Anda di halaman 1dari 12

Parafin cair digunakan dalam pengenceran, karena menurut hasil uji pendahuluan zat ini

bersifat netral (tidak bersifat repellent/menolak ataupun attractant/memikat) terhadap nyamuk Aedes
aegypti.

Nyamuk merupakan serangga yang berbahaya bagi manusia, dan dapat menularkan penyakit kepada
lebih dari 700 juta jiwa setiap tahunnya (Fradin et al., 2002). Perlindungan terhadap gigitan serangga
terutama nyamuk dapat dilakukan dengan cara menghindari habitat yang ditempati nyamuk,
menggunakan pakaian yang terlindung dari serangan nyamuk, dan penggunaan pestisida, termasuk
senyawa penolak serangga (repellent). Penggunaan repellent umumnya tidak langsung mematikan
serangga, namun lebih berfungsi untuk menolak kehadiran serangga, terutama

Mustanir dan Rosnani : Isolasi Senyawa Bioaktif Penolak (Repellent) Nyamuk dari Ekstrak Aseton Batang
Tumbuhan Legundi (Vitex trifolia)

175

disebabkan oleh baunya yang menyengat (Novizan, 1992). Repellent yang banyak digunakan oleh
masyarakat untuk menolak serangga adalah repellent sintetik yang merupakan hasil sintesis di
laboratorium. Contoh dari repellent sintetik tersebut adalah N,N-dietil-mtoluamida yang digunakan
untuk menolak nyamuk, dan di-n-propil-2,5-piridin dikarboksilat yang digunakan untuk menolak lalat
rumah. Mengingat penggunaan repellent sintetik menimbulkan banyak efek negatif, perlu alternatif
penggantinya. Hal ini disebabkan oleh bahan kimia yang diperdagangkan secara luas untuk bahan dasar
dalam mensintesis repellent tersebut mengandung hidrokarbon terhalogenasi yang diketahui
mempunyai waktu paruh terurai relatif panjang dan dikuatirkan sifat racunnya (Flint and robert Van den
Bosch, 1995). Berdasarkan hal tersebut, maka upaya pencarian senyawa alami yang dapat digunakan
sebagai repellent lebih diutamakan. Salah satu tumbuhan yang sering digunakan oleh masyarakat
sebagai repellent adalah legundi (Vitex trifolia). V. trifolia banyak dijumpai di Aceh, dikenal dengan nama
krepeng. Tumbuhan ini dapat digunakan sebagai anti malaria dan anti mikroba (Chowwanapoonpohn et
al., 2000). Penelitian terhadap pemanfaatan legundi sebagai repellent sangat terbatas. Secara
tradisional ranting tumbuhan ini dipakai sebagai pengusir tikus, lipas atau nyamuk. Ekstrak heksana dan
etil asetat dari tumbuhan ini aktif mengusir nyamuk, namun untuk ekstrak aseton dan metanol belum
dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai

efektifitas ekstrak aseton dari legundi beserta fraksi-fraksinya terhadap nyamuk (Culicidae), serta
memberikan informasi baru di bidang ilmu pengetahuan mengenai senyawa yang bersifat repellent.

BAHAN DAN METODE Sampel yang digunakan adalah batang legundi (Vitex trifolia) Famili Verbenaceae
yang diambil di sekitar Desa Limpok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, seperti terlihat pada Gambar
1. Bioindikator yang digunakan adalah nyamuk (Culicidae) yang dibiakkan terlebih dahulu dan sebagai
alternatif juga digunakan nyamuk dari alam bebas. Sementara objek pengujian yang dilakukan adalah
tiga orang relawan wanita yang berusia 21 tahun, sehingga diharapkan baik bioindikator maupun objek
pengujian relatif homogen.

Gambar 1. Tumbuhan legundi (Vitex trifolia) Figure 1. Legundi (Vitex trifolia) tree

NIMBA, BIOPESTISIDA PENGGANTI LINDANE :.

Lindane

Lindan, adalah senyawa pestisida organoklorin dengan nama IUPAC γ-isomer


heksaklorosikloheksana atau disebut juga benzene heksaklorida. Seperti yang diketahui bahwa γ-isomer
adalah senyawa yang paling beracun dari semua jenis pestisida.

Informasi Umum

Nama IUPAC : (1 r, 2 R, S 3, 4 r, 5 R, S 6) -1,2,3,4,5,6-hexachlorocyclohexane


Nomor CAS : 58-89-9
Rumus Molekul : C 6 H 6 Cl 6
Massa Molekul : 290,83 g / mol

Rumus Struktur :

Lindane, juga dikenal sebagai gamma-hexachlorocyclohexane, (γ-HCH), gammaxene,


Gammallin dan bukan dikenal sebagai benzena hexachloride (BHC), adalah organoklorin varian kimia
World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan lindane sebagai "Cukup berbahaya," dan
perdagangan internasional dibatasi dan diatur dalam Konvensi Rotterdam tentang Prior Informed
Consent. Pada tahun 2009, penggunaan produksi dan pertanian lindane dilarang di bawah Konvensi
Stockholm.

1.2 Penggunaan Lindane

Lindane tidak hanya digunakan sebagai pestisida pada sector pertanian, namun juga pada sektor
peternakan dan kesehatan. Pada sector kesehatan, Lindane digunakan sebagai zat aktif membasmi kutu
baik pada manusia, maupun hewan.

Bahaya Penggunaan Lindane

Paparan jumlah besar lindane dapat membahayakan sistem saraf, memproduksi berbagai gejala sakit
kepala dan pusing kejang, dan bahkan kematian.
Penggunaan lindane sebagai obat jelas akan menuai pertanyaan mengenai kadar racun dan pengaruhnya
bagi target yang diobati tersebut. Dan kenyataannya di lapangan, terutama di mancanegara, berbagai
Negara melaporkan adanya kasus kematian dan kasus keracunan yang berakibat fatal akibat paparan
lindan baik paparan secara kontak maupun melalui pencernaan.

