Anda di halaman 1dari 35

USULAN PENELITIAN

PEMBERIAN VITAMIN C PADA FRAKTUR FEMUR TIKUS


YANG TERPAPAR ALKOHOL MENUNJUKKAN
PENYEMBUHAN FRAKTUR YANG LEBIH BAIK
DIBANDINGKAN TANPA PEMBERIAN VITAMIN C

PUTU MEGA WIYASTHA

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR

2015

1
2

Lembar Persetujuan Pembimbing

PROPOSAL TESIS INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL

Pembimbing I, Pembimbing II

Prof. DR. dr. I Ketut Siki kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K) dr. K.G.Mulyadi Ridia, Sp.OT(K.Spine)

NIP: 194809091979031002 NIP: 196002011986101001

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Spesialis I


Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi
RSUP Sanglah / Universitas Udayana,

Prof. DR. dr. I Ketut Siki kawiyana, Sp.B, Sp.OT(K)

NIP: 19480909 197903 1 002

BAB I
3

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alkohol merupakan faktor risiko untuk kerusakan tulang dan

penyembuhan fraktur. Konsumsi alkohol yang berlebihan menyebabkan

terhambatnya penyembuhan fraktur. Penyembuhan fraktur yang terhambat

menyebabkan morbiditas dan pembiayaan yang tinggi pada penanganannya, oleh

karena itu perlu dilakukan bagaimana cara memperbaiki penyembuhan fraktur

yang terhambat pada penderita dengan konsumsi alkohol yang berlebihan.

Konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan salah satu faktor yang

menghambat penyembuhan tulang selain usia, komorbiditas dan obat-obatan.

Peningkatan usia merupakan faktor dalam penghambatan penyembuhan fraktur.

Studi klinis telah menunjukkan pasien dengan co-morbiditas diabetes mellitus

memiliki insiden nonunion, delayed union mencapai dua kali lipat dibandingkan

dengan pasien non diabetes. Pasien dengan fraktur harus memiliki status gizi yang

baik terutama kalsium, fosfor, protein, vitamin C dan D yang merupakan faktor

yang mempengaruhi penyembuhan patah tulang (Gaston et al., 2007).

Faktor yang mempengaruhi penyembuhan patah tulang yaitu faktor lokal

dan sistemik, dimana faktor lokal meliputi infeksi, tumor/keganasan, radioterapi,

jaringan lunak yang cedera, derajat bone loss, reduksi fraktur, Cedera

neurovaskular, tempat cedera pada tulang (diaphyseal lebih lambat dari

metaphyseal), interposisi jaringan lunak pada tempat fraktur, fiksasi fraktur yang

digunakan. Faktor sistemik yaitu merokok, konsumsi alkohol, diabetes mellitus,

nutrisi, umur, obat-obatan, dan hormon. (Little et al., 2011)


4

Faktor sistemik seperti pemberian kortikosteroid yang berkepanjangan

menyebabkan osteoporosis dan peningkatan risiko fraktur sebagai akibat dari efek

penghambatan pada produksi IGF- 1 dan TGF-β. Selain itu faktor sistemik seperti

merokok dan konsumsi alkohol yang berlebihan menunjukkan penghambatan

yang jelas pada penyembuhan fraktur dimana memiliki insiden nonunion, delayed

union yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa merokok ataupun

alkohol (Gaston et al., 2007).

Tingkat fraktur antara pecandu alkohol hingga empat kali lebih tinggi

dibandingkan dengan non-pecandu alkohol dimana sering datang dengan

osteopenia atau osteoporosis. Selain itu, keracunan alkohol akut ditunjukkan

dalam 25-40% dari pasien dengan trauma orthopaedi. Penyembuhan fraktur

memerlukan mobilisasi dan diferensiasi sel-sel mesenchymal dan prekursor

osteoblas dari tempat injuri (Lauing et al., 2012).

Konsumsi alkohol jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan dan

penggantian jaringan tulang (bone remodeling) yang mengakibatkan kepadatan

tulang menurun dan peningkatan risiko fraktur. Secara histologis penurunan

pembentukan tulang ditandai dengan berkurangnya serum osteocalcin, protein

yang disekresikan oleh osteoblas. Penurunan tingkat osteocalcin setelah asupan

alkohol menunjukkan bahwa alkohol memiliki efek toksik pada aktivitas dan

proliferasi osteoblast (Elmali et al., 2002)

Alkoholisme dikaitkan dengan peningkatan risiko fraktur dan kejadian

osteoporosis. Dalam studi in vitro yang menyelidiki efek alkohol pada tulang telah

menunjukkan berkurangnya jumlah dan fungsi osteoblast dan juga menunjukkan


5

kemungkinan peningkatan jumlah osteoklas yang mengakibatkan peningkatan

resorpsi tulang (Dyer et al., 1998)

Pada studi in vitro menunjukkan bahwa paparan etanol menghambat

proliferasi sel osteoblastik. Analisis histomorfometrik pada tulang manusia

menunjukkan penurunan volume tulang trabekular, penurunan jumlah osteoblas,

penurunan tingkat aposisi mineral tulang, dan penurunan tingkat pembentukan

tulang dengan peningkatan waktu mineralisasi tulang serta terjadi peningkatan

resorpsi tulang, yang menunjukkan gangguan pembentukan dan mineralisasi

tulang (Dyer et al., 1998).

