Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MANAJEMEN KEPERAWATAN

“Peningkatan Kualitas Ketenagaan yang Efektif sesuai Standar


Akreditasi, Jenis Metode Penugasan dalam Ruang Rawat, BOR,
LOS, TOI”

Dosen Pengampu :
Rini Rachmawaty, S.Kep., Ns., MN, PhD
OLEH : KELOMPOK 6
REGULER A 2019

NURMAULIDA RAHMAH MUSTAMIN R011191141


DESAK PUTU SIDIANI R011191007
WAHDANIA H R011191059
RUTH DEVIANA PUTRI T202210142

PROGRAM STUDIILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
A. Upaya Peningkatan Kualitas Ketenagaan Yang Efektif Sesuai Standar
Akreditasi
Salah satu aspek penting dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah
tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga kesehatan. Pasal 11 pada
Undang-Undang Republik Indonesia, No. 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan,
menyebutkan bahwa tenaga kesehatan salah satunya adalah tenaga keperawatan.
Perawat di Indonesia banyak menghadapi banyak tantangan. Salah satu tantangan
tenaga kesehatan Indonesia khususnya perawat adalah rendahnya kualitas, seperti
tingkat pendidikan dan keahlian yang belum memadai. Adanya kesenjangan
kualitas dan kompetensi lulusan pendidikan tinggi yang tidak sejalan dengan
tuntutan kerja di mana tenaga kerja yang dihasilkan tidak siap pakai.
Di Indonesia sendiri, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Kesehatan
SDM Kesehatan (PPSDM Kesehatan) Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (Profil Kesehatan Indonesia 2015 dalam (Kemenkes, 2016))
melaporkan bahwa jumlah terbesar tenaga kesehatan Indonesia menurut rumpun
ketenagaan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan adalah
perawat dengan jumlah 223.910 orang atau 34,6% dari total tenaga kesehatan
yang berjumlah 647.170 orang. Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 54 Tahun 2013 tentang Rencana
Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011–2025, terget rasio tenaga
kesehatan terhadap jumlah penduduk pada tahun 2019 di antaranya rasio perawat
180 per 100.000 penduduk. Namun secara nasional, rasio perawat adalah 87,65
per 100.000 penduduk. Hal ini masih jauh dari target tahun 2019 yaitu 180 per
100.000 penduduk.
Angka ini juga masih belum mencapai target tahun 2014 yang sebesar 158
per 100.000 penduduk. Dari meeting MRA (Mutual Recoqnition Arrangement)
Pusrengun BPPSDM Bandung (2011), disampaikan bahwa kebutuhan Perawat
9.280 orang pada tahun 2014, 13.100 orang pada tahun 2019, dan 16.920 pada
tahun 2025, (AIPVIKI, 2015). Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Kesehatan
akan terus menambah jumlah perawat karena dianggap belum mencapai target
rasio dan masih dianggap kurang. Hal ini yang mendasari pertumbuhan institusi
keperawatan di Indonesia menjadi tidak terkendali.Tentunya hal ini ikut
menyumbang penambahan jumlah perawat di Indonesia. Berdasarkan data dari
Dirjen Pendidikan Tinggi dan Badan PPSDM Kesehatan RI jumlah institusi
penyelenggara pendidikan DIII Keperawatan yang telah menjadi anggota Asosiasi
Institusi Pendidikan DIII Keperawatan Indonesia (AIPDIKI) sampai dengan April
tahun 2015 berjumlah 416 institusi (AIPVIKI, 2015).
Sedangkan jumlah institusi penyelenggara pendidikan S1 Ners Keperawatan
yang telah menjadi anggota Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI)
sampai dengan April 2017 sudah mencapai 304 Institusi (AIPNI, 2017). Di masa
sulitnya lapangan kerja, proses produksi tenaga perawat justru meningkat pesat.
Parahnya lagi, fakta dilapangan menunjukkan penyelenggara pendidikan tinggi
keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan dari profesi non keperawatan,
sehingga pemahaman tentang hakikat profesi keperawatan dan arah
pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana
prasarana cenderung untuk dipaksakan, kalaupun ada sangat terbatas. Semakin
banyak memproduksi perawat semakin lama juga profesi keperawatan membenahi
kualitasnya, tentunya peran pemerintah juga dibutuhkan.
Kualitas perawat dianggap sebagai hal yang sangat vital karena hal ini
berkenaan langsung dengan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan untuk
masyarakat, dan tentunya untuk mendukung program-program kerja Kementerian
Kesehatan RI dalam pembangunan kesehatan Nasional. Pemerintah bersama-sama
dengan organisasi profesi keperawatan sudah melakukan upaya peningkatan
kualitas perawat dengan melakukan uji kompetensi dan juga sejumlah pelatihan-
pelatihan. Namun hal tersebut di rasa belum optimal karena jumlah perawat yang
terus bertambah dan tidak terkendali. Pemerintah dalam menjalankan UU No. 36
tentang Tenaga Kesehatan Tahun 2014 dirasa belum optimal terutama memenuhi
tanggung jawab dan wewenang dalam meningkatkan mutu tenaga kesehatan, yang
