Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Infeksi


2.1.1 Pengertian Infeksi
Infeksi adalah suatu perkembangbiakan mikroorganisme di jaringan tubuh
yang akan menyebabkan cedera lokal yang diakibatkan karena kompetesi
metabolisme, racun (toxin), respon dari antigen antibodi yang dapat menyebabkan
suatu penyakit (Muzaki & Alkansa, 2010). Infeksi adalah suatu kondisi yang
penyebabnya yaitu mikroorganisme patogen dengan ditandai gejala klinik atau
tidak (Kemenkes RI, 2017).
2.1.2 Epidemiologi Penyakit Infeksi
Prevalensi infeksi tertinggi didunia yaitu wilayah Asia dari Staphycoccus
aureus yang resisten terhadap pelayanan kesehatan. Rumah sakit di Asia sebagian
besar endemik pada Staphylococcus aureus (MRSA) yang resisten terhadap
banyak obat dengan prevalensi sebanyak 28% di Hongkong dan Indonesia hingga
>70% di Korea (Chen & Huang, 2014). Pasien yang mengalami infeksi sebanyak
63% di rumah sakit Oman diantaranya yaitu infeksi saluran kemih, infeksi luka,
infeksi pernapasan (Pneumoniae) serta infeksi kulit dan jaringan (selulitis) (Al-
Yamani et al., 2016).
Menurut data hasil utama riskesdas tahun 2018 prevalensi penyakit infeksi
tidak menular mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2013 meliputi
kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi, asma.
Prevalensi kanker naik dari 1,4% menjadi 1,8%; stroke dari 7% naik menjadi
10,9%; penyakit CKD (Chronik Kidney Disease) atau penyakit gagal ginjal kronis
dari 2% menjadi 3,8%; berdasarkan dari pemeriksaan gula darah prevalensi
diabetes melitus dari 6,9% menjadi 8,5%; prevalensi hipertensi dari 25,8%
menjadi 34,1%. Prevalensi penyakit infeksi menular berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan yang mengalami peningkatan pada tahun 2018 meliputi pneumonia dari
1,6% menjadi 2,0%; prevalensi diare dari 4,5% menjadi 6,8%; prevalensi hepatitis
berdasarkan diagnosis dokter yaitu 0,2% menjadi 0,4%; prevalensi filariasi
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan yaitu 0,05% menjadi 0,8% (Kemenkes
RI, 2018).

6
7

2.1.3 Etiologi Infeksi


Infeksi dapat disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang merugikan
manusia seperti bakteri, virus, fungi, parasit yang dapat menyebabkan respon
imun menurun sehingga pasien menjadi sakit. Infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme disebut sebagai kuman patogen yang merugikan pada manusia.
Penyebab infeksi paling banyak adalah bakteri dan virus, walaupun terdapat
parasit yang menimbulkan penyakit malaria (Wright, 2018; Maclean et al., 2014).
2.2 Tinjauan Antibiotik
2.2.1 Pengertian Antibiotik
Antibiotik merupakan suatu senyawa kimia yang khas dari organisme hidup
dibuat secara sintetik yang pada konsentrasi rendah memiliki efek menghambat
atau menekan pertumbuhan satu spesies mikroorganisme atau lebih (Siswandono,
2016). Selain itu definisi dari antibiotik yaitu senyawa kimia dari hasil sintetis
mikroorganisme yang berfungsi untuk menghambat (bakteriostatik) dan
mematikan mikroorganisme lain penyebab infeksi (Elliot dkk., 2013).
2.2.2 Penggolongan/Klasifikasi Antibiotik dan Mekanisme Kerjanya
• Time dependent
• luas • Concentration
• sempit dependent.

spektrum farmakokinetik

struktur aktivitas/
kimia potensi
• beta laktam
• bakterisidal
• Glikopeptida
• aminoglikosida • bakteriostatik
• sulfonamida,dll.

Gambar 2. 1 Klasifikasi Antibiotik (Siswandono, 2016; Nugroho, 2014)

Antibiotik dapat digolongkan menjadi lima Siswandono (2016) yaitu


berdasarkan spektrum aktivitas, tempat kerja, farmakokinetik, aktivitas/potensi
dan struktur kimianya.
2.2.2.1 Klasifikasi Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktivitas
a) Antibiotik spektrum luas (broad spektrum) adalah antibiotik yang dapat
menghambat dan membunuh bakteri dari golongan Gram positif dan
Gram negatif, yang termasuk dalam golongan ini yaitu derivat tetrasiklin,
8

anfenikol, aminoglikosida, makrolida, rifamfisin, beberapa derivat


penisilin (ampisilin, amoksisilin, bekampisilin, tikarsilin, sulbenisilin,
pivampisilin, hetasilin, karbenesilin) dan sebagian besar derivat
sefalosporin.
b) Antibiotik yang lebih efektif terhadap bakteri Gram positif, yang
termasuk dalam golongan ini yaitu basitrasin, eritromisin, sebagian besar
derivat penisilin (benzilpenisilin, floksasilin Na, diklosasilin Na,
kloksasilin Na, oksasilin Na, Nafsilin Na, metisilin Na, fenetisilin K,
penisilin V dan penisilin G prokain), derivat linkosamida, asam fusidat
dan beberapa derivat sefalosporin.
c) Antibiotik yang lebih efektif terhadap Gram negatif, yang termasuk
dalam golongan ini yaitu sulfomisin, polimiksin B sulfat dan kolistin.
d) Antibiotik yang lebih dominan terhadap Mycobacteriae
(antituberkulosis), seperti streptomisin, kapreomisin, viomisin,
rifamfisin, sikloserin dan kanamisin.
e) Antibiotik yang aktifitasnya aktif terhadap jamur, yang termasuk
golongan ini yaitu antibiotika polen (amfoterisin B dan nistatin) dan
griseofulfin.
f) Antibiotika yang aktifitasnya aktif terhadap neoplasma, yang termasuk
golongan ini yaitu mitramisis, mitomisin, doksorubisin, daunorubisin,
bleomisin dan aktinomisin.
2.2.2.2 Klasifikasi Antibiotik Berdasarkan Tempat Kerja
Menurut Beale dan Block (2011) Klasifikasi antibiotik berdasarkan
tempat kerjanya dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
a) Antibiotik yang tempat kerjanya di dinding sel, proses yang dihambat
masing-masing antibiotik berbeda-beda, seperti penisilin dan sefalosporin
(menghambat biosintesis peptidoglikan), basitrasin dan vankomisin
(menghambat sintesis mukopeptida), sikloserin (menghambat sintesis
peptida dinding sel). Tipe aktivitas dari golongan ini bersifat bakterisidal
atau bersifat membunuh bakteri.
b) Antibiotik yang tempat kerjanya di membran sel. Contohnya: daptomisin
dan polimiksin B mekanisme kerjanya dengan menghambat integritas
9

membran sel, dimana antibiotik golongan ini bersifat bakterisidal yaitu


membunuh bakteri (Finberg & Guharoy 2012).
c) Antibiotik yang tempat kerjanya di asam nukleat. Contohnya: mitomisin
C (menghambat biosintesis DNA) bersifat pansidal (antikanker),
rifampisin (menghambat biosintesis mRNA) bersifat bakterisidal yaitu
dapat membunuh bekteri yang dapat menyebabkan infeksi, griseofulvin
(menghambat pembelahan sel mikrotubuli) bersifat fungistatik,
aktinomisin (menghambat biosintesis DNA dan mRNA) bersifat pansidal
yaitu antibiotik yang memiliki efektifitas sebagai antikanker.
d) Antibiotik yang tempat kerjanya di Ribosom.
 Ribosom sub unit 30 S prokariotik, contohnya: aminosiklin dan
tetrasiklin (menghambat biosintesis protein) bersifat bakterisidal dan
bakteristatik.
 Ribosom sub unit 50 S prokariotik, contohnya: amfenikol, makrolida,
linkosamida (menghambat biosintesis protein) bersifat bakteriostatik.
 Ribosom sub unit 60 S eukariotik, contohnya glutarimid dan asam
fusidat (menghambat biosintesis protein) bersifat fungisidal dan
bakterisidal.

Tabel II. 1 Penggolongan Antibiotik Berdasarkan Tempat Kerjanya (Beale &


Block, 2011; Finberg & Guharoy 2012)
No Tempat Kerja Proses Yang Dihambat Antibiotik
1 Dinding sel Biosintesis peptodoglikan Penisilin
Biosintesis peptidoglikan Sefalosporin
Sintesis mukopeptida Basitrasin
Sintesis mukopeptida Vankomisin
Sintesis peptidadinding sel Sikloserin
2 Membrane sel Fungsi membran Daptomisin
Integritas membran Polimiksin B
3 Asam nukleat Biosintesis DNA Mitomisin C
Biosintesis mRNA Rifamfisin
Pembelahan sel, mikrotubuli Groseofulvin
Biosintesis DNA dan mRNA Aktinomisin
4 Ribosom
 Sub unit 30 S Biosintesis protein Aminosiklitol
Prokariotik Tetrasiklin
 Sub unit 50 S Biosintesis protein Amfenikol
prokariotik Makrolida
Linkosamida
 Sub unit 60 S Biosintesis protein Glutarimid
eukariotik Asam fusidat
10

Gambar 2. 2 Klasifikasi Antibiotik Berdasarkan Tempat Kerjanya (Finberg &


Guharoy, 2012)

2.2.2.3 Antibiotik Berdasarkan Aktifitas/ Potensinya


a) Bakteriostatik merupakan antibiotik yang memiliki potensi mencegah atau
menghambat pertumbuhan dari bakteri. Contohnya antibiotik golongan
makrolida, tetrasiklin dan linezolid dan linkosamisa (Gallagher &
MacDougall, 2018; Siswandono 2016).
b) Bakterisidal merupakan antibiotik yang bekerja dengan cara membunuh
bakteri secara aktif. Contohnya antibiotik golongan penisilin, sefalosporin,
karbapenem, monobactam, vankomisin, fluoroquinolon, aminoglikosida,
metronidazole, daptomycin (Gallagher & MacDougall, 2018).
Tabel II. 2 Klasifikasi Antibiotik Berdasarkan Aktifitas Atau Potensinya
(Gallagher & Macdougall, 2018)
Kelas Antibiotik Aktifitas/ Potensinya

Penicillins Bakterisidal
Cephalosporins
Carbapenems
Monobactams
Vancomycin Bakterisidal rendah
Fluoroquinolones Bakterisidal
Aminoglycosides
Metronidazole
Daptomycin
Macrolides Bakteriostatik
Tetracyclines
Linezolid
11

2.2.2.4 Klasifikasi Antibiotik Berdasarkan Sifat Farmakokinetiknya


a) Time dependent killing yaitu waktu antibiotik berada dalam darah dengan
kadar diatas kadar hambat minimal (KHM) atau efek bakterisidalnya
(daya bunuh bakteri) akan tinggi ketika kadar antibiotik dijaga cukup
lama diatas KHM. Contohnya antibiotik golongan penisilin, sefalosporin
dan makrolida (Gallagher & Macdougall, 2018; Kemenkes RI, 2011).
b) Concentration dependent killing yaitu efek daya bunuh suatu antibiotik
akan meningkat ketika dosisnya dinaikkan tanpa mempertahankan kadar
tinggi dalam darah. Oleh karena itu, regimen dosis yang dipilih harus
memiliki kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih besar dari KHM.
Contohnya antibiotik golongan aminoglikosida, fluorokuinolon dan
ketolida (Kemenkes RI, 2011).
2.2.2.5 Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimianya
Antibiotik berdasarkan struktur kimianya dapat diklasifikasi menjadi
antibiotik β-laktam, derivat amfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida,
polipeptida, linkosamida, ansamisin dan antrasiklin, fosfomisin, antibiotika polien
(Siswandono, 2016).
2.2.2.5.1 Antibiotik β-laktam
Antibiotik β-laktam merupakan antibiotik yang mempunyai ciri khas
yaitu mempunyai cincin β-laktam pada strukturnya (Beauduy & Winston, 2018).
Antibiotik β-laktam dibagi menjadi tiga yaitu derivat penisilin, sefalosporin dan β-
laktam nonklasik. Derivat penisilin adalah antibiotik pilihan untuk pengobatan
infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram positif dan Gram negatif yang
berbentuk bulat (kokus). Derivat sefalosporin adalah antibiotik golongan ini
digunakan untuk terapi pengobatan infeksi bakteri yang telah resisten terhadap
penisilin, khususunya bakteri Staphylococcus yang memproduksi penisilase dan
bakteri Gram negatif yang berbentuk batang. β-laktam nonklasik digunakan untuk
menghambat enzim β-laktamase dan antibakteri Gram negatif (Siswandono,
2016). Antibiotik yang memiliki cincin β-laktam pada strukturnya yaitu penisilin,
sefalosporin, monobaktam, karbapenem, dan inhibitor β-laktamase. Inhibitor β-
laktamase adalah antibiotik yang ideal untuk ESBL karena dapat menghambat
enzim β-laktamase (Ebimieowei & Ibemologi, 2016).
12

Mekanisme kerja dari antibiotik derivat β-laktam yaitu menghambat


enzim transpeptidase yang berfungsi untuk membentuk dinding sel bakteri.
Antibiotik β-laktam aktifitasnya kurang terhadap organisme atipikal yaitu
Mycoplasma pneumonia dan Chlamydophila pneumonia. Hampir semua antibiotik
β-laktam tidak memiliki aktivitas melawan MRSA kecuali ceftaroline golongan
sefalosforin yang memiliki aktivitas anti-MRSA (Gallagher & MacDougall,
2018). Antibiotik β-laktam hanya bisa mematikan bakteri pada fase pertumbuhan
dan tidak bisa mempengaruhi bakteri yang dalam bentuk inaktif. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik β-laktam derivat penisilin yang bersifat bakterisidal tidak
boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik yang bersifat bakteriostatik (derivat
amfenikol, sulfonamide atau tetrasiklin) dengan tujuan untuk mencegah
pemberian antibiotik yang tidak rasional. Efek yang ditimbulkan dari antibiotik β-
laktam terhadap bakteri, yaitu: menekan pertumbuhan bakteri dengan cara
menghambat biosintesis peptidoglikan, menurunkan perkembangbiakan bakteri
dan menjadikan sel menjadi lisis (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
2.2.2.5.1.1 Derivat Penisilin
Penisilin adalah antibiotik yang pertama kali ditemukan oleh
Alexander Fleming dari jamur dengan genus Penicillium (Goodman & Gilman,
2012). Mekanisme kerja dari derivat penisilin yaitu menekan pertumbuhan bakteri
dengan cara menghambat reaksi transpeptidase sintesis dinding sel bakteri.
Dinding sel yaitu lapisan paling luar bersifat kaku yang khas bagi spesies bakteri
(Katzung et al., 2013). Stabilitas dari penisilin dapat dipengaruhi oleh ph larutan
dan diinaktifkan oleh ion logam seperti Zn dan Cu dan pemanasan jangka panjang
dapat merusak penisilin. Penisilin relatif stabil pada suasana suasana pH netral.
Hal yang mempengaruhi stabilitas penisilin dari segi klinis pada terapi pengobatan
secara in vivo yaitu asam lambung dan enzim penisilase (β-laktamase dan asilase).
Derivat penisilin yang sering dipakai yaitu benzilpenisilin, penisilin G prokain,
penisilin G benzatin, penisilin V, fenetisilin, metisilin, nafsilin, tikarsilin,
sulbenisilin, karbenisilin, amoksisilin, ampisilin, flukloksasilin, dikloksasilin,
kloksasilin dan oksasilin (Siswandono, 2016). Penisilin mempunyai waktu paruh
yang singkat yaitu kurang dari 2 jam, sehingga dosisnya diberikan dalam beberapa
kali per hari (Gallagher & MacDougall, 2018).
13

Penisilin alami

Antistaphylocococcus Aminopenisilin
Penisilin G,
penisilin
Penisilin V

Antipseudomonas
Nafcillin, Oxacillin,
Dicloxacillin, penisilin
Methicillin,
Cloxacillin
Amoxicillin,
Ampicillin

Beta lactam/ kombinasi beta laktam inhibitor

Ampicillin/Sulbactam, Amoxicillin/Clavulanat,
Piperacillin/Tazobactam

Gambar 2. 3 Pengembangan Obat Penisilin (Gallagher & MacDougall, 2018)


Derivat penisilin dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
(Katzung et al., 2013) yaitu:
a) Penisilin (penisilin G dan penisilin V)
Penisilin G merupakan pilihan terapi untuk infeksi yang disebabkan
oleh bakteri kokus atau bakteri yang berbentuk bulat. Contohnya seperti
streptokokus, meningokokus, sebagian enterokokus, pneumokokus yang
resisten terhadap penisilin, stafilokokus dan organisme anaerob yang tidak
memproduksi enzim β-laktamase, Treponema palllidum dan spirokaeta,
spesies Clostridium, Actinomyces dan bakteri Gram positif yang berbentuk
basil. Dosis dari penisilin G disesuaikan dengan bakteri yang menginfeksi
dan lokasi organ dan tingkat infeksi yang dihasilkan, rentang dosis efektif
dari penisilin G yaitu 4-24 juta unit setiap hari diberikan dengan rute i.v
dosis terbagi 4-6 (Goodman & Gilman, 2012; Katzung et al., 2013).
Penisilin V adalah salah satu sediaan dengan rute oral dari penisilin,
hanya digunakan untuk terapi pengobatan infeksi minor karena sediaan
penisilin V yang tersedia relatif kurang sehingga amoksisilin banyak
digunakan untuk penggantinya. Penisilin V memiliki spektrum antibakteri
sempit (Katzung et al., 2013).
14

b) Penisilin yang telah resisten dengan enzim β-laktamase stafilokokus


(metisilin, nafsilin dan penisilin isoksazolil)
Penisilin semisintetik ini digunakan sebagai terapi pengobatan infeksi
yang disebabkan oleh stafilokokus yang diproduksi oleh enzim β-
laktamase, meskipin spesies streptokokus dan pneumokokus sensitif
terhadap penisilin dan metisilin, nafsilin dan penisilin isoksazolil.
Pemakaian metisilin untuk ingeksi bakteri stafilokokus jarang digunakan
karena banyak yang telah resisten. Penisilin isoksazolil seperti oksasilin,
kloksasilin dan dikloksasilin dosis dewasa per oralnya yaitu 0,25-0,5 g
setiap 4-6 jam dan dosis untuk anak yaitu 15-25 mg/kg/hari dalam 4 dosis
terbagi untuk mengobati infeksi ringan-sedang yang disebabkan oleh
bakteri stafilokokus. Obat ini relatif stabil asam namun tidak stabil ketika
ada makanan karena akan mengganggu absorbsinya oleh karena itu harus
diberikan 1 jam sebelum/ sesudah makan. Oksasilin dan nafsilin khusus
untuk indikasi infeksi bakteri stafilokokus yang sudah sampai sistemik
dosis untuk dewasa yaitu 8-12 g/hari diberikan lewat infus intravena
intermiten 1-2 g setiap 4-6 jam dan dosis untuk anak yaitu 50-100
mg/kg/hari (Katzung et al., 2013; Goodman & Gilman, 2012).
c) Penisilin extended-spectrum (Aminopenisilin, karboksipenisilin dan
ureidopenisilin)
Aminopenisilin, karboksipenisilin dan ureidopenisilin adalah obat
yang memiliki efek terapi yang lebih tinggi daripada penisilin untuk
bakteri Gram negatif dikarenakan kemampuannya untuk menembus
membran luar bakteri Gram negatif lebih tinggi. Kelompok
aminopenisilin, ampisilin dan amoksisilin mempunyai spektrum aktifitas
yang mirip, namun absorbsi per oral amoksisilin lebih bagus. Amoksisilin
per orang berfungsi untuk pengobatan infeksi saluran kemih, sinusitis,
otitis dan saluran nafas bagian bawah. Amoksisilin 250-500 mg yang
diberikan tiga kali sehari setara dengan ampisilin yang diberikan empat
kali sehari. Ampisilin pada dosis 4-12 g/hari dengan rute intravena
berfungsi untuk terapi pengobatan infeksi yang serius disebabkan oleh
organisme anaerob, enterokokus, L. Monocytogenes dan bakteri Gram
15

negatif bentuk bulat dan batang yang tidak memproduksi enzim β-


laktamase. Ampisilin tidak aktif terhadap bakteri Gram negatif yang aerob
yang banyak ditemukan pada infeksi dirumah sakit dapat menginaktifkan
ampisilin karena bakteri aerob Gram negatif memproduksi enzim β-
laktamase. Karbenisilin yaitu karboksipenisilin sebagai antipseudomonas,
dimana karbenisilin merupakan tikarsilin. Tikarsilin kurang aktif terhadap
bakteri enterokokus jika dibandingkan dengan ampisilin. Ampisilin,
amoksisilin, tikarsilin,dan piperasilin terdapat dalam kombinasi inhibitor
β-laktam (asam klavulanat, sulbaktam, tazobaktam). Dengan adanya
kombinasi inhibitor β-laktamase dapat meningkatkan aktivitasnya
(Katzung et al., 2013).
Efek samping dari derivat penisilin kebanyakan adalah reaksi
hipersensitivitas (alergi) sekitar 5-8% dan <1% pasien yang mengonsumsi
penisilin tanpa efek samping. Reaksi alergi seperti syok anafilaktik jarang
ditemukan sekitar 0,05%. Reaksi serum-sickness (demam, pembengkakan
sendi, edema angioneurotik, gatal hebat dan gangguan pernapasan yang
terjadi 7-12 hari setelah penggunaan jarang terjadi terjadi pada pasien.
Penisilin dengan dosis tinggi pada pasien ginjal dapat menyebabkan
kejang. Rute oral penisilin dalam dosis yang tinggi meyebabkan gangguan
pencernaan diantaranya mual, muntah dan diare. Ampisilin dan
amoksisilin efek sampingnya yaitu ruam kulit, hal ini terjadi ketika
diberikan tidak sesuai indikasinya (Gallagher & MacDougall, 2018;
Katzung et al., 2013).

