengobatan (4R)
◦ Recognition
◦ Reduction (reduksi fraktur apabila perlu)
◦ Retention (imobilisasi fraktur)
◦ Rehabilitation

• Recognition
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksan klinis dan
radiologis.
Pada awal pengobatan perlu diperhatikan:
◦ Lokalisasi fraktur
◦ Bentuk fraktur
◦ Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
◦ Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan

• Reduction
Reduksi fraktur yang berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi anatomis
normal.
Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup dan reduksi terbuka. Metode tertentu yang
dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
• Retention
◦ Setelah fraktur direduksi -> fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
◦ Tujuan: mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi penyembuhan.
◦ Metode untuk imobilisasi dibantu dengan:
1. Alat-alat eksternal berupa bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan,
dan
2. Alat-alat internal berupa nail, lempeng, sekrup, kawat, batang
Rehabilitation
◦ Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin
◦ Tujuannya untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dan mempertahankan reduksi dan
imobilisasi

TERAPI KONSERVATIF
Metode konservatif yaitu menggunakan immobilisasi untuk kondisi fraktur yang stabil.
Indikasi imobilisasi:
1. Untuk mencegah displacement/angulasi fragmen
2. Untuk mencegah pergerakan
3. Untuk mengurangi nyeri

Mitella
Mitella adalah suatu teknik immobilisasi ekstremitas atas menggunakan balutan berbentuk segitiga yang
berukuran 50-100 cm yang terbuat dari cotton
Tujuan pemasangan mitella:
1. Untuk menggimmobilisasi lengan atas.
2. Untuk memberikan efek elevasi pada ekstremitas atas.
3. Untuk memberikan efek anti gravitasi pada cedera sendi bahu.
Prosedur :
1. Mempersiapkan alat balutan dengan ukuran yang tepat sesuai ekstremitas yang akan dipasang
mitella.
2. Harus melakukan proteksi diri sebelum melakukan pembalutan.
3. Melakukan pemeriksaan neurovaskuler distal.
4. Memposisikan ekstremitas atas pada posisi adduksi dan rotasi interna sendi bahu, fleksi 90
derajat sendi siku.
5. Lakukan pemasangan mitella dengan sisi runcing ke arah sendi siku, dan dua sisi runcing lainnya
diikatkan ke samping leher.
6. Bagian akral diusahakan tidak tertutup mitella.
7. Periksa kembali neurovaskuler distal.

Bandage (Pembalutan)
Balutan adalah suatu tindakan membatasi gerakan tungkai menggunakan bahan yang terbuat dari kain.
Balutan akan memberikan efek immobilisasi parsial pada tungkai.
Tujuan:
• Mengurangi atau mencegah pembengkakan pada tungkai cedera
• Menghentikan perdarahan
• Memegang alat untuk mengimmobilisasi tungkai seperti bidai.
Prosedur
1. Mempersiapkan alat balutan dengan ukuran yang tepat sesuai tungkai yang akan dibalut.
2. Harus melakukan proteksi diri sebelum melakukan pembalutan.
3. Melakukan pemeriksaan neurovaskuler distal.
4. Melakukan stabilitas manual pada tungkai yang mengalami cidera pada posisi yang
diinginkan.
5. Jika diperlukan melakukan padding pada tulang-tulang yang menonjol, untuk mencegah
terjadinya ulkus dekubitus.
6. Pastikan ujung balutan terfiksasi dengan baik.
7. Periksa kembali keadaan neurovaskeler distal
Teknik pembalutan ada 4:
a. Circular turn -> overlapping penuh pada setiap putaran balutan
b. Spiral turn -> overlapping setengah lebar balutan pada setiap putaran, yang dipasang
secara asending dari distal ke proksimal ekstremitas -> pergelangan tangan
c. Spiral reverse turn -> selalu dibalikkan arah putarannya balutan pada setiap setengah
putaran -> tungkai bawah
d. Spica turn (figure of eight) -> teknik balutan ascending dan descending pada setiap
putaran -> selalu overlapping dan menyilang dari proksimal ke distal sehingga
membentuk sudut.
Fiksasi Gips
◦ Gips digunakan sebagai alat fiksasi pada patah tulang.
◦ Tujuan pemakaian gips adalah melindungi dan menstabilkan struktur anatomi tulang yang patah.
◦ Terdapat 2 jenis gips:
A. Gips Fiberglass 
B. Gips Plester (Plester of paris)
Traksi (mengangkat/menarik)
Traksi merupakan salah satu pengobatan konservatif yang mudah dilakukan oleh setiap dokter dan
bermanfaat dalam mereduksi suatu fraktur atau kelainan-kelainan lain seperti spasme otot. Secara umum
traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien.
Traksi digunakan untuk :
 Meminimalkan spasme otot
 Untuk mereduksi
 Mensejajarkan
 Mengimobilisasi fraktur
 Mengurangi deformitas

Traksi Kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol spasme kulit dan memberikan imobilisasi. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.

Traksi Skeletal
Traksi tulang diterapkan melalui fiksasi langsung ke tulang -> balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal

Traksi Buck
Traksi Buck adalah bentuk traksi kulit di mana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi
parsial atau temporer yang diinginkan.
Traksi Russel
Traksi Russel dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut yang fleksi pada penggantung
dan memberikan gaya tarik horizontal melalui pita traksi balutan elastis ke tungkai bawah.

Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)


Open reduction and internal fixation (ORIF) is surgery to repair a broken bone. Open reduction means
the doctor makes an incision (cut) to reach the bones and move them back into their normal position.
Internal fixation means metal screws, plates, sutures, or rods are placed on the bone to keep it in place
while it heals. The internal fixation will not be removed.

Keuntungan perawatan fraktur dengan ORIF:


 Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
 Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya
 Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
 Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain

Terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain:


◦ Sekrup kompresi antar fragmen
◦ Plat dan sekrup, paling sesuai untuk lengan bawah
◦ Paku intermedula, untuk tulang panjang yang lebih besar
◦ Paku pengikat sambungan dan sekrup, ideal untuk femur dan tibia
◦ Sekrup kompresi dinamis dan plat, ideal untuk ujung proksimal dan distal femur
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat
ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur atau remuk)
FARMAKOLOGI
1) IVFD 1 Jalur RL 500 cc dalam 2 jam
Pasien resiko syok hipovolemik, karena kekurangan cairan.

2) Oksigen 2L/menit dengan nasal kanul


Karena ada trauma pernafasan, RR mengalami peningkatan.

3) Analgetik
Tramadol drip 200mg dalam 500cc RL
MK : berikatan dengan reseptor spesifik SSP, menginhibisi norepinefrin dan serotonin
Indikasi: nyeri akut dan kronik, dan pasca bedah
ESO : pusing, mual muntah, priritis, lelah, konstipasi
KI : Pasien dengan ketergantungan opium,penggunaan bersamaan dengan obat SSP lain

Ketolorac 30mg IV bolus


MK :Inhibisi COX
Indikasi: nyeri akut (jangka pendek)
ESO : pusing, ngantuk, mual
KI : Busui, pasien dengan gangguan GI, CVS, dan gagal ginjal, hipersensitif

4) Ondansentron 3 x 4mg IV
MK : Hambat serotonin 5-hidroksitriptamin di saluran cerna, CTZ, dan di otak
Indikasi : Penurunan asam lambung
ESO : Konstipasi, perut kembung,pusing, ngantuk
REFERENSI

Martini, Frederic. 2012. Fundamentals of Anatomy & Physiology. 9th ed. San Fransisco : Pearson
Education, Inc.

Tortora, Gerrard J. 2014. Principles of Anatomy & Physiology. 14th ed. USA : John Wiley &
Sons, Inc.

Sherwood, L. 2016. Human Physiology From Cells To Systems. 9th ed.

Mescher, Anthony L. 2009. Histologi Dasar Junqueira. Ed. 12. Jakarta : EGC

Jurnal USU, Chapter II (Proses Penyembuhan Fraktur)

Jurnal Unlam; Rinaldi Aditya Asrizal;Medical Faculty of Lampung University (Closed Fracture)

Jurnal Unud; Bab 2; (Fraktur Femur)


MAKALAH KASUS TUTORIAL BLOK DMS

KASUS 6

OSTEOARTHRITIS

Disusun oleh Kelompok Tutorial A3:

Muhammad Hashfi Nazhari (1810211115)

Gefbar Faikar Aqbil (1810211067)

Muhammad Isran Aqsa N (1810211005)

Rajwa Zahra Mardhiyyah (1810211065)

Rahmah Salsah Hudriyah (1810211099)

Gracella Faustine (1810211117)

Sarah Veronika Sianipar (1810211131)

Alfrida Kurnia Ardhanti (1810211138)

Yuni Fajriati (1810211012)

Asih Liasari (1810211120)

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

Tahun Ajaran 2018/2019


OVC CASE 6 – OSTEOARTRITIS
BASIC SCIENCE TULANG

A. Definisi
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri dari matriks tulang dan sel-sel
tulang yang terdiri dari osteoblas, osteosit, dan osteoklas.

B. Fungsi
1. Support
Sistem skeletal sebagai strucrutal support (pendukung struktural) untuk tubuh.
Tulang juga sebagai tempat melekatnya otot, jaringan lunak, dan organ lain, serta
memberi bentuk tubuh.

2. Penyimpanan mineral dan lipid


Jaringan tulang sebagai cadangan kalsium, fosfat, dan ion lain yg dilepaskan dan
disimpan secara terkendali untuk mempertahankan konsentrasi yang tetap di cairan
tubuh. Sedangkan lipid disimpan di sumsum tulang kuning.
3. Produksi sel darah
Tulang memproduksi sel darah baik itu eritrosit, leukosit, maupun platelet di
sumsum tulang merah atau red bone marrow.