salah satunya adalah tenaga keperawatan.
Pada UU No. 36 tentang Tenaga Kesehatan Tahun 2014 telah diatur
perencanaan, pengadaan, pendayagunaan tenaga profesi, registrasi dan perizinan
tenaga kesehatan, dan penyelenggaraan profesi tenaga kesehatan dalam hal ini
termasuk profesi keperawatan. Namun terkait mengenai pengaturan institusi
pendidikan keperawatan secara spesifik belum dijelaskan, sehingga institusi
pendidikan keperawatan berlomba-lomba menyelenggarakan program pendidikan
keperawatan dengan berbagai jenjang baik DIII, Sarjana, bahkan DIV
keperawatan. Di Indonesia, selama ini pengaturan mengenai pendirian dan
penyelenggaraan pendidikan keperawatan masih belum tegas dan jelas, sehingga
banyak sekali berdiri institusi pendidikan keperawatan yang kualitasnya masih
diragukan.
Peningkatan kualitas dan kompetensi ini menjadi lebih penting saat dunia
kesehatan memasuki situasi global yang memungkinkan terjadi persaingan.
Kualitas menjadi titik penting bagi peningkatan layanan kesehatan kepada
masyarakat.
Tanpa kualitas memadai sulit rasanya kita mengharapkan terjadi perubahan
terhadap indeks kesehatan masyarakat di Bumi Marunting Batu Aji ini. Maka
upaya untuk terus mencetak tenaga kesehatan yang berkualitas, baik itu doctor,
bidan, dan perawat harus menjadi prioritas utama.
Uji sertifikasi, uji kompetensi, pelatihan, magang, tugas lapangan dan
lainnya bisa menjadi alat ukur kualitas dan kompetensi tenaga kesehatan. Selain
itu, pengakuan terhadap profesi tenaga kesehatan seperti perawat misalnya akan
menjamin kenyamanan dan kualitas kerja dari SDM kesehatan tersebut.
Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan juga harus menjadi perhatian
tersendiri. Kompetensi tenaga kesehatan perlu terus ditingkatkan melalui
serangkaian kursus, pelatihan studi banding dan sejenisnya sehingga mereka
mampu melakukan tugas-tugas layanan kesehatan secara memadai, aplikatif dan
sistematis sesuai perkembangan teknologi dunia kesehatan.
Jika kuantitas dan distribusi tenaga kesehatan yang berkualitas dan
kompeten ini terus dimonitoring secara intensif oleh Pemerintah, maka diyakini
akan terjadi peningkatan derajat pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pertumbuhan dan persebaran tenaga kesehatan yang merata harus selalu disertai
upaya peningkatan kualitas dan kompetensinya. Mungkin dengan strategi ini
harapan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan secara mudah, merata
dan berkualitas dapat tercapai.
B. Jenis Metode Penugasan di Ruang Rawat
Metode penugasan merupakan suatu alternative metode yang akan
diterapkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien/pasien dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas asuhan dan peningkatan derajat kesehatan
pasien. Metode penugasan dapat juga diartikan sebagai keterampilan yang
dikembangkan oleh perawat, pengelola oleh manajer unit berdasarkan
pengetahuan mengenai kebutuhan keperawatan pasien dan pengetahuan
kemampuan staf termasuk jenis-jenis kategori tenaga yang ada. Beberapa metode
yang digunakan dalam perencanaan pelayanan keperawatan dalam unit tergantung
misi, falsafah dan tujuan serta model keperawatan yang dianut.
1. Metode Fungsional
Model pemberian asuhan keperawatan ini berorientasi pada penyelesaian
tugas dan prosedur keperawatan. Perawat ditugaskan untuk melakukan tugas
tertentu untuk dilaksanakan kepada semua pasien yang dirawat di suatu
ruangan. Model ini digambarkan sebagai keperawatan yang berorientasi pada
tugas dimana fungsi keperawatan tertentu ditugaskan pada setiap anggota staff.
Setiap staff perawat hanya melakukan 1-2 jenis intervensi keperawatan pada
semua pasien dibangsal. Misalnya seorang perawat bertanggung jawab untuk
pemberian obat obatan, seorang yang lain untuk tindakan perawatan luka,
seorang lagi mengatur pemberian intravena, seorang lagi ditugaskan pada
penerimaan dan pemulangan, yang lain memberi bantuan mandi dan tidak ada
perawat yang bertanggung jawab penuh untuk perawatan seorang pasien.
Seorang perawat bertanggung jawab kepada manajer perawat. Perawat
senior menyibukkan diri dengan tugas manajerial, sedangkan perawat
pelaksana pada tindakan keperawatan. Penugasan yang dilakukan pada model
ini berdasarkan kriteria efisiensi, tugas didistribusikan berdasarkan tingkat
kemampuan masing-masing perawat dan dipilih perawat yang paling murah.
Kepala ruangan terlebih dahulu mengidentifikasm tingkat kesulitan tindakan,
selanjutnya ditetapkan perawat yang akan bertanggung jawab mengerjakan
tindakan yang dimaksud. Model fungsional ini merupakan metode praktek
keperawatan yang paling tua yang dilaksanakan oleh perawat dan berkembang
pada saat perang dunia kedua.