Tabel II. 3 Dosis Dari Derivat Penisilin (Katzung et al., 2013)


No Antibiotik Dosis Dewasa Rute
1 Penisilin
Penisilin G 1-4x106 unit setiap 4-6 jam i.v
Penisilin V 250-500 mg empat kali sehari p.o
2 Penisilin Antistafilokokus
Kloksasilin, diklosasilin 250-500 mg empat kali sehari p.o
Nafsilin, Oksasilin 1-2 g setiap 4-6 jam i.v
3 Penisilin extended-spectrum
Amoksisilin 250-500 mg tiga kali sehari p.o
Amoksisilin/kalium klavulanat 500/125-875/125 mg tiga kali sehari p.o
Piperasilin 3-4 g setiap 4-6 jam i.v
Tikarsililin 3 g setiap 4-6 jam i.v
16

2.2.2.5.1.2 Derivat Sefalosporin


Derivat sefalosporin dihasilkan dari isolasi ekstrak fungi
Cephalosporium acremonium, dan dari fungi ini dapat diisolasi lagi menjadi
sefalosporin C, hasil produksi dari sefalosporin C yaitu 7-aminosefalosporinat (7-
ACA) yang banyak digunakan saat ini (Siswandono, 2016). Derivat sefalosporin
lebih stabil daripada penisilin dikarenakan aktivitas spektrumnya yang lebih besar.
Sefalosporin tidak dapat bekerja pada bakteri enterokokus dan Listeria
monocytogenes (Gallagher & MacDougall, 2018; Katzung et al., 2013).
a) Sefalosporin Generasi I
Sejak tahun 1960-1970 sefalosporin generasi I diperkenalkan sebagai
terapi pengobatan secara klinis, aktifitas antibakterinya lebih sempit
daripada generasi yang lainnya (Siswandono, 2016). Sefalosforin generasi
I yaitu sefazolin, sefadroksil, sefaleksin, sefalotin, sefapirin, dan sefradin.
Antibiotik ini lebih aktif pada Gram positif bentuk kokus seperti
pneumokokus, streptokokus, dan stafilokokus. Sefazolin bisa menembus
sebagian besar jaringan dengan baik namun tidak dapat menembus
susunan saraf pusat, selain itu sefazolin tidak dapat digunakan untuk
terapi pengobatan meningitis. Antibiotik sefazolin biasanya digunakan
sebagai pilihan terapi profilaksis bedah. Sefazolin merupakan alternatif
untuk pasien yang alergi terhadap penisilin (Katzung et al., 2013).
Sefalotin dan sefazolin aktifitas antibakterinya relatif baik pada bakteri
Gram positif dan menurun pada Gram negatif (Goodman & Gilman,
2012). Waktu paro sefalosporin generasi I relatif singkat dan kemungkinan
untuk menembus cairan serebrospinal relatif rendah (Siswandono, 2016).
Salah satu rute parenteral pada sefalosporin generasi I adalah sefazolin
yang sampai sekarang masih banyak digunakan. Dosis lazim sefazolin
dengan rute intravena untuk dewasa yaitu 0.5-2 g setiap 8 jam. Kadar
puncak sefazolin mencapai 90-120 mcg/ml setelah pemberian infus
intravena sebanyak 1 g. Selain dengan rute intravena sefazolin juga dapat
diberikan dengan rute intramuskular. Sefazolin dieksresi di ginjal sehingga
harus dilakukan penyesuaian dosis pada pasien dengan penyakit gagal
ginjal (Katzung et al., 2013).
17

b) Sefalosporin Generasi II
Penggunaan secara klinik sefalosporin generasi II pada akhir tahun
1970, aktifitas antibakterinya hampir mirip dengan generasi pertama
namun pada sefalosporin generasi II lebih aktif terhadap bakteri Gram
negatif. Waktu paronya yaitu sama seperti generasi I namun kemampuan
menembus BBB (Blood Brain Barrier) lebih baik (Siswandono, 2016).
Sefalosporin generasi II yaitu sefaklor, sefamandol, sefonisid, sefuroksim,
sefrozil, lorakarbef, seforanid dan sefamisin yang strukturnya berkaitan
dengan sefoksitin, sefmetazol dan sefotetan yang anaerob. Pemberian
sefalosporin generasi II sesudah infus intravena 1 g dapat memberikan
kadar puncak 75-125 mcg/ml. Sefalosporin generasi II dengan rute oral
lebih aktif terhadap H. influenzae pembuat β-laktamase atau Moraxella
catarrhalis, selain itu digunakan untuk terapi pengobatan sinusitis, otitis
dan infeksi saluran nafas bagian bawah dan sebagian digunakan untuk
pengobatan infeksi bakteri anaerob campuran seperti peritonitis dan
divertikulitis. Sefuroksim berfungsi untuk terapi pengobatan pneumonia
namun tidak efektif untuk pengobatan meningitis (Katzung et al., 2013).
c) Sefalosporin Generasi III
Penggunaan secara klinik sefalosporin generasi III pada tahun 1980,
aktifitas antibakterinya lebih banyak dibandingkan generasi I dan II.
Sefalosforin generasi III lebih aktif terhadap bakteri Gram negatif yang
sudah resisten, tahan terhadap β-laktamase namun kurang efektif untuk
bakteri Gram positif (Siswandono, 2016). Sefalosporin generasi III yaitu
sefoperazon, sefotaksim, seftazidin, seftizoksim, seftriakson, sefiksim,
sefpodoksim proksetil, sefdinir, sefditoren pivoksil, seftibuten dan
moksalaktam. Pemberian sefalosporin generasi III sesudah infus intravena
dapat memberikan kadar serum sebesar 60-140 mcg/ml. Sefalosporin
generasi III dapat menembus BBB namun tidak untuk sefoperazon dan
sefalosporin oral. Sefoperazon dan seftriakson dieksresi melalui empedu
sehingga tidak perlu dilakukan penyesuai dosis pada pasien gagal ginjal.
Seftriakson dan sofotaksim untuk terapi infeksi serius dan aktif terhadap
bakteri Pneumococcus (Deck & Wilson, 2015; Katzung et al., 2013).
18

d) Sefalosporin Generasi IV
Penggunaan secara klinik sefalosporin generasi IV diperkenalkan pada
tahun 1995. Antibiotik ini aktif pada bakteri Gram negatif yang sudah
resisten dan lebih kebal terhadap β-laktamase, selain itu juga spektrum
aktivitas antibakterinya lebih stabil daripada generasi sebelumnya.
Sefalosporin generasi IV yaitu sefepim dan sefirom (Siswandono, 2016).
Mekanisme kerjanya sama seperti antibiotik golongan β-laktam lainnya
yaitu menghambat ikatan silang peptidoglikan di dinding sel bakteri.
Spektrum aktivitas sefalosporin generasi IV baik terhadap MRSA
(Staphylococcus aureus resisten-metisilin), Pseudomonas aeruginenosa,
enteric GNRs (Gram Negative Rods) yaitu Enterobacteriaceae (Gallagher
& MacDougall, 2018).
Sefepim memiliki aktivitas yang baik terhadap Pseudomona
aeruginenosa, enteric GNRs yaitu enterobacteriaceae, Staphylococcus
aureus, dan Staphylococcus pneumoniae. Sefepim sangat aktif terhadap
Haemophilus dan Neisseria sp. dan dapat juga menembus BBB dengan
baik. Waktu paro sefepim yaitu 2 jam dan tempat eliminasinya di ginjal.
Sefepim dan seftazidin memiliki profil farmakokinetik yang sama, namun
sefepim memiliki aktifitas yang lebih besar terhadap Streptococcus yang
tidak resisten terhadap penisilin. Selain itu, sefepim digunakan sebagai
pilihan untuk terapi antibiotik empiris karena termasuk daalam spektrum
luas (Gallagher & MacDougall, 2018; Katzung et al., 2013).

Gambar 2. 4 Aktifitas Sefalosporin Berdasarkan Generasi (Gallagher &


MacDougall, 2018)
19

Tabel II. 4 Dosis Untuk Derivat Sefalosporin (Katzung et al., 2013)


No Antibiotik Dosis Dewasa Rute
1 Sefalosporin Generasi I
Sefadroksil 0,5-1 g satu sampai dua kali sehari p.o
Sefaleksin, sefradin 0,25-0,5 g empat kali sehari p.o
Sefazolin 0,5-2 g setiap 8 jam i.v
2 Sefalosporin Generasi II
Sefoksitin 1-2 g setiap 6-8 jam i.v
Sefotetan 1-2 g setiap 12 jam i.v
Sefuroksim 0,75-1,5 g setiap 8 jam i.v
3 Sefalosporin Generasi III
Sefotaksim 1-2 g setiap 6-12 jam i.v
Seftazidim 1-2 g setiap 8-12 jam i.v
Seftriakson 1-4 g setiap 24 jam i.v
4 Sefalosporin Generasi IV
Seftarolin fosamil 600 mg setiap 12 jam i.v
Seftarolin fosamil 600 mg setiap 12 jam i.v
Sefepim 0,5-2 g setiap 12 jam i.v

2.2.2.5.1.3 Derivat Β-Laktam Non Klasik


β-laktam non klasik merupakan senyawa yang terdapat cincin β-
laktam, terkadang bergabung dalam cincin lain terdiri dari 5 atau 6 atom. β-laktam
non siklik berbeda dengan derivat penisilin atau sefalosporin karena terdapat
strukturnya yang berbeda dan sifat biologisnya. Derivat β-laktam non klasik
dibagi menjadi 5 golongan yaitu derivat amidinopenisilanat, derivat asam
penisilanat, karbapenem, oksapenem dan β-laktam monosiklik yaitu norkarsidin
A, astreonam dan sulfasezin (Bambang, 2008; Siswandono, 2016).
a) Derivat Asam Amidinopenisilanat
Derivat asam amidinopenisilanat memiliki efek aktivitas terhadap
bakteri Gram positif dan efeknya rendah terhadap Pseudomonas sp. namun
cukup efektif pada bakteri Gram negatif (Enterobacteriaceae). Contohnya:
amdinosilin (mesilinam), bakmesilinam dan pivmesilinam. Amdinosilin
(mesilinam) adalah antibiotik yang stabilitasnya tidak tahan terhadap asam
dan absorbsinya tidak di gastrointestinal, sehingga rute pemberiannya
intravena dan intramuskular. Dosis amdinosilin yaitu 10 mg/kgBB setiap 4
jam untuk terapi infeksi kronis. Bakmesilinam dan pivmesilinam adalah
antibiotik yang dapat diabsorpsi di saluran cerna dan cepat terhidrolisis
melepaskan senyawa utamanya, rute pemberian oral dengan dosis 400 mg
tiga sampai empat kali sehari (Siswandono, 2016).
20

b) Derivat Asam Penisilanat


Derivat asam penisilanat adalah hasil modififikasi dari 6-APA, yang
berfungsi untuk menghambat enzim β-laktamase. Pemberiannya biasanya
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan β-laktam klasik (ampisilin atau
amoksisilin). Contohnya: sulbaktam, pivsulbaktam, tazobaktam dan
sultamisilin (gabungan dari sulbaktam dan ampisilin). Sulbaktam adalah
antibiotik yang pertama kali digunakan di klinik dengan rute pemberian
secara parenteral dikarenakan absorbsi obat disaluran cerna rendah.
Pivsulbaktam merupakan bentuk praobat dari sulbaktam diberikan dengan
rute oral. Tazobaktam berfungsi menghambat enzim β-laktamase yang
lebih efektif diantara sulbaktam dan aktivitas spektrumnya lebih banyak
dibanding dengan asam klavulanat. Dalam produk tazobaktam dikombinasi
dengan piperasilin (pybactam, tazocin) dengan kadar (8:1) dan memiliki
waktu paro lebih kurang 1 jam, dengan rute pemberian intravena
(piperasilin 4 g/ tazobaktam 0,5 g 3-4 kali sehari). Sultamisilin adalah pra
obat hasil dari kombinasi dari sulbaktam dan ampisilin yang dihubungkan
dengan ikatan metilen, ketika didalam tubuh akan terhidrolisis melepaskan
senyawa aktif. Indikasi penggunaan kombinasi inhibitor β-laktamase yaitu
untuk terapi empiric infeksi yang disebabkan oleh suatu spektrum luas
patogen potensial pada pasien imunodefisiensi dan untuk infeksi campuran
bakteri aerobik dan anaerobik (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
c) Karbapenem
Karbapenem adalah analog dari penisilin alami, dan antibiotik ini
tergolong spektrum luas yang memiliki aktifitas bagus terhadap bakteri
Gram negatif berbentuk batang, seperti Pseudomonas aeruginosa dan
bakteri Gram negatif dan bersifat anaerob (Siswandono, 2016). Mekanisme
keja karbapenem yaitu berikatan pada PBP1 dan PBP2 pada bakteri Gram
positif dan bakteri Gram negatif sehingga menyebabkan sel menjadi lisis
(Ciptaningtyas, 2014). Selain itu antibiotik ini dieksresikan di ginjal
sehingga dosisnya harus dikurangi atau disesuaikan pada pasien penyakit
ginjal. Contohnya: doripenem, ertapenem, imipenem dan meropenem
(Katzung et al., 2013).
21

Karbapenem diindikasikan untuk terapi pengobatan infeksi bakteri


yang telah resisten dengan antibiotik lain misalnya Pseudomonas
aeruginosa dan juga digunakan untuk terapi infeksi bakteri aerob dan
anaerob. Antibiotik golongan ini resisten terhadap kebanyakan β-laktamase
namun tidak terhadap karbapenase (metalo-β-laktamase). Dosis lazim dari
imipenem dengan rute pemberian intravena yaitu 0,25-0,5 g setiap 6-8 jam,
memiliki waktu paro sekitar 1 jam. Meropenem dosis lazim untuk dewasa
dengan rute intravena yaitu 0,5-1 g setiap 8 jam. Doripenem memiliki dosis
lazim untuk dewasa dengan rute intravena (infus) 0,5 g 1-4 jam setiap 8
jam. Ertapenem memiliki waktu paro yang paling panjang yaitu 4 jam,
diberikan secara intravena atau intramuskular sebanyak 1 g sekali sehari
(Gallagher & MacDougall, 2018; Katzung et al., 2013).
d) Oksapenem
Salah satu contoh dari antibiotik oksapenem adalah asam klavulanat.
Asam klavulanat adalah hasil isolasi dari Streptomyces clavuligerus, efek
antibakteri yang rendah namun lebih aktif untuk deaktivator enzim β-
laktamase yang diproduksi oleh bakteri yang tahan pada penisilin atau
sefalosporin. Asam klavulanat dikombinasi dengan derivat penisilin agar
efek antibakterinya lebih panjang (Siswandono, 2016).
e) Derivat Β-Laktam Monosiklik
Derivat β-laktam monosiklik yaitu nokardisin A, sulfazesin,
astreonam dan tigemonam. Efektivitasnya aktif terhadap bakteri Gram
positif dan bakteri Gram negatif, Neisseria sp., Proteus sp., Pseudomonas
aeruginosa., Escherichia coli. Sulfazetin memiliki efektifitas yang aktif
pada bakteri Gram negatif khusunya Enterobacteriaceae. Astreonam
memiliki stabilitas yang lebih banyak terhadap enzim β-laktamase dan
bakteri Gram negatif. Astreonam dengan rute oral digunakan sebagai terapi
pengobatan infeksi usus karena dapat diserap <1%, untuk infeksi saluran
kemih dosisnya yaitu 0,5 g setiap 8-12 jam dan untuk terapi infeksi
sistemik dosisnya yaitu 1-2 g setiap 8-12 jam. Tigemonam merupakan
derivat dari monobaktam yang baru ditemukan, memiliki stabilitas cukup
besar terhadap enzim β-laktamase (Siswandono, 2016; Glazer, 2007).
22

2.2.2.5.2 Antibiotik Derivat Amfenikol


Derivat amfenikol adalah antibiotik bakteriostatik yang memiliki
spektrum luas dan bersifat lipofil sehingga lebih mudah menembus dinding sel
bakteri. Contoh derivat amfenikol yaitu kloramfenikol, azidamfenikol, setofenikol
dan tiamfenikol. Kloramfenikol memiliki mekanisme kerja yaitu inhibitor kuat
sintesis protein mikroba, yang berikatan secara reversibel dengan subunit 50S
ribosom dan menghambat ikatan peptida (Katzung et al., 2013). Kloramfenikol
adalah pertama kali diproduksi dari Streptomyces venizuela dan merupakan
antibiotik pilihan untuk terapi pengobatan demam tifoid akut yang penyebabnya
yaitu Salmonella sp. Indikasi kloramfenikol yang lain seperti untuk terapi
pengobatan riketsia, konjungtivitis akut yang penyebabnya Pseudomonas sp.
kecuali Pseudomaonas aeruginosa, infeksi kronis oleh bakteri Gram positif dan
Gram negatif (Bacteriodes fragilis, Haemophylus influenzae, Neisseria
meningitidis dan Streptococcus pneumonia) yang sudah resisten terhadap penisilin
(Siswandono, 2016). Kloramfenikol digunakan untuk terapi demam tifoid dan
meningitis pada pasien yang telah sensitif terhadap terapi penisilin. Resisten yang
secara klinis ditimbulkan oleh kloramfenikol asiltransferase yaitu suatu enzim
yang menginaktifkan kloramfenikol (Deck & Wilson, 2015; Katzung et al., 2013).
Absorbsi kloramfenikol disaluran cerna yaitu 75-90% konsentrasi plasma
yang tertinggi dicapai 2-3 jam. Dilihat dari rasa kloramfenikol yang pahit
sehingga pemberian pada anak diberikan dalam bentuk esternya adalah
kloramfenikol palmitat sedangkan untuk rute parenteral yang digunakan
kloramfenikol sodium suksinat. Pada orang dewasa waktu paro kloramfenikol
yaitu kurang lebih 3 jam sedangkan pada bayi <1 bulan 12-24 jam. Dosis
kloramfenikol dengan rute oral atau intravena yaitu 50-100 mg/kgBB/hari setiap
3-4 kali (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
Tiamfenikol adalah terapi pilihan untuk demam tifoid (enterik) dan
paratiroid akut yang disebabkan oleh Salmonella sp. dan efektifitas sama dengan
kloramfenikol. Selain itu indikasi dari tiamfenikol yang lain yaitu untuk terapi
pengobatan infeksi meningitis, infeksi saluran nafas dan urogenital. Penyerapan
tiamfenikol disaluran cerna (50-70%) dan waktu paronya yaitu 1,6-4,2 jam. Dosis
dengan rute oral yaitu 20-30 mg/kgBB/hari (Siswandono, 2016).
23

2.2.2.5.3 Antibiotik Derivat Tetrasiklin


Tetrasiklin merupakan suatu kelompok obat yang memiliki struktur dan
efek aktifitas yang sama. Perbedaannya terletak pada absorbsi, distribusi dan
eksresi obat. Tetrasiklin tersedia dalam bentuk hidroklorida yang lebih larut,
bersifat asam dan cukup stabil kecuali klortetrasiklin (Ciptaningtyas, 2014).
Tetrasiklin adalah antibiotik yang mempunyai aktivitas spektrum luas, antibiotik
golongan ini digunakan untuk terapi infeksi saluran respirasi/pernapasan.
Antibiotik yang termasuk dalam golongan tetrasiklin adalah doksisiklin,
minosiklin, tetrasiklin dan tigesiklin, dimana tigesiklin untuk mencegah terjadinya
mekanisme resisten pada tetrasiklin (Gallagher & MacDougall, 2018).
Mekanisme kerja derivat tetrasiklin yaitu dengan cara mencegah sintesis
protein secara reversibel dengan mengikat ribosom 30S melalui difusi pasif dan
sebagian melaui transport aktif. Didalam sel bakteri tetrasiklin berikatan secara
reversibel dengan ribosom 30S, menghambat ikatan aminoasil-tRNA ke aseptor A
pada mRNA ribosom, sehingga mencegah bersatunya asam amino pada rantai
peptida dan menyebabkan hambatan untuk mensintesis protein. Tetrasiklin
merupakan terapi pilihan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh riketsia,
selain itu tetrasiklin digunakan untuk infeksi akibat Mycoplasma pneumoniae,
klamidia dan beberapa spirokaeta, infeksi bakteri Gram positif dan negatif (infeksi
vibrio) asalkan bakterinya tidak resisten. Ketika dikombinasi dengan antibiotika
lain sebagai terapi penyakit tukak lambung dan usus duodenum yang diakibatkan
oleh Helicobacter pylori, selain itu untuk pes, tularemia dan bruselosis.
Tetrasiklin juga digunakan sebagai terapi pengobatan atau mencegah infeksi
karena protozoa (Plasmodium falciparum). Selain itu digunakan untuk terapi
jerawat, eksaserbasi bronkitis, pneumonia, relapsing fever, leptospirosis dan
infeksi bakteri Mycobacterium marinum (Katzung et al., 2013). Tetrasiklin
mempunyai gugus yang membentuk ikatan hidrogen intramolekul dan membentuk
kompleks terhadap garam Ca, Fe, dan Mg. Sehingga, tetrasiklin absorbsinya akan
terganggu ketika dikonsumsi bersamaan dengan susu dan antasida yang
mengandung kation multivalen, obat antianemia dan garam Ca, Fe Mg dan Al dan
oleh ph basa. Untuk pemakaian intravena dibuat larutan tetrasiklin berdapar
khusus (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
24

Menurut Siswandono (2016) derivat tetrasiklin dapat dibagi menjadi


beberapa golongan meliputi :
1) Tetrasiklin alami : tetrasiklin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, dan demelosiklin.
2) Tetrasiklin semisintetik : sansiklin, doksisiklin, metasiklin dan minosiklin.
3) Tetrasiklin bentuk laten (pra obat) yaitu:
a) Senyawa yang hidrofil, contohnya: klomosiklin, rolietrasiklin dan
pipasiklin.
b) Senyawa yang lipofil, contohnya: tetrasiklin kompleks fosfat dan
tetrasiklin siklamat.
4) Sediaan manipulasi molekul tetrasiklin, contohnya:
a) Etamosiklin (duplikasi molekul tetrasiklin)
b) Kafsiklin (tetrasiklin kombinasi dengan kloramfenikol suksinat)
c) Penisiklin ( tetrasiklin kombinasi dengan penisilin V)
d) Kolimesiklin (3 molekul tetrasiklin kombinasi dengan kolistin).
Derivat tetrasiklin adalah antibiotik yang bersifat bakteriostatik namun
pada konsentrasi yang tinggi dapat bersifat bakterisidal dengan spektrum
antibakterinya luas, efektif pada bakteri Gram positif dan sebagian Gram negatif,
Rickettsiae, Mycoplasma, Chlamydia dan amoeba. Antibiotik ini sering
diindikasikan sebagai pengganti obat lain, contohnya digunakan sebagai terapi
sifilis dan pengobatan disentri basiler yang diakibatkan oleh Shigella sp. selain itu
sebagai terapi penunjang amubiasis usus jangka pendek infeksi Plasmodium
falciparum yang telah resisten terhadap antimalaria. Salah satu derivat tetrasiklin
yang aman digunakan untuk penderita penyakit ginjal yaitu doksisiklin. Selain itu,
minosiklin adalah salah satu turunan penisilin yang dapat mencapai konsentrasi
tinggi pada sistem saraf pusat (Siswandono, 2016). Doksisiklin dan tigesiklin
tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal karena tidak
dieliminasi melalui ginjal (Katzung et al., 2013).
Dosis oral tetrasiklin hidroklorida atau oksitetrasiklin adalah 500 mg
setiap 6 jam menghasilkan kadar dalam darah 4-6 mcg/ml, tetrasiklin terutama
dieksresikan diempedu dan urin. Konsentrasi dalam empedu melebihi konsentrasi
diserum hingga sepuluh kali lipat. Dosis i.m tetrasiklin yaitu 250 mg dan rute i.v
yaitu 250-500 mg dua kali sehari (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
25

2.2.2.5.4 Antibiotik Derivat Aminoglikosida


Aminoglikosida adalah senyawa bakterisidal dan dapat menekan
pertumbuhan bakteri Gram negatif maupun positif dan efektif pada mikobakteri
(Siswandono, 2016). Mekanisme kerjanya yaitu aminoglikosida berdifusi secara
pasif melewati membran sel. Saat antibiotik aminoglikosida masuk kedalam sel
maka akan mencegah sintesis protein bakteri secara ireversibel dengan mengikat
subunit ribosom 30S melalui tiga cara yaitu menghambat kompleks inisiasi,
mengakibatkan kesalahan baca mRNA dan memecah polisom menjadi monosom
non fungsional yang berlangsung secara simultan sehingga efeknya akan
mematikan bakteri (Ciptaningtyas, 2014).
Derivat aminoglikosida yang paling banyak digunakan yaitu
streptomisin, kanamisin, gentamisin, neomisin, tobramisin, amikasin, netilmisin,
dibekasin dan spektinomisin. Aminoglikosida hanya bisa diberikan dengan rute
parenteral (intramuskular) dan tidak dapat diberikan dengan rute oral karena
antibiotik ini di saluran cerna tidak stabil dan absorbsinya tidak baik (Siswandono,
2016). Efektivitas aminoglikosida dalam menekan pertumbuhan bakteri adalah
sesuai kadar yang diberikan, semakin tinggi konsentrasinya maka semakin tinggi
kemampuannya dalam menekan pertumbuhan bakteri namun dosisnya sesuai
dengan tingkat infeksi yang dialami oleh penderita. Penggunaan secara klinis
antibiotik aminoglikosida yaitu untuk terapi pengobatan infeksi Gram negatif dan
pengobatan sepsis, ketika dikombinasi dengan antibiotik β-laktam sebagai terapi
infeksi bakteri Gram positif. Kombinasi penisilin dan aminoglikosida terdapat
efek bakterisidal untuk terapi endokarditis enterokokus (Katzung et al., 2013).
2.2.2.5.5 Antibiotik Derivat Makrolida
Antibiotik makrolida adalah hasil sintesis dari Streptomyces sp.
mempunyai cincin lakton makrosiklik dalam strukturnya. Antibiotik makrolida
adalah antibiotik yang sensitif terhadap bakteri Gram positif dan memiliki
waktuparuh yang singkat. Mekanisme kerja dari antibiotik makrolida yaitu
menghambat sintesis protein bakteri ke RNA dengan mengikat sub unit ribosom
50S, dengan aktivitasnya bakterisidal. Contoh antibiotik derivat makrolida yaitu
eritromisin stearat, klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, oleandomisin fosfat
dan spiramisin (Katzung et al., 2013).
26

Eritromisin merupakan antibiotik yang memiliki aktivitas bakteriostatik


atau bakterisidal dengan konsentrasi yang paling tinggi pada bakteri yang peka
(Ciptaningtyas, 2014). Eritromisin aktif pada bakteri Gram positif yang sudah
kebal terhadap penisilin antara lain Staphlococcus sp., Streptococcus sp.,
Mycoplasma, Haemophilus influenza. Eritromisin adalah terapi pilihan sebagai
pengobatan pneumonia yang diakibatkan oleh Legionella pneumophilia dan untuk
mengobati sifilis dan gonore. Selain itu eritromisin efektif pada difteri, akne
vulgaris, pertusis dan infeksi Chlamidia trachoma, dan digunakan terutama pada
terapi infeksi saluran nafas, kulit dan jaringan lunak. Eritromisin dalam saluran
cerna dapat diabsorpsi dengan baik, 70-75% obat terikat pada protein plasma,
konsentrasi plasma tertinggi tercapai dalam + 2 jam dan waktu paronya yaitu 2-3
jam. Dosis eritromisin rute oral yaitu 250-500 mg empat kali sehari, dosis untuk
ester suksinat rute oral 400-800 mg empat kali sehari dan untuk rute intravena
yaitu 15-20 mg/kgBB/hari (Siswandono, 2016).
Klaritromisin adalah turunan dari eritromisin dengan penambahan
gugus metil. Oleh karena itu, klaritromisin lebih stabil terhadap asam dan absorbsi
dengan rute oral lebih baik daripada eritromisin, aktivitasnya lebih besar dan masa
kerjanya lebih lama dibanding eritromisin. Mekanisme kerjanya sama dengan
eritromisin, klaritromisin aktif pada Mycobacterium leprae, Toxoplasma gondii
dan Haemophilus influenza sedangkan streptokokus dan stafilokokus resisten
terhadap klaritomisin dan eritromisin. Dosis klaritromisin 500 mg didapatkan
kadar serum 2-3 mcg/ml waktu paruhnya 6 jam. Keuntungan klaritromisin
daripada eritromisin yaitu efek samping pada saluran cerna lebih rendah dan dosis
yang diberikan tidak terlalu sering (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
Azitromisin aktif pada Mycobacterium avium, Toxoplasma gondii dan
sangat aktif pada Chlamydia sp. Mekanisme kerjanya sama dengan klaritromisin
yang membedakannya azitromisin tidak menghambat enzim sitokrom P450.
Dosis 500 mg azitromisin didapatkan kadar serum rendah yaitu 0,4 mcg/ml. Obat
ini tidak dapat menembus cairan serebrospinal namun dapat menembus jaringan
dengan kadar melebihi kadar serum 10-100 kali lipat, waktu paruhnya sangat lama
2-4 hari dengan eliminasi 3 hari sehingga diberikan satu kali sehari dan untuk
terapi pengobatan pneumonia selama 5 hari (Katzung et al., 2013).
27

2.2.2.5.6 Antibiotik Derivat Polipeptida


Antibiotik derivat polipeptida merupakan hasis sintesis dari Bacillus sp.
dan Streptomyces sp. dan aktifitas antibakterinya tergantung pada struktur
kimianya, ketika terdapat sedikit perubahan maka akan terdapat perubahan sifat
biologis dari antibiotik ini. Secara umum antibiotik polipeptida memiliki spektrum
antibakteri sempit, contohnya seperti Gramisidin (aktif hanya pada bakteri Gram
positif) sedangkan polimiksin (hanya aktif pada bakteri Gram negatif).
Mekanisme kerjanya yaitu menyebabkan perubahan struktur membran sitoplasma
mengakibatkan tidak berfungsi secara permeabel, sehingga ion-ion didalam sel
bakteri akan keluar dan meyebabkan bakteri menjadi lisis (Siswandono, 2016).
Antibiotik derivat polipeptida terdiri dari tirotrisin, basitrasin,
polimiksin B sulfat dan kolistin sulfat. Tirotrisin terdiri dari campuran Gramisidin
10-20% dan tirosidin, dimana Gramisidin lebih aktif daripada tirosidin.
Gramisidin aktif terhadap bakteri Gram positif dan sebagian Gram negatif, selain
itu Gramsidin hanya digunakan untuk pemakaian lokal karena pemakaian secara
sistemik sangat toksik yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel darah merah.
Gramisidin digunakan untuk terapi pengobatan infeksi kerongkongan dengan
dosis setempat 0,05-0,30% dan tidak dapat digunakan pada luka yang terbuka.
Antibiotik basitrasin digunakan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan
Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. superficial selain itu dapat digunakan
untuk terapi infeksi amueba. Dosis setempat basitrasin yaitu 500 unit/g salep kulit/
mata dipakai 2-3 kali sehari, dosis dengan rute intramuskular yaitu 10.000-20.000
unit 3-4 kali sehari. Polimiksin B hanya aktif pada bakteri Gram negatif,
digunakan untuk terapi pengobatan infeksi usus (Pseudomonas enteritis), infeksi
Shigella dan digunakan untuk menginaktifkan endotoksin. Efek toksisitas
polimiksin yang signifikan dari pemberian sistemik sehingga umumnya diberikan
lokal. Dosis polimiksin B rute lokal yaitu 20.000 unit/g salep kulit/ mata dipakai
2-3 kali sehari, dosis untuk rute intramuskular yaitu 5.000-7.500 unit/kgBB 4 kali
sehari. Kolistin sulfat digunakan untuk pengobatan infeksi usus (disentri basiler,
enterokolitis dan gastroenteritis) yang disebabkan bakteri Gram negatif. Dosis
kolistin rute oral yaitu 3-15 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi 3 kali, rute i.m
1,25 mg/kgBB/hari 2-4 kali sehari (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
28

2.2.2.5.7 Antibiotik Derivat Linkosamida


Antibiotik derivat linkosamida terdiri dari linkosimin HCl, klindamisin
HCl. Mekanisme kerja derivat linkosamida yaitu antibiotik bakteriostatik dan
bersifat bakterisidal ketika berada pada konsentrasi yang tinggi, dan efektif untuk
bakteri Gram positif kokus dan bakteri anaerob Gram negatif yang bersifat
patogen. Derivat linkosamida mengikat kuat ribosom subunit 50S dan menekan
reaksi enzim peptidil transferase sehingga dapat menghambat terbentuknya ikatan
peptida dan mencegah sintesis protein. Linkosamida hanya dapat digunakan pada
indikasi pasien yang sesuai karena dilihat dari efek sampingnya yaitu AAPMC
(Antibiotic Associated Pseudomembranous colitis) terjadi 1-10% pada penderita.
AAPMC dengan gejala diare, nyeri perut, demam, feses berlendir dan berdarah
yang terkadang berakibat fatal. AAPMC diakibatkan oleh racun yang keluar dari
Clostridium difficile (Gallagher & MacDougall, 2018; Siswandono, 2016).
Linkomisin dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis, Linkomisin
efektif pada bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans,
Diplococcus pneumoniae dan Leptospira pomana) dan bersifat anaerob. Dosis
linkomisin HCl untuk rute oral yaitu 500 mg diberikan 3 kali sehari, sedangkan
untuk rute intravena dan intramuskular yaitu 600 mg satu kali sehari. Eksresi dari
linkomisin yaitu sebagai metabolit inaktif terutama melalui empedu dan tinja dan
sebagian kecil melalui saluran kemih. Efek samping dari linkomisin yang sering
terjadi yaitu gangguan lambung-usus, diare, mual dan muntah, colitis
pseudomembranous. Colitis dapat diatasi dengan vankomisin dan metronidazol
(Tjay & Rahardja, 2010; Siswandono, 2016).
Klindamisin HCl efektivitasnya efektif terhadap bakteri Gram positif
dan bakteri anaerob Gram positif (Eubacteria sp. dan Actinomyces sp.) dan dapat
digunakan untuk pengobatan antimalaria yang diakibatkan oleh Plasmodium
falciparum dan Plasmodium vivax, selain itu S. pyogenes. Dosis klindamisin HCl
rute oral yaitu 150-300 mg 4 kali sehari sedangkan rute intravena dan
intramuskular yaitu 600-1200 mg/hari dengan dosis terbagi 2-4 kali. Efek samping
dari Klindamisin HCl yang paling umum adalah diare, kolitis dapat terjadi selama
atau setelah pemberian dan ruam pada kulit yaitu efek yang jarang terjadi pada
pasien (Gallagher & MacDougall, 2018; Siswandono, 2016).
29

2.2.2.5.8 Antibiotik Sulfonamid


Antibiotik sulfonamid memiliki mekanisme kerja menghambat sintesa
asam folat yang memiliki aktifitas spektrum luas dapat menghambat bakteri Gram
positif dan negatif, Nocardia sp., Chlamydia trachomatis, dan beberapa protozoa.
Selain itu terdapat bakteri usus yang dihambat misalnya Escherichia coli,
Klebsiella pneumonia, Salmonella, Shigella dan Enterobacter sp, yang tidak dapat
dihambat oleh sulfonamide yaitu riketsia dan aktivitasnya terhadap bakteri
anaerob kurang. Secara intrinsik Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap
antibiotik sulfonamide. Antibiotik yang termasuk dalam golongan sulfonamid
yaitu sulfasitin, sulfisokzazol, sulfametizol, sulfadiazine, sulfametoksazol,
sulfapiridin, sulfadoksin (Katzung et al., 2013; Tjay & Rahardja, 2010).
Pemakaian klinis antibiotik sulfonamid lebih banyak digunakan
kombinasi seperti trimethoprim-sufametoksazol merupakan obat pilihan untuk
infeksi karena pneumonia Pneumocystis jiroveci, toksoplasmosis dan nokardiosis.
TMP / SMX (trimethoprim/sufametoksazol) dipakai untuk terapi empiris pada
pasien. Efektifitas TMP / SMX baik terhadap Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Stenotrophomonas maltophilia, Listeria, Pneumocystis
jirovecii (Pneumocystis carinii). Kadar sufametoksazol aktif dalam urine yaitu 10
kali lebih tinggi dibandingkan kadarnya dalam plasma, sehingga digunakan
sebagai desinfektan saluran kemih. Sediaan kombinasi TMP / SMX yaitu
kotrimoksazol dengan dosis yang biasa diberikan yaitu dua kali sehari 2 tablet
(sufametoksazol 400 mg + trimethoprim 80 mg) (Tjay & Rahardja, 2010). Efek
samping dari TMP / SMX yaitu ruam pada kulit, TMP dapat menyebabkan
hiperkalemia dan peningkatan kreatinin serum (Gallagher & MacDougall, 2018).
Obat oral yang dapat absorbsi yaitu sulfisoksazol dan sulfametoksazol
merupakan obat kerja singkat dan kerja sedang yang digunakan untuk mengobati
infeksi saluran kemih. Dosis lazim dewasa yaitu 1 Gram sulfisoksazol empat kali
sehari atau 1 Gram sulfametoksazol dua atau tiga kali sehari. Sulfadiazine dalam
kombinasi dengan pirimetamin merupakan terapi lini pertama untuk
toksoplasmosis akut. Sulfadoksin yang saat ini tersedia di AS merupakan salah
satu sulfonamide yang mempunyai kerja lama, kombinasi dengan pirimetamin
digunakan terapi lini kedua untuk malaria (Katzung et al., 2013).
30

2.2.2.5.9 Antibiotik Fluoroquinolon


Golongan antibiotik fluoroquinolon diantaranya adalah ciprofloxacin,
levofloxacin, moxifloxacin, gemifloxacin. Antibiotik ini memiliki spektrum luas
yang mencakup organisme Gram positif dan Gram negatif (Gallagher &
MacDougall, 2018). Mekanisme kerja dari fluoroquinolone yaitu menghambat
pembentukan DNA bakteri dengan menghambat topoisomerase II (DNA gyrase)
dan topoisomerase IV bakteri. Dengan dihambatnya DNA girase dapat mencegah
relaksasi gulungan DNA yang diperlukan untuk transkripsi dan replikasi normal.
Inhibisi topoisomerase IV mengganggu pemisahan replikasi DNA kromosom ke
sel sewaktu pembelahan sel (Katzung et al., 2013). Spektrum cifrofloxacin baik
terhadap enterik GNRS (E. Coli, Proteus, Klebsiella, dll), Haemophilus influenza.
Sedangkan spektrum yang baik pada levofloxacin/ moxifloxacin/ gemifloxacin
yaitu enterik Gram negatives, S. pneumoniae, atypicals, H. influenza (Gallagher &
MacDougall, 2018). Pemakain klinis fluorokuinolon (selain moksifloksasin yang
mencapai kadar urine yang relatif rendah) merupakan efektif terhadap infeksi
saluran kemih yang disebabkan oleh banyak organisme seperti Pseudomonas
aeruginosa (Katzung et al., 2013).

Tabel II. 5 Sifat Farmakokinetik Beberapa Fluorokuinolon (Katzung et al., 2013)


Antibiotik Dosis Oral Waktu Paruh
Sifrofloksasin 500 mg 3-5 jam
Gatifloksasin 400 mg 8 jam
Gemifloksasin 320 mg 8 jam
Levofloksasin 500 mg 5-7 jam
Lomefloksasin 400 mg 8 jam
Moksifloksasin 400 mg 9-10 jam
Norfloksasin 400 mg 3,5-5 jam
Ofloksasin 400 mg 5-7 jam

2.2.2.5.10 Antibiotik Polien


Antibiotik polien merupakan hasil sintesis dari Streptomyces sp. yang
mempunyai cincin lakton ikatan rangkap terkonjugasi. Antibiotik polien tidak
memiliki efek terapi sebagai antibibakteri dan antiriketsia namun antibiotik ini
lebih aktif terhadap jamur dan yeast. Adapun contoh antibiotik ini yaitu
amfoterisin B, kandisidin dan nistatin, yang banyak digunakan sebagai terapi
antijamur (Siswandono, 2016).
31

2.2.2.5.11 Antibiotik Derivat Ansamin


Derivat ansamisin merupakan hasil isolasi dari Streptomyces sp. dan
sebagian besar turunan ini dapat menyebabkan efek toksik yang tinggi. Oleh
karena itu, yang dipakai untuk penggunaan secara klinik hanya rifampisin.
Rifampisin aktivitas antibakterinya yaitu spektrum luas, dan rifampisin digunakan
untuk terapi pengobatan tuberkulosis (antituberkulosis) (Siswandono, 2016).
Mekanisme kerja dari rifampisin yaitu dengan menghambat sintesis mRNA
dengan cara berikatan pada sisi aktif enzimnya. Indikasi rifampisin ketika
dikombinasi dengan antibiotik lain digunakan sebagai terapi pengobatan untuk
endocarditis dan osteomielitis, selain itu untuk pencegahan pada orang yang
berkontak langsung dengan penderita penyakit meningitis yang diakibatkan oleh
meningokokus dan Haemophilus influenza (Elliott dkk., 2013).
2.2.2.5.12 Antibiotik Derivat Antrasiklin
Derivat antrasiklin merupakan hasil isolasi dari Streptomyces sp. dan
secara umum derivat antrasiklin digunakan sebagai terapi pengobatan antikanker.
Derivat antrasiklin diantaranya yaitu daunorubisin HCl, doksorubisin HCl,
epirubisin, dan plikamisin (mitramisin). Mekanisme kerja dari derivat antrasiklin
yaitu menghambat proses penggandaan dan transkripsi DNA dengan cara
mengikat struktur dobel heliks DNA. Secara klinis derivat antrasiklin digunakan
sebagai terapi pengobatan mielositik dan limfositik leukemia jangka pendek,
penyakit Hodgkin, selain itu dapat sebagai terapi limfoma, sarkoma dan
karsinoma, neurablostoma dan hepatoma (Siswandono, 2016).
Plikamisin digunakan sebagai terapi pengobatan tumor embrional
pada testis dan kanker tulang. Dosis dari plikamisin dengan rute intravena melalui
infus yaitu 25-30 µg/kgBB/hari diberikan selama 8-10 hari. Dosis dari
doksorubisin rute intravena yaitu 60-75 mg/m2 dengan selang waktu pemberian 3
minggu, efek sampingnya yaitu kardiotksis yakni dapat merusak otot jantung
(efek kumulatif) dengan gagal jantung (dekompensasi irreversible) yang
diakibatkan oleh terbentuknya radikal bebas yang didalam jantung tidak
diinaktivir karena tidak adanya enzim katalase dengan khasiat antioksidan. Dosis
epirubisin rute intravena yaitu 60-90 mg/m2 dengan selang waktu pemberian 3
minggu (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
32

2.2.2.5.13 Antibiotik Fosfomisin


Fosfomisin (fosmisin) merupakan derivat dari epoksida dan asam
fosfonat, dan senyawa hasil isolasi dari Streptomyces fridiae atau Streptomyces
sp. yang lainnya. Efek aktivitas spektrumnya luas yang bersifat bakterisidal dan
digunakan untuk terapi pengobatan infeksi bakteri Gram positif. Fosfomisin
digunakan dalam dosis tunggal 3 g untuk mengobati infeksi saluran kemih bawah
dan tidak komplikasi pada wanita hamil. Fosfomisin tidak stabil pada asam
lambung sehingga tidak dapat diberikan untuk rute oral. Oleh karena itu,
fosfosimin diberikan melalui rute intravena dengan dosis 6-15 g. Waktu paro obat
berada dalam plasma kurang lebih 2 jam sesudah pemberian, fosfosimin relatif
tidak toksik dan jarang menimbulkan reaksi alergi pada pasien ataupun resistensi
antibiotik (Siswandono, 2016; Katzung et al., 2013).
2.2.3 Prinsip Penggunaan Terapi Antibiotik
Antibiotik perlu dipertimbangkan dengan cermat saat digunakan sebagai
terapi, seperti infeksi ringan tidak memerlukan terapi antibiotik asalkan daya
tahan tubuh pasien suatu penyakit tersebut dapat sembuh dengan sendirinya.
Pemilihan obat antibiotik tergantung pada beberapa faktor yang berhubungan
dengan pasien, organisme dan letak infeksi. Rute pemberian, dosis dan lama terapi
antibiotik tergantung pada tingkat infeksi yang diderita oleh pasien. Rute
intravena biasanya digunakan untuk infeksi yang kronis (Elliott dkk., 2013).
Prinsip penggunaan terapi antibiotik secara bijak (Kemenkes RI, 2011) yaitu:
a) Penggunaan antibiotik bijak, adalah penggunaan antibiotik dengan spektrum
sempit dengan indikasi yang ketat sesuai dosis yang adekuat, interval dan
lama pemberian yang tepat.
b) Kebijakan penggunaan antibiotik ditandai dengan pembatasan penggunaan
antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.
c) Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan cara menerapkan
pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara
terbatas dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu.
d) Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis
penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil dari pemeriksaan
laboratorium meliputi uji mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya.
33

Antibiotik tidak dapat diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self limited).
e) Pemilihan antibiotikxharus berdasarkanxpada:
 Informasi mengenai spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan
terhadap antibiotik.
 Hasil pemeriksaan mikrobiologi perkiraan kuman penyebab infeksi.
 Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
 Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
 Obat dipilih atas dasar paling cost effective dan aman.
 Prinsip 5B 1W (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu dan
cara pemberian, waspada efek samping serta resistensi obat).
f) Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik
sehingga menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten,
meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, mengembangkan
sistem penanganan penyakit infeksi secara bersamaan, membentuk tim
pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak, intensif dan
berkesinambungan adalah langkah yang diambil untuk mewujudkan
penerapan penggunaan antibiotik secara bijak.
2.2.3.1 Prinsip Penggunaan Terapi Antibiotik Empiris
Antibiotik empiris yaitu antibiotik yang digunakan pada kasus infeksi
bakteri atau diduga bahwa infeksi bakteri yang belum diketahui jenis bakteri
penyebab dan kepekanaannya (SPO RSUD Dr. Iskak Tulungagung, 2019). Tujuan
pemberian antibiotika untuk terapi empiris untuk menghambat pertumbuhan
bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologi. Waktu dimulai pemberian antibiotik empiris
berdasarkan dari kedaruratan kondisi pasien. Pada kondisi pasien kritis atau
darurat seperti pada pasien septik syok, neutropenia febril, dan meningitis bakteri,
terapi empiris harus segera dimulai setelah atau bersamaan dengan koleksi
diagnostik spesimen atau kultur kuman. Pada umumnya, pemberian antibiotik ini
menggunakan antibiotik berspektrum luas yang dapat membunuh banyak spesies
bakteri. Untuk infeksi berat yang diduga penyebabnya polimikroba, maka dapat
34

digunakan antibiotik kombinasi. Pertimbangan dalam pemberian antibiotik


empiris adalah lokasi dan jenis terjadinya penyebab infeksi, pola resistensi pada
fasilitas kesehatan dan history penggunaan antibiotik pada pasien. Antibiotik oral
digunakan sebagai pilihan pertama untuk terapi infeksi ringan. Pada infeksi
sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral
(KPRA RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, 2016; Leekha et al., 2011).
Prosedur pemberian antibiotik empiris berdasarkan SPO RSUD Dr. Iskak
Tulungagung (2019) yaitu :
 Dokter mengidentifikasi pasien yang secara klinis mengalami infeksi
bakteri.
 Dokter memberikan antibiotik empiris sesuai Panduan Praktek Klinis
(PPK) yang berdasarkan pola peta kuman pada RSUD Dr. Iskak
Tulungagung, durasi pemberian antibiotik empiris sampai 72 jam.
 Dokter menulis permintaan pada Kartu Permintaan Obat (KPO).
 Apoteker atau TTK (Tanaga Teknis Kefarmasian) melakukan telaah
terhadap KPO, kemudian petugas depo melayani dan menyiapkan sesuai
KPO yang telah ditelaah.
 APJP (Apoteker Penanggungjawab Pelayanan) melakukan monitoring atau
pemantauan terhadap penggunaan antibiotik.
 Perawat Penanggungjawab Pelayanan (PPJP) atau APJP
menginformasikan kepada DPJP dan dokter spesialis mikrobiologi klinik
bahwa pemberian antibiotik empiris sudah diberikan selama 72 jam. Jika
antibiotik empiris sudah dilakukan selama 72 jam, maka harus dilakukan
kultur dan konsultasi pada dokter spesialis mikrobiologi klinik.
 DPJP dan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik berkoordinasi untuk
pemberian antibiotik selanjutnya.
2.2.3.2 Prinsip Penggunaan Antibiotik Untuk Terapi Definitif
Antibiotik definitif adalah antibiotik yang digunakan pada kasus infeksi
yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya. Pemberian
antibiotik definitif bertujuan untuk eradikasi atau menghambat pertumbuhan
bakteri yang menjadi penyabab infeksi berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi (SPO RSUD Dr. Iskak Tulungagung, 2019).
35