4. Proteksi
Tulang berfungsi untuk melindungi organ vital dan lunak.

5. Sebagai tuas
Untuk memperbesar daya pergerakan.

C. Jenis Tulang Berdasarkan Bentuk

D. Penyusun Tulang
1. Matriks Tulang
⊡ Komponen Anorganik :
- Kalsium fosfat,
- Kristal kalsium hidroksiapatit, dan
- Ion-ion seperti bikarbonat, sodium, magnesium, dan flourida.
- Memberikan kekuatan tekan
⊡ Komponen Organik :
- Serat kolagen tipe I,
- Proteoglikan (kondroitin sulfat),
- Glikoprotein (osteonektin, osteokalsin)
- Memberikan kekuatan tarik

2. Sel Tulang
a. Osteoblas
 Berasal dari sel punca mesenkim
 Osteoblas aktif berlokasi pada permukaan matriks tulang, membentuk
selapis sel kuboid.
 Osteoblas memproduksi komponen organik matriks tulang, termasuk serat
kolagen tipe I, proteoglikan, dan glikoprotein.
 Osteoblas yang dikelilingi oleh matriks yang disekresikan sendiri akan
berdiferensiasi menjadi osteosit

b. Osteosit
 Sel tulang dewasa
 Sel yang terdapat di rongga-rongga (lakuna) di antara lapisan (lamela)
matriks tulang, dengan cabang sitoplasma dalam kanalikuli kecil yang meluas
ke dalam matriks.
 Sel utama pada tulang yang melakukan pertukaran nutrisi dengan darah.
 Osteosit tidak dapat membelah, dalam satu lakuna hanya ada satu osteosit.

c. Osteoblas
 Sel raksasa yang merupakan fusi dari monosit
 Multinuklear
 Osteoklas melepaskan enzim lisosom dan asam yang akan mencerna protein
dan mineral pada matriks tulang à osteolisis atau resorpsi tulang.
 Membran plasma osteoklas yang menempel dengan matriks tulang à ruffled
zone

d. Osteoprogenitor
 Sel punca tulang uang belum terspesialisasi
 Berasal dari jaringan mesenkim
 Satu-satunya sel tulang yang mengalami pembelahan
 Mengalami perkembangan menjadi osteoblas

3. Endosteum dan Periosteum


a. Endosteum
 Tipis
 Menutupi trabekula matriks yang terjulur ke dalam rongga sumsum
 Mengandung sel osteoprogenitor dan osteoblas
 Serat kolagen à jarang
b. Periosteum
 Lapis fibrosa (kolagen tipe I, fibroblas, dan pembuluh darah) ; berkas kolagen
periosteal : serat perforans.
 Lapis seluler (mengandung osteoblas dan osteoprogenitor)

E. Gambaran Histologis Tulang

F. Klasifikasi Tulang
Secara histologis, tulang diklasifikasikan menjadi 2, yaitu tulang kompak dan
tulang spongiosa. 80% bagian tulang terdiri dari tulang kompakta dan 20% nya adalah
tulang spongiosa.
a. Tulang Kompakta
Tulang kompak tersusun dari osteon yang tersusun parallel. Osteon adalah unit
fungsional terkecil dari tulang.
b. Tulang Spongiosa
Tulang spongiosa tersusun dari trabecular-trabekular yang membentuk ruang
dimana ruang-ruang ini akan digunakan untuk tempat sumsum tulang. Tulang
spongiosa dilapisi oleh endosteum, dimana pada endosteum terdapat osteoblas dan
osteoklas. Pada trabekular terdapat lubang-lubang yang disebut muara kanalikuli.
G. Osifikasi
Osifikasi adalah proses penulangan. Ada 2 jenis osifikasi, yaitu osifikasi
intramembranosa dan osifikasi endokondral. Osifikasi intramembranosa adalah proses
kebanayakan tulang pipih mulai terbentuk. Dimana sel mesenkim berdiferensiasi
menjadi osteoblas yang mensekresian matriks tulang, membentuk jaringan spikula dan
trabekula. Jaringan ikat vaskular pada celah-celahnya akan berubah menjadi sumsum
tulang. Osifikasi ini biasa disebut juga osifikasi dermal karena terjadi di lapisan dalam
dermis. Sedangkan osifikasi endokondral umunya terjadi pada tulang-tulang panjang.
Dimana matriks tulang rawan yang sudah ada dikikis dan diinvasi oleh osteoblas.

(a) Osifikasi Intramembranosa


(b) Osifikasi Endokondral

REFERENSI

1. Martini Fundamentals of Anatomy and Physiology


2. Histologi Dasar Junqueira

BASIC SCIENCE TULANG RAWAN

1. Definisi Tulang Rawan


Tulang rawan merupakan jaringan ikat penahan berat yang relative padat, tetapi
tidak sekuat tulang. Dalam kehidupan pasca lahir, jaringan ini hanya ditemukan pada
dua jenis tempat sesuadah tidak kambuh lagi, yaitu pada sejumlah bangunan tulang
rawan ekstra-skeletal yang terdapat dalam tubuh dan pada persendian.
Cedera tulang rawan akibat trauma akan diperbaiki oleh perikondrium. Sel-sel
perikondrium cenderung untuk mengisi kekosongan atau defek, sedangkan sel-sel
kondrogenik dalam perikondrium akan berproliferasi dan berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi kondroblas yang menghasilkan matriks baru.
Dalam kehidupan pasca lahir sesudah tidak tumbuh lagi, jaringan ini hanya di
temukan pada dua jenis tempat. Tempat pertama, sejumlah bangunan tulang rawan
ektra-skeletal terdapat dalam tubuh. Sebagai contoh ialah cincin-cincin tulang rawan
berbentuk tapal kuda pada dinding trakea. Peranan cincin ini ialah mencegah dinding
trakea, yang sebenarnya hanya terdiri atas jaringan ikat biasa, agar tidak kolaps saat
udara dihirup memasuki paru. Bangunan tulang rawan berbentuk tidak beraturan juga
terdapat pada dinding jalan napas yang lebih kecil yang menuju paru. Juga terdapat
lempeng-lempeng tulang rawan pada laring, hidung, dan dinding bagian medial tuba
auditori (yang menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring dan memungkinkan
terjadi keseimbangan tekanan udara antara kedua rongga itu). Tulang rawan juga
terdapat pada tulang iga (yang menghubungkan ujung anterior iga dengan sternum),
berupa bagian yang menghubungkan iga-iga dengan sternum yang kuat namun cukup
fleksibel sehingga memungkinkan kerangka iga meluas pada gerakan respirasi.
Tempat kedua, tertinggalnya tulang rawan seumur hidup ialah pada persendian.
Pada sendi yang bergerak bebas, ujung-ujung tulang dibalut tulang rawan. Dalam hal ini
tulang rawan itu disebut tulang rawan sendi, dan unsur interselnya (yang dikenal
sebagai matriks) membentuk permukaan pelincir yang licin pada ujung sendi tulang.
Tulang rawan juga terdapat pada beberapa sendi yang tidak dapat bergerak bebas.

2. Pertumbuhan Tulang Rawan


Pada tempat pembentukan tulang rawan dalam embrio, sel-sel mesenkim
menyusutkan cabang-cabangnya dan mengumpul dalam agregasi padat yang dikenal
sebagai pusat kondrifikasi. Sel-selnya sangat berdekatan dan batas-batasnya tidak jelas.
Dengan memperbesar dan berkembangnya sel precursor ini, mereka mensekresikan ke
sekitarnya matriks amorf metakromatik. Kolagen disekresikan bersamaan, namun
serabut yang dibentuk tertutup oleh matriks hialin yang membuat kolagen terpendam.
Dengan bertambahnya jumlah materi interstisial ini, maka sel-selnya terisolasi dalam
kompartemen masing-masing atau lacuna dan berangsur memperoleh ciri setologik
kondrosit dewasa. Dalam perluasan pusat kondrifikasi pertumbuhan terjadi melalui dua
mekanisme berbeda, yaitu: pertumbuhan interstisial dan pertumbuhan aposisional.

a. Pertumbuhan interstisial
Di bagian dalam tulang rawan yang berkembang, sel-selnya untuk waktu
tertentu, masih dapat membelah. Setalah telofase, sekresi matriksnya
membentuk sekat yang makin tebal di antara sel-sel anak sehingga mereka
menempati lacuna terpisah. Sel-sel ini, pada gilirannya, kemudian membelah,
menghasilkan kelompok empat kondrosit dalam lacuna bersebelahan.
Pengembangan tulang rawan melalui pembentukan sel-sel dan matriks baru
dari dalam disebut pertumbuhan insterstisial dan menerangkan terdapatnya
pasangan dan kelompok empat atau lebih lacuna dalam tulang rawan
dewasa. Setiap kelompok dikatakn isogen karena merupakan turunan dari
satu konrosit yang mengalmi beberapa kali pembelahan sebelum berhenti.
Matriks tepat mengelilingi setiap kelompok sel isogen terpulas lebih gelap.
Halo lebih basofilik ini disebut sebagai matriks territorial dan daerah kurang
basofilik lain diantara kelompok-kelompok sel disebut matriks
interteritorium.
Pada tulang rawan epifisis tulang panjang yang tumbuh, pertumbuhan
insterstisial tetap ada dan pembelahan sel dalam orientasi tetap ada dan
pembelahan sel dalam orientasi tetap menghasilkan lacuna tersusun dalam
kolom memanjang parallel terhadap sumbu panjang tulang. Sel-sel pada
ujung metafisis kolom ini berdegenerasi dan lakunanya dimasuki tulang yang
makin maju.
b. Pertumbuhan Aposisional
Cara lain pertumbuhan tulang rawan ialah dengan meletakkan lebih banyak
matriks pada permukaannya. Mekanisme pertumbuhan ini disebut sebagai
pertumbuhan aposisional. Mekanisme pertumbuhan ini bergantung pada
permukaan kondroblas penghasil matriks baru pada permukaan tulang
rawan.
Mesenkim yang mengelilingi tulang rawan memadat membentuk
perikondrium. Sel-sel pada aspek dalamnya, disebut sebagai lapis
kondrogeniknya, berproliferasi, berkembang menjadi kondrosit, dan
menghasilkan matriks di sekitarnya, sehingga terkurung di dalam tulang
rawan. Penambahan sel dan matriks baru pada permukaan ini disebut
pertembuhan aposisional, kesanggupan perikondrium membentuk tulang
rawan berlanjut sampai ke pasca-lahir dan membantu pertumbuhan
diameter model tulang rawan dari tulang panjang.

3. Matriks Tulang Rawan

Matriks tulang rawan pada dasarnya merupakan gel amorf berpegas dengan
susunan molekul khusus. Del ini terutama terdiri atas proteoglikan, selain sedikit protein
dan glikoprotein. Di dalam gel tersebar serat kolagen halus yang dibentuk oleh kolagen
tipe II. Protein utama dalam matriks tulang rawan ialah kolagen tipe II dan protein
penghubung. Kondronektin merupakan glikoprotein yang dihasilkan kondroblas dan
yang memperkuat perlekatan sel ini dan kondrosit pada kolagen tulang rawan. Protein
matriks lain disebut kondrokalsin diduga berperan dalam pengapuran tulang rawan
hialin.

Tulang rawan merupakan jaringan avascular, artinya tidak memiliki pembuluh


daerah kapiler sendiri, meskipun pembuluh yang lebih besar dapar melintasinya tanpa
tanpa memasoknya: pembuluh limfe pun tidak terdapat dalam jaringan ini. Namun
banyaknya cairan jaringan yang tertahan dalam celah-celah jalinan proteoglikan
memungkinkan nutrient dan oksigen mencapai kondrositnya melalui difusi jarak jauh
dari kapiler yang terletak di luar tulang rawan itu sendiri. Produksi sisa dapat berdifusi
dalam arah yang berlawanan memasuki pembuluh demikian. Namun ketergantungan
mutlak pada difusi jarak jauh ini menimbulkan msalah tersendiri, lebih-lebih bila garam
kalsium yang tidak larut telah diendapkan di dalam matriks.

Pada kebanyakan kasus, yang matriks tulang rawanya telah diendapi garam
demikian, kondrosit yang terbenam di situ akan diganti oleh jaringan tulang. Jaringan
tulang memiliki susunan kanalikuli yang unik, yang memungkinkan matriksnya
mengalami pengapuran tanpa menganggu nutrisi sel-sel didalamnya.
4. Jenis – Jenis Tulang Rawan

Jenis Karakteristik Khas Perikondrium Lokasi


Hialin Kolagen tipe 2, Perikondrium Bagian ujung
matriks basofilik, terdapat pada artikular tulang
kondrosit biasanya sebagian besar panjang,hidung,
tersusun bagian tubuh laring,trakhea,
berkelompok (pengecualian : bronkhi, bagian ujung
kartilago sendi dan ventral iga
epifisis)

Elastin Kolagen tipe 2, serat Terdapat Daun telinga, dinding


elastin perikondrium kapsula auditoris,
tuba eustachius,
epiglotis, kartilago
cuneiformis pada
laring

Fibrokartilago Kolagen tipe 2, Tidak ada Diskus


matriks asidofilik, perikondrium intervertebralis,
kondrosit tersusun simfisis pubis, insersi
dalam baris paralel di beberapa tendon
antara kumpulan
kolagen, selalu
dihubungkan dengan
jaringan ikat padat
kolagen regular atau
kartilago hialin
5. Nutrisi dan Perbaikan

Tulang rawan tidak terdapat pembuluh darah intrinsic, saraf, dan pembuluh limfe.
Bahan makanan, oksigen dan buangan sel harus merembes melalui matriks secara difusi
dari perikondrium. Avaskularitas mengakibatkan lambatnya proses metabolism pada tulang
rawan dewasa dan juga perlambatan atau penghambatan respons terhadap kerusakan atau
cedera.

Trauma yang menyebab cedera pada tulang rawan akan diperbaiki oleh
perinkondrium. Sel-sel perokondrium cenderung untuk mengisi kekosongan atau defek dan
sel-sle kondrogenik dalam periokondrium akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
kondroblas yang menghasilkan matriks baru.

Tulang rawan dipengaruhi oleh adanya defisiensi protein, mineral dan vitamin.
Sebagia contoh, dibutuhkan vitamin A,C, D, kalsium dan fosfor dalam kadar yang baik untuk
perkembangan normal tulang rawan. Hormon perangsang pertumbuhan dan hormon-
hormon yang lain juga memengaruhi perkembangan tulang rawan.

BASIC SCIENCE SENDI

 Definisi Sendi
Sendi adalah tempat dua elemen kerangka bergabung bersama (Gray Dasar-Dasar
Anatomi, 2013). Secara umum dibagi 2 garis besar, yaitu Sendi Synovialis dan Sendi Fibrosa-
Kartilago (Compacta). Sendi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi, gerakan, struktur,
dan bentuknya.

 Klasifikasi Sendi
Berdasarkan Fungsi
Sinarthroses

Sendi yang tidak dapat digerakan dimana 2 tulang dihubungkan dengan kuat oleh
jaringan fibrosa. Contoh tulang tengkorak.

Amfiarthroses

Sendi yang dapat sedikit digerakkan pada permukaan tulang yang terhubung oleh
ligamen atau kartilago. Contoh intercostae dengan os. Manubrium sterni.

Diarthroses

Sendi yang dapat dengan bebas digerakan pada beragam bentuk (sendi Synovialis).
Contoh art. Ginglymus, art. Trochoidea, art. Sellaris, dan lain-lain.

Berdasarkan Struktur

 Fibrous
a. Sutura

Hanya terdapat pada tulang tengkorak yang dihubungkan oleh ligamentum suturale.
Contohnya sutura serrata, sutura squamosa, sutura harmoniana

b. Gomphosis

Hanya terdapat pada sambungan gigi dengan tulang berdekatan. Berbentuk Bony Socket
dimana sabut-sabut jaringan kolagen di dalam ligamentum periodontale berada di antara akar
gigi

c. Syndesmosis

Sendi dimana 2 tulang berdekatan dihubungkan suatu ligamentum, contohnya


membrana interossea (antara os. Radius dan Ulna)

 Cartilaginous
a. Synchondrosis

Terjadi dimana 2 pusat osifikasi yang berkembang dipisahkan oleh selapis tulang rawan
dan menjadi osifikasi lengkap. Contohnya antara caput dan corpus os. Tibia dan os. Fibula

b. Symphisis
Terjadi dimana 2 tulang dihubungkan tulang rawan. Contohnya diskus intervertabralis
dan symphisis pubis
 Synovialis
Adalah hubungan antara komponen tulang kerangka dimana elemen-elemen yang
terlibat dipisahkan oleh cavitas articularis/ruang sendi yang sempit

Memiliki ciri khas yaitu:

- Tulang rawan hyalin menutupi permukaan sendi elemen-elemen tulang kerangka

- Adanya capsula articularis yang terdiri dari:

Membrana synovialis

Melekat pada tepi permukaan sendi yang saling berhadapan di antara tulang rawan dan
tulang dan menutupi cavitas articularis. Banyak mengandung pembuluh darah dan
memproduksi cairna synovialis. Kantung tertutup di luar sendi membentuk bursae synovialis
yang membungkus tendo.
Membrana fibrosum
Dibentuk oleh jaringan ikat padat dan mengelilingi serta menstabilkan sendi. Bagiannya
dapat menebal untuk membentuk ligamentum.

-Ciri umum (namun tidak universal pada seluruh sendi synovialis):


Discus articularis

Menyerap kekuatan kompresi, menyesuaikan diri dari perubahan kontur permukaan


sendi selama pergerakan, dan meningkatkan jangkauan gerakan

Bantalan Lemak

Terjadi antara membrana synovialis dan capsula dan bergerak ke dalam dan keluar
daerah sebagai perubahan kontur sendi selama pergerakan

Tendo

Berdasarkan Gerakan

 Uniaxial (Satu arah)


 Biaxial (dua arah)
 Multiaxial (segala arah)

Berdasarkan Bentuk
 Plana/meluncur
Gerakan meluncur, e.g. acromioclavicularis
 Ginglymus/engsel
Gerakan mengelilingi transversal satu sumbu, fleksi dan ekstensi, e.g. Art. Cubiti
(humeroulnaris)
 Trochoidea/poros
Gerakan rotasi (menglilingi batang tulang secara longitudinal) e.g. Art. Atlanto-
axialis mediana
 Bicondylaris
Gerakan paling banyak pada satu sumbu dengan rotasi terbatas mengelilingi
sumbu kedua, terdiri dari 2 condylus cembung dengan permukaan datar/cekung. E.g.
Art.genus
 Condylaris (ellipsoidea)
Gerakan mengelilingi 2 sumbu yang saling tegak lurus, memungkinkan fleksi,
ekstensi, abdukis, adduksi, circumduksi (terbatas) e.g. Art.carpi
 Sellaris/plana
Gerakan mengelilingi 2 sumbu yang saling tegak lurus. Memungkinkan fleksi,
ekstensi, abduksi, adduksi, circumduksi. E.g. Art. Carpometacarpalis pollicis
 Spheroidea/ Ball and Socket
Gerakan multiaxial (seluruh arah) e.g. Art.coxae
CLINICAL SCIENCE ORTEOARTHRITIS (OA)

i. Definisi

Osteoarthritis adalah suatu penyakit yang disebabkan adanya proses degenerasi sendi
synovial yang ditandai dengan menipis, rusak, atau hilangnya tulang rawan articular.

Osteoarthritis biasanya disebabkan oleh beberapa hal, namun pada dasarnya


osteoarthritis merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh kegagalan sendi untuk
memperbaiki kerusakan yang terjadi. Kerusakan tersebut bisa terjadi karena adanya
ketidakseimbangan biokimia atau adanya trauma mekanik pada sendi tersebut.

ii. Etiologi

OA tidak memiliki penyebab tunggal, biasanya OA disebabkan kombinasi dari beberapa


factor resiko yang saling mendukung terjadinya OA.

Adapun factor resiko yang dapat menyebabkan OA adalah sebagai berikut:

1. Usia

Pertambahan usia dapat meningkatkan factor resiko osteoarthritis pada


seseorang. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin tua umur seseorang maka
kartilago akan semakin tipis, otot menjadi lebih lemah, dan stabilitas sendi-sendi
utama semakin menurun.

2. Gender

Pada wanita terjadi menopause dimana terjadi penurunan kadar hormone


estrogen secara cepat dan drastis yang dapat menyebabkan peningkatan prevalensi
seseorang untuk mengalami OA terutama pada tulang lutut.

3. Diet dan Obesitas


Diet yang tidak mencukupi kebutuhan vitamin C, D, dan K biasanya dapat
meningkatkan prevalensi terjadinya OA. NAmun lebih dari pola diet yang kurang
baik, obesitas merupakan factor resiko yang lebih kuat dalam menyebabkan OA,
terutama di bagian lutut. Hal ini dikarenakan pada penderita obesitas, beban tubuh
ditopang oleh lutut akan semakin besar, sehingga kemungkinan gesekan akan lebih
baik

4. Trauma atau Inflamasi

Tulang rawan articular dapat rusak karena trauma atau gangguan inflamasi
sebelumnya. Enzim yang dikeluarkan oleh sel synovial dan leukosit menyebabkan
terkikisnya proteoglikan dari matriks, dan IL-1 yang dihasilkan synovial menekan
sintesis proteoglikan.

iii. Epidemiologi

– OA merupakan penyakit sendi yang paling umum.


