Anda di halaman 1dari 24

Nama : Wahdania H

NIM : R011191059
PANDEMI DAN COVID-19
Menurut WHO (World Heath Organization) Pandemi COVID-19 adalah penyebaran
penyakit baru ke seluruh dunia. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19
ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan
manusia). Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular melalui :
- Manusia ke manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet)
- Orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien
COVID-19
COVID-19 paling utama ditransmisikan oleh tetesan aerosol penderita dan melalui kontak
langsung. Aerosol atau droplet kemungkinan ditransmisikan ketika orang memiliki kontak
langsung dengan penderita dalam jangka waktu yang terlalu lama.
Gejala Klinis
- Demam
- Menggigil
- Batuk
- Sesak napas
- Anosmia
- Mudah lelah
- Nyeri otot
- Sakit kepala
- Sakit tenggorokan
Faktor Risiko
Penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif
merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Beberapa faktor risiko lain adalah kontak
erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area
terjangkit.
Yang perlu diperhatikan
Yaitu pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, orang tanpa gejala.
SKILL PENGGUNAAN APD (ALAT PELINDUNG DIRI)
Alat-alat APD
Medical/surgical mask, respirator N95, goggles,face shield, examination gloves, surgical
gloves, shoe cover, coverall medis.
Prinsip Pengguaan APD
- Kenakan sebelum kontak dengan pasien, pada umumnya dikenakan sebelum memasuki
ruang perawatan pasien.
- Kenakan APD dengan hati-hati sehingga APD tersebut tidak menjadi media transmisi
infeksi.
- Lepas dan buang APD dengan hati-hati. Lepas sesegera mungkin setelah keluar dari
ruang perawatan. Respirator dilepas di luar ruangan.
- Sesegera mungkin lakukan hand hygiene.
Hal yang Perlu Diperhatikan pada Penggunaan APD
- Menggunakan baju kerja (scrub suit)
- Melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah menggunakanAPD
- Melakukankebersihan tangan setiap melepaskan item APD
- Mandi setelah selesai menggunakan APD
-
Upaya dan Peran Pemerintah Mengelola Tenaga Kesehatan dan SDM dalam Pelayanan
Neglected Tropical Desease (NTD)
Neglected Tropical Diseases (NTD) atau dalam Bahasa Indonesia disebut penyakit tropis
yang terabaikan. Penyakit-penyakit ini hanya ditemui di daerah tropis maupun subtropis dan
disebabkan oleh berbagai virus, bakteri, protozoa dan cacing. Dikatakan terabaikan karena
meskipun menular, penyakit ini hanya diderita oleh orang-orang yang mempunyai taraf hidup
yang rendah dan sering tidak mendapatkan perhatian yang sama jika dibandingkan dengan
penyakit menular lainnya seperti HIV/AIDS, Tuberkulosis dan Malaria.
WHO telah menetapkan 17 penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, atau
cacing ke dalam kelompok NTD. Bakteri NTD adalah ulkus Buruli (Buruli ulcer), kusta,
trachoma, dan frambusia, sedangkan NTD virus adalah infeksi virus dengue dan rabies.
Protozoa penyebab NTD termasuk penyakit Chagas, trypanosomiasis, dan leismaniasis. Cacing
menyebabkan penyakit yang mendominasi NTD: taeniasis, dracunculiasis, echinococcosis,
trematodiasis, filariasis, onchocerciasis, schistosomiasis, dan helminthiasis yang ditularkan
melalui tanah (Soil-transmitted Helminth/STH).
Beberapa penyakit tropis terabaikan masih menjadi masalah di Indonesia, yaitu filariasis,
kusta, frambusia dan schistosomiasis.
1. Filariasis (penyakit kaki gajah). Upaya yang dilakukan yaitu Memutus rantai penularan
filariasis melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM). Rencana Aksi Program
P2P 2020-2024 13 dan Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan
kasus kronis filariasis.
2. Schistosomiasis, menyebabkan anemia sehingga memicu kekerdilan (stunting) dan
berkurangnya kemampuan belajar pada anak-anak. Kementerian Kesehatan bersama
Bappenas telah menyusun peta jalan eradikasi schistosomiasis dengan pendekatan
manajemen lingkungan terpadu untuk memberantas keong (Oncomelania Hupensis)
dengan melibatkan lintas sektor dan seluruh pemangku kepentingan, melakukan
pengobatan massal untuk memutus rantai penularan, dan melakukan surveilans melalui
pemeriksaan telur di tinja.
3. Kusta dan Frambusia. Aksi Program P2P 2020-2024 14 secara terpadu dan menyeluruh,
maka diperlukan peningkatan upaya promosi kesehatan, surveilans yang meliputi
penemuan dini kasus baru dan pelacakan kontak, pemberian obat pencegahan, dan
pengobatan termasuk perawatan diri untuk mencegah disabilitas. Untuk frambusia,
pendekatan yang dilakukan harus komprehensif, yakni promotif-preventif (perbaikan
ekonomi, akses air bersih dan sanitasi), deteksi dini kasus, dan pengobatan yang
optimal.

ASUHAN KEPERAWATAN GONORE


Gonore merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae (N. gonorrhoeae), bakteri Gram negatif berbentuk coccus, aerob. Penyebab
gonore adalah gonokokok yang ditemukan oleh Albert Ludwig Siegmund Neisser
berkebangsaan Jerman, melalui pengecatan hapusan duh tubuh uretra, vagina dan konjungtiva
dan pertama kali di kultur in vitro tahun 1882 oleh Leistikow.
Komplikasi yang dapat terjadi seperti epididimitis, orchitis, prostatitis, cowperitis, bahkan
infertilitas. Salah satu dari karakteristik yang mempengaruhi seseorang terkena IMS antara lain
pengetahuan.
Faktor Risiko
Usia muda saat pertama kali berhubungan seks, pasangan seks baru, pasangan seks lebih
dari satu, pasangan seks yang memiliki pasangan lain, pasangan seks penderita IMS,
penggunaan kondom tidak konsisten, riwayat atau sedang menderita IMS, dan menukar seks
dengan uang atau narkoba.
Manifestasi Klinis
Infeksi pada saluran genital, tubuh vagina yang berasal dari endoservisitis yang bersifat
purulen dan agak berbau, timbul disuria dan dispareunia, jika bersifat asimptomatis maka dapat
berkembang menjadi penyakit radang panggul.
Pemeriksaan Penunjang
- Spesimen
- Apusan
- Kultur
- Tes oksidase
- Tes fermentasi
- Uji sensitivitas antibiotik
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi menular seksual (gonore)
2. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kekurangan minat perawatan diri
3. Pola seksual tidak efektif berhubungan dengan penyakit menular seksual (gonore)

ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS


Human immunodeficiency virus (HIV) adalah infeksi yang menyerang sistem kekebalan tubuh,
khususnya sel darah putih yang disebut sel CD4 (WHO, 2022). HIV menghancurkan sel CD4,
melemahkan kekebalan seseorang terhadap infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis dan infeksi
jamur, infeksi bakteri parah dan beberapa jenis kanker.
Etiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen, dan sekret
vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka target utama HIV adalah limfosit CD4 karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan mengubah
informasi genetiknya ke dalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel
yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid) menjadi DNA
(deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase. DNA pro-virus tersebut
kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk
gen virus. Setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga
ikut diturunkan.
Manifestasi
● Individu yang terkena HIV jarang sekali merasakan dan menunjukkan timbulnya suatu
tanda dan gejala infeksi.
● Jika sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun akibat infeksi tersebut maka akan
timbul tanda-tanda dan gelaja lain seperti kelenjar getah bening bengkak, penurunan
berat badan, demam, diare dan batuk.
● Ketika penderita masuk tahap kronis maka akan muncul gejala yang khas dan lebih
parah.
● Pada tahapan lanjutan, penderita HIV akan kehilangan berat badan, jumlah virus terus
meningkat, jumlah limfosit CD4+ menurun hingga <200 sel/ul.
● Pada tahapan akhir menunjukkan perkembangan infeksi opurtunistik seperti meningitis,
mycobacteruim avium dan penurunan sistem imun.
Faktor Resiko
● Status penerima transfusi darah
● Bayi dari ibu yang dinyatakan menderita AIDS (proses kehamilan, kelahiran dan
pemberian ASI)
● Pecandu narkotik (khususnya IDU, tindik dengan alat yang terpapar HIV/AIDS)
● Mereka yang mempunyai banyak pasangan seks pramuria (baik di diskotik atau bar,
WPS, waria, panti pijat, homo dan heteroseks)
● Pola hubungan seks
● Status awal berhubungan seks
● Keluarga dengan penderita HIV/AIDS positif (pasangan penderita misal suami/ istri)
yang tidak menggunakan pelindung
● Pemakai alat suntik (pecinta tatto, tindik dengan alat terpapar HIV/AIDS ) sangat
mungkin tertular HIV dan AIDS
● Risiko paling tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS yaitu perempuan pekerja seks.
Pemeriksaan Penunjang
● Tes Antibodi
● Tes antibodi adalah metode pemeriksaan HIV dan AIDS yang paling umum. Antibodi
adalah protein yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh sebagai respon terhadap
kehadiran zat asing, seperti virus. Cek HIV ini tujuannya bukan untuk mencari penyakit
atau virus HIV, tetapi menemukan protein untuk menangkal penyakit (antibodi).
● Tes Antibodi-Antigen (Ab-Ag)
● Pemeriksaan HIV Ab-Ag adalah pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi yang
ditujukan terhadap HIV-1 atau HIV-2. Pemeriksaan HIV ini juga bertujuan untuk
menemukan protein p24 yang merupakan bagian dari inti virus (antigen dari virus).
● Tes Serologi
Ada tiga jenis tes serologi yang umum direkomendasikan sebagai pemeriksaan
HIV/AIDS yaitu:
● Tes darah cepat
Tes darah HIV/AIDS cepat dengan reagen (bahan kimia aktif) sudah dievaluasi
dan direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi antibodi HIV-1 maupun HIV-2.
● Tes ELISA
Pemeriksaan HIV ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2 yang
dilakukan dengan ELISA (enzyme- linked immunisorbent assay) atau dikenal
juga dengan EIA (enzyme immunoassay). Untuk melakukan tes ELISA sampel
darah akan diambil dari permukaan kulit kemudian dimasukkan ke dalam tabung
khusus.
● Tes western blot
● Tes Western blot hanya dilakukan untuk menindaklanjuti tes skrining awal yang
menunjukkan hasil positif HIV.
● Tes virologis dengan PCR (Polimerase Chain Reaction)
Tes virologis adalah salah satu jenis pemeriksaan HIV dan AIDS yang dilakukan dengan
metode polymerase chain reaction (PCR).
Diagnosa Keperawatan
● Defisit pengetahuan
● Hipertermi
● Nyeri Akut
● Risiko cedera
● Gangguan Integritas kulit/jangan
● Bersihan jalan nafas tidak efektif
● Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
● Defisien volume cairan
● Intoleran aktifitas
● Ketidakefektifan pola nafas

ASUHAN KEPERAWATAN MALARIA


Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepatosplenomegali
Etiologi
Ada empat jenis spesies parasit malaria di dunia yang dapat menginfeksi sel darah merah
manusia, yaitu :
● Plasmodium falciparum
● Plasmodium vivax
● Plasmodium malariae
● Plasmodium ovale
Tanda dan Gejala
Menurut berat-ringannya gejala malaria dapat dibagi menjadi 2 jenis, sebagai berikut :
● Gejala malaria ringan (malaria tanpa komplikasi). Meskipun disebut malaria ringan,
sebenarnya gejala yang dirasakan penderitanya cukup menyiksa (alias cukup berat).
Gejala malaria yang utama yaitu: demam, dan menggigil, juga dapat disertai sakit
kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot atau pegal-pegal. \
● Gejala malaria berat (malaria dengan komplikasi). Penderita dikatakan menderita
malaria berat bila di dalam darahnya ditemukan parasit malaria melalui pemeriksaan
laboratorium Sediaan Darah Tepi atau Rapid Diagnostic Test (RDT) dan disertai
memiliki satu atau beberapa gejala/komplikasi, seperti gangguan kesadaran dalam
berbagai derajat (mulai dari koma sampai penurunan kesadaran lebih ringan dengan
manifestasi seperti: mengigau, bicara salah, tidur terus, diam saja, tingkah laku
berubah), keadaan umum yang sangat lemah (tidak bisa duduk/berdiri), kejang-kejang,
panas sangat tinggi, mata atau tubuh kuning, tanda-tanda dehidrasi (mata cekung, turgor
dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering, produksi air seni berkurang), perdarahan
hidung, gusi atau saluran pencernaan, nafas cepat atau sesak nafas, muntah terus
menerus dan tidak dapat makan minum, warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai
kehitaman, jumlah air seni kurang sampai tidak ada air seni, serta telapak tangan sangat
pucat (anemia dengan kadar Hb kurang dari 5 g%)
Faktor Risiko
● Penggunaan Kelambu
Kebiasaan menggunakan kelambu merupakan upaya yang efektif untuk mencegah dan
menghindari kontak antara nyamuk Anopheles sp. dengan orang sehat disaat tidur pada
malam hari.
● Keberadaan Breeding Place
Breeding place (tempat perkembangbiakan atau perindukan nyamuk anopheles sp).
dapat berupa selokan atau parit, genangan air di semak, wadah dekat sumur, cekungan
wadah pot, wadah tanah liat, wadah sampah dan tempat yang tergenang oleh air di luar
rumah atau ruangan.
● Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari
Kebiasaan keluar pada malam hari merupakan hal yang seharusnya dihindari jika tidak
ada upaya pencegahan yang dilakukan seperti penggunaan obat anti nyamuk sebelum
keluar rumah ataupun penggunaan pakaian panjang.
● Penggunaan Obat Anti Nyamuk
Salah satu yang menjadi alasan masyarakat memakai obat anti nyamuk adalah karena
kurangnya jumlah kelambu yang dibagikan.
Pemeriksaaan penunjang
● USG : pada penderita malaria kronis terdapat pembesaran limpa
● Rontgen : pada penderita malaria kronis terlihat pembesaran hati
dan limpa
● Laboratorium
○ Hitung leukosit darah rendah atau normal (n : 4.000-10.000 mm3)
○ Jumlah trombosit sering menurun terutama pada malaria berat (n : 150.000-
400.000 sel/mm3)
○ Laju endap darah sangat tinggi (>5-15 mm/jam)
○ Hemoglobin darah rendah (<10 gr/dl)
○ Plasmodium terlihat dalam sediaan, DDR (+).><10 gr/dl)
Diagnosa keperawatan
● Gangguan pertukaran gas
● Perfusi perifer tidak efektif
● Ansietas
● Defisien volume cairan
● Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
● Intoleransi aktivitas

ASUHAN KEPERAWATAN FLU BURUNG


Avian Influenza (AI) atau flu burung sampar unggas merupakan penyakit zoonosis yang
ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family orthomyxoviride. Virus
penyebab Flu Burung di Indonesia adalah Virus Influenza A subtipe H5N1. Virus Influenza A
subtipe H5N1 adalah salah satu virus tipe A yang dikenal sebagai virus influenza unggas yang
sangat patogen (Highly Pathogenic Avian Influenza - HPAI).
Faktor Resiko
● Pekerja di peternakan ayam
● Pemotong ayam
● Orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung
● Orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung
● Populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung
Manifestasi
Gambaran klinis pada manusia yang terinfeksi flu burung menunjukkan gejala yang diawali
dengan demam, kelelahan, nyeri otot, sakit tenggorokan, batuk, sakit kepala dan pilek. Dalam
perkembangannya kondisi tubuh sangat cepat menurun drastis. Bila tidak segera ditolong,
korban bisa meninggal karena berbagai komplikasi misalnya terjadinya gagal nafas karena
pneumonia dan gangguan fungsi tubuh lainnya karena sepsis.
Pemeriksaan Penunjang
● Pemeriksaan laboratorium (darah)
● Pemeriksaan analisa gas darah dan elektrolit
● Pemeriksaan RT-PCR
● Pemeriksaan Serologi
● Rontgen dada
Diagnosis
● Hipertermi berhubungan proses infeksi penyakit
● Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sesak nafas]
● Nyeri akut berhubungan inflamasi
● Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan

ASUHAN KEPERAWATAN TUBERKULOSIS


Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan kuman Mycobacterium
tuberculosis. Beberapa Spesies yang Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M.
africanum, M. Bovis, M. Leprae dan sebagainya yang dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam
(BTA). Penyebaran bakteri TB melalui udara (airborne disease) dari penderita sakit TB ke
orang lain. Bakteri TB menyebar ke udara ketika penderita sakit TB sedang batuk, berbicara
atau bernyanyi. Kuman tersebut ada dalam percikan dahak, yang disebut dengan droplet nuclei.
Faktor Risiko
● Riwayat TB di dalam keluarga
● Perilaku merokok
● Kondisi lingkungan rumah (seperti : Rumah yang tidak memiliki pencahayaan yang
baik dan kurang dimasuki cahaya matahari)
Manifestasi Klinis
Gejala yang ditimbulkan penyakit tuberkulosis yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk yang dialami dapat disertai dengan dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan.
Pemeriksaan Penunjang
● Pemeriksaan Dahak Mikroskopis/BTA (Bakteri Tahan Asam)
● Pemeriksaan Darah Rutin (Darah Lengkap Otomatis & Laju Endap Darah)
● Pemeriksaan BACTEC
Diagnosa Keperawatan
● Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukus yang kental,
hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk dan edema trakheal/faringeal
● Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar kapiler
● Defisit nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan keletihan,
anoreksia, dispnea, peningkatan metabolisme tubuh
● Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya batuk, sesak nafas dan nyeri dada

ASUHAN KEPERAWATAN HANSEN


Morbus Hansen (MH) disebut juga dengan penyakit kusta atau lepra. Istilah kusta berasal dari
bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Sepuluh
(10) Penamaan Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1873, sehingga penyakit ini juga disebut Hansen’s
Disease.
Klarifikasi
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
3. Tipe Indeterminate (I)
4. Tipe Borderline (BB)
5. Tipe Borderline Lepromatosa (BL)
6. Tipe Lepromatosa (LL)
Faktor Risiko
● Tinggal di daerah endemik kusta.
● Tinggal di daerah kondisi yang buruk (tempat tinggal yang tidak memadai, gizi
kurang/buruk, air yang terkontaminasi atau penyakit lain yang berhubungan dengan
imun).
● Koinfeksi dengan HIV dapat memperburuk patogenesis kusta dan/atau menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap penyakit kusta.
Manifestasi Klinis
● Kelainan saraf tepi
Kerusakan saraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan autonomik. Sensorik biasanya
berupa hipoestesi ataupun anestesi pada lesi kulit yang terserang. Motorik berupa
kelemahan otot, biasanya di daerah ekstremitas atas, bawah, muka dan otot mata.
Autonomik menyerang persarafan kelenjar keringat sehingga lesi terserang tampak
lebih kering.
● Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tinggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang kadang
lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa
makula, papula atau nodul.
Pemeriksaan Penunjang
● Pemeriksaan Bakterioskopis
● Pemeriksaan Histopatologi
● Pemeriksaan Imunologi
Diagnosa Keperawatan
● Gangguan Integritas Kulit/Jaringan berhubungan dengan proses penyebaran penyakit.
● Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, kaku.
● Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit yang dideritanya.
● Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang lemah.

ASUHAN KEPERAWATAN VARICELLA


Varicella merupakan penyakit yang mudah menular pada manusia, manusia adalah satu-
satunya inang pada penyakit ini. Hal ini disebabkan oleh Varicella Zoster Virus, virus yang
termasuk bagian dari alpha herpes yang merupakan jenis virus imunogenik. Sebagai penyakit
endemik akut yang paling umum yang menyerang manusia.
Komplikasi
● Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan oleh bakteri
● Scar
● Pneumonia
● Neurologik
Faktor Risiko
● Melakukan kontak erat dengan orang yang terinfeksi virus Varicella-zoster selama
lebih dari 15 menit.
● Menyentuh ruam orang yang terinfeksi cacar air atau herpes zoster.
● Menyentuh sesuatu yang baru saja digunakan oleh orang yang terinfeksi seperti
pakaian atau tempat tidur.
● Orang dewasa yang tinggal bersama anak-anak berusia di bawah 12 tahun. 5)
Menghabiskan waktu di sekolah atau fasilitas penitipan anak. 6) Sistem kekebalan
yang rendah akibat penyakit atau obat-obatan
Manifestasi Klinis
● Stadium Prodromal.
Pada stadium prodromal, individu akan merasakan demam yang tidak terlalu tinggi
selama 1-3 hari, menggigil, nyeri kepala anoreksia, dan malaise.
● Stadium Erupsi.
Pada stadium erupsi, timbul ruam-ruam kulit “dew drops on rose petals” tersebar
pada wajah, leher, kulit kepala dan secara cepat akan terdapat badan dan ekstremitas.
Pemeriksaan Penunjang
● Pemeriksaan dapat dilakukan dengan percobaan Tzanck
● VZV PCR adalah metode pilihan untuk diagnosis klinis yang cepat.
● Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella tersedia secara komersial
termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-linked immunosorbent test
(ELISA).
Diagnosa Keperawatan
● Hipertermia.
● Defisit nutrisi.
● Gangguan pola tidur.
● Gangguan Integritas kulit.

ASUHAN KEPERAWATAN SIFILIS


Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete, Treponema pallidum
(T. pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual. Sifilis secara umum
dapat dibedakan menjadi dua: yaitu sifilis kongenital(ditularkan dari ibu ke janin selama dalam
kandungan)dan sifilis yang didapat / acquired (ditularkan melalui hubungan seks atau jarum
suntik dan produk darah yang tercemar).
Etiologi
Sifilis disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum yang menyebar melalui
hubungan seksual dengan penderita raja singa. Bakteri penyebab sifilis juga bisa menyebar
melalui melalui kontak fisik dengan luka di tubuh penderita. Treponema palidum masuk
melalui selaput lendir yang utuh, atau kulit yang mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe,
kemudian masuk ke dalam pembuluh darah, dan diedarkan ke seluruh tubuh. Setelah beredar
beberapa jam, infeksi menjadi sistemik walaupun tanda-tanda klinis dan serolois belum jelas.
Kisaran satu minggu setelah terinfeksi Treponema palidum, ditempat masuk timbul lesi primer
berupa ulkus. Ulkus akan muncul selama satu hingga lima minggu, kemudian menghilang
(Putri et al., 2014).
Manifestasi klinis
Tanda dan gejala sifilis pada dewasa
 Primer : Ulkus/luka/tukak, biasanya soliter, tidak nyeri, batasnya tegas, ada indurasi
dengan pembesaran kelenjar getah bening regional (limfadenopati) dengan durasi 3
minggu.
 Sekunder : Bercak merah polimorfik biasanya di telapak tangan dan telapak khaki, lesi
kulit papuloskuamosa dan mukosa, demam, malaise, limfadenopati generalisata,
kondiloma lata, patchy alopecia, meningitis, uveitis, retinitis dengan durasi 2-12
minggu.
 Laten : asimtomatik dengan durasi dini <1 tahun dan lanjut >1 tahun.
 Gumma : Destruksi jaringan di organ dan lokasi yang terinfeksi dengan durasi 1-46
tahun.
 Sifilis kardiovaskular : Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis osteum dengan
durasi 10-30 tahun.
 Neurosifilis : Bervariasi dari asimtomatis sampai nyeri kepala, vertigo, perubahan
kepribadian, demensia, ataksia, pupil Argyll Robertson dengan durasi >2 tahun – 20
tahun
Tanda dan gejala sifilis konginetal
 Dini : 70% asimtomatis, infeksi fulminan dan tersebar, lesi mukokutaneous,
osteokondritis, anemia, hepatosplenomegali, neurosifilis, pada bayi usia <1 bulan dapat
ditemukan kelainan kulit berbentuk vesikel atau bula dengan durasi darilahir sampai <
2tahun
 Lanjut : keratitis intertisial, limfadenopati, hepatosplenomegali, kerusakan tulang,
anemia, gigi hitchinson, neurosifilis dengan durasi kelahiran persisten > 2tahun setelah
a. Faktor risiko

- Menjadi seorang gay, biseksual, atau melakukan hubungan seks sesama pria.
- Melakukan hubungan seks tanpa kondom, terutama jika memiliki banyak pasangan.
- Mengidap HIV/AIDS
- Berhubungan seks dengan seseorang yang mengidap sifilis.
- Mengidap IMS jenis lain, seperti klamidia, gonore atau herpes.
Patofisiologi
Sifilis atau raja singa merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri pathogen
Treponema pallidum yang menular secara seksual. Sifilis dapat menyebar dengan diturunkan
dari ibu yang sedang hamil ke janinnya hubungan seksual, transfusi darah, dan penyuntikan
yang tidak steril, serta narkoba. Ibu yang terinfeksi akan menularkan kejaninnya dan
menyebabkan kelahiran prematur hingga kematian janin dengan persentase mencapai 80%.
Lama inkubasi sifilis selama 3 hingga 12 minggu dengan 3 (tiga) tahapan berbeda meliputi
primer, sekunder, dan laten. Patofisiologi sifilis terjadi ketika ketidakmampuan sel untuk
mengaktifasi lipopolisakarida T. Pallidum pada TLR4 (Tolllike Reseptor 4). Ketidakmampuan
tersebut menyebabkan imunitas tubuh gagal untuk mengenali T. Pallidum sehingga bakteri
tersebut mampu bereplikasi secara cepat tanpa hambatan. Respons immunitas tubuh yang
lambat menyebabkan inflamasi sehingga terjadi kerusakan jaringan karena proliferasi endotel.
Proliferasi ini terjadi pada pembuluh kapiler dan lumen, kemudian menyebabkan nekrosis pada
jaringan tubuh.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan langsung dengan mikroskop lapangan gelap (dark field) merupakan
metode paling spesifik dan sensitif untuk memastikan diagnosis sifilis primer adalah
dengan menemukan treponema yang akan terlihat pada pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap dari cairan yang diambil pada permukaan chancre. Ulkus sifilis primer
dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam
lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop
lapangan gelap menggunakan minyak imersi. Treponema Pallidum berbentuk ramping,
gerakan lambat.
2. Pemeriksaan serologi
- Tes non-treponema : Tes RPR (Rapid Plasma Reagin), VDRL (Venereal Disease
Research Laboratory) dan ART (Automated Reagin Test). Tes serologis yang
termasuk dalam kelompok ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan
antibodi terhadap bahan-bahan lipid sel-sel T. Pallidum yang hancur.
- Tes spesifik treponema : Termasuk dalam kategori ini adalah tes TPHA
(Treponema Pallidum Haemagglutination Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum
Rapid), TP-PA (Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay), FTA-ABS
(Fluorescent Treponemal Antibody Absorption), EIA (Treponemal Enzyme
Immuno Assay) untuk deteksi imunoglobulin G (IgG), immunoglobulin G dan M
(IgG dan IgM), atau immunoglobulin M (IgM).

ASUHAN KEPERAWATAN HERPES


Herpes simplek atau herpes kelamin atau herpes genital adalah sala satu penyakit menular
seksual yang di sebabkan oleh HSV2 (Herpes Simple Virus). Herpes Simplek Virus atau HSV
memiliki dua tipe yaitu HSV tipe 1 yaitu timbul lesi di daerah mulut, sekitar mulut, kepala dan
leher. Sedangkan HSV tipe 2 adalah penyakit yang kita sebut dengan herpes genital, dimana
lesi muncul di daerah sekitar kemaluan.
Etiologi
Penyebab herpes genital adalah virus herpes simplex (HSV) yang sangat menular. Virus ini
dapat berpindah dari satu orang ke orang lainnya melalui kontak langsung. Virus ini memiliki
dua tipe, yakni :
1. HSV tipe 1, tipe yang umumnya menyebabkan luka atau lecet pada daerah sekitar
mulut. Tipe ini ditularkan melalui kontak kulit, walaupun juga dapat menyebar ke
daerah genital saat melakukan oral seks.
2. HSV tipe 2, tipe yang umumnya menyebabkan herpes genital. Tipe ini ditularkan
melalui kontak seksual maupun kontak kulit, meskipun seseorang tidak memiliki luka
terbuka pada tubuhnya.
Tanda dan gejala
Gejala khas dari herpes simplex genitalis yaitu :
- Nyeri atau gatal di vagina, penis, area alat kelamin, atau bokong
- Luka melepuh yang berupa ruam merah atau lenting putih
- Koreng atau luka kering
- Nyeri saat buang air kecil
- Nyeri otot dan sendi
- Demam
- Pembengkakan kelenjar getah bening di lipatan paha
- Ruam merah dan luka melepuh muncul di sekitar alat kelamin, anus dan mulut.
Faktor risiko
- Jenis kelamin wanita lebih mudah terinfeksi herpes dibanding laki-laki.
- Memiliki pasangan seksual lebih dari satu.
- Melakukan hubungan intim yang tidak aman atau tanpa pelindung.
- Sistem kekebalan tubuh lemah.
Patofisiologi
Infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus menyerang ganglionsaraf; dan tahap
kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit di tempat yangsama. Pada infeksi primer
kebanyakan tanpa gejala dan hanya dapat dideteksidengan kenanikan titer antibody IgG.
Seperti kebanyakan infeksi virus, keparahan penyakit meningkat seiring bertambahnya usia.
Virus dapat menyebar melaluiudara via droplets, kontak langsung dengan lesi, atau kontak
dengan cairan yang mengandung virus seperti ludah. Gejala yang timbul 3 sampai 7 hari atau
lebih setelah kontak yaitu: kulit yang lembek disertai nyeri, parestesia ringan, atau rasa terbakar
akan timbul sebelum terjadi lesi pada daerah yang terinfeksi. Nyeri lokal, pusing, rasa gatal,
dan demam adalah karakteristik gejala prodormal. Trauma kulit lokal (misalnya: paparan sinar
ultraviolet, abrasi) atau perubahan sistemik (misalnya: menstruasi, kelelahan, demam) akan
mengaktifasi kembali virus tersebut yang akan berjalan turun melalui saraf perifer ke tempat
yang telah terinfeksi sehingga terjadi infeksi rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar
terjadi selama 2 sampai 24 jam dan dalam 12 jam lesi tersebut berubah dari kulit yang eritem
menjadi papula hingga terbentuk vesikel berbentukkubah yang kemudian akan ruptur menjadi
erosi pada daerah mulut dan vagina atau erosi yang ditutupi oleh krusta pada bibir dan kulit.
Krusta tersebut akanmeluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit tersebut akan reepitelisasi
dan berwarna merah muda (Habif, 2004). Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian kulit mana
saja, misalnya:mengenai jari-jari tangan (herpetic whitlow) terutama pada dokter gigi dan
perawat yang melakukan kontak kulit dengan penderita.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan dengan metode swab
2. Tes darah herpes
Ada dua jenis tes darah yang dilakukan untuk mendeteksi herpes :
- Tes darah yang dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang berguna melawan
HSV-1 atau HSV-2.
- Tes yang kedua ini hanya untuk mencari tahu jika tubuh telah memiliki antibodi
pada semua jenis herpes.

ASUHAN KEPERAWATAN TONSILITIS


Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer.
Penyebaran infeksi melalui udara (airborne droplets), tangan dan ciuman. Tonsilitis akut
merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus yang terjadi
dalam waktu kurang dari 3 minggu (Ramadhan, 2017). Tonsilitis membranosa termasuk dalam
salah satu jenis radang amandel akut yang disertai dengan pembentukan membrane atau selaput
pada permukaan tonsil yang bisa meluas ke sekitarnya (Ramadhan, 2017). Tonsilitis kronis
merupakan kondisi di mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan serangan infeksi yang
berulang-ulang (Nizar, 2016).
Etiologi
Penyebab tonsilitis adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Hal- hal yang
dapat memicu peradangan pada tonsil adalah seringnya kuman masuk ke dalam mulut bersama
makanan atau minuman (Manurung, 2016). Tonsillitis berhubungan juga dengan infeksi
mononukleosis, virus yang paling umum adalah EBV, yang terjadi pada 50% anak-anak
(Allotoibi, 2017).
Manifestasi klinis
1. Tonsillitis akut
- Tonsillitis viral : gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang
disertai rasa nyeri tenggorokan dan beberapa derajat disfagia.
- Tonsillitis bacterial : tanda dan gejala yang sering ditemui adalah nyeri
tenggorokan dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh tinggi, rasa
lesu, rasa nyeri sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga karena
nyeri alih.
2. Tonsillitis membranosa
- Tonsillitis difteri : gejala umunya berupa kenaikan suhu, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi melambat dan nyeri saat menelan.
- Tonsillitis septik : disebabkan oleh streptococcus hemoliticus pada susu sapi.
- Angina plant Vincent : gejala demam sampai 39oC, nyeri kepala, badan lemah
dan terkadang terdapat gangguan pencernaan.
3. Tonsillitis kronik : Tampak tonsil membesar, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi
detritus, rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di tenggorokan
dan nafas berbau.
Faktor risiko
1. Kebersihan mulut dan gigi yang buruk
2. Kebiasaan merokok
3. Kebiasaan makan : makan gorengan dan mengkonsumsi minuman dingin
4. Stress
Patofisiologi
Secara patologi terdapat peradangan dari jaringan pada tonsil dengan adanya kumpulan
leukosit, sel epitel yang mati, dan bakteri patogen dalam kripta. Fase- fase patologis tersebut
adalah:
1. Peradangan biasa daerah tonsil saja.
2. Pembentukan eksudat.
3. Selulitis tonsil.
4. Pembentukan abses peritonsiler.
5. Nekrosis jaringan.
Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan sub- mandibular.
Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang menyebabkan kesulitan menelan atau
seperti ada yang mengganjal di tenggorokan.

ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI


Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, dan adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang pula menyerang
konjungtiva atau vagina. Namun kasus yang lebih banyak terjadi yaitu berupa infeksi akut yang
menyerang saluran pernapasan atas.
Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama Corynebacterium
Diphtheriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik
dan dapat memproduksi eksotoksin.
Klasifikasi
Klasifikasi difteri menjadi dua jenis, yaitu :
1. Difteri tipe respirasi
Difteri tipe ini disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin (toksigenik).
Biasanya dapat menyebabkan gejala yang berat sampai meninggal. Difteri tipe respirasi
terbagi lagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
 Difteri hidung (anterior nasal diphtheria) : umumnya muncul pada bayi
 Difteri faucial : Gejala dapat berupa tonsilitis disertai dengan pseudomembran
yang berwarna kuning keabuan pada salah satu atau kedua tonsil.
 Difteri trachea laryngeal : Difteri tracheo laryngeal dapat menimbulkan
gambaran bullneck pada pasien difteri akibat cervical adenitis dan edema yang
terjadi pada leher.
 Difteri maligna : Hal ini merupakan bentuk difteri yang paling parah dari difteri.
Toksin secara cepat menyebar dengan demam tinggi, denyut nadi cepat,
penurunan tekanan darah dan sianosis.
2. Difteri kutan/kulit
Disebabkan oleh strain bakteri toksigenik maupun non toksigenik. Difteri kutan saat ini
lebih sering muncul daripada penyakit nasofaring di negara barat. Hal ini berkaitan
dengan alkoholisme dan kondisi lingkungan yang tidak higienis.
Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang digunakan sebagai alat diagnosa penyakit difteri, yaitu:
 Mengalami infeksi pada faring, laring, trakea, atau kombinasinya;
 Muncul selaput berwarna putih keabu-abuan (pseudomembran) yang tidak mudah lepas
pada tenggorokan, amandel, rongga mulut, atau hidung;
 Pembengkakan kelenjar limfa pada leher (bullneck);
 Demam yang tidak tinggi (< 38,5 ̊C);
 Mengeluarkan bunyi saat menarik napas (stridor); dan
 Kesulitan bernapas.
Patofisiologi
Bakteri Corynebacterium diphtheriae akan tumbuh di membran mukosa atau kulit yang
mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan mulai menghasilkan toksin. Toksin akan diserap
ke dalam membrane mukosa yangakan mengakibatkan kerusakan epitelium dan juga respon
inflamasi superfisial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel darah merah dan putih
sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna kelabu yang seringnya akan menutupi
tonsil, faring, atau laring. Jika ingin mencoba mengambil pseudomembran ini, malah akan
membuka dan merusak kapiler sehingga akan terjadi perdarahan. Diikuti dengan kelenjar getah
bening regional dileher membesar lalu kemungkinan akan muncul edema pada bagian leher
yang mengakibatkan gangguan saluran napas yang dikenal dengan "bull neck" (Carroll, 2017).
Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus diabsorbsi lalu dapat
mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh salah satunya degenerasi parenkim,
infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung, hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Terkadang akan
disertai dengan perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu menyebabkan kerusakan saraf yang
berujung pada paralisis palatum mole, otot-otot mata, dan ekstrimitas (Carroll, 2017).
Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan bakteriologis
- Kultur
- Pemeriksaan toksin
- Pemeriksaan laboratorium lain
- Elektrokardiogram (EKG)
- Pencitraan

ASUHAN KEPERAWATAN PERTUSSIS


Penyakit Pertussis (Batuk Rejan) adalah penyakit yang sangat menular yang hanya
ditemukan pada manusia Pertussis menyebar dari orang keorang. Seseorang yang menderita
pertussis biasanya menularkan penyakit kepada orang lain dengan batuk atau bersin atau ketika
menghabiskan banyak waktu di dekat satu sama lain dimana berbagi ruang bernapas
(Nofriansyah et al., 2020).
Etiologi
Pertusis adalah radang pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
Pertussis. Penyakit ini lebih sering menyerang anak balita, khususnya anak wanita. Penularan
terjadi melalui percikan ludah (droplet infection), dengan masa penularan berlangsung antara
2 hari sebelum timbul gejala sampai 3 minggu setelah munculnya gejala. Karena itu anak tidak
diperbolehkan masuk sekolah sampai 3 minggu setelah munculnya gejala. Masa inkubasi
(masa sejak terpapar oleh bakteri sampai timbulnya gejala pertama) berkisar antara 6-20 hari
(rata-rata 7-10 hari) (Hanuddin et al., 2020).
Faktor resiko
Daya tahan tubuh yang lemah, tidak pernah mendapat imunisasi terhadap pertusis, dan
kontak dengan penderita (Hanuddin et al., 2020).
Manifestasi klinis
Gejala khas yaitu batuk yang terus menerus sukar berhenti, muka menjadi merah atau
kebiruan dan muntah kadang-kadang bercampur darah. Batuk diakhiri dengan tarikan nafas
panjang dan dalam berbunyi melengking (Negara, 2022).
- Stadium awal: Terjadi sekitar 1 hingga 2 minggu setelah masa inkubasi. Gejala
umumnya adalah infeksi saluran pernapasan, bersin-bersin, hidung tersumbat, mata
berair dan disertai dengan demam ringan.
- Stadium paroksismal: Terjadi sekitar 1-6 minggu setelah masa inkubasi. Gejala
yang terjadi adalah batuk keras terus menerus dengan bunyi dengkingan panjang
(whoop), rasa lelah dan muntah-muntah terutama pada bayi dan anak-anak.
Komplikasi ke sistem saraf akibat hipoksia juga lebih sering terjadi pada bayi.
- Stadium penyembuhan: Terjadi beberapa minggu hingga bulan tergantung dari
pengobatan yang diterima. Batuk akan menghilang secara bertahap.
Pemeriksaan penunjang
- Pembiakan lendir hidung dan mulut.
- Pembiakan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang ditandai
sejumlah besar limfosit, LEE tinggi, jumlah leukosit antara 20.000-50.000 sel /
m³darah.
- Pemeriksaan serologis untuk Bordetella Pertusis.
- Tes ELISA (Enzyme – Linked Serum Assay) untuk mengukur kadar secret Ig A.
- Foto rontgen dada memperlihatkan adanya infiltrate perihiler, atelaktasis atau
emphysema
Patofisiologi
Bordetella pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat
pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa,
menimbulkan eksudasi yang mukopurulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel
torak, disertai infiltrate neutrofil dan makrofag.
Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella Pertusis yaitu perlengketan, perlawanan,
pengrusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik. Perlengketan dipengaruhi oleh FHA
(filamentous Hemagglutinin), LPF (lymphocytosis promoting factor), proten 69 kd yang
berperan dalam perlengketan Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella
Pertusis dapat bermultiplikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough.
Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi.
Perlawanan karena sel target dan limfosit menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin
mediated adenosine diphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan
serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas insulin.
Sedangkan pengrusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan
disertai hiperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada
permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan
mudah terjadi infeksi sekunder oleh streptococcus pneumonia, influenzae, staphylococcus
aureus.
Penumpukan mucus akan menyebabkan plug yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps
pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran
oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat
menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi
dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelainan paru itu dapat
menimbulkan bronkiektasis

ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS


Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh toksin bakteri anaerob obligat
gram positif Clostridium Tetani (C.tetani). Masa inkubasi bervariasi antara 3 hingga 21 hari,
dengan rata-rata onset gejala pada hari ke-7. Namun tetanus dapat berkembang hingga 178 hari
setelah infeksi. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia dan dapat dicegah melalui
imunisasi.
Etiologi
Tetanus merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf tepi, disebabkan oleh
toxin tetano- spamin dan dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Penyakit ini muncul jika
bakteri tetanus masuk ke tubuh manusia melalui luka, infeksi gigi, infeksi telinga, pemotongan
tali pusar yang tidak steril. Dalam tubuh manusia bakteri Clostridium tetani akan berkembang
biak dan menghasilkan eksotoksin yaitu tetanospamin yang akan menyebabkan kekakuan dan
spasme otot. Kasus tetanus pada masyarakat dapat terjadi pada berbagai usia, akan tetapi
seringkali terjadi pada kelompok usia sedang karena berkaitan dengan kebersihan yang kurang
baik sehingga mudah terinfeksi tetanus.
Faktor risiko
Menurut (Prawira et al., 2020) faktor risiko yang menyebabkan kasus tetanus meningkat di
masyarakat yaitu :
- Lingkungan dengan sanitasi buruk sehingga menyebabkan bakteri Clostridium
tetani akan mudah berkembang biak, dan pada umumnya penderita dengan gejala
tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor.
- Kebersihan tempat dan alat persalinan yang kurang dijaga sehingga menyebabkan
timbulnya penyakit tetanus pada bayi maupun ibu yang sedang melakukan
persalinan.
- Kurangnya kesadaran masyarakat dengan tingkat ekonomi kelas menengah ke
bawah tentang pengetahuan mengenai penyakit tetanus dan pentingnya imunisasi
tetanus serta perawatan luka yang kurang baik. Gejala awal tetanus ditandai dengan
trismus, kejang, panas, opistotonus, dan kaku pada leher yang dijumpai pada
kebanyakan pasien

a. Manifestasi klinis
Jenis tetanus yang paling sering ditemukan adalah tetanus generalis. Tetanus jenis ini
biasanya ditandakan dengan gejala spasme pada otot wajah atau trismus di awal dan susah
menelan, diikuti kesulitan untuk bernafas, spasme otot belakang atau opithotonos serta posture
tonik generalis yang tiba-tiba. Di kasus berat, spasme dari otot pernafasan dapat menyebabkan
kematian (Boushab, et al, 2018).
b. Pemeriksaan penunjang
Tetanus di diagnosis berdasarkan gejala klinis. Hingga saat ini belum ada pemeriksaan
penunjang yang spesifik untuk tetanus. Kuman C. tetani tidak tumbuh pada saat dikultur dari
sampel yang berasal dari luka terkontaminasi. Tes spatula dengan menyentuhkan ujung spatula
pada dinding faring akan direspon dengan gigitan kuat pada spatula tersebut, tes ini spesifik
dan sensitif untuk diagnosis tetanus. Uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding
posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
c. Patofisiologi
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang
terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi,
ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hip aerob sampai
anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrosis, leukosit yang mati, benda–benda asing maka
spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila
dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanolysin, tidak berhubungan dengan patogenesis penyakit.
Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang
mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut. Tetanospasmin masuk ke susunan saraf
pusat melalui otot dimana terdapat suasana anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani
untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan
ditransportasikan secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja.
Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi dan secara efektif
menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi khususnya toksin tersebut menghambat
pengeluaran Gamma Aminobutyric Acid (GABA) yang spesifik menginhibisi neuron motorik.
Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi dari sistem saraf motorik.
Tetanospasmin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga
terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan
dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi
kardiovaskuler. Tetanospasmin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir
lagi oleh antitoksin tetanus.

Anda mungkin juga menyukai