A. Kasus
Liputan6.com, Jakarta Santapan rujak mi yang segar saat berbuka puasa pada
Senin, 20 Mei 2019 berujung petaka. Keracunan makanan menyerang 35 siswa Sekolah
Olahraga Negeri Sriwijaya (SONS) Palembang, Sumatera Selatan. Mereka dilarikan ke
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bari Palembang pada keesokan harinya, Selasa, 21
Mei 2019. Reaksi keracunan berupa mual-mual, pusing, dan suhu badan panas dingin.
“Kami menyantap rujak mi saat berbuka puasa di asrama sekolah. Setelah itu, saya
merasakan perut mual, kepala pusing, badan panas dingin. Pada hari Selasa baru saya
muntah-muntah dan dibawa ke rumah sakit,” ujar Fredi Saputra (16), salah satu siswa
SONS Palembang yang juga atlet Voli pada Rabu (22/5/2019).
Ada juga keracunan makanan yang dialami warga di Kabupaten Musi Banyuasin
(Muba) Sumatera Selatan pada Jumat, 10 Mei 2019. Belasan warga di Kecamatan Sekayu
mengalami keracunan diduga usai mengonsumsi rujak mi saat berbuka puasa. Kuliner
lokal ini dibeli dari Pasar Tradisional Talang Jawa, Kecamatan Sekayu, Kabupaten Muba
Sumsel. Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang
Hardaningsih menyatakan, setiap inspeksi dadakan (sidak) di pasar tradisional, rujak mi
selalu disita karena mengandung pengawet kimia yang berbahaya dikonsumsi.
2. Location
Pasar Tradisional Talang Jawa, Kecamatan Sekayu, Kabupaten Muba Sumatera
Selatan.
3. Objective
Rujak mi di pasar tradisional Talang Jawa selalu disita setiap ada sidak karena
mengandung bahan pengawet kimia yang berbahaya dikonsumsi menurut Kepala Balai
Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang. Menurut Cahyadi (2009),
ada kemungkinan formaldehida digunakan dalam pengawetan susu, tahu, mie, ikan asin,
mi basah, dan produk pangan lainnya. Berdasarkan hasil investigasi dan pengujian
laboratorium yang dilakukan Balai POM di Jakarta, ditemukan sejumlah produk
makanan yang memakai formalin sebagai pengawet seperti ikan asin, mi basah, dan
tahu (Yuliarti, 2007).
Mi basah merupakan makanan yang tidak tahan lama, sehingga penjual
menambahkan bahan pengawet agar dapat disimpan lebih lama. Formalin atau
formaldehida merupakan bahan pengawet kimia yang dilarang oleh BPOM RI sesuai
dengan Buku Pedoman Informasi dan Pembacaan Standar Bahan Tambahan Pangan
Untuk Industri Pangan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga Pangan (2012).
Formaldehida merupakan bahan tambahan kimia yang efisien, tetapi
penggunaannya dilarang dalam bahan pangan (Cahyadi, 2009). Besarnya manfaat
formalin di bidang industri disalahgunakan oleh produsen di bidang industri makanan.
Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan karena mereka tidak terdaftar
dan tidak terpantau oleh Depkes dan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan
(POM) setempat (Yuliarti, 2007).
Dampak akut formalin terhadap kesehatan terjadi akibat paparan formalin dalam
jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat. Efeknya berupa iritasi, alergi,
kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut, pusing, bersin, radang
tonsil, radang tenggorokan, sakit dada yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit
kepala, diare dan pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian.
Dampak kronik dari formalin terlihat setelah terkena paparan formalin berulang dalam
jangka waktu yang lama dan biasanya formalin dikonsumsi dalam jumlah kecil dan
terakumulasi dalam jaringan. Gejalanya berupa mata berair, gangguan pada pencernaan,
hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat, menstruasi dan pada hewan percobaan dapat
menyebabkan kanker, sedangkan pada manusia diduga bersifat karsinogen (Yuliarti,
2007). Hal ini sama dengan kondisi para konsumen yang keracunan, mereka mengalami
mual dan muntah. Jumlah formaldehida yang masih boleh diterima manusia per hari
tanpa akbiat negatif pada kesehatan (Acceptable Daily Intake/ ADI) adalah 0,2 mg per
kilogram berat badan (Widmer dan Frick, 2007). Formalin dapat menyebabkan
kematian pada manusia bila dikonsumsi melebihi dosis 30 ml. Setelah mengonsumsi
formalin dalam dosis fatal, seseorang mungkin hanya mampu bertahan selama 48 jam
(Khomsan dan Anwar, 2008).
4. Reference
Tinjauan Pustaka
1. Cahyadi, W. 2009.Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara:
Jakarta.
2. Yuliarti. 2007. Awas! bahaya di balik lezatnya makanan. Yogyakarta : Andi
3. Widmer, Petra, dan Frick, Heinz. 2007. Hak Konsumen dan Ekolabel. Kanisius,
Yogyakarta.
4. Khomsan, A dan Anwar, F. 2008. Sehat Itu Mudah. Hikmah: Jakarta. Hal. 34.
5. Badan POM. 2012. Pedoman Informasi dan Pembacaan Standar Bahan Tambahan
Pangan Untuk Industri Pangan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga Pangan. Jakarta:
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI