TINJAUAN PUSTAKA
6
7
spektrum farmakokinetik
struktur aktivitas/
kimia potensi
• beta laktam
• bakterisidal
• Glikopeptida
• aminoglikosida • bakteriostatik
• sulfonamida,dll.
Penicillins Bakterisidal
Cephalosporins
Carbapenems
Monobactams
Vancomycin Bakterisidal rendah
Fluoroquinolones Bakterisidal
Aminoglycosides
Metronidazole
Daptomycin
Macrolides Bakteriostatik
Tetracyclines
Linezolid
11
Penisilin alami
Antistaphylocococcus Aminopenisilin
Penisilin G,
penisilin
Penisilin V
Antipseudomonas
Nafcillin, Oxacillin,
Dicloxacillin, penisilin
Methicillin,
Cloxacillin
Amoxicillin,
Ampicillin
Ampicillin/Sulbactam, Amoxicillin/Clavulanat,
Piperacillin/Tazobactam
b) Sefalosporin Generasi II
Penggunaan secara klinik sefalosporin generasi II pada akhir tahun
1970, aktifitas antibakterinya hampir mirip dengan generasi pertama
namun pada sefalosporin generasi II lebih aktif terhadap bakteri Gram
negatif. Waktu paronya yaitu sama seperti generasi I namun kemampuan
menembus BBB (Blood Brain Barrier) lebih baik (Siswandono, 2016).
Sefalosporin generasi II yaitu sefaklor, sefamandol, sefonisid, sefuroksim,
sefrozil, lorakarbef, seforanid dan sefamisin yang strukturnya berkaitan
dengan sefoksitin, sefmetazol dan sefotetan yang anaerob. Pemberian
sefalosporin generasi II sesudah infus intravena 1 g dapat memberikan
kadar puncak 75-125 mcg/ml. Sefalosporin generasi II dengan rute oral
lebih aktif terhadap H. influenzae pembuat β-laktamase atau Moraxella
catarrhalis, selain itu digunakan untuk terapi pengobatan sinusitis, otitis
dan infeksi saluran nafas bagian bawah dan sebagian digunakan untuk
pengobatan infeksi bakteri anaerob campuran seperti peritonitis dan
divertikulitis. Sefuroksim berfungsi untuk terapi pengobatan pneumonia
namun tidak efektif untuk pengobatan meningitis (Katzung et al., 2013).
c) Sefalosporin Generasi III
Penggunaan secara klinik sefalosporin generasi III pada tahun 1980,
aktifitas antibakterinya lebih banyak dibandingkan generasi I dan II.
Sefalosforin generasi III lebih aktif terhadap bakteri Gram negatif yang
sudah resisten, tahan terhadap β-laktamase namun kurang efektif untuk
bakteri Gram positif (Siswandono, 2016). Sefalosporin generasi III yaitu
sefoperazon, sefotaksim, seftazidin, seftizoksim, seftriakson, sefiksim,
sefpodoksim proksetil, sefdinir, sefditoren pivoksil, seftibuten dan
moksalaktam. Pemberian sefalosporin generasi III sesudah infus intravena
dapat memberikan kadar serum sebesar 60-140 mcg/ml. Sefalosporin
generasi III dapat menembus BBB namun tidak untuk sefoperazon dan
sefalosporin oral. Sefoperazon dan seftriakson dieksresi melalui empedu
sehingga tidak perlu dilakukan penyesuai dosis pada pasien gagal ginjal.
Seftriakson dan sofotaksim untuk terapi infeksi serius dan aktif terhadap
bakteri Pneumococcus (Deck & Wilson, 2015; Katzung et al., 2013).
18
d) Sefalosporin Generasi IV
Penggunaan secara klinik sefalosporin generasi IV diperkenalkan pada
tahun 1995. Antibiotik ini aktif pada bakteri Gram negatif yang sudah
resisten dan lebih kebal terhadap β-laktamase, selain itu juga spektrum
aktivitas antibakterinya lebih stabil daripada generasi sebelumnya.
Sefalosporin generasi IV yaitu sefepim dan sefirom (Siswandono, 2016).
Mekanisme kerjanya sama seperti antibiotik golongan β-laktam lainnya
yaitu menghambat ikatan silang peptidoglikan di dinding sel bakteri.
Spektrum aktivitas sefalosporin generasi IV baik terhadap MRSA
(Staphylococcus aureus resisten-metisilin), Pseudomonas aeruginenosa,
enteric GNRs (Gram Negative Rods) yaitu Enterobacteriaceae (Gallagher
& MacDougall, 2018).
Sefepim memiliki aktivitas yang baik terhadap Pseudomona
aeruginenosa, enteric GNRs yaitu enterobacteriaceae, Staphylococcus
aureus, dan Staphylococcus pneumoniae. Sefepim sangat aktif terhadap
Haemophilus dan Neisseria sp. dan dapat juga menembus BBB dengan
baik. Waktu paro sefepim yaitu 2 jam dan tempat eliminasinya di ginjal.
Sefepim dan seftazidin memiliki profil farmakokinetik yang sama, namun
sefepim memiliki aktifitas yang lebih besar terhadap Streptococcus yang
tidak resisten terhadap penisilin. Selain itu, sefepim digunakan sebagai
pilihan untuk terapi antibiotik empiris karena termasuk daalam spektrum
luas (Gallagher & MacDougall, 2018; Katzung et al., 2013).
Antibiotik tidak dapat diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self limited).
e) Pemilihan antibiotikxharus berdasarkanxpada:
Informasi mengenai spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan
terhadap antibiotik.
Hasil pemeriksaan mikrobiologi perkiraan kuman penyebab infeksi.
Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
Obat dipilih atas dasar paling cost effective dan aman.
Prinsip 5B 1W (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu dan
cara pemberian, waspada efek samping serta resistensi obat).
f) Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik
sehingga menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten,
meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, mengembangkan
sistem penanganan penyakit infeksi secara bersamaan, membentuk tim
pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak, intensif dan
berkesinambungan adalah langkah yang diambil untuk mewujudkan
penerapan penggunaan antibiotik secara bijak.
2.2.3.1 Prinsip Penggunaan Terapi Antibiotik Empiris
Antibiotik empiris yaitu antibiotik yang digunakan pada kasus infeksi
bakteri atau diduga bahwa infeksi bakteri yang belum diketahui jenis bakteri
penyebab dan kepekanaannya (SPO RSUD Dr. Iskak Tulungagung, 2019). Tujuan
pemberian antibiotika untuk terapi empiris untuk menghambat pertumbuhan
bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologi. Waktu dimulai pemberian antibiotik empiris
berdasarkan dari kedaruratan kondisi pasien. Pada kondisi pasien kritis atau
darurat seperti pada pasien septik syok, neutropenia febril, dan meningitis bakteri,
terapi empiris harus segera dimulai setelah atau bersamaan dengan koleksi
diagnostik spesimen atau kultur kuman. Pada umumnya, pemberian antibiotik ini
menggunakan antibiotik berspektrum luas yang dapat membunuh banyak spesies
bakteri. Untuk infeksi berat yang diduga penyebabnya polimikroba, maka dapat
34
Selain itu, manfaat metode DDD yang lain yaitu untuk mendapatkan data yang
baku dari penggunaan antibiotik dirumah sakit sehingga dapat dibandingkan data
dari tempat lain WHO merekomendasikan klasifikasi penggunaan antibiotik
secara ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) (Kemenkes RI, 2015). DDD
digunakan untuk obat berkode ATC, dan tidak digunakan untuk obat baru. DDD
dapat digunakan pada obat yang sudah disetujui dan telah dipasarkan di satu
negara (WHO, 2018).
2.3.1.3 Klasifikasi DDD (Defined Daily Dose)
Klasifikasi DDD/ATC obat dapat dikelompokkan mulai dari sistem organ
tubuh, sifat kimiawi, menurut indikasinya dalam farmakoterapi. Selain itu obat
memiliki kode ATC yang telah ditetapkan berdasarkan klasifikasinya atau
tingkatnya (Kemenkes RI, 2015).
efektik, IVb tidak tepat karena ada antibiotik lain yang lebih aman, IVc tidak tepat
karena ada antibiotik lain yang lebih murah, IVd tidak tepat karena ada spektrum
yang lebih sempit, V tidak ada indikasi antibiotik, VI rekam medis tidak lengkap/
tidak dapat dievaluasi. Pemberian antibiotik yang tepat jika evaluasi sesuai
dengan kategori 0, pemberian antibiotik tidak tepat jika antibiotik termasuk
kategori I, IIa, IIb, IIc, IIIa, IIIb, IVa, IVb, IVc, IVd (I, II, III, IV). Penilaian
kualitas antibiotik sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu orang untuk
mendapatkan hasil yang sesuai (Kemenkes RI, 2015).
4) Bila ada pilihan antibiotik alternatif yang kurang toksik, berhenti di kategori
IVb. Penyesuaian toksisitas disesuaikan dengan kondisi pasien masing-
masing misalnya kelainan pada ginjal untuk itu, untuk menghindari hal
tersebut peresepan dilakukan penyesuaian (Gyssens, 2005). Apabila tidak
toksik apakah ada alternatif lain lebih murah?
5) Bila ada antibiotik yang lebih murah daripada yang diberikan, berhenti di
kategori IVc. Perhitungan berdasarkan harga yang ada di RSUD Dr. Iskak
Tulungagung dan dianggap sebagai obat generik. Bila tidak ada, pertanyaan
selanjutnya adalah apakah ada alternatif lain yang spektrum lebih sempit?
6) Bila ada antibiotik lain dengan spektrum lebih sempit, berhenti di kategori
IVd. Apabila tidak ada alternatif lain yang spektrum aktivitasnya lebih
sempit, dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah durasi antibiotik yang
diberikan terlalu panjang/singkat?
7) Lama pemberian antibiotik dinilai sesuai guideline yang ada yaitu :
a. Pada kasus bedah bersih dan bersih terkontaminasi antibiotik profilaksis
yang diberikan yaitu sefalosporin generasi I dan II, bila diduga terdapat
bakteri anaerob dikombinasi dengan metronidazole dengan waktu
pemberian 30-60 menit sebelum operasi. Lama pemberian antibiotik
profilaksis yaitu sekali sebelum operasi. Jika pasien mengalami
perdarahan >1500 cc atau operasi >3 jam antibiotik profilaksis dapat
diberikan sampai 24 jam dengan dosis 1g (Kemenkes, 2011).
b. Pada kasus apendisitis akut antibiotik profilaksis diberikan satu kali
sebelum operasi, sedangkan pemberian antibiotik empiris diberikan
hingga 4- 7 hari (PAMC, 2015)
c. Pada kasus caesarean section (SC) antibiotik profilaksis yang diberikan
yaitu cefazolin 2 g, diberikan 30-60 menit sebelum operasi, antibiotik
empiris diberikan 48-72 jam setelah operasi jika pasien menunjukkan
terdapat tanda-tanda infeksi (Guidline Antibiotic Prophlaxis in Obstetric
Procedurs, 2010; SPO RSUD Dr. Iskak Tulunggaung, 2019).
d. Pada kasus pneumonia, antibiotik empiris diberikan selama 10 sampai 14
hari (AAFP, 2006; PDPI 2003).
45