Pada studi in vivo, alkohol menyebabkan penekanan fungsi dan jumlah

osteoblas, sedangkan pada penelitian in vitro menunjukkan dampak langsung

alkohol pada diferensiasi osteoblas. Pada sumsum tulang manusia terdapat

mesenchymal stem cell (MSC), yang merupakan cikal bakal dari adiposit,

osteoblas dan kondrosit, dimana pada penelitian in vitro paparan alkohol

menyebabkan induksi osteogenik yang menurunkan ekspresi kolagen tipe I, yang

merupakan 90 % dari matriks tulang. Selain itu, paparan alkohol menekan marker

osteogenesis pada MSC pada saat pembentukan osteoblas (Wang et al. 2003,

Wezeman and Gong 2004).

Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses yang memerlukan

diferensiasi MSC untuk menjadi tulang dan tulang rawan, baik MSC dari tempat

cedera (lokal) maupun dari tempat lain. Penyembuhan fraktur dapat dibagi

menjadi 4 tahap dasar: (1) respon inflamasi/hematoma; (2) pembentukan kalus

tulang rawan primer; (3) pembentukan kalus tulang sekunder; dan (4) bone

remodeling. Sebelum pembentukan kalus, inflamasi memicu pembentukan


6

hematoma yang menghentikan perdarahan yang terjadi akibat cedera vaskular.

Pembentukan hematoma memicu proliferasi undifferentiated MSC pada lokasi

fraktur dan selanjutnya pembentukan jaringan granulasi. Jaringan ini mendukung

diferensiasi MSC menjadi kondrosit dan osteoblas, yang mensintesis tulang

rawan dan tulang (Bolander et al., 1992).

Pada penelitian hewan coba pada tikus dimana alkohol diberi secara

peroral yang mengandung 35 % etanol selama 6 minggu. Pada pemeriksaan

histopathologi tulang tibia menunjukkan penurunan jumlah permukaan tulang

yang mengandung osteoblas aktif dan penurunan ketebalan dinding tulang secara

signifikan (Dyer et al., 1998). Pada studi Eksperimental lain yaitu penyembuhan

fraktur tibia pada tikus yang diberi diet cair yang mengandung 7,2 % etanol

selama 8 minggu kemudian dilakukan studi histologis dan osteodensitometrik

menunjukkan bahwa tikus yang diberi diet yang dicampur dengan etanol secara

histologis terjadi penyembuhan fraktur yang tertunda. Selain efek negatif etanol

pada metabolisme tulang, juga mengganggu proses penyembuhan fraktur (Elmali

et al., 2002).

Pada percobaan hewan coba pada tikus yang diberi alkohol jenis etanol

20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan perhari

selama 3 hari berturut-turut kemudian dilakukan frakturisasi tibia dan difiksasi

intramedulary wire. Pada hari ke-14 post fraktur didapatkan penurunan volume

kalus fraktur, diameter, dan kekuatan biomekanik tulang. Secara histologi

menunjukkan penurunan pembentukaan tulang dan tulang rawan pada daerah

fraktur, dan alkohol yang menghambat maturasi tulang rawan (Lauing et al.,

2012).
7

Vitamin C atau Asam askorbat adalah vitamin yang larut dalam air yang

penting untuk pembentukan kolagen, kulit, tendon, ligamen, dan pembuluh darah

serta penyembuhan luka dan pemeliharaan tulang rawan, tulang, dan gigi. Asam

askorbat merupakan antioksidan yang berguna untuk menekan radikal bebas yang

dapat merusak organ-organ, jaringan, dan sel (Hon., 2004). Vitamin C

menunjukkan dapat menginduksi mesechymal stem cell untuk berubah menjadi

osteoblas. Mekanisme vitamin C yang menginduksi proliferasi osteoblas

dimediasi melalui sintesis kolagen tipe I (Carinci et al., 2004).

Pada percobaan hewan coba pada tikus dimana diberi vitamin C dengan

cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat badan perhari selama 3

hari berturut-turut sebelum dilakukan fraktur dan fiksasi pada tulang tibia dan

dilanjutkan pemberian 3 kali seminggu selama 3 minggu, menunjukkan pada

minggu kedua dan ketiga kalus pada tikus yang diberi vitamin C lebih tinggi

secara radiologis dan histologis dibandingkan dengan kalus pada tikus tanpa

pemberian vitamin C (Sarisozen et al., 2002).

Mekanisme penyembuhan fraktur yang terhambat akibat terpapar

alkohol disebabkan karena penekanan terhadap aktivitas dan proliferasi osteoblas.

Jika aktivitas dan proliferasi osteoblast dapat diperbaiki maka penyembuhan

fraktur yang terhambat akibat terpapar alcohol dapat ditanggulangi. Vitamin C

memiliki efek menginduksi proliferasi osteoblas, maka perlu dilakukan penelitian

efek vitamin C pada penyembuhan fractur yang terpapar alkohol.

1.2 Rumusan Masalah


8

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah diameter kalus tulang femur tikus yang terpapar alkohol kemudian

diberikan vitamin C lebih besar dibandingkan dengan tikus yang hanya

terpapar alkohol?