a. Kelebihan dari Metode Fungsional


- Efisien karena dapat menyelesaikan banyak pekerjaan dalam waktu
singkat dengan pembagian tugas yang jelas dan pengawasan yang baik
- Sangat baik untuk rumah sakit yang kekurangan tenaga
- Perawat akan trampil untuk tugas pekerjaan tertentu saja
- Mudah memperoleh kepuasan kerja bagi perawat setelah selesai kerja
- Kekurangan tenaga ahli dapat diganti dengan tenaga yang kurang
berpengalaman untuk tugas sederhana
- Memudahkan kepala ruangan untuk mengawasi staf atau peserta didik
yang melakukan praktek untuk ketrampilan tertentu.
b. Kekurangan dari Metode Fungsional
- Pelayanan keperawatan terpisah-pisah atau tidak total sehingga
kesulitan dalam penerapan proses keperawatan
- Perawat cenderung meninggalkan klien setelah melakukan tugas
pekerjaan
- Persepsi perawat cenderung kepada tindakan yang berkaitan dengan
ketrampilan saja
- Tidak memberikan kepuasan pada pasien ataupun perawat lainnya
- Menurunkan tanggung jawab dan tanggung gugat perawat
- Hubungan perawat dan klien sulit terbentuk
2. Metode TIM
Metode tim adalah pengorganisasian pelayanan keperawatan dengan
menggunakan tim yang terdiri atas kelompok klien dan perawat. Kelompok ini
dipimpin oleh perawat yang berijazah dan berpengalaman kerja serta memiliki
pengetahuan dibidangnya (Regestered Nurse). Pembagian tugas dalam
kelompok dilakukan oleh pimpinan kelompok/ ketua grup dan ketua grup
bertanggung jawab dalam mengarahkan anggota grup/tim. Selain itu ketua grup
bertugas memberi pengarahan dan menerima laporan kemajuan pelayanan
keperawatan klien serta membantu anggota tim dalam menyelesaikan tugas
apabila menjalani kesulitan dan selanjutnya ketua tim melaporkan pada kepala
ruang tentang kemajuan pelayanan / asuhan keperawatan terhadap klien.
Keperawatan Tim berkembang pada awal tahun 1950-an, saat berbagai
pemimpin keperawatan memutuskan bahwa pendekatan tim dapat menyatukan
perbedaan katagori perawat pelaksana dan sebagai upaya untuk menurunkan
masalah yang timbul akibat penggunaan model fungsional. Pada model tim,
perawat bekerja sama memberikan asuhan keperawatan untuk sekelompok
pasien di bawah arahan/pimpinan seorang perawat profesional. Dibawah
pimpinan perawat professional, kelompok perawat akan dapat bekerja bersama
untuk memenuhi sebagai perawat fungsional. Penugasan terhadap pasien
dibuat untuk tim yang terdiri dari ketua tim dan anggota tim. Model tim
didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok mempunyai
kontriibusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan
sehingga timbul motivasi dan rasa tanggung jawab perawat yang tinggi. Setiap
anggota tim akan merasakan kepuasan karena diakui kontribusmnya di dalam
mencapai tujuan bersama yaitu mencapai kualitas asuhan keperawatan yang
bermutu. Potensi setiap anggota tim saling melengkapi menjadi suatu kekuatan
yang dapat meningkatkan kemampuan kepemimpinan serta menimbulkan rasa
kebersamaan dalam setiap upaya dalam pemberian asuhan keperawatan.
Pelaksanaan konsep tim sangat tergantung pada filosofi ketua tim apakah
berorientasi pada tugas atau pada klien. Perawat yang berperan sebagai ketua
tim bertanggung jawab untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan semua pasien
yang ada di dalam timnya dan merencanakan perawatan klien. Tugas ketua tim
meliputi: mengkaji anggota tim, memberi arahan perawatan untuk klien,
melakukan pendidikan kesehatan, mengkoordinasikan aktivitas klien.

a. Elemen yang harus diperhatikan dalam Metode TIM


- Pemimpin tim didelegasikan/diberi otoritas untuk membuat penugasan
bagi anggota tim dan mengarahkan pekerjaan timnya
- Pemimpin diharapkan menggunakan gaya kepemimpinan demokratik
atau partisipatif dalam berinteraksi dengan anggota tim
- Tim bertanggung jawab terhadap perawatan total yang diberikan kepada
kelompok pasien
- Komunikasi di antara anggota tim adalah penting agar dapat sukses.
Komunikasi meliputi penulisan perawatan klien, rencana perawatan
klien, laporan untuk dan dari pemimpin tim, pertemuan tim untuk
mendiskusikan kasus pasien dan umpan balik informal di antara
anggota tim.
b. Kelebihan Metode Tim
- Dapat memfasilitasi pelayanan keperawatan secara komprehensif
- Memungkinkan pelaksanaan proses keperawatan
- Konflik antar staf dapat dikendalikan melalui rapat dan efektif untuk
belajar
- Memberi kepuasan anggota tim dalam berhubungan interpersonal
- Memungkinkan meningkatkan kemampuan anggota tim yang berbeda-
beda secara efektif
- Peningkatan kerja sama dan komunikasi di antara anggota tim dapat
menghasilkan sikap moral yang tinggi, memperbaiki fungsi staf secara
keseluruhan, memberikan anggota tim perasaan bahwa ia mempunyai
kontribusi terhadap hasil asuhan keperawatan yang diberikan
- Akan menghasilkan kualitas asuhan keperawatan yang dapat
dipertanggungjawabkan
- Metode ini memotivasi perawat untuk selalu bersama klien selama
bertugas
c. Kekurangan Metode Tim
- Ketua tim menghabiskan banyak waktu untuk koordinasi dan supervisi
anggota tim dan harus mempunyai keterampilan yang tinggi baik
sebagai perawat pemimpin maupun perawat klinik
- Keperawatan tim menimbulkan fragmentasi keperawatan bila
konsepnya tidak diimplementasikan dengan total
- Rapat tim membutuhkan waktu sehingga pada situasi sibuk rapat tim
ditiadakan, sehingga komunikasi antar angota tim terganggu
- Perawat yang belum trampil dan belum berpengalaman selalu
tergantung staf, berlindung kepada anggota tim yang mampu
- Tidak efisien bila dibandingkan dengan model fungsional karena
membutuhkan tenaga yang mempunyai keterampilan tinggi.
3. Metode Primer
Model primer dikembangkan pada awal tahun 1970-an menggunakan
beberapa konsep dan perawatan total pasien. Keperawatan primer merupakan
suatu metode pemberian asuhan keperawatan di mana perawat primer
bertanggung jawab selama 24 jam terhadap perencanaan pelaksanaan
pengevaluasi satu atau beberapa klien dan sejak klien masuk rumah sakit
sampai pasien dinyatakan pulang. Selama jam kerja, perawat primer
memberikan perawatan langsung secara total untuk klien. Ketika perawat
primer tidak sedang bertugas, perawatan diberikan/didelegasikan kepada
perawat asosiet yang mengikuti rencana keperawatan yang telah disusuni oleh
perawat primer. Pada model ini, klien, keluarga, staf medik dan staf
keperawatan akan mengetahui bahwa pasien tertentu akan merupakan tanggung
jawab perawat primer tertentu. Setiap perawat primer mempunyai 4-6 pasien.
Seorang perawat primer mempunyai kewenangan untuk melakukan rujukan
kepada pekerja sosial, kontak dengan lembaga sosial masyarakat membuat
jadwal perjanjian klinik, mengadakan kunjungan rumah, dan lain sebagainya.
Dengan diberikannya kewenangan tersebut, maka dituntut akuntabilitas yang
tinggi terhadap hasil pelayanan yang diberikan. Tanggung jawab mencakup
periode 24 jam, dengan perawat kolega yang memberikan perawatan bila
perawat primer tidak ada. Perawatan yang yang diberikan direncanakan dan
ditentukan secara total oleh perawat primer.
Metode keperawatan primer mendorong praktek kemandirian perawat,
yang ditandai dengan adanya keterkaitan kuat dan terus menerus antara pasien
dan perawat yang ditugaskan untuk merencanakan, melakukan dan koordinasi
asuhan keperawatan selama pasien dirawat. Perawat primer bertanggung jawab
untuk membangun komunikasi yang jelas di antara pasien, dokter, perawat
asosiet, dan anggota tim kesehatan lain. Walaupun perawat primer membuat
rencana keperawatan, umpan balik dari orang lain diperlukan untuk
pengkoordinasian asuhan keperawatan klien. Dalam menetapkan seseorang
menjadi perawat primer perlu berhati-hati karena memerlukan beberapa
kriteria, di antaranya dalam menetapkan kemampuan asertif, self direction
kemampuan mengambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klinik,
akuntabel serta mampu berkolaborasi dengan baik antar berbagai disiplin ilmu.
Di negara maju pada umumnya perawat yang ditunjuk sebagai perawat primer
adalah seorang perawat spesialis klinik yang mempunyai kualifikasi master
dalam bidang keperawatan.