– Jenis kelamin : OA primer lebih banyak pada wanita, OA sekunder pada pria.
– Umur : >65 tahun sering menunjukkan perubahan menuju OA.
– Lokalisasi : Umumnya pinggul, lutut, vertebrae, dan jari-jari.
– Ras : Semua ras, tetapi ras asia lebih sering terkena.

iv. Klasifikasi

I. OA Primer

Osteoartritis primer atau OA idiopatik belum diketahui penyebabnya dan


tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal
pada sendi. Meski demikian, OA banyak dihubungkan pada penuaan. Pada
orangtua, volume air dari tulang muda meningkat dan susunan protein tulang
mengalami degenerasi. Akhirnya, kartilago mulai degenerasi dengan mengelupas
atau membentuk tulang muda yang kecil. Pada kasus-kasus lanjut, ada
kehilangan total dari bantal kartilago antara tulang-tulang dan sendi-sendi.
Penggunaan berulang dari sendi-sendi yang terpakai dari tahun ke tahun dapat
membuat bantalan tulang mengalami iritasi dan meradang, menyebabkan nyeri
dan pembengkakan sendi. Kehilangan bantalan tulang ini menyebabkan gesekan
antar tulang, menjurus pada nyeri dan keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan
dari kartilago dapat juga menstimulasi pertumbuhan- pertumbuhan tulang baru
yang terbentuk di sekitar sendi-sendi.
Osteoartritis primer ini dapat meliputi sendi-sendi perifer (baik satu
maupun banyak sendi), sendi interphalang, sendi besar (panggul, lutut), sendi-
sendi kecil (carpometacarpal, metacarpophalangeal), sendi apophyseal dan atau
intervertebral pada tulang belakang, maupun variasi lainnya seperti OA
inflamatorik erosif, OA generalisata, chondromalacia patella, atau Diffuse
Idiopathic Skeletal Hyperostosis (DISH).

II. OA Sekunder

Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau


kondisi lainnya, seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan
pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi,
penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin, metabolic, inflamasi,
imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya seperti obesitas, operasi
yang berulangkali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya.

Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam pemeriksaan radiologis


diklasifikasikan sebagai berikut:

– Grade 0: normal
– Grade 1: sendi normal, terdapat sedikit osteofit
– Grade 2: osteofit pada dua tempat dengan sklerosis subkondral, celah sendi
normal, terdapat kista subkondral
– Grade 3: osteofit moderat, terdapat deformitas pada garis tulang, terdapat
penyempitan celah sendi
– Grade 4: terdapat banyak osteofit, tidak ada celah sendi, terdapat kista
subkondral dan sklerosis

American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan kesehatan seseorang


berdasarkan derajat keparahan. Antara lain sebagai berikut:

– Derajat 0: Tidak merasakan tanda dan gejala.


– Derajat 1: Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas cukup berat,
tetapi masih bisa dilokalisir dengan cara mengistirahatkan sendi yang terkena
osteoartritis.
– Derajat 2: Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi, nyeri hampir
selalu dirasakan, kaku sendi pada pagi hari, krepitus, membutuhkan bantuan
dalam menaiki tangga, tidak mampu berjalan jauh, memerlukan tenaga asisten
dalam menyelesaikan pekerjaan rumah.
– Derajat 3-4: Osteofit sedang-berat, terdapat celah antar sendi, kemungkinan
terjadi perubahan anatomis tulang, nyeri disetiap hari, kaku sendi pada pagi hari,
krepitus pada gerakan aktif sendi, ketidakmampuan yang signifikan dalam
beraktivitas (Woolf dan Pfleger, 2003).
v. Predileksi
OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat mengenai
daerah sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul, dan lutut.

vi. Gejala Klinis

– Nyeri: Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada
sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat osteofit,
distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau ligamen. Nyeri
terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang lebih parah hanya
dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat perasaan sakit, hal ini bisa
berkurang dengan istirahat.
– Kekakuan sendi: kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari ketika
setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.
– Krepitasi: sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi
rawan.
– Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan sebagai
nodus Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal Interphalangeal (DIP))
atau nodus Bouchard (karena adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal
(PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat menyebabkan penurunan kemampuan
pergerakan sendi yang progresif.
– Deformitas sendi: pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan
mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut (Davey,
2006).

vii. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Fisik Umum

– Tentukan BMI
– Perhatikan gaya berjalan/pincang
– Kelemahan/atrofi otot
– Tanda-tanda inflamasi/efusi sendi
– Lingkup gerak sendi (ROM)
– Nyeri saat pergerakan atau nyeri di akhir gerakan.
– Krepitus
– Deformitas/bentuk sendi berubah
– Gangguan fungsi/keterbatasan gerak sendi
– Nyeri tekan pada sendi dan periarticular
– Penonjolan tulang (Nodul Bouchard’s dan Heberden’s)
– Pembengkakan jaringan lunak
– Instabilitas sendi
Pada pemeriksaan fisik dari osteoartritis dapat ditemukan tanda-tanda
berupa hambatan gerak. Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA
yang masih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan beratnya
penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur.

Gejala lainnya ialah krepitasi. Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan
klinis lutut OA. Gejala ini timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi
pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di manipulasi. Pada perabaan dapat
dirasakan pembengkakan sendi. Pembengkakan pada pasien OA dapat timbul
karena efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (<100cc). Sebab lain adalah
karena adanya osteofit, yang dapat mengubah permukaan sendi.

Nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna
kemerahan mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-
tanda ini tak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai di lutut,
pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.

Otot-otot sekitar sendi yang atrofi dapat terjadi karena tidak digunakan
atau karena hambatan reflek dari kontraksi otot.

Pada tingkat lanjut osteoartritis, dapat terjadi deformitas berat misal


pada osteoartritis lutut, kaki menjadi berbentuk O atau X), hipertrofi
(pembesaran) tulang, subluksasi, dan kehilangan pergerakan sendi (Range of
Motion, ROM).

Adapun predileksi osteoartritis adalah pada sendi-sendi tertentu seperti


carpometacarpal I, matatarsophalangeal I, sendi apofiseal tulang belakang, lutut
(tersering) dan paha.

b. Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien OA dapat dilakukan pemeriksaan radiologi dan laboratorium


untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiografi yang mendukung diagnosis
OA ialah penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris, peningkatan
densitas (sklerosis tulang subkhondral), kista tulang, osteofit pada pinggir sendi
dan perubahan struktur anatomi sendi.

Pada pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis OA yaitu


darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal,
kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan arthritis peradangan. Pada
OA disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis
ringan sampai sedang, peningkatan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan
protein.

Gambaran Radiologi

Terdapat beberapa metode yang dapat digunnakan untuk mendapatkan gambaran


radiologi, yaitu seperti berikut:

a) Plain radiography

Diagnosis dapat dilakukan menggunakan metode plain radiography ini karena metode
ini merupakan metode yang cost–effective dan hasilnya dapat diperoleh dalam waktu
yang singkat. Metode radiografi ini dapat menggambarkan terjadinya hilangnya sendi,
atau terdapatnya ruang, serta tulang subchondral sclerosis dan formasi kista.

b) Bone Scanning

Metode ini mungkin membantu dalam diagnosis awal osteoarthritis tangan. Selain itu,
metode ini juga dapat membantu membedakan osteoarthritis dari osteomyelitis dan
metastase tulang (Lozada, 2013).

c) Arthrocentesis

Kehadiran cairan sendi peradangan membantu membedakan osteoarthritis dari


penyebab lain dari nyeri sendi. Selain temuan cairan sinovial yang membantu dalam
diferensiasi osteoarthritis dari kondisi lain adalah adanya gram negatif serta tidak
adanya kristal ketika dilihat dibawah mikroskop.

viii. Prognosis

Prognosis pasien dengan osteoarthritis primer bervariasi dan terkait dengan sendi yang
terlibat. Pasien dengan osteoarthritis sekunder, prognosisnya terkait dengan faktor penyebab
terjadinya osteoarthritis. Umumnya baik. Sebagian besar nyeri dapat diatasi dengan obat-obat
konservatif. Hanya kasus-kasus berat yang memerlukan pembedahan, yaitu apabila pengobatan
dengan menggunakan obat tidak rasional pada pasien

PATOFISIOLOGI CASE 6 – OSEOARTRITIS


Tatalaksana
Bertujuan untuk:

 Mengontrol nyeri
 Memperbaiki fungsi sendi yang terserang
 Menghambat progresifitas penyakit
 Edukasi Pasien

Non-farmakologis
Sangat Direkomendasikan Direkomendasikan pada Waktu- Tidak Direkomendasikan
waktu Tertentu
Olahraga senam aerobik Berpartisipasi dalam program Yoga, olahraga high impact
manajemen diri (naik tangga, dll)
Berenang Menerima terapi manual dengan Berdiri terlalu lama
latihan yang diawasi
Menurunkan berat badan Menerima intervensi psikososial Menerima terapi manual saja
untuk individu yang BB
berlebih
Menggunakan medially directed Memakai penyangga lutut
patellar taping
Menggunakan medially wedges
insoles pada OA kompartemen
lateral
Menggunakan laterally wedges
subtalar  strapped insoles pada
OA kompartemen medial
Menerima alat bantu jalan sesuai
kebutuhan

Farmakologis
1. Sistemik
a. Analgetik
 Asetaminofen / Parasetamol
 Tidak termasuk NSAID karena tidak mengurangi inflamasi
 Merupakan obat pertama yang direkomendasikan oleh dokter karena relatif aman,
efektif untuk mengurangi rasa sakit, dan dapat ditoleransi dengan baik terutama
pada pasien tua.
 Dosis = 4 gram/hari
 Opioid à illegal drugs
 Opioid are generally convinced as powerful pain-relieving subtances that are used
for the pain of cancer or osteoarthtritis
 Example =
 Codeine‐containing Tylenol® (1, 2, 3, and 4)
 Hydromorphone (Dilaudid)
 Oxycodone (Percocet, Percodan)
 Morphine
They can be taken in a pill form, as an injection, or as a patch placed on the painful
area.
 Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID)
 NSAID adalah obat non-steroid anti-inflamasi yang umum digunakan untuk
mengobati gangguan muskuloskeletal. Terutama digunakan untuk meringankan
gejala berikut:
 Nyeri: Rasa sakit yang disebabkan oleh peregangan otot, keseleo, sakit
kepala, migrain, dan dismenore (nyeri kram saat menstruasi).
 Demam: NSAID juga dapat mengurangi suhu tubuh.
 Peradangan: NSAID sering digunakan untuk meredakan peradangan dalam
kondisi seperti rheumatoid arthritis dan osteoarthritis.
 NSAID untuk osteoarthtritis:
 Natrium Diklofenak
o Dosis: 50 mg 2x/hari
o Bersifat inhibitor non selektif COX
o Penghambat COX sehingga pembentukan prostaglandin terhambat à
mediator-mediator penyebab inflamasi seperti demam, nyeri, dll. tidak
terinduksi
 Meloxicam
o Dosis: 7.5 mg 2x/hari selama 5 hari
o Dapat menyebabkan ulserasi gastric
o Jika dikombinasikan dengan diklofenak dan misoprostol (obat tukak
lambung/gastritis) bisa mengurangi efek ulserasi gastritic, tapi bisa
menyebabkan diare
o Fungsinya sama seperti natrium diklofenak yaitu untuk menghambat
pembentukan prostaglandin
 Cara kerja NSAID:
NSAID bekerja dengan cara menghambat jalur siklooksigenase (COX) pada kaskade
inflamasi. Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologik, terdapat
pada lambung, ginjal dan trombosit) dan COX-2 (berperan pada proses inflamasi).
NSAID tradisional bekerja dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2, sehingga
dapat mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi cairan
dan hiperkalemia. NSAID yang bersifat inhibitor COX-2 selektif akan memberikan
efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan NSAID yang
tradisional.
 Untuk nyeri sedang sampai berat, atau ada inflamasi, maka OAINS yang selektif
COX-2 merupakan pilihan pertama, kecuali jika pasien mempunyai risiko tinggi
untuk terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal. OAINS yang COX-2 non-selektif juga
bisa diberikan asalkan ada perhatian khusus untuk terjadinya komplikasi
gastrointestinal dan jika ada risiko ini maka harus dikombinasi dengan inhibitor
pompa proton atau misoprostol. Injeksi kortikosteroid intraartikuler bisa diberikan
terutama pada pasien yang tidak ada perbaikan setelah pemberian asetaminophen
dan OAINS. Tramadol bisa diberikan tersendiri atau dengan kombinasi dengan
analgetik.
 Chondroprotective
 Yang dimaksud dengan chondoprotective agent adalah obat-obatan yang dapat
menjaga dan merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA,
sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti
Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs
(DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah:
o Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai efek menghambat kerja enzime MMP.
Salah satu contohnya doxycycline. Sayangnya obat ini baru dipakai oleh
hewan belum dipakai pada manusia.
o Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam
degradasi tulang rawan, antara lain: hialuronidase, protease, elastase dan
cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan asam
hialuronat pada kultur tulang rawan sendi.
o Pemakaian GAG selama 5 tahun dapat memberikan perbaikan dalam rasa
sakit pada lutut, naik tangga, kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara
statistik bermakna.
o Asam hialuronat disebut viscosupplement karena dapat memperbaiki
viskositas cairan sinovial. Obat ini diberikan secara intraartikular. Asam
hialuronat berperan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan
melalui agregasi dengan proteoglikan.Pada binatang percobaan, obat ini
dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan
kemotaksis sel-sel inflamasi.
o Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok
vertebra, dan terutama terdapat pada matriks ekstraseluler sekeliling sel.
Menurut penelitian Ronca dkk (1998), efektivitas kondroitin sulfat pada pasien
OA mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu :
 Anti inflamasi
 Efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan.
 Anti degeneratif melalui hambatan enzim proteolitik dan
menghambat oksigen reaktif
o Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas enzim
lisozim dan bermanfaat dalam terapi OA.
o Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel mamalia dam
mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxyl
radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat,
kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde dapat merusak
kondroitin secara langsung. Dalam percobaan klinis dilaporkan bahwa
pemberian superoxide dismutase dapat mengurangi keluhan-keluhan pada
pasien OA.
2. Topikal
a. Krim rubefacients dan capsaicin
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada umumnya bersifat
counter irritant.
b. Krim NSAIDs

1. Intraartikular/Intralesi
a. Steroid
i. Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan inflamasi yang
kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak dapat mentolerir NSAIDs atau ada
komorbiditas yang merupakan kontra indikasi terhadap pemberian NSAIDs.
ii. Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi
kecil biasanya digunakan dosis 10 mg.
b. Asam Hialuronat
c. Platelets Rich Plasma
i. PRP adalah salah satu metode pengobatan regenerative medicine. Platelet adalah
bagian (komponen) dari darah kita yang memiliki keunggulan karena mengandung zat-
zat yang berfungsi merangsang pertumbuhan bagian yang rusak.
ii. PRP dibutuhkan jika seseorang sudah terlalu banyak mengonsumsi obat nyeri, mendapat
fisioterapi berulang, injeksi anti radang, tetapi tidak kunjung membaik. Tetapi pemakaian
PRP sja tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan otot dan sendi. Harus disertai dengan
latihan atau terapi fisik.
2. Pembedahan
Jika pengobatan biasa tidak bisa mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan fungsi sendi, maka
disarankan untuk dilakukan operasi.
a. Arthroscopy
 Arthroscopy adalah tindakan operasi dengan irisan kecil dan menggunakan alat-alat yang
kecil.
 Dianjurkan untuk penderita Osteoarthritis yang memiliki gejala mekanik.
 Teleskop yang sangat kecil, yang disebut arthroscope, dimasukkan kedalam selah sendi
kemudian diisi dengan cairan supaya operator dapat melihat dengan jelas komponen-
komponen yang ada dalam sendi.
 Dengan alat arthroscopic kecil ini, operator dapat menghaluskan kartilago yang rusak,
mengeluarkan partikel-partikel yang lepas dari sendi (debridement), dan membersihkan
sendi. Jika ditemukan masalah lain, seperti torsi meniscus atau kerusakan ligament,
operator akan memperbaiki pada saat operasi yang sama.
Arthroscopy dapat membantu jika kesakitannya berasal dari lepasnya kartilago atau
meniscus.
 Sama seperti operasi lainnya, ada beberapa risiko pada arthroscopy yang dikarenakan
penggunaan obat bius dan kemungkinan infeksi.
 Komplikasi lainnya termasuk kerusakan pembuluh darah dan saraf, terjadinya bekuan
darah pada pembuluh darah balik.
b. Arthroplasty / Total Knee Replacement
 Total knee replacement adalah tindakan operasi dimana bagian sendi lutut yang sakit
dilapis dengan bahan buatan.
 Tindakan ini dilakukan dengan cara membuka kapsul lutut dan membuang ujung tulang
paha, tulang kering, dan dalam tempurung lutut.
 Bahan buatan dari metal dan plastik berkekuatan tinggi akan dilekatkan pada sendi.
c. Realignment Osteotomy
Osteotomy dianjurkan jika kerusakan kartilago lutut terbatas hanya pada satu daerah sendi
lutut saja. Bagian dalam, dimana kepala bagian dalam dari tulang paha bertemu dengan
bagian atas dari tulang kering adalah bagian yang paling sering terjadi kerusakan.
Dokter akan memperbaiki posisi sendi untuk memindahkan sumbu berat badan di tungkai
bawah menjauh dari daerah yang rusak. Dengan tindakan ini akan memindahkan tekanan
berat badan dari daerah yang rusak ke daerah yang lebih sehat.
Osteotomy dapat mengembalikan fungsi lutut dan mengurangi rasa nyeri pada osteoarthritis
yang bisa distimulasi oleh pertumbuhan dari kartilago yang baru.

DIAGNOSIS BANDING

I. Rheumatoid Arthritis
Definisi

Apa itu penyakit rheumatoid arthritis (RA)?

Rematik atau yang dalam bahasa medis disebut dengan rheumatoid arthritis (atau biasa disingkat RA)
adalah penyakit yang menyebabkan radang, dan kemudian mengakibatkan rasa nyeri, kaku, dan
bengkak pada sendi. Penyakit ini disebabkan oleh gangguan autoimun.

RA dapat memengaruhi kemampuan penderitanya dalam melakukan aktivitas harian, seperti menulis,
membuka botol, memakai baju, dan membawa barang. Peradangan sendi yang mengenai pinggul, lutut
atau kaki juga dapat membuat sulit berjalan, membungkuk, atau berdiri.
Seberapa umumkah penyakit rheumatoid arthritis (RA)?

Rheumatoid arthritis adalah salah satu penyakit yang seringnya dialami oleh orang lanjut usia (lansia).
Akan tetapi, RA juga bisa dialami oleh orang dewasa muda, remaja, dan bahkan anak-anak. Wanita
diketahui 2-3 kali lebih berisiko mengalami rematik dibanding pria.

Anda dapat mengurangi kemungkinan menderita penyakit ini dengan menurunkan faktor risiko Anda.
Diskusikan dengan dokter Anda untuk informasi lebih lanjut.

Penyebab

Apa penyebab rheumatoid arthritis (RA)?

Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun. Artinya, penyakit ini disebabkan oleh sistem imun yang
menyerang jaringan tubuh yang sehat.

Sistem imun yang keliru menyerang jaringan sehat di sekitar sendi menyebabkan lapisan tipis sel, alias
synovium, menutupi persendian menyebabkan sendi meradang dan bengkak. Synovium juga
melepaskan bahan kimia yang akan merusak tulang rawan dan tulang dalam sendi Anda.

Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa pengobatan yang tepat, synovium dapat menyebabkan sendi
kehilangan bentuknya dan pada akhirnya menghancurkan sendi Anda sepenuhnya.

Meski gangguan autoimun dipercaya sebagai penyebab utama rematik, namun sampai saat ini para
peneliti belum mengetahui faktor apa saja yang dapat memicu gangguan tersebut.

TAMBAHAN:

Walupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun nampaknya multifaktorial.

•Faktor Genetic (angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%)


•Hormon Sex (female)

•Faktor Infeksi (virus dan bakteri) : Mycoplasma

a.Parpovirus B19

b.Retrovirus

c.Mycobacteria

d.Bacterial cell walls

e.Epstein-Barr virus

•Ada riwayat keluarga yang menderita AR (hereditas)

•Usia 50 ke atas

•Paparan salisilat dan merokok.

•konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari menjelang istirahat, khususnya kopi

decaffeinated mungkin juga berisiko

Faktor-Faktor Risiko

Apa yang meningkatkan risiko saya untuk rheumatoid arthritis (RA)?

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko Anda terkena rheumatoid arthritis adalah:

 Jenis kelamin. Wanita berisiko 2-3 kali lebih tinggi dibanding pria.
 Usia. RA dapat terjadi pada usia berapa pun, namun lebih sering terjadi pada usia 40 sampai 60
tahun.
 Riwayat keluarga. Jika orangtua, saudara kandung, paman, bibi, atau kakek dan nenek Anda terkena
penyakit rematik, Anda berisiko tinggi untuk mengalaminya juga.

Tidak memiliki faktor risiko bukan berarti Anda tidak akan terkena penyakit ini. Faktor ini hanyalah
referensi saja. Konsultasikan dengan dokter Anda untuk informasi lebih lanjut.

Informasi yang diberikan bukanlah pengganti nasihat medis. SELALU konsultasikan pada dokter Anda.
Tanda-Tanda & Gejala

Apa saja tanda-tanda dan gejala rheumatoid arthritis (RA)?

Gejala paling khas dari rheumatoid arthritis adalah nyeri sendi dan kekakuan sendi yang biasanya
memburuk di pagi hari setelah bangun tidur atau duduk terlalu lama. Sendi yang terkena dapat
memerah, bengkak, dan terasa hangat ketika disentuh.

Gejala lain rheumatoid arthritis adalah mata gatal atau perih, lemas, lesu, tidak bertenaga, nafsu makan
menurun drastis, dan demam.
Kemungkinan ada tanda-tanda dan gejala rematik yang tidak disebutkan di atas. Bila Anda memiliki
kekhawatiran akan sebuah gejala rematik tertentu, konsultasikanlah dengan dokter Anda.

Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita RA akan menjadi kronis dengan gelaja yang hilang timbul,
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan karena penyakit ini
memiliki gambaran klinis yang bervariasi.

1.Gejala-gxejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam.

2.Area peradangan atau area nyeri terjadi pembengkakan, warna kemerahan, terasa hangat,
dan bila ditekan tersa lunak dan disertai rasa sakit.

3.Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi ditangan, namun
biasanya tidak melibatkan sendi- sendi interfalangs distal.

7.Kekakuan dipagi hari selama lebih dari 1 jam.

8.Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.

9.Deformitas : kerusakan dari struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.

10.Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar 1/3 orang
dewasa.

Kapan saya harus periksa ke dokter?

Jika Anda memiliki tanda-tanda atau gejala-gejala di atas atau pertanyaan lainnya, jangan ragu untuk
berkonsultasi ke dokter. Ingat, tubuh masing-masing orang berbeda. Bisa jadi apa yang Anda rasakan
berbeda dengan yang dialami orang lain yang terkena RA. Jadi, selalu konsultasikan ke dokter untuk
menangani kondisi kesehatan Anda.
Pemeriksaan Penunjang

LAB

a.Sekitar 85% pasien artritis reumatoid memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal
sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M (IgM) yang beraksi
terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG).

b.Laju endap darah (LED) eritrosit pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100
mm/jam atau lebih tinggi lagi).

c.Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita dengan artritis rematoid

d.Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi. Cairan sinovial biasanya
keruh, dengan kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi
glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal.

e.Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit PMN

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

a.CT Scan

CT scan berguna dalam memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di
tangan yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi foto polos dan MRI, juga digunakan
sebatas untuk mengindikasikan letak destruksi tulang.
b.Ultrasonografi (USG)

dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan untuk
mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai
cairan yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat
sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik.

c.MRI (Magnetic Resonance Imaging)

menyediakan gambaran yang baik dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan
lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang

Obat & Pengobatan (Tata Laksana)

FARMAKOLOGI

Cara terbaik untuk mengobati rheumatoid arthritis adalah dengan menggunakan obat-obatan, terapi,
olahraga, serta edukasi guna menghindari aktivitas fisik yang dapat memicu nyeri sendi,

Obat NSAID, seperti naproxen dan ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan bengkak jika
rematik Anda kambuh. Dokter juga dapat memberikan obat disease-modifying antirheumatic drugs
(DMARDs). Obat ini dapat memperlambat perkembangan RA dan menyelamatkan sendi dan jaringan
lain dari kerusakan permanen. DMARD yang sering diberikan oleh dokter yaitu methotrexate (trexall),
leflunomide (Arava), hydroxychloroquine (plaquenil) dan sulfasalazine (Azulfidine).

Jika diperlukan, dokter mungkin akan menganjurkan Anda untuk melakukan terapi fisik dan olahraga
khusus guna mengurangi gejala rematik. Beberapa terapi yang mungkin disarankan dokter seperti
berendam dengan air panas, menggunakan lampu pemanas, kompresan panas, dan terapi whirlpool.

Dalam kasus yang parah, dokter bisa menganjurkan pasien untuk melakukan prosedur operasi. Operasi
pengobatan rematik mungkin akan melibatkan pembedahan. Pembedahan dapat dibagi ke dalam
beberapa prosedur berikut ini:

 Total joint replacement. Saat operasi, dokter bedah akan mengangkat bagian sendi yang rusak dan
memasukkan alat buatan dari metal dan plastik.
 Tendon repair. Sendi yang mengalami peradangan dan kerusakan dapat menyebabkan tendon di
sekitar sendi Anda melonggar atau sobek. Dokter bedah dapat memperbaiki tendon di sekitar sendi
Anda.
 Fusi sendi. Operasi penyatuan sendi dianjurkan untuk menstabilkan sendi atau meluruskannya
kembali. Akan tetapi, metode ini hanya digunakan apabila kedua metode lainnya tidak dapat
dilakukan.

Mungkin ada metode pengobatan lainnya yang bisa dilakukan dokter untuk mengatasi rematik. Silakan
tanyakan pada dokter untuk informasi lebih lanjut.
NON FARMAKOLOGI

Beberapa perubahan gaya hidup dan pengobatan yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi rheumatoid
arthritis adalah:

 Minum obat sesuai anjuran dokter.


 Kurangi berat badan jika berat badan Anda berlebih.
 Perhatikan asupan makanan Anda. Perbanyak makan buah sayur dan hindari berbagai jenis
makanan yang tinggi lemak dan gula.
 Hindari stres. Lakukan berbagai hal yang Anda sukai seperti membaca buku atau mendengarkan
musik untuk menghindari stres.
 Olahraga teratur. Namun, tanyakan pada dokter terkait olahraga yang sesuai dengan kondisi Anda.
 Segera hubungi dokter jika Anda mengalami nyeri sendi disertai demam yang tak kunjung membaik
meski sudah minum obat.
 Hindari minum alkohol selama Anda menjalani terapi pengobatan.

Manajemen Diet

1.Penderita AR diharapkan untuk mengkonsumsi makanan bervariasi terdiri dari kombinasi


daging ternak, ikan, banyak buah dan sayuran segar (5 porsi per hari), kacang-kacangan dan
sedapat mungkin menggunakan minyak zaitun

2.Konsumsi makanan kaya akan omega 3 (seperti ikan sarden, salmon dan tuna.)

3.Konsumsi kaya akan zat besi (daging merah, telur, sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan,
buncis. )

4.Makan makanan kaya akan kalsium (susu, keju, yogurt dan produk susu lainnya, sayur-
sayuran hijau, almond, ikan seperti sarden dan teri. Sebaiknya dipilih jenis susu yang memiliki
kandungan lemak yang lebih rendah seperti skimmed milk atau semi skimmed milk, )

5.Suplemen mineral dan multivitamin

6.Suplemen minyak ikan

7.Kenali makanan yang membuat serangan bertambah


Bila ada pertanyaan, konsultasikanlah dengan dokter untuk solusi terbaik masalah Anda.
II. GOUT
Definisi

Gout merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan metabolisme purin yang ditandai dengan
hiperurikemi berulang dan terjadinya penimbunan kristal urat mohonidrat monosodium pada sendi dan
jaringan lunak.

Kadar Urat Tinggi: <7,0 ml/dl untuk pria dan 6,0ml/dl untuk wanita
Epidemiologi

- Artritis gout menyebar secara merata di seluruh dunia dengan prevalensi bervariasi yang
kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan, diet dan genetik (Rotschild,2013).
- Di indonesia sendiria jumlah kejadian artritis gout belum jelas karena data yang masih sedikit.

Etiologi

- Etiologi artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi, obesitas, konsumsi purin dan
alkohol.
- Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada wanita sehingga resiko terserang
artritis gout lebih tinggi (weaver, 2008)
- Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopoad karena penurunan level
esterogen yang berefek urikosurik (roddy dan Doherty, 2010)
- Pertambahan usia juga merupakan faktor resiko yang kemungkinan dapat disebabkan seperti
peningkatan asam urat serum (penurunan fungsi ginjal), peningkatan peningkatan obat diuretik,
dan obat lain yang dapat meningkatkan kadar asam urat serum (Doherty, 2009)
- Obat diuretik merupakan faktor resiko karena menyebabkan peningkatan reabsorpsi asam urat
dalam ginjal -> hiperurikemi
- Alkohol -. Mempercepat prose pemecahan adenosin tifosfat dan produksi asam urat

Klasifikasi

Menurut Penyebabnya:

1. Gout Primer
disebabkan oleh 2 hal: produksi asam urat berlebih, sekresi asam urat menurun

2. Gout Sekunder
Disebabkan karena hiperurikemia karena adanya kelainan berkepanjangan (e.g
myeloproliferative diseases- produksi sel darah putih dan trombosit yang berlebihan pada
sumsum tulang, penggunaan diuretik atau renal failure)

Gambaran Klinis

Gambaran klinis artritis gout terdiri dari:

1. Artritis Gout Asimptomatik


- Timbul sangat cepat dan dalam waktu yang singkat
- Biasanya mucnul pada saat bangun pagi dan tidak dapat berjalan
- KU: nyeri, bengkak, terasa hangat, gejala sistemik berupa demam, mengigil, dan merasa lelah
2. Artritis Gout Akut
- Ditandai nyeri pada sendi yang berat dan bersifat monoartikular
- Pada 50% serangan pertama terjadi pada metatrsophalangeal
- Lama kelamaan bersifat poliartikular dan menyerang ankles, knee, wrist
- Bila tidak diobati terjadi rekuren yang multiple dengan interval serangan yang singkat
- Pencetus trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, pemakaian obat diuretik,
peningkatan asam urat
3. Interkritikal Gout
- Ditemukkan kristal urat pada aspirasi sendi
- Jika tidak diobati dapat timbul serangan akut pada beberapa sendi dengan frekuensi yang lebih
sering dan lebih berat
- Serangan dapat berhenti dan terjadi jeda, selama waktu ini deposit asam urat akan meningkat
secara silent
4. Gout dengan Tofus
- Tofus: benjolan keras yang berisis serbuk seperti kapur-> deposit kristal monosodium urat
- Mengakibatkan kerusakan pd sendi dan tulang sekitar
- Kadang disertai batu pada saluran kemih
- Terjadi pada Artritis Gout menahun

Diagnosis

• Terdapat kristal adam urat pada sediaan urin scr mikroskopik

• Pada ginjal asam urat tampak seperti titik-titik putih pada korteks, alur garis pada medulla, serta
kanalukuli kecil pada kalises -> imflamasi, hialinisasi, fibrosis pada glomerulus

• Joint fluid test: Uric acid >>


Patofisiologi
Tata Laksana

• NSAID, antiinflamasi dan analgesik


Indometasin 150-200 mg/d 2-3hari, dilanjutkan 75-100 mg/d pd minggu berikutnya

• Allopurinol, hambat xanthine oxidase-> pengurangan produksi asam urat

• Kolkiksin mengganggu migrasi dan fungsi leukosit -> mengurangi imflamasi dan rasa nyeri serta
pembengkakan

• Probenesid & Sulfonilpirazon, meningkatkan sekresi asam urat pada urin

• Pengurangan diet makanan tinggi purin: daging, jeroan, alkohol

• Konsumsi tanaman herbal -> daun salam, sirsak, sidaguri, apel


III. OSTEOPOROSIS

a. Definisi
1. Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang yang ditandai oleh
menurunnya massa tulang, oleh karena berkurangnya matriks dan mineral
tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, dengan
akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi kecenderungan tulang
mudah patah. (WHO dan Mundy GR:Bone Remodelling and its Disorders:1995)
2. Osteoporosis adalah kondisi berkurangnya massa tulang dan gangguan struktur
tulang (perubahan mikroarsitektur jaringan tulang) sehingga menyebabkan
tulang menjadi mudah patah.(Duque and Troen,2006, Hughes 2006)

b. Etiologi dan Faktor Predisposisi


1. Usia (lansia lebih sering dijumpai)
2. Jenis Kelamin (pada perempuan lebih rawan)
3. Kurang asupan gizi (Kalsium, fosfat, vitamin D, Protein)
4. Obat-obatan (khususnya kortikosteroid), rokok, minuman alkohol
5. Kurang aktivitas fisik mekanika tulang (memengaruhi pembentukan vitamin D
dan rangsangan pembentukan osteoblas)
6. Kurang terpapar sinar matahari (menghalangi konversi 1,25 dihidroksicalciferol
menjadi vitamin D)
7. Kelainan metabolisme tulang (hormon dan genetik)
c. Epidemiologi
1. Osteoporosis dapat dijumpai di seluruh dunia
2. Di Amerika Serikat, osteoporosis menyerang 20-25 juta penduduk, 1 diantara 2-3
wanita post-menopause dan lebih dari 500/0 penduduk di atas umur 75-80
tahun
3. Densitas tulang orang Eropa dan Asia lebih rendah sehinggah mudah terkena
(WHO)
4. Menurut Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (2007) penduduk yang berusia di
atas 50 tahun adalah 32,30/0 pada wanita dan 28,80/0 pada pria
5. Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS, 2010) menunjukkan angka insiden
patah tulang paha atas akibat Osteoporosis adalah sekitar 200 dari 100.000
kasus pada usia 40 tahun

d. Gejala Klinis
1. Nyeri pada tulang dan otot, terutama sering terjadi pada punggung
2. Patah tulang
3. Tulang punggung semakin membungkuk
4. Menurunnya tinggi badan
5. Tulang belakang, panggul, dan pergelangan tangan paling rawan terkena
Osteoporosis

e. Klasifikasi
1. Osteoporosis Primer, terbagi menjadi:
 Tipe I (Postmenopausal)
Terjadi erat karena gangguan hormon estrogen dan keadaan menopause
 Tipe II (senile)
Akibat kekurangan kalsium dan sel-sel perangsang pembentuk vitamin D
2. Osteoporosis Sekunder
 Akibat kelainan hormon, obat-obatan, gaya hidup buruk (merokok dan minum
alkohol)
3. Osteoporosis Tidak Diketahui Penyebabnya (juvenil, adolesen)
f. Patogenesis
Tipe I

Hormon estrogen pada sel-sel tulang memiliki peran dalam menurunkan


berbagai sitokin yang bekerja meningkatkan diferensiasi dan maturasi osteoklas seperti
IL-1, IL-6, TNF α dan M-CSF yang dihasilkan oleh bone marrow stromal cells dan sel
mononuklear, merangsang osteoblas untuk menurunkan pelepasan TGF β dan juga
bekerja langsung pada osteoklas untuk meningkatkan kerjanya. Wanita post menopause
mengalami penurunan kadar estrogen sehingga kerja osteoklas meningkat baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi peningkatan resorpsi tulang.
Penurunan kadar hormon estrogen juga berpengaruh pada absorbsi kalsium di
usus dan reabsorbsi kalsium di ginjal, di mana keduanya mengalami penurunan. Hal ini
mengakibatkan kadar kalsium di dalam darah sedikit atau biasa kita sebut dengan
keadaan hipokalsemia. Hipokalsemia menstimulus pelepasan hormon paratiroid yang
kerjanya meningkatkan resorpsi tulang guna meningkatkan kadar kalsium dalam darah.
Proses seperti ini lama kelamaan menyebabkan osteoporosis pada wanita post
menopause.
Tipe II

g. Diagnosis
-Penentuan massa tulang secara radiologis (B0ne Mineral Density) seperti:
a. DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry)
b. SXA (Single Energy X-ray Absorptiometry)
c. QUS (Quantitative Ultrasound)
d. QCT (Quantitative Computed Tomography)
e. DPA (Dual Photon Absorptiometry)
f. SPA (Single Photon Absorptiometry)
g. RA (Radiographic Absorptiometry)
-Pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi untuk bone turnover,
terutama mengukur produk pemecahan kolagen tulang oleh osteoklas

h. Diagnosis Banding
1. Osteomalasia
2. Multiple myeloma
3. Paget’s Disease
4. Faktur kompresi pada badan vertebra
5. Hiperparatiroidisme
i. Tata Laksana
 Farmakologi
-Pemberian antiresorpsi seperti:

1. Estrogen
o Estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari
o 17-estradiol oral 1 – 2mg/ hari
o 17-estradiol perkutan 1,5 mg/hari
o 17-estradiol subkutan 25 – 50 mg setiap 6 bulan
o Kombinasi estrogen dengan progesteron untuk mengurangi risiko kanker
2. Bifosfonat peroral
3. Kalsitonin
-Pemberian asupan Vitamin D ,kalsium, fosfor tambahan

 Non-Farmakologi
1. Latihan Pembebanan
2. Olahraga ringan
3. Menurunkan BB
4. Minum susu
5. Tidak memaksa kerja keras tubuh
6. Memperbaiki gaya hidup (berhenti merokok, minum alkohol, kurangi
kafein)

MAKALAH KASUS TUTORIAL BLOK DMS


KASUS 7

LIPOMA

Disusun oleh Kelompok Tutorial A3:

Muhammad Hashfi Nazhari (1810211115)

Gefbar Faikar Aqbil (1810211067)

Muhammad Isran Aqsa N (1810211005)

Rajwa Zahra Mardhiyyah (1810211065)

Rahmah Salsah Hudriyah (1810211099)

Gracella Faustine (1810211117)

Sarah Veronika Sianipar (1810211131)

Alfrida Kurnia Ardhanti (1810211138)

Yuni Fajriati (1810211012)

Asih Liasari (1810211120)

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

Tahun Ajaran 2018/2019

Lipoma
A lipoma is a benign (noncancerous) tumor made up of fat tissue. The typical lipoma is a
small, soft, rubbery lump located just beneath the skin. They are usually painless and
are most often found on the upper back, shoulders, arms, buttocks, and upper thighs.
Less commonly, these tumors can be found in deeper tissue of the thigh, shoulder, or
calf.

Although lipomas can occur at any age, they most often appear between the ages of 40
and 60 years. They are the most common soft tissue tumor found in adults, and occur
slightly more often in men than in women. It is possible to have more than one lipoma.

Lipomas do not typically change after they form, and have very little potential for
becoming cancerous. They often require no treatment other than observation by you
and your doctor. However, if a lipoma is painful or continues to grow larger, it can be
removed with a surgical procedure.

Although many lipomas require no treatment, surgical removal may be recommended for large
or painful ones.
Reproduced from Evers B, Klammer HL: Tumors and tumorlike lesions of the hand: Analysis of 424
surgically treated cases. J Am Acad Orthop Surg 1997; 1(1): pp. 34-43.
Types of Lipoma
While all lipomas are made up of fat, there are subtypes based on the way they appear
under the microscope. Some varieties include:
 Conventional lipoma (common, mature white fat)
 Hibernoma (brown fat instead of the usual white fat)
 Fibrolipoma (fat plus fibrous tissue)
 Angiolipoma (fat plus a large amount of blood vessels)
 Myelolipoma (fat plus tissue that makes blood cells)
 Spindle cell lipoma (fat with cells that look like rods)
 Pleomorphic lipoma (fat with cells of all different shapes and sizes)
 Atypical lipoma (deeper fat with a larger number of cells)
Related Articles

TREATMENT

X-rays, CT Scans and MRIs

STAYING HEALTHY

Effects of Aging

STAYING HEALTHY

Healthy Bones at Every Age

Cause
The cause of lipomas is not completely understood. Some subtypes appear to have a
genetic defect (conventional lipomas, spindle cell lipomas, pleomorphic lipomas), and
may be inherited from family members.
There has been no proven connection between the development of lipomas and any
particular occupation or exposure to chemicals or radiation. Some doctors think that
lipomas occur more often in inactive people.

Symptoms
Lipomas are usually roundish masses that feel soft and rubbery. The lipomas just under
the skin can be moved with gentle pushing. Lipomas do not typically hurt, although
some of the subtypes can be painful, such as angiolipoma.

It often takes longer to notice lipomas that are in deeper tissue, and these tumors can be
quite large when they are actually discovered. Deeper lipomas also tend to be less
mobile.

To Top

Doctor Examination
Medical History and Physical Examination
Before a physical examination, your doctor will talk with you about your general health,
as well as your current condition. He or she will want to get a good history of the
problem from your perspective, particularly how long the mass has been there and what
symptoms—such as pain—are associated with it.

During the physical examination, your doctor will feel the mass, checking its size and
consistency, as well as its mobility. He or she will also examine the skin overlying the
mass, looking for any changes.

Tests
Although doctors can usually diagnose lipomas based on history and physical
examination alone, imaging tests can be helpful for some cases.

X-rays. Although these tests create clear pictures of dense structures like bone, plain x-
rays can show a prominent shadow caused by a soft tissue tumor, such as a lipoma.

Computerized tomography (CT) scans. These scans are more detailed than x-rays and
will often show a fatty mass to confirm the diagnosis of lipoma.

Magnetic resonance imaging (MRI) scans. The best information for diagnosing lipomas
comes from an MRI scan, which can create better images of soft tissues like a lipoma.
MRI scanning will show a fatty mass from all perspectives. Oftentimes, doctors can
make the diagnosis of lipoma based on MRI imaging alone, and a biopsy is not required.
(Left) An MRI scan of the elbow clearly shows the lipoma. (Right) The location of the lipoma
in the adjacent MRI.
Biopsy. A biopsy is sometimes necessary to confirm the diagnosis of lipoma. In a biopsy,
a tissue sample of the tumor is taken and examined under a microscope. Your doctor
may give you a local anesthetic to numb the area and take a sample using a needle.
Biopsies can also be performed as a small operation.

In most lipoma cases, a biopsy is not necessary to confirm the diagnosis. After the
lipoma is removed, a biopsy will be done on a sample of the tissue.

Under a microscope, lipomas often have a classic appearance with abundant mature fat
cells. Sometimes there can be a small amount of other cell types, too, such as cartilage or
bone.

Liposarcoma. During the diagnosis phase, your doctor will work to differentiate a


lipoma from a more aggressive form of fatty tumor called liposarcoma. Liposarcomas
are cancerous. The symptoms of liposarcoma vary from those of lipoma. Liposarcomas
typically grow quickly, are often painful, and are not as moveable as lipomas.

People with lipomas are not more likely to develop a fatty cancer in the future. The
exception is people with atypical lipomas. This lipoma subtype can turn into a
liposarcoma, but this is rare.
Treatment
Observation
Because lipomas are benign tumors, no treatment may be an option, depending on your
symptoms. If you choose no treatment, it is very important that you see your doctor for
regular visits to monitor any changes in the tumor.
Excision (Removal)
The only treatment that will completely remove a lipoma is a surgical procedure called
excision.

Procedure. In this procedure, a local anesthetic is typically injected around the tumor to
numb the area. Large lipomas or those that are deep may require regional anesthesia or
general anesthesia. Regional anesthesia numbs a large area by injecting numbing
medicine into specific nerves. General anesthesia puts you to sleep.

After the anesthesia is given, your doctor will make an incision in your skin and cut the
tumor out.

(Left) Clinical photo shows a patient with a large lipoma in his shoulder. (Right) The tumor is a
large mass of yellowish fat tissue. Here it has been dissected out of the arm just before it is
removed by the surgeon.
Recovery. You should be able to go home soon after the procedure if it is a small or
superficial mass. You will have a few stitches, which your doctor will remove within a
couple of weeks.
How long it takes you to return to most daily activities will depend on the size and
location of your lipoma. If you have any pain or discomfort, you may want to limit some
activity. Your doctor will provide you with specific instructions to guide your recovery.

Recurrence. Lipomas are almost always cured by simple excision. It is unusual for a


lipoma to grow back but, if it does recur, excision is again the best treatment option.

Research
There is ongoing research to learn more about the various subtypes of lipomas and why
they form in the first place. In the future, there may be specific treatment
recommendations for various lipoma subtypes.
KISTA GANGLION

Definisi
Ganglion merupakan kista yang berisi cairan bening kental dengan dinding tipis yang berasal dari
tonjolan selaput sarung tendon (tendon sheath). Pada banyak kasus, ganglion asimptomatik dan
jarang menimbulkan gangguan fungsional. Walaupun pada beberapa kasus, ganglion dapat
mempengaruhi struktur di dekatnya seperti arteri, vena, tendon dan syaraf. Frekuensi timbulnya
ganglion secara umum adalah 50-70 % dari semua soft-tissue tumors yang terdapat pada lengan
dan tangan. Prevalensinya pada wanita adalah 3 kali lebih sering. Paling sering muncul pada
pergelangan tangan (80%) dan sendi jari. Biasanya muncul pada usia 20-60 tahun.

Etiologi
Etiologi dari ganglion tidak diketahui. Teori-teori menyebutkan degenerasi mukoid dan trauma.
Beberapa pasien (kurang dari 10 %) mengalami trauma minor ataupun mayor pada daerah yang
menjadi tempat ganglion timbul. Tidak diketahui faktor resiko yang menyebabkannya. Dipercaya
disebabkan oleh penggunaan sendi secara berlebihan seperti atlet angkat berat, pramusaji, dan
pemain musik (terutama pemain bass).

Patofisiologi
Hipocrates mendeskripsikan ganglion sebagai “Knots of tissue containing mucoid flesh” atas dasar
ini, beberapa hipotesa pun muncul diantaranya : Synovial Herniation atau ruptur yang melewati
lapisan tendon.
Yang terbaru, teori degenerasi mukoid yang dipublikasikan oleh Ledderhose pada tahun

1893, yang paling banyak diterima. Dalam Green edisi terbaru “Operative Hand Surgery” teori ini
digantikan dengan teori yang berdasarkan mikro trauma dan produksi asam hialuronik. Trauma
atau iritasi jaringan lokal akan menyebabkan produksi asam hialuronik pada permukaan synovial-
capsular. Asam hialuronik menciptakan cekungan musin kecil yang bergabung ke dalam kista
subkutan. Kista yang terbentuk mengandung cairan yang sama seperti cairan sendi. Kista ganglion
bukan merupakan kantung sinovial (sendi) yang keluar dari kapsul sendi.
Klinis
Ganglion adalah tumor yang terdapat berbatasan dengan sendi dan tendon. Tempat paling sering
dari ganglion adalah sisi punggung dari pergelangan tangan dekat Scapholunate (SL) joint (60-
70%), Volar Wrist dekat sendi radioscaphoid atau sendi pisotriquetral (18-20%), dan Volar
Retinaculum (10-12%). Kista mucoid terjadi di atas punggung jari pada level sendi DIP. Sisi lainnya
termasuk sendi carpometacarpal (CMC), tendon ekstensor (sering diasosiasikan dengan first dorsal
compartment), carpal tunnel, dan Guyon kanal. Ganglion mungkin muncul juga dari tulang; yang
ini sering disebut kista ganglion intraosseous. Ganglion biasanya simptomatik minimal. Bergantung
dari lokasi kista, gejala yang muncul bervariasi, seperti nyeri tumpul, perubahan ukuran, drainase
spontan, disfungsi saraf sensoris.

Perhatikan posisi anatomis ganglion


Lokasi-lokasi tersering timbulnya ganglion di tangan

Pemeriksaan Penunjang
Untuk lesi pada pergelangan tangan, digunakan rontgen standar posteroanterior (PA), lateral dan
oblik.
MRI atau USG dapat digunakan ketika diagnosa masih belum jelas.

1. Kista mukus dievaluasi dengan standar PA, lateral dan radiograf oblik tegak pada jari-jari yang
terkena.
2. Pada radiologi, ganglion interosseous mungkin di lokasi sentral atau sisi tulang yang terkena.
Radiologi juga dapat menggambarkan ganglion juxtaosseous yang menembus tulang. Lesinya
adalah radiolusen dengan border sklerotik. Ganglion ini sering terjadi dekat permukaan sendi.
3. MRI digunakan untuk melihat ganglion yang tidak terlihat dengan radiologi konvensional.
4. Axial, Coronal, atau Sagital CT-Scan digunakan untuk melihat kista ganglion yang samarasamar.
5. Bone Scan dipakai untuk menentukan apakah suatu masa intraosseous merupakan metabolik aktif
dan menyebabkan nyeri.

Histologi
Cairan yang diambil dari kista ganglion terdiri dari mucin yang mengandung glucosamin, albumin,
globulin, dan asam hialuronik.

Terapi
1. Konservatif

1. Splint Immobilization (ganglion pergelangan tangan)


2. NSAIDs
2. Operatif

1. Pengambilan massa dengan teknik operasi terbuka.


2. Reseksi arthroskopik
3. Mengeluarkan cairan ganglion dengan menggunakan needle dan syringe (aspirasi). Teknik operasi
1. Bersihkan daerah operasi (daerah kulit diatas kista) dengan tindakan aseptik.
2. Lakukan anestesi lokal (blok/infiltrate) dengan lidocaine 2%
3. Tandai batas insisi yang akan dilakukan, linier, dengan panjang sejajar dengan garis Langers
4. Insisi kulit sampai subkutis.
5. Pegang ujung insisi dengan klem dan angkat
6. Lakukan diseksi tumpul dengan klem menelusuri masa dan sekelilingnya
7. Usahakan agar kista tidak pecah
8. Jika tiap bagian pinggir sudah dapat dibebaskan, klem bagian dasar masa dengan dua buah klem
sejajar
9. Potonglah antara 2 klem
10. Jangan sampai tendon rusak
11. Perdarahan dirawat
12. Jahit luka operasi lapis demi lapis.
13. Masa dilihat isinya kemudian dikirim ke patologi anatomi.

Insisi “S” memanjang, dilanjutkan diseksi tumpul dengan klem

Diseksi tajam dengan gunting, hati-hati mengenai masa kista


Setelah dasar kista teridentifikasi, klem, jangan sampai tendon terpotong

Ikat bagian dasar dengan PGA, jahit subkutis.

Tutup kutis dengan nylon 4-0

sumber: http://bedahminor.com/index.php/main/show_page/229

Anda mungkin juga menyukai