2. Apakah jumlah sel osteoblas pada femur tikus yang terpapar alkohol

kemudian diberikan vitamin C lebih banyak dibandingkan dengan tikus

yang hanya terpapar alkohol?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Membuktikan diameter kalus tulang femur tikus yang terpapar alkohol

kemudian diberikan vitamin C lebih besar dibandingkan dengan tikus yang

hanya terpapar alkohol.

2. Membuktikan jumlah sel osteoblas pada femur tikus yang terpapar alkohol

kemudian diberikan vitamin C lebih banyak dibandingkan dengan tikus

yang hanya diberikan alkohol.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Manfaat akademis

Menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pengaruh vitamin C

mempercepat penyembuhan fraktur yang terpapar alkohol.

b. Manfaat praktis
9

Bila hasil penelitian vitamin C terbukti dapat mempercepat penyembuhan

fraktur yang terpapar alkohol, maka vitamin C dapat digunakan sebagai

salah satu alternatif untuk mempercepat penyembuhan fraktur yang terpapar

alkohol.
10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Tulang

Tulang merupakan salah satu organ terbesar dalam tubuh yang

menerima sekitar 5-10 % darah dari cardiac output. Tulang berperan dalam

memberikan dukungan biomekanik yang memungkinkan terjadinya gerakan,

haematopoiesis dan homeostasis kalsium. Tulang juga merupakan suatu

biomaterial viskoelastis yang terdiri dari sel-sel (10%) yang terdapat di dalam

matriks (90 %). Matriks terdiri dari komponen organik dan anorganik (Little et al.,

2011).

Tulang aktif secara metabolik, merupakan jaringan ikat khusus yang

terus-menerus mengalami renovasi (remodeling), dimana terjadi proses pergantian

jaringan tulang lama dengan jaringan tulang baru untuk beradaptasi terhadap

beban dan tegangan secara mekanik (Lauing et al., 2012). Tulang pada dasarnya

berfungsi untuk menyediakan tidak hanya dukungan struktural dan perlindungan

terhadap organ tubuh, tetapi juga sebagai reservoir untuk kalsium, magnesium,

dan fosfat, ion yang penting dalam fisiologi tubuh. Tulang merupakan suatu

komposit yang unik dari sel-sel yang tertanam dalam struktur matriks

ekstraselular yang distabilkan oleh mineral, yaitu kalsium hidroksiapatit (Gokhale

et al., 2001).
11

Gambar 2.1. Anatomi tulang panjang. Osteoblas dan osteoklas terdapat pada

permukaan tulang kompak dan tulang kanselus untuk membentuk dan menyerap

tulang. Sel-sel progenitor multipoten di periosteum dapat berdiferensiasi menjadi

sel-sel tulang dan tulang rawan, yang penting ketika cedera terhadap tulang.

(Lauing et al., 2012)

Ada dua tipe dasar tulang: lapisan luar tulang korteks yang padat

(compact) berfungsi terutama untuk proteksi, dan lapisan dalam tulang kanselus

(trabecular, spons) yang terdiri dari kompartemen sumsum merah di ujung tulang

panjang. Lapisan jaringan ikat padat yang disebut periosteum mengelilingi

permukaan luar dari tulang kortikal dan berisi pembuluh darah yang memberikan

nutrisi untuk tulang, fibroblas, pericytes dan sel-sel progenitor multipoten dengan
12

kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi tulang, tulang rawan, lemak, dan otot.

Rongga sumsum dibatasi oleh endosteum, yang juga berisi pembuluh darah,

osteoklas, osteoblas, dan sel-sel progenitor hematopoietik (Lauing et al., 2012).

Tipe tulang dibagi menjadi tulang imatur dan matur. Tulang imatur

dikenal sebagai woven bone. Fibril kolagen yang dibentuk oleh osteoblas

mengurangi kekuatan tetapi meningkatkan fleksibilitas tulang. Tulang imatur

terlihat pada masa janin/embryonic bone, pada penyembuhan patah tulang dan

keadaan patologis pada tulang (tumor atau infeksi dengan tingkat turnover tulang

yang tinggi). Tulang matur yaitu tulang kortikal (kompak) atau tulang kanselus

(trabekular, spon). Tulang kortikal membentuk 80% dari keseluruhan tulang dan

ditandai oleh sistem Haversian atau osteons. Dimana fibril kolagen secara paralel

membentuk cincin di sekitar kanal Haversian. Osteosit terperangkap di dalam

lakuna yang berkomunikasi satu sama lain dan kanal Haversian melalui

kanalikuli. Di dalam lanal Haversian terdapat anyaman neurovaskular. Kanal

Volkmann berjalan tegak lurus dengan kanal Haversian dan bergabung dengan

suplai darah periosteal menuju sirkulasi pusat (Little et al., 2011).

Dua jenis sel utama langsung bertanggung jawab untuk pemeliharaan

massa tulang adalah osteoklas (penyerapan tulang) dan osteoblas (pembentuk

tulang). Sel ini diatur dalam bone remodeling units (BRU) atau basic multicellular

units (BMU), yang mempertahankan aktivasi yang berkesinambungan dari

osteoklas diikuti oleh osteoblas yaitu resorpsi diikuti pembentukan tulang.

Osteoblas mensekresikan matriks organik unmineralized yaitu osteoid, yang

sebagian besar terdiri dari kolagen tipe I, selain proteoglikan, glikoprotein, dan

protein noncollagenous lainnya seperti osteocalcin (Lauing et al., 2012).


13

Osteoblas juga mengeluarkan enzim seperti alkali fosfatase, yang

penting untuk mineralisasi matriks dan berfungsi sebagai penanda aktivasi dan

maturasi osteoblas. Osteoblas mengontrol pembentukan osteoklas dengan

mengeluarkan receptor activator of nuclear factor kappa-B ligand (RANKL) yang

mendukung pematangan osteoklas dan osteoprotegerin (OPG) yang menghambat

diferensiasi osteoklas (Lauing et al., 2012).

2.2 Proses Penyembuhan Pada Fraktur

Pada saat terjadi patah tulang, terjadi juga kerusakan pada pembuluh darah

yang terletak pada canaliculi dari sistem haversian, yang menyeberangi tempat

patahan tulang. Kerusakan pembuluh darah ini menyebabkan osteosit yang

terdapat dalam lakuna kehilangan supalai nutrisinya dan kemudian menjadi mati.

Dampak selanjutnya adalah terjadinya reabsorpsi dari ujung-ujung patahan tulang

sehingga terjadi pemendekan dari tulang. Pada patah tulang diantara kedua ujung

tulang ini akan diisi oleh hematoma (Solomon et al, 2001).

Proses penyatuan ujung-ujung tulang adalah merupakan proses

penyembuhan tulang. Penyembuhan patah tulang bertujuan untuk mengembalikan

jaringan tulang seperti sifat-sifat fisik dan mekanik sebelum terjadi patah tulang

dan melibatkan faktor lokal dan sistemik. Proses penyembuhan tulang terjadi

melalui beberapa fase dimana masing-masing fase saling tumpang tindih, fase-

fase tersebut di antaranya adalah : 1) fase hematoma/inflamasi, 2) fase perbaikan

(soft callus dan hard callus) dan 3) fase remodeling (Solomon et al, 2001).
14

Gambar 2.2. Proses penyembuhan fraktur. Terdapat 4 fase penyembuhan patah

tulang yaitu : ( 1 ) fase hematoma/inflamasi ( 2 ) pembentukan tulang rawan dari

sel-sel induk mesenchymal lokal dan jauh ( 3 ) penggantian tulang rawan menjadi

tulang melalui osifikasi endokhondral ( 4 ) tahap renovasi. Pada gambar ini

merupakan waktu penyembuhan fraktur pada manusia, dimana penyembuhan

fraktur pada tikus dua kali lebih cepat (Lauing et al., 2012)

Proses penyembuhan fraktur diatur dan dikoordinasikan oleh proses

yang memerlukan diferensiasi tulang dan tulang rawan dari mesenchymal stem

cell (MSC) dan sel osteoprogenitor. Pada umumnya penyembuhan fraktur melalui

langkah-langkah berurutan yaitu penyembuhan tidak langsung (indirect bone


15

healing). Pada awalnya proses inflamasi memicu pembentukan hematoma yang

memicu perekrutan dan proliferasi MSC pada tempat fraktur dan pembentukan

jaringan granulasi. Jaringan ini mendukung diferensiasi MSC menjadi kondrosit

dan osteoblas, yang mensintesis tulang rawan dan tulang melalui jaringan kalus

tulang (Lauing et al., 2012).

Penyembuhan fraktur dapat terjadi melalui penyembuhan fraktur primer

(langsung) atau penyembuhan fraktur sekunder (tidak langsung). Penyembuhan

fraktur primer terjadi apabila dilakukan reduksi anatomis pada fragmen patahan

tulang dimana terjadi kontak langsung antar tulang kortikal. Kemudian terjadi

kompresi antar fragmen dan tidak ada gerakan pada permukaan fraktur. Hal ini

menyebabkan stabilitas absolute. Pada penyembuhan fraktur sekunder terjadi

dalam beberapa tahap yaitu fase inflamasi/hematoma, fase perbaikan (soft callus

dan hard callus) dan fase remodeling (Little et al., 2011).

2.3 Alkohol

Etanol atau etyl-alcohol merupakan suatu senyawa unik sebagai obat

karena sifat berat molekulnya dan sifat larut dalam air. Alkohol mudah terbakar,

tidak berwarna, dan menyerap air dengan cepat dari udara. Memiliki titik didih

78,5 ° C dan titik bekunya -130 °C. Alkohol umumnya dibentuk dari fermentasi

gula oleh ragi. Wine dan bir umumnya mengandung 2 sampai 20 persen alkohol

(Smith et al., 1970). Beberapa alkohol telah terbukti efektif sebagai antimikroba

yaitu etil alkohol (etanol, alkohol), isopropil alkohol (isopropanol, propan-2-ol)

dan n-propanol (khususnya di Eropa). Alkohol menunjukkan aktivitas

antimikroba spektrum luas terhadap bakteri vegetatif (termasuk mikobakteri),


16

virus, dan jamur tapi tidak sporisida. Mereka, bagaimanapun, diketahui

menghambat sporulasi dan spora tetapi efek ini reversibel. Umumnya,

antimikroba yang aktivitas alkohol secara signifikan optimal dalam kisaran 60

sampai 90% (McDonnell et al., 1999).

Tingkat fraktur antara pecandu alkohol hingga empat kali lebih tinggi

dibandingkan dengan non-pecandu alkohol dimana sering datang dengan

osteopenia atau osteoporosis. Selain itu, keracunan alkohol akut ditunjukkan

dalam 25-40% dari pasien dengan trauma orhtopaedi. Penyembuhan fraktur

memerlukan mobilisasi dan diferensiasi sel-sel mesenchymal dan prekursor

osteoblas dari tempat injuri (Lauing et al., 2012).

Konsumsi alkohol jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan dan

penggantian jaringan tulang (bone remodeling) yang mengakibatkan kepadatan

tulang menurun dan peningkatan risiko fraktur. Secara histologis penurunan

pembentukan tulang ditandai dengan berkurangnya serum osteocalcin, protein

yang disekresikan oleh osteoblast. Penurunan tingkat osteocalcin setelah asupan

alkohol menunjukkan bahwa alkohol memiliki efek toksik pada aktivitas dan

proliferasi osteoblast (Elmali et al., 2002)

Alkoholisme dikaitkan dengan peningkatan risiko fraktur dan kejadian

osteoporosis. Dalam studi in vitro yang menyelidiki efek alkohol pada tulang telah

menunjukkan berkurangnya jumlah dan fungsi osteoblast dan juga menunjukkan

kemungkinan peningkatan jumlah osteoklas yang mengakibatkan peningkatan

resorpsi tulang (Dyer et al., 1998)

Pada studi in vitro menunjukkan bahwa paparan etanol menghambat

proliferasi sel osteoblastik. Analisis histomorphometrik pada tulang manusia


17

menunjukkan penurunan volume tulang trabekular, penurunan jumlah osteoblas,

penurunan tingkat aposisi mineral tulang, dan penurunan tingkat pembentukan

tulang dengan peningkatan waktu mineralisasi tulang serta terjadi peningkatan

resorpsi tulang, yang menunjukkan gangguan pembentukan dan mineralisasi

tulang (Dyer et al., 1998).

Pada studi in vivo, alkohol menyebabkan penekanan fungsi dan jumlah

osteoblast, sedangkan pada penelitian in vitro menunjukkan dampak langsung

alkohol pada diferensiasi osteoblas. Pada sumsum tulang manusia terdapat

mesenchymal stem cell (MSC), yang merupakan cikal bakal dari adiposit,

osteoblas dan kondrosit, dimana pada penelitian in vitro paparan alkohol

menyebabkan induksi osteogenik yang menurunkan ekspresi kolagen tipe I, yang

merupakan 90 % dari matriks tulang. Selain itu, paparan alkohol menekan marker

osteogenesis pada MSC pada saat pembentukan osteoblast (Wang et al. 2003,

Wezeman and Gong 2004).

Pada percobaan hewan coba pada tikus yang diberi alkohol jenis etanol

20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan perhari

selama 3 hari berturut-turut kemudian dilakukan frakturisasi tibia dan difiksasi

intramedulary wire. Pada hari ke-14 post fraktur didapatkan penurunan volume

kalus fraktur, diameter, dan kekuatan biomekanik tulang. Secara histologi

menunjukkan penurunan pembentukaan tulang dan tulang rawan pada daerah

fraktur, dan alkohol yang menghambat maturasi tulang rawan (Lauing et al.,

2012).
18

2.3 Vitamin C

Vitamin C atau Asam askorbat adalah vitamin yang larut dalam air yang

penting untuk pembentukan kolagen, kulit, tendon, ligamen, dan pembuluh darah

serta penyembuhan luka dan pemeliharaan tulang rawan, tulang, dan gigi. Asam

askorbat merupakan antioksidan yang berguna untuk menekan radikal bebas yang

dapat merusak organ-organ, jaringan, dan sel (Hon., 2004). Vitamin C

menunjukkan dapat menginduksi mesechymal stem cell untuk berubah menjadi

osteoblas. Mekanisme vitamin C yang menginduksi proliferasi osteoblas

dimediasi melalui sintesis kolagen tipe I (Carinci et al., 2004).

Pada percobaan hewan coba pada tikus dimana diberi vitamin C dengan

cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat badan perhari selama 3

hari berturut-turut sebelum dilakukan fraktur dan fiksasi pada tulang tibia dan

dilanjutkan pemberian 3 kali seminggu selama 3 minggu, menunjukkan pada

minggu kedua dan ketiga kalus pada tikus yang diberi vitamin C lebih tinggi

secara radiologis dan histologist dibandingkan dengan kalus pada tikus tanpa

pemberian vitamin C (Sarisozen et al., 2002).


19

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Penyembuhan fraktur yang terhambat merupakan masalah yang serius

karena dapat menyebabkan morbiditas dan pembiayaan yang tinggi pada

penanganannya. Penyebab Penyembuhan fraktur yang terhambat merupakan

proses yang melibatkan berbagai faktor yaitu disebabkan oleh proses lokal

ataupun sistemik. Faktor lokal meliputi infeksi, tumor, radioterapi, tingkat

jaringan lunak yang cedera, derajat bone loss, reduksi fraktur, Cedera

neurovaskular, tempat injury (diaphyseal lebih lambat dari metaphyseal),

Interposisi jaringan lunak, fiksasi fraktur yang digunakan. Faktor sistemik yaitu

alkohol, merokok, diabetes mellitus, nutrisi, umur, obat-obatan, dan hormon

Konsumsi alkohol dengan dosis besar dan waktu yang cukup lama

menyebabkan penyembuhan fraktur yang terhambat. Alkohol menghambat

diferensiasi dari marrow stem cells menjadi sel-sel osteoblas, sehingga jumlah sel-

sel osteoblas untuk pembentukan tulang yang fraktur menjadi berkurang.

Kurangnya jumlah sel-sel osteoblas menyebabkan proses penyembuhan fraktur

menjadi terhambat.

Vitamin C atau Asam askorbat adalah vitamin yang larut dalam air yang

penting untuk pembentukan kolagen, kulit, tendon, ligamen, dan pembuluh darah

serta penyembuhan luka dan pemeliharaan tulang rawan, tulang, dan gigi. Asam

askorbat merupakan antioksidan yang berguna untuk menekan radikal bebas yang

dapat merusak organ-organ, jaringan, dan sel. Vitamin C dapat menginduksi


20

mesechymal stem cell untuk berubah menjadi osteoblas. Berdasarkan hal tersebut

maka vitamin C mempunyai potensi untuk menurunakan kejadian penyembuhan

fraktur yang terhambat yang disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol.

Gambar 3.1 Kerangka Berpikir


21

3.2 Konsep Penelitian

FAKTOR FAKTOR
INTERNAL EKSTERNAL
Fraktur Tulang
 Jenis tikus Femur Tikus  Lingkungan
 Umur  Nutrisi
 Berat Badan  Perawatan Luka
 Jenis kelamin

Alkohol (-) Alkohol (+)

Alkohol

Fiksasi

Vitamin C (-) Vitamin C (+)

Penyembuhan Fraktur yang ditandai :

1. Diameter kalus tulang femur tikus


2. Jumlah sel osteoblas tulang femur tikus

Keterangan :

: Variabel Bebas

: Variabel Tergantung

: Variabel Kendali

Gambar 3.2 Konsep Penelitian


22

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Diameter kalus tulang femur tikus yang terpapar alkohol kemudian

diberikan vitamin C lebih besar dibandingkan dengan tikus yang hanya

terpapar alkohol.

2. Jumlah sel osteoblas pada femur tikus yang terpapar alkohol kemudian

diberikan vitamin C lebih banyak dibandingkan dengan tikus yang hanya

terpapar alkohol.
23

BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dirancang dengan

menggunakan rancangan Randomized post-test only control group design.

Rancangan penelitian ini digambarkan dengan skema sebagai berikut :

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

Keterangan

P : Populasi

S : Sampel

R : Randomisasi
24

P0 : Kelompok Kontrol

P1 : Kelompok Perlakuan 1 (pemberian vitamin C dengan cara injeksi

intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat badan sekali setiap 2

hari selama 14 hari setelah fraktur dan fiksasi dilakukan)

P2 : Kelompok Perlakuan 2 (dengan pemberian alkohol jenis etanol

20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat

badan sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur dan

fixasi dilakukan)

P3 : Kelompok Perlakuan 3 (dengan pemberian alkohol jenis etanol

20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat

badan sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur dan

fixasi dilakukan dan pemberian vitamin C dengan cara injeksi

intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat badan sekali setiap 2

hari selama 14 hari setelah fraktur dan fiksasi dilakukan)

O0 : Fraktur tulang femur tikus setelah difiksasi dengan intramedulary

wire

O1 : Fraktur tulang femur tikus setelah difiksasi dengan intramedulary

wire yang terpapar alkohol

O2 : Fraktur tulang femur tikus setelah difiksasi dengan intramedulary

wire kemudian diberikan vitamin C

O3 : Fraktur tulang femur tikus setelah difiksasi dengan intramedulary

wire yang terpapar alkohol kemudian diberikan vitamin C


25

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dan pemeriksaan histopatologi dilaksanakan di Laboratorium

Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali yang

dilaksanakan mulai bulan Pebruari 2016

4.3 Populasi dan Sampel

Sampel penelitian adalah tikus (Wistar) jantan berumur 3 bulan dengan

berat 200 mg

4.4 Kriteria Subjek

4.4.1 Kriteria Inklusi

1. Tikus jantan

2. Usia 3 bulan

3. Berat 200 gram

4. Sehat, ditandai gerakan aktif

4.4.2 Kriteria Drop-out

1. Tikus sakit (gerak tidak aktif) dan tidak mau makan

2. Tikus mati saat penelitian

4.5 Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Federer (Federer,

2008).

(t-1)( n-1) ≥ 15
26

(4-1)(n-1) ≥ 15

3( n-1) ≥ 15

3n-3 ≥ 15

3n ≥ 18

n≥6

N = Besar sampel

T = Jumlah perlakuan

Dari hasil perhitungan rumus di atas, besar sampel minimal yang diperlukan

sebesar 6 sampel dalam satu kelompok. Untuk mengantisipasi kemungkinan drop

out, sampel ditambahkan 10%, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah :

N = n/(1-f)

Dimana :

N = jumlah hewan coba yang diperlukan tiap kelompok.

n = jumlah sampel minimal untuk tiap kelompok.

f = perkiraan proporsi drop out.

Maka :

N = 6/(1 – 0,1)

N = 6/0,9

N = 9.667  N dibulatkan menjadi 7

Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah sampel yang diperlukan pada

penelitian ini sebanyak 7 ekor hewan coba untuk tiap kelompok atau total 28

tikus. Teknik pengambilan sampel digunakan cara Simple Randomization karena

populasi relatif homogen.


