Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hampir semua diantara kita pernah mendengar kata pestisida, herbisida,
insektisida atau nama lainnya. Hampir dalam semua sisi kehidupan kita tidak bisa
lepas dari pestisida dalam berbagai bentuknya. Pemakaian pestisida dirumah tangga
seperti penggunaan obat nyamuk, anti rayap / ngengat, pengusir nyamuk (repelent)
dan banyak lagi macamnya. Untuk itulah perlu mengenal lebih jauh tentang pestisida.
Penggunaan pestisida di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat.
Pestisida merupakan suatu bahan yang banyak di jumpai dan digunakan secara
luas dalam kehidupan sehari - hari untuk berbagai tujuan penggunaan
termasuk perlakuan yang bersifat pencegahan maupun untuk tujuan pengendalian
organisme pengganggu pada hampir semua sektor dalam masyarakat, diantaranya
sektor kesehatan, pertanian, kehutanan, perikanan, perdagangan, perindustrian,
ketenagakerjaan, perhubungan, lingkungan hidup dan di rumah tangga.
Tikus merupakan hewan liar dari Ordo Rodentia (hewan pengerat), Kelas
Mamalia (hewan menyusui) yang dikenal sebagai hewan pengganggu dalam
kehidupan manusia. Hewan ini bersifat omnivora, sering menimbulkan kerusakan dan
kerugian dalam kehidupan manusia antara lain dalam bidang pertanian, 2 perkebunan,
permukiman dan kesehatan (Meehan 1984). Di Indonesia terdapat 8 spesies tikus
yang berperan sebagai hama tanaman pertanian yang menyebabkan kehilangan
ekonomi dan vektor patogen bagi manusia, yaitu Bandicota indica (wirok besar),
Rattus norvegicus (tikus riul), R. rattus diardii (tikus rumah), R. argentiventer (tikus
sawah), R. tiomanicus (tikus pohon), R. exulans (tikus ladang), Mus musculus (mencit
rumah), dan M. caroli (mencit ladang) (Priyambodo 2009).
Pengendalian tikus secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida
merupakan pengendalian yang paling umum dilakukan daripada pengendalian
lainnya, meskipun menurut konsep pengelolaan hama terpadu (PHT) seharusnya
metode ini dilakukan sebagai alternatif terakhir. Pengendalian secara kimiawi dengan
menggunakan rodentisida biasanya dilakukan dengan mencampurkan racun dan
umpan dasar yang disukai tikus, sehingga diperlukan jenis umpan yang dapat
menahan agar tikus tersebut tetap memakan umpan tersebut lebih banyak (arrestant).
Menurut Priyambodo (2009), penggunaan umpan bertujuan untuk mengurangi rasa

1
tidak enak dari racun yang digunakan. Pengendalian tikus sampai saat ini masih
banyak mengalami kendala, terutama pada pengendalian dengan menggunakan
rodentisida. Salah satunya dengan adanya kejeraan tikus dan trauma dengan
kegagalan dalam pengendalian. Selain itu, umpan beracun kurang disukai dan kurang
menarik perhatian tikus karena di lapangan terdapat makanan tikus yang melimpah,
sehingga perlu dilakukan penelitian rodentisida yang efektif dibandingkan dengan
umpan dasar untuk mengendalikan tikus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Rodentisida?
2. Bagaimanakah sifat Rodentisida?
3. Bagaimanakah bahan aktif Brodifakum ?
4. Bagaimanakah pengendalian secara kimia?
5. Apa saja keuntungan dari Rodentisida?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Rodentisida.
2. Untuk mengetahui sifat-sifat Rodentisida.
3. Untuk mengetahui bahan aktif Brodifakum.
4. Untuk mengetahui pengendalian secara kimia.
5. Untuk mengetahui keuntungan dari Rodentisida.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Rodentisida
Rodentisida merupakan bahan kimia yang digunakan dalam mengendalikan
tikus. Jika ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat dua macam rodentisida yang
umum digunakan yaitu fumigasi dan umpan beracun. Fumigasi bersifat racun nafas
dan bahan yang umumnya digunakan adalah belerang oksida, sedangkan rodentisida
umpan beracun bersifat racun perut yang berdasarkan kecepatan kerjanya dibagi
menjadi dua jenis yaitu racun akut (bekerja cepat) dan racun kronis (bekerja lambat)
(Prakash 1998).
Racun akut adalah jenis racun kelompok rodentisida yang dapat menyebabkan
kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu kurang dari 24 12 jam atau kurang
(Buckle dan Smith 1996). Racun akut merupakan racun yang sangat berbahaya dan
tidak memiliki antidot yang spesifik, oleh karena itu jenis rodentisida ini dibatasi
keberadaannya di beberapa negara dan hanya diizinkan digunakan oleh profesional.
Contoh bahan aktif rodentisida yang tergolong racun akut adalah seng fosfida,
brometalin, crimidine, dan arsenic trioksida yang bekerja secara cepat dengan cara
merusak jaringan syaraf dalam saluran pencernaan dan masuk ke dalam aliran darah
(Priyambodo 2009).
Racun kronis merupakan kelompok rodentisida yang bekerja secara lambat
dengan cara mengganggu metabolisme vitamin K yang dapat menghambat
pembentukan protrombin, bahan yang di dalam darah bertanggung jawab terhadap
pembekuan darah dan merusak pembuluh kapiler sehingga merusak pembuluh darah
internal (Sunarjo 1992).
Yang tergolong ke dalam racun kronis antara lain bahan aktif kumatetralil,
warfarin, fumarin, dan pival yang termasuk racun antikoagulan generasi I, serta
brodifakum, bromadiolon, dan flokumafen yang termasuk racun antikoagulan
generasi II (Priyambodo 2009).
Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak
sistem syaraf dan melumpuhkannya, sedangkan racun kronis (antikoagulan) bekerja
lebih lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah
serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2009). Racun kronis lebih sering
digunakan dibandingkan dengan racun akut dalam pengendalian tikus karena dapat

3
mengurangi sifat curiga dari tikus yang lain. Bahan aktif dari racun kronis bekerja
dalam tubuh tikus dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati di tempat setelah
mengonsumsi racun.

2.2 Sifat Rodentisida


Rodentisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan tikus.
Rodentisida yang digunakan adalah rodentisida antikoagulan yang mempunyai sifat
sebagai berikut :
 Tidak berbau dan tidak berasa.
 Slow acting, artinya membunuh tikus secara perlahan-lahan, tikus baru mati
setelah memakan beberapa kali.
 Tidak menyebabkan tikus jera umpan.
 Mematikan tikus dengan merusak mekanisme pembekuan darah.

2.3 Brodifakum ( C31H23BrO )


Brodifakum merupakan rodentisida antikoagulan generasi II yang yang
potensial dan dikenalkan pertama kali di Inggris pada tahun 1977 (Prakash 1998).
Brodifacoum juga merupakan produk yang hampir tidak dapat larut dalam air (Sikora
1981). Bentuk fisik racun ini adalah blok dengan warna hijau dan biru, sedangkan
bentuk asli racun ini berupa bubuk putih (Oudejans 1991).
Brodifakum bekerja sebagai antikoagulan yang tidak langsung mematikan
tikus termasuk juga terhadap strain tikus yang tahan terhadap racun antikoagulan jenis
lainnya. Konsentrasi penggunaan adalah 0,005% dalam bentuk umpan pelet dan blok
yang siap pakai (Sikora 1981). Cara kerja racun ini adalah dengan mengganggu kerja
vitamin K dalam proses pembekuan darah. Hewan pengerat dapat menyerap dosis
yang mematikan dengan hanya 50 mg/kg bahan aktif (Oudejans 1991).
Pengujian rodentisida antikoagulan brodifakum terhadap tiga spesies tikus
hama dengan menggunakan metode multiple choice test menunjukkan hasil yang
relatif sama, yaitu bahwa tikus lebih memilih mengonsumsi umpan dibandingkan
rodentisida. Pengujian rodentisida antikoagulan brodifakum dengan menggunakan
metode bi choice test terhadap tikus rumah dan tikus pohon lebih disukai pada saat
pemberian umpan jagung daripada umpan beras dan gabah, sedangkan pada tikus
sawah rodentisida brodifakum kurang disukai pada setiap pemberian umpan.

4
Rodentisida antikoagulan brodifakum lebih efektif dalam mengendalikan tikus
rumah dan tikus pohon, karena kedua spesies tikus ini kurang mengenali dan tidak
mengalami kecurigaan terhadap rodentisida tersebut. Untuk pengendalian tikus sawah
dengan menggunakan rodentisida brodifakum kurang efektif, karena tikus sawah
sudah mengenali dan mencurigai rodentisida tersebut sebelumnya di lapang. Tikus
sawah mempunyai tingkat kecurigaan yang tinggi dibandingkan dengan tikus rumah
dan tikus pohon.

2.4 Pengendalian Secara Kimia


Pada prinsipnya pengendalian ini menggunakan bahan-bahan kimia untuk
membunuh atau mengganggu aktivitas tikus. Pengendalian secara kimia dapat dibagi
menjadi empat bagian, ayitu fumigasi (asap beracaun), repellent (bahan kimia
pengusir tikus) dan attractant (bahan kimia pengikat tikus), dan chemo-
sterilant (bahan kimia yang dapat memandulkan tikus).
- Fumigasi (asap beracun)
Fumigasi dapat digunakan pada saat tanaman padi memasuki stadia generatif,
karena pada saat itu umpan beracun yang diberikan tidak akan dimakan oleh
tikus.Tikus lebih tertarik pada tanaman padi terutama pada bagian malai.Asap
beracun dikeluarkan atau diemposkan dengan bantuan alat alat pengempos yang
terbuat dari logam tahan panas.Bahan-bahan yang digunakan dalam fumigasi
adalah merang ditamabh belerang, kemudian dibakar.
Jika tidak ada belerang, merang sendiri dapat digunakan, karena pada
pembakaran merang akan dihasilkan gas karbondioksida (CO 2) dan karbon
monoksida (CO) yang juga dapat meracuni tikus.Penambahan belerang akan
terbentuk gas belerang dioksida (SO2) sebagai tambahan yang dapat membunuh
tikus lebih cepat.Kelebihan fumigasi dibandingkan umpan beracun adalah dapat
membunuh anak-anak tikus dan kutu yang menempel di kulit tikus, yang tidak mati
bila tikus dikendalikan dengan umpan beracun.
Umpan beracun biasanya dibuat dari kombinasi antara racun, bahan pemikat,
bahan pewarna, bahan pengikat, dan bahan pengawet.Secara umum racun
dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan cara kerjanya pada tikus, yaitu racun
akut (racun yang cara kerjanya mempengaruhi sistem syaraf tikus) dan racun
kronis/racun antikoagulan (racun yang cara kerjanya mempengaruhi atau
menghambat proses koagulasi/pembekuan darah).Umpan yang biasa digunakan

5
adalah biji-bijian serealia terutama beras dan jagung karena makanan ini yang
paling disukai oleh tikus.
Bahan pemikat (attractant) merupakan bahan yang ditambahkan pada umpan
tikus dengan tujuan untuk menarik tikus agar mau makan umpan tersebut. Bahan
penarik ini biasaya berupa gula atau vetsin (bumbu masak) atau bahan-bahan lain
yang merupakan hasil penelitian perusahaan pestisida dan biasanya tidak
diberitahukan kepada masyarakat umum.
Bahan pewarna (colouringu) yang biasa digunakan adalah pewarna makanan,
dan pewarna kain yang mudah larut.Walaupun tikus termasuk hewan yang buta
warna, tetapi tikus cenderung tertarik pada warna-warna tertentu, seperti hijau,
kuning dan hitam.
Bahan pengikat (binder) merupakan bahan yang digunakan untuk mengikat
atau melekatkan racun dengan umpan dan bahan-bahan lainnya. Bahan pengikat
yang biasa digunakan adalah minyak nabati (tumbuh-tumbuhan) yang berasal dari
kelapa, jagung atau kacang tanah.
Bahan pengawet (preservative) merupakan bahan digunakan untuk
meningkatkan daya tahan rodentisida baik di tempat penyimpanan maupun selama
diaplikasikan di lapang terhadap gangguan dari luar, baik gangguan dari makhluk
hidup (serangga, cendawan, dan lain-lain) atau gangguan cuaca (hujan, suhu,dan
lain-lain).Bahan pengawet/pelindung dari serangan serangga adalah insektisida,
dari serangan cendawan adalah fungisida.Yang perlu diperhatikan adalah
pemberian pestisida ini dapat mengurangi keinginan tikus utuk memakannya, maka
pemberian pestisida ini harus melalui serangkaian percobaan. Bahan pengawet
terhadap gangguan cuaca adalah lilin atau parafin, dengan perbandingan lilin 30-
40% dan umpan beracun 60-70%.
- Repellent (bahan pengusir) dan attractant (bahan pemikat)
Bahan kimia pengusir ini mula-mula dibuat untuk mengamankan hasil
pertanian yang disimpan di gudang dari serangan tikus dan burung. Dari hasil
pengujian terhadap beberapa bahan kimia, ada beberapa jenis yang dapat berfungsi
sebagai bahan pengusir yaitu naftalen, kapur, bubuk belerang, dan ekstrak buah
cabai.Dalam pelaksanaannya, untuk mengusir tikus-tikus di lapang masih ditemui
beberapa kesukaran.Sedangkan bahan kimia penarik dapat dicampurkan ke dalam
umpan beracun untuk menarik tikus atau dapat digunakan sebagai umpan yang
diletakkan di dalam perangkap tikus.

6
- Chemo-sterilant (bahan pemandul)
Cara kerja bahan ini di dalam tubuh tikus bersifat khusus seperti halnya bahan-
bahan kontrasepsi pada manusia, yaitu :
 Menghambat pembentukan sel telur,
 Menghambat terjadinya pembuahan (pertemuan sel sperma dengan sel
telur),
 Mencegah terjadinya penempelan embrio pada dinding rahim,
 Menyebabkan keguguran,
 Menghambat pembentukan air susu pada induk tikus, dan
 Menjadikan keturunannya tikus mandul.
Dalam prakteknya di lapang, bahan kimia pemandul ini sukar diterapkan karena
dalam pembuatannya membutuhkan biaya yang tinggi dan hasil yang dicapai masih belum
memuaskan.

2.5 Keuntungan Dari Rodentisida


Rodentisida yang dibuat pada program Dosen Pembimbing Lapang adalah
jenis rodentisida antikoagulan, yaitu umpan beracun yang bekerja lambat dan tikus
mati jauh dari tempat umpan sehingga tidak menimbulkan jera umpan.
Keuntungan Racun Kronis :
1. Tingkat efektifitas pengendalian tinggi.
2. Tidak terjadi jera umpan.
3. Bersifat spesifik sehingga mengurangi bahaya bagi jasad bukan sasaran.
4. Tersedia zat penawar racun.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

  Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Yang dimaksud hama di sini adalah sangat
luas, yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh
fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan
ukuran mikroskopis), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan.

Rodentisida merupakan bahan kimia yang digunakan dalam mengendalikan tikus. Jika
ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat dua macam rodentisida yang umum digunakan
yaitu fumigasi dan umpan beracun. Rodentisida yang dibuat pada program Dosen
Pembimbing Lapang adalah jenis rodentisida antikoagulan, yaitu umpan beracun yang
bekerja lambat dan tikus mati jauh dari tempat umpan sehingga tidak menimbulkan jera
umpan.

Rodentisida antikoagulan brodifakum lebih efektif dalam mengendalikan tikus rumah


dan tikus pohon, karena kedua spesies tikus ini kurang mengenali dan tidak mengalami
kecurigaan terhadap rodentisida tersebut. Untuk pengendalian tikus sawah dengan
menggunakan rodentisida brodifakum kurang efektif.

3.2 SARAN
Semoga makalah ini bermamfaat dalam proses perkuliahan dan untuk masyarakat.

8
DAFTAR PUSTAKA

Buckle AP, Smith RH. 1996. Rodent Pest and Their Control. Cambridge: UK at the
University Press.
Meehan AP. 1984. Rat and Mice, Their Biology and Control. East Griendstead:
Rentokil limited.
Oudejans DH. 1991. Agro Pesticides, Properties and Function in Integrated Crop
Protection. Economic and Social Commision for Asia and Pasific. Bangkok.
Prakash I. 1998. Rodent Pest Management. United States: CRC Press.
Priyambodo S. 2009. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Ed ke-4. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Sikora RA. 1981. Rodent Pest and Thei Control. West Germany: Eschbornz.
Sunarjo PI. 1992. Pengendalian Kimiawi Tikus Hama. Di dalam: Prosiding
Seminar Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Bogor, 17-18 Juni. Bogor: Direktorat
Bina Perlindungan Tanaman dan Fakultas Pertanian Institu Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai