NIM : R011191059
PANDEMI DAN COVID-19
Menurut WHO (World Heath Organization) Pandemi COVID-19 adalah penyebaran
penyakit baru ke seluruh dunia. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19
ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan
manusia). Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular melalui :
- Manusia ke manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet)
- Orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien
COVID-19
COVID-19 paling utama ditransmisikan oleh tetesan aerosol penderita dan melalui kontak
langsung. Aerosol atau droplet kemungkinan ditransmisikan ketika orang memiliki kontak
langsung dengan penderita dalam jangka waktu yang terlalu lama.
Gejala Klinis
- Demam
- Menggigil
- Batuk
- Sesak napas
- Anosmia
- Mudah lelah
- Nyeri otot
- Sakit kepala
- Sakit tenggorokan
Faktor Risiko
Penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif
merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Beberapa faktor risiko lain adalah kontak
erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area
terjangkit.
Yang perlu diperhatikan
Yaitu pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, orang tanpa gejala.
SKILL PENGGUNAAN APD (ALAT PELINDUNG DIRI)
Alat-alat APD
Medical/surgical mask, respirator N95, goggles,face shield, examination gloves, surgical
gloves, shoe cover, coverall medis.
Prinsip Pengguaan APD
- Kenakan sebelum kontak dengan pasien, pada umumnya dikenakan sebelum memasuki
ruang perawatan pasien.
- Kenakan APD dengan hati-hati sehingga APD tersebut tidak menjadi media transmisi
infeksi.
- Lepas dan buang APD dengan hati-hati. Lepas sesegera mungkin setelah keluar dari
ruang perawatan. Respirator dilepas di luar ruangan.
- Sesegera mungkin lakukan hand hygiene.
Hal yang Perlu Diperhatikan pada Penggunaan APD
- Menggunakan baju kerja (scrub suit)
- Melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah menggunakanAPD
- Melakukankebersihan tangan setiap melepaskan item APD
- Mandi setelah selesai menggunakan APD
-
Upaya dan Peran Pemerintah Mengelola Tenaga Kesehatan dan SDM dalam Pelayanan
Neglected Tropical Desease (NTD)
Neglected Tropical Diseases (NTD) atau dalam Bahasa Indonesia disebut penyakit tropis
yang terabaikan. Penyakit-penyakit ini hanya ditemui di daerah tropis maupun subtropis dan
disebabkan oleh berbagai virus, bakteri, protozoa dan cacing. Dikatakan terabaikan karena
meskipun menular, penyakit ini hanya diderita oleh orang-orang yang mempunyai taraf hidup
yang rendah dan sering tidak mendapatkan perhatian yang sama jika dibandingkan dengan
penyakit menular lainnya seperti HIV/AIDS, Tuberkulosis dan Malaria.
WHO telah menetapkan 17 penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, atau
cacing ke dalam kelompok NTD. Bakteri NTD adalah ulkus Buruli (Buruli ulcer), kusta,
trachoma, dan frambusia, sedangkan NTD virus adalah infeksi virus dengue dan rabies.
Protozoa penyebab NTD termasuk penyakit Chagas, trypanosomiasis, dan leismaniasis. Cacing
menyebabkan penyakit yang mendominasi NTD: taeniasis, dracunculiasis, echinococcosis,
trematodiasis, filariasis, onchocerciasis, schistosomiasis, dan helminthiasis yang ditularkan
melalui tanah (Soil-transmitted Helminth/STH).
Beberapa penyakit tropis terabaikan masih menjadi masalah di Indonesia, yaitu filariasis,
kusta, frambusia dan schistosomiasis.
1. Filariasis (penyakit kaki gajah). Upaya yang dilakukan yaitu Memutus rantai penularan
filariasis melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM). Rencana Aksi Program
P2P 2020-2024 13 dan Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan
kasus kronis filariasis.
2. Schistosomiasis, menyebabkan anemia sehingga memicu kekerdilan (stunting) dan
berkurangnya kemampuan belajar pada anak-anak. Kementerian Kesehatan bersama
Bappenas telah menyusun peta jalan eradikasi schistosomiasis dengan pendekatan
manajemen lingkungan terpadu untuk memberantas keong (Oncomelania Hupensis)
dengan melibatkan lintas sektor dan seluruh pemangku kepentingan, melakukan
pengobatan massal untuk memutus rantai penularan, dan melakukan surveilans melalui
pemeriksaan telur di tinja.
3. Kusta dan Frambusia. Aksi Program P2P 2020-2024 14 secara terpadu dan menyeluruh,
maka diperlukan peningkatan upaya promosi kesehatan, surveilans yang meliputi
penemuan dini kasus baru dan pelacakan kontak, pemberian obat pencegahan, dan
pengobatan termasuk perawatan diri untuk mencegah disabilitas. Untuk frambusia,
pendekatan yang dilakukan harus komprehensif, yakni promotif-preventif (perbaikan
ekonomi, akses air bersih dan sanitasi), deteksi dini kasus, dan pengobatan yang
optimal.