27

4.6 Identifikasi Variabel

Variabel bebas : vitamin C.

Variabel tergantung : diameter kalus tulang femur, jumlah sel osteoblas.

4.7 Definisi Operasional

a. Pemberian vitamin C dengan dosis 200 mg/kg berat badan adalah

pemberian vitamin C dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 200

mg/kg berat badan sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur

dan fixasi dilakukan, kemudian dilanjutkan 3 kali seminggu dengan dosis

200mg/kg berat badan per kali selama 2 minggu setelah fraktur dan fiksasi

dilakukan.

b. Osteoblast adalah jenis sel pada daerah fraktur dan sedang memproduksi

matriks tulang.

c. Jumlah osteoblast (number of osteoblast per bone surface - N.OB/BS) adalah

jumlah sel osteoblast yang ditemukan dalam mikroskop berbanding dengan

luas permukaan tulang yang diperiksa dalam jumlah per millimeter

(Dempster, et al., 2013)

d. Diameter tulang (Bone Diameter – B.Dm) adalah diameter terbesar pada

tulang yang mengalami fraktur setelah dilakukan internal fikasi dalam

micrometer berbanding dengan luas permukaan tulang yang diperiksa

(Dempster, et al., 2013).

e. Pemberian etanol 20% dengan dosis 2 g/kg berat badan adalah pemberian

etanol 20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat

badan sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur dan fixasi

dilakukan.
28

4.8 Cara Kerja

1. Digunakan 28 ekor tikus jantan jenis Wistar dengan umur 3 bulan.

2. Tikus diadaptasi selama 1 minggu

3. Tikus kemudian dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu :

P0 : Kelompok Kontrol

P1 : Kelompok Perlakuan 1 (pemberian vitamin C dengan cara

injeksi intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat badan sekali setiap 2

hari selama 14 hari setelah fraktur dan fiksasi dilakukan)

P2 : Kelompok Perlakuan 2 (dengan pemberian alkohol jenis

etanol 20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat

badan sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur dan fixasi

dilakukan)

P3 : Kelompok Perlakuan 3 (dengan pemberian alkohol jenis

etanol 20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat

badan sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur dan fixasi

dilakukan dan pemberian vitamin C dengan cara injeksi intraperitoneal

dengan dosis 200 mg/kg berat badan sekali setiap 2 hari selama 14 hari

setelah fraktur dan fiksasi dilakukan)

4. Fraktur pada tulang tikus dilakukan pada tulang femur sisi kanan dengan

melakukan operasi pembukaan tulang femur dan dilakukan fraktur dengan

gergaji tulang dan selanjutnya dilakukan internal fixasi dengan K-wire 1,2

sebanyak 1 buah dengan teknik retrograde.


29

5. Setelah fraktur dan fiksasi dilakukan, luka dijahit lapis demi lapis dan

diberikan neomisin salep sebagai obat antibakteri serta diberikan injeksi

antibiotika cefotaksim.

6. Obat perlakukan diberikan pada tikus keesokan harinya berdasarkan

kelompok diatas yang dipilih secara random

7. Penelitian dilakukan pada pagi hari pukul 09.00 WITA, pada hari pertama

penelitian.

8. Kedua kelompok tikus dikandangkan di Laboratorium Veteriner Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana dengan ukuran 30x20cm dan

diberikan diet normal berupa pelet dan air dua kali sehari.

9. Berat badan masing-masing tikus ditimbang setiap minggu selama

penelitian.

10. Diet normal tikus adalah pelet. Pelet yang diberikan mengandung protein

(20%), Lemak (5%), Karbohidrat (45%), serat kasar (5%), serta vitamin dan

mineral. Masing-masing tikus mendapat diit 12-15 gr/hari.

11. Air minum diberikan secara ad libidum

12. Apabila dalam perjalanan tikus jatuh sakit maka tikus tersebut akan di

eksklusi dan dikonsulkan ke dokter hewan untuk penanganan lebih lanjut

13. Pada hari terakhir minggu ke dua setelah frakturisasi dan fiksasi pada

fraktur tulang femur, tikus disuntik sampai mati dengan barbiturat dan femur

tikus diperiksa secara histopatologi.


30

4.8.1 Alat dan Bahan

Alat yang dipakai :

1. Pinset

2. Pisau bedah

3. Gunting

4. Obyek glass

5. Mikroskop

6. Kamera

7. Sarung tangan

8. Alat ukur

9. Spuit 1 cc, 3 cc

Bahan terdiri dari :

1. Eter, alkohol 30%, 40%, 50%, 60%,70%, dan 95%, NaCl 0.9%

2. Aquades

3. Formalin

4. Parafin

5. Hematoxylin-Eosin

6. K-wire diameter 1,2

7. Alkohol jenis etanol 20% yang diberikan dengan cara injeksi

intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan sekali sehari selama 3

hari berturut-turut sebelum fraktur dan fixasi dilakukan.

8. Vitamin C yang diberikan dengan cara injeksi intraperitoneal dengan

dosis 200 mg/kg berat badan sekali sehari selama 3 hari berturut-turut
31

sebelum fraktur dan fixasi dilakukan, kemudian dilanjutkan 3 kali

seminggu dengan dosis 200mg/kg berat badan per kali selama 2 minggu

setelah fraktur dan fiksasi dilakukan.