a. Kelebihan Metode Primer


- Perawat primer mendapat akuntabilitas yang tinggi terhadap hasil dan
memungkinkan untuk pengembangan diri
- Memberikan peningkatan autonomi pada pihak perawat, jadi meningkatkan
motivasi, tanggung jawab dan tanggung gugat
- Bersifat kontinuitas dan komprehensif sesuai dengan arahan perawat primer
dalam memberikan atau mengarahkan perawatan sepanjang hospitalisasi
- Kepuasan kerja perawat tinggi karena dapat memberikan asuhan
keperawatan secara holistik. Kepuasan yang dirasakan oleh perawat primer
adalah memungkinkan pengembangan diri melalui penerapan ilmu
pengetahuan
- Staf medis juga merasakan kepuasan karena senantiasa informasi tentang
kondisi klien selalu mutakhir dan komprehensif serta informasi dapat
diperoleh dari satu perawat yang benar-benar mengetahui keadaan kliennya
- Perawat ditantang untuk bekerja total sesuai dengan kapasitas mereka.
Waktu yang digunakan lebih sedikit dalam aktivitas koordinasi dan
supervisi dan lebih banyak waktu untuk aktivitas langsung kepada klien
- Pasien terlihat lebih menghargai. Pasien merasa dimanusiakan karena
terpenuhi kebutuhannya secara individu
- Asuhan keperawatan berfokus pada kebutuhan klien
- Profesi lain lebih menghargai karena dapat berkonsultasi dengan perawat
yang mengetahui semua tentang kliennya
- Menjamin kontinuitas asuhan keperawatan
- Meningkatnya hubungan antara perawat dan klien
- Metode ini mendukung pelayanan profesional
b. Kekurangan Metode Primer
- Hanya dapat dilakukan oleh perawat profesional
- Tidak semua perawat merasa siap untuk bertindak mandiri, memiliki
akuntabilitas dan kemampuan untuk mengkaji serta merencanakan asuhan
keperawatan untuk klien
- Akuntabilitas yang total dapat membuat jenuh
- Biaya relatif tinggi dibanding metode penugasan yang lain
- Beban kasus pasien 4-6 orang untuk satu perawat primer
- Penugasan ditentukan oleh kepala bangsal
- Perawat primer dibantu oleh perawat professional lain maupun non
professional sebagai perawat asisten
4. Metode Kasus
Metode kasus adalah metode dimana perawat bertanggung jawab
terhadap pasien tertentu yang didasarkan pada rasio satu perawat untuk satu
pasien dengan pemberian perawatan konstan untuk periode tertentu. Metode
penugasan kasus biasa diterapkan untuk perawatan khusus seperti isolasi,
intensive care, perawat kesehatan komunitas.

a. Kelebihan Metode Kasus


- Perawat lebih memahami kasus per kasus
- Sistem evaluasi dari manajerial menjadi lebih mudah
- Masalah pasien dapat dipahami oleh perawat
- Pasien merasa puas
- Kebutuhan pasien terpenuhi
- Kepuasan tugas secara keseluruhan dapat dicapai
b. Kekurangan Metode Kasus
- Belum dapatnya diidentifikasi perawat penanggung jawab
- Perlu tenaga yang cukup banyak dan mempunyai kemampuan dasar yang
sama
- Kemampuan tenaga perawat pelaksana dan mahasiswa perawat yang
terbatas sehingga tidak mampu memberikan asuhan secara menyeluruh
- Beban kerja tinggi terutama jika jumlah klien banyak sehingga tugas rutin
yang sederhana terlewatkan
- Pendelegasian perawatan klien hanya sebagian selama perawat penanggung
jawab klien tugas
5. Metode Modular
Metode modular atau metode modifikasi adalah penggunaan metode
asuhan keperawatan dengan modifikasi antara tim dan primer. Metode ini
adalah suatu variasi dan metode keperawatan primer. Metode keperawatan
modular memiliki kesamaan baik dengan metode keperawatan tim maupun
metode keperawatan primer (Gillies, 1994). Metode ini sama dengan metode
keperawatan tim karena baik perawat professional maupun non professional
bekerja sama dalam memberikan asuhan keperawatan dibawah kepemimpinan
seorang perawat professional.
Disamping ini, dikatakan memiliki kesamaan dengan metode
keperawatan primer karena dua atau tiga orang perawat bertanggung jawab atas
sekelompok kecil pasien sejak masuk dalam perawatan hingga pulang, bahkan
sampai dengan waktu follow up care. Metode modular yaitu metode gabungan
antara Metode penugasan tim dengan Metode perawatan primer. Metode ini
menugaskan sekelompok perawat merawat pasien dari datang sampai pulang.
Pengembangan model modular merupakan pengembangan dari primary
nursing yang digunakan dalam keperawatan dengan melibatkan tenaga
professional dan non professional. Model modular mirip dengan model
keperawatan tim, karena tenaga profesional dan non profesional bekerjasama
dalam memberikan asuhan keperawatan kepada beberapa pasien dengan arahan
kepemimpinan perawat profesional.
Model modular mirip juga dengan model primer, karena tiap 2-3 perawat
bertanggung jawab terhadap asuhan beberapa pasien sesuai dengan beban
kasus, sejak pasien masuk, pulang dan setelah pulang serta asuhan lanjutan
kembali ke rumah sakit. Agar model ini efektif maka Kepala Ruangan secara
seksama menyusun tenaga profesional dan non profesionaln serta bertanggung
jawab supaya kedua tenaga tersebut saling mengisi dalam kemampuan,
kepribadian, terutama kepemimpinan.
a. Kelebihan Metode Modular
- Memfasilitasi pelayanan keperawatan yang komprehensif dan holistic
dengan pertanggungjawaban yang jelas.
- Memungkinkan pencapaian proses keperawatan.
- Konflik atau perbedaan pendapat antar staf daapt ditekan melalui rapat
tim,cara ini efektif untuk belajar.
- Memberi kepuasan anggota tim dalam hubungan interpersonal.
- Memungkinkan menyatukan kemampuan anggota tim yang berbeda beda
dengan aman dan efektif.
- Produktif karena kerjasama, komunikasi dan moral
- Model praktek keperawatan profesional dapat dilakukan atau diterapkan
- Memberikan kepuasan kerja bagi perawat.
- Memberikan kepuasan bagi klien dan keluarga yang menerima asuhan
keperawatan.
- Lebih mencerminkan otonomi
- Menurunkan dana perawatan
b. Kekurangan Metode Modular
- Beban kerja tinggi terutama jika jumlah klien banyak sehingga tugas rutin
yang sederhana terlewatkan.
- Pendelegasian perawatan klien hanya sebagian selama perawat penanggung
jawab klien bertugas
- Hanya dapat dilakukan oleh perawat profesional ✓ Biaya relatif lebih tinggi
dibandingkan metode lain karena lebih banyak menggunakan perawat
profesional.
- Perawat harus mampu mengimbangi kemajuan teknologi
kesehatan/kedokteran
- Perawat anggota dapat merasa kehilangan kewenangan
- Masalah komunikasi
C. BOR, LOS, TOI
1. BOR (Bed Occupancy Ratio)
Menurut Kemenkes RI, Bed Occupancy Ratio (BOR) atau dikenal juga
dengan occupancy percent, percent occupancy, occupancy ratio, percentage of
occupancy merupakan persentase penggunaan tempat tidur atau persentase
tempat tidur yang terisi pada waktu tertentu. Nilai ideal BOR yaitu 60-85%.
Indikator ini memberikan gambaran terhadap tinggi rendahnya tingkat
pemanfaatan tempat tidur di Rumah Sakit (DEPKES, 2011). Nilai BOR yang
rendah dapat dipengaruhi oleh jumlah tempat tidur yang tidak sesuai dengan
jumlah permintaan pasien rawat inap, rendahnya jumlah permintaan pasien
rawat inap ini disebabkan oleh ketersediaan fasilitas yang masih terbatas (Nur
Yuniawati et al., 2020). Adapun rumus untuk menghitung BOR (Bed
Occupancy Ratio) yaitu :

Jumlah hari perawatan pada Periode tertentu x 100


BOR =
Jumlah TT tersedia x Jumlah hari pada periode yang sama

Contoh :
- Pada tanggal 1 juni 2017, total hari perawatan adalah 170 dan total tempat
tidur tersedia adalah 200. Hitunglah BOR pada tanggal 1 Juni 2017!
Jawab :
170 x 100 17.000
BOR = = =85 %
200 x 1 200
Jadi, persentase pemakaian tempat tidur pada tanggal 1 Juni 2017 adalah
sebesar 85%.

- Di Rumah Sakit “X”, diketahui jumlah tempat tidur yang tersedia 608
tidak termasuk tempat tidur bayi. Total hari perawatan pada bulan Juni
2017 adalah 12.246 dan pasien keluar hidup + meninggal (H+M) adalah
1.931 orang. Berapa persentase pemakaian tempat tidur pada bulan Juni
2017? (Bulan Juni adalah 30 hari).
Jawab :
12.246 x 100 1.224 .660
BOR = = =67,13 %
608 x 30 18.240
Jadi, persentase pemakaian tempat tidur pada bulan Juni 2017 adalah
sebesar 67,13%.

2. LOS (Length of Stay)


Length of Stay (LOS) atau lama rawat merupakan jumlah hari pasien
yang dirawat di rumah sakit, dimulai dari pasien masuk hingga keluar atau
pulang (Horton, 2017). Data Length of Stay (LOS) digunakan untuk pelaporan
keluangan, seperti untuk membandingkan pasien dengan kelompok diagnosis
dalam INA-CBG’s. INA-CBG’s (Indonesia case based groups) adalah system
pembayaran prospektif yang digunakan BPJS Kesehatan dengan mengenali
tingkat keparahan penyakit, kompleksitas pasien melalui kelompok diagnosis
dan lama rawat, serta penggunaan sumber daya. Kompleksitas pasien mengacu
pada karakteristik yang dimiliki pasien, termasuk masalah fisik, mental, sosial,
dan keuangan, yang akan menentukan bagaimana dokter akan merawat pasien.
Kompleksitas pasien mebutuhkan lebih banyak waktu dan sumber daya
termasuk laboratorium, sinar-x, dan obat-obatan.
Pasien yang memiliki karakteristik klinis dan biaya serupa diberikan
kode INA-CBGs sama yang dikaitkan dengan jumlah pembayaran tetap. LOS
dapat dibandingkan pada semua fasilitas pelayanan kesehatan untuk
menentukan apakah terdapat nilai ekstrim atau outlier. Data LOS pasien
dengan diagnosis dan prosedur atau tindakan yang sama dirawat oleh berbagai
dokter, hal ini dapat dievaluasi sebagai bahan perbandingan. Misalnya,
perbedaan LOS diagnosis tertentu antardokter merupakan indikasi berbagai
jenis pengobatan pada kondisi yang sama oleh dokter yang berbeda. Adapun
rumus untuk menghitung LOS (Length of Stay) yaitu :

LOS = Tanggal Keluar – Tanggal Masuk

*Jika terjadi pada bulan yang berbeda tanggal masuk dihitung

Contoh :
Tanggal Tanggal LOS Keterangan
Masuk Keluar (hari)
25 Agustus 25 Agustus 1 -
25 Agustus 26 Agustus 1 -
25 Agustus 30 Agustus 5 -
25 Agustus 4 September 10 7 hari di Agustus + 3 hari di
September
25 Agustus 4 Oktober 40 Hari 7 hari di Agustus + 30 hari di
September + 3 hari di
Oktober

3. TOI (Turn Over Interval)


Turn Over Interval adalah rata-rata hari dimana tempat tidur pada
periode tertentu tidak terisi antara pasien keluar atau meninggal dan pasien
masuk berikutnya. Indikator TOI bertujuan untuk memberikan gambaran
tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong atau
tidak terisi ada pada kisaran 1-3 hari (Juknis SIRS, 2011). Adapun rumus
untuk menghitung TOI (Turn Over Interval) yaitu :
TOI =
( TT x Jumlah Hari pada PeriodeTT )−Hari perawatan pada periode TT
Jumlah pasienkeluar ( H + M ) pada periode yang sama

Ket :
TT (Tempat Tidur)
Contoh : H (Pasien Keluar Hidup)
- RS A tersedia TT sebanyak
M (Pasien 210 pada bulan Juni dnegan total hari
Keluar Meninggal)
perawatan 4.780 dan total pasien keluar (H+M) sebanyak 736 pasien.
Berapakah rata-rata TT tidak terisi pada bulan Juni 2020?
Jawab :
( 210 x 30 )−4.780 6.300−4.780
TOI = = = 2,065
736 736
Jadi, rata rata tempat tidur tidak terisi (TOI) pada bulan Juni 2020 adalah
2,065 atau 2 hari. Hal ini masih dalam rentang ideal menurut Kemenkes
dalam Juknis SIRS 2011.

- Di Rumah Sakit “U”, diketahui jumlah TT yang tersedia 608 tidak


termasuk TT bayi. Total hari perawatan pada bulan September 2021
adalah 12.246 dan pasien keluar hidup + meninggal (H+M) adalah 1.931
orang. Berapakah TOI pada bulan September 2021? (Bulan September
adalah 30 hari).
Jawab :
( 608 x 30 )−12.246 18.240−12.246
TOI = = = 3,104
1.931 1.931
Jadi, rata rata tempat tidur tidak terisi (TOI) pada bulan September 2021
adalah 3,104 atau 3 hari. Hal ini masih dalam rentang ideal menurut
Kemenkes dalam Juknis SIRS 2011.
DAFTAR PUSTAKA

Aprianto, Y., & Islamia, W. (2019, November 23). Jenis Metode Penugasan
Dalam Ruang Rawat. Retrieved from Makalah Manajemen
Keperawatan: https://www.scribd.com/document/436498398/KEL-8-
Jenis-Metode Penugasan-dalam-Ruang-Rawat-doc
Cebo, W. (2019). Ketenagaan Manajemen. Diakses pada 1 September 2022 dari
https://id.scribd.com/document/402144294/makalah-ketenagaan
MANAJEMEN-docx
Horton Lorette A., (2017). Calculating and Reporting Healthcare Statistics-Fifth
Edition. Chicago, Illinois: AHIMA.
Hosizah., Maryati, Y., (2018). Sistem Informasi Kesehatan II Statistik Pelayanan
Kesehatan.: Jakarta : Kementerian Kesehatan Indonesia.
Kementrian Kesehatan RI, 2011. Petunjuk Teknis Sistem Informasi Rumah Sakit.
Jakarta : Kemenkes RI.
Nur Yuniawati, H., Siti Rohmah, H., Setiatin, S., Medis Informasi Kesehatan, R.,
& Kesehatan Politeknik Piksi Ganesha, F. (n.d.). Analisis Efisiensi Nilai
Bed Occupancy Rate (Bor) Pada Masa Pandemi Covid-19 Periode
Triwulan 4 Tahun 2020 The Efficiency Analysis Of Bed Occupancy
Rate (Bor) During The Covid-19 Pandemic In Period Quarter 4 2020.
Sudarta, I. W. (2019). Manajemen Keperawatan : Teori & Aplikasi Praktik
keperawatan. Jakarta: Cetakan I. Gosyen Publishing.

Anda mungkin juga menyukai