Prosedur pemberian antibiotik definitif berdasarkan SPO RSUD Dr. Iskak


Tulungagung (2019) yaitu:
 Dokter memberikan antibiotik definitif setelah pemeriksaan hasil
mikrobiologi diketahui.
 Dokter memilih antibiotik terapi mengacu pada: prinsip eskalasi De-
eskalasi; 5B1W (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu dan
cara pemberian obat, serta waspada efek samping dan resistensi); dan lama
pemberian terapi sesuai Panduan Praktek Klinik masing-masing SMF.
 Dokter menuliskan permintaan antibiotik terapi pada KPO.
 Apoteker atau TTK melakukan telaah terhadap KPO.
 Petugas depo farmasi melayani KPO yang telah ditelaah.
 APJP melakukan monitoring terhadap penggunaan antibiotik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan antibiotik untuk terapi
pengobatan infeksi (Elliott dkk, 2013) yaitu:
a) Farmakologi, Interaksi antibiotik dengan obat lain
b) Penetrasi ke daerah infeksi
c) Biaya, toksisitas
d) Kemungkinan penyababnya patogen
e) Spektrum aktivitas antibiotik
f) Umur pasien, toleransi
g) Penyakit yang mendasari (contohnya: gagal ginjal dan hepar)
h) Alergi yang diderita pasien
i) Kehamilan dan menyusui
2.2.4 Jenis Pemberian Terapi Antibiotik
2.2.4.1 Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis bedah bersih (contohnya kraniotomi dan mata) dan
bedah bersih terkontaminasi yaitu terapi penggunaan antibiotik sebelum, selama
dan maksimal 24 jam setelah operasi untuk kasus yang secara klinis tidak terdapat
infeksi, antibiotik profilaksis bertujuan untuk menjegah atau menghambat
timbulnya infeksi pada tempat operasi. Sedangkan untuk bedah terkontaminasi
dan kotor tidak perlu diberikan antibiotik profilaksis karena sudah diberikan terapi
antibiotik (Kemenkes RI, 2017).
36

2.2.4.2 Terapi Antibiotik Empiris


Terapi antibiotik empiris merupakan terapi penggunaan antibiotik untuk
penyakit infeksi yang jenis bakteri penyebabnya belum diketahui secara pasti,
antibiotik ini diberikan 3-5 hari. Terapi antibiotik lanjutan boleh diberikan jika
terdapat data hasil pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi. Terapi empiris ini
diberikan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan antibiotik. Oleh karena itu,
sebelum terapi antibiotik empiris diberikan pada pasien terlebih dahulu dilakukan
pengambilan sampel atau spesimen untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pada terapi empiris (terapi awal), antibiotik yang digunakan sebagai terapi harus
bisa mengatasi semua patogen yang menyebabkan penyakit infeksi dikarenakan
penyebabnya belum diketahui. antibiotik yang digunakan terapi empiris yaitu
antibiotik kombinasi atau tunggal dan spektrum luas (Goodman & Gilman, 2012).
2.2.4.3 Terapi Antibiotik Definitif
Terapi antibiotik definitif merupakan penggunaan antibiotik untuk
penyakit infeksi yang telah diketahui jenis bakteri penyebabnya dan kepekaan
bakteri tersebut terhadap antibiotik. Paling banyak digunakan sebagai terapi
antibiotik definitif yaitu memiliki toksisitas rendah dan berspektrum sempit
sehingga efek terapi yang diinginkan tercapai (Goodman & Gilman, 2012).

2.2.5 Resistensi Antibiotik


2.2.5.1 Pengertian Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik yaitu antibiotik yang digunakan sebagai terapi tidak
efektif karena bakteri tersebut sudah kebal terhadap antibiotik yang digunakan
(Kemenkes RI, 2015).
2.2.5.2 Mekanisme Resistensi

Gambar 2. 5 Mekanisme Resistensi Antibiotik (Gallagher & MacDougall, 2018)


37

Mekanisme resistensi dapat dibagi menjadi empat (Gallagher &


MacDougall, 2018) yaitu:
a) Permeabilitas yang menurun mencegah antibiotik menembus sel bakteri,
sehingga mengurangi konsentrasi antibiotik intraseluler.
b) Modifikasi enzimatik karena enzim yang diproduksi oleh bakteri dapat
menghancurkan antibiotik sebelum memiliki kesempatan untuk mencapai
lokasi aktivitasnya atau bahkan memasuki sel.
c) Perubahan pada letak target, yang mengarah pada penyisihan atau modifikasi
yang terjadi pada antibiotik sehingga tidak dapat bekerja.
d) Efflux aktif berlangsung ketika efflux memompa bakteri untuk mengeluarkan
antibiotik, yang mengurangi konsentrasi dari intraseluler.

Tabel II. 6 Contoh Dari Mekanisme Resistensi Antibiotik (Gallagher &


MacDougall, 2018)
No Kategori Contoh

1 Permeabilitas menurun Dinding sel berubah


Perubahan porin channel atau hilang
Produksi bioflm
2 Modifikasi enzimatik Beta lactamase
Perubahan enzim aminoglikosida dan Metilasi

3 Perubahan situs target Modifikasi ribosom


4 Efflux aktif Efflu x tetracycline
Efflux fluoroquinolon

2.2.5.3 Etiologi Resistensi Antibiotik


Resistensi bakteri terhadap antibiotik berdasarkan pada modifikasi genetik
yang dapat menyebabkan organisme tersebut menghindari efek terapi dari obat
antibiotik. Dengan adanya mekanisme untuk transmisi materi genetik melalui
plasmid, transposon, dan bakteriofag yang akan menyebabkan organisme resisten
terhadap antibiotik (Elliott dkk, 2013). Terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan bakteri resistensi antibiotik (Elliott dkk, 2013) yaitu:
a) Perubahan tempat sasaran yang akan membuat pengikatan obat kesasaran
utama menjadi berkurang atau hilang. Pada tahap ini resitensi terjadi karena
terdapat perubahan yang terjadi pada DNA ataupun RNA bakteri secara
spontan dari bakteri yang sudah sensitif, sehingga dengan keberadaan
antibiotik dapat menyebabkan meningkatnya resisten.
38

b) Inaktivasi antibiotik yaitu Contohnya seperti antibiotik β-laktam dapat terjadi


hidrolisis cincin β-laktam penisilin dan sefalosporin sehingga produk lain
tidak terbentuk.
c) Gangguan transpor obat kedalam sel diblok. Pada sebagian antibiotik yang
resisten disebabkan karena terjadinya hambatan transport obat kedalam sel
bakteri, misalnya antibiotik golongan aminoglikosida dan karbapenem.
d) Memutuskan jalur metabolik, menyediakan pengganti untuk tahap metabolik
yang dihambat oleh antibiotik.
e) Pengeluaran obat dari dalam sel meningkat
f) Pertahanan tempat sasaran antibiotik oleh protein bakteri.
2.2.5.4 Pencegahan Dan Pengendalian Resistensi Antibiotik
Pencegahan dan pengendalian resistensi dapat dikendalikan dengan cara
mengoptimalkan aturan yang terdapat pada Permenkes No. 2406 Tahun 2011.
mengkolaborasikan program dalam permenkes dengan strategi manajemen
resistensi antibiotik dunia. Hal yang dapat dilakukan, yaitu:
a) Mengoptimalkan Antimicrobial Stewardship Program
Pertama yang harus dilakukan dengan pengarahan terpusat secara
berkala kepada Komite Terapi Antibotik RS, dokter spesialis infeksi serta
dokter umum, farmasis klinik, dan mikrobiologi medik untuk mempelajari
dan memahami isi program Antimicrobial Stewardship. Kemudian pihak
pemerintah mulai menata sistem seperti pemberian alat dan penyediaan
tenaga kesehatan untuk mendukung program ini.
b) Memperbaiki sistem peresepan antibiotik
Dilakukan pendekatan oleh IDI dan dokter spesialis infeksi kepada
dokter-dokter lainnya, agar tidak meresepkan antibiotik pada kondisi pasien
yang belum dapat dipastikan mengalami infeksi bakteri. Selain itu, para
dokter juga harus diingatkan kembali tentang bahaya resistensi antibiotik.
Farmasis klinik dapat berperan untuk mengawasi antibiotik yang diresepkan,
apabila peresepan antibiotik dianggap tidak sesuai, maka farmasis dapat
mengajukan rekomendasi obat atau regimen yang kurang tepat tersebut pada
dokter. Dalam hal ini, hubungan interprofesi tenaga kesehatan dapat terlihat,
satu sama lain harus saling menghargai dan saling mendengarkan.
39

c) Mencegah terjadinya infeksi bakteri


Preventif Infection and Control merupakan proGram yang sudah lama
dilaksanakan di negara Eropa dan Amerika. Pencegahan infeksi bakteri dapat
dilakukan secara langsung dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh
dengan menkonsumsi makanan dengan gizi seimbang yang disertai dengan
berolahraga. Sedangkan secara tidak langsung dengan selalu menjaga
kebersihan lingkungan, menghindari konsumsi daging atau sayur yang
terkontaminasi antibiotik pada saat proses harus dilakukan dengan selalu
mencuci bersih dan memasak hingga matang bahan-bahan makanan tersebut.
d) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bijak menggunakan antibiotik
Kegiatan penyuluhan atau edukasi langsung ke tempat tinggal serta ke
berbagai instansi, dilakukan secara jelas namun dengan pembawaan yang
pelan-pelan, akan meningkatkan ketertarikan dan ketaatan masyarakat
mengenai hal yang disampaikan dalam bijak menggunakan antibiotik.
Penggunaan antibiotik secara bijak merupakan yang tepat dengan etiologi
infeksi dengan regimen dosis, lama pemberian optimal, efek samping sedikit,
dan dampak yang sedikit menimbulkan bakteri yang resisten. Sehingga,
pemberian antibiotik harus disertai oleh upaya mencari etiologi infeksi dan
pola kepekaannya (Kemenkes RI, 2015).
2.3 Tinjauan Evaluasi Antibiotik
2.3.1 Evaluasi Antibiotik Secara Kuantitatif Metode DDD
2.3.1.1 Pengertian DDD (Defined Daily Dose)
DDD (Defined Daily Dose) adalah dosis rata-rata harian untuk indikasi
tertentu pada orang dewasa. Metede DDD dapat dilakukan di rumah sakit dan
komunitas, yang membedakannya adalah satuannya yaitu DDD/100 hari rawat
untuk penilaian di rumah sakit sedangkan DDD/1000 hari rawat untuk komunitas.
Namun, penilaian tetap sama menggunakan klasifikasi DDD yang sesuai dengan
ketetapan yang telah ditetapkan (Kemenkes RI, 2011).
2.3.1.2 Manfaat DDD (Defined Daily Dose)
Metode DDD bertujuan untuk mengetahui jumlah atau penggunaan
antibiotik pada pasien dirumah sakit, sehingga hasil evaluasi tersebut dapat
dengan mudah dibandingkan antar rumah sakit lainnya (Kemenkes RI, 2011).
40

Selain itu, manfaat metode DDD yang lain yaitu untuk mendapatkan data yang
baku dari penggunaan antibiotik dirumah sakit sehingga dapat dibandingkan data
dari tempat lain WHO merekomendasikan klasifikasi penggunaan antibiotik
secara ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) (Kemenkes RI, 2015). DDD
digunakan untuk obat berkode ATC, dan tidak digunakan untuk obat baru. DDD
dapat digunakan pada obat yang sudah disetujui dan telah dipasarkan di satu
negara (WHO, 2018).
2.3.1.3 Klasifikasi DDD (Defined Daily Dose)
Klasifikasi DDD/ATC obat dapat dikelompokkan mulai dari sistem organ
tubuh, sifat kimiawi, menurut indikasinya dalam farmakoterapi. Selain itu obat
memiliki kode ATC yang telah ditetapkan berdasarkan klasifikasinya atau
tingkatnya (Kemenkes RI, 2015).

Tabel II. 7 Tingkat Klasifikasi ATC (Kemenkes RI, 2015)


No Klasifikasi Keterangan
1 Tingkat I Kelompok anatomi, contohnya untuk saluran
pencernaan dan metabolism.
2 Tingkat II Kelompok terapi/ farmakologi obat
3 Tingkat III Subkelompok farmakologi obat
4 Tingkat IV Subkelompok kimiawi obat
5 Tingkat V Substansi kimia obat

ATC dapat diklasifikasikan menjadi tingkat I-V yaitu tingkat I adalah


dikelompokkan berdasarkan kelompok anatomi seperti saluran pencernaan,
metabolisme dan lain-lain; Tingkat II yaitu untuk kelompok terapi / farmakologi
obat; Tingkat III yaitu untuk subkelompok farmakologi obat; Tingkat IV yaitu
untuk subkelompok kimiawi obat; Tingkat V yaitu substansi kimia obat. Contoh
kode ATC berdasarkan klasifikasinya dapat dilihat pada Tabel II.8 ( Kemenkes
RI, 2015).

Tabel II. 8 Contoh Kode ATC Obat (Kemenkes RI, 2015)


No Kode ATC Tingkat Keterangan Kode ATC
1 J I Antiinfeksi ditujukan untuk terapi sistemik
2 J01 II Antibakteri ditujukan untuk terapi sistemik
3 J01C III Antibakteri golongan β-laktam dan penisilin
4 J01C A IV Penisilin yang berspektrum luas
5 J01C A01 V Ampisilin
6 J01C A04 V Amoksisilin
41

2.3.1.4 Perhitungan DDD (Defined Daily Dose)


Masing-masing antibiotik memiliki nilai DDD rata-rata sesuai ketentuan
WHO berdasarkan dosis untuk rehabilitatif rata-rata, pada orang dewasa dengan
indikasi utama yang memiliki berat badan 70 kg (Kemenkes RI, 2015).
Menurut Kemenkes RI (2011) rumus perhitungan evaluasi penggunaan
antibiotik secara kuantitatif dengan menggunakana metode DDD/100 patient days
dirumah sakit yaitu:

Adapun cara untuk menghitung dengan persamaan rumus diatas, yaitu:


1) Mengamati rekam medis pasien yang mendapatkan terapi antibiotik selama
perawatan.
2) Menghitung total lama waktu perawatan dirawat inap/LOS (Length Of Stay)
untuk semua pasien.
3) Menghitung total penggunaan antibiotik gram) yang digunakan pasien selama
dirawat inap dirumah sakit.
4) Tahap terakhir menghitung DDD/100 patient days, sehingga penggunaan
jumlah antibiotik bisa diketahui pada semua pasien.
2.3.2 Evaluasi Antibiotik Secara Kualitatif Metode Gyssens
Evaluasi kualitas antibiotik dapat dilakukan dengan metode Gyssens.
Metode Gyssens dipilih dalam penelitian ini dikarenakan pada metode ini lebih
spesifik untuk mengevaluasi masing-masing parameter penting yang termasuk
dalam penggunaan antibiotik seperti indikasi, efektifitas, keamanan, harga dan
spektrum, dapat juga mengevaluasi lama pengobatan, dosis, interval dan rute
pemberian serta waktu pemberian (Gyssens, 2005). Kualitas antibiotik dapat
dinilai dengan cara melihat rekam medis pasien dan data hasil pemeriksaan
laboratorium untuk melihat perkembangan penyakit pasien. Setelah itu masing-
masing kasus dianalisis untuk melihat pemberian antibiotik sudah sesuai atau
belum dengan diagram alur Gysssens yang kategori penilaiannya terdiri dari 6
kategori, yaitu kategori 0 adalah penggunaan antibiotik yang tepat dan sesuai, I
penggunaan antibiotik tidak tepat waktu, IIa tidak tepat dosis, IIb tidak tepat
interval, IIc tidak tepat rute, IIIa tidak tepat karena terlalu lama, IIIb tidak tepat
karena terlalu singkat, IVa tidak tepat karena ada antibiotik lain yang lebih
42

efektik, IVb tidak tepat karena ada antibiotik lain yang lebih aman, IVc tidak tepat
karena ada antibiotik lain yang lebih murah, IVd tidak tepat karena ada spektrum
yang lebih sempit, V tidak ada indikasi antibiotik, VI rekam medis tidak lengkap/
tidak dapat dievaluasi. Pemberian antibiotik yang tepat jika evaluasi sesuai
dengan kategori 0, pemberian antibiotik tidak tepat jika antibiotik termasuk
kategori I, IIa, IIb, IIc, IIIa, IIIb, IVa, IVb, IVc, IVd (I, II, III, IV). Penilaian
kualitas antibiotik sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu orang untuk
mendapatkan hasil yang sesuai (Kemenkes RI, 2015).

Gambar 2. 6 Alur Penilaian Metode Gyssens (Gyssens, 2005)


43

Metode Gyssens adalah metode yang digunakan untuk menilai kualitas


penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan menggunakan diagram alur
Gyssens, evaluasi akan dilakukan secara lengkap pada metode Gyssens,
pertanyaan harus berada pada urutan yang tetap sehingga tidak ada parameter
yang ditinggalkan. Pembacaannya dimulai dari atas (Kategori VI) ke bawah
dalam rangka untuk mengevaluasi keseluruhan proses dalam alur Gyssens seperti
yang tertera pada Gambar 2.6.
1) Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI
Data tidak lengkap adalah data yang tertera pada rekam medis dimana tidak
ada data pasien, data klinis dan laboratorium, diagnosis kerja, atau halaman
rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat di evaluasi. Apabila data
lengkap, dapat dilanjutkan ke pertanyaan selanjutnya, apakah antibiotik
diindikasikan?
2) Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotik, berhenti di kategori V
Indikasi adanya infeksi ditunjukkan dengan sindrom klinis yang mengarah
pada keterlibatan bakteri. Pada awal mula infeksi ditandai dengan demam,
namun demam tidak selalu diakibatkan oleh infeksi, oleh karena itu
pengetahuan tentang penyakit infeksi, dilihat dari parameter klinis tertentu
sehingga dapat menentukan apakah pasien membutuhkan antibiotik atau
tidak. Apabila terindikasikan, dilanjutkan dengan pertanyaan selanjutnya,
apakah pemilihan Antibiotik sudah tepat?
3) Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVa
Awal pemberian antibiotik dimulai dalam situasi ketidakpastian bakteri
penyebab dari infeksi, oleh karena itu diberikan terapi antibiotik empiris.
Antibiotik empiris adalah antibiotik yang digunakan pada kasus infeksi
bakteri atau diduga infeksi bakteri yang belum diketahui jenis bakteri
penyebabnya dan pola kepekaannya. Bila infeksi yang dialami berat, dapat
dilakukan kombinasi. Pilihan antibiotik yang lebih efektif didasarkan pada
hasil pemerksaan mikrobiologi lalu diberikan terapi antibiotik yang berlaku.
Apabila tidak ada, pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada alternatif lain
yang kurang toksik?
44

4) Bila ada pilihan antibiotik alternatif yang kurang toksik, berhenti di kategori
IVb. Penyesuaian toksisitas disesuaikan dengan kondisi pasien masing-
masing misalnya kelainan pada ginjal untuk itu, untuk menghindari hal
tersebut peresepan dilakukan penyesuaian (Gyssens, 2005). Apabila tidak
toksik apakah ada alternatif lain lebih murah?
5) Bila ada antibiotik yang lebih murah daripada yang diberikan, berhenti di
kategori IVc. Perhitungan berdasarkan harga yang ada di RSUD Dr. Iskak
Tulungagung dan dianggap sebagai obat generik. Bila tidak ada, pertanyaan
selanjutnya adalah apakah ada alternatif lain yang spektrum lebih sempit?
6) Bila ada antibiotik lain dengan spektrum lebih sempit, berhenti di kategori
IVd. Apabila tidak ada alternatif lain yang spektrum aktivitasnya lebih
sempit, dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah durasi antibiotik yang
diberikan terlalu panjang/singkat?
7) Lama pemberian antibiotik dinilai sesuai guideline yang ada yaitu :
a. Pada kasus bedah bersih dan bersih terkontaminasi antibiotik profilaksis
yang diberikan yaitu sefalosporin generasi I dan II, bila diduga terdapat
bakteri anaerob dikombinasi dengan metronidazole dengan waktu
pemberian 30-60 menit sebelum operasi. Lama pemberian antibiotik
profilaksis yaitu sekali sebelum operasi. Jika pasien mengalami
perdarahan >1500 cc atau operasi >3 jam antibiotik profilaksis dapat
diberikan sampai 24 jam dengan dosis 1g (Kemenkes, 2011).
b. Pada kasus apendisitis akut antibiotik profilaksis diberikan satu kali
sebelum operasi, sedangkan pemberian antibiotik empiris diberikan
hingga 4- 7 hari (PAMC, 2015)
c. Pada kasus caesarean section (SC) antibiotik profilaksis yang diberikan
yaitu cefazolin 2 g, diberikan 30-60 menit sebelum operasi, antibiotik
empiris diberikan 48-72 jam setelah operasi jika pasien menunjukkan
terdapat tanda-tanda infeksi (Guidline Antibiotic Prophlaxis in Obstetric
Procedurs, 2010; SPO RSUD Dr. Iskak Tulunggaung, 2019).
d. Pada kasus pneumonia, antibiotik empiris diberikan selama 10 sampai 14
hari (AAFP, 2006; PDPI 2003).
45

Apabila durasi pemberian antibiotik terlalu panjang, berhenti di kategori IIIa.


Namun bila durasi pemberian Antibiotik terlalu singkat, berhenti di kategori
IIIb. Apabila tidak, dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai dosis. Apakah
dosis pemberian antibiotik sudah benar?
8) Bila dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIa
Dosis pemberian antibiotik harus diatas MIC (Minimum Inhibitory
Concentration) dapat dikatakan optimal. Selain itu, dosis yang diberikan
harus sesuai. Bila dosisnya sudah tepat, dilanjutkan pertanyaan apakah
interval saat pemberian antibiotik sudah tepat?
9) Bila interval tidak tepat, berhenti di kategori IIb
Penentuan interval dapat dilihat dari waktu paruh dan mekanisme aksi dari
obat. Bila interval pemberian antibiotik sudah tepat, dilanjutkan pertanyaan
apakah rute pemberian antibiotik sudah tepat?
10) Bila rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIc
Pemberian secara intravena dapat digunakan pada pasien dengan masalah
yang berat. Selanjutnya bisa disesuaikan bila dibutuhkan terapi oral dengan
respon klinik dan fungsi saluran pencernaan yang baik. Apabila rute
pemberian sudah tepat, dilanjutkan pada waktu pemberian antibiotik apakah
sudah tepat?
11) Bila waktu pemberian tidak tepat, berhenti di kategori I
Pemberian antibiotik profilaksis optimal yaitu 30-60 menit sebelum dilakukan
operasi dengan durasi pemberian 24 jam (Kemenkes 2011; SPO RSUD Dr.
Iskak Tulunggaung, 2019).
12) Bila antibiotik tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotik
tersebut merupakan katagori 0 yaitu pemberian antibiotik yang rasional atau
pemberian antibiotik sudah sesuai.

Anda mungkin juga menyukai