4.8.2 Pembuatan Sediaan Histopatologis Tulang

Tikus di euthanasia dengan metode inhalasi menggunakan eter dengan

dosis 2 ml. Setelah tikus mati, kemudian femur pada kaki sebelah kanan diambil

secara utuh dan jaringam otot serta periosteum dibersihkan dari tulang. tulang

kemudian dilakukan proses dekalsifikasi. Selanjutnya tulang dipotong dengan

mikrotom menjadi 3 potongan terbesar melewati lokasi fraktur.

Selanjutnya tulang difiksasi dengan 10% formalin-0.1M phostat buffer PH

7.4. Spesimen tersebut kemudian ditanam pada parafin blok dipotong dengan

tebal 5-7 micrometer tiap bagian dan dicat dengan Haematoxylin dan eosin,

selanjutnya dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop cahaya dengan

pembesaran 400 kali dalam satu lapangan pandang.


32

4.9 Alur Penelitian

Sampel Frakturisasi
diadaptasi tulang femur

Dibagi 2 kelompok

Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Vit. C (+) Alkohol (+) Alkohol (+);Vit.C(+)


(+)(+)

Pemeriksaan :

- Diameter kalus femur tikus


- Jumlah sel osteoblast

Pada akhir minggu ke 2

Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian

4.10 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Analisis Deskriptif

2. Analisis Normalitas

Uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk test untuk mengetahui data

sampel berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak.


33

3. Analisis Homogenitas dengan Levene test untuk mengetahui homogenitas

varian data.

4. Analisis Inferensial dengan uji komparabilitas rerata kelompok penelitian.

Apabila data penelitian berdistribusi normal dan homogen, maka dilakukan

uji parametrik dengan independent t-test.


DAFTAR PUSTAKA

Bolander, M.E. 1992. Regulation of fracture repair by growth factors. Proc Soc
Exp Biol Med. 200: 165-70.

Carincia, F., Pezzettib, F., Spinac, A.M., Palmierib, A., Lainoc, G., De Rosac, A.,
Farinac, E., et al. 2005. Effect of Vitamin C on pre-osteoblast gene
expression. Archives of Oral Biology. Vol. 50, pp.481—496

Dempster, D.W., Compston, J.E., Drezner, M.K., et al. 2013. Standardized


Nomenclature, Symbols, and Units for Bone Histomorphometry: A 2012
Update of the Report of the ASBMR Histomorphometry Nomenclature
Committee. Journal of Bone and Mineral Research, vol 28, no 1, pp 2 –
17

Dyer, S.A., Buckendahl, P., Sampson, H.W. 1998. Alcohol consumption inhibits
osteoblastic cell proliferation and activity in vivo. Alcohol. Vol.16.
pp.337–341

Elmali, N., Ertem, K., Ozen, S., Inan, M., Baysal, T., Guner, G., Bora, A. 2002.
Fracture healing and bone mass in rats fed on liquid diet containing
ethanol. Alcohol Clin Exp Res. Vol. 26. pp. 509–513

Federer, W. 2008. Experimental Design. Statistics and Society Data Collection


and Interpretation 2nd ed. New York Marcel and Baker; p. 157.

Gaston, M. S. , Simpson, A. H. 2007. Inhibition of fracture healing. J Bone Joint


Surg [Br],vol 89-B, pp. 1553-1560.

Gokhale, J.A., Boskey, A.L., Robey, P.G. 2001. The Biochemistry of Bone.
Osteoporosis second edition. Vol.4. pp.107-188

Hon, S.L. 2014. Vitamin C (Ascorbic Acid). Encyclopedia of Toxicology, Vol. 4.


pp.962-963

Little, N., Rogers, B., Flannery, M. 2011. Bone formation, remodeling and
healing. J SURGERY 29:4 pp. 141-145

Lauing, K.L., Roper, P.M., Nauer, R.K., Callaci, J.J. 2012. Acute Alcohol
Exposure Impairs Fracture Healing And Deregulates β-Catenin Signaling
In The Fracture Callus. Alcohol Clin Exp Res, Vol. 36(12), pp. 2095–2103

McDonnell, G., Russell, A.D. 1999. Antiseptics and Disinfectants: Activity,


Action, and Resistance. Clinical Microbiology Reviews. pp. 147–179
Sarisozen, B., Durak, K., Dincer, G., Bilgen, O.F. 2002. The Effects of Vitamins
E and C on Fracture Healing in Rats. The Journal of International Medical
Research. 30: 309 – 313

Solomon, L., Warwick, D., Nayagam, S. 2001. Principle of Fractures. In Apley’s


System of Orthopaedics and Fractures, 8th edition, (p539-582). New York:
Oxford University press,Inc

Smith, L.H., Salmon, S.E., Schrier, R.W. 1970. The Clinical Pharmacology of
Alcohol. The Western Journal of Medicine. Pp.37-45

Wang, Y., Li, Y., Mao, K., Li, J., Cui, Q., Wang, G.J. 2003. Alcohol-induced
adipogenesis in bone and marrow: a possible mechanism for osteonecrosis.
Clin Orthop Relat Res.410: 213-24

Wezeman, F.H., Gong, Z. 2004. Adipogenic effect of alcohol on human bone


marrow derived mesenchymal stem cells. Alcohol Clin Exp Res. 28: 1091-
101.

Anda mungkin juga menyukai