Produk yang Menggunakan Lindane

Beberapa produk yang menggunakan lindane adalah : produk bermerk Gamene, Kwell, Bio-Well, G-Well,
GBH, Kildane, Scabene, dan Thionex. Indonesia sendiri selain sebagai bahan pestisida , lindane dipakai
sebagai bahan untuk obat kutu rambut, terutama yang bermerk Peditox.

Nimba

Mimba Bahan Pengganti Lindane

Pemerintah telah meluncurkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) agar masyarakat tidak
tergantung kepada pestisida kimia, dengan mencabut subsidi dan melarang beberapa jenis pestisida,
termasuk Lindane yang telah dicabut peredarannya sejak tahun 1983, namun kenyataannya, nilai impor
bahan pestisida yang pada tahun 1990an mencapai sekitar 200 milyaran rupiah ternyata pada tahun
2000-an melampui angka 300 milyaran rupiah Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat petani masih
tergantung kepada pestisida kimia sintetis, Untuk mengurangi penggunaan Lindane sebagai bahan
pestisida, dapat menggunakan pestisida hayati. Salah satu jenis pestisida hayati yang sudah banyak
dikenal masyarakat dunia adalah yang berasal dari pohon Mimba (Azadirachta indica A. Juss).

Tanaman mimba termasuk dalam famili Meliaceae. Tanaman ini merupakan tanaman asli Afrika Asia. Di
Asia tanaman ini banyak terdapat di India, Burma, Cina Selatan dan Indonesia. Di Indonesia tanaman
mimba dijumpai di Jawa (nimba, membha (Madura)) dan di Bali dengan nama mimba atau intaram. Di
luar negeri mimba dikenal dengan Neem, Margosier, Margosa dan Nim.

Mimba merupakan pohon yang tingi batangnya dapat mencapai 20 m. Kulit tebal, batang agak kasar,
daun bersirip genap, berbentuk lonjong dengan tepi bergerigi dan runcing, sedangkan buahnya
merupakan buah batu dengan panjang 1 cm. Buah mimba dihasilkan dalam satu sampai dua kali
setahun, berbentuk oval, bila masak daging buahnya berwarna kuning, biji ditutupi kulit keras berwarna
coklat dan didalamnya melekat kulit buah berwarna putih. Batangnya agak bengkok dan pendek, oleh
karena itu kayunya tidak terdapat dalam ukuran besar

Daun Mimba Biji Mimba


Sumber: http://bppkedungwaru.blogspot.com Sumber: //bptsitubondo.files.worldpress.com

Sudah sejak lama nimba digunakan sebagai pestisida nabati dengan kemanjuran dan peruntukan yang
luas (Broad spectrum), baik digunakan secara sederhana di negara berkembang, maupun digunakan
secara terformula di negara maju, seperti Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, nimba sudah digunakan
secara meluas, yang pada awalnya hanya diperuntukan untuk mengendalikan organisme pengganggu
tumbuhan (OPT) pada tanaman yang bukan untuk dikonsumsi ( non-food crops), namun belakangan ini
sudah diperkenankan dipergunakan untuk mengendalikan OPT pada tanaman pangan ( food crops),
dengan berbagai jenis merk dagang, diantaranya adalah Margosan, Aligin, Turpex, Azatin dan Bio-
neem.

Negara di Asia sudah banyak yang memproduksi pestisida nabati dari nimba, diantaranya India dengan
berbagai merk dagang, satu diantaranya yang sudah masuk ke Indonesia adalah
“Neemazal”, Singapura yang juga telah memproduksi pestisida nabati nimba dan telah masuk pula ke
Indonesia, namun dengan mengaku/mengklaim sebagai pupuk organik cair, yaitu “ Bionature”, dan
masih banyak merk dagang lain yang telah dibuat oleh Thailand, Myanmar dan Singapura.

Kandungan Kimia tanaman Mimba

Nimba, terutama dalam biji dan daunnya mengandung beberapa komponen dari produksi metabolit
sekunder yang diduga sangat bermanfaat, baik dalam bidang pertanian (pestisida dan pupuk), maupun
farmasi (kosmetik dan obat-obatan). Beberapa diantaranya adalah azadirachtin, salanin, meliantriol,
nimbin dan nimbidin. Azadirachtin sendiri terdiri dari sekitar 17 komponen dan komponen mana yang
paling efektif sebagai pestisida atau obat, belum jelas diketahui. Nimba tidak membunuh hama secara
cepat, namun mengganggu pada hama saat proses makan, pertumbuhan, reproduksi dan lainnya.

Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon
ecdyson, yaitu suatu hormon yang berfungsi dalam proses metamorfosa serangga. Serangga akan
terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur menjadi larva, atau dari
larva menjadi kepompong atau dari kepompong menjadi dewasa.

Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti-feedant) yang mengakibatkan daya rusak
serangga sangat menurun, walaupun serangganya sendiri belum mati. Oleh karena itu, dalam
penggunaan pestisida nabati dari nimba, seringkali hamanya tidak mati seketika setelah disemprot ( knock
down), namun memerlukan beberapa hari untuk mati, biasanya 4-5 hari. Namun demikian, hama yang
telah disemprot tersebut daya rusaknya sudah sangat menurun, karena dalam keadaan sakit

Meliantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan serangga hama enggan
mendekati zat tersebut. Suatu kasus terjadi ketika belalang Schistocerca gregaria menyerang tanaman di
Afrika, semua jenis tanaman terserang belalang, kecuali satu jenis tanaman, yaitu nimba. Nimbapun
dapat merubah tingkah laku serangga, khususnya belalang ( insect behavior) yang tadinya bersifat
migrasi, bergerombol dan merusak menjadi bersifat solitair yang bersifat tidak merusak

Nimbin dan nimbidin berperan sebagai anti mikro organisme seperti anti-virus, bakterisida, fungisida
sangat bermanfaat untuk digunakan dalam mengendalikan penyakit tanaman. Bahan-bahan ini sering
digunakan dan dipercaya masyarakat sebagai obat tradisional yang mampu menyembuhkan segala jenis
penyakit pada manusia

Komposisi

Tanaman Obat Indonesia mengungkapkan bahwa Metabolit yang ditemukan dari Azadirachta indica
antara lain disetil vilasinin, nimbandiol, 3-desasetil salanin, salanol, azadirachtin. Biji mengandung
azadirahtin, azadiron, azadiradion, epoksiazadiradion, gedunin, 17-epiazadiradion, 17-hidroksi azadiradion
dan alkaloid. Metabolit yang ditemukan dalam ekstrak ranting segar yang larut dalam dikIorometana
antara lain desasetil nimbinolid, desasetil nimbin, desasetil isonimbinolid.