- Menjadi seorang gay, biseksual, atau melakukan hubungan seks sesama pria.
- Melakukan hubungan seks tanpa kondom, terutama jika memiliki banyak pasangan.
- Mengidap HIV/AIDS
- Berhubungan seks dengan seseorang yang mengidap sifilis.
- Mengidap IMS jenis lain, seperti klamidia, gonore atau herpes.
Patofisiologi
Sifilis atau raja singa merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri pathogen
Treponema pallidum yang menular secara seksual. Sifilis dapat menyebar dengan diturunkan
dari ibu yang sedang hamil ke janinnya hubungan seksual, transfusi darah, dan penyuntikan
yang tidak steril, serta narkoba. Ibu yang terinfeksi akan menularkan kejaninnya dan
menyebabkan kelahiran prematur hingga kematian janin dengan persentase mencapai 80%.
Lama inkubasi sifilis selama 3 hingga 12 minggu dengan 3 (tiga) tahapan berbeda meliputi
primer, sekunder, dan laten. Patofisiologi sifilis terjadi ketika ketidakmampuan sel untuk
mengaktifasi lipopolisakarida T. Pallidum pada TLR4 (Tolllike Reseptor 4). Ketidakmampuan
tersebut menyebabkan imunitas tubuh gagal untuk mengenali T. Pallidum sehingga bakteri
tersebut mampu bereplikasi secara cepat tanpa hambatan. Respons immunitas tubuh yang
lambat menyebabkan inflamasi sehingga terjadi kerusakan jaringan karena proliferasi endotel.
Proliferasi ini terjadi pada pembuluh kapiler dan lumen, kemudian menyebabkan nekrosis pada
jaringan tubuh.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan langsung dengan mikroskop lapangan gelap (dark field) merupakan
metode paling spesifik dan sensitif untuk memastikan diagnosis sifilis primer adalah
dengan menemukan treponema yang akan terlihat pada pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap dari cairan yang diambil pada permukaan chancre. Ulkus sifilis primer
dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam
lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop
lapangan gelap menggunakan minyak imersi. Treponema Pallidum berbentuk ramping,
gerakan lambat.
2. Pemeriksaan serologi
- Tes non-treponema : Tes RPR (Rapid Plasma Reagin), VDRL (Venereal Disease
Research Laboratory) dan ART (Automated Reagin Test). Tes serologis yang
termasuk dalam kelompok ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan
antibodi terhadap bahan-bahan lipid sel-sel T. Pallidum yang hancur.
- Tes spesifik treponema : Termasuk dalam kategori ini adalah tes TPHA
(Treponema Pallidum Haemagglutination Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum
Rapid), TP-PA (Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay), FTA-ABS
(Fluorescent Treponemal Antibody Absorption), EIA (Treponemal Enzyme
Immuno Assay) untuk deteksi imunoglobulin G (IgG), immunoglobulin G dan M
(IgG dan IgM), atau immunoglobulin M (IgM).
a. Manifestasi klinis
Jenis tetanus yang paling sering ditemukan adalah tetanus generalis. Tetanus jenis ini
biasanya ditandakan dengan gejala spasme pada otot wajah atau trismus di awal dan susah
menelan, diikuti kesulitan untuk bernafas, spasme otot belakang atau opithotonos serta posture
tonik generalis yang tiba-tiba. Di kasus berat, spasme dari otot pernafasan dapat menyebabkan
kematian (Boushab, et al, 2018).
b. Pemeriksaan penunjang
Tetanus di diagnosis berdasarkan gejala klinis. Hingga saat ini belum ada pemeriksaan
penunjang yang spesifik untuk tetanus. Kuman C. tetani tidak tumbuh pada saat dikultur dari
sampel yang berasal dari luka terkontaminasi. Tes spatula dengan menyentuhkan ujung spatula
pada dinding faring akan direspon dengan gigitan kuat pada spatula tersebut, tes ini spesifik
dan sensitif untuk diagnosis tetanus. Uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding
posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
c. Patofisiologi
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang
terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi,
ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hip aerob sampai
anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrosis, leukosit yang mati, benda–benda asing maka
spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila
dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanolysin, tidak berhubungan dengan patogenesis penyakit.
Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang
mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut. Tetanospasmin masuk ke susunan saraf
pusat melalui otot dimana terdapat suasana anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani
untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan
ditransportasikan secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja.
Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi dan secara efektif
menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi khususnya toksin tersebut menghambat
pengeluaran Gamma Aminobutyric Acid (GABA) yang spesifik menginhibisi neuron motorik.
Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi dari sistem saraf motorik.
Tetanospasmin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga
terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan
dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi
kardiovaskuler. Tetanospasmin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir
lagi oleh antitoksin tetanus.