Anda di halaman 1dari 7

Nama : Rifka Destia Rimadania

NIM : 205090700111007
Kelompok :2

Jurnal 1
Modelling of semarang fault zone using gravity method
Semarang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki struktur geologi yang
dapat dibilang sangat rumit. Hal ini disebabkan oleh Semarang yang berada di antara struktur
regional daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satunya adalah keberadaan sesar, baik
itu sesar normal, sesar geser, maupun sesar naik. Dalam kasus ini, metode gravity digunakan
untuk mendeskripsikan kondisi bawah permukaan berdasarkan nilai densitas batuan bawah
permukaan di aerah penelitian. Keberadaan patahan di Semarang perlu dimodelkan agar
parameter fisis dari patahan, seperti kedalaman patahan, lebar daerah patahan, dan tipe
patahan dapat diketahui. Dengan demikian, zona rentan potensi bencana, seperti longsor,
dapat diketahui.
Penelitian dilakukan pada 2 sampai 15 Agustus 2007 di Semarang dengan titik akuisisi
berjumlah 152 titik. Dalam penelitian ini, GPS Trimble 4600 LS digunakan sebagai alat ukur
ketinggian dan koordinat titik-titik akuisisi agar titik-titik tersebut nantinya dapat dipetakan
seperti pada gambar 1. Sedangkan medan gravitasi diukur menggunakan Lacoste Romberg
gravitimeter G1118 MVR.

Gambar 1 Peta titik-titik akuisisi

Berdasarkan peta geologi daerah penelitian, formasi batuan yang ada di daerah tersebut
meliputi, formasi kretek (Tmk), formasi kalibeng (Tmpk), formasi kaligetas (Qpkg), formasi
damar (Qtd), dan endapan aluvium (Qa).
Hasil dari penelitian ini berupa peta CBA dengan nilai anomali dari -4,145 mGal sampai
21,922 mGal yang ditunjukkan oleh warna hijau. Dari gambar peta CBA di bawah, dapat
dilihat nilai anomali bouger lengkap daerah yang ditunjukkan oleh warna hijau sapai biru
adalah zona anomali rendah.

Gambar 2 Peta CBA


Kemudian, dilakukan pemisahan anomali menggunakan upward continuation yang
menghasilkan nilai anomali regional dari 6,467 mGal sampai 12,047 mGal serta anomali
residual yang bernilai -11,710 mGal sampai 10,960 mGal.

Gambar 3 Peta anomali regional


Gambar 4 Peta anomali residual

Selanjutnya, dibuat peta FHG (First Horizontal Gradient) dimana nilai FHG maksimum
menunjukkan keberadaan batas kontak litologi batuan atau patahan. Distribusi nilai FHG
berada dalam kisaran -0,012 sampai 0,012 mGal.

Gambar 5 Peta FHG

Peta FHG kemudian di-overlay dengan peta geologi regional. Dari hasil overlay, dilihat nilai
anomali tertinggi mengindikasikan keberadaan kontak litologi berupa formasi damar dan
endapan aluvium yang berada di utara daerah penelitian.

Gambar 6 Overlay peta FHG ke peta geologi regional


Dilakukan inversi 3D yang menghasilkan kontras densitas batuan secara lateral maupun
vertikal terhadap kedalaman. Kedalaman yang diperoleh diperkirakan mencapau 4102 meter
di bawah permukaan.

Gambar 7 Model 3D bawah permukaan

Dari model 3D di atas, dilakukan cross section terhadap kedalaman dengan membaginya
menjadi empat lapisan, yaitu lapisan pada kedalaman 1000 meter, 2000 meter, 3000 meter,
dan 4000 meter.

Gambar 8 Hasil dari irisan kedalaman model 3D

Hasil yang diperoleh dari gambar di atas, yaitu masing-masing sayatan menunjukkan
keberadaan zona rentan yang menjadi pemisah anomali. Pada kedalaman 1000-2000 meter,
zona rentan belum terlalu terlihat, namun ketika di kedalaman 3000-4000 meter zona tersebut
sudah mulai terlihat dan sudah dapat mengindikasikan keberadaan patahan. Zona rentan ini
memiliki nilai densitas dari -1,08 sampai -0,7 g/cm 3 dengan batuan penyusunnya adalah
breksi dan batuan vulkanik. Sedangkan daerah dengan kontras densitas tinggi berada di
rentang -0,01 sampai 0,79 g/cm3 yang dirandai oleh keberadaan batupasir dan batulempung.
Daerah penelitian di bagian barat daya melewati patahan kaligarang. Kaligarang pada
pemodelan 3D ditunjukkan oleh warna biru sampai hijau dengan kedalaman 2500 m. Dari
pemodelan tersebut juga diketahui zona patahan di Semarang dimulai dari kedalaman 1000 m
sampai lebih dari 4000 m.
(Nurwidyanto et al., 2019)
Jurnal 2
Identification of Magnetic Anomaly at Geothermal Subsurface Area PLTP Sarulla
Unit I Pahae Jae, North Sumatera, Indonesia
Kenaikan populasi penduduk Indonesia menyebabkan Indonesia membutuhkan sumber
energi baru untuk bidang industri yang ikut meningkat. Saat ini, pemanfaatan energi
terbarukan dan ramah lingkurang menjadi sangat penting karena dapat mengurangi
penurunan konsumsi oil dan gas di Indonesia. Salah satu potensial energi yang dapat
dimanfaatkan sebagai energi alternatif adalah energi geothermal yang berasal dari panas
bumi. Pulau Sumatera merupakan salah satu provinsi dengan potensial geothermal yang
mencapai 1857 MW yang terletak di enam daerah, yaitu Karo, Simalungun, Tapanuli Utara,
Tapanuli Selatan, Padang Lawas, dan Mandailing Natal. Salah satu sumber energi geothermal
yang sedang dikembangkan saar ini terletak di Tapanuli Utara, tepatnya di Desa Silangkitang
dan Desa Manora. Dalam eksplorasi distribusi daerah geothermal dan penentuan anomainya
digunakan metode magnetuk. Metode ini memanfaatkan karakteristik magnetik bumi. alat
yang digunakan untuk akuisisi data magnetik pada penelitian ini adalah PPM tipe Elsec 770
dan GPS sebagai pnentuan posisi atau koordinat titik pengukuran, dan kompas geologi
sebagai penentuan arah utara.
Hasil dari penelitian ini adalah nilai anomali magnetik dalam 2D dan 3D, dengan pola
anomali sebagai berikut.

Gambar 9 Anomali magnetik 2D dan 3D

Variasi intensitas magnetik terlihat pada variasi warna pada peta anomali. Variasi nilai
itensitas magnetik tersebut berada di antara 30 nT sampai maksimal lebih dari 145 nT. Nilai
anomali magnetik ni dapat dibagi menjadi tiga, yaitu anomali magnetik rendah dengan nilai
intensitas magnetiknya bernilai 30-65 NT, daerah dengan anomali sedang nilai intersitasnys
sebesar 60-110 nT, dan anomali tinggi intensitasnya senilai lebih dari 115 nT.
Selain itu, diperoleh juga peta berdasarkan nilai suseptibilitas sebagai berikut.
Gambar 10 Peta suseptibilitas 2D dan 3D

Dari penghitungan nilai suseptibilitas di atas, diperoleh rentang nilai suseptibilitas dari yang
terendah ke tertinggi sebesar 0,178617332 x 103 sampai 0,751016484 x 103. Nilai
suseptibilitas ini nantinya akan digunakan untuk mengetahui tipe batuan di bawah permukaan
lokasi penelitian.
Pemodelan terhadap struktur bawah permukaan menggunakan Mag2DC juga dilakukan
dengan memasukkan nilai korek IGRF, inklinasi, deklinasi, dan beberapa parameter
modelling lainnya.

Gambar 11 Model sayatan magnetik

Dari pemodelan di atas diperoleh nilai k pada lapisan paling atas sebesar 0,0035 x 103 SI,
0,0059 x 103 SI, 0,0061 x 103 SI, dengan ketinggian antara 5-40 meter. Lapisan ini
didefinisikan sebagai lapisan tipe piroklastik yang terdiri dari batuan sedimen yang berasal
dari erupsi vulkanik. Kemudian, lapisan kedua memiliki nilai k sebesar 0,0277 x 103 SI,,
0,0241 x 103 SI dengan ketinggian 8-85 meter dengan geologinya berupa batuan lava andesit
yang merupakan produk erupsi. Lapisan ini terdiri dari zona penudung batuan yang
digunakan sebagai pelindung sumber geothermal. Terakhir, lapisan ketiga yang nilai k-nya
sebesar 0,2437 x 103 SI dengan kedalaman 65-90 meter yang diidentifikasi sebagai batuan
basalt.
Berdasarkan nilai suseptibilitas magnetik oleh Telford, maka nilai suseptibilitas berada di
antara 0,0100-0,0500. Dari data, nilai suseptibilitas yang diperoleh sebesar 0,0200-0,0400
sehingga sapat digolongkan sebagai andesit.
(Tampubolon et al., 2018)
Daftar Pustaka
Nurwidyanto, M. I., Yulianto, T., & Widada, S. (2019). Modeling of semarang fault zone
using gravity method. Journal of Physics: Conference Series, 1217(1).
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1217/1/012031
Tampubolon, T., Juliani, R., Hutahean, J., & Widiyanti, S. (2018). Identification of Magnetic
Anomaly at Geothermal Subsurface Area PLTP Sarulla Unit i Pahae Jae, North
Sumatera, Indonesia. Journal of Physics: Conference Series, 1120(1).
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1120/1/012045

Anda mungkin juga menyukai