Kulit batang dan kulit akar mengandung nimbin, nimbinin, nimbidin, nimbosterol, nimbosterin, sugiol,
nimbiol, margosin (suatu senyawa alkaloid). Bunga, Hasil hidrolisis ekstrak bunga ditemukan kuersetin,
kaemferol, dan sedikit mirisetin. Dari bagian kayu ditemukan nimaton, 15% zat samak terkondensasi.
Buah mengandung alkaloid (azaridin). Daun mengandung Paraisin, suatu alkaloid dan komponen minyak
atsiri mengandung senyawa sulfida.

Tangkai dan ranting hijau mengandung 2 tetranortriterpenoidhidroksibutenolida yaitu


desasetilnimbinolida dan desasetilisonimbinolida yang berhasil diisolasi bersama dengan desasetilnimbin.`
Di samping itu terdapat pula senyawa 17-epiazadiradion, 17-p-hidroksiazadiradion, azadirahtin, azadiron,
azadiradion, epoksiazadiradion, dan gedunin. Daun mengandung paraisin, suatu alkaloid, dan komponen
minyak atsiri yang mengandung senyawa sulfida. Pada daun juga ditemukan senyawa nimbin, nimbinene,
6-desacetylnimbinene, nimbandiol, nimbolide dan quercetin.

Selain mengandung bahan-bahan tersebut di atas, di dalam tanaman mimba masih terdapat berpuluh,
bahkan beratus jenis bahan aktif yang merupakan produksi metabolit sekunder yang belum teridentifikasi
dan belum diketahui manfaatnya. Oleh karena itu,penelitian mengenai penggalian potensi mimba masih
banyak diperlukan.

Cara Kerja Nimba

Berdasarkan kandungan bahan aktifnya, biji dan daun mimba mengandung azadirachtin meliantriol,
salanin, dan nimbin, yang merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman mimba. Senyawa aktif
tanaman mimba tidak membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh terhadap daya makan,
pertumbuhan, daya reproduksi, proses ganti kulit, menghambat perkawinan dan komunikasi seksual,
penurunan daya tetas telur, dan menghambat pembentukan kitin. Selain itu juga berperan sebagai
pemandul. Selain bersifat sebagai insektisida, tumbuhan tersebut juga memiliki sifat sebagai fungisida,
virusida, nematisida, bakterisida, mitisida dan rodentisida. Senyawa aktif tersebut telah dilaporkan
berpengaruh terhadap lebih kurang 400 serangga. sebagai senyawa aktif utama,

Keunggulan Nimba

Pengendalian hama dengan menggunakan nimba sebagai insektisida nabati mempunyai beberapa
keunggulan antara lain :
 Di alam senyawa aktif mudah terurai, sehingga kadar residu relatif kecil, peluang untuk
membunuh serangga bukan sasaran rendah dan dapat digunakan beberapa saat menjelang
panen.
 Cara kerja spesifik, sehingga aman terhadap vertebrata (manusia dan ternak)
 Tidak mudah menimbulkan resistensi, karena jumlah senyawa aktif lebih dari satu.
Dengan keunggulan di atas, maka akan dihasilkan produk pertanian dengan kualitas yang prima, dan
kelestarian ekosistem tetap terpelihara.

Kelemahan Nimba
 Persitensi insektisida yang singkat kadang kurang menguntungkan dari segi ekonomis, karena
pada populasi yang tinggi diperlukan aplikasi yang berulang-ulang agar mencapai keefektifan
pengendalian yang maksimal.
 Biaya produksi lebih mahal, sehingga harga jualnya belum tentu lebih murah dari insektisida
sintetik.
Kendala Pengembangan Nimba sebagai Insektisida Alami
a. Aplikasi kurang praktis dan hasilnya tidak dapat segera dilihat, di samping itu petani harus
membuat sedia sendiri. Dengan alasan tersebut petani akan lebih memilih pestisida kimia dari
pada nabati.
b. Kurangnya dorongan penentu kebijakan
c. Bahan, seperti halnya biji mimba tidak tersedia secara berkesinambungan, hal tersebut
disebabkan karena biji mimba hanya dapat dipanen setahun sekali.
d. Frekuensi pemakaian lebih tinggi, disebabkan karena sifat racunnya mudah terdegradasi
e. Memerlukan persiapan yang agak lama, untuk mendapatkan konsentrasi bahan pestisida yang
baik harus dilakukan perendaman selama 12 jam (semalam).
Proses Pengolahan Nimba dan Manfaat

Ada beberapa cara pembuatan biopestisida nimba, diantaranya adalah :

1. Pembuatan Ekstrak Air Biji Mimba


a. Angin-anginkan biji mimba beserta kulit biji sampai kering agar tidak berjamur.
b. Giling biji dan kulit biji mimba sampai halus, kemudian saring dengan ayakan (850 µm).
c. Timbang 25-50 g serbuk biji mimba + 1 l air + 1 ml alkohol aduk rata, kemudian rendam
semalam (12 jam).
d. Keesokan harinya rendaman bahan disaring dengan kain furing
e. Larutan hasil penyaringan kemudian ditambah dengan 1 g deterjen atau 0,5 ml, aduk rata dan
larutan siap disemprotkan.
f. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada sore hari, dengan volume semprot yang memadai 400-
600 l air, tergantung umur tanaman yang akan disemprot
2. Pembuatan Ekstrak Air Daun Mimba
a. Blender 50 g daun mimba segar dengan 1 l air + 1 ml alkohol aduk rata, kemudian rendam
semalam (12 jam).
b. Keesokan harinya rendaman bahan disaring dengan kain furing
c. Larutan hasil penyaringan kemudian ditambah dengan 1 g deterjen atau 0,5 ml sabun colek,
aduk rata dan larutan siap disemprotkan.

3. Pembuatan Minyak Nimba

Nimba dapat dibuat minyak yang dapat digunakan baik sebagai bahan pembunuh
serangga. Proses pembuatan minyak nimbi , sebagai berikut :
a. Kumpulkan biji masak segar ( yang telah jatuh lebih baik), dan selanjutnya dicuci
b. Jemur sampai kering dan simpan dalam wadah/karung
c. Tumbuk perlahan agar kulit terkelupas
d. Buang kulit dengan ditapis ( seperti napis kulit padi)
e. Buang biji yang busuk
f. Tumbuk kembali biji yang bersih sampai membentuk pasta coklat
g. Ambil pasta dan masukkan kedalam tempat yang bersih dan diberi sedikit air
h. Remas-remas maka akan keluar cairan minyaknya. Dari 1 kg biji nimbi akan keluar minyak
sebanyak 100-150 ml minyak
i. Pisahkan minyak dari air
j. Limbah pasta nimba dapat dimanfaatkan untuk pupuk
3.1` Minyak Nimba sebagai Biopestisida

Untuk membuat Pestisida dari minyak Nimba dibutuhkan sabun yang ramah lingkungan sebagai
emulsifier, (kalau tidak ada dapat digunakan sabun colek biasa)
untuk mendapatkan 15 liter biopestisida dari minyak nimbi dibutuhkan :
 50 ml minyak nimba
 10 ml sabun colek
 15 litres air
Cara membuat :
a. Siapkan ember
b. Masukkan 1 liter air
c. Masukkan 10 ml sabun colek ( sekitar satu sendok teh )
d. Aduk campuran sampai berbusa
e. Tambahkan 50 ml minyak nimbi
f. Campurkan minyak nimbi kedalam camuran air sabun
g. Campurkan sisa air ke dalam campuran minyak , diaduk
h. Diamkan selama 8 jam
i. Campuran minyak siap digunakan untuk penyemprotan sebagai biopestisida
Minyak Nimba sebagai pengusir nyamuk

Selain sebagai pestisida, minyak nimba dapat juga dipakai sebagai pengusir nyamuk. Cara pembuatannya
adalah sebagai berikut :
a. Siapkan minyak nimba dan merica bubuk dalam wadah
b. lalu tuangkan air hagat ke dalam wadah dan biarkan hingga dingin.
c. Lalu tambahkan ragi, dan tutup bagian wadah dengan kertas dan beri lubang agar udara dari
dalam botol keluar untuk mengusir nyamuk.
Limbah Nimba sebagai bahan pupuk organik

Bungkil atau dedak biji mimba yang telah diambil minyaknya, baik secara di pres, maupun diekstrak
dengan heksan, merupakan bahan pupuk organik yang kaya akan nutrisi yang bermanfaat bagi
pertumbuhan tanaman. Selain bahan nutrisi tanaman, baik unsur makro, maupun mikro, bungkil biji
mimba ini juga masih mengandung bahan aktif pestisida nabati, seperti azadirachtin yang akan
bermanfaat mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan yang berada di dalam tanah, seperti hama
rayap, uret/kuul/lundi, nematoda dan hama lainnya, sehingga penggunaannya sebagai pupuk organik
akan bermanfaat ganda, yaitu secara tidak langsung akan bermanfaat sebagai pestisida juga.
Keuntungan lain yang diperoleh adalah bahwa azadirachtin bersifat sistemik, yaitu dapat meresap
kedalam jaringan tumbuhan, sehingga apabila diaplikasikan sebagai pupuk di tanah, maka apabila terisap
oleh tanaman akan ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya, seperti daun dan akan berfungsi
melindungi tanaman dari gangguan OPT. Pupuk organik dari bungkil biji mimba ini telah diproduksi oleh
Balittro, yaitu dengan penambahan pupuk kandang, kompos ataupun guano kedalamnya, sehingga
diperoleh pupuk organik plus.

iabetes melitus (DM) salah satu penyakit degeneratif yang mengalami peningkatan jumlah
penderitanya. WHO (2011) melaporkan bahwa sekitar 346 juta penduduk dunia menderita DM. The
International Diabetes Federation (IDF) (2011) memperkirakan bahwa pada tahun 2030, penderita
diabetes akan meningkat menjadi 438 juta jiwa. Pencegahan DM dapat dilakukan melalui
modifikasi gaya hidup pola makan sesuai, cukup aktivitas fisik, penurunan berat badan dengan
dukungan program edukasi berkesinambungan (Wells dkk., 2009). Komplikasi diabetes melitus jangka
panjang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular, kegagalan kronis ginjal, kerusakan retina
yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan
risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum terjadi bila kontrol kadar gula darah buruk
(Gustaviani, 2006). Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kurang lebih 70% laut yang
kaya akan berbagai jenis sumber hayati seperti alga laut. Alga laut mempunyai potensi yang
sangat besar, namun jenis alga laut yang
Pro si ding S em inar Na sion al & Wo rksh op “Pe rk emba ng an Te rk in i S ai ns Fa rm as i & K li n ik
5” | P adan g, 6 -7 N ov embe r 2015 339 dimanfaatkan masih terbatas. Alginat dilaporkan
mempunyai peran utama sebagai serat dapat membersihkan sistem pencernaan serta melindungi
permukaan membran lambung dan usus, menurunkan konsentrasi kolesterol memberikan efek anti
hipertensi, dan mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (Murata dan Nakazoe, 2001; Nishide dan
Uchida, 2003; Sokolova dkk., 2011). Polifenol dari alga laut dapat digunakan sebagai kosmetik dan
mempunyai efek farmakologi sebagai antioksidan, perlindungan dari radiasi, antibiotik, antiinflamasi,
antialergi, antibakterial dan antidiabetes (Holdt dan Kraan, 2011). Hingga saat ini, belum ditemukan
sumber informasi penelitian tentang senyawa alginat dan polifenol dari alga laut S.hystrix yang
berkhasiat sebagai penurun kadar glukosa darah dengan mekanisme menghambat kerja enzim α-
amilase. Berdasarkan hal ini menarik dilakukan penelitian uji daya inhibisi terhadap enzim α-
amilase dari senyawa alginat dan polifenol pada alga laut S.hystrix yang diperoleh dari Kabupaten
Gunung Kidul Yogyakarta. METODE PENELITIAN 1. Ektraksi alginat Alga laut Sargassum hystrix
direndam dengan larutan asam klorida 5%, kemudian dicuci dengan aquades. Sampel ditambahkan
larutan natrium karbonat 4% (1:30 b/v) selama satu jam sambil diaduk sampai menjadi pasta. Pasta
yang terbentuk dipucatkan dengan menambahkan larutan hidrogen peroksida 25% ke dalam filtrat.
Endapan yang terbentuk ditambahkan larutan asam klorida 5%. Saring, residu yang diperoleh
ditambah dengan larutan natrium hidroksida 10%. Endapan bersama kertas saring yang telah diketahui
bobotnya dikeringkan dalam oven suhu 60oC (Rasyid, 2010). 2. Ekstraksi polifenol Alga laut Sargassum
hystrix diekstrak dalam metanol 50%. Metanol diuapkan dengan menggunakan evaporator rotari
vakum (Zhang dkk., 2006). 3. Identifikasi alginat spektra FTIR Serbuk sampel yang telah disiapkan
dicampurkan dengan KBr untuk dijadikan pelet. Pengukuran spektrum dilakukan menggunakan
spektrometer FTIR. Pengukuran dilakukan dengan transmisi bilangan gelombang 4000-650cm-1,
dengan keceptan scan 0,20 cm/s dan 30 akumulasi pada resolusi 4cm-1. 4. Pengukuran kandungan
total fenol Pengujian ini menggunakan reagen Folin–Ciocalteu’s dan pereaksi natrium karbonat
7,5%. Larutan standar dan sampel masing-masing diambil 100 μL letakkan pada tabung reaksi.
Larutan ditambahkan reagent folin–ciocalteu’s sebanyak 500 μL dan diinkubasi selama 5 menit.
Larutan ditambahkan natrium karbonat sebanyak 400 μL dan diinkubasi selama 2 jam pada tempat
yang gelap. Pembacaan absorbansi menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang
750nm (Zhang dkk., 2006). 5. Uji daya inhibisi terhadap enzim α-amilase Masing-masing ekstrak dibuat
seri kadar 1,25; 2,5; 5; 10 dan 20 mg/mL. Setiap larutan seri kadar ekstrak di ambil 25 μL
ditambahkan ke dalam 25 μL mengandung α-amilase dengan konsentrasi 750 U/mL dalam 20 mM
bufer fosfat pH 6,9 dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 10 menit. Larutan tersebut ditambahkan
25 μL mengandung pati konsentrasi 0,5% dalam
Pro si ding S em inar Na sion al & Wo rksh op “Pe rk emba ng an Te rk in i S ai ns Fa rm as i & K li n ik
5” | P adan g, 6 -7 N ov embe r 2015 340 20mM buffer fosfat pH 6,9 dan larutan diinkubasi pada
suhu 37°C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan 50 μL mengandung 96
mM asam 3,5- dinitrosalisilat (DNS) dan larutan diinkubasi diatas penangas air selama 5 menit.
Larutan didinginkan sampai suhu ruangan 37oC. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 540
nm (Apostolidis, 2007). HASIL DAN DISKUSI 1. Ekstraksi Ekstraksi Alginat dan polifenol yang didapat
dari rumput laut Sarrgassum hystrix berturut-turut adalah 19,8 ± 1,73 dan 18 ± 0.57%. 2. Identifikasi
ekstrak alginat Spektrum FTIR alginat yaitu band pertama spektra alginat standart dan ekstrak
terdapat vibrasi frekuensi daerah 1632,40 dan 1605,59cm-1 gugus anion karboksilat (COO-). Band
kedua, 1420,10 dan 1410,65cm-1 gugus anion karboksilat (C-OH). Band ketiga 1028,61 dan 1034,24
cm-1 gugus anion C-O-C. Band antara standar alginat dengan ekstrak alginat terdapat gugus -COO-,
-OH, C-O-C yang sama dapat disimpulkan bahwa senyawa ekstrak tersebut adalah alginat. Gambar
1. Spektra FTIR alginat standart (a), alginat ekstrak (b)
Pro si ding S em inar Na sion al & Wo rksh op “Pe rk emba ng an Te rk in i S ai ns Fa rm as i & K li n ik
5” | P adan g, 6 -7 N ov embe r 2015 341 Tabel 1. Bilangan gelombang puncak FTIR alginat standart
dan sampel Band Panjang Gelombang Alginat (cm-1) Vibrasi gugus fungsioanl Standart Ekstrak 1
1632,40 1640,27 C=O 2 1420,10 1410,65 C-O-H 3 1028,61 1034,24 C-O-C 4 727,87 - C-H 5 662,76 625,45
C-H 3. Kadar fenol total Kandungan polifenol total dalam ekstrak polifenol Sargassum hystrix
berturut-turut adalah 18,17 ± 0,57 (μg GAE/ mg ekstrak). Nilai kandungan polifenol total dari alga
laut coklat Sargassum hystrix lebih besar dari pada alga laut merah. 4. Daya inhibisi α-amilase dan α-
glukosidase Ekstrak dari alga laut S.hystrix yaitu alginat dan polifenol mempunyai kemampuan
menghambat aktivitas α-amilase. Alginat ekstrak mempunyai daya hambat dengan nilai IC50 15,75
mg/mL, sedangkan alginat standart mempunyai daya hambat dengan nilai IC50 15,63 mg/mL tidak
berbeda signifikan (p>0,05) artinya alginat ekstrak dan alginat standart mempunyai kemampuan
yang sama dalam menghambat aktivitas enzim α-amilase. Polifenol ekstrak mempunyai daya hambat
dengan nilai IC50 11,26 mg/mL. Polifenol mempunyai kemampuan hambat aktivitas enzim α-
amilase lebih baik dari pada alginat berbeda signifikan (p<0,05). Jika alginat dari alga laut S.hystrix
dibandingkan dengan kontrol positif akarbose nilai IC50 berbeda signifikan (p<0,05), artinya akarbose
mempunyai kemampuan hambat aktivitas enzim α-amilase lebih baik dari pada alginat ekstrak. Jika
polifenol dari alga laut S.hystrix dibandingkan dengan kontrol positif akarbose nilai IC50 tidak
berbeda signifikan (p>0,05), artinya polifenol ekstrak mempunyai kemampuan hambat aktivitas
enzim α-amilase dapat menyamai dari pada akarbose. Ekstrak uji yang mempunyai kemampuan
dalam menghambat α-amilase paling tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu polifenol
S.hystrix, dan alginat. Tabel 2. Nilai IC50 inhibisi aktivitas enzim α-amilase in vitro Senyawa Uji IC50 α-
amilase (mg/mL) Kontrol Positif (akarbose) 10,71 ± 0,11 a Alginat Standart 15,63 ± 0,18 c Alginat Ekstrak
15,75 ± 0,07 c Polifenol S. hystrix 11,26 ± 0,35 a,d Keterangan: Nilai yang tertera berupa purata ±
SEM (n=3). tanda notasi huruf menunjukan adanya perbedaan signifikan (p<0,05).
Pro si ding S em inar Na sion al & Wo rksh op “Pe rk emba ng an Te rk in i S ai ns Fa rm as i & K li n ik
5” | P adan g, 6 -7 N ov embe r 2015 342 Dari hasil penelitian bahwa kemampuan dalam
menghambat aktivitas α-amilase yang paling besar memberikan pengaruh yaitu metabolit sekunder
(polifenol) dari pada metabolit primer (polisakarida). Alginat termasuk polisakarida mempunyai
serat yang mudah larut dalam air. Polisakarida ini dapat membentuk kisi-kisi seperti jala mampu
mengikat kuat banyak molekul air. Kisi-kisi jala yang terbentuk memungkinkan menjerat substrat
ataupun enzim yang larut air (Sankalia dkk., 2006; Sankalia dkk., 2007). Substrat maupun enzim yang
terjerat kisi-kisi dan tertutup dalam polisakarida sehingga tidak saling bereaksi. Substrat tidak
bereaksi dengan enzim maka tidak terjadi pembentukan gula-gula sederhana. Alginat juga
memperlihatkan kemampuan dalam mengurangi atau menghambat laju kenaikan kadar glukosa darah
secara in vivo. Alginat serat makanan pengikat kation (binding of cations) yang akan mengubah pH
intestinum dengan cara mempengaruhi sekresi asam dan basa lewat pengaruh hormon dan enzim.
Hal ini akan mempengaruhi proses pemecahan karbohidrat (disakarida) didalam intestinum yang
akhirnya juga akan mempengaruhi proses penyerapan monosakarida, sehingga dapat menahan laju
peningkatan kadar glukosa darah post–prandial. Efek alginat dalam menurunkan kadar glukosa juga
disebabkan karena kemampuan dalam menyerap air yang sangat besar dengan membentuk gel
atau larutan kental. Polifenol memiliki kemampuan sebagai anti-inflamasi, antioksidan,
kemopreventif dan polifenol juga dapat mempengaruhi laju glukosa darah (Hanhineva dkk., 2010).
Polifenol dapat mempengaruhi pencernaan, absorpsi, dan metabolisme karbohidrat (pati dan
sukrosa) menjadi monosakarida. Polifenol mampu sebagai inhibitor alami dalam menghidrolisis
karbohidrat dari enzim sehingga dapat membantu menghambat peningkatan kadar glukosa darah
(Mayur dkk., 2010). Polifenol memiliki efek penghambatan terhadap enzim α-amilase melalui ikatan
hidroksilasi dan substitusi pada cincin β. Prinsip penghambatan ini serupa dengan akarbose, yaitu
menghasilkan penundaan hidrolisis karbohidrat dan absorbsi glukosa serta menghambat metabolism
sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Ho dan Bray 1999). Kandungan fenol memiliki efek
penghambatan terhadap enzim α-amilase melalui ikatan hidroksilasi dan subtitusi pada cincin β.
Prinsip penghambatan ini serupa dengan akarbosa, yaitu dengan menghasilkan penundaan
hidrolisis karbohidrat dan disakarida dan absorpsi glukosa serta menghambat metabolisme sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa (You dkk., 2012). Penghambatan pada enzim α-amilase oleh
kandungan fenol ini mengakibatkan gagalnya proses pemecahan karbohidrat menjadi bentuk
monosakarida. Hal inilah yang menjelaskan efek kandungan fenol dalam menurunkan kadar glukosa
darah. Alga laut S.hystrix mempunyai kemampuan menurunkan kadar glukosa darah dengan cara
“Penghambatan Ganda” yaitu secara enzimatik oleh polifenol dan penghambatan mekanik oleh
alginat. Polifenol berperan menghambat enzim dalam pemecahan karbohidrat menjadi glukosa,
sedangkan polisakarida alginat berperan penghambatan penyerapan glukosa di intestinal. Inhibitor
aktivitas enzim α-amilase dari produk alami diharapkan aman, efektif, harga relatif rendah dan
semakin digunakan dalam pengobatan diabetes militus tipe 2.

Diabetes Melitus (DM) adalah kondisi konsentrasi glukosa dalam darah secara kronis lebih tinggi
daripada nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin atau fungsi insulin tidak efektif.
Meningkatnya jumlah penderita diabetes melitus setiap tahunnya menuntut perhatian serius dalam
terapi penyakit tersebut. Terapi dengan obat-obat sintetis sering memberi efek samping dan biaya
tinggi akibat pengobatan jangka panjang. Obat tradisional merupakan salah satu alternatif dalam
pengobatan, karena efek sampingnya yang dianggap lebih kecil dan biaya yang lebih murah [1, 2]. Salah
satu metode pengobatan penyakit diabetes melitus adalah dengan menghambat aktivitas enzim α-
glukosidase dengan suatu senyawa inhibitor α-glukosidase. Senyawa ini mampu mengurangi
peningkatan kadar glukosa darah pada penderita diabetes. Senyawa dari fitokimia tanaman
termasuk polifenol memiliki aktivitas dalam menghambat aktivitas enzim α-glukosidase [3]. Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang secara tradisional digunakan
sebagai obat antidiabetes [4]. Kandungan kimia yang terdapat dalam kelopak bunga rosella adalah
saponin, tanin dan flavonoid yang terdiri dari flavonol dan antosianin [5]. Penelitian mengenai
kelopak bunga rosella sebagai obat antidiabetes diantaranya dilaporkan oleh Urifah [6] bahwa ekstrak
air kelopak bunga rosella memiliki aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase sebesar 82,6-93,5 %.
Ademiluyi dan Oboh [7] membandingkan ekstrak air bunga rosella merah memilki aktivitas
antidiabetes lebih besar (IC50 25,2 µg/ml) jika dibandingkan dengan bunga rosella putih. Widarsa
dan Wiranatha [8] juga melaporkan ekstrak bunga rosella dapat menurunkan kadar glukosa darah
mencit diabetes, diperkuat oleh penelitian Setiawan [9] yang menyatakan bahwa ekstrak bunga
rosella juga dapat menurunkan kadar gula darah tikus putih. Penelitian–penelitian tersebut telah
memberikan bukti bahwa ekstrak kelopak bunga rosella dapat berfungsi sebagai obat antidiabetes.
Penelitian terdahulu umumnya hanya melaporkan aktivitas dari ekstrak bunga rosella dalam
menginhibisi aktivitas enzim α-glukosidase, namun sampai saat ini belum pernah dilaporkan
mengenai aktivitas dari fraksi-fraksinya. Sehingga pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas inhibisi α-
glukosidase dari masing-masing fraksi dan diidentifikasi kandungan kimia yang terdapat dalam fraksi
aktif. 2. Metode Penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan antara lain peralatan gelas, chamber,
pipet kapiler, vial, neraca analitik (Kern-870), rotary vacuum evaporator (Buchii b-480), plat tetes,
penangas, kolom kromatografi, hairdrayer, microplate, multipipet, pipet mohr, bulb, lampu UV,
freezedryer (Eyela), TLC Scanner (Camag TLC Scanner 3), spektrofotometer UV-Vis (T60 U
Spectrometer PG Instrument) dan FTIR (FTIR spectrophotometer 8201PC Shimadzu). Kelopak bunga
rosella, metanol, natrium hidroksida, natrium asetat, asam borat, alumunium klorida, HCl 2N,
amoniak 25%, kloroform, etil asetat, etanol, n-Heksana, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer,
serbuk magnesium, besi(III) klorida, anhidrida asam asetat, amil alkohol, eter, asam sulfat pekat,
akuades, p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida, buffer posfat pH 7.0, enzim α-glukosidase, larutan
natrium karbonat, glukobay, Silika Gel 60HF254, sephadex LH-20. Preparasi dan Ekstraksi sampel
Kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa.) diperoleh dari perkebunan Wonosobo, Jawa tengah,
Indonesia. Kelopak rosella (Hibiscus sabdariffa.) dibersihkan dari biji, kemudian di potong-potong
sehingga di dapatkan kelopak bunga rosella dengan ukuran yang lebih kecil. Sebanyak 1,5 kg simplisia
dimaserasi menggunakan 4,5 L campuran pelarut metanol dengan 4,5 ml HCl (1000:1). Maserasi
dilakukan dengan perendaman simplisia selama 3x24 jam. Filtrat yang diperoleh dipekatkan
menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 60oC. Ekstrak kental rosella yang diperoleh
disimpan pada suhu 4oC untuk digunakan pada tahap selanjutnya. Penapisan Fitokimia Penapisan
fitokimia dilakukan pada ekstrak pekat Rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Senyawa yang diidentifikasi
adalah senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan triterpenoid/steroid dan antosianin
menggunakan metode yang dikembangkan oleh Farnsworth [10]. Fraksinasi Ekstrak Metanol-HCl Bunga
Rosella. Sebanyak 2 gram ekstrak metanol-HCl bunga rosella difraksinasi menggunakan kromatografi
kolom dengan fasa diam sephadex LH-20 dan fasa gerak air:metanol berturut-turut dengan
perbandingan fraksi A (100:0), fraksi B (75:25), fraksi C (50:50), fraksi D (25:75) dan fraksi E
(0:100). Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan 1 L pelarut sebagai fasa gerak. Hasil fraksi
diuapkan menggunakan rotary evaporator untuk menghilangkan pelarut metanol dan dihilangkan sisa
pelarut airnya dengan menggunakan metode freeze-dryer. Fraksinasi dilakukan 10 kali pengulangan
untuk memperbanyak hasil fraksi. Uji Aktivitas Inhibisi α-glukosidase dari Fraksi dan Ekstrak Bunga
Rosella (Sancheti dkk., 2009). Preparasi sampel Sampel yang diuji dilarutkan dalam pelarut dimetil
sulfoksida (DMSO) dengan konsentrasi 1 % (b/v). Uji in vitro ekstrak dan fraksi bunga rosela terhadap
aktivitas α-glukosidase. Setiap sampel dibuat larutan induk 1000 ppm. Setiap sampel diencerkan
menjadi 500 ppm. Setiap konsentrasi sampel dipipet sebanyak 10 µL kedalam

Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi 18 (3) (2015) : 110 – 115 112 microplate ditambahkan 25 µL substrat
(p-nitrophenil-α-D-glucopyranoside), 50 µL buffer posfat pH 7.0, dan 25 µL enzim α-glukosidase.
Kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37˚C. Reaksi enzim dihentikan dengan
penambahan 100 µL natrium karbonat dan dibaca absorbannya pada panjang gelombang 410 nm.
Larutan standar (glukobay) dibuat dengan konsenterasi 1 ppm, 0,5 ppm, 0,1 ppm, 0,01 ppm dan 0,001.
Persen inhibisi dapat dihitung dari persamaan : % Inhibisi = (C−S)C x 100% Keterangan: S = Absorbansi
sampel C = Absorbansi blanko Identifikasi Komponen Kimia Fraksi Aktif Fraksi paling aktif, diidentifikasi
komponen penyusunnya menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT), pemisahan dilakukan
secara kromatografi lapis tipis dengan eluen etanol:kloroform (4:1). Dari hasil KLT noda dilakukan uji
penampak bercak AlCl3 5% (dalam etanol), FeCl3 dan NH3, dan noda yang paling dominan dari
fraksi aktif dikerok dan dilarutkan dalam metanol p.a. Penentuan Kadar Komponen Penyusun Fraksi Aktif
dan Uji Kemurnian Kromatografi lapis tipis dengan menggunakan eluen etanol:kloroform (4:1)
selanjutnya dilakukan pengujian terhadap kadar relatif area noda (%) dengan menggunakan TLC
Scanner (λ:365 nm). KLT preparatif dilakukan untuk noda yang memiliki kadar relatif (%) paling besar.
Isolat yang diperoleh dilakukan uji kemurnian dengan menggunakan kromatografi lapis tipis
dengan berbagai pengembang. Karakterisasi Isolat Murni Isolat murni yang didapat dikarakterisasi
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan penambahan pereaksi geser: NaOH 2M,
AlCl3,AlCl3/HCl, NaOAC, NaOAC/H3BO3 [11] dan Spektrofotometer FTIR. 3. Hasil dan Pembahasan
Ekstraksi Bunga rosella Pembuatan ekstrak bunga rosella dilakukan dengan metode maserasi
menggunakan pelarut metanol-HCl 0,1%. Pemilihan pelarut ini karena metanol mempunyai sifat polar,
dimana flavonoid bersifat polar sehingga akan mudah larut dalam pelarut yang bersifat polar.
Penambahan HCl sebanyak 0,1% dalam metanol untuk mengkondisikan pelarut dalam suasana
asam. Hal ini bertujuan agar diperoleh senyawa dalam bentuk aglikonnya [12] dan senyawa yang
diisolasi merupakan senyawa yang larut atau stabil dalam suasana asam kuat. Maserasi dilakukan
sampai warna kulit dari kelopak bunga rosella yang semula berwarna merah menjadi pudar. Filtrat
hasil maserasi dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental
berwarna merah tua dengan rendemen sebesar 4,07 %. Penapisan Fitokimia Ekstrak Rosella
Penapisan fitokimia terhadap kelopak bunga rosella (Hibisdicus sabdariffa L.) bertujuan untuk
mengetahui jenis senyawa metabolit sekunder pada kelopak bunga rosella. Golongan kimia yang
diidentifikasi pada penelitian ini antara lain alkaloid, flavonoid, antosianin, triterpenoid/steroid dan
saponin. Hasil dari penapisan fitokimia tertera pada Tabel 1. Tabel 1: Hasil penapisan fitokimia ekstrak
rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Senyawa Metabolit Sekunder Hasil Uji (+)/(-) Flavonoid + Antosianin +
Alkaloid - Triterpenoid dan Steroid - Saponin + Tanin + Hasil penapisan fitokimia menunjukan ekstrak
Metanol-HCl 0,1 % positif terhadap senyawa flavonoid, antosianin, tanin, dan saponin, serta negatif
untuk uji alkaloid, triterpenoid dan steroid. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan yang
menyatakan bahwa penapisan fitokimia ekstrak tanaman rosella (Hisbiscus sabdarifa L.) mengandung
flavonoid, saponin dan tanin [13]. Fraksinasi Ekstrak Bunga Rosella Fraksinasi dilakukan terhadap
ekstrak bunga rosella secara kromatografi kolom gravitasi. Fase diam yang digunakan adalah sephadex
LH-20 dan fase gerak air:metanol (100:0; 75:25; 50;50; 25:75; 0:100). Pemisahan menggunakan fase
diam sephadex LH-20 adalah pemisahan berdasarkan ukuran partikel [14]. Urutan elusi yang
dilakukan pada penelitian diharapkan dapat memisahkan dari senyawa yang ukurannya besar ke
senyawa yang lebih kecil. Kromatografi kolom sephadex ini sangat efektif untuk memisahkan
golongan glikosida dan senyawa yang berat molekul besar [15]. Fraksi yang diperoleh sebanyak 5
jenis (fraksi A,B,C,D dan E) dengan intensitas warna yang berbeda setiap fraksinya. Hal ini
menandakan bahwa fraksi memiliki kandungan kimia yang berbeda. Eluat yang dihasilkan diuapkan
pelarut metanolnya menggunakan rotary vacuum evaporator. Setelah bebas dari metanol kemudian
dilakukan freeze drying untuk menghilangkan pelarut airnya. Tabel 2: Hasil berat dari freeze drying
Sampel fraksinasi (air:metanol) Berat hasil freeze drying (gr) A (100:0) 15,5358 B (75:25) 0,12 C (50:50)
0,06 D (25:75) 0,0167 E (0:100) Tidak diperoleh

Anda mungkin